LP Anemia

16
A. Konsep Dasar Penyakit. 1.Definisi Anemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan / atau hitung eritrosit lebih rendah dari nilai normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl (normal : 14 – 16 g/dl) dan Ht < 40 % (normal : 40 – 48 vol %) pada pria atau Hb < 12 g/dl (normal : 12 – 14 g/dl) dan Ht < 37% (normal : 37- 43 vol %) pada wanita (Mnsjoer, 2001). Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) dan atau massa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer ( penurunan oxygen carrying capacity) ( Lubis, 2006). Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani & Haribowo, 2008). Dapat disimpulkan bahwa anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hb dan / atau hitung eritrosit lebih rendah dari nilai normal yaitu Hb < 14 g/dl dan Ht < 40 % pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. 2.Epidemiologi Anemia. Secara global, prevalensi anemia dari tahun 1993 – 2005 yang dilakukan oleh WHO mengenai 1, 62 milyar orang.

description

laporan pendahuluan anemia

Transcript of LP Anemia

Page 1: LP Anemia

A. Konsep Dasar Penyakit.

1. Definisi Anemia.

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan / atau hitung eritrosit lebih

rendah dari nilai normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl (normal : 14 –

16 g/dl) dan Ht < 40 % (normal : 40 – 48 vol %) pada pria atau Hb < 12 g/dl (normal :

12 – 14 g/dl) dan Ht < 37% (normal : 37- 43 vol %) pada wanita (Mnsjoer, 2001).

Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)

dan atau massa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer ( penurunan oxygen

carrying capacity) ( Lubis, 2006).

Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin

yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan

tubuh (Handayani & Haribowo, 2008).

Dapat disimpulkan bahwa anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hb dan /

atau hitung eritrosit lebih rendah dari nilai normal yaitu Hb < 14 g/dl dan Ht < 40 %

pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita sehingga tidak dapat

memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan

perifer.

2. Epidemiologi Anemia.

Secara global, prevalensi anemia dari tahun 1993 – 2005 yang dilakukan oleh

WHO mengenai 1, 62 milyar orang. Prevalensi tertinggi pada anak- anak sebelum

sekolah (47, 4 %), dan terendah pada pria (12, 7%). Di Indonesia sendiri, pada tahun

2006, dilaporkan angka anemia terjadi pada 9.608 ( Lubis, 2006).

3. Etiologi Anemia.

Hemolisis (eritrosit mudah pecah)

Perdarahan

Penekanan sumsum tulang (misalnya oleh kanker)

Defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi  defisiensi besi, folic acid,

piridoksin, vitamin C dan copper

Anemia terjadi sebagai akibat gangguan, atau rusaknya mekanisme produksi

sel darah merah. Penyebab anemia adalah menurunnya produksi sel-sel darah

Page 2: LP Anemia

merah karena kegagalan dari sumsum tulang, meningkatnya penghancuran sel-sel

darah merah, perdarahan, dan rendahnya kadar ertropoetin, misalnya pada gagal

ginjal yang parah. Gejala yang timbul adalah kelelahan, berat badan menurun,

letargi, dan membran mukosa menjadi pucat. Apabila timbulnya anemia perlahan

(kronis), mungkin hanya timbul sedikit gejala, sedangkan pada anemia akut yang

terjadi adalah sebaliknya

(Fadil, 2005).

4. Patofisiologi Terjadinya Penyakit Anemia.

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan

sel darah merah secara berlebihan atau keduanya.  Kegagalan sumsum dapat terjadi

akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat

penyebab yang tidak diketahui.  Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau

hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai

dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam

system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa.  Hasil samping proses ini

adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah.  Setiap kenaikan destruksi sel

darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma

(konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada

sclera).

Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada

kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma

(hemoglobinemia).  Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin

plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya,

hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin

(hemoglobinuria)

(Fadil, 2005). 

Pathway terlampir

5. Klasifikasi Anemia.

Menurut Mansjoer (2007) klasifikasi anemia yaitu :

Page 3: LP Anemia

5.1 Anemia Mikrositik Hipokrom :

Anemia Defisiensi Besi.

Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia paling

banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi

cacing tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan

menimbulkan anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia.

Anemia Penyakit Kronik.

Penyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti

infeksi ginjal, paru-paru (abses, empiema dll), inflamasi kronik (artritis

reumatoid) dan neoplasma.

5.2 Anemia Makrositik :

Defisiensi Vitamin B12.

Kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik terjadi karena gangguan

absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun, namun di

Indonesia penyebab anemia ini adalah karena kekurangan masukan vitamin

B12 dengan gejala-gejala yang tidak berat.

Defisiensi Asam Folat.

Anemia defisiensi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi di

seluruh saluran cerna. Gejalanya yaitu perubahan megaloblastik pada mukosa,

mungkin dapat ditemukan gejala-gejala neurologis, seperti gangguan

kepribadian.

5.3 Anemia karena perdarahan.

Perdarahan akut akan timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak,

sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian.

Perdarahan Kronik biasanya sedikit - sedikit sehingga tidak diketahui pasien.

Penyebab yang sering adalah ulkus peptikum dan perdarahan saluran cerna

karena pemakian analgesik.

5.4 Anemia Hemolitik.

Pada anemia hemolitik terjadi penurunn usia sel darah merah ( normal 120

hari). Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak mampu

mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek.

5.5 Anemia Aplastik.

Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel

darah. Hal ini bisa karena kongenital namun jarang terjadi.

Page 4: LP Anemia

6. Gejala Klinis Anemia.

Menurut Handayani & Haribowo (2008) tanda-tanda Anemia meliputi:

6.1 Gejala Umum anemia

Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome. Gejala

umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis

Anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah

titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme

kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila

diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah:

a) Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat

beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.

b) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,

kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.

c) Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.

d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta

rambut tipis dan halus.

6.2 Gejala Khas Masing-masing anemia

Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai

berikut :

a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.

b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)

c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.

d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi.

7. Pemeriksaan Fisik Pada Pasien Anemia.

Keadaan umum

Tanda-tanda vital (RR, TD, nadi, temperatur)

Ikterus, splenomegali, hepatomegali

Perdarahan dan tanda-tanda infeksi

Disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilynochia).

Page 5: LP Anemia

Lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kaki

terasa dingin, sesak nafas, dispepsia, pucat pada konjungtiva,mukosa mulut,

telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku

8. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang Pada Anemia.

Menurut Mansjoer (2007) Pemeriksaan Laboratorium anemia yaitu :

8.1 Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran

kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada

pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat

sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan,

yaitu trimester I dan III.

8.2 Penentuan Indeks Eritrosit

Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau

menggunakan rumus:

a. Mean Corpusculer Volume (MCV)

MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila

kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.

MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia

dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit

dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan

makrositik > 100 fl.

b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)

MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung

dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31

pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)

MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan

membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom <

30%.

8.3 Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Page 6: LP Anemia

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan

menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,

sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah

dapat dilihat pada kolom morfology flag.

8.4 Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih

relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat

klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk

mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW

merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta

lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah

bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat

besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi

diagnostik. Nilai normal 15 %.

8.5 Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan

beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik

pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah

serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam

individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi

individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam

praktik klinis masih jarang.

8.6 Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah

cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum

karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang

rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi

kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai

kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang

spesifik.

Page 7: LP Anemia

8.7 Serum Transferin (Tf)

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi

serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun

secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.

8.8 Pemeriksaan Sumsum Tulang

Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,

walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum

tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda

karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.

Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian

pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan.

Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai

untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum (Fadil, 2005).

9. Penatalaksanaan Pada Pasien Anemia

Terapi Penanganan Menurut Handayani & Haribowo (2008) Pada Pasien

Anemia :

Pada setiap kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini:

Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan.

Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien.

9.1 Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:

a. Terapi gawat darurat

Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka

harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang

dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.

b. Terapi khas untuk masing-masing anemia

Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat besi

untuk anemia defisiensi besi.

c. Terapi kausal

Page 8: LP Anemia

Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi

penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi

cacing tambang harus diberikan obat anti-cacing tambang.

d. Terapi ex-juvantivus (empiris)

Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini

berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi hanya dilakukan jika tidak

tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini,

penderita harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respons

9.2 Pencegahan anemia

Upaya-upaya untuk mencegah anemia, antara lain sebagai berikut:

a. Makan makanan yang mengandung zat besi dari bahan hewani (daging, ikan,

ayam, hati, dan telur); dan dari bahan nabati (sayuran yang berwarna hijau tua,

kacang-kacangan, dan tempe).

b. Banyak makan makanan sumber vitamin c yang bermanfaat untuk meningkatkan

penyerapan zat besi, misalnya: jambu, jeruk, tomat, dan nanas.

c. Minum 1 tablet penambah darah setiap hari, khususnya saat mengalami haid.

d. Bila merasakan adanya tanda dan gejala anemia, segera konsultasikan ke dokter

untuk dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan

10. Komplikasi Anemia.

Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita

anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau

gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena

harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat

ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin.

Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu

perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak

(Fadil, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Page 9: LP Anemia

Dochterman, Joanne Mccloskey, Bulechek, Gloria M. (2008). Nursing Interventions

Classification (NIC), Fifth Edition. Missouri: Mosby

Fadil, M.(2005). Konsep Dasar Anemia. Available at

http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=28334. Diakses pada 8 Desember 2014.

Handayani, A & Haribowo, B. 2008. Tinjauan Pustaka Anemia. Available at

http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=6281. Diakses pada 8 Desember 2014.

Lubis, Dian. (2006). Anemia Defisiensi Besi. Available at

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter%20II.pdf. Diakses

pada 8 Desember 2014.

Mansjoer, Arif. (2007). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta : Media

Aesculapius.

Morhead, Sue, Johnson, Marion, Maas, Meriden L., Swanson, Elizabeth. (2008). Nursing

Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. Missouri: Mosby

NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.

Jakarta: EGC

Page 10: LP Anemia

Lampiran

Pathway Anemia

Defisiensi nutrient Hemolisis (Eritrosit mudah pecah)

Penekanan sumsum tulang (misalnya: kanker)

Perdarahan

ANEMIA

Intoleransi aktivitas

ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

anoreksia

Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari dari kebutuhan

tubuh

Intake nutrisi inadekuat

Mual/muntah

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer

penurunan transport O2 ke jaringan

hipoksia, pucat, lemah

Kurang paparan informasi

Defisiensi pengetahuan

Penurunan produksi sel-sel darah merah

Rusaknya mekanisme produksi sel darah merah

Mual

Berkurangnya Hb dalam darah

Page 11: LP Anemia

Keletihan

Imunitas menurun

Terjadi infeksi ditandai

dengan nilai Leukosit naik

Respon tubuh terjadi

peningkatan suhu

Hipertermi