LP Fraktur Genu
-
Upload
anonymous-jmc9izf -
Category
Documents
-
view
406 -
download
58
description
Transcript of LP Fraktur Genu
LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR GENURUANG BUGENVILE RS DR. SOEPRAOEN
Untuk memenuhi tugas Profesi Departemen Surgikal
Disusun Oleh :
M.Choirul Anam
NIM. 105070200111046
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
RENCANA KEGIATAN MINGGUAN
Departemen : Surgikal Persepti : M.Choirul Anam
Periode : 9-14 Maret 2015 Preseptor :
Ruang : Bugenvile RST Minggu : 1
A. Target yang Ingin Dicapai
Dapat memberikan Asuhan Keperawatan kepada pasien dengan Fraktur Genu
1. Mampu melakukan pengkajian pada pasien Fraktur Genu
2. Mampu membuat analisa data yang diperoleh dari pengkajian
3. Mampu menentukan masalah keperawatan yang muncul dan dapat
memprioritaskan masalah
4. Mampu menginterpretasikan masalah keperawatan yang didapat, meliputi tujuan
dan kriteria hasil yang ingin dicapai
5. Mampu membuat rencana keperawatan dengan masalah keperawatan yang
muncul
6. Mampu mengimplementasikan rencana keperawatan yang sudah dibuat, meliputi:
Memasang/melepas infus
Melakukan transfusi darah
Mengajarkan ROM aktif atau pasif
Mengambil darah vena
Melakukan kateterisasi urin
Menyiapkan pasien untuk pemeriksaan diagnostik
Melakukan monitoring kecukupan nutrisi dan kalori
Melakukan injeksi obat IV
Memberikan balut bidai
Mengkaji dan memonitor risiko sindrom kompartemen
7. Mengevaluasi hasil dari implementasi yang telah dilakukan dengan SOAP
8. Membuat catatan perkembangan pasien setelah dilakukan implementasi
9. Mampu memberikan Asuhan Keperawatan kepada pasien lain selain pasien
kelolaan (resume)
B. Rencana Kegiatan
TIK Jenis Kegiatan Waktu Kriteria Hasil
1 a. Bina hubungan saling percaya
(perkenalan diri dan kontrak
waktu).
b. Pengkajian data dasar klien
Hari ke- 1-6 a. Terbina hubungan saling
percaya
b. Data dasar dapat terkaji
2 a. Membuat analisis data Hari ke- 1-6 a. Data dasar dapat dianalisa
sehingga muncul masalah
keperawatan
3 a. Merumuskan masalah
keperawatan klien
b. Merumuskan prioritas
diagnosa keperawatan
Hari ke- 1-6 a. Muncul masalah keperawatan
yang didapat dari hasil analisa
data
b. Muncul prioritas masalah
keperawatan dari masalah-
masalah keperawatan yang ada
4 a. Menentukan tujuan, kriteria
hasil, serta rencana intervensi
yang sesuai dengan masalah
keperawatan
Hari ke- 1-6 a. Tujuan dan kriteria hasil dapat
tersusun minimal untuk
mengatasi masalah
keperawatan
5 a. Membuat rencana
keperawatan
Hari ke- 1-6 a. Rencana keperawatan dapat
diimplementasikan kepada
pasien
6 a. Mengimplementasikan
rencana keperawatan meliputi:
Memasang/melepas infus
Melakukan transfusi darah
Mengajarkan ROM aktif
atau pasif
Mengambil darah vena
Melakukan kateterisasi urin
Menyiapkan pasien untuk
pemeriksaan diagnostik
Melakukan monitoring
kecukupan nutrisi dan kalori
Melakukan injeksi obat IV
Hari ke- 1-6 a. Melakukan tindakan sesuai
dengan SOP
Memberikan balut bidai
Mengkaji dan memonitor
risiko sindrom
kompartemen
7 a. Mengevaluasi hasil
implementasi
Hari ke- 1-6 a. Klien dapat dievaluasi dengan
SOAP
8 a. Membuat catatan
perkembangan pasien setelah
dilakukan implementasi
Hari ke- 1-6 a. KDM klien terpenuhi
9 a. Memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien
lain selain pasien kelolaan
Hari ke- 1-6 a. KDM klien terpenuhi dan
dievaluasi dalam bentuk resume
(SOAPIE)
C. Evaluasi
1. Evaluasi Proses
2. Evaluasi Diri Praktikan
3. Rencana Tindak Lanjut
Malang, 9 Maret 2015
Mengetahui,
Preseptor Klinik
(________________________)
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR GENU
1. ANATOMI FISIOLOGI TULANG GENU
2. DEFINISI
Ada beberapa pengertian fraktur menurut para ahli adalah:
1. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Price dan Wilson, 2006).
2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari
trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis,
yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2002).
4. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi
(Doenges, 2002).
3. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. PATOFISIOLOGIS
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang
sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan
otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur
tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan
pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah
patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri, iritasi kulit karena
penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian
tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang
di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan
terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson,
2006).
5. KLASIFIKASI
1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan
dunia luar dibagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur) Dikatakan terbuka bila tulang yang
patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi
infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang
yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau
garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen
tulang biasanya berubah tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur ) Bila antara patahan tulang masih
ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya
bengkok yang sering disebut green stick.
Menurut Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan
tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang
patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan
tulang.
3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Obliq: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya spiral yang disebabkan oleh
trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang men-
dorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi: fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
4. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
5. Mansjoer (2002), pengklasifikasian fraktur clavicula terdapat 3 lokasi yang sering
mengalami fraktur yaitu :
a. Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3 tengah klavikula)
Fraktur pada bagian tengah clavicula
Lokasi yang paling sering terjadi fraktur, paling banyak ditemui
Terjadi medial ligament korako-klavikula (antara medial dan 1/3 lateral)
Mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung (dari
lateral bahu)
b. Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula
Fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, yang dapat dibagi:
type 1: undisplaced jika ligament intak
type 2: displaced jika ligamen korako-kiavikula ruptur.
type 3: fraktur yang mengenai sendi akromioklavikularis.
c. Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal clavicula. Fraktur yang paling jarang
terjadi dari semua jenis fraktur clavicula, insidensnya hanya sekitar 5%.
d. Fraktur pada bagian distal clavicula. Lokasi tersering kedua mengalami fraktur
setelah midclavicula.
Ada beberapa subtype fraktur clavicula bagian distal, menurut Neer (2005), ada 3
yaitu :
1. Tipe I : merupakan fraktur dengan kerusakan minimal, dimana ligament tidak
mengalami kerusakan.
2. Tipe II: merupakan fraktur pada daerah medial ligament coracoclavicular.
3. Tipe III : merupakan fraktur pada daerah distal ligament coracoclavicular dan
melibatkan permukaan tulang bagian distal clavicula pada AC joint.
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi,
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di
rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan
deformitas, ekstrimitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur
antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menu-
run (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin pada trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi dikarenakan perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, trans-
fuse multiple, atau cedera hati.
8. PENYEMBUHAN FRAKTUR
Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak di sekitarnya juga rusak,
periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan
darah terbentuk pada daerah tersebut, bekuan akan membentuk jaringan granulasi,
dimana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi
kondroblas dan osteoblas. Kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi
fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) di sekitar
lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus
dari fragmen satunya dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur)
terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada
tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur. Persatuan (union) tulang provisional ini
akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih
terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-medolling di mana osteoblas akan
membentuk tulang baru sementara osteoklas akan menyingkirkan bagian yang rusak
sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya.
(Price dan Wilson, 1995).
9. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah
dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis
secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk
mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih
dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses
pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka
bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara
sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus
dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas
harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi
maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri,
kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen
tulang. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara
dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak
sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan
dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling.
Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan
perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah
bidai sesuai yang diterangkan diatas. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi
dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh
sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada
sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
2. Penatalaksanaan Bedah Ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi
stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis,
gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur
pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi
Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini
jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan:
o Reduksi terbuka, melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang
patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang
patah
o Fiksasi interna, stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam
o Graft tulang, penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog)
untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang
yang berpenyakit.
o Amputasi, penghilangan bagian tubuh
o Artroplasti, memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang
besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
o Menisektomi, eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
o Penggantian sendi, penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis
o Penggantian sendi total, penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis
o Transfer tendo, pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
o Fasiotomi, pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia (Ramadhan: 2008)
3. Terapi Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi (Ramadhan: 2008)
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal.
Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen
tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang
pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan
satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan
pada tulang Genu, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada
bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau
rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan
sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi
atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan
latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi
(Mansjoer, 2000).
8. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat
terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari
yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena
penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot
terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan
isi kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan
berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai dengan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya
Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed
union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah
yang kurang (Price dan Wilson, 2006).
ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR GENU
a. Pengkajian Data
Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut.
Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas/istirahat
i. Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
ii. Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
3) Tachikardi
4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
5) Cailary refil melambat
6) Pucat pada bagian yang terkena
7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
1) Kesemutan
2) Deformitas, krepitasi, pemendekan
3) Kelemahan
d. Kenyamanan
1) Nyeri tiba-tiba saat cidera
2) Spasme/ kram otot
e. Keamanan
1) Laserasi kulit
2) Perdarahan
3) Perubahan warna
4) Pembengkakan lokal
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur merujuk pada
teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada berbagai macam meliputi:
a. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat
mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada
fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe
konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe
spiral. Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang
atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu,
klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut
dan kronik serta penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
c Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena (mungkin segera,
fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan,
nyeri)
2) Sirkulasi
a. Hipertensi (kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri atau ansietas)
atau hipotensi (kehilangan darah)
b. Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
c. Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera,pengisian kapiler
lambat, pusat pada bagian yang terkena.
d. Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
3) Neurosensori
a. Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b. Kebas/ kesemutan (parestesia)
c. Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
d. Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
4) Nyeri / kenyamanan
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi), tidak ada nyeri akibat
kerusakan syaraf.
b. Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
a. Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba- tiba).
6) Pola hubungan dan peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan kecacatan
akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melakukan aktifitasnya secara normal dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
8) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga timbul nyeri akibat fraktur.
9) Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan
gerak yang di alami klien.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan fraktur menurut Doengoes (2000), dan Barbara (1999) adalah
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress, ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolic, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat
luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat
jaringan nekrotik.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak nyamanan,
kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas, penurunan kekuatan /
tahanan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan,
prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi pembedahan.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan factor (kolaboratif): traksi atau gibs
pada ekstrimitas
c. Implementasi Keperawatan
Fokus intervensi keperawatan dan rasional merujuk pada Carpenito (2007), Doenges
(2002), dan Yosep (2007) antara lain :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan, alat kontraksi/ immobilisasi, stress, ansietas.
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu beradaptasi dengan
nyeri yang di alami.
b. Kriteria Hasil
Nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.
c. Intervensi
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
2) Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
3) Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
4) Observasi tanda- tanda vital.
5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat
luka atau ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat
jaringan nekrotik.
a. Tujuan
Setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah kerusakan kulit dapat
teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu.
b. Kriteria Hasil
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, kemerahan, luka bersih tidak lembab
dan tidak kotor, tanda- tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
c. Intervensi
1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptic. Balut luka dengan kasa
kering dan steril, gunakan plester kertas.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ ketidak nyamanan,
kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/ tahanan.
a. Tujuan
Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
b. Kriteria Hasil
Klien mampu melakukan pergerakan dan perpindahan, mempertahankan
mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan karakteristik:
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan orang lain untuk bantuan pengawasan, pengajaran
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
c. Intervensi
1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
4) Ajarkan dan dukkung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi..
4. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur infasif dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
a. Tujuan
Infeksi tidak terjadi/ terkontrol
b. Kriteria hasil
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, luka bersih tidak lembab dan tidak
kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
c. Intervensi
1) Pantau tanda-tanda vital
2) Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik.
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infuse, kateter, drai-
nase luka, dll.
4) Jika di temukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti
Hb dan leukosit.
5) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan faktor(kolaboratif): traksi atau gibs
pada ekstrimitas
a. Tujuan
Tidak terjadi defisit perawatan diri
b. Kriteria hasil
Tidak ada bau badan, tidak bau mulut, mukosa mulut lembab, kulit utuh
c. Intervensi
1) Berikan bantuan pada ADL sesuai kebutuhan, ijinkan pasien untuk merawat
diri sesuai dengan kemampuannya.
2) Setelah reduksi, tempatkan kantung plastik di atas ekstrimitas untuk
mempertahankan gibs/ belat/ fiksasi eksternal tetap kering pada saat mandi.
Rujuk pada bagian terapi fisik sesuai pesanan untuk instruksi berjalan
dengan kruk untuk ambulasi dan dapat menggunakannya secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, Graham A., Solomon, Louis. 2005. Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya
Medika. Jakarta.
Carpenito.2000.Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6. Jakarta:EGC.
Cluett, Jonathan. Broken Collarbone. Orthopedics. 2011. Available at
http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones/a/collarbone.htm
De Jong., Sjamsuhidajat. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.
Doenges at al. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta:EGC
Estephan, Amir. Clavicle Fracture in Emergency Medicine. Medscape. 2010. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/824564
Moore, Keith L., Agur, Anne M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy. Hipokrates, Jakarta.
Price & Wilson. 1995. Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4.
Jakarta:EGC
Rubino, Joseph L. Clavicle Fracture. Medscape. 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1260953
Wilkinson, M. Judith. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi-7. Jakarta :EGC.