Lp+Lk Cedera Kepala 6

40
LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA Disusun Oleh : ANDI NOPRYANSYAH 070113a005 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN 1

description

...

Transcript of Lp+Lk Cedera Kepala 6

Page 1: Lp+Lk Cedera Kepala 6

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA

Disusun Oleh :ANDI NOPRYANSYAH

070113a005

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERSSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NGUDI WALUYO UNGARAN2013

1

Page 2: Lp+Lk Cedera Kepala 6

CEDERA KEPALA

A. Definisi

Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai

atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti

terputusnya kontinuitas otak.

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau

penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi –

descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan

peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu

pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada

tindakan pencegahan.

Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang

mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu

cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila

GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada

penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka

reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga

tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai

“X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi

maka reaksi verbal diberi nilai “T”.

B. Etiologi

Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :

1. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :

kecelakaan, dipukul dan terjatuh.

2. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.

3. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.

Efek percepatan dan perlambatan (aksele rasi-deselerasi) pada otak.

C. Manifestasi klinis

Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut

dengan cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu

dapat disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting

2

Page 3: Lp+Lk Cedera Kepala 6

diingat arti gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa

sakit kepala, mual, muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat

sebagai tanda-tanda penyakit dan gambaran penyakit, namun keadaannya

reversibilitas.

Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat

(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula

sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-

tanda lemah ingatan, cepat lelah, amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan

EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.

Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga

beraneka ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit.

Catatan kesimpulan mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma

berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak menampakkan gejala penyakit

gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli

bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1

jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi

komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.

3

Page 4: Lp+Lk Cedera Kepala 6

D. Patofisiologi

Cidera Kepala TIK - Oedem

- Hematom

Respon Biologi Hypoxemia

Kelainan Metabolisme

Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder

Kontusio

Laserasi Kerusakan Sel Otak

Gangguan Autoregulasi Rangsangan Simpatis Stress

Aliran Darah Keotak Tahanan Vaskuler Katekolamin

Sistemik & TD Sekresi Asam Lambung

O2 Ggan Metabolisme Tek. Pemb.Darah Mual, Muntah

Pulmonal

Asam Laktat Tek. Hidrostatik Asupan Nutrisi Kurang

Oedem Otak Kebocoran Cairan Kapiler

Ggan Perfusi Jaringan Oedema Paru Cardiac Out Put

Cerebral

Difusi O2 Terhambat Ggan Perfusi Jaringan

Gangguan Pola Napas Hipoksemia,

Hiperkapnea

4

Page 5: Lp+Lk Cedera Kepala 6

Hubungan Cedera Kepala Terhadap Munculnya Masalah Keperawatan

Cedera Kepala Primer-Komotio, Kontutio,

Laserasi Cerebral

Cedera Kepala Sekunder-Hipotensi, Infeksi General,

Syok, Hipertermi, Hipotermi, Hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi prostaglanding dan peningkatan TIK

Nyeri Intracerebral Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung

Kerusakan / Penekanan Sel Otak

Local / DifusKomotio CerebriKontutio CerebriLateratio Cerebri

Penurunan ADO2, VO2, CO2,

Peningkatan Katekolamin, Peningkatan Asam Laktat

Gangguan kesadaran / Penurunan GCS Edema Cerebri

Gangguan Seluruh Kebutuhan Dasar

(Oksigenasi, Makan, Minum, Kebersihan Diri,

Rasa Aman, Gerak, Aktivitas Dll

Gangguan Sel Glia / Gangguan Polarisasi

Kejang

Resiko Trauma

5

Page 6: Lp+Lk Cedera Kepala 6

E. Mekanisme Cedera Kepala

Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka

mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua:

(1) Static loading

Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari

200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang

terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang

kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H , 1999).

(2) Dynamic loading

Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya yang

bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact injury) ataupun gaya tersebut

bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated injury). Mekanisme cidera kepala

dynamic loading ini paling sering terjadi (Bajamal A.H , 1999).

a. Impact Injury

Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan diteruskan

kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian

yang lain akan diteruskan, sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan

dipantulkan kembali. Tetapi gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi

akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi :

Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum, Excoriasi,

Hematom subcutan, Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang atap kepala meliputi

Fraktur linier, Fraktur distase, Fraktur steallete, Fraktur depresi. Fraktur basis

cranii meliputi Hematom intracranial, Hematom epidural, Hematom subdural,

Hematom intraserebral, Hematom intrakranial. Kontusio serebri terdiri dari

Contra coup kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse intrakranial, Laserasi serebri

yang meliputi Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).

b. Lesi akselerasi – deselerasi

Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh

yang lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas

antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan

densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang

kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap

berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak

mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan

maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala

tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa Hematom subdural, Hematom

intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra coup kontusio. Selain itu gaya

6

Page 7: Lp+Lk Cedera Kepala 6

akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya terikan ataupun robekan yang

menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar

Kasan , 1998).

F. Klasifikasi

Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :

1. Cidera kepala terbuka

2. Cidera kepala tertutup

1. Cidera kepala terbuka

Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai

cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan

infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan

pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.

Fractura Basis Cranii

Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di

depan:

1. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan

arachnoidal.

2. Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus

maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.

3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita

mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.

Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya

cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii.

Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya

memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima

kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.

Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain

anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata

(III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian

bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada

umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis

cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada

tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena

kemungkinan ini akibat contusio cerebri.

7

Page 8: Lp+Lk Cedera Kepala 6

2. Cidera kepala tertutup

Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-

keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa

sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang

menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan

gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk

haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum

(mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya

jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat

dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah

temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer cabang-cabang a.

meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr. Capitis).

a. Epiduralis haematoma

Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus.

Foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah

pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah

CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr

hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan

ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis

haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.

b. Subduralis haematoma akut

Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana

pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau

jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi

perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak

sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter

dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya

tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian

akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam

sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi

gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma

subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii,

namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera

pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang

pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus

ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga

mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).

8

Page 9: Lp+Lk Cedera Kepala 6

c. Subrachnoidalis Haematoma

Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu

perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan

berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar

jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna “pelebaran pembuluh darah”.

Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik

tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan

karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma

terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang

mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.

Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula

karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah

"subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.

d. Contusio Cerebri

Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan

tipe centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau

kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada

lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling

berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda

koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan

pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan

bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah,

keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan

(decebracio rigiditas).

G. Pemeriksaan diagnostik

1. Spinal X ray

Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau

ruptur atau fraktur).

2. CT Scan

Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak

yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.

3. Myelogram

Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika

dicurigai.

4. MRI (magnetic imaging resonance)

Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas

terjadinya perdarahan otak.

9

Page 10: Lp+Lk Cedera Kepala 6

5. Thorax X ray

Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.

6. Pemeriksaan fungsi pernafasan

Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi

penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

7. Analisa Gas Darah

Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

H. Pengobatan dan Perawatan

a. Perawatan dirumah sakit

Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15 meliputi :

1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat

dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di

RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% ½ salin kira – kira 1500 – 2000 cc/24 jam

untuk orang dewasa.

2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba minum

sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar).

3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6

jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh dan dilatih

berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).

4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine, dengan

dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.

5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera

kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur – angsur berkurang

sampai 48 jam pertama.

b. Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13

Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13

1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15° – 30°)

hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.

2). Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.

3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada

perbaikan dapat diberikan vasopressor.

4). Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30 CC/KgBB/24jam.

5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang

lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk

memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 cc

Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi

10

Page 11: Lp+Lk Cedera Kepala 6

villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi

(stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi

metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan

ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam

dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih

cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di

dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk kedalam

system portal.

6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik

pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan kanan setiap 2

jam.

7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung

diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek

terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah

dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat

tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.

c. Transpor Oksigen

Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971, Peitzman, 1987,

Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:

1. Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk

kedalam darah.

Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan

hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi

menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya

akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya,

dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya :

1). Hipoksia – hipoksik : gangguan ventilasi-difusi

2). Hipoksia – stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi

3). Hipoksia – anemik : anemia

4). Hipoksia – histotoksik : gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun

HCN, sepsis).

Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik. Kandungan

oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus Nunn-Freeman (MacLean, 1971,

Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :

Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)

Hb = kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O2 = saturasi oksigen

dalam hemoglobin (%)

11

Page 12: Lp+Lk Cedera Kepala 6

1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut

1,36 atau 1,39

pO2 = tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg

0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.

2. Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan

Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi meningkat

(takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di daerah arterial

reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume sirkulasi berada di

daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena kembali ke sirkulasi

efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran untuk organ prioritas

(otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus.

Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion pressure)

untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat mengatasi SVR,

pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun. Vasokonstriksi yang

berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik (iscemic injury),

translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik

(Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan vasokonstriksi sudah

berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan katekolamin. Takikardia yang

berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan EDV menurun sehingga CO juga

turun. Cardiac output atau curah jantung adalah volume aliran darah yang membawa

oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah jantung (CO), frekwensi denyut jantung

(f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai berikut:

CO = f x SV

SV : dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR

EDV : volume ventrikel pada akhir diastole

C : contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)

SVR :Systemic Vascular Resistance

VR :Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan

normal VR = CO Available O2 = CO x Ca O2

Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)

Ca O2 : kandungan oksigen darah arterial.

3. Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan

Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika

oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin (Lentner,

19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ vital (otak,

jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila kadar Hb kurang

12

Page 13: Lp+Lk Cedera Kepala 6

dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan peningkatan curah jantung

dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico, 1993; Rotondo, 1993).

I. Pengkajian

a) General Impressions

Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.

Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera

Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b) Pengkajian Airway

Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien

dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas.

Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka

(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan

ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai

terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan

oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan

bebas?

Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:

Adanya snoring atau gurgling

Stridor atau suara napas tidak normal

Agitasi (hipoksia)

Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements

Sianosis

Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial

penyebab obstruksi :

Muntahan

Perdarahan

Gigi lepas atau hilang

Gigi palsu

Trauma wajah

Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.

Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk

mengalami cedera tulang belakang.

Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :

Chin lift/jaw thrust

13

Page 14: Lp+Lk Cedera Kepala 6

Lakukan suction (jika tersedia)

Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway

Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)

Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan

keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka

langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension

pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson &

Skinner, 2000).

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :

Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.

Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai

berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan

penggunaan otot bantu pernafasan.

Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous

emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.

Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.

Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.

Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter

dan kualitas pernafasan pasien.

Penilaian kembali status mental pasien.

Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan

Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:

Pemberian terapi oksigen

Bag-Valve Masker

Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika

diindikasikan

Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures

Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai

kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation

Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.

Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan

pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,

penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya

tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan

telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya

14

Page 15: Lp+Lk Cedera Kepala 6

menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera

adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.

Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien

secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :

Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.

CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.

Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan

secara langsung.

Palpasi nadi radial jika diperlukan:

Menentukan ada atau tidaknya

Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)

Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)

Regularity

Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).

Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities

Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :

A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang

diberikan

V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa

dimengerti

P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas

awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)

U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri

maupun stimulus verbal.

f) Expose, Examine dan Evaluate

Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga

memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.

Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu

diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya

selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup

pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan

ulang (Thygerson, 2011).

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka

Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:

Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien

15

Page 16: Lp+Lk Cedera Kepala 6

Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan

mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.

(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009

J. Diagnosa keperawatan1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.

3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.

4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.

5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit

meningkat.

7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.

8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula

oblongata.

K. Intervens

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional

Gangguan

perfusi jaringan

b/ d oedema

cerebri,

meningkatnya

aliran darah ke

otak.

Gangguan perfusi jaringan

tidak dapat diatasi setelah

dilakukan tindakan

keperawatan selama 2x 24 jam

dengan KH :

- Mampu mempertahankan

tingkat kesadaran

- Fungsi sensori dan motorik

membaik.

- Pantau status neurologis

secara teratur.

- Evaluasi kemampuan

membuka mata (spontan,

rangsang nyeri).

- Kaji respon motorik

terhadap perintah yang

sederhana.

Mengkaji adanya

kecenderungan pada

tingkat kesadaran dan

potensial peningkatan TIK

dan bermanfaat dalam

menentukan lokasi,

perluasan dan

perkembangan kerusakan

SSP

Menentukan tingkat

kesadaran

Mengukur kesadaran

secara keseluruhan dan

kemampuan untuk

berespon pada rangsangan

eksternal.

Dikatakan sadar bila

pasien mampu meremas

atau melepas tangan

pemeriksa.

16

Page 17: Lp+Lk Cedera Kepala 6

- Pantau TTV dan catat

hasilnya.

- Anjurkan orang terdekat

untuk berbicara dengan

klien

- Kolaborasi pemberian

cairan sesuai indikasi

melalui IV dengan alat

kontrol

Peningkatan tekanan darah

sistemik yang diikuti

dengan penurunan tekanan

darah diastolik merupakan

tanda peningkatan TIK .

Peningkatan ritme dan

disritmia merupakan tanda

adanya depresi atau trauma

batang otak pada pasien

yang tidak mempunyai

kelainan jantung

sebelumnya.

Nafas yang tidak teratur

menunjukan adanya

peningkatan TIK

Ungkapan keluarga yang

menyenangkan klien

tampak mempunyai efek

relaksasi pada beberapa

klien koma yang akan

menurunkan TIK

Pembatasan cairan

diperlukan untuk

menurunkan Oedema

cerebral: meminimalkan

fluktuasi aliran vaskuler,

tekanan darah (TD) dan

TIK

Gangguan rasa

nyaman nyeri b/

d peningkatan

tekanan intra

kranial.

Rasa nyeri berkurang setelah

dilakukan tindakan

keperawatan selama 2 x 24 jam

dengan KH :

- pasien mengatakan nyeri

berkurang.

- Pasien menunjukan skala

- Teliti keluhan nyeri,

catat intensitasnya,

lokasinya dan lamanya.

Mengidentifikasi

karakteristik nyeri

merupakan faktor yang

penting untuk menentukan

terapi yang cocok serta

mengevaluasi keefektifan

dari terapi.

17

Page 18: Lp+Lk Cedera Kepala 6

nyeri pada angka 3.

- Ekspresi wajah klien rileks.

- Catat kemungkinan

patofisiologi yang khas,

misalnya adanya infeksi,

trauma servikal.

- Berikan kompres dingin

pada kepala

Pemahaman terhadap

penyakit yang

mendasarinya membantu

dalam memilih intervensi

yang sesuai.

Meningkatkan rasa

nyaman dengan

menurunkan vasodilatasi.

Perubahan

persepsi sensori

b/ d penurunan

kesadaran,

peningkatan

tekanan intra

kranial.

Fungsi persepsi sensori

kembali normal setelah

dilakukan perawatan selama 3x

24 jam dengan KH :

- mampu mengenali orang

dan lingkungan sekitar.

- Mengakui adanya

perubahan dalam

kemampuannya.

- Evaluasi secara teratur

perubahan orientasi,

kemampuan berbicara,

alam perasaan, sensori

dan proses pikir.

- Kaji kesadaran sensori

dengan sentuhan, panas/

dingin, benda tajam/

tumpul dan kesadaran

terhadap gerakan.

- Bicara dengan suara

yang lembut dan pelan.

Gunakan kalimat pendek

dan sederhana.

Pertahankan kontak

mata.

Fungsi cerebral bagian atas

biasanya terpengaruh lebih

dahulu oleh adanya

gangguan sirkulasi,

oksigenasi. Perubahan

persepsi sensori motorik

dan kognitif mungkin akan

berkembang dan menetap

dengan perbaikan respon

secara bertahap

Semua sistem sensori

dapat terpengaruh dengan

adanya perubahan yang

melibatkan peningkatan

atau penurunan sensitivitas

atau kehilangan sensasi

untuk menerima dan

berespon sesuai dengan

stimuli.

Pasien mungkin

mengalami keterbatasan

perhatian atau pemahaman

selama fase akut dan

penyembuhan. Dengan

tindakan ini akan

membantu pasien untuk

18

Page 19: Lp+Lk Cedera Kepala 6

- Berikan lingkungan

tersetruktur rapi, nyaman

dan buat jadwal untuk

klien jika mungkin dan

tinjau kembali.

- Gunakan penerangan

siang atau malam.

- Kolaborasi pada ahli

fisioterapi, terapi

okupasi, terapi wicara

dan terapi kognitif.

memunculkan komunikasi.

Mengurangi kelelahan,

kejenuhan dan

memberikan kesempatan

untuk tidur REM

(ketidakadaan tidur REM

ini dapat meningkatkan

gangguan persepsi

sensori).

Memberikan perasaan

normal tentang perubahan

waktu dan pola tidur.

Pendekatan antar disiplin

ilmu dapat menciptakan

rencana panatalaksanaan

terintegrasi yang berfokus

pada masalah klien

Gangguan

mobilitas fisik

b/d spastisitas

kontraktur,

kerusakan saraf

motorik.

Pasien dapat melakukan

mobilitas fisik setelah

mendapat perawatan dengan

KH :

- tidak adanya kontraktur,

footdrop.

- Ada peningkatan kekuatan

dan fungsi bagian tubuh

yang sakit.

- Mampu

mendemonstrasikan

aktivitas yang

memungkinkan

dilakukannya

- Periksa kembali

kemampuan dan keadaan

secara fungsional pada

kerusakan yang terjadi.

- Pertahankan kesejajaran

tubuh secara fungsional,

seperti bokong, kaki,

tangan. Pantau selama

penempatan alat atau

tanda penekanan dari

alat tersebut.

Mengidentifikasi

kerusakan secara

fungsional dan

mempengaruhi pilihan

intervensi yang akan

dilakukan.

Penggunaan sepatu tenis

hak tinggi dapat membantu

mencegah footdrop,

penggunaan bantal,

gulungan alas tidur dan

bantal pasir dapat

membantu mencegah

terjadinya abnormal pada

bokong.

19

Page 20: Lp+Lk Cedera Kepala 6

- Berikan/ bantu untuk

latihan rentang gerak

- Bantu pasien dalam

program latihan dan

penggunaan alat

mobilisasi. Tingkatkan

aktivitas dan partisipasi

dalam merawat diri

sendiri sesuai

kemampuan.

Mempertahankan mobilitas

dan fungsi sendi/ posisi

normal ekstrimitas dan

menurunkan terjadinya

vena statis.

Proses penyembuhan yang

lambat seringakli

menyertai trauma kepala

dan pemulihan fisik

merupakan bagian yang

sangat penting.

Keterlibatan pasien dalam

program latihan sangat

penting untuk

meningkatkan kerja sama

atau keberhasilan program.

Resiko tinggi

infeksi b/ d

jaringan trauma,

kerusakan kulit

kepala.

Tidak terjadi infeksi setelah

dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x 24 jam

dengan KH :

- Bebas tanda- tanda infeksi

- Mencapai penyembuhan

luka tepat waktu

- Berikan perawatan

aseptik dan antiseptik,

pertahankan teknik cuci

tangan yang baik.

- Observasi daerah kulit

yang mengalami

kerusakan, daerah yang

terpasang alat invasi,

catat karakteristik

drainase dan adanya

inflamasi.

- Batasi pengunjung yang

dapat menularkan infeksi

atau cegah pengunjung

yang mengalami infeksi

saluran nafas atas.

- Kolaborasi pemberian

atibiotik sesuai indikasi.

Cara pertama untuk

menghindari nosokomial

infeksi.

Deteksi dini perkembangan

infeksi memungkinkan

untuk melakukan tindakan

dengan segera dan

pencegahan terhadap

komplikasi selanjutnya.

Menurunkan pemajanan

terhadap pembawa kuman

infeksi.

Terapi profilaktik dapat

digunakan pada pasien

yang mengalami trauma,

20

Page 21: Lp+Lk Cedera Kepala 6

kebocoran LCS atau

setelah dilakukan

pembedahan untuk

menurunkan resiko

terjadinya infeksi

nosokomial.

Gangguan

keseimbangan

cairan dan

elektrolit b/ d

haluaran urine

dan elektrolit

meningkat.

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 x 24 jam

ganguan keseimbangan cairan

dan elektrolit dapat teratasi

dengan KH :

- Menunjukan membran

mukosa lembab, tanda vital

normal haluaran urine

adekuat dan bebas oedema.

- Kaji tanda klinis

dehidrasi atau kelebihan

cairan.

- Catat masukan dan

haluaran, hitung

keseimbangan cairan,

ukur berat jenis urine.

- Berikan air tambahan/

bilas selang sesuai

indikasi

- Kolaborasi pemeriksaan

lab. kalium/fosfor serum,

Ht dan albumin serum.

Deteksi dini dan intervensi

dapat mencegah

kekurangan / kelebihan

fluktuasi keseimbangan

cairan.

Kehilangan urinarius dapat

menunjukan terjadinya

dehidrasi dan berat jenis

urine adalah indikator

hidrasi dan fungsi renal.

Dengan formula kalori

lebih tinggi, tambahan air

diperlukan untuk

mencegah dehidrasi.

Hipokalimia/ fofatemia

dapat terjadi karena

perpindahan intraselluler

selama pemberian makan

awal dan menurunkan

fungsi jantung bila tidak

diatasi.

Gangguan

kebutuhan

Pasien tidak mengalami

gangguan nutrisi setelah

- Kaji kemampuan pasien

untuk mengunyah dan

Faktor ini menentukan

terhadap jenis makanan

21

Page 22: Lp+Lk Cedera Kepala 6

nutrisi b/ d

kelemahan otot

untuk menguyah

dan menelan

dilakukan perawatan selama 3

x 24 jam dengan KH :

- Tidak mengalami tanda-

tanda mal nutrisi dengan

nilai lab. Dalam rentang

normal.

- Peningkatan berat badan

sesuai tujuan.

menelan, batuk dan

mengatasi sekresi.

- Auskultasi bising usus,

catat adanya penurunan/

hilangnya atau suara

hiperaktif.

- Jaga keamanan saat

memberikan makan pada

pasien, seperti

meninggikan kepala

selama makan atatu

selama pemberian

makan lewat NGT.

- Berikan makan dalam

porsi kecil dan sering

dengan teratur.

- Kaji feses, cairan

lambung, muntah darah.

- Kolaborasi dengan ahli

gizi.

sehingga pasien harus

terlindung dari aspirasi.

Fungsi bising usus pada

umumnya tetap baik pada

kasus cidera kepala. Jadi

bising usus membantu

dalam menentukan respon

untuk makan atau

berkembangnya

komplikasi seperti paralitik

ileus.

Menurunkan regurgitasi

dan terjadinya aspirasi.

Meningkatkan proses

pencernaan dan toleransi

pasien terhadap nutrisi

yang diberikan dan dapat

meningkatkan kerjasama

pasien saat makan.

Perdarahan subakut/ akut

dapat terjadi dan perlu

intervensi dan metode

alternatif pemberian

makan.

Metode yang efektif untuk

memberikan kebutuhan

kalori.

Gangguan pola Tidak terjadi gangguan pola - Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat

22

Page 23: Lp+Lk Cedera Kepala 6

nafas b/ d

obstruksi

trakeobronkial,

neurovaskuler,

kerusakan

medula

oblongata.

nafas setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama

2x 24 jam dengan KH :

- Memperlihatkan pola nafas

normal/ efektif, bebas

sianosis dengan GDA

dalam batas normal pasien.

kedalaman pernafasan.

Catat ketidakteraturan

pernafasan.

- Angkat kepala tempat

tidur sesuai aturan posisi

miring sesuai indikasi.

- Anjurkan pasien untuk

latihan nafas dalam yang

efektif jika pasien sadar.

- Auskultasi suara nafas.

Perhatikan daerah

hipoventilasi dan adanya

suara- suara tambahan

yang tidak normal.

(krekels, ronki dan

whiszing).

- Kolaborasi untuk

pemeriksaan AGD,

tekanan oksimetri.

- Berikan oksiegen sesuai

indikasi.

menunjukan komplikasi

pulmonal atau menandakan

lokasi/ luasnya keterlibatan

otak. Pernafasan lambat,

periode apneu dapat

menendakan perlunya

ventilasi mekanis.

Untuk memudahkan

ekspansi paru dan

menjegah lidah jatuh yang

menyumbat jalan nafas.

Mencegah/ menurunkan

atelektasis.

Untuk mengidentifikasi

adanya masalah paru

seperti atelektasis, kongesti

atau obstruksi jalan nafas

yang membahayakan

oksigenasi serebral atau

menandakan adanya

infeksi paru (umumnya

merupakan komplikasi

pada cidera kepala).

Menentukan kecukupan

oksigen, keseimbangan

asam-basa dan kebutuhan

akan terapi.

Mencegah hipoksia, jika

pusat pernafasan tertekan.

Biasanya dengan

mnggunakan ventilator

mekanis

23

Page 24: Lp+Lk Cedera Kepala 6

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar

Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.

American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course for

Physicians, ACS Chicago

Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.

Becker DP, Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury. In : Wilkins

RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill

Company, 1953.

Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and

Metabolism After Severe Traumatic Barin Injury : the elusive role of

ischemia. J. Neurosurg.

Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair

Surabaya.

Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on

Ishemic Injury Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal

Cerebral Ischemia.

Combs DJ, Dempsey RJ, Maley M et.al (1990), Relationship between plasma

glocose, brain lactate and intra cellular PH during cerebraal ischemia

in gebrils stroke.

Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins

RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York

Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.

Ishige N, Pitts LH et.al (1987), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in rats

Neurosurgery

Jenkins N, Pitts LH et.al (1987), Increased vulnerability of the traumatized brain to

early ischemia in Baethment A, Go CK and Unterberg A ( eds )

Mecahnism of Secondary brain demage.PC Worksho, Italy

Klatzo I. Chui E, Fujiware K (1980), Resulation of Vasogenic brain edema, Adv.

Neurol.

Klauber MF, Marshall LF et.al (1989), Determinants of Head Injury Mortality,

Importance of the Row Risk Patients.

24

Page 25: Lp+Lk Cedera Kepala 6

Kraus JF (1993), Epidemiology of Head Injury in Cooper P ( ed ) Head Injury.

Baltimore, William and Wilkins.

Narayan RK (1989), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In :

Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia :

WB Saunders

R. Zander, F. Mertzlufft (1990), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe

Germany.

Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.

Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala

Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.

Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes

Vincent J. Collins, (1996), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia Germany

Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas

Airlangga Surabaya.

25