Lp-BPH

28
LAPORAN PENDAHULUAN 1. Pengertian Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 1999). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2000). Dahulu disebut juga sebagai hipertrofi prostat jinak (Benign Prostat Hipertropy = BPH), istilah hipertrofi karena yang terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke periper dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Arief, 2000). 2. Etiologi Penyebab BPH belum jelas, namun terdapat faktor risiko umur dan hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun keatas (Mansjoer Arief, 2000). 3. Tingkatan BPH Dengan alat perondoskope dengan diukur / dilihat beberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen uretra. Grade I : 6

Transcript of Lp-BPH

Page 1: Lp-BPH

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian

Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) adalah kondisi patologis yang paling

umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk

intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 1999).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang menyebabkan

berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges,

2000). Dahulu disebut juga sebagai hipertrofi prostat jinak (Benign Prostat

Hipertropy = BPH), istilah hipertrofi karena yang terjadi adalah hiperplasia

kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke periper dan

menjadi simpai bedah (Mansjoer, Arief, 2000).

2. Etiologi

Penyebab BPH belum jelas, namun terdapat faktor risiko umur dan

hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria

usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi

perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun keatas

(Mansjoer Arief, 2000).

3. Tingkatan BPH

Dengan alat perondoskope dengan diukur / dilihat beberapa jauh penonjolan

lobus lateral ke dalam lumen uretra.

Grade I :

Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau

kencing tidak lancar, pancaran lemah, nokturia.

Grade II :

Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.

Grade III :

Gejala makin berat

Grade IV :

Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence

dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien

menggigil, panas 40-41° celsius, kesadaran menurun.

6

Page 2: Lp-BPH

Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :

a. Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.

- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.

- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.

- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.

- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.

b. Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh

kencing dahulu kemudian dipasang kateter.

- Normal : Tidak ada sisa

- Grade I : sisa 0-50 cc

- Grade II : sisa 50-150 cc

- Grade III : sisa > 150 cc

- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

4. Patogenesis

Menurut Mansjoer Arif (2000), ialah :

a. Teori Dehidrostetosteron (DHT)

Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron

menjadi dehidrotestosteron dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya

penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada

RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi

ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.

b. Teori Hormon

Estrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.

c. Faktor interaksi stroma dan epitel

Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth

Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan

konsentrasi yang lebih besar pada klien dengan pembesaran prostat

jinak. b-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi

atau infeksi.

7

Page 3: Lp-BPH

d. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan

mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan membentuk jaringan

prostat.

5. Patofisiologi

Pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron

estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron

menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)

menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon

tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah

menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.

Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-

sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan

kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya

perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan

patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan

oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher

vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor

dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan

prostat oleh sistem simpatis.

Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi

resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian

detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih

kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam

kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut

trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat

aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang

besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase

kompensasi otot dinding kandung kemih.

Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya

mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga

terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu

obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi

8

Page 4: Lp-BPH

dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu

permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah,

rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang

tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,

sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai

hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit

ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak

mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari

tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox

(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter

dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan

peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan

hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan

yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam

vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat

menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis

6. Manifestasi klinis

Biasanya pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urineary Tract

Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif (Mansjoer

Arief, 2000).

Gejala iritatif :

a. Sering miksi (frekuensi).

b. Terbangun untuk miksi pada malam hari (nocturia).

c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgency).

d. Nyeri pada saat miksi (disuria).

Gejala obstruktif :

a. Pancaran melemah.

b. Rasa tidak lampias sehabis miksi.

c. Kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitency).

d. Harus mengedan (straining).

9

Page 5: Lp-BPH

e. Miksi terputus-putus (intermittency).

f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urine dan

inkontinensia urine karena overflow.

Selain gejala diatas, gejala generalisata mungkin juga tampak

termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada

epigastrik. Gejala dan tanda pada klien yang telah lanjut penyakitnya,

misalnya gagal ginjal, yang dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan

darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, perikarditis, ujung kuku yang

pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah

terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di Costo

Vertebrae Angularis (CVA). Buli-buli yang distensi dapat dideteksi dengan

palpasi dan perkusi.

7. Pemeriksaan penunjang

Menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit

BPH, meliputi :

a. Pemeriksaan laboratorium

Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat

adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus

diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,

infeksi saluran kemih. Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah

merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.

Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar

penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.

1) Urinalisa : Warna kuning, coklat gelap, atau terang (berdarah);

penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan

infeksi); bakteri.

2) Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus,

Proteus, Klebsiella, Pseudomonas atau Escherchia coli.

3) Sitologi urine : Untuk mengesampingkan kanker kandung

kemih.

4) BUN / Kreatinin : Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.

10

Page 6: Lp-BPH

5) Asam fosfat serum / antigen khusus prostatik : Peningkatan

karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada

kanker prostat (dapat mengidentifikasikan metastase tulang).

6) Sel Darah Putih (SDP) : Mungkin lebih besar dari 11.000 mm3,

mengidentifikasikan infeksi bila klien tidak imunosupresi.

b. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen,

pielografi intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk

memperkirakan volume BPH.

c. Penentuan kecepatan aliran Urine : Mengkaji derajat obstruksi kandung

kemih.

d. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan perlambatan

pengosongan kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung

kemih.

e. Sistouretrografi berkemih : Digunakan sebagai ganti IVP untuk

memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan

bahan kontras lokal.

f. Sistogram : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk

mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.

g. Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan

dan perubahan dinding kandung kemih (kontra indikasi pada adanya

infeksi saluran kemih (ISK) akut sehubungan dengan risiko sepsis gram

negatif).

h. Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot destrusor dan tonusnya.

i. Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine;

melokalisasi lessi yang tak berhubungan dengan BPH.

8. Penatalaksanaan

Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan

kondisi klien (Mansjoer Arief, 2000).

a. Observasi

Dilakukan pada klien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan

ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi

11

Page 7: Lp-BPH

nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), dan

mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.

b. Terapi Medikamentosa

Penghambat adrenergik a

Obat yang biasa dipakai ialah prazosin, yang berfungsi untuk

mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas

destrusor.

Penghambat 5-a-reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride. Golongan obat ini dapat

menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar

akan mengecil.

c. Terapi Bedah

Waktu penanganan untuk tiap klien bervariasi tergantung berat ringannya

gejala dan komplikasi.

Indikasi absolut untuk terapi bedah, yaitu :

Retensio urine berulang.

Hematuri.

Tanda penurunan fungsi ginjal.

Infeksi saluran kemih berulang.

Tanda-tanda obstruksi berat, yaitu divertikel, hidroureter, dan

hidronefrosis.

Ada batu saluran kemih.

Engram, Barbara (1999) menyebutkan ada empat cara pembedahan

prostatektomi, masing-masing dengan hasil yang berbeda, yaitu:

1). Transurethral Resection of the Prostate (TURP)

a). Jaringan abnormal diangkat melalui rektoskop yang

dimasukan melalui uretra.

b). Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.

c). Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.

2). Prostatektomi suprapubik

a) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher

kandung kemih.

12

Page 8: Lp-BPH

b) Diperlukan verban luka drainase, kateter foley dan kateter

suprapubik setelah operasi.

3). Prostatektomi retropubis

a). Penyayatan dilakukan pada perut bagian bawah.

b). Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.

c). Diperlukan balutan luka, foley kateter, dan drainase.

4). Prostatektomi perineal

a). Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.

b). Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.

c). Vasektomi dilakukan sebagai pencegahan epididimistis.

d). Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi

(pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).

e). Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka

(drainase) dilekatkan pada tempatnya kemudian dibutuhkan

rendam duduk.

d. Terapi Invasif Minimal

Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT).

Dilatasi Balon Transurethral (TUBD).

High-instensity Focused Ultrasound.

Ablasi jarum Transuretra.

Stent Prostat.

9. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain sering dengan

semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin

tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran

kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. Kerusakan

traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan

penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan

tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis

urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah

keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria

menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan

sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis

13

Page 9: Lp-BPH

Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

b. Sirkulasi darah

Tanda : Peninggian tekanan darah (efek pembesaran ginjal).

c. Eliminasi

Gejala : Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-

raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan

kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih,

nokturia, disuria, hematuri, duduk untuk berkemih, inpeksi saluran kemih

berulang, riwayat batu (stasis urinaria), konstipasi (protrusi prostat

kedalam rektum).

d. Makanan / cairan

Gejala : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.

e. Nyeri / kenyamanan

Gejala : Nyeri Suprapubis, panggul, atau punggung; tajam, kuat, nyeri

punggung bawah.

f. Keamanan

Gejala : Demam.

g. Seksualitas

Gejala : Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan

seksual, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan

kekuatan kontraksi ejakulasi.

h. Penyuluhan / pembelajaran

Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal,

penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinarius atau

agen antibiotik, obat yang diual bebas untuk flu/alergi obat mengandung

simpatomimetik.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Diagnosa keperawatan Pra operasi

1) Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik;

pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidak

mampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat

14

Page 10: Lp-BPH

2) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung

kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.

3) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan

dengan pasca obstruksi urine dari drainase cepat kandung kemih

yang terlalu distensi secara kronis, Endokrin: ketidak seimbangan

elektrolit (disfungsi ginjal).

4) Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status

kesehatan; kemungkinan prosedur bedah, malu / hilang martabat

sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama dan

sesudah tindakkan; masalah tentang kemampuan seksualitas.

5) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,

prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang

terpajan/mengingat; salah interpretasi informasi, tidak mengenal

sumber informasi, masalah tentang area sensitive.

b. Diagnosa keperawatan Pasca operasi

1) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi

mekanikal : bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah,

tekanan dan iritasi kateter/balon.

2) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan

dengan area bedah vascular, kesulitan mengontrol perdarahan,

pembatasan pemasukkan praoperatif.

3) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur

invasive: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih

sering, trauma jaringan, insisi bedah (contoh perineal).

4) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih,

refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan/atau

tekanan dari balon kandung kemih (traksi).

5) Risiko disfungsi seksual sehubungan dengan situasi krisis

(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter,

keterlibatan area genital).

6) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,

prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang

15

Page 11: Lp-BPH

terpajan/mengingat; salah interpretasi informasi, tidak mengenal

sumber informasi.

3. Intervensi

Pasca Operasi

1) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi

mekanikal: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah,

tekanan dan iritasi kateter/balon.

Hasil yang diharapkan:

Klien menunjukkan prilaku yang meningkatkan kontrol kandung

kemih / urinaria, tidak ada retensi urine, menunjukan residu

paska berkemih kurang dari 50 ml, dapat berkemih dengan

posisi normal.

Rencana Tindakan :

a) Kaji keluaran urine dan sistem kateter / drainase,

khususnya selama irigasi kandung kemih.

b) Bantu klien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh;

berdiri, berjalan kekamar mandi dengan frekuensi sering

setelah kateter dilepas.

c) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan aliran-aliran

setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh

kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgency.

d) Anjurkan klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi

tidak lebih dari 2 – 4 jam / protocol.

e) Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik.

f) Upayakan pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.

g) Anjurkan klien untuk latihan perineal, contoh :

mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai

aliran urine.

h) Beri informasi pada klien bahwa penetesan setelah kateter

dilepas masih ada dan akan teratasi sesuai indikasi.

Kolaborasi :

16

Page 12: Lp-BPH

i) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continuous

bladder irrigation) sesuai indikasi periode paska operasi

dini.

Rasionalisasi :

a) Retensi dapat terjadi karena edema area bekuan darah,

dan spasme kandung kemih.

b) Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa

normalitas.

c) Kateter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi

berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa

waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.

d) Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine.

e) Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih.

Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas

kateter sampai tonus kandung kemih membaik.

f) Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk

aliran urine.

g) Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih spingter,

meminimalkan inkontinensia.

h) Informasi membantu klien untuk menerima masalah.

Fungsi normal dapat kembali dalam waktu 2 – 3 minggu

tetapi memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan

perineal.

i) Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris

untuk mempertahankan patensi kateter / aliran urine.

2) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan

berhubungan dengan area bedah vascular, kesulitan mengontrol

perdarahan, pembatasan pemasukkan praoperatif.

Hasil yang diharapkan:

Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital

stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik, membrane

mukosa lembab, dan keluaran urine tepat, serta menunjukkan

tak ada perdarahan aktif.

17

Page 13: Lp-BPH

Rencana Tindakan :

a) Hindari manipulasi kateter berlebihan.

b) Awasi pemasukkan dan pengeluaran.

c) Evaluasi warna dan konsistensi urine.

d) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan

pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,

perlambatan pengisian kapiler, dan membrane mukosa

kering.

e) Selidiki kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

f) Dorong pemasukkan cairan 3000 ml/hari kecuali

kontraindikasi.

g) Hindari pengukuran suhu rectal dan menggunakan selang

rectal / enema.

Kolaborasi :

h) Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh

Hb / Ht, jumlah sel darah merah.

i) Pertahankan traksi kateter menetap; plester kateter di

bagian dalam paha.

j) Kendorkan traksi dalam 4 – 5 jam.

k) Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi.

Rasionalisasi :

a) Gerakan/penarikan kateter dapat menyebabkan

perdarahan.

b) Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan

penggantian.

c) Dapat mengidentifikasikan diskrasia darah atau masalah

pembekuan darah.

d) Dehidrasi / hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk

mencegah berlanjut ke syock.

e) Dapat menunjukkan penurunan perfusi cerebral atau

indikasi edema cerebral karena kelebihan cairan selama

prosedur TURP.

18

Page 14: Lp-BPH

f) Membilas ginjal/kandung kemih dari bakteri dan debris

tetapi dapat menyebabkan intoksikasi cairan / kelebihan

cairan bila tidak diawasi dengan ketat.

g) Dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar

prostate dan peningkatan tekanan kapsul prostat dengan

resiko perdarahan.

h) Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan

penggantian.

i) Traksi terisi balon 30 ml diposisikan pada fosa uretral

prostate akan membuat tekanan pada aliran darah pada

kapsul prostat untuk membantu mencegah/mengontrol

perdarahan.

j) Traksi lama dapat menyebabkan trauma/masalah

permanen dalam mengontrol urine.

k) Pencegahan konstipasi/mengejan untuk defekasi

menurunkan resiko perdarahan rectal-perineal.

3) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur

invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung

kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah (contoh perineal).

Hasil yang diharapkan:

Mencapai waktu penyembuhan, dan tidak mengalami tanda

infeksi.

Rencana Tindakan :

a) Pertahankan sistem kateter steril; berikan perawatan

kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep

antibiotik disekitar sisi kateter.

b) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggiggil,

nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka dan disorientasi.

c) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.

d) Ganti balutan dengan sering (insisi supra/retropubik dan

perineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang

waktu.

Kolaborasi :

19

Page 15: Lp-BPH

e) Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasionalisasi :

a) Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/sepsis lanjut.

b) Klien yang mengalami sistoskopi dan / atau TURP prostat

berisiko untuk syock bedah/septik sehubungan dengan

manipulasi/instrumentasi.

c) Adanya drainase, insisi suprapubik meningkatkan risiko

untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase

purulen.

d) Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan

media pertumbuhan bakteri, peningkatan risiko infeksi

luka.

e) Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan

peningkatan risiko infeksi pada Prostatektomi

4) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung

kemih, refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah

dan/atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi).

Hasil yang diharapkan:

Melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan penggunaan

keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi

untuk situasi individu dan klien tampak rileks, tidur / istirahat

dengan tepat.

Rencana Tindakan :

a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10).

b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.

Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.

c) Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai

toleransi.

d) Berikan informasi akurat tentang kateter, drainase dan

spasme kandung kemih.

e) Berikan tindakan kenyamanan (pengubahan posisi, pijatan

punggung) dan aktivitas aktivitas terapeutik. Dorong

20

Page 16: Lp-BPH

penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan napas

dalam, visualisasi, pedoman imajinasi.

f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila

diindikasikan.

Kolaborasi :

g) Berikan antispasmodik.

Rasionalisasi :

a) Nyeri tajam, intermiten dengan dorongan berkemih /

pasase urine sekitar kateter menunjukan spasme kandung

kemih.

b) Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem,

merurunkan risiko distensi / spasme kandung kemih.

c) Menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan

konstan ke mukosa kandung kemih.

d) Menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerja sama

dengan prosedur tertentu.

e) Menurunkan ketegangan otot, memfokuskan kembali

perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan kooping.

f) Merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan

spasme dan nyeri.

g) Untuk mengurasi spasme

5) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,

prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan

kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi, tidak

mengenal sumber informasi.

Hasil yang diharapkan:

Menyatakan pemahaman prosedur bedah dan pengobatan.

Rencana Tindakan :

a) Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan.

b) Tekankan perlunya nutrisi yang baik; dorong konsumsi

buah, meningkatkan diet tinggi serat.

c) Diskusikan pembatasan aktivitas awal, contoh;

menghindari mengangkat berat latihan keras, duduk /

21

Page 17: Lp-BPH

mengendarai kendaraan terlalu lama, memanjat lebih dari

dua dari tingkat tangga sekaligus.

d) Dorong kesinambungan latihan perineal.

e) Instruksikan perawatan kateter urine bila ada. Identifikasi

sumber alat/dukungan.

f) Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik,

contoh; eritema, drainase purulen dari luka, perubahan dari

karakter / jumlah urine, adanya dorongan / frekuensi;

perdarahan berat, demam / menggiggil.

Rasionalisasi :

a) Memberikan dasar pengetahuan dimana klien dapat

membuat pilihan informasi.

b) Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi,

menurunkan risiko perdarahan pascaoperasi.

c) Peningkatan tekanan abdominal / meregangkan yang

menempatkan stress pada kandung kemih dan prostat,

menimbulkan risiko perdarahan.

d) Membantu kontrol urinaria dan menghilangkan

inkontinensia.

e) Meningkatkan kemandirian dan kompetensi dalam

perawatan diri.

f) Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi serius.

22

Page 18: Lp-BPH

POHON MASALAH

Bertambahnya Usia

Reaksi enzim 5-a-reduktase Produksi testosteron Reaksi enzim

Menurun 5-a-reduktase

DHT Konversi testosteron menjadi estrogen

DHT reseptor kompleks Tidak seimbang

dalam sitoplasma sel prostat

Inti sel Testosteron menurun Estrogen meningkat

terjadi inskripsi RNA

terjadi sintesis protein

Proliferasi sel

Pembesaran prostat

Perubahan pada Traktus urinarius Rangsangan pada vesika

akibat resistensi

Uretra Tonus trigonum kekuatan kontraksi

dan leher vesika destrusor

Fase kompensasi (penebalan destrusor) Kontraksi vesika meningkat

walaupun belum penuh

Dekompensasi otot destrusor

Iritasi mukosa

Nyeri akut

23

1) Nokturia, Urgency, Disuria

2) Frekuensi meningkat

Page 19: Lp-BPH

Kekuatan kontraksi destrusor menurun

Dekompensasi otot destrusor menurun/gagal

Dengan gejala obstruksi :

1) Hesitency

2) Intermittency

3) Terminal dribbling

4) Pancaran lemah

5) Rasa belum puas sehabis miksi

Terjadi hidronefrosis

disfungsi saluran kemih

Prostatektomi

Post operasi

Terpasang kateter irigasi bladder luka operasi konsumsi minum

Tekanan dan Kurang 2500 ml/24 jam 2500-3000 ml/24 jam

iritasi kateter

urine sedikit banyak terbentuk urine

nyeri akut terbentuk

aliran urine lancar

aliran urine tidak lancar

bekuan darah tidak

bekuan darah terbentuk terbentuk

Retensi urine

Distensi bladder perdarahan nyeri bladder perembesan urine

24