LP Fraktur Tl.belakang
-
Upload
dwi-kristiarini -
Category
Documents
-
view
84 -
download
22
Transcript of LP Fraktur Tl.belakang
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN MUSKULUSKLETAL PADA PASIEN FRAKTUR TULANG BELAKANG (TORAKAL LUMBAL)
Tulang, atau tulang belakang, yang membentuk tulang belakang sangat kuat, tapi kadang-kadang vertebra bisa patah - sama seperti tulang lain dalam tubuh Anda. Fraktur vertebra biasanya karena kondisi seperti: osteoporosis (suatu kondisi yang melemahkan tulang), jatuh sangat keras, tekanan yang berlebihan, atau beberapa jenis cedera fisik.
Ketika tulang di tulang belakang runtuh, itu disebut fraktur kompresi tulang belakang. Patah tulang ini terjadi paling sering pada tulang belakang dada (bagian tengah tulang belakang), khususnya di ruas bawah tulang belakang dada.
Tujuan dari informasi ini adalah untuk membantu Anda memahami:
rauma merupakan keadaan dimana individu mengalami cidera oleh suatu
sebab karena kecelakaan baik lalu lintas, olah raga, industri, jatuh dari pohon,
dan penyebab utama terjadinya fraktur pada medula spinalis / thorako lumbal.
Selain itu trauma thorako lumbal dapat terjadi karena tertimpa beban berat atau
jatuh dari ketinggian yang menyebabkan gerakan fleksi yang hebat, sedangkan
kompresi fraktur terjadi karena hiperekstensi .Akibatnya medula spinalis akan
mengalami cidera dan mengakibatkan disfungsi neuromuskuler pada daerah yang
cidera.
Berdasarkan data Rekam Medik RSUP Fatmawati bulan Juli-Desember pada
tahun 2004 didapatkan pasien dengan gangguan muskuloskeletal sebanyak 566
kasus, dari bermacam-macam kasus tersebut, kasus fraktur vertebra thorakal
sebanyak 8 orang (1,23%), sedangkan pada tahun 2005 bulan Januari-Juli
sebanyak 323 kasus gangguan muskuloskeletal terdapat 7 (2,16%) kasus fraktur
vertebra thorakal yang mengalami fraktur thorakal.
Peningkatan angka kejadian dari fraktur vertebra Thorakal dari 2004 s/d
2005 hal ini disebabkan karena peningkatan kecelakaan lalu lintas, karena
kurangnya peran serta masyarakat yang masih belum sadar akan tertib berlalu
lintas dijalan raya, walaupun pemakaian sabuk pengaman dan helm digalakkan,
sehingga kecelakaan belum dapat dicegah. Juga kurangnya pengamanan saat
berolah raga dan kurangnya pengetahuan untuk memakai pelindung saat bekerja.
Komplikasi fraktur yang sering terjadi antara lain adalah infeksi , sindrom
kompartemen, atropi, kontraktur. Sehingga peran perawat dalam hal ini adalah
mengatasi atau mengurangi masalah tersebut dan tidak menambah komplikasi
lain seperti penyembuhan fraktur yang lama (delayed union). Dengan
peningkatan nutrisi dan perawatan luka dengan teknik septik dan aseptic
A. KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya.
Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak
bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan
terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth,
2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada sisi,
beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-
laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes,
1999).
Fraktur thorakal lumbal adalah fraktur yang mengenai daerah tulang belakang terutama
bagian thorakal lumbal. (Mansjoer 2000 : 351)
2. Etiologi
Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut :
a. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi
pada saat benturan dengan benda keras.
b. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan
dislokasi atau fraktur.
c. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas dan sebagainya.
d. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan
penyakit tulang atau melemahnya tulang.
e. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti
mengangkat benda berat.
3. Patofisiolog
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang saling
berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua sampai vertebra
sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk sendi fibrokartilago
yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus
pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam
sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan
penyambung dan sel-sel tulang rawan.
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan,
selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus dan
pembuluh-pembuluh kapiler.
Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian
struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang terjadi sangat
tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada umumnya terjadi edema
pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau
pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan
perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati.
Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar
tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul
setelah fraktur.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekkan
deformitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
yang bisa diketahui dengan ekstermitas normal.
c. Terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat
fraktur.
d. Saat ekstermitas diperiksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan
antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
5. Klasifikasi
Fraktur vertebra lumbal dibagi dalam :
a. Fraktur prosesus tranvensus, dapat terjadi karena trauma langsung atau oleh karena tarikan
otot yang melekat pada prosesus tranvesus pada prosesus tranvensus melekat otot yang kuat
sehingga dapat terjadi ovalsi bila terjadi fleksi lateral yang dipaksakan pada daerah ini.
Fraktur yang terjadi bersifat stabil sehingga pengobatan hanya menghilangkan nyeri dan
dilanjutkan dengan fisiotherapi
b. Fraktur kompresi yang bersifat bagi dari badan vertebra
c. Fraktur rekan badan vertebra
d. Dislokasi dan fraktur dislokasi
e. Trauma jack knife
Jenis fraktur ini terjadi karena trauma fleksi disertai dengan distraksi pada vertebra lumbal
jenis ini sering ditemukan pada trauma sabuk pengaman dimana badan terdorong ke depan,
sedang bagian lain terfiksasi. Ditemukan adanya robekan pada ligamen longitudinal atau
fraktur pada tulang sendiri.
Jenis ini disebut juga fraktur chance (1948) dimana vertebra terbelah melalui prosesus
spinosus dan badan vertebra. Mekanisme trauma dan pengobatan fraktur vertebra lumbal
pada prinsipnya sama dengan fraktur vertebra torakal. (Rasjad, 1998, hal. 521).
6. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union,
gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab
lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya
ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan
(non union).
c. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari
proses penyembuhan fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada
fraktur.
f. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi
dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk
emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru,
ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani
segera.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan
syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena
pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes diagnostik untuk
menunjang diagnosa medis, yaitu :
1) Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang
belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti
tumor, osteomielitis.
2) Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.
3) Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.
4) Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya
darah.
5) Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa
awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6) CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus
intervetebralis.
7) MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang
dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.
Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus,
menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.
8. Penatalaksanaan
a. Pengobatan dan Terapi Medis
Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
Bedrest, Fisioterapi
b. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat
berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan
peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan peleburan
spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang dan
mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan
elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi
dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf.
9. Pathway
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara sistematika
mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah
pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi
pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali
catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and
Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :
a. Data demografi/ identitas klien
Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung
c. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya predisposisi
seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur psikologis).
d. Riwayat spiritual
Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam
menjalankannya.
e. Aktivitas kegiatan sehari-hari
Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-benda
berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang kurang
aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada orang
yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada tangan.
f. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran tinggi badan
2) Pengukuran tanda-tanda vital
3) Integritas tulang, deformitas tulang belakang
4) Kelainan bentuk pada dada
5) Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau
vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya.
6) Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler,
warna kulit dan temperatur kulit.
7) Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak, apakah
limpa membesar atau tidak.
8) Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya
immobilisasi.
9) Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur
10) Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus
otot.
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien dengan
gangguan tulang belakang, yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf:
spasme otomatis.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot;
kerusakan neuromuscular.
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status
kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
d. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra.
3. Intervensi
a. Diagnosa keperawatan I
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf:
spasme otomatis.
Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria hasil :
1. Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2. Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan
3. Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan
relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.
Dx Intervensi Rasional
1 1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi,
lama serangan, faktor pencetus atau
memperberat. Minta klien untuk
mendapatkan skala nyeri 1 – 10.
2) Pertahankan tirah baring selama fase
akut. Letakkan klien dalam posisi semi
fowler dengan tulang spinal, pinggang
dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi
telentang dengan atau tanpa meninggikan
kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai
kebutuhan
1) Membantu menentukan intervensi
dan memberikan dasar untuk
perbandingan dan evaluasi terhadap
terapi.
2) Tirah baring dalam posisi yang
nyaman memungkinkan klien
untuk menurunkan penekanan pada
bagian tubuh tertentu dan
intervertebralis.
3) Menurunkan gaya gravitasi dan
gerak yang dapat menghilangkan
4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk
bel panggil dalam batas yang mudah
dijangkau atau diraih klien.
5) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
6) Instruksikan atau anjurkan klien untuk
melakukan mekanisme tubuh atau
gerakan yang tepat.
7) kesempatan untuk berbicara atau
mendengarkan masalah klien
8) tempat tidur ortopedik atau letakan
papan dibawah kasur atau matras.
9) Berikan obat sesuai kebutuhan:
relakskan otot seperti Diazepam
(Valium)
spasme otot dan menurunkan
edema dan tekanan pada struktur
sekitar discus intervertebralis yang
terkena.
4) Menurunkan resiko peregangan
saat meraih
5) Memfokuskan perhatian klien dan
membantu menurunkan tegangan
otot dan meningkatkan proses
penyembuhan.
6) Menghilangkan stress pada otot
dan mencegah trauma lebih lanjut
7) Berbicara dapat menurunkan strees
atau rasa takut selama dalam
keadaan sakit dan dirawat
.
8) Memberikan sokongan dan
menurunkan fleksi spinal yang
menurunkan spasme
9) Merelaksasikan otot dan
menurunkan nyeri
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot;
kerusakan neuromuscular.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan
individu.
2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau
kompensasi.
Dx Intervenasi Rasional
2 1) Berikan tindakan pengamanan sesuai
indikasi dengan situasi yang spesifik.
2) Catat respon-respon emosi atau
perilaku pada immobilisasi, berikan
aktivitas yang disesuaikan dengan
klien.
3) klien untuk melaksanakan latihan
rentang gerak aktif dan pasif
4) Anjurkan klien untuk melatih kaki
bagian bawah dan lutut
5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi
progresif
1) Tergantung pada bagian tubuh yang terkena
atau jenis prosedur, aktivitas yang kurang
berhati-hati akan meningkatkan kerusakan
spinal.
2) Immobilisasi yang dipaksakan dapat
memperbesar kegelisahan, peka
rangsangan.Aktivitas pengalihan dapat
membantu dalam memfokuskan perhatian
dan meningkatkan koping dengan batasan
tersebut.
3) Memperkuat otot abdomen dan fleksor
tulang belakang, memperbaiki mekanika
tubuh.
4) Stimulasi sir vena atau arus balik vena
menurunkan keadaan vena yang statis dan
kemungkinan terbentuknya trombus.
5) Keterbatasan aktivitas tergantung pada
kondisi yang khusus, tapi biasanya
berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status
kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
Tujuan : Adaptasi klien efektif
Kriteria hasil :
1. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.
2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
3. Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Dx Intervensi Rasional
3 1) Kaji tingkat anxietas pasien.
2) Berikan informasi yang akurat dan jawab
dengan jujur
3) Berikan pasien untuk mengungkapkan
masalah yang dihadapinya
4) Kaji adanya masalah sekunder yang
mungkin merintangi keinginan untuk
sembuh.
5) Cara perilaku dari orang terdekat atau
keluarga yang meningkatkan peran sakit.
6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial,
konselor finansial, psikoterapi dan
sebagainya.
1) Membantu mengidentifikasi dalam
keadaan sekarang.
2) Memungkinkan pasien untuk membuat
keputusan yang didasarkan atas
pengetahuan.
3) Meningkatkan koping yang sedang
dihadapi
4) Memberikan perhatian terhadap klien,
tanggung jawab untuk meningkatkan
penyembuhan.
5) Orang terdekat keluarga secara tanpa
sadar memungkinkan untuk
mempertahankan sesuatu yang dapat
klien lakukan.
6) Memberikan dukungan untuk
beradaptasi pada perubahan dan
memberikan sumber – sumber untuk
mengatasi masalah.
d. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.
Dx Intervensi Rasional
4 1) Observasi dan catat jumlah frekuensi
berkemih
1) Menentukan apakah kandung kemih
dikosongkan dan saat kapan intervensi
itu diperlukan.
2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi
kandung kemih
2) Menandakan adanya retensi urine
3) Tingkat pemberian cairan 3) Mempertahankan fungsi ginjal
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3 Volume 8.
Jakarta : EGC
Carpenitto, Lynda Juall. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2,
Jakarta ; EGC
Corwin, Elizabeth. J. 2000. Buku Saku Phatofisiologi. Jakarta ; EGC
Doengoes, E. Marylinn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi I, FKUI : Media
Aesculapius
Groot, Jack de. 1997. Neuroanatomi Korelatif. Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Edisi VI Vol 2 Jakarta : EGC
Luckman and Sorensen’s. 1993. Medical Surgical Nursing 4th edition buku II USA WB
Sunder Company
Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiologi. Jakarta : EGC
Rasjad, Prof Chaerudin Ph.D. 1998. Pengantar Ilmu bedah Orthopedi. Ujung Pandang
Bintang Lamunpatue.