lp 2 igd syokk anali.docx
-
Upload
aditya-bibeh -
Category
Documents
-
view
223 -
download
3
Transcript of lp 2 igd syokk anali.docx
LAPORAN PENDAHULUAN
SYOK ANAFILAKTIF
1. Definisi
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reaksi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan
permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7, hal 144).
Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau
cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).
Anafilaktik adalah kumpulan gejala yang ditimbulkan karena reaksi akut terhadap zat
asing pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi ( segera / reaksi
immunitas hipersensitif tak langsung ).
2. Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun
melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti
makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang
dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
a. Anafilaksis (melalui IgE)
1) Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)
2) Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
3) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
4) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung :
1) Obat (opiat, vankomisin, kurare)
2) Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
3) Obat lain (dekstran, flouresens)
4) Aktivasi komplemen
5) Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
6) Bahan dialisis
7) Modulasi metabolisme
8) Asam asetilsalisilat
9) Antiinflamasi nonsteroid
3. Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi
baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang
tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan
serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar
meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator
menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema
saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme
tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I.
Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung
melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis,
kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik
(seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan
dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor
pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming
precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor
spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab.
Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang
berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini
akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE
– Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi
dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet
Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-
sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena dapat
dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya
memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula
proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh
enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi
prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of
Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses
terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat
anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung
mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine oleh
sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini
disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti
reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan,
aktivasi kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-
tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat
berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak nafas,
kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran
cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok.
Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat
menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh
histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat
meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula
disebabkan oleh PAF.
4. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
a. Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
b. Pernapasan :
1) Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
2) Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
3) Lidah : edema
4) Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
c. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia.
Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard
d. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai darah,
peristaltik usus meninggi.
e. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
f. Mata : gatal, lakrimasi
g. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang
5. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan
beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a. Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas
alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure
dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu
pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
b. Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi anafilaktik,
keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat
yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat
mengancam kehidupan.
c. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen
imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang disensitisasi
oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung (
non imunologik ) pada pelepasan histamin.
d. Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada RAST,
suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi
dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi
pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif
ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .
6. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan
lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat
masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai
maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah
berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis
epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau
sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di
bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang
torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut
dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di
perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :
a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular,
tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan
kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran
napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis
adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada
kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut.
Tetapi pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi
trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah
beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas
tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya
dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan
dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar.
Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun pada
kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti pada
gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau
agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi
atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian epinefrin menandakan
bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan
intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma,
dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk
cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes
ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat
menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular dan
pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini selain untuk
memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai
untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat
untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml
epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4
mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan
dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa
endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti
pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta
blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk
karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi
agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin
dan kortikosteroid secara intravena.
b) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1dangan AH2 bekerja secara kinergistik
terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat
diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan
IV. Untuk AH2seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20
ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin.
c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas
maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi
anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan
berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai
memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya.
Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat menolong untuk membedakan kasus yang luar biasa atau
menilai penatalaksanaan yang sedang dikerjakan.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan hematokrit yang meningkat akibat
hemokonsentrasi.
Bila terjadi kerusakan miokard maka pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan
peninggian enzim SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH (dehidrogenase laktat).
Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi) dengan atau tanpa atelektasis.
Pada beberapa kasus dapat terlihat edema paru.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi infark miokard maka perubahan
EKG biasanya bersifat sementara berupa depresi gelombang S-T, bundle branch
block,fibrilasi atrium dan berbagai aritmia ventrikular.
8. Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I. Greenberg, Teks-Atlas
Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24).
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
DENGAN SYOK ANAFILAKTIK
1. Pengkajian
Pengkajian
a. Anamnesa
Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang dicurigai, yang
mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan sebelum kita memberikan setiap obat,
terutama obat suntikan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien dengan reaksi anafilaksis ditemukan gejala awal dengan rasa gatal dan
panas.biasanya selalu disertai dengan gejala sistemik misal dispnea,mual,kulit
sianosis,kejang.anamnesa yang tepat dapat memperkecil gejala sistemik sebelum berlanjut
pada fase yang lebih parah/gejala sistemik berat.
c. Riwayat penyakit dahulu
Apakah klien mempunyai riwayat alergi terhadap sesuatu.pernahkah klien mengalami hal
yang sama saat setelah kontak dengan alergen misal,debu,obat-abatan,makanan,atau kontak
dengan hewan tertentu.
d. Riwayat penyakit keluarga
Apakah salah satu dari anggota keluarga pernah mengalami alergi.punyakah keluarga riwayat
penyakit alergi lain misal, asma.
Pemeriksaan fisik
· Jalan napas atas
Inspeksi : Bersin, pilek, dispneu.
Palpasi : edema laring,edema lidah dan faring
Auskultasi : ronchi
· Jalan napas bawah
Inspeksi : Dispnu
emfisema akut, asma, bronkospasme.
· GIT
Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang perut, diare.
· Susunan saraf pusat
Gelisah, kejang
b. Primary Survey
1) Airway
a) Pengkajian
Adanya rasa tercekik di daerah leher, suara serak sebab edema pada laring. Hidung terasa
gatal, bersin hingga tersumbat. serta adanya batuk, dan bunyi mengi. Ditemukan edema pada
lidah.
b) Diagnosa
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan napas
c) Intervensi
i. Kaji frekuensi kedalaman upaya bernapas..
R/ untuk mengetahui kemampuan ekspirasi inspirasi pasien.
ii. Buka jalan napas dengan headtill dan chinlift.
R/ Membantu pembukaan jalan napas
ii. Lakukan suction.
R/ untuk mengeluarkan faktor penyebab obstruksi.
iv. broncholitic, pemasangan entotracheal tube.
R/ untuk mengeluarkan secret
2) Breathing
a) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik ditemukan adanya batuk dan sesak napas akibat spasme pada
bronkus, bunyi stridor pada auskultasi paru.
b) Diagnosa
Ketidakefektifan pola napas b/d spasme otot bronkus.
c) Intervensi
i. Kaji frekuensi napas
R/ untuk mengetahui kelainan pada saluran pernapasan.
ii. Berikan posisi semifowler
iii. Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan
R/ Untuk menurunkan hipoksia cerebral
iv. Pemberian bronkodilator
R/ Mengatasi bronkospasme.
3) Circulation
d) Pengkajian
Terjadi hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau
tanda-tanda infark miokard. Gelisah, pusing
e) Diagnosa
Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d penurunan curah jantung dan vasodilatasi arteri
f) Intervensi :
i. Kaji kulit pucat, dingin atau lembab,catat kekuatan nadi .
R/penurunan curah jantung di buktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.
ii. Pertahankan kepatenan kardiovaskular. Berikan cairan IV.
R/ meningkatkan volume tekanan darah saat terjadi penurunan tahanan cardiovaskular .
iii. Pemberian epinefrin
R/ memengaruhi tekanan darah.
.
4) Disability
a) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik, akan mengalamai penurunan
kesadaran. Diakibatkantransport oksigen ke otak yg tidak mencukupi ( menurunnya curah
jantung –hipotensi) yang akhirnya darah akan sulit mencapai jaringan otak.Pasien dengan
syok anafilaktik biasanya terjadi gelisah dan kejang.
5) Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.
b. Secondary Survey
1) Catat adanya drainase dari mata dan hidung
2) Inspeksi lidah dan mukosa oral
3) Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
4) Kaji peristaltik saluran GI
5) Pemeriksaan diagnostic eosinofil.
6) Pemeriksaan fisik
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi ditandai dengan
sesak napas,takikardia, kulit pucat, hipotensi renjatan, dan ada spasme bronkus.
2. perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder terhadap
gangguan vaskuler akibat reaksi anafilaktik ditandai dengan ada palpitasi, kulit pucat, akral dingin,
hipotensi, angioedema, aritmia, gambaran EKG gelombang T mendatar dan terbalik.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pembengkakan dinding mukosa hidung ditandai
dengan sesak napas, napas dengan bibir, ada rinitis
4. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi gastrik ditandai dengan sakit perut, tampak meringis sambil
memegang perut.
5. Resiko terhadap penghentian pernapasan, dengan faktor resiko terjadi oedema laring.
6. nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah.
7. .gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi anfilaktik ditandai dengan pruritus/ gatal,
ada hives berbatas jelas.
8. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi ditandai dengan bengkak dan
gatal pada kulit dan hidung, ada hives, urtikaria, dan hidung berair.