LP Cedera Kepala

41
LAPORAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA DI RUANG BEDAH F RSUD DR. SOETOMO SURABAYA PERIODE TANGGAL : 8 APRIL 2002 S/D 12 APRIL 2002 DI SUSUN OLEH : SUBHAN NIM 010030170 B DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Transcript of LP Cedera Kepala

Page 1: LP Cedera Kepala

LAPORAN KASUSASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN

CEDERA KEPALADI RUANG BEDAH F RSUD DR. SOETOMO

SURABAYAPERIODE TANGGAL : 8 APRIL 2002 S/D 12 APRIL 2002

DI SUSUNOLEH :

SUBHANNIM 010030170 B

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM STUSI S.1 ILMU KEPERAWATANSURABAYA

2002

Page 2: LP Cedera Kepala

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera kepala

Di Ruang Bedah F RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Surabaya, 12 April 2002

Mahasiswa

Subhan

NIM. 010030170 B

Pembimbing Ruangan Pembimbing Akademik

SKp

NIP. NIP.

2

Page 3: LP Cedera Kepala

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk

atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan

(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh

perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta

rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat

perputaran pada tindakan pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa

dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir

seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,

jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan

gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar

metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan

koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga

bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala

permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh

berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob

yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia

atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme

anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan

menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood

Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15

% dari cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas

atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.

Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P

aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana

penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan

berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh

3

Page 4: LP Cedera Kepala

darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

1. Klasifikasi cidera kepala

a. Cidera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi – descelerasi

rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada cidera primer dapat terjadi :

1). Geger kepala ringan

2). Memar otak

3). Laserasi.

b. Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :

1). Hipotensi sistemik

2). Hiperkapnea

3). Hipokapnea

4). Udema otak

5). Komplikasi pernapasan

6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.

2. Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :

a. Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater

akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media

yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup

sendiri karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai

1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala – gejalanya :

1). Penurunan tingkat kesadaran

2). Nyeri kepala

3). Muntah

4). Hemiparese

5). Dilatasi pupil ipsilateral

6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )

7). Penurunan nadi

8). Peningkatan suhu

b. Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut

dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena

4

Page 5: LP Cedera Kepala

yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.

Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa

bulan.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Bingung

3). Mengantuk

4). Menarik diri

5). Berfikir lambat

6). Kejang

7). Udem pupil.

c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena

pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Komplikasi pernapasan

4). Hemiplegi kontra lateral

5). Dilatasi pupil

6). Perubahan tanda – tanda vital

d. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah

dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Hemiparese

4). Dilatasi pupil ipsilateral

5). Kaku kuduk.

5

Page 6: LP Cedera Kepala

3. Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan

Cedera kepala primer-Komotio, Kontutio, laserasi cerebral

Cedera kepala sekunder-hipotensi, infeksi general, syok, hipertermi,

hipotermi, hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi prostaglanding dan peningkatan TIK

Nyeri intracerebral Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung

Kerusakan / Penekanan sel otak local / Difus

Komotio cerebriKontutio cerebriLateratio cerebri

Penurunan ADO2, VO2, CO2, Peningkatan katekolamin, Peningkatan Asam Laktat

Gangguan kesadaran /Penurunan GCS

Udema cerebri

Gangguan seluruh kebutuhan dasar (oksigenasi, makan,

minum, kebersihan diri, rasa aman, gerak, aktivitas dll

Gangguan sel glia / gangguan polarisasi

Kejang

Resiko trauma

6

Page 7: LP Cedera Kepala

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan

sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada

bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.

b. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis

kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah,

penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.

c. Riwayat kesehatan

Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,

wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret

pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.

Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan

dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya,

demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.

d. Pemeriksaan Fisik

1) Aktifitas / istirahat

S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah

dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan

tonus otot.

2) Sirkulasi

O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi

dan aritmia.

3) Integritas ego

S : Perubahan tingkah laku / kepribadian

O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive

4) Eliminasi

O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.

5) Makanan / cairan

S : Mual, muntah, perubahan selera makan

O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).

7

Page 8: LP Cedera Kepala

6) Neuro sensori :

S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan

pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan

pengecapan / pembauan.

O : Perubahan kesadara, koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan

kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan

penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran.

Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap

sentuhan / gerakan.

7) Nyeri / rasa nyaman

S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.

O : Wajah menyeringa, merintih.

8) Repirasi

O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi,

stridor , ronchi dan wheezing.

9) Keamanan

S : Trauma / injuri kecelakaan

O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus

otot hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi

temperatur tubuh.

10) Intensitas sosial

O : Afasia, distarsia

e. Pemeriksaan penunjang

1) CT- Scan ( dengan tanpa kontras )Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan

perubahan jaringan otak.

2) MRI

Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras

radioaktif.

8

Page 9: LP Cedera Kepala

3) Cerebral Angiography

Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan

otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4) Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5) X – Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur

garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.

6) BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

7) PET

Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.

8) CFS

Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

9) ABGs

Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan

( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.

10) Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan

tekanan intrakranial.

11) Screen Toxicologi

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan

kesadaran.

f. Penatalaksanaan

Konservatif :

- Bedres total

9

Page 10: LP Cedera Kepala

- Pemberian obat – obatan

- Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas Masalah :

1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak

2). Mencegah komplikasi

3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.

4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana,

pengobatan dan rehabilitasi.

Tujuan :

1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap

2). Komplikasi tidak terjadi

3). Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang

lain

4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam

perawatan

5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh

keluarga sebagai sumber informasi.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di

otak.

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan

sputum

3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.

4. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous

koma)

5. Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak

adekuatnya sirkulasi perifer.

6. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.

10

Page 11: LP Cedera Kepala

DAFTAR PUTAKA

Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan

Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).

Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2

nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company

Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press.

Yogyakarta.

Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.

Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing

process Approach St. CV. Mosby Company.

Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung.

11

Page 12: LP Cedera Kepala

TINJAUAN KASUS

Tanggal Pengkajian : 8 April 2002

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 7 April 2002

Ruangan / Tempat : Ruangan Bedah F RS Dr. Soetomo

Diagnosa Masuk : COS + Fraktur Basis Cranii, Fraktur Maksilla F II

– F III

I. IDENTITAS

Nama : Tn Cahyono

Umur : 21 tahun

Suku / bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan/pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Kedaton / Jombang

Penannggung jawab :

Nama : Sumiatun

Umur : 45 tahun

Suku / bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan/pekerjaan : SMP / Wiraswasta

Hubungan dengan klien : Orang tua / ibu kandung

Alamat : Kedaton / Jombang

II. ALASAN MASUK RUMAH SAKIT

Alasan di rawat : Tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari kendaraan sepeda

motor

Upaya yang dilakukan :

Langsung membawa klien ke IRD RSUD Dr. Soetomo.

Klien baru pertama kali di opname di Rumah Sakit

III. RIWAYAT KESEHATAN

I.1. Riwayat Penyakit sebelumnya

Klien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang kronis / penyakit

keturunan. Asthma Bronchiale tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada,

12

Page 13: LP Cedera Kepala

klien selama ini hanya menderita penyakit panas, batuk dan pilek saja.

3.2 Riwayat penyakit sekarang

Klien tidak sadarkan diri / pingsan setelah jatuh ke selokan

karena menghindar dari truk yang berkecepatan tinggi pada tanggal 7

April 2002. Posisi jatuh tidak diketahui , selanjutnya klien pingsan dan

temannya yang minta bantuan pada orang yang lewat. Kemudian klien di

bawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo, GCS pada saat di IRD ExV4M6.

3.3 Riwayat Kesehatan Keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit genetic maupun penyakit

menular yang berbahaya.

3.4. Keadaan kesehatan lingkungan : Tidak dikaji.

3.5. Genogram

Keterangan

= Laki – laki = Klien

= Perempuan = Tinggal dalam satu rumah.

13

Page 14: LP Cedera Kepala

IV. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK

I.2. Keadaan Umum

Kesadaran baik, GCS E3V4M6. Badan klien nampak bersih, gizi cukup,

agak gelisah, terpasang infus DS – ½ - NS 1500 cc / 24 jam dan manitol 4

x 100 cc pada tangan kiri dan terpasang Dower kateter

I.3. Tanda Vital

Tekanan darah : 90/60 mm Hg

Nadi : 84 x / menit

Suhu : 36,8 0C

Pernapasan : 20 x / menit

I.4. Body Sistem

a) Pernapasan

Hidung : Nampak kotor karena adanya sisa darah yang kering

Trakhea : Dalam Batas normal

Dada : Bentuk simetris, gerakan simetris, jejas tidak ada

Suara napas : Vesikuler, tidak ada suara tambahan, batuk tidak

ada, sputum tidak ada, cyanosis tidak.

Frekuensi napas : 20 x / menit

b) Kardiovaskuler

Nyeri dada tidak ada, pusing tidak ada, kram kaki tidak ada, sakit

kepala sebelah kanan, palpitasi tidak ada, Clubbing finger tidak ada.

c) Persyarafan

Kesadaran : baik, GCS E3V4M6

Kepala dan wajah : Deformitas wajah baik, edema palpebra S/D :

+/+

Mata :Mata agak sulit dibuka karena pada daerah

palpebra oedema dan nampak kebiruan.

Mulut : Bengkak pada daerah bibir, gigi depan atas

dan bawah keluar sebanyak 4 dan 3, terdapat

darah yang mengering pada daerah mulut.

Leher : Dalam batas normal

Refleks fisiologis : Normal

Refleks Pathologis : Babinski negatif

Pendengaran : kanan / kiri normal

Penciuman : Normal

14

Page 15: LP Cedera Kepala

Pengecapan : Tidak dikaji

Penglihatan : Tidak dikaji

Perabaan : Tidak dikaji

Lainnya : Tidak ada.

d) Perkemihan / eliminasi urine

Produksi urine : kurang lebih 1300 cc / 24 jam

Warna urine : Kuning agak kemerahan

Gangguan saat kencing : Tidak ada

Lainnya : Terpasang kateter sejak tanggal 7 April

2002.

e) Makan dan minum :

Mulut : Tampak kotor dengan darah yang

mongering, tidak dapat menutup mulut

dengan rapat, udem pada daerah bibir. Klien

tidak dapat mengunyah dengan sempurna,

makanan yang diberikan adalah bubur saring

dan susu. Porsi yang diberikan dapat

dihabiskan.

Tenggorokan : Tidak ada kelainan

Abdomen : jejas tidak ada, peristaltik baik, simetris

BAB : Selama 2 hari ini klien belum BAB

Obat pencahar : belum digunakan

Lavamen : Belum dilakukan

Lain – lain : Tidak ada.

f) Tulang otot dan integumen

Kemampuan pergerakan sendi

Parese tidak ada, paralise, tidak, hemiparese tidak ada.

Ekstremitas atas : Tidak terdapat kelainan

Ekstremitas bawah : Terdapat luka lecet pada lutut kanan yang

mengering.

Warna kulit : Sawo matang

Akral : Hangat

5 55 5

15

Page 16: LP Cedera Kepala

Turgor kulit : Baik

ADL : Klien saat ini masih berbaring di tempat

tidur.

g) Sistem Endokrin

Terapi hormon :tidak ada Riwayat pertumbuhan dan

perkembangan fisik :normal

Perubahan ukuran kepala :tidak mengalami kelainan

Rambut dan kulit : Tidak nampak kering

Exopthalmus : Tidak ada

Goiter : Tidak ada

Hipoglikemia : Tidak ada

Toleransi terhadap panas : Ya

Toleransi terhadap dingin : Ya

Polidipsi : Tidak ada

Poliuri : Tidak ada

Polipagi : Tidak ada

Postural hipotensi : Tidak ada

Kelemahan : Tidak ada.

h) Sistem Hemopoitik

Diagnosa penyakit hemopoitik yang lalu : Tidak ada

Anemia : Tidak ada

Kecenderungan perdarahan : Tidak ada

Transfusi darah : Tidak pernah

Golongan darah : O.

i) Reproduksi

Laki – laki : Testis ada, penis normal.

j) Psikososial

Klien dapat berinteraksi dengan baik kepada petugas kesehatan.

k) Spritual

Sewaktu belum sakit klien menjalankan sholat 5 waktu secara teratur,

dan selama sakit klien tidak lagi melaksanakannya.

16

Page 17: LP Cedera Kepala

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tanggal 8 April 2002

Hb : 13,4 gr %

Leuko : 20.600

Trombo : 181.000

2. BGA :

PH : 7,392 ( N : 7,35 – 7,45 )

PCO2 : 34,2 ( N : 35 – 45 )

PO2 : 217,9 ( N : 80 – 104 )

HCO3 : 20,4 ( N : 21 – 25 )

BE : - 4,6 ( N : - 3,3 - +1,2 )

3. CT- Scan

ICH Parieto Occipital dextra, Fronto parietal dextra, Fraktur Zygoma

Dextra, dinding lateral orbita dextra

Analisa : COS + SFBC + FR. Maxilla LF II – III + Hematosinus dextra dan

sinistra.

Rencana Acara : Operasi fraktur maxilla

VI. THERAPY

- Voltaren 3 x 1 amp

- Rantin 3 x 1 amp

- Cedantron 3 x 1 amp

- Dilantin 3 x 1 amp

- Manitol 4 x 100 cc

- Infus DS ½ - NS

VII.DIAGNOSA KEPERAWATAN SESUAI PRIORITAS.

1. Gangguan perfusi darah otak berhubungan dengan oedema serebri

dengandata penunjang :

- Sewaktu kecelakaan pasien tidak sadarakan diri

- GCS ExV4M5

- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra,

fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.

17

Page 18: LP Cedera Kepala

- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC

Pernapasan 20 x / menit.

- Pemberian manitol 4 x 100 cc

4. Resiko terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan gangguan

oksigenisasi ke otak dengan data penunjang :

- GCS ExV4M5

- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra,

fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.

- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC

Pernapasan 20 x / menit.

- Pemberian Dilantin 3 x 1 amp

5. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dan

infus dengan data penunjang :

- Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002

- Terpasang infus sejak tanggal 7 April 2002

- Pengeluaran urine sebanyak 1300 cc/ 24 jam melalui selang kateter.

- Pemberian cedantion 3 x 1 amp

- Pemberian voltaren 3 x 1 amp

6. Gangguan oral hygiene berhubungan dengan perawatan mulut yang

tidak optimal dengan data penunjang :

- Klien mengatakan rasa nyeri sewaktu membuka mulut

- Oedema pada daerah mulut

- Gigi tanggal sebanyak 7 buah

- Terdapatnya darah kering sekitar mulut dan hidung

18

Page 19: LP Cedera Kepala

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika

Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000

kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan

lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera

kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi

dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin

meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif

antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan

perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,

disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir

separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh

fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan

kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala.

Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih

terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan

keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya

dukungan sistem transportasi dan komunikasi

Tujuan

Dengan adanya resume ini, maka saya selaku panyusun mebuat resume ini

bertujuan untuk memenuhi persyaratan ujian semester dari dosen pembimbing mata

kuliah computer, yaitu pak Maiza Efaldi, S.Kom.

BAB II

CKB (Cedera Kepala Berat)

Defenisi

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika

Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000

19

Page 20: LP Cedera Kepala

kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan

lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera

kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi

dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin

meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif

antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan

perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,

disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir

separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh

fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan

kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala.

Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih

terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan

keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya

dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan tantangan

bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap

petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis

untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan

rujukan ke rumah sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat

menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan

terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan

berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.

Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala bisa diklasifikasikan dalam berbagai aspek, tetapi untuk

kepentingan praktis di lapangan dapat digunakan klasifikasi berdasarkan beratnya

cedera. Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan menggunakan

Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat

kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang

dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons),

dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons)1,3.

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

20

Page 21: LP Cedera Kepala

1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 – 15

2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9 – 12

3. Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8

Glasgow Coma Scale

I. Reaksi membuka mata

1. Buka mata spontan

2. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

3. Buka mata bila dirangsang nyeri

4. Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

II. Reaksi berbicara

1. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

2. Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

3. Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat

4. Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata

5. Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

III. Reaksi gerakan lengan/tungkai

1. Mengikuti perintah

2. Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

3. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

4. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

5. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

6. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

Penderita yang sadar baik (composmentis) dengan reaksi membuka mata spontan,

mematuhi perintah, dan berorientasi baik, mempunyai nilai GCS total sebesar 15.

Sedang pada keadaan koma yang dalam, dengan keseluruhan otot-otot ekstremitas

flaksid dan tidak ada respons membuka mata sama sekali, nilai GCS-nya adalah 31.

Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu

cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang

terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena

mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita

lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa

mengalami proses penyembuhan yang optimal. Sedangkan cedera otak sekunder

21

Page 22: LP Cedera Kepala

merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau

berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik3,4.

Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi,

bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah

atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang dan berakhir

pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini akan berakhir

dengan kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-

keadaan yang merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah

mengalami cedera (neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera). Beban

ekstra ini bisa karena penyebab sistemik maupun intrakranial. Berbeda dengan cedera

otak primer, banyak yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi

terjadinya cedera otak sekunder3,4,5.

Penyebab cedera otak sekunder di antaranya3,4,5:

1. Penyebab sistemik: hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan

hiponatremia.

2. Penyebab intrakranial: tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,

pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.

Bagi petugas kesehatan di daerah, tugasnya adalah mencegah, mendeteksi, dan

melakukan penanganan dini terhadap kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak

sekunder.

Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan6: (1)

Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki

keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel

otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.

Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena

diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering

diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan

hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi.

Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen.

22

Page 23: LP Cedera Kepala

Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan

secepatnya1.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis ada 5, yaitu:

(1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;

(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat;

(3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat;

(4) Terlambat dilakukan tindakan bedah;

(5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan

sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok,

hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway,

breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat

memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan

pelvis3,6.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain

shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang

sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot

flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan

bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi

vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga

perlu segera bantuan pernapasan6.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika

penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan

adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang

dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat

fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi

vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,

fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan

chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui

23

Page 24: LP Cedera Kepala

hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan

dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya

dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu

bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat

(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada

penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat

memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan

intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran

dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada

tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur

tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya

menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan

cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg

untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan

secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat

teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang

dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi

hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila

ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan

resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua

jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat

hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak

akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam

posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat

menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial3,5,8,10.

Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk

mendapatkan penanganan selanjutnya.

Rujukan

Sesuai dengan keadaan masing-masing daerah yang sangat bervariasi,

pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan, keadaan geografis,

dan cepatnya mencapai rumah sakit rujukan yang ditentukan. Prinsipnya adalah ‘To

get 0a definitif care in shortest time’. Dengan demikian, bila memungkinkan

sebaiknya semua penderita dengan trauma kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada

24

Page 25: LP Cedera Kepala

fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di

negara kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas tersebut

(khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit dilaksanakan. Oleh

karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan3:

1. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita, sebaiknya

langsung dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas bedah saraf (rumah sakit

propinsi).

2. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit terdekat yang ada

fasilitas bedah.

3. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk

mendapatkan penanganan lebih baik.

Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok, kejang,

apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat dalam perjalanan,

keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat. Dengan adanya risiko

selama transportasi, maka perlu persiapan dan persyaratan dalam transportasi, yaitu

disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan

obat gawat darurat (di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction,

oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc,

diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat rujukan yang

lengkap dan jelas3.

Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan kita

untuk merujuk penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita untuk

menentukan keputusan yang terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria pasien cedera

kepala yang masih bisa dirawat di rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu5 :

1. Orientasi waktu dan tempat masih baik

2. Tidak ada gejala fokal neurologis.

3. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah.

4. Tidak ada fraktur tulang kepala.

5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah.

6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu.

Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi secara

aktif (menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam. Bila dijumpai nyeri

25

Page 26: LP Cedera Kepala

kepala bertambah berat, muntah makin sering, kejang, kesadaran menurun, dan

adanya kelumpuhan maka segera lapor ke puskesmas atau petugas medis terdekat5.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena dapat mencegah

terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan morbiditas dan

mortalitasnya. Dua hal penting dalam penanganan awal ini adalah penanganan segera

di tempat kejadian dan proses transportasi saat merujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.

Tujuan dari penanganan cedera kepala bukan lagi sekadar menolong jiw,a tetapi

menyembuhkan penderita dengan sequele yang seminimal mungkin. Petugas medis di

puskesmas sebagai ujung tombak penyedia pelayanan kesehatan terdepan, memiliki

tanggung jawab yang penting untuk melakukan penanganan awal seoptimal mungkin

dan mempersiapkan rujukan penderita ke tingkat fasilitas yang lebih tinggi.

Saran

Saya selaku penulis, menyadari bahwa resume ini jauh dari kesempurnaan.

Maka dari itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat

membangun demi kesempurnaan resume yang akan dibuat dimasa mendatang.

Daftar Pustaka

1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors.

American College of Surgeon, 1997 : 195-227.

2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama, 1998 : 147-176.

3. Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In : Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999.

4. Darmadipura MS. Cedera otak primer dan cedera otak sekunder tinjauan

mekanisme dan patofisiologis. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu

Bedah Saraf. 2000.

5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In :

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.

26

Page 27: LP Cedera Kepala

6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar

penanganan cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.

7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR, ed. Head

Injury. Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.

8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika 1996;10:

802-804.

9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-injured

patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma.

McGraw-Hill, 1996: 103-117.

10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured patient. In:

Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill,

1996: 331-344.

27