Lp Cedera Kepala
-
Upload
zhe-maccal -
Category
Documents
-
view
61 -
download
5
description
Transcript of Lp Cedera Kepala
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEGAWATDARURATAN
SISTEM NEUROVASULER : CEDERA KEPALA
DI RUANG IGD RSUD Dr. H SOEWONDO KENDAL
Disusun oleh:
Zema Maksalmina
13.0225.N
PROGRAM PRA PROFESI KEPERAWATANSTIKES MUHAMMADIYAH
PEKAJANGAN-PEKALONGAN2014
1
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Trauma kapitis/kepala adalah trauma yang mengenai otak yang disebabkan
oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan
emosional (wahyu widagdo 2007)
Trauma Capitis atau cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa
terputusnya kontinuitas otak. (Paula Krisanti, 2009)
Cidera/trauma kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat
adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek
sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 2005).
2. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
a. Minor
1) SKG 13 – 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1) SKG 9 – 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) SKG 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.
1) Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.
2) Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara
maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau
kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS
14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
3. Etiologi
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, sepeda dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena
lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala
3
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau
tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi
badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan
yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua-duanya.
4
5. Pathway
Trauma kepala
Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial
5
Jaringan otak rusak (kontusio, laserasi)
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang
Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler
-Perubahan outoregulasi-Odem cerebral
-Perdarahan-Hematoma
Gangguan suplai darah
Iskemia
Perubahan sirkulasi CSS
Perubahan perfusi jaringan
Peningkatan TIK
Girus medialis lobus temporalis tergeser
Kejang
Gangg. Neurologis fokal
Hipoksia
1. Bersihan jln. nafas
2. Obstruksi jln. nafas
3. Dispnea4. Henti nafas5. Perub. Pola
nafas
Resiko tidak efektifnya jln. nafas
Defisit Neurologis
Gg. persepsi sensori
Gangg. fungsi otak
Herniasi unkus
Mesesenfalon tertekan
Gangg. kesadaran
NyeriResiko infeksi
Mual – muntahPapilodemaPandangan kaburPenurunan fungsi
pendengaranNyeri kepala
Resiko kurangnya volume cairan
Tonsil cerebelum tergeser Kompresi medula oblongata
6. Manifestasi Klinis
a. Peningkatan TIK dengan menifestasi sebagai berikut:
1) Trias TIK : penurunan tingkat kesadaran, gelisah, papil edema, muntah
proyektil
2) Penurunan fungsi neurologis seperti: perubahan bicara, perubahan
reaksi pupil, sensori motorik berubah.
3) Sakit kepala, mual, pandangan kabur.
b. Fraktur tengkorak dengan manifestasi sebagai berikut
1) CFS atau darah mengalir dari telinga dan hidung.
2) Perdarahan dibelakang membran timpani
3) Periorbital ekhimosis
4) Memar di daerah mastoid.
c. Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah dapat terjadi saat kecelakaan
terjadi dengan manifestasi :
1) Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus
2) Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory
3) Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus olfaktorius
4) Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus
okulomotor
5) Vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah.
6) Kerusakan sistem vestibular
d. Komosio serebri dengan manifestasi :
1) Sakit kepala/pusing
2) Amnesia
3) Tidak sadar lebih atau sama dengan 5 menit
e. Kontosio serebri, dengan manifestasi : Terjadi pada injuri berat, termasuk
fraktur servikalis
1) Peningkatan TIK
2) Tanda dan gejala herniasi otak.
6
a) Kontusio serebri.
Manifestasi tergantung area hemisfer otak yang kena. Kontusio pada
lobus temporal: agitasi, confuse, kontusio frontal : hemiparese, klien
sadar : kontusio frontotemporal : aphasia
Tanda dan gejala tersebut reversible
b) Kontusio batang otak
a) Respon segera menghilang dan pasien koma
b) Penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari-hari jika kerusakan berat.
c) Pada sistem ratikular terjadi komatuse permanen
d) Pada perubahan tingkat kesadaran:
o Respirasi : dapat normal/ periodik/ cepat
o Pupil : simetris kontriksi dan reaktif
o Kerusakan pada batang otak bagian atas
o Gerakan bola mata tidak ada
7. Komplikasi
1. Hemorhagi
2. Infeksi
3. Edema
4. Herniasi
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi
(perdarahan atau ruptur atau fraktur).
b. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
c. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
7
d. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
e. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
g. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
9. Penatalaksanaan
a. Perawatan emergensi
1) Primery survey
a) Nilai tingkat kesadaran
b) Lakukan penilaian ABC
c) Imobilisasi kepala atau leher dengan collar neck atau alat lain
dipertahankan sampai hasil x-ray membuktikan tidak ada fraktur
servical.
2) Intervensi primer
a) Buka jalan nafas dengan teknik jaw thrust kepala jangan ditekuk,
isap lendir jika perlu.
b) Beri O2 4-6 liter/menit untuk mencegah anoksia serebri.
c) Hiperventilasi 20-25 x/menit untuk meningkatkan vasokontriksi
pembuluh darah otak sehingga edema serebri menurun.
d) Kontrol perdarahan
e) Pasang infus
3) Secondary survey
a) Kaji riwayat trauma
b) Tingkat kesadaran
8
c) Ukur TTV
d) Respon pupil
e) Gangguan penglihatan
f) Sunken eyes (mata terdorong kedalam) satu atau keduanya
g) Aktivitas kejang
h) Tanda battle’s yaitu blush discoloration atau memar di belakang
telinga menandakan adanya fraktur dasar tengkorak
b. Penatalaksanaan jalan nafas
Pasien dengan kepala, leher, atau trauma wajah diduga mengalami trauma
tulang belakang maka harus dipertahankan melalui periode pengkajian awal
sampai perkembangan trauma dapat dipastikan. Jalan nafas harus
dipertahankan tanpa hiperekstensi. Tehnik jaw-thrust dan manuver chin-lift
direkomendasikan untuk mempertahankan jalan nafas dan pernafasan
mungkin memerlukan bantuan awal dengan suatu unit bag valve mask.
c. Parameter monitor lainnya.
Refleks dan sistem motorik secara berseri dievaluasi. Sejalan dengan
kelanjutan penkajian motorik, kedua sisi harus dites dan dibandingkan.
Tanda peningkatan TIK harus dicatat, termasuk :
1) Sakit kepala
2) Muntah proyektil
3) Deviasi mata kesisi lesi
4) Perubahan kekuatan atau tonus otot
5) Kejang
6) Peningkatan tekanan darah dan penurunan nadi
7) Perubahan pernafasan
8) Takikardi.
B. Asuhan Keperawatan
1. Perngkajian primer
Primery survey
9
a. Nilai tingkat kesadaran
b. Lakukan penilaian ABC
c. Imobilisasi kepala atau leher dengan collar neck atau alat lain
dipertahankan sampai hasil x-ray membuktikan tidak ada fraktur
servical.
2. Secondary survey
a. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas.
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
a) Kesadaran GCS.
b) Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke
batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c) Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
d) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar tanyakan pola makan
e) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
f) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan
otot.
g) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan
saraf fasialis.
h) Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan
yang didapat pasien dari keluarga.
10
b. Diagnosa keperawatan utama
1) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan
depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot
pernafasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi
udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2,
kegagalan ventrikel.
2) Gangguan rasa nyaman : nyeri lokal berhubungan dengan adanya
edema serebral dan hipoksia
3) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intracranial, dan hipoksia.
4) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
c. Intervensi Keperawatan
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Tindakan Rasional
1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernafasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventrikel.
setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
a. Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
b. Kaji pasien, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
c. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
d. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam
Mengetahui tingkat kegawatan
Mencegah saraf terjepit dan henti nafas
Mempertahankan kepatenan jalan nafas
Mengetahui keefektifan pola nafas
11
bernafas.e. Bila tidak ada
fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
f. Pemberian oksigen sesuai program.
Membuka jalan nafas
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri lokal berhubungan dengan adanya edema serebral dan hipoksia
setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan rasa nyeri dapat berkurang atau hilang dengan kriteria hasil pasien tidak mengeluh nyeri, pembengkakan hilang/berkurang, pasien dapat beristirahat dengan tenang.
a. Kaji tipe, lokasi dan durasi nyeri
b. Batasi pergerakan pada daerah yang cedera
c. Observasi tanda-tanda vital
d. Ajarkan teknik relaksasi
e. Berikan kompres dingin pada daerah yang cedera
f. Observasi perubahan perilaku terhadap perasaan tidak nyaman
g. Kerjasama dengan tim kesehatan: pemberian obat-obat penghilang rasa nyeri
Mengetahui status nyeriMengurangi stimulasi nyeri
Mengetahui kondisi klienMengalihkan nyeri
Mengurangi rasa nyeri
Mengetahui keadaan saat munculnya nyeri
Mengurangi rasa nyeri
3. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral, peningkatan tekanan intracranial dan hipoksia
setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan
a. Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat
b. Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya 1) peningkatan
tekanan intrakranial: fleksi atau
menurunkan tekanan vena jugularis.Mencegah terjadinya tekanan intra kranial
12
tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
2) tekanan pada vena leher.
3) pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
c. Bila akan memiringkan badan, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
d. Berikan obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
e. Monitor intake dan out put.
f.Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
g. Lakukan pemasangan NGT bila indikasi
Mencegah gangguan aliran perfusi jaringan pada salah satu sisi badan
Mengurangi edema atau tekanan intra kranial
Mengetahui balance cairanMembantu output urin (jika perlu)
mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
4. Resiko kurangnnya volume cairan
setelah dilakukan tindakan keperawatan
a. Kaji intake dan out put.
b. Kaji tanda-tanda
Mengetahui balance cairanMengetahui
13
berhubungan dengan mual dan muntah.
diharapkan Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, mata cekung dan out put urine.
c. Berikan cairan intra vena sesuai program.
keadaan dehidrasi secara dini
Membantu memenuhi kebutuhan cairan
14
DAFTAR PUSTAKA
Krisanty, P . 2009. Asuhan Keperawatan Gawatdarurat. Jakarta : Trans Info Media
Muttaqin,A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Price, SA. 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,. Jakarta :
EGC
Widagdo, W. 2007. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan., Jakarta : Trans Info Media
15