LITBANG TERPADU -...

60
EDISI II TAHUN 2015 ISSN: 18299059 LITBANG TERPADU HADIRKAN SOLUSI SEIRING INOVASI PEMBUKTIAN KERJA CERDAS BALITBANG SIMOWA SISTEM MODULAR WAHANA APUNG REVITALISASI DANAU TEMPE

Transcript of LITBANG TERPADU -...

EDISI II TAHUN 2015 ISSN: 18299059

LITBANG TERPADU

HADIRKAN SOLUSI SEIRING INOVASI

PEMBUKTIAN KERJA CERDAS BALITBANG

SIMOWASISTEM

MODULAR WAHANA

APUNG

REVITALISASIDANAU

TEMPE

PRODUK UNGGULAN

JUDESA

EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI AIR TANAH IRIGASI MIKRO

SELIMUT API

Jembatan Gantung Untuk Pedesaan AsimetrisJUDESA adalah jembatan hasil pabrikasi yang dapat disiapkan terlebih dahulu sebelum dikirim ke lokasi, sehingga membuat waktu pengerjaan lebih cepat

Keunggulan• Sistem jembatan modular untuk kemudahan pembangunan dengan swadaya masyarakat • Penggunaan tiang tunggal yang dapat mengurangi biaya material struktur jembatan.• Metoda konstruksi satu arah/dari satu sisi sungai • Pengurangan komponen sistem pengaku ikatan angin menggunakan sistem struktur lantai yang monolit. Lokasi Judesa:

Desa Cihawuk - Desa CibeureumKecamatan Kertasari,

Kabupaten Bandung Jawa BaratKoordinat GPS :

7° 11' 36,19'' LS 107° 41' 23,69'' BT

Lahan kering memiliki keterbatasan sumber air, dengan menggunakan

TANGKI AIR

NUTRISI

Jaringan IrigasiAir Tanah(JIAT)

penerapan teknologi “Irigasi Mikro” distribusi irigiasi air dapat merata, menambah kandungan nutrisi air untuk tanaman dan mendapatkan e�siensi penggunaan air.

Terbuat dari lembaran kain tahan api yang mudah lentur dan digunakan untuk memadamkan api kecil pada kebakaran tahap awal.

KEUNGGULAN• Praktis dalam penggunaan• Tidak mudah menyala/terbakar• Pengganti karung goni• Tidak perlu direndam air, siap pakai• Menggunakan bahan dasar air dengan kandungan DAPAS 15, ramah lingkungan•100% menggunakan bahan lokal

EDISI II TAHUN 2015 1

Dari Ruang Redaksi

RedaksiPembinaArie Setiadi Moerwanto

Penanggung Jawab BernaldyWilliam M. PutuhenaHerry VazaArief SabaruddinBobby Prabowo

Pemimpin Umum Enny Kusnaty

Pemimpin Redaksi Iwan Suprijanto

Dewan Redaksi DjamaludinKuat Pudjianto

Redaktur Pelaksana Heny PrasetyawatiMochamad Mulya PermanaNurainiFasma HandayaniMuhamad Syukur

Editor Nanda Ika Dewi Kumalasari

Fotografer Rizki Akbar Maulana

Tata Letak Dodi Kurniadi

Sekretariat Ratna Firman RatriLady Ivone Ade

Alamat Redaksi Dinamika Riset Gedung Heritage Lantai 3 Jl. Pattimura No 20, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Tel : (021) 7245083, 7257043, 7226302 Fax : (021) 7395062 E-mail : [email protected]

Menjelang akhir tahun setiap badan publik akan menggenjot kinerjanya semaksimal mungkin, demi mengejar target-target

yang sudah ditentukan. Begitu pula dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Target yang sudah dibuat mau tak mau harus diwujudkan.

Masih dalam semangat mengejar pencapaian target kinerja, redaksi dengan semangat yang sama menghadirkan ulasan aktual mengenai sistem Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Terpadu. Hadir dalam rubrik fokus adalah buah pikir dari Kepala Balitbang PUPR Arie Setiadi Moerwanto. Dalam artikelnya, Pak Arie, demikian sapaannya, menekankan pentingnya bekerja cerdas dan menjaga kualitas produk litbang yang dihasilkan. Baginya tingkat kepercayaan pengguna terhadap produk-produk litbang adalah hal yang sangat penting dan harus tetap dijaga.

Selain artikel dari Kepala Balitbang, rubrik Fokus juga menghadirkan ulasan mngenai kegiatan Litbang Terpadu di kampung nelayan Tambak Lorok, Danau Tempe, dan juga Sistem Modular Wahana Apung (SIMOWA). Hadir juga opini dari kalangan akademisi, Prof. Budi Prayitno, yang berasal dari Universitas Gadjah Mada. Dalam rubrik Manajemen, redaksi menyajikan ulWasan mengenai Badan Layanan Umum. Balitbang sedang berupaya untuk mengarahkan unit-unitnya menjadi Badan Layanan Umum.

Redaksi juga turut menghadirkan isu aktual lain yang sayang untuk dilewatkan. Redaksi mengucapkan selamat membaca dan berdialektika.

Salam hangat.

Redaksi menerima artikel, tulisan akdemis dalam bentuk populer, yang terkait dengan penelitian dan pengembangan pada bidang-bidang sumber daya air, jalan dan jembatan, perumahan dan per-mukiman serta kebijakan dan penerapan teknologi.

Naskah ditulis minimal 1.000 kata dan maksimal 2.000 kata, tanpa foto. Foto dikirimkan terpisah da-lam bentuk file JPEG dengan resolusi minimal 300 dpi.

Naskah wajib disertai dengan identitas penulis dan dikirimkan melalui ke email redaksi.

Redaksi juga menerima saran maupun tanggapan yang dapat dikirimkan ke email redaksi.

PRODUK UNGGULAN

JUDESA

EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI AIR TANAH IRIGASI MIKRO

SELIMUT API

Jembatan Gantung Untuk Pedesaan AsimetrisJUDESA adalah jembatan hasil pabrikasi yang dapat disiapkan terlebih dahulu sebelum dikirim ke lokasi, sehingga membuat waktu pengerjaan lebih cepat

Keunggulan• Sistem jembatan modular untuk kemudahan pembangunan dengan swadaya masyarakat • Penggunaan tiang tunggal yang dapat mengurangi biaya material struktur jembatan.• Metoda konstruksi satu arah/dari satu sisi sungai • Pengurangan komponen sistem pengaku ikatan angin menggunakan sistem struktur lantai yang monolit. Lokasi Judesa:

Desa Cihawuk - Desa CibeureumKecamatan Kertasari,

Kabupaten Bandung Jawa BaratKoordinat GPS :

7° 11' 36,19'' LS 107° 41' 23,69'' BT

Lahan kering memiliki keterbatasan sumber air, dengan menggunakan

TANGKI AIR

NUTRISI

Jaringan IrigasiAir Tanah(JIAT)

penerapan teknologi “Irigasi Mikro” distribusi irigiasi air dapat merata, menambah kandungan nutrisi air untuk tanaman dan mendapatkan e�siensi penggunaan air.

Terbuat dari lembaran kain tahan api yang mudah lentur dan digunakan untuk memadamkan api kecil pada kebakaran tahap awal.

KEUNGGULAN• Praktis dalam penggunaan• Tidak mudah menyala/terbakar• Pengganti karung goni• Tidak perlu direndam air, siap pakai• Menggunakan bahan dasar air dengan kandungan DAPAS 15, ramah lingkungan•100% menggunakan bahan lokal

DINAMIKA RISET - DAFTAR ISI2

LITBANG TERPADU 4

Danau Tempe memiliki permasalahan banjir tahunan akibat pendangkalan dasar danau yang jika tidak segera diatasi dapat menambah luasan luapan banjir.

INFOSTAND 13-15

FOKUS 4

INFOSTAND 13

LITBANG 20

MANAJEMEN 42

KIPRAH 45

TOKOH 47

OPINI 50

LINGKAR 3D 55

RESENSI BUKU 56

Teluk Jakarta dengan panjang pantainya yang mencapai 32 km merupakan potensi pengembangan yang bernilai sangat tinggi.

Konsep litbang terpadu pada dasarnya adalah sistem kerja cerdas yang direncanakan oleh Balitbang sebagai penghasil teknologi untuk para calon pengguna

TEROWONGAN PERISAI: PENEROWONGAN DIPERKOTAAN DENGAN KONDISI TANAH LUNAK

13

LITBANG 16-36MENGAPAI MIMPI, TELUKJAKARTA GARUDA

21

Djaga Bahen adalah salah satu jenis rumah Betang dari suku Dayak Ngaju yang bertempat di Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

DJAGA BAHEN DAN PERUBAHANNYA

19

FOKUS 4-11

Bencana gempa sering kali terjadi di Indonesia, karena wilayah Indonesia yang berada di jalur rawan gempa. Oleh karena itu antisipasi dalam menghadapi gempa harus semakin ditingkatkan

STANDAR KETAHANAN JEMBATAN

16

INaRAP: BANGUN KESELAMATAN JALAN DENGAN PENURUNAN FATALITAS KECELAKAAN

26

7 10DANAU TEMPE

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk melakukan penelitian dan pengembangan terintegrasi Sistem Modular Wahana Apung atau yang kemudian dikenal sebagai SIMOWA

Pelaksanaan terowongan tipe perisai dapat membantu pemilik pekerjaan, perencana dan penyedia jasa untuk memperkirakan kebutuhan perencanaan dan dampak yang mungkin terjadi pada bangunan sekitar terowongan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Jalan dan Jembatan Kementerian PU tengah menyiapkan sistem penilaian keselamatan jalan yang disebut dengan Indonesia Road Assessment Program (InaRAP)

SIMOWA

EDISI II TAHUN 2015 3

30

Menurut sensus Badan Pusat Statistik, penduduk diproyeksikan pada tahun 2015 mencapai jumlah ± 250 juta jiwa, perlu untuk memperhatikan pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai kebutuhan primer.

33

Pemerintah saat ini sedang

gencar-gencarnya melaksanakan program sejuta

rumah. Termasuk yang sedang dilakukan di

Jakarta melalui relokasi warga permukiman kumuh yang berhuni di

bantaran sungai Ciliwung.

RCM SYSTEM 40

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pekerjaan merupakan bagian penting dari sistem manajemen proyek.

SEKRETARIAT BALITBANG

MEMBANGUN SINERGITAS

MENGEMBANGKAN KERJASAMA

RESENSI BUKU 56

Perkembangan industri dan urbanisasi yang cukup pesat menciptakan suatu tren yang sangat menarik terhadap munculnya kota-kota mega-metropolitan (megapolitan) di seluruh belahan dunia.

TRANFORMASI KOTA METROPOLITAN BERBASIS DAYA DUKUNG

RELOKASI KUMUH KE RUMAH SUSUN TINGKAT TINGGI: SUDAH SIAPKAH?

Konsolidasi Peran Dan Strategi Program Sejuta Rumah

Dunia akan menjadi tempat yang baik, bila manusia yang hidup di dunia memiliki pola pikir yang baik. Cara pandang manusia terhadap sesuatu itulah yang menjadikan sesuatu tersebut negatif atau positif.

KIPRAH 45BERPIKIR KREATIF MENANGANI SAMPAH

PENYEDIAAN AIR BAKU, KUANTITAS DAN KUALITAS SERTA POTENSI KEHILANGAN

OPINI 50

TOKOH 47

BADAN LAYANAN UMUM (BLU)SOLUSI GOOD GOVERNANCE UNTUK PENGELOLAAN KEUANGAN BALITBANG

MANAJEMEN 42

Rp

DINAMIKA RISET - FOKUS4

LITBANG TERPADU:PEMBUKTIAN KERJA CERDAS BALITBANG

Wacana pengurangan anggaran Badan Penelitian dan

Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sempat santer terdengar dalam beberapa bulan terakhir. Salah satu penyebab munculnya wacana ini adalah kinerja Balitbang yang dinilai kurang optimal. Output yang sudah dihasilkan dengan susah payah belum termanfaatkan dengan maksimal oleh para pengguna.

Di antara produk litbang yang sudah dihasilkan, tidak seluruhnya diaplikasikan di lapangan dan dialihteknologikan. Permasalahan ini menjadi persoalan klasik yang harus diselesaikan oleh imam Balitbang dari waktu ke waktu. Setiap pimpinan memiliki strategi dan cara untuk menjawab mengatasi persoalan tersebut.

Dari simpul persoalan inilah lahir konsep lama dengan wajah baru yang disebut kegiatan litbang terpadu. Konsep kerja litbang terpadu merangkul opini dan masukan dari calon pengguna hingga calon pemroduksi teknologi dari tahap perencanaan sampai proses pemasaran teknologi. Konsep ini digalakkan kembali untuk menjaga kualitas hasil litbang dan pemanfaatannya, sehingga meminimalisasi produk litbang yang hanya berakhir sebagai dokumen penelitian semata.

Sebagai lembaga pemerintah yang menggunakan sumber dana dari APBN, Balitbang juga dituntut untuk menghasilkan kinerja yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Teraplikasikannya produk litbang di lapangan merupakan salah satu bukti nyata kinerja Balitbang yang terukur dan akuntabel.

Setiap produk litbang yang dihasilkan setidaknya harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, apakah pada proses perencanaan awalnya dilakukan berdasarkan pemetaan terhadap kebutuhan pengguna. Kedua, apakah kriteria produk yang diminta telah disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Ketiga, apakah mata rantai produksi hingga distribusi produk litbang tersebut sudah disiapkan. Dengan tiga kriteria tersebut, kinerja Balitbang dapat lebih terukur dan akuntabel.

Konsep Litbang Terpadu

Konsep litbang terpadu pada dasarnya adalah sistem kerja cerdas yang direncanakan oleh

Balitbang sebagai penghasil teknologi dengan para calon pengguna, hingga calon pemroduksi teknologi hingga aplikator. Sistem kerja ini dibangun untuk meningkatkan efektivitas kerja Balitbang dalam menghasilkan teknologi dan memastikan penerapannya di lapangan, sehingga produk litbang yang dihasilkan lebih tepat sasaran. Dengan demikian, komunikasi menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga kelancaran proses litbang terpadu.

Beberapa hal yang dijadikan acuan sebelum memulai litbang terpadu adalah bagaimana peta kebutuhan dan kondisi eksisting masyarakat di lapangan? Siapa saja institusi yang akan terlibat? Bagaimana menjaga kualitas produk litbang yang sedang dibuat? Bagaimana peluang produk litbang tersebut untuk direplikasi? Bagaimanakah rencana penerapanannya di lapangan? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang terkait dengan siklus litbang.

Arie Setiadi Moerwanto*

EDISI II TAHUN 2015 5

Saat ini Balitbang tengah bekerja keras untuk melakukan revitalisasi sebuah kampung nelayan bernama Tambak Lorok di Semarang. Dalam upaya perbaikan tersebut Balitbang mengerahkan para peneliti dari semua Pusat-pusat Litbang untuk bekerja bersama-sama memecahkan persoalan teknis dan non teknis yang dijumpai di lapangan. Sebagai langkah awal, Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi (Pus-KPT) melakukan pemetaan masyarakat nelayan.

Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Pus-KPT selanjutnya digunakan oleh Puslitbang lain untuk merencanakan penyiapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Selain, itu Balitbang berusaha meningkatkan kualitas hidup masyakat setempat melalui revitalisasi kawasan (dengan penambahan desain Ruang Terbuka Hijau) dan juga memperbaiki kebiasaan warga yang kurang sehat, misalnya kebiasaan membuang sampah, pengelolaan limbah, dan lain sebagainya. Produk litbang yang diterapkan diharapkan tidak hanya mengatasi persoalan secara instan, tetapi juga menjadi pemantik roda ekonomi masyarakat. Dengan demikian perbaikan yang ditawarkan bersifat jangka panjang.

Di tahun 2015, Balitbang PU telah menuntaskan kerjasama dengan pemerintah daerah Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Kerjasama ini diakhiri dengan penerapan produk litbang rumah RISHA dan pembangunan workshop untuk pembuatan komponen RISHA. Masyarakat setempat diberikan pelatihan pembuatan komponen RISHA. Masyarakat dilatih untuk membuat

komponen RISHA dengan memanfaatkan material yang ada.

Apabila pemerintah daerah cukup jeli, sebenarnya workshop RISHA ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan komponen RISHA yang bernilai ekonomi tinggi apabila mampu dipasarkan ke negara tetangga. Dengan demikian, produk litbang yang diterapkan tidak hanya berperan dalam meningkatkan kesejahteraan, akan tetapi juga mampu mendorong kemandirian masyarakat. Selain itu, pada setiap produk litbang yang diterapkan harus disertai dengan quality assurance yang mumpuni,

Dalam litbang terpadu ini, setiap pusat litbang dituntut untuk melepas sekat-sekat pengungkung dan bekerja bersama-sama dengan pusat koordinasi berada di Sekretariat Badan Litbang. Balitbang mempunyai tim yang besar dan harus siap berkolaborasi, bekerjasama, dan berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, pencapaian target litbang terpadu dapat dilaksanakan dengan optimal.

Di tahun anggaran 2015, Balitbang memiliki beberapa kegiatan penelitian yang dilaksanakan secara terpadu, yaitu revitalisasi kampung nelayan Tambak Lorok, revitalisasi Danau Tempe, Sistem Modular Wahana Apung (SIMOWA), revitalisasi Waduk Batujai, beautifikasi parit apung di Tulungagung dan pengembangan lahan kering di Kabupaten Dompu.

Kegiatan tersebut dilakukan secara kolaboratif oleh Pusat-pusat Litbang serta unit-unit terkait di Kementerian PUPR dan pemerintah daerah dengan mengoptimalkan pemanfaatan produk-produk litbang yang sudah, maupun mengembangkan produk-produk yang baru.

Balitbang harus mampu bekerja secara cerdas, cepat, dan menjadi bagian dari solusi dari berbagai permasalahan yang timbul dalam berbagai bidang infrastruktur. Dengan demikian, kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap kinerja Balitbang dapat tetap terjaga.

*Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

sehingga produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas. Produk yang berkualitas merupakan modal yang sangat penting bagi Balitbang untuk tetap dapat menjaga kepercayaan dari pengguna dan para pemangku kepentingan.

Balitbang adalah sebuah organisasi besar dengan mesin-mesin penggerak, yaitu Sekretariat Balitbang dan Pusat-pusat Litbang, yang siap bekerja sesuai dengan kebutuhan di lapang. Sebagai organisasi besar, tantangan untuk mewujudkan sebuah sistem kerja yang efektif dan efisien seperti sistem litbang terpadu tentu sangat besar. Komunikasi dan koordinasi yang efektif mutlak diperlukan dalam menentukan keberhasilan kerja yang sedang dilakukan.

Balitbang harus mampu bekerja secara cerdas,

cepat, dan menjadi solusi dari berbagai

permasalahan

DINAMIKA RISET - FOKUS6

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, lebih dari 15.000 pulau

berjejer dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, dengan total luas perairan adalah 2/3 dari luas totalnya. Dengan potensi peairan yang begitu besar faktanya baru sekitar 20% dari potensi perairan yang termanfaatkan dengan baik, sehingga ke depannya potensi tersebut perlu kita optimalkan untuk menggerakan ekonomi dari hulu ke hilir.

Salah satu langkah kongkrit untuk mengoptimalkan perairan di Indonesia ini adalah mengoptimalkan gaya apung yang dimiliki air untuk menggantikan pondasi yang bersentuhan dengan tanah/batuan (dasar air) dalam pembangunan infrastruktur seperti breakwater, dermaga, jembatan, jalan, dan hunian. Umumnya konstruksi bangunan di atas air menggunakan pondasi yang langsung berhubungan dengan tanah seperti tiang pancang, bored piled, dan lain sebagainya.

Konsep inilah yang digunakan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk melakukan penelitian dan pengembangan terintegrasi Sistem Modular Wahana Apung atau yang kemudian dikenal sebagai SIMOWA. Penelitian dan pengembangan SIMOWA ini merupakan kolaborasi Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Sumber Daya Air, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Puslitbang Perumahan dan Permukiman dengan menggandeng sektor swasta B-Form dan WIKA Beton sebagai produsen SIMOWA. SIMOWA ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam pelbagai pembangunan infrastruktur di wilayah perairan Indonesia seperti; pembangunan jalan (baik untuk pejalan kaki, kendaraan bermotor roda dua dan empat), dermaga, pemecah gelombang, hingga hunian apung.

Implementasi SIMOWA

Penelitian dan pengembangan SIMOWA ini telah dimulai sejak awal tahun 2015 dengan menghasilkan sebuah prototipe jembatan apung dengan rangka yang terbuat dari material baja ringan. Dalam pelaksanaan

implementasi SIMOWA Tim Litbang Terpadu Balitbang melakukan beberapa kegiatan untuk mendukung keberhasilan implementasi tersebut antara lain; survei investigasi, desain dan evaluasi desain, konstruksi pembuatan prototipe, hingga evaluasi dari pemeliharaan.

Pada tahapan survei investigasi Tim Litbang Terpadu Balitbang melakukan penelitian pada kondisi awal topografi dan bathimetri, pasang surut, arus, iklim hingga kondisi geologi dan geoteknik serta kondisi lalu lintas pada lokasi tempat dimana jembatan apung akan dibangun. Setelah tahapan survei investigasi selesai dilakukan tahapan desain yang meliputi perancangan struktur bangunan atas, pondasi apung, sistem penjangkaran, pembuatan metoda konstruksi hingga pembuatan model terskala.

Jembatan apung yang pertama ini rencananya akan dibangun di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah dengan panjang lebih kurang 50 meter dan dapat dibuka-tutup

SISTEM MODULAR WAHANA APUNG (SIMOWA)TIM APUNG BALITBANG

Sumber foto: Balitbang Pusjatan

EDISI II TAHUN 2015 7

Sumber foto: Balitbang Pusjatan

apabila ada kapal yang melebihi free board dari jembatan tersebut.

Tim Litbang Terpadu Balitbang juga telah menetapkan sebuah roadmap implementasi SIMOWA yang akan dilakukan hingga tahun 2019 dengan sasaran utama pembangunan Jabuna (Jembatan Buton-Muna) yang akan menghubungkan Pulau Buton dan Pulau Muna dengan panjang jembatan diperkirakan lebih kurang 600 meter. Dipilihnya kawasan tersebut sebagai bagian dari roadmap impelementasi SIMOWA adalah sebagai bentuk sinergi gerakan asbutonisasi (meng-aspal-Buton-kan) Pulau Buton dan Pulau Muna. Selain dalam bentuk jembatan apung, SIMOWA juga akan diimplementasikan sebagai pemecah gelombang, hunian apung nelayan, dermaga dan infrastruktur apung lainnya.

Jembatan Buton-Muna selain akan menjadi terobosan penting dalam implementasi hasil penelitian dan pengembangan juga akan menjadi ikon di Asia sebagai jembatan apung terpanjang. Tidak hanya membanggakan bagi Balitbang Kementerian PUPR

akan tetapi menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia bahwa karya dan pemikiran putra-putri terbaik dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna.

Konsep SIMOWA

Konsep SIMOWA sebenarnya bukan sesuatu yang baru di dunia, namun di Indonesia konsep ini baru berkembang dan belum diimplementasikan untuk pelbagai bidang. Konsep ini menitik beratkan pada kemampuan sistem ponton dan sistem mooring dalam aplikasinya. Dalam penelitian yang dilakukan Tim Litbang Terpadu Balitbang, mengunakan ponton tipe rigid. Hal ini disebabkan oleh beberapa pertimbangan; pertama dalam menentukan dimensi ponton (panjang dan lebar) yang harus disesuaikan dengan kemudahan konstruksi, kekakuan sambungan, perpindahan vertikal serta kebutuhan gaya apung dan stabilitas; kedua faktor draft sangat menentukan dimensi ponton terkait kondisi pada saat menerima beban, berat material serta komponen vertikal pada gaya mooring; ketiga faktor freeboard menentukan dimensi ponton karena amplitudo gelombang,

penurunan struktur akibat beban dan respon vertikal sangat menentukan.

Selain hal tersebut, sistem mooring pada struktur apung SIMOWA diperlukan bukan hanya untuk menjaga posisi struktur tetapi juga menahan gaya-gaya akibat lingkungan. Gaya pada sistem mooring ditentukan oleh jenis mooring, material mooring, ukuran mooring, kedalaman perairan dan posisi mooring. Gaya-gaya lingkungan akan menentukan jumlah dan posisi mooring. Posisi mooring direkomendasikan sesimetris mungkin untuk memastikan kesetimbangan horizontal dan respon struktur yang simetris.

Secara teknis, pembebanan pada struktur apung akibat gaya angin, gaya gelombang, gaya arus, tekanan hidrostatis, gelombang akibat kapal, gaya abnormal (tabrakan oleh kapal) adalah hal-hal utama yang perlu diperhatikan dalam mendesain struktur apung termasuk adalah kenyamanan struktur apung pada kondisi normal dan ketahanan

Bangunan di atas air menggunakan gaya apung untuk mengganti pondasi

Pondasi

Bangunan diatas air

OPTIMALISASI GAYA APUNG AIR

Sumber foto: istimewaLokasi pembangunan Kawasan Jabuna (Jembatan Buton-Muna)

DINAMIKA RISET - FOKUS8

struktur apung untuk kondisi ekstrim. Pergerakan bidang XZ (heave and pitching) disebabkan oleh gaya vertikal, akan dilawan secara statik oleh kekakuan flexural ponton dan gaya apung serta akan dilawan secara dinamik oleh perlambatan elemen dan massa redaman air. Perpindahan terbesar akan terjadi pada ujung balok, di sini kestabilan ponton secara otomatis akan mengurangi respon. Selain pergerakan bidang

XZ, pergerakan bidang ZY (rolling) disebabkan oleh pengaruh gaya-gaya eksentrik. Sedangkan terakhir pergerakan bidang XY (swaying and yawing) disebabkan oleh gaya lateral (angin, arus, gelombang). Pada kondisi kritis resultan gaya dengan arah sama akan terjadi pada sambungan dan akan dilawan oleh sistem mooring, kekakuan flexural dan sambungan, redaman air dan gaya inersia.

Selain jembatan Buton-Muna pada 2016-2018 Tim Litbang Terpadu akan melakukan pembangunan prototipe jembatan apung untuk kendaraan roda empat, dermaga, break waters, jalan, hunian apung, dan kawasan apung percontohan. Penggunaan SIMOWA juga dapat menghemat 25% dari metoda penggunaan pondasi konvensional yang telah ada.

Konsep Jembatan Apung

pembebanan pada struktur apung akibat gaya angin,

gaya gelombang, gaya arus, tekanan

hidrostatis, gelombang akibat kapal, gaya abnormal

(tabrakan oleh kapal)

• Terdiri dari bentang tipikal: 20 m tipikal• Lebar jembatan 2 m• Tinggi rangka 3 m• Beban rencana untuk jembatan pejalan kaki 5KN/m2 (RSNI T-02-2005)• Material struktur: Baja, Ponton: foam dilapisi beton kedap• Profil baja bangunan atas: Hollow steel section boks pilar: Pipa• Kelandaian +8%• Tinggi jagaan: 1 m dari MSL

Respon pada struktur apung

EDISI II TAHUN 2015 9

S ecara geografis, Danau Tempe terletak pada titik 4o00’00’’ - 4o15’00’’ LS

dan 119o52’30’’ - 120o07’30’’ BT, masuk ke dalam 3 wilayah administratif kabupaten yang berbeda, yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Soppeng dengan 70% dari total luas wilayah Danau Tempe tersebut berada di Kabupaten Wajo. Sebagai danau terbesar kedua di Sulawesi Selatan, Danau Tempe menyimpan kekayaan spesies ikan air tawar dan spesies burung yang jarang ditemui di tempat lain.

Sistem Tata Air Danau Tempe

Danau Tempe mempunyai 5 inlet sungai (Bilokka, Lidaratangiu, Masaka, Sidenreng dan Bila), dengan sungai Cenranae sebagai outlet utamanya. Sungai Walanae bertemu di sungai Cenranae di hilir outlet Danau Tempe (±1 km). Selain itu, Bendung Gerak di sungai Cenranae terletak sekitar 2,5 km di hilir outlet. Genangan di sekitar danau mencapai +9.00. Limpasan sungai di hulu sungai Walanae, hulu sungai Bira, dan sungai Cenranae di hilir Bendung Gerak. Sebagai catatan genangan banjir tahun 2002 sungai Cenranae mencapai luas 1046 km2.

Danau Tempe memiliki permasalahan banjir tahunan akibat pendangkalan dasar danau yang jika tidak segera diatasi dapat menambah luasan luapan banjir. Seperti disebutkan sebelumnya, terdapat lima sungai besar yang bermuara di Danau Tempe. Tentunya, masing-masing sungai

membawa erosi dan sedimen sendiri ke Danau Tempe. Sedimen inilah yang menyebabkan terjadinya pendangkalan dan pengurangan daya tampung danau. Sehingga saat musim hujan tiba, seringkali air dari Danau Tempe meluap dan membanjiri pemukiman dan lahan warga.

Sumber foto: istimewa

Sumber foto: istimewa

Tim Litbang Terpadu Danau Tempe

Titik banjir di sekitar Danau Tempe dan Danau Sidenreng

sum

ber:

Tim

Litb

ang t

erpa

du D

anau

tem

pe

DINAMIKA RISET - FOKUS10

Peran Puslitbang SDA, Puslitbang Perkim, Puslitbang KPT dalam kegiatan Litbang Terpadu Danau Tempe

Kabupaten Kecamatan Rumah Terendam Lahan Pertanian Rusak (Ha)

Wajo

Tempe 5.527 -

Belawa 3.794 2.825

Tanasitolo 2.082 223

Sabbangparu 4.184 -

SoppengDonri-Donri - 617

Marioriawa - 625

Sidengreng Rappang Pancalautang 347 -

Sumber: Dinas sosial Wajo, Badan Kesbanglinmas Soppeng, Kelurahan WetteeKec. Pancalautang Sidenreng Rappang 2013

DATA DAMPAK BENCANA BANJIR TAHUN 2013

Dampak banjir Danau Tempe pada tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tanpa upaya penanganan dan pengelolaan yang baik, bencana banjir Danau Tempe akan terus berulang dan berdampak terhadap aktivitas ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem Danau Tempe.

Berangkat dari kondisi tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki gagasan untuk menambah daya tampung Danau Tempe guna mengurangi dampak yang terjadi akibat pendangkalan dengan melakukan pengerukan. Pengerukan yang dilakukan tidak hanya akan menyelesaikan masalah pendangkalan yang

acapkali berujung banjir melainkan juga dapat meningkatkan kualitas permukiman masyarakat di sekitar kawasan Danau Tempe pasca pengerukan. Tanah hasil kerukan rencananya akan digunakan untuk pembuatan pulau artifisial di tiga lokasi sekitar danau sebagai upaya konservasi habitat burung-burung yang terdapat di ekosistem Danau Tempe. Selain itu sistem sosial masyarakat yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan lahan di sekitar kawasan danau perlu menjadi perhatian dalam rencana pengerukan. Memperhatikan kemungkinan adanya wilayah permukiman yang terkena dampak kerukan, agar dampak negatif yang mungkin terjadi akibat pengerukan dapat diminimalisir.

Tim Litbang Terpadu Revitalisasi Danau Tempe Balitbang PUPR melakukan kajian bukan hanya kepada aspek teknis tetapi juga melakukan kajian Waspek non teknis yang kemungkinan akan terjadi, misalnya dari aspek sosial masyarakat di sekitar Danau Tempe.

Aspek non teknis lain yang harus diperhatikan adalah pengkajian penataan kawasan yang terbaik dan sesuai untuk tata ruang Danau Tempe, sehingga kualitas permukiman dan lingkungan di sekitarnya dapat ditingkatkan. Peningkatan kuantitas dan kualitas sarana-prasarana lingkungan seperti jalan, drainase, ruang terbuka, sanitasi dan air minum harus dilakukan. Selain itu pengembangan potensi wisata dan sumber daya kawasan Danau Tempe juga dapat lebih dieksplorasi.

Kegiatan Utama Revitalisasi Danau Tempe

EDISI II TAHUN 2015 11

1. Pengerukan sedimen yang berada di tampungan efektif.

2. Pembuatan pulau artifisial sebagai disposal area dan habitat burung. Pulau sebaiknya terpisah dari daratan, dengan luas dan geometri yang baik secara hidraulik dan mampu menampung sebanyak mungkin disposal. Selanjutnya pulau-pulau ini dilengkapi dengan karde.

3. Pembuatan tanggul sebagai disposal area, menyusuri tepi danau agar dapat berfungsi sebagai pembatas daerah milik danau. Juga pembuatan sistem agar muka air danau bisa diatur dengan fleksibilitas yang lebih tinggi serta daerah di luar tanggul dapat berfungsi sebagai penangkap sedimen pada musim penghujan. Pada musim kemarau daerah

tersebut dapat dipergunakan sebagai lahan pertanian. Untuk menghindari banjir dari tangkapan hujan dan/atau danau, sistem ini perlu dilengkapi dengan pelimpah dan pintu klep otomatis.

4. Pengerukan sungai-sungai yang masuk ke dan keluar dari Danau Tempe yang menyebabkan banjir pada permukiman di sekitar danau. Debit desain untuk masing-masing ruas sungai adalah 50 tahun.

Tahap Pendekatan

Tahap 1 Optimasi galian dan timbunan, termasuk pemanfaatan timbunan (Pengelolaan Sedimen Danau).

Tahap 2 Optimasi sistem pemanfaatan

lahan (zonasi revitalisasi di sekitar Danau Tempe).

Tahap 3Optimasi pengelolaan sedimen, pengendalian banjir sistem sungai, dan batas konservasi badan danau.

Kegiatan Peningkatan Kualitas Permukiman Sekitar Danau Tempe.

1. Penelaahan kebijakan pemerintah daerah mengenai penataan kawasan di sekitar Danau Tempe dan Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW) Kabupaten Wajo.

2. Penyusunan skenario pengembangan ekowisata di kawasan Danau Tempe dan sekitarnya pasca pengerukan.

3. Pemetaan potensi sumber daya kawasan dan penyusunan skenario pemanfaatan kawasan

ModelN umerik (Hidraulik danSedimentasi Waduk)

Tata LetakT empatHabitatB urung

Muka Aird an PolaPergerakan Sedimen

Redaman Banjir ke HilirDanau

Desain Tempat HabitatBurung

Sistem PenangkapSedimen

Tanggul /S empadanDanau

MorfologiS ungai di UdikdanH ilir (Banjir /

Sedimentasi)

Alternatif PengerukanSedimen

Pengukuran DataBathimeterid an

Tachimetri

DetailTopografi(Lokasi

Rencana)

PenyelidikanGeoteknik

PengendalianDrainase /S istem

Irigasi

Pengendalian EncengGondok danFitoplankton

Normalisasi danRencanaC heck Dam

Desaind an TahapanPengerukan (Volumedan Lokasi Timbun)

OperasiP intu /Pengendalian Banjird i

Hilir

DataD ebit SungaidanA ngkutan

Sedimen

Pola /Kapasitas

PelimpahanPintuB d

Gerak

-L ipi-N ippon Koe

- BBWS

Profil Sungaidan RencanaCheck Dam

ZonasiPertanian

Kualitas SedimendanA ir

StudiPengembanganIrigasiP ompa

TAHAPAN DAN PROGRES KEGIATAN

sumber: Tim Litbang terpadu Danau tempe

DINAMIKA RISET - INFOSTAND12 DINAMIKA RISET - FOKUS12

pada saat danau surut dan pasang sebagai salah satu upaya untuk mendukung ekowisata kawasan Danau Tempe.

4. Penyusunan skenario perencanaan berbasis masyarakat sebagai upaya untuk meningkatan partisipasi dan peran serta masyarakat dalam menjaga kualitas kawasan permukiman dan lingkungan di kawasan Danau Tempe.

5. Penerapan teknologi untuk meningkatkan kualitas permukiman.

6. Penataan kawasan zona atas air (konservasi habitat burung, wisata air, dll) dan zona darat (penanganan rumah yang terkena dampak kerukan, ekowisata dll) di Danau Tempe untuk peningkatan dan pengembang potensi wisata.

Dari overlay rencana batas kerukan dan permukiman, perumahan

yang terkena dampak pengerukan terletak pada Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo dan Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng, perlu dilakukan penanganan relokasi bagi masyarakat yang terkena dampak pengerukan tersebut. Saat ini Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi (Pulitbang PKPT) tengah menyusun peta potensi konflik berdasarkan pola penguasaan lahan pada masing-masing desa.

Pengerukan dapat dimulai dari area dengan potensi konflik sangat rendah (hijau tua) dan rendah (hijau), yaitu di daerah Tana Sitolo, Kec. Tempe dan Mario Riawa, yang merupakan area danau yang tidak ditempati oleh warga masyarakat. Kemudian, dilanjutkan ke area sedang (berwarna kuning) di wilayah Kec. Tana Sitolo, dimana terdapat tanah Koti dekat permukiman.

Area dengan potensi konflik tinggi (jingga) melingkupi Kec. Tempe, Sabang Paru dan Desa Bapangi Kec. Sidenreng Rappang. Terakhir, ke area berwarna merah yang menandakan potensi konflik sangat tinggi di desa Nepo, Kecamatan Tana Sitolo. Pada wilayah-wilayah dengan potensi konflik tinggi, sebaiknya dilakukan pendekatan yang lebih intensif kepada warga dengan menekankan pada manfaat yang akan diperoleh setelah Danau Tempe dikeruk.

Dengan rencana pengerjaan yang beriringan dengan penanganan potensi konflik yang mungkin terjadi, diharapkan pengerukan Danau Tempe sebagai usaha terbaik pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungan kawasan Danau Tempe dapat terlaksana dengan baik, efektif dan dirasakan manfaatnya untuk kepentingan rakyat.

PETA BATAS KERUKAN DANAU TEMPE peta prediksi konflik akibat pengerukan

sumber: Tim Litbang terpadu Danau tempe

TEROWONGAN PERISAI: PEMBUATAN TEROWONGAN DI PERKOTAAN DENGAN KONDISI TANAH LUNAK

EDISI II TAHUN 2015 13

Keterbatasan lahan permukaan di perkotaan menjadi salah satu

pertimbangan penggunaan terowongan sebagai solusi pembangunan jalur transportasi dengan sedikit gangguan setempat pada infrastruktur di permukaan yang telah terbangun. Umumnya untuk daerah perkotaan yang berada pada kondisi tanah lunak, terowongan perisai (shield tunneling) banyak digunakan sebagai metode membangun terowongan. Meski demikian, pembangunan terowongan perisai di perkotaan tersebut bukannya tanpa risiko. Proses penggalian terowongan perisai dapat mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan dan pengaruh pada struktur di sekitarnya.

Oleh karenanya, ketersediaan Standar Nasional dan pedoman teknis perencanaan dan pelaksanaan terowongan tipe perisai dapat membantu pemilik pekerjaan, perencana dan penyedia

jasa untuk memperkirakan kebutuhan perencanaan dan dampak yang mungkin terjadi pada bangunan sekitar terowongan. Saat ini, terdapat beberapa standar dan pedoman teknis perencanaan terowongan perisai yang telah dipublikasikan di luar negeri, antara lain Technical Manual for Design and Construction of Road Tunnels (FHWA, 2009), Road Tunnel Design Guidelines (FHWA, 2004), dan Standard Specifications for Tunneling: Shield Tunnels (JSCE, 2007).

Untuk Indonesia persyaratan perencanaan terowongan perisai sedang dalam proses penyusunan di gugus kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan dengan mengadopsi standar rujukan luar negeri seperti tersebut di atas.

Kategori Terowongan Perisai

Terowongan perisai (shield tunneling) menurut Sven Moller

(2006) dikategorikan sebagai metode penerowongan muka tertutup (closed face tunneling method) yang berarti pada tahapan penggaliannya dilakukan penyanggaan pada muka bidang galian secara terus menerus. Tujuan dari penggunaan lapisan penutup (overburden) di atas area galian yang dangkal (1.5-2.0 x diameter terowongan) pada terowongan perisai dengan kondisi tanah lunak dan tebal adalah untuk menghindarkan terjadinya deformasi berlebih saat penggalian terowongan dilakukan.

Meski demikian hal ini dapat berdampak pada besarnya beban tanah yang bekerja pada dinding terowongan. Berdasarkan jenis perkuatannya, terowongan perisai dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:

• terowongan perisai dengan penyangga mekanis (mechanical support),

• terowongan perisai dengan tekanan udara (compressed air),

Fahmi Aldiamar*Sumber foto: istimewa

DINAMIKA RISET - INFOSTAND14

• terowongan perisai dengan keseimbangan tekanan tanah (earth pressure balance)

• terowongan perisai dengan penyangga slurry (slurry support).

Mair dan Taylor (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa komponen utama yang mengakibatkan terjadinya deformasi akibat penggalian menggunakan terowongan perisai dengan posisi sesuai penomoran pada Gambar 4 yaitu,

• pergerakan tanah pada muka bidang galian karena pelepasan tegangan akibat proses penggalian,

• pergerakan arah radial pada daerah perisai akibat penggalian berlebih (over-cutting),

• pergerakan arah radial pada bagian belakang (tail) terowongan akibat terbentuknya rongga antara perisai dan dinding terowongan,

• pergerakan radial pada dinding terowongan akibat deformasi pada dinding terowongan dan pergerakan arah radial pada dinding terowongan akibat proses konsolidasi.

Selain itu, penggalian terowongan perisai dapat dioperasikan dengan tekanan muka bidang galian yang lebih besar dari tekanan tanah yang dapat mengakibatkan terjadinya pengangkatan pada permukaan tanah pada saat proses penggalian. Hal-hal tersebut harus diperhatikan saat perencanaan terowongan dengan metode perisai dilakukan di daerah perkotaan.

Perkiraan Risiko Kerusakan Akibat Pembangunan Terowongan

Proses penilaian risiko kerusakan pada bangunan yang berpotensi terjadi akibat penggalian terowongan umumnya terdiri dari 2 (dua) kelompok aktivitas (V Guglielmetti et al, 2007), yaitu: • survei kondisi bangunan

(Building Condition Survey/BCS) untuk mengevaluasi kondisi bangunan selama dan setelah pembangunan terowongan dilakukan dan

• penilaian risiko bangunan (Building Risk Asessment/BRA) untuk memperkirakan potensi kerusakan yang diperkirakan berdasarkan pendugaan deformasi dan kerentanan bangunan.

Tahapan yang dilakukan pada kedua aktivitas tersebut meliputi:

• identifikasi parameter pengendali (control parameters), yaitu parameter yang menggambarkan respon bangunan akibat deformasi, penentuan kriteria umum nilai batas penurunan dan pengangkatan sebagai fungsi dari sistem klasifikasi kerusakan didasarkan pada nilai yang diasumsikan sebagai parameter pengendali,

• mengevaluasi perkiraan pergerakan tanah untuk menentukan zona pengaruh konstruksi atau zona kendali (control zone), yaitu zona yang mengharuskan bangunan untuk dianalisis untuk menentukan risikonya terhadap kerusakan,

• melakukan analisis sensitivitas terhadap deformasi untuk

Ilustrasi terowongan perisai dengan tekanan udara (Sven Moller, 2006)

Ilustrasi terowongan perisai dengan keseimbangan tekanan tanah (Sven Moller, 2006)

Ilustrasi terowongan perisai dengan penyangga slurry (Sven Moller, 2006)

Beberapa Tipe Perisai

Ilustrasi pengangkatan akibat tekanan muka bidang galian berlebih (Nagen Loganathan, et al, 2011)

TEROWONGAN PERISAI: PEMBUATAN TEROWONGAN DI PERKOTAAN DENGAN KONDISI TANAH LUNAK

EDISI II TAHUN 2015 15

setiap bangunan yang teridentifikasi berada pada zona kendali dan menentukan tingkat toleransi terhadap deformasi maksimum, distorsi angular dan penurunan permukaan,

• mengidentifikasi bangunan yang berisiko dan memerlukan perlindungan/perkuatan,

• mengidentifikasi bangunan yang memerlukan survei dan pengukuran khusus selama konstruksi dan menentukan rencana manajemen risiko terhadap deformasi.

Hasil survei kondisi bangunan sebelum konstruksi dapat digunakan untuk menilai kerentanan bangunan yang telah disurvei.

Kerentanan adalah karakteristik dasar bangunan tergantung pada sejarahnya dan menunjukkan

seberapa jauh kondisi bangunan dari kondisi optimum dan kondisi idealnya. Semakin tinggi tingkat kerentanan, maka semakin kecil toleransinya terhadap penambahan deformasi sebelum memperlihatkan suatu tipe kerusakan spesifik.

Kerentanan dapat dinyatakan oleh suatu indikator kerentanan, Iv dan dapat diklasifikasikan menjadi 5 kategori dengan tingkat kerusakan yang berbeda dengan skala antara 1 hingga 100 dengan indikator rentang nilai 0-20 (diabaikan), 20-40 (rendah), 40-60 (ringan), 60-80 (sedang) dan 80-100 (tinggi).Untuk menentukan klasifikasi kerusakan pada bangunan, perlu untuk menentukan tipe kerusakan bangunan yang dapat diterima. Terdapat 3 klasifikasi kerusakan yang dapat diterima (V Guglielmetti et al, 2007), yaitu:

1. kerusakan estetis, atau kerusakan yang berhubungan dengan retakan ringan pada struktur dan dapat diperbaiki dengan mudah,

2. kerusakan fungsional, atau kerusakan yang mengakibatkan kehilangan fungsi bangunan atau kemampuan pelayanannya dan

3. kerusakan struktur, atau kerusakan yang mengakibatkan retakan dan deformasi berlebih pada struktur bawah dan dapat mengakibatkan keruntuhan sebagian atau keseluruhan struktur.

Evaluasi perencanaan terhadap besar penurunan permukaan, area pengaruh pergerakan lateral dan aksial saat penggalian terowongan dilakukan menjadi

kunci untuk mengidentifikasi dampak pada infrastruktur sekitar terowongan saat konstruksi dilakukan.

Dengan menggunakan instrumentasi pengukur pergerakan lateral seperti inclinometer dan pemantauan penurunan permukaan menggunakan surface marker yang dipantau secara berkala selama proses konstruksi dilakukan, dapat menjadi justifikasi estimasi pergerakan yang terjadi dan dapat pula menjadi sistem informasi peringatan dini dengan menetapkan kriteria batas pergerakan izin yang menentukan kondisi batas toleransi keamanan pergerakan yang terjadi.

*Peneliti Puslitbang Jalan dan JembatanIlustrasi pengangkatan akibat tekanan muka bidang galian berlebih (Nagen Loganathan, et al, 2011)

Ilustrasi pengaruh pergerakal lateral dan aksial akibat penggalian terowongan di perkotaan (Nagen Loganathan, 2011)

DINAMIKA RISET - INFOSTAND16

STANDAR KETAHANAN GEMPA UNTUK JEMBATAN

Gempa merupakan salah satu bencana alam yang menimbulkan kerugian

yang tidak sedikit. Selain manusia, kerusakan infrastruktur pun tidak luput dari akibat terjadinya gempa. Jika gempa tersebut berkekuatan sangat besar, kerusakan-kerusakan yang terjadi tidak hanya menelan kerugian jutaan bahkan miliaran rupiah. Infrastruktur seperti jembatan menjadi tempat yang rawan mengalami kerusakan. Apalagi jika jembatan tersebut dibangun dengan standar yang tidak memadai maka kerusakan yang ditimbulkan pun akan semakin besar.

Bencana gempa sering kali terjadi di Indonesia, karena wilayah Indonesia yang berada di jalur rawan gempa. Oleh karena itu antisipasi dalam menghadapi gempa harus semakin ditingkatkan, mengingat bencana tersebut bukan hanya sekali dua kali terjadi dalam setahun. Salah satunya dengan meningkatkan perencanaan pembangunan jembatan jalan raya yang menjadi salah satu infrastruktur yang sangat bermanfaat untuk masyarakat.

Semakin banyak terjadi gempa, jembatan-jembatan yang digunakan masyarakat tersebut semakin

rawan hancur apabila perencanaan dalam pembangunannya tidak dilakukan dengan sebaik mungkin. Jika pembangunan tersebut direncanakan sesuai dengan pedoman yang telah dikeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), maka kemungkinan mengalami kerusakan menjadi lebih kecil. Kerugian pun tidak akan dirasakan begitu besar, karena jembatan-jembatan tersebut sudah memenuhi standar kelayakan.

Standar Nasional Indonesia (SNI) mengeluarkan sebuah pedoman mengenai Perencanaan Ketahanan untuk Jembatan, dimana pedoman ini merupakan modifikasi dan revisi dari SNI 03-2833-1992, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya. Dalam standar ini dijelaskan mengenai dinamika struktur agar setiap perencana akan menguasai segi kekuatan, keamanan dan kinerja ketahanan gempa jembatan dalam suatu proses perencanaan utuh. Semakin berkembangnya teknologi saat ini, semakin dinamis pula standar yang dikeluarkan.

Karena tuntutan perkembangan teknologi maka standar ini membahas analisis dinamis. Cara spektral moda tunggal dan majemuk dengan atau tanpa pengaruh interaksi tanah

merupakan perhitungan semi-dinamis. Analisis dinamis dengan cara riwayat waktu sering menggunakan rekaman akselerasi gempa dari luar, sehingga perlu disesuaikan dengan akselerasi puncak (Peak Ground Acceleration/PGA) untuk wilayah gempa yang ditinjau.

Interaksi tanah pada fondasi berdasarkan parameter dinamis yang diturunkan dari parameter statis N(SPT) dibahas untuk tipe fondasi langsung, fondasi tiang dan sumuran. Analisis interaksi tanah pada cara spektral moda tunggal dilakukan dengan perhitungan tangan. Cara spektral moda majemuk memerlukan analisis dengan menggunakan perangkat lunak.

Periode ulang gempa menentukan besarnya akselerasi puncak gempa PGA yang berkaitan dengan umur rencana jembatan. Umur rencana jembatan 50 dan 100 tahun sebanding dengan periode ulang gempa 500 tahun dan 1000 tahun. Akselerasi puncak PGA sesuai wilayah gempa akan menetapkan besarnya koefisien respon gempa. Koefisien respon gempa menetapkan besarnya gaya gempa horizontal dan vertikal yang bekerja pada struktur jembatan.

Sumber foto: istimewa

EDISI II TAHUN 2015 17

Koefisien respon gempa dapat ditentukan dengan dua cara: plastis dan elastis. Koefisien respon plastis merupakan perhitungan statis ekuivalen dengan faktor daktilitas 4 dan faktor risiko 1. Koefisien respon elastis merupakan perhitungan dinamis dengan faktor daktilitas dan faktor risiko pilihan yang disesuaikan dengan konfigurasi dan fleksibilitas pilar jembatan.

Kerusakan jembatan akibat gempa yang terjadi, biasanya ditimbulkan dari pembuatan jembatan yang tidak direncanakan dengan baik. Perencanaan perletakan tumpuan pada jembatan menjadi hal yang sangat penting, mengingat kerusakan pada jembatan akibat gempa terjadi karena kurang baiknya sistem penahan pada jembatan tersebut.

Ketahanan jembatan akan menentukan seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan akibat adanya bencana seperti gempa dengan Scala Richter (SR) yang besar. Semakin kuat ketahanan jembatan, semakin sedikit kerusakan yang akan dialami. Tidak hanya itu, kerusakan pun lebih mudah untuk diperbaiki dan jembatan dapat dimanfaatkan kembali.

Selain faktor penahan yang harus diperhatikan dalam rencana pembangunan sebuah jembatan, faktor-faktor lain seperti jenis tanah juga tidak boleh luput dari perencanaan. Membangun sebuah jembatan jalan raya yang kuat dan untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan dari bencana gempa, harus memperhatikan beberapa tata cara berikut ini, yaitu:

1. Struktur daktail dan tidak daktail,

2. Perencanaan dan penelitian seismik terkait,

3. Analisis seismik untuk jembatan bentang tunggal sederhana dan majemuk,

4. Analisis interaksi fondasi dan tanah sekitarnya,

5. Analisis perlengkapan perletakan dalam menahan gerakan gempa,

6. Analisis perletakan dengan sistem isolasi dasar sebagai peredam gempa,

7. Prinsip analisis riwayat waktu,8. Analisis sendi plastik.

Dalam pedoman modifikasi yang dibuat SNI ini juga disebutkan bagaimana cara menganalisis tahan gempa, bagaimana prinsip analisis riwayat waktu, dan cara analisis dinamis. Analisis dinamis ini perlu dipertimbangkan untuk tipe jembatan yang cukup rumit. Cara ini merupakan cara respon spektra berdasarkan analisis riwayat waktu dan analisis moda, serta cara integral langsung yang menggunakan rumus pergerakan Equation of Motion.

Perencanaan peletakan menjadi pembahasan penting mengingat kerusakan perletakan akibat gempa berpengaruh pada seluruh jembatan. Terjatuhnya bangunan akibat gerakan gempa diatasi dengan sistem penahan di tumpuan. Sistem perletakan isolasi dasar akan meredam gaya gempa di tiap pilar/pangkal jembatan secara individual. Sistem peredam Shock Transmission Unit atau Locking Unit Device yang sering digunakan pada jembatan bentang panjang akan meredam gempa dengan kerjasama semua pilar dan/atau pangkal jembatan dalam memikul gaya gempa.

Selain itu, disebutkan pula tahap perencanaan dalam perhitungan isolasi dasar, yaitu:

1. Pilih perletakan. Ukuran denah perletakan ditentukan oleh gaya tekan vertikal akibat beban layan, tinggi perletakan ditentukan oleh batasan geometrik serta distribusi beban gempa lateral dan layan yang diinginkan. Kekuatan inti timah minimum berdasarkan gaya lateral layan seperti angin dan rem kendaraan. Diameter inti timah untuk masing-masing perletakan berdasarkan distribusi gaya lateral yang diinginkan dan spesifikasi inti timah. Ukuran inti timah dibatasi oleh persyaratan pengekangan dan rasio aspek.

2. Hitung periode fundamental jembatan dengan kekakuan permulaan dan pasca elastic tangvent perletakan. Inersia rotasi lantai dan masa pilar serta kekakuan harus diperhitungkan agar perkiraan periode efektif lebih dekat. Perkiraan kekuatan leleh redaman efektif dan tentukan periode efektif dan redaman efektif dari bagan rencana.

3. Tentukan respon bangunan atas secara keseluruhan dari respon spektra elastik untuk ‘periode efektif ’ dan ‘redaman efektif ’. Tentukan respon seismik bangunan atas pada masing-masing pilar dan kepala jembatan. Kekakuan pilar, kepala jembatan dan perletakan diketahui, dengan demikian respon masing-masing tumpuan dapat dihitung dari respon total. Perpindahan lantai pada masing-masing tumpuan dapat ditentukan dari spektra respon perpindahan atau simpangan

DINAMIKA RISET - INFOSTAND18

Desain komponenjembatan

Selesai

Perbaiki ukuran komponen

Mulai

Perencanaan danperancangan awal

Tentukan FaktoModi�kasi Respons (R)

Tentukan koe�sien percepatan,faktor situs, katagori kerja seismik,

klasi�kasi operasional

Zonagempa 1

JembatanbentangTunggal

Zona gempa 1

Zona gempa 2

Zona gempa 3,4

Analisa StrukturJembatan (pasal7.2)

Analisa StrukturJembatan (pasal7.3)

Analisa StrukturJembatan (pasal7.3)

Tentukan gayadalam rencana (pasal 5.9.2)

Tentukan gayadalam rencana (pasal 5.9.2)

Tentukan perpindahanrencana (pasal 6.4)

Tentukan gayadalam rencana (pasal 5.9)

Tentukan gayadalam rencana (pasal 5.9.3)

Apakah kapasitasMemenuhi ?

ya

ya

tidak

tidak

Sesuai zona gempa

karena lantai dianggap kaku, kemudian gaya respon. Gaya respon masing-masing perletakan dapat dihitung langsung. Gaya respon seismik total, jumlah respon dari masing-masing perletakan, yang dihitung langsung dari spektra perpindahan sering berbeda dari respon dihitung untuk spektra akselerasi, umumnya dalam batas ±10%. Bila gaya respon dihitung untuk spektra akselerasi dan perpindahan, dapat diambil nilai rata-ratanya. Perkiraan respon seismik jembatan dan bila distribusi atau tingkat respon tidak memenuhi maka pilih perletakan lain dan periksa kembali.

4. Bila respon seismik memenuhi, tentukan perpindahan maksimum masing-masing perletakan dan periksa moda keruntuhan perletakan pada perpindahan maksimum. Juga periksa anggapan yang telah diambil

untuk tingkat leleh efektif. Bila anggapan menyimpang, buat anggapan tingkat leleh yang baru dan ulangi tahap 2 dan 3.

5. Tentukan geser dasar maksimum pilar dan momen lentur maksimum.

Dalam perencanaan pembangunan jembatan jalan raya banyak yang harus diperhatikan seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu antara lain struktur tanah, penahan yang bagus untuk jembatan tersebut, jenis tanah yang akan dibangun jembatan, permukaan tanah dasar dan lain sebagainya.

Jembatan jalan raya yang dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai tempat lalu lalang akan menjadi lebih aman untuk dilewati apabila pembangunan yang dilakukan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Ketika terjadi bencana seperti gempa, jembatan menjadi salah satu infrastruktur yang merasakan akibatnya.

Kerusakan seperti retaknya jalan jembatan, putus, sampai hancur menjadi pemandangan yang sering kita lihat apabila bencana gempa besar melanda.

Hal tersebut bukan hanya diakibatkan oleh faktor alam, namun perencanaan pembangunan jembatan yang tidak sesuai standar membuat kerusakan menjadi semakin parah. Namun, setelah Standar Nasional Indonesia (SNI) mengeluarkan pedoman yang telah dimodifikasi ini, diharapkan kerusakan seperti hancurnya jembatan jalan raya tidak akan terjadi lagi. Walaupun rusak, kerugian yang dialami tidak sebesar seperti sebelumnya dan jembatan yang rusak itu pun lebih mudah diperbaiki dan dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

*Ditulis ulang oleh Nanda Ika Dewi Kumalasari

Bagan alir perencanaan ketahanan gempa untuk jembatan

sumber: SNI-03-2883

EDISI II TAHUN 2015 19

Teluk Jakarta dengan panjang pantainya yang mencapai 32 km merupakan

potensi pengembangan yang bernilai sangat tinggi. Selain itu, Teluk Jakarta juga bisa berperan strategis untuk pencegahan dan pengendalian bahaya banjir di kota ini.

Banjir merupakan masalah kota Jakarta sejak zaman dulu kala. Berdasarkan catatan sejarah, banjir besar pernah melanda kota Jakarta pada tahun 1699, 1714, 1854, dan 1918. Kemudian, setelah itu kejadian banjir semakin sering, yaitu pada tahun 1966, 2002, 2007, dan 2008. Bahkan akhir-akhir ini Jakarta selalu dihantui oleh banjir hampir di setiap awal tahun. Lokasi geografis Jakarta yang terletak di cekungan menyebabkan banjir bisa terjadi di setiap tahun.

Banjir yang acap terjadi di Jakarta di samping disebabkan oleh hujan dan aliran dari hulu, juga oleh disebabkan oleh kenaikan air laut. Selain itu turunnya permukaan tanah di beberapa wilayah Jakarta yang terjadi sekitar 2,5 cm hingga 10 cm setiap tahunnya turut menjadi faktor yang menentukan.

Kenaikan air laut atau yang sering disebut dengan rob air laut juga memicu terjadinya

banjir. Beberapa daerah di pesisir pantai Jakarta sudah terletak di bawah permukaan laut, sehingga diperlukan tanggul untuk menahan air laut agar tidak memasuki wilayah permukiman.

Jakarta mempunyai 13 sungai yang mengalir dari hulu dan bermuara di laut setelah melintasi kota Jakarta. Bisa dibayangkan apabila hujan lebat disertai dengan meningkatnya debit aliran sungai yang bersamaan dengan pasang air laut, maka masyarakat Jakarta sangat berharap pada peran kinerja pompa-pompa air untuk menyalurkan aliran sungai ke laut.

Konsep Pengendalian Banjir Jakarta

Konsep pengendalian banjir Jakarta adalah dengan filosofi sebagai berikut:

1. Menahan air di hulu dengan waduk-waduk retensi dan konservasi;

2. Mengatur debit aliran sungai dengan membatasi aliran yang masuk ke kota Jakarta dan mengalihkan kelebihan air melalui kanal banjir menuju laut;

3. Membangun tembok laut untuk mencegah pasang laut;

4. Melakukan pemompaan

genangan air dan membuang ke laut.

Reklamasi Pantai Multi Fungsi

Pengembangan wilayah sungai ke arah utara menjadi pilihan yang cukup realistis, mengingat daerah selatan perlu dilindungi sebagai lahan konservasi. Namun mengingat tren penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut sebagai dampak perubahan iklim yang terjadi akan membuat daerah itu akan tenggelam dalam 20-30 tahun mendatang, sehingga diperlukan inovasi guna mengatasi hal tersebut.

Inovasi diperlukan untuk menghentikan air laut masuk ke daratan dengan membangun tembok/tanggul laut baik di sepanjang garis pantai maupun di lepas pantai Jakarta. Laguna yang terbentuk di antara tanggul laut dengan daratan akan menjadi air tawar dan kualitasnya dijaga sehingga dapat dijadikan sumber air baku air minum Jakarta. Elevasi muka air di laguna dipertahankan sehingga dapat menampung debit aliran sungai-sungai di Jakarta. Dengan demikian diharapkan dapat mengendalikan banjir kota Jakarta.

MENGGAPAI MIMPI BANGUN GARUDA DI TELUK JAKARTAIsnugroho*

sumber: NCICD

DINAMIKA RISET - LITBANG20

Tanggul laut yang dibangun dapat diselaraskan dengan program reklamasi dan dapat difungsikan sebagai daerah hunian serta fasilitas perekonomian maupun sarana pendukung kehidupan lainnya. Tanggul laut juga dapat difungsikan sebagai jalan sarana transportasi penghubung dan sarana untuk memperlancar roda perekonomian. Bentuk reklamasi itu direncanakan sedemikian rupa sehingga bentuknya menyerupai Garuda lambang Negara Republik Indonesia. Di daerah badan dan kepala burung Garuda, direncanakan untuk pengembangan sarana komersial. Demikian juga pusat administrasi

kota Jakarta dapat dipindahkan ke sini. Beberapa kebutuhan publik meliputi museum, perpustakaan, dan arena hiburan juga dialokasikan di daerah ini.

Di daerah kaki dan ekor Garuda direncanakan untuk daerah permukiman dengan berbagai fasilitasnya. Sedangkan daerah sayap direncanakan untuk fasilitas umum dan area hiburan serta permainan terbuka.

Tahap pelaksanaan pembangunan Garuda di Teluk Jakarta bisa dilakukan dalam tiga tahap, dalam kurun waktu selambatnya 20 tahun. Tahap pertama adalah membangun tembok pantai di sepanjang pantai

Jakarta yang diharapkan akan dapat diselesaikan dalam tahun 2015. Tahap kedua, melakukan reklamasi di pantai Jakarta yang diharapkan selesai dalam tahun 2020/2025. Terakhir, membangun Garuda di Teluk Jakarta secara lengkap dan diharapkan dapat diselesaikan dalam tahun 2025/2035.

Proses pembangunan Garuda di Teluk Jakarta tentunya akan menimbulkan dampak teknis, lingkungan maupun budaya, yang masing-masingnya perlu dilakukan studi lebih cermat.

*Peneliti Puslitbang Sumber Daya Air

sumber: NCICD

Sumber : Peta Hazard Gempa Indonesia 2012, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

EDISI II TAHUN 2015 21

Djaga Bahen adalah salah satu jenis rumah Betang dari suku Dayak Ngaju

yang bertempat di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Seiring berjalannya waktu, Djaga Bahen telah mengalami banyak penambahan dan perubahan.

Palangka Raya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 2.400 km², memiliki jumlah penduduk 220.962 jiwa dan kepadatan penduduk rata-rata 92.067 jiwa tiap km², menurut Sensus Penduduk Indonesia 2010.

Dibangun tahun 1957 berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah, Palangka Raya berasal dari hutan belantara yang dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan.

Kalimantan merupakan pulau terbesar dengan intensitas gempa terkecil di Indonesia. Gambar 1 memperlihatkan bahwa hampir sebagian besar wilayah di pulau Kalimantan termasuk dalam wilayah yang aman terhadap gempa, artinya tingkat intensitas gempa di pulau tersebut sangatlah rendah. Hanya sebagian kecil wilayah yang termasuk dalam zona dangkal yaitu wilayah sekitar Samarinda dan Balikpapan.

Sebagai salah satu pulau di Indonesia dengan intensitas gempa yang sangat kecil, maka karakteristik rumah tradisional suku Dayak Ngaju yang masih ada di kawasan tersebut pun merefleksikan keadaan tersebut. Rumah tradisional Dayak Ngaju dikenal secara luas sebagai rumah Betang. Rumah struktur kayu dengan konstruksi yang sangat lekat dengan tradisi adat setempat,

dengan nilai-nilai kearifan lokal yang tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Dalam perkembangannya, rumah Betang bertransformasi mengikuti masa kini yang sarat dengan teknologi. Salah satu rumah tradisional yang bertranformasi tersebut adalah rumah Djaga Bahen. Rumah Djaga Bahen berada di desa Bahu Palawa, berdiri pada tahun 1935. Saat itu rumah ini masih berbentuk persegi panjang (memanjang).

Tidak lama setelah didirikan, terdengar kabar bahwa di rumah ini akan diselenggarakan Kongres Serikat Kaharingan Dayak Indonesia. Rumah ini kemudian dibangun kembali tahun 1938, karena kondisi rumah saat itu diperkirakan tidak cukup untuk menampung orang-orang yang mengikuti kongres. Kongres

DJAGA BAHEN DAN PERUBAHANNYA I KETUT SUWANTARA*

Gambar 1

sumber: NCICD

DINAMIKA RISET - LITBANG22

tersebut bertujuan untuk melakukan pemisahan wilayah Kalimantan Selatan sehingga terbentuk provinsi baru yaitu Kalimantan Tengah. Tahun 1999 rumah ini disahkan oleh Warsito Rasman (Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah waktu itu) sebagai tempat bersejarah.

Struktur Bangunan dan Sistem Sambungan

Bentuk transformasi yang sangat terlihat jelas pada bangunan ini adalah dari segi struktur dan sistem sambungan yang digunakan pada setiap detail sambungannya. Sistem perkuatan pada sistem sambungan menggunakan pasak kayu. Hal ini bertujuan agar sambungan kayu tidak mudah terlepas. Tinggi rumah dari muka tanah hingga lantai sekitar 150 cm dan untuk tinggi keseluruhan rumah hingga atap mencapai hampir 8 m. Rumah ini berdiri di atas tanah berukuran 20 x 30 m. Pada rumah ini terdapat tiang utama yang berfungsi sebagai penopang. Tiap sambungan kayu memiliki bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan letaknya. Pada struktur atas sebagian besar menggunakan sambungan bibir lurus (Gambar 2) dan meletakkan balok sebagai dasar lantai di tengah tiang penyangga. Pada beberapa bagian ruangan juga ditemukan sambungan bibir miring (Gambar 3) pada rangka dinding. Pada bagian kanopi depan terdapat sambungan bibir lidah lurus (Gambar 4).

Rumah yang dibangun dengan nilai sejarah ini direnovasi kembali pada tahun 2005. Proses renovasi ini menyebabkan banyak sistem sambungan diganti

dengan menggunakan sistem sambungan mekanis, seperti misalnya penggunaan paku sebagai pengganti pasak. Namun demikian, bagian yang diganti hanya pada kondisi yang rusak, seperti dinding lantai dan atap. Walaupun telah direnovasi pada tahun 2005, Djaga Bahen tetap dipertahankan bentuk aslinya. Ada beberapa bagian bangunan yang tidak diganti dari pertama kali berdiri hingga saat ini, yaitu tiang utama.

Tiang/Kolom Bangunan (Jihi dan Tungket)

Struktur rumah Djaga Bahen tersusun atas tiang-tiang utama dan pendukung yang tersusun secara beraturan walaupun tidak dalam ukuran dan rentang yang sama. Titik A adalah tiang utama pada rumah yang disebut dengan Jihi, penopang utama pada bangunan. Sementara tiang yang lebih kecil (B) adalah tiang yang membantu menopang lantai yang disebut dengan Tungket dan garis yang berwarna merah adalah

balok yang berfungsi sebagai rangka lantai. Posisi dari tiang yang berpola grid memiliki jarak yang beragam. Untuk detail sistem struktur Jihi dan Tungket dapat dilihat pada Gambar 5.

Selain itu, tinggi tiang mengalami perubahan pada rumah Djaga Bahen yang hanya berkisar kurang lebih 160 cm dari permukaan tanah, berbeda dengan umumnya yang berkisar 7,2 m. Hal tersebut terlihat karena kondisi lingkungan dan perkembangan:

• Bangunan dibuat bertiang rendah karena untuk mendapatkan tiang dengan tinggi tiang seperti Betang sangat sulit didapat, perlu waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit.

• Perlu cepat dalam hal konstruksi karena akan digunakan untuk pertemuan/rapat.

• Lingkungannya sendiri sudah tidak terkendala banjir, sekalipun terjadi banjir, limpahan air tidak akan

Sistem Struktur Sambungan Lidah Bibir

Lurus berjajar dua

Sistem Struktur Sambungan Bibir lurus

berjajar satu

Sistem Struktur Sambungan Bibir Miring

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 4

EDISI II TAHUN 2015 23

melebihi dari satu meter dari permukaan tanah.

• Gaya arsitektur bangunan yang cenderung dipengaruhi oleh gaya kolonial Belanda yang pada umumnya berpondasi dangkal, maka tidak memungkinkan untuk membangun rumah tersebut bertiang tinggi.

Betang identik dengan tiang berdiameter besar, tetapi pada

rumah Djaga Bahen ukuran diameter tiang utama hanya berkisar kurang lebih 30 cm. Sementara pada Betang umumnya, diameter tiang bisa berkisar antara 40 cm-80 cm. Selain itu, ada juga penggunaan balok kayu berkisar 15 x 15 cm yang bukan berasal dari kayu bulat saja seperti pada umumnya.

Perkembangan modern dari rumah ini juga termasuk penggunaan mesin modern dalam mengolah material bangunannya, seperti yang ditunjukkan pada tiang Tungket pada Gambar 6.

Struktur Penutup Atap

Struktur penutup atap pada rumah Djaga Bahen adalah atap mansard tertutup dengan kemiringan yang tajam, seperti rumah-rumah kolonial. Material yang digunakan adalah sirap ulin. Di dalam ruang interior struktur atap tidak diperlihatkan, karena ditutup dengan plafon, hal ini sangat menarik karena dengan menutup struktur atap, bangunan

ini mengambil pola struktur bangunan kolonial yang bersih dan rapi. Lain halnya dengan bangunan Betang yang tidak mengenal plafon, struktur atap dan ruang telah menjadi elemen kesatuan tersendiri pada ruang, dan adanya plafon hanya berfungsi sebagai gudang atau tempat menyimpan barang berharga.

Perkembangan Hunian

Perkembangan rumah Djaga Bahan di desa Bahu Palawa memberi dampak terhadap rumah-rumah yang berada di sekitarnya, terutama dalam hal membangun rumah. Baik dari segi sistem pondasi, dinding, atap, maupun rangka struktur secara keseluruhan.

Pondasi dan Ketinggian Lantai

Pondasi yang digunakan pada rumah Djaga Bahen adalah menggunakan sistem pancang sederhana yaitu dengan memasukkan tiang/jihi atau

Detil Struktur Tungket

Detil Struktur Jihi

Pola Kolom/Balok Lantai (Jihi dan Tungket)

Penggunaan Plafon Pada Rumah Djaga Bahen

Struktur Pondasi dengan Kora Puri

Penggunakan pola tungket pada tiang-tiang pondasi rumah Djaga Bahen.

Gambar 5

Gambar 6 Pondasi dengan Kaca Puri 50 cm

DINAMIKA RISET - LITBANG24

rata banjir yang terjadi bila musim penghujan tiba sekitar setengah meter. Namun demikian, tahun-tahun terakhir ini banjir yang demikian sudah tidak terjadi lagi, sehingga beberapa rumah yang berada di sekitar rumah Djaga Bahen, mulai membangun rumah dengan ketinggian lantai yang rendah. Bahkan di tempat tertentu rumah beton bermunculan seiring dengan mudahnya transportasi darat untuk membeli material ke Palangka Raya.

Pengawetan Bahan Bangunan

Bahan bangunan rumah Djaga Bahen menggunakan kayu ulin yaitu jenis kayu kuat kelas satu. Jenis kayu ini tidak perlu adanya perawatan secara khusus, hanya perlu menghindarkannya dari kutu atau jamur yang terdapat di tanah berpasir. Ulin sangat tahan terhadap air dan kelembaban. Sehingga sangat sesuai untuk pengembangan sub struktur pada bangunan struktur kayu di lahan basah/bergambut.

Prediksi

Perkembangan rumah Djaga Bahen dilihat dari fungsinya telah mengalami perubahan yang signifikan, terutama berkembangnya hunian dari yang sederhana, menjadi tidak sederhana. Hunian yang dulunya hanya memiliki bilik dengan ruang-ruang yang berjajar menghadap sungai, kemudian berubah dengan adanya penambahan fungsi ruang tamu besar karena adanya Kongres di tempat tersebut. Kemudian muncul ruang yang berekspansi, serta berorientasi ke bagian belakang dan ke samping berfungsi sebagai WC/kamar mandi, dapur, dan kamar tidur keluarga, karena dijadikan sebagai hunian keluarga.

Penambahan atau ekspansi yang dilakukan pada ruang bangunan tentu saja berimbas

1. Rumah Djaga Bahen dan Bentuk Tiang (Jihi dan Tungket)2. Pondasi Betang Tambau dengan suai Ulin3. WC/Kamar mandi yang menggunakan keramik beton4. Ruang Keluarga5. Ruang makan

tungket ke dalam tanah. Artinya tanah di lokasi bangunan rumah Djaga Bahen kondisinya baik, karena tidak diperlukan perkuatan pada pondasinya. Bila diperhatikan, bangunan di sekitarnya rata-rata rumah berpondasi demikian. Rumah Djaga Bahen menggunakan sistem pondasi kaca puri. Kaca puri digunakan untuk menahan laju tungket agar tidak masuk ke dalam tanah.

Dilihat dari ketinggian lantai dari permukaan tanah, rumah Djaga Bahen merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan rumah-rumah yang berada di sekitarnya.

Perilaku Alam

Sebagai hunian yang berada di tepian sungai, kerawanan terhadap bencana penting diperhatikan. Misalnya, adanya limpahan air sungai Kahayan akibat banjir yang kerap terjadi, menjadikan rumah-rumah tersebut diangkat pada ketinggian tertentu. Rata-

EDISI II TAHUN 2015 25

pada bertambahnya sistem struktur yang digunakan. Untuk mempertahankan kesinambungan ruang, maka penambahan struktur tersebut juga dilakukan dengan menggunakan struktur dari kayu. Namun pada bagian tertentu WC/kamar mandi dibuat dengan menggunakan keramik.

Infrastruktur

Dengan adanya ekspansi pada bangunannya, rumah Djaga Bahen ternyata tidak dapat mempertahankan keperluan fungsi bangunan awalnya. Perubahan yang terjadi karena adanya keluarga yang menetap di hunian tersebut, menjadikan rumah yang lebih lengkap dari sekedar tempat pertemuan. Kebutuhan akan ruang tamu, ruang keluarga, dapur, wc/kamar mandi dan tempat tidur menjadi tidak terhindarkan.

Di sisi lain, bertambahnya dan berubahnya fungsi hunian dari yang sederhana menjadi tidak sederhana, tentunya menuntut keperluan ruang yang sepadan terutama dalam hal pencahayaan dan ventilasi bangunan. Untuk mencapai itu semua, penghuni bangunan membuat bukaan pintu dan jendela di setiap ruang yang ada.

Melihat kondisi rumah Djaga Bahen yang masih utuh berdiri

dari tahun 1935 sampai sekarang menunjukkan bahwa kekuatan struktur/ durabilitas bahan bangunan yang dimilikinya sangat berkualitas. Artinya kondisi hunian seperti itu dapat dijadikan sebagai catatan menarik untuk dikembangkan sebagai percontohan bagi pengembangan hunian pada kawasan tertentu di Kalimantan Tengah atau di daerah lainnya di Indonesia. Apalagi, jika dilihat dari struktur tanahnya yang berada di tepian sungai dan sering mengalami limpahan atau pengaruh pasang surut sungai Kahayan serta banjir.

Untuk saluran pembuangan, di lingkungan rumah Djaga Bahen tidak menggunakan sistem pembuangan bergerak. Air didapatkan dari sistem pompa, sedangkan untuk pembuangan air limbah dilakukan secara sederhana yaitu dengan penyerapan langsung di permukaan tanah.

Perlu diperhatikan bahwa penyediaan jalan lingkungan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menuju ke rumah ini masih menerapkan sistem beton, sehingga menutup permukaan tanah secara signifikan. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat pelestarian lingkungan.

Ketika didirikan pertama kali, rumah ini dibangun menyerupai

Betang tanpa menggunakan paku sebagai perkuatan struktur. Bagian-bagian struktur disiapkan menggunakan beliung sebagai alat/perkakas yang masih ada pada saat itu. Sebagian besar material kayu yang digunakan pada bangunan ini diambil langsung dari hutan, sesuai dengan bulan dan waktu yang tepat menurut kepercayaan penghuni rumah Djaga Bahen.

Sebagai cagar budaya yang merupakan transformasi dari rumah tradisional masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, rumah Djaga Bahen memiliki nilai kearifan lokal yang adaptif terhadap lingkungan. Material kayu ulin sebagai struktur utama terbukti sangat kuat menopang beban-beban struktur. Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), dalam masyarakat Dayak Ngaju disebut sebagai kayu besi karena kekuatan dan ketahanan kayu tersebut sebagai bahan bangunan. Secara mekanis, kayu ulin memiliki modulus elastisitas sebesar 12.948 Mpa. Sebagai bahan struktur rumah kayu, nilai tersebut mampu mempertahankan kekuatan struktur sehingga struktur dapat lebih stabil dalam memikul beban di atasnya.

*Peneliti Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar

Dari Kiri: Bukaan pintu dan jendela yang lebar, Jalan yang sudah dibeton.

DINAMIKA RISET - LITBANG26

INaRAP: Bangun Keselamatan Jalan dengan Penurunan Fatalitas Kecelakaan

Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor memberikan tantangan

serius dalam pembangunan infrastruktur jalan, terutama kaitannya dengan upaya penurunan angka kecelakaan serta tingkat fatalitasnya. Angka fatalitas kecelakaan yang diukur dengan jumlah korban meninggal di jalan mencapai 26.416 jiwa pada sekitar 100.106 kasus kecelakaan pada tahun 2012, berdasarkan data yang dirujuk dalam Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2013 tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan.

Pada tahun 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan rencana aksi yang disebut dengan Decade of Action (DoA) for Road Safety dalam rangka mengurangi secara signifikan angka fatalitas akibat kecelakaan di jalan. Rencana ini diratifikasi oleh Indonesia menjadi Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2013 tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sesuai dengan tugas dan fungsinya mengambil peran pada pembentukan jalan yang berkeselamatan (safer road).

Dalam dukungannya terhadap program tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Jalan dan Jembatan Kementerian PU tengah menyiapkan sistem penilaian keselamatan jalan yang

disebut dengan Indonesia Road Assessment Program (InaRAP). Sistem ini menghasilkan informasi mengenai profil jaringan jalan dengan taraf pemenuhan elemen-elemen keselamatan jalan, berikut rekomendasi peningkatan kinerja yang efektif dari segi biaya. Perangkat saat ini tengah dikembangkan pula untuk mendukung pemenuhan pelaksanaan persyaratan fungsi jalan.

Pengembangan Sistem Penilaian Keselamatan Infrastruktur Jalan

Dimulai sejak tahun 2013, Puslitbang Jalan dan Jembatan melakukan pengembangan perangkat untuk menilai kinerja keselamatan jalan dengan berbasiskan platform International Road Assessment Programme (iRAP). iRAP adalah basis data sekaligus pengolah informasi kinerja keselamatan jalan melalui pemanfaatan perangkat survei bergerak (mobile) dan tercatat secara visual.

Pada tahun 2011, bekerja sama dengan Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) Australia, Puslitbang Jalan dan Jembatan melakukan survei kinerja keselamatan jalan dengan protokol iRAP di ruas jalan di Pantai Utara Jawa (Pantura). Hampir 1.000 km panjang jalan telah disurvei dan

memberikan rekomendasi tidak hanya dalam penguasaan teknologi perangkat survei keselamatan jalan, melainkan pula teknik pencatatan dan analisis data bagi peneliti, perekayasa, dan teknisi di Puslitbang Jalan dan Jembatan.

Dalam setahun terakhir, Puslitbang Jalan dan Jembatan telah mendata kinerja keselamatan jalan di beberapa ruas-ruas strategis di Indonesia, antara lain di Lintas Timur Sumatera dan Lintas Selatan Kalimantan. Sampai dengan saat ini ribuan kilometer panjang jalan telah disurvei, yang meliputi rute-rute strategis.

Dengan menilai kinerja keselamatan jalan ini, maka penyelenggara jalan dapat memperoleh masukan bagi pemrograman dan penganggaran penanganan jalannya. Penilaian kinerja ini turut membantu adanya pentahapan dalam target pengurangan kecelakaan yang secara nyata dapat diukur dan dievaluasi oleh penyelenggara jalan.

Bekerja sama dengan organisasi International Road Assessment Programme (iRAP), Puslitbang Jalan dan Jembatan tengah mengembangkan parameter lokal,

Muhammad Idris*, Gede Budi Suprayoga**

EDISI II TAHUN 2015 27

antara lain faktor tabrakan (crash factor), tingkat keparahan, dan peluang terjadinya kecelakaan dalam berbagai kondisi jalan. Pengembangan parameter ini didukung pula oleh pertimbangan persyaratan teknis jalan di Indonesia. Sistem penilaian ini disebut dengan InaRAP sebagaimana dalam perangkat lain yang dikembangkan secara regional di berbagai negara: AusRAP (Australia), EuroRAP (Eropa), usRAP (Amerika Serikat), serta KiwiRAP (Selandia Baru). Unsur-Unsur Pengembangan InaRAP

InaRAP dikembangkan dengan pendekatan pemeringkatan (star rating) yang diadopsi dari protokol iRAP. Pendekatan ini secara sistematis ditujukan untuk meningkatkan elemen-elemen infrastruktur dan desain jalan. Pengembangannya meliputi unsur-unsur sebagai berikut: pemetaan resiko, pemeringkatan bintang, rencana investasi, dan pemantauan resiko.

a. Pemetaan Resiko (Risk-mapping)

Peta resiko merupakan gambaran resiko atas tingkat kecelakaan yang terjadi pada suatu ruas jaringan jalan. Peta disusun berdasarkan data kecelakaan yang pernah terjadi pada suatu ruas atau jaringan jalan. Tahapan dalam penyusunan peta resiko, yaitu: menentukan jaringan jalan yang akan dinilai dengan kriteria bahwa jaringan jalan memiliki lebih dari 30% dari total jumlah kecelakaan meninggal dan luka berat dari jumlah data nasional, termasuk jalan tol, jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/ kota.

Tahap kedua adalah pengumpulan data detil ruas dan data kecelakaan berdasarkan jenis kecelakaan. Langkah selanjutnya adalah menempatkan data pada jaringan jalan yang telah ditetapkan dan dibagi-bagi ke dalam ruas dengan kriteria bahwa dalam 3 tahun terakhir minimal terdapat 20 kecelakaan fatal dan berat dan memiliki karakteristik yang

seragam, seperti berlajur tunggal atau dua lajur sepanjang segmen/ ruas tersebut. Dalam pemetaan resiko juga dikumpulkan data volume lalu lintas harian rata-rata pada masing-masing ruas.

Indikator keselamatan didasarkan atas jaringan jalan, jumlah kecelakaan dan arus lalu lintas yang digunakan untuk menghasilkan peta dasar yang sesuai dengan kebutuhan yang berbeda. Indikator tersebut dapat berupa resiko kecelakaan per kendaraan berdasarkan kilometer perjalanan, resiko kecelakaan per kendaraan per kilometer perjalanan, resiko kecelakaan per kilometer, penghematan potensi kecelakaan, dan jumlah kecelakaan yang bisa dihindarkan.

b. Pemeringkatan Bintang (Star Rating)

Pemeringkatan bintang merupakan ukuran objektif atas terjadinya suatu kecelakaan dan tingkat keparahan yang terjadi. Pemeringkatan bintang didasarkan atas Road Protection Score (RPS)

Modifikasi atas Protokol iRAP

DINAMIKA RISET - LITBANG28

yang memberikan suatu nilai atas kemungkinan terjadinya (likelihood) kecelakaan dan tingkat keparahan (severity) akibat kondisi dan ketidaktersediaan dari elemen-elemen jalan. RPS diperoleh dari hasil inspeksi atas aspek kecelakaan dengan tabrakan depan-depan, kendaraan keluar dari jalur lalu lintas dan kecelakaan pada persimpangan. RPS ditentukan menurut tipe pengguna jalan, meliputi mobil, sepeda motor, sepeda, dan pejalan kaki.

Setiap elemen jalan memiliki RPS yang berbeda yang didasari atas kondisi dan dimensinya. Sebagai ilustrasi, nilai faktor resiko dari elemen jalan dengan deliniasi yang buruk akan memberikan sekitar 20 persen potensi kecelakaan pada kendaraan.

Model InaRap nantinya diharapkan dapat mengakomodasi aspek regulasi kecepatan pada setiap fungsi jalan. Kecepatan memiliki pengaruh terhadap potensi dan tingkat keparahan suatu kecelakaan. Kecepatan yang tinggi akan memperbesar dua hal tersebut, yang salah satunya disebabkan oleh kesalahan

antisipasi dalam menghadapi suatu situasi. Pertimbangan RPS terkait kecepatan dapat didasarkan atas batas kecepatan dalam regulasi, kecepatan rata-rata dari suatu ruas jalan, dan kecepatan pada atau dibawah 85%.

b. Rencana Investasi (Investment Plan)

Salah satu keunggulan model InaRap adalah menyediakan suatu perangkat pemrograman penanganan kecelakaan yang terintegrasi dan didasarkan atas pertimbangan keuntungan dan biaya sosial. Model iRAP yang ada mempertimbangkan lebih dari 70 jenis penanganan, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dari rentang biaya yang terendah sampai tertinggi. Model InaRap diproyeksikan mampu memasukkan standar biaya lokal dari sejumlah tipikal penanganan yang akan memberikan kemudahan penyesuaian bagi pelaksana pembangunan jalan, berdasarkan laporan akhir pengembangan sistem iRAP dari Puslitbang Jalan dan Jembatan.

Pilihan suatu penanganan dilandasi oleh adanya pemicu

keselamatan (safety trigger) dari berbagai jenis penanganan yang memiliki permasalahan keselamatan. Perkiraan atas jumlah korban kecelakaan yang dapat diselamatkan dihitung sebagai keuntungan yang selanjutnya dibandingkan dengan biaya penanganan yang dilakukan. Perbandingan antara keduanya ditujukan untuk mencari manfaat biaya yang memperlihatkan aspek ekonomis dari penanganan. Serangkaian aturan aplikasi juga diterapkan.

d. Pemantauan Kinerja (Performance Tracking)

Bagian penting dari sistem yang dikembangkan adalah pemantauan kinerja setelah penanganan dilakukan. Melalui upaya ini, setiap pemegang kepentingan dapat melihat atau mengevaluasi dampak keselamatan dari investasi yang telah diberikan. Gambar 1 bagian kanan menjelaskan tentang kebutuhan untuk pemantauan kinerja.

Kemajuan Hasil Litbang dan Lngkah Selanjutnya

Puslitbang Jalan dan Jembatan, Balitbang PU dan Perumahan Rakyat, berupaya secara terus-menerus untuk memperbaiki kinerja keselamatan jalan di Indonesia melalui penelitian dan pengembangan. Hadirnya sistem penilaian keselamatan jalan yang disesuaikan dengan kondisi berupa sistem InaRAP diharapkan memberikan dukungan terhadap pencapaian Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) melalui pilar kedua. Tahun pertama 2014 telah dilakukan sejumlah kajian terhadap model-model yang telah dikembangkan Contoh hasil pemeringkatan jalan untuk kendaraan penumpang , warna yang berbeda

mengindikasikan pemeringkatan dalam bentuk star rating (rating bintang) v

EDISI II TAHUN 2015 29

di berbagai negara, antara lain Australia, Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan beberapa negara sedang berkembang.

Pada tahun 2015, implementasi penanganan berbasis sistem penilaian ini dilakukan melalui penanganan langsung pada ruas-ruas jalan yang dipilih. Hal ini diperuntukkan untuk menjustifikasi model matematis dalam perangkat penilaian yang tengah dikembangkan. Meskipun masih bersifat uji coba terbatas, diharapkan tahapan ini akan menghasilkan parameter-

parameter yang dikembangkan sebagai hasil pemantauan sebagai adaptasi atas platform iRAP.

Selanjutnya adalah pengembangan sistem yang dapat mendukung pemenuhan pelaksanaan persyaratan fungsi jalan. Persyaratan fungsi jalan memberikan ketentuan mengenai keselamatan jalan melalui pemenuhan elemen-elemen keselamatan yang merupakan persyaratan teknis.

Diharapkan ke depan bahwa pemenuhan persyaratan fungsi

jalan dapat dilaksanakan dengan efisien dari segi waktu dan biaya, efektif dalam penyampaian rekomendasi penanganan, dan mudah dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan. Model InaRAP diharapkan dapat menjadi platform nasional untuk menilai keselamatan infrastruktur jalan dalam mendukung pencapaian target RUNK.

* Ketua Program Penelitian Keselamatan Jalan, ** Peneliti Teknik Transportasi Puslitbang Jalan dan Jembatan.

Rentang Pemeringkatan

Tipikal Jalan

Terbagi Tidak Terbagi

*****Lurus dengan marka yang baik, lajur lebar dan bahu diperkeras, pinggir jalan aman dan penyeberangan menggunakan jembatan atau underpass

Tidak ada jalan yang tak terbagi bisa mendapatkan bintang lima

**** Defisiensi pada beberapa elemen jalan, seperti lebar lajur, lebar bahu, dan pinggir jalan

Lurus dengan kemampuan menyiap yang baik, marka baik dan pinggir jalan aman

***Defisiensi yang signifikan pada beberapa elemen jalan, seperti median buruk, desain persimpangan yang kurang baik

Defisiensi pada beberapa elemen jalan, seperti alinyemen, pinggir jalan dan desain persimpangan yang kurang baik

**Banyak defisiensi yang signifikan seperti alinyemen buruk, pinggir jalan dan media buruk, dan desain persimpangan buruk

Defisiensi yang signifikan pada elemen jalan, seperti pinggir jalan buruk, lajur sempit, desain persimpangan buruk

*Alinyemen buruk di daerah pegunungan, lajur sempit, sisi jalan berbahaya dan banyak persimpangan mayor

Alinyemen buruk di daerah pegunungan, lajur sempit, sisi jalan berbahaya, dan banyak persimpangan mayor, serta marka buruk

DINAMIKA RISET - LITBANG30

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk 237 juta jiwa pada tahun 2010 menurut

sensus Badan Pusat Statistik, dan diproyeksikan pada tahun 2015 mencapai jumlah ± 250 juta jiwa, perlu untuk memperhatikan pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai kebutuhan primer.

Berdasarkan catatan Direktorat Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Ditjen SDA) pada tahun 2013, Indonesia memiliki cadangan air sebanyak 3.906 miliar m3/ tahun. Jika kita coba menghitung kebutuhan air bersih menggunakan standard WHO yaitu 30 liter/hari maka diperlukan 7,5 miliar liter/hari atau 2.737 miliar m3/ tahun. Melihat perbandingan kebutuhan dan ketersediaan itu tentunya masih banyak cadangan airnya,

namun perlu diingat bahwa keberadaan air yang kita miliki tidaklah merata, dan tergantung oleh faktor curah hujan, letak geografis dan kondisi geologis wilayah.

Kondisi tidak meratanya ketersediaan air, menyebabkan saat ini masih terdapat 100 juta orang di Indonesia yang memiliki kesulitan dalam mengakses air bersih, menurut data Ditjen SDA pada tahun 2013, bahkan 70 persen penduduk Indonesia mengonsumsi air dari sumber – sumber yang tercemar. Dalam ukuran layanan air bersih, dikenal istilah singkatan 4K, yaitu kuantitas, kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan. Selain harus menyikapi permasalahan layanan air pada aspek kuantitas dan kualitasnya, Ditjen SDA perlu

juga mempertimbangkan adanya potensi kehilangan air baku yang bersih.

Penduduk dan Kuantitas Air

Berdasarkan PP No. 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air disebutkan, pemenuhan air bersih untuk kebutuhan pokok minimal sehari-hari diberikan dengan ketentuan sebesar 60 liter/orang/hari dan diperoleh dari Sumber Air/ tempat pengambilan air, yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan waktu tempuh paling lama 20 menit, dengan jalan kaki dari permukiman. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, kita perlu melihat proyeksi sebaran penduduk Indonesia (tabel 1), yang selama ini masih menunjukkan dominasi

Penyediaan Air Baku, Kuantitas dan Kualitas Serta Potensi Kehilangannya

NAD 5,371,500

Sumatra Utara 14,562,500

Riau 6,971,700

Jambi 3,624,600

Sumatra Selatan 8,470,700

Bangka Belitung 1,488,800

DKI Jakarta 11,266,100

Jawa Tengah 34,718,200 Jawa Timur

39,698,900 Bali 4,336,900

Kepulauan Riau 2,189,700

Kalimantan Barat 5,069,100

Kalimantan Tengah

2,714,900

Kalimantan Selatan

4,244,100

Kalimantan Timur 4,463,600

SulawesiSelatan

8,851,200

SulawesiTenggara2,704,700

SulawesiBarat

1,380,300

SulawesiTengah

3,054,000 SulawesiUtara

2,507,000

MalukuUtara

1,255,800

Papua Barat 959,600

Papua 3,379,300

Maluku 1,802,900

Gorontalo 1,202,600

Sumatra Barat 5,441,200

Bengkulu 1,991,800

Lampung 8,447,700

Banten 12,927,300

Jawa Barat 49,316,700

DIY Yogyakarta 3,842,900

NTB 5,070,400

NTT 5,456,200

Perkiraan Jumlah Penduduk Indonesia di tahun 2019

Yudha Pracastino Heston*

EDISI II TAHUN 2015 31

penduduk berada di pulau Jawa.Dengan melihat sebaran penduduk tersebut, kita dapat melihat kebutuhan air per provinsi (tabel 2), yang jika dijumlahkan total akan mencapai kurang lebih 15 miliar liter/hari.

Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada kurun waktu 2015 - 2019 memiliki rencana untuk menambah jumlah penyediaan air baku sampai sejumlah 66,84 m3/detik di berbagai wilayah provinsi di Indonesia. Jika rencana penyediaan air baku ini dibandingkan dengan sebaran kebutuhan air, dapat terlihat

dari jumlah produksi 1.308 m3/ detik dalam satu tahun, terdapat kehilangan air 290 m3/detik atau sebesar 22% nya. Jika kita teliti di dalam 3 musim tanam (tabel 4) maka akan terlihat kehilangan terbesarnya justru pada musim tanam I yaitu 35%, pada tanggal 1 November – 23 April. Sedangkan pada musim tanam II (30 April-4 Juli) terkecil kehilangannya (8%) dan musim tanam III (5 Juli-31 Oktober) berada di antaranya yaitu sebesar 13 %. Hal ini menunjukkan adanya fluktuasi kehilangan air, dengan dua faktor penentu utama terkait musim dan tingkat kebutuhan air dari penduduk.

wilayah provinsi (tabel 3) yang masih memerlukan penambahan air baku.

Beberapa provinsi yang perlu waspada terkait kekurangan air bersih adalah Sumatera Utara, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Kehilangan Air Baku

Masalah lain terkait kuantitas air baku air bersih selain penyiapan kebutuhan air baku baru, adalah adanya potensi kehilangan air. Sebagai contoh kasus di Waduk Wonogiri (tahun 2014-2015),

NADSumatraUtara

Riau

Jambi

Sumatra Selatan

BangkaBelitung

DKI Jakarta

JawaTengah Jawa

Timur

Bali

KepulauanRiau

KalimantanBarat

Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan

Kalimantan Timur

SulawesiSelatan Sulawesi

Tenggara

SulawesiBarat

SulawesiTengah Sulawesi

Utara

MalukuUtara

PapuaBarat

Papua

Maluku

Gorontalo

SumatraBarat

Bengkulu

Lampung

Banten

Jawa Barat

DIY Yogyakarta NTB NTT

3.73

10.11

4.84

2.52

5.88

1.03

3.78

1.38

5.87

8.98

7.82

24.1127.57

2.67

3.01

3.01 3.79

34.25

38.73%

69.57%

86.12%

89.09%

76.95%

1.52

3.52

2.95

3.10

1.74

0.87

0.67

2.35

1.25

0.84

2.12

0.96

1.88

6.15

1.89

40.35%

85.88%

15.91%

13.10%

26.21%

97.83%

97.06%

57.58%

49.10%

62.64% 80.08%

29%

59.21%

29.63% 29.03%

67.18%

52.47%

3.57%

60.40 %

56.72 %

56.72%

-

-

- -

-

-

-

Kebutuhan dan Persentase Perkiraan Kekurangan Air Baku di Indonesia (2015-2019)

Jumlah kebutuhan air di setiap daerah berdasarkan perkiraan penduduk Indonesia tahun 2015-2019 dalam 100 juta liter air baku.

Total kebutuhan air diseluruh Indonesia kurang lebih sebesar 15 milliar Liter Air Baku.

Persentase kekurangan air baku untuk memenuhi perkiraan kebutuhan penduduk Indonesia pada tahun 2015-2019

DINAMIKA RISET - LITBANG32

Contoh ini hanya contoh kasus yang pernah terjadi dengan kurun waktu dan wilayah spesifik. Sementara data lain terkait kehilangan air baku untuk air minum, masih dalam tahapan penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman.

Kualitas Air Baku

Sumber air untuk air minum dapat berasal dari beberapa sumber air, misalnya air permukaan, air tanah, mata air maupun air di angkasa. Sumber air yang berasal dari mata air, tentunya tidak memiliki masalah dengan kualitasnya, namun lebih kepada kuantitas akibat dari alih fungsi lahan dan perambahan hutan. Sumber air baku dari air permukaan sebagian besar telah terkontaminasi dengan zat berbahaya bagi kesehatan, sehingga membutuhkan pengolahan sebelum dapat dikonsumsi.

Dalam proses pengolahan air, infrastruktur pertama untuk

pengambil air diistilahkan sebagai intake, dapat direncanakan untuk dapat menangkap air dengan kualitas yang paling baik, menghindari ikan dan benda mengambang, endapan kasar dan benda terlarut lainnya. Saluran air baku, boleh menggunakan saluran terbuka jika air belum diolah, namun untuk yang telah diolah, diharuskan menggunakan saluran tertutup untuk menghindari pencemaran atau penurunan kualitas air.

Kualitas air baku dapat berada pada kondisi memenuhi syarat baku mutu, ataupun tidak seluruhnya memenuhi syarat baku mutu. Ketidaksesuaian dengan syarat baku mutu ini dapat diselesaikan dengan pengaturan penggunaan bahan kimia. Namun hal ini juga dapat memberikan dampak munculnya limbah lumpur, yang membutuhkan pembilasan pada bangunan pengolah air. Hal ini menyebabkan munculnya tambahan kebutuhan air untuk produksi akibat kualitas yang tidak standar.

Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman, di tahun 2015 ini mencoba untuk menemukan formula penentuan potensi kehilangan air baku akibat kualitas yang tidak baik, yang mengakibatkan adanya tambahan air yang terbuang dalam proses produksi.

Sebagai catatan akhir, perlu diperhatikan bersama juga terkait peran dari masyarakat dan kita bersama untuk dapat menjaga sumber air baku, menghindari inefisiensi pengolahan air, memperkuat kemampuan adaptif terhadap faktor musim (baik penghujan dan kemarau), dan manajemen infrastruktur (sumber air baku, pengolahan, produksi dan distribusi) yang baik.

*Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman,Pusat Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan, Kementerian PUPR

Air Yang Tidak Hilang

Kehilangan Air Baku

65%35%

13% 87%

8%92%

Musim Tanam I Musim Tanam III

Musim Tanam II Kehilangan Air Baku PadaWaduk Wonogiri

22%78%

Pola Operasi Waduk Wonogiri, PJT 1, 2015

sumber foto: istimewa

EDISI II TAHUN 2015 33

Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya melaksanakan program

sejuta rumah. Termasuk yang sedang dilakukan di Jakarta melalui relokasi warga permukiman kumuh yang berhuni di bantaran sungai Ciliwung. Salah satu diantaranya adalah rencana pembangunan dua rumah susun (rusun) sederhana bertingkat tinggi dengan kapasitas 6.300 unit yang akan dibangun di Pasar Rumput dan Pasar Minggu mulai 2016. Rusun tersebut dibangun setinggi 27 lantai dimana lantai 1 sampai lantai digunakan untuk fasilitas berdagang para penghuni pasar yang sebelumnya menempati kawasan tersebut.

Selain itu, pemerintah juga akan merevitalisasi rusun bertingkat 4 lantai di Kebon Kacang yang dibangun pada tahun 1980 menjadi rusun tingkat 20 lantai.

BUDI PRAYITNO*

Selain itu, yang cukup besar adalah pembangunan rusun kerjasama Perumnas dan PT Jakarta Propertindo (JakPro) berupa pembangunan rusun tingkat tinggi terpadu dalam bentuk 40 menara dengan kapasitas 18.000 unit hunian khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah di atas lahan seluas 22,4 hektar di Kemayoran. Selain di Kemayoran, Perumnas juga akan membangun 20 menara lainnya di Cengkareng dan di lokasi lain seperti di Bekasi, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan dan Makassar melalui program pembangunan 200 menara yang ditargetkan selesai pada tahun 2018.

Sebuah mega proyek pembangunan menara yang akan sangat membantu tercapainya kinerja program sejuta rumah dan program Indonesia Bebas Kumuh 2019 (Gerakan 100-0-100).

Di satu sisi hal ini merupakan sebuah lompatan kinerja yang sangat berarti, tetapi di sisi yang lain berpotensi terhadap kerentanan timbulnya masalah baru yaitu kumuh vertikal. Bisa dibayangkan, bagaimana warga yang selama ini berhuni di rumah tapak apalagi yang berada pada kawasan marjinal bantaran sungai harus membiasakan diri berada pada hunian bertingkat tinggi. Kerentanan-kerentanan perilaku mengkumuh sudah bisa kita lihat pada beberapa bangunan rusun tingkat tinggi berupa pemanfaatan koridor sebagai area berdagang informal dan sebagai gudang.

Meskipun sudah diberlakukan peraturan yang cukup jelas tetapi pada prakteknya akan sangat sulit mengendalikan perilaku mengkumuh tersebut. Belum lagi perilaku penggunaan lift yang berbeda bagi masyarakat

sumber foto: M. Harsya Pambudi

DINAMIKA RISET - LITBANG34

berpenghasilan rendah dimana pola mobilitasnya sangat tinggi di dalam bangunan tersebut yang akan berdampak pada membengkaknya biaya operasionalnya.

Mengapa hal ini berpotensi terjadi? Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku huni dari hunian tapak ke hunian susun bertingkat rendah kemudian ke hunian bertingkat tinggi memerlukan sebuah proses transformasi adaptif. Proses tersebut berlangsung tidak spontan tetapi bertahap dalam hitungan berskala dekade atau puluhan tahun. Kegagalan penataan permukiman kumuh di Pruitt Igoe, St. Louis, Amerika melalui program pembangunan kembali perkotaan dalam bentuk rumah susun setinggi 11 lantai menjadi sebuah “pembelajaran yang sangat berharga” bagi para arsitek dan perencana kota.

Kawasan yang didesain oleh arsitek Minoru Yamasaki yang dibangun pada tahun 1950-an bahkan dipuji oleh Architecture Forum dan Architectural Record mulai ditinggalkan penghuninya 8 tahun setelah dihuni akibat kekumuhan yang terjadi hingga pemerintah Amerika pada tahun 1972 memutuskan untuk menghancurkan (demolish) kawasan tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Lompatan Budaya dan Perilaku Huni

Penelitian Katherin G. Bristol yang ditulis dalam sebuah artikel yang berjudul “Pruitt Igoe Myth” menunjukkan bahwa kesalahan desain yang menyebabkan lemahnya pengawasan akibat terjadinya ruang-ruang negatif

berupa kekumuhan menjadi penyebab kegagalan pembangunan kawasan menara hunian terpadu tersebut. Katherin menemukan kesalahan desain dalam konsep ‘skip-stop elevator’ yang digunakan, dimana lift tersebut didesain hanya terbuka pada setiap tiga lantai dengan maksud untuk efisiensi biaya operasional. Area dimana lift tersebut terbuka dilengkapi dengan fasilitas bersama berupa laundry dan gudang penyimpanan. Namun akibat lemahnya pengawasan area tersebut menjadi kumuh dan sering serjadi kriminalitas. Demikian juga akibat waktu tunggu yang cukup lama di dalam lift, sering terjadi perusakan bahkan tidak jarang dijadikan sebagai toilet umum. Posisi area lift yang terpisah dari unit hunian disebut sebagai kesalahan desain yang menyebabkan lemahnya pengawasan oleh warga penghuni.

Selain Katherin, Oscar Newman juga meneliti Pruitt Igoe dan menemukan kesalahan desain berupa tidak tersedianya area semi publik yang berpotensi lemahnya hubungan ketetanggaan (neighboring) atau biasa juga disebut dengan jejaring sosial informal sehingga tidak adanya kepedulian (empathy) dan kepercayaan (trust) yang terbangun. Selain itu Newman juga menemukan desain koridor yang terlalu panjang dan tidak dapat terlihat secara keseluruhan dari unit hunian mengakibatkan hilangnya rasa memiliki (sense of belonging) dan berakibat lemahnya kesadaran untuk memeliharanya sebagai ruang semi privat.

Konsep ‘defensible space’ yang dikemukakan Newman menjelaskan bahwa batas teritori sekunder berupa koridor dan

ruang-ruang kantong (pocket space) harus didesain sedemikian rupa sehingga terjadi kejelasan teritorinya yang mampu meningkatkan pengawasan informalnya secara visual (informal surveillance). Kondisi sistem setting teritori ini akan mampu mengarahkan perilaku huni pengguna ruangnya untuk merasa memiliki teritori tersebut serta

mampu meningkatkan interaksi sosial sesama penghuninya.Dan yang lebih penting lagi temuan dari hasil penelitian terhadap kegagalan pembangunan hunian tingkat tinggi Pruitt Igoe serta relevansinya sangat penting dalam memitigasi resiko kegagalan pembangunan rusun tingkat tinggi di Indonesia adalah penelitian yang dilakukan oleh seorang arsitek bernama John Pipkin. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kegagalan Pruitt Igoe disebabkan oleh ketidaksesuaian tingkat sosial dan ekonomi

sumber foto: istimewa

Koridor kumuh dikawasan Pruitt Igoe

EDISI II TAHUN 2015 35

penghuninya yang ditunjukkan dengan hubungan respon budaya dan perilaku huni dengan desain hunian berkonstruksi tingkat tinggi. Awalnya, Pruitt Igoe direncanakan sebagai kawasan hunian dengan bangunan 2 hingga 3 lantai, namun walikota St. Louis, Joseph Darst menghendaki untuk tujuan efisiensi dirubah menjadi kawasan hunian dengan bangunan 11 lantai. Pelajaran berharga dari kejadian ini adalah bahwa perlu pengkajian yang cukup mendalam tidak hanya dari aspek efisiensi saja tetapi juga bagaimana mencermati perubahan perilaku huni yang melompat dari hunian tapak ke hunian vertikal tinggi untuk meminimalisir (memitigasi) resiko kekumuhan vertikal.

Kita perlu belajar dari pengalaman negara lain misalnya Singapura, Hongkong, Cina dan Jepang dimana proses transformasi budaya dan perilaku huninya dilakukan secara bertahap dan memakan waktu yang cukup lama dalam hitungan berskala puluhan tahun. Pada tahap awal pembangunan hunian verikalnya yaitu sekitar tahun 1970 an yang dibangun adalah rumah susun bertangga 4 hingga 6 lantai (walk up flat/apartment). Baru sekitar 10 tahun kemudian diremajakan

menjadi rumah susun bertingkat sedang (mid-rise apartment) yang menggunakan lift setinggi 8 hingga 10 lantai. Pembangunan hunian vertikal berupa rumah susun bertingkat tinggi di atas 10 lantai baru dilakukan pada dekade-dekade berikutnya.

Hal yang sama dengan Pruitt Igoe juga terjadi pada awal-awal proses transformasi dari hunian bertingkat rendah ke bertingkat sedang dan akhirnya ke bertingkat tinggi tetapi melalui pendampingan dan pengawasan yang cukup serius sehingga proses transformasi adaptif bisa dilakukan dengan baik. Meskipun banyak penelitian juga menyebutkan bahwa tingkat kemampuan transformasi adaptif dari masing-masing budaya sangat bervariasi. Ada yang mampu melakukannya secara cepat tetapi ada juga yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tergantung juga dengan kemampuan kinerja program pendampingan dan pengawasannya.

Menuju Kota Padu (Compact City)

Ketimpangan yang terjadi akibat fenomena hyper urbanization di Indonesia khususnya di kota-kota besar ditunjukkan dengan tumbuhnya kawasan modern bersamaan dengan tumbuhnya kawasan marjinal berupa kekumuhan permukiman. Fenomena kegagalan Pruitt Igoe selalu membayang-bayangi akselerasi pembangunan kawasan modern dengan tuntutan persyaratan efisiensi dan efektivitas kinerja pembangunan dengan konsep kota berkelanjutan. Program merelokasi warga permukiman kumuh ke dalam

sebuah sistem hunian modern bertingkat tinggi yang dipadukan dengan program peremajaan pasar, terminal dan stasiun kereta api dalam sebuah konsep intensifikasi kawasan perkotaan merupakan sebuah program strategis untuk menjawab tuntutan menuju sebuah sebuah kawasan perkotaan yang berkelanjutan.

Pembangunan rusun tingkat tinggi di beberapa lokasi pusat-pusat pertumbuhan dan pusat kota di beberapa kota-kota besar di Indonesia yang terintegrasi dengan sistem transportasi paradigmanya mengarahkan dari vehicle mover ke people mover dalam bentuk mass transportation baik berupa mass rapid transit maupun light rail transit mulai giat dilakukan saat ini. Era intensifikasi lahan perkotaan menjadi sebuah kawasan hunian terpadu khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah sudah mulai direncanakan dan akan dimulai pembangunannya pada tahun 2016. Menara rusun tingkat tinggi yang dibangun di atas fasilitas pasar tradisional Pasar Rumput dan Pasar Minggu serta rencana pembangunan 40 menara di kawasan Kemayoran membutuhkan pencermatan yang tinggi karena mayoritas calon warga penghuninya adalah masyarakat berpenghasilan rendah dan sebagian besar berasal dari kawasan permukiman kumuh.

Hal ini sangat berbeda dengan pembangunan superblok kawasan terpadu bagi hunian masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dimana penghuninya mempunyai budaya dan perilaku huni perkotaan yang mempunyai latar belakang gaya hidup perkotaan sehingga tidak memerlukan proses transformasi adaptif penghuniannya. Menara rumah

DINAMIKA RISET - LITBANG36

susun sederhana tingkat tinggi yang dihuni oleh warga kampung berpenghasilan rendah atau sering disebut dengan istilah ‘kampung-city block’ membutuhkan pendalaman konsep perencanaan dan perancangannya. Hal ini mutlak harus dilakukan agar mengurangi resiko kerentanan terjadinya fenomena kekumuhan vertikal. Beberapa rumah susun bertingkat rendah sudah banyak yang mengalami kekumuhan secara masif. Misalnya yang terjadi kawasan hunian rumah susun bertingkat sedang 4 hingga 5 lantai (mid-rise) di Penjaringan, Jakarta Utara. Bayang-bayang resiko kekumuhan yang berpotensi terjadi juga di rusun tingkat tinggi perlu diantisipasi.

Sebagai gambaran, rencana pembangunan new town in town di Kemayoran yang diinisiasi dengan pembangunan 40 menara yang terdiri dari 10 menara

rumah susun sederhana sewa, 20 menara rumah susun milik dan 10 apartemen sederhana milik direncanakan akan enghunikan sekitar 72.000 jiwa. Dengan total huniannya sejumlah 18.000 unit dan dengan asumsi satu unit dihuni 4 orang. Kawasan rusun tingkat tinggi terpadu ini rencananya akan diintegrasikan dengan perlintasan kereta ringan (light rail transit) koridor VII serta didukung dengan beragam fasilitas komersial dan rekreasi berupa ruang terbuka hijau dan terhubung dengan sistem jaringan transportasi massal.

Secara konseptual, perencanaan kawasan terpadu melalui proses intensifikasi tersebut dikenal dengan kota padu (compact city). Prinsip pemadatan (high density) terhadap lahan dan bangunan secara padu tersebut tentu saja harus dibarengi dengan penyiapan perilaku penggunaan lahan dan bangunannya secara efektif

dan efisien juga. Pengurangan jarak tempuh perjalanan serta penggunaan transportasi publik harus menjadi dasar perubahan perilaku yang selama ini dilakukan masyarakat calon penghuni kota padu tersebut. Demikian juga keragaman fungsi (mixed-use) lahan dan bangunan dalam sebuah hamparan berskala besar secara terpadu juga menjadi karakteristik/ciri dari sebuah kota padu yang akan lebih mengefektifkan dan mengefisienkan perilaku huni warganya. Siapkah warga calon penghuni yang mempunyai tingkat ekonomi berpenghasilan rendah dan berlatar belakang hunian kumuh bantaran sungai untuk melakukan transformasi adaptif budaya dan perilaku huninya?

Mitos Pruitt Igoe dan Utopi Kota Padu Kemayoran seolah menjadi sebuah bayangan kekhawatiran kesamaan dengan film dokumenter “The Pruitt-Igoe Myth:

sumber foto: M. Harsya Pambudi

Kawasan padat dan kumuh

Rumah susun bertingkat

sedang 4 hingga 5 lantai di

Penjaringan, Jakarta Utara

EDISI II TAHUN 2015 37

an Urban Story”. Sebuah kegagalan arsitektur perkotaan modern yang mengedepankan efisiensi dalam sebuah konsep ‘towers in the park’ tetapi tidak diikuti dengan penyiapan kemampuan warga kelas bawah/berpenghasilan rendah dalam memelihara fasilitas huniannya serta kemampuan keberlanjutan program subsidi pengelola kota akan berakibat sangat fatal. Biaya pemeliharaan yang minim berakibat pada pembiaran kondisi kerusakan yang berujung pada kekumuhan berresiko menimbulkan vandalisme dan kriminalitas. Hal ini semestinya tidak akan terjadi apabila sejak awal sudah diantisipasi resiko dan kerentanan kegagalan pengelolaannya melalui perencanaan sistem pembiayaan operasional yang efisien serta pendampingan warga penghuninya dalam menjalankan proses transformasi adaptif budaya dan perilaku huninya.

Rekayasa Keruangan dan Kepenghunian

Pola perilaku kepenghunian dalam rusun tingkat tinggi bagi masyarakat berpenghasilan rendah sangat berbeda dengan masyarakat berpenghasilaan menengah ke atas. Mulai dari tingkat privasi sampai dengan interaksi ketetanggaannya. Pintu unit hunian di rusun bagi masyarakat berpenghasilan rendah senatiasa terbuka dan hanya tertutup pada tengah malam saja. Demikian juga pemanfaatan ruang teras sebagai ruang semi privat dan koridor sebagai ruang semi publik sangat tinggi intensitas penggunaannya sebagai area interaksi sosial. Termasuk ruang-ruang kantong komunal (communal pocket space) merupakan area yang paling sering digunakan sebagai ruang sosial. Hal ini merupakan

fenomena ‘continuous living adaptability’ dari pola kepenghunian masyarakat yang berhuni pada permukiman tapak di kampung sebelumnya.

Tranformasi adaptif dari gang kampung permukiman tapak menjadi koridor rumah susun menjadi hal yang harus dicermati rekayasa keruangannya dan pola perilaku kepenghuniannya. Di satu sisi, budaya gang kampung permukiman tapak harus terakomodasi dengan baik dalam desain koridor rumah susun dari segi dimensi dan polanya.

Di sisi yang lain, kerentanan kekumuhan akibat transformasi dari gang kampung menjadi koridor rumah susun juga harus diantisipasi. Pola peluberan (ekstensi) dari teritori ruang privat hunian kearah teritori semi privat, semi publik bahkan teritori publik kerap sekali terjadi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penggunaan teras dan ruang-ruang kantong komunal sebagai tempat usaha dan tempat penyimpanan dari unit-unit hunian (bukan untuk kepentingan publik/komunal). Akibatnya, terjadi penyempitan dimensi ruang

sumber foto: M. Harsya Pambudi

DINAMIKA RISET - LITBANG38

penggunaan teras dan ruang-ruang

kantong komunal sebagai tempat

usaha dan tempat penyimpanan

unit-unit huniandi Rusunawa

Jatinegara Barat

koridor bahkan pada beberapa fungsi pencahayaan pada bagian ujung koridor yang seharusnya digunakan untuk pencahayaan dan penghawaan alami sering terhalangi fungsinya akibat digunakan sebagai fungsi ekstensi teritori ruang privat dari unit hunian yang berada didekatnya. Demikian juga pemanfaatan balkoni sebagai ruang teras utuk menjemur sering menjadi area peluberan fungsi yang lain (misalnya digunakan sebagai ruang makan atau gudang bahkan sering ditutup sebagai tambahan ruang tidur) yang mengakibatkan tampilan kekumuhan dari sisi luar bangunan dan mengurangi fungsi pencahayaan dan penghawaan alami bagi unit huniannya.

Selain itu, pola ketetanggan yang selama ini berlangsung di kehidupan kampung permukiman tapak dengan tingkat mobilitas dan lingkup kewilayahan interaksinya yang sangat tinggi juga harus menjadi pertimbangan.

Penggunaan lift yang terlalu tinggi dapat menyebabkan membengkaknya operating cost dari bangunan rusun tinggi. Untuk itu, rekayasa bukaan pintu lift menjadi sangat penting. Misalnya diselesaikan dengan pola skip-stop elevator dimana pintu lift terbuka hanya pada setiap 3-4 lantai atau bisa juga dibuat posisi bukaan pintu elevator pada posisi tangga bordes. Pengaturan penggunaan lift bagi rusun tingkat tinggi harus dibarengi dengan perencanaan fasilitas umum dan fasilitas sosial mulai dari tingkat ketetanggaan yang paling kecil (Rukun Tetangga/RT) sampai tingkat sedang (Rukun Warga/RW) dan tingkat yang paling luas cakupannya (Kelurahan) dalam satu bangunan menara. Hal ini dimaksudkan untuk mengefisienkan (meminimalisir) mobilitas penguni rusun tinggi dalam memenuhi kebutuhan pelayanannya sehari-hari.

Perencanaan kluster-kluster

hunian dalam skala jangkauan tingkat ketetanggaaan RT dan RW sebaiknya dibuat dalam satu kluster pelayanan 3 hingga 4 lantai yang masih bisa dijangkau melalui penggunaan sarana mobilitasnya berupa tangga. Sehingga rekayasa pola pengelompokan unit hunian, pola koridor serta posisi tangga harus diperhitungkan berdasarkan skala layanan yang masih mampu dijangkau dengan berjalan kaki di sepanjang koridor dan tangga. Hal ini dimaksudkan untuk penghematan penggunaan lift yang merupakan bagian yang paling boros penggunaan energinya (11 hingga 16 persen untuk penggunaan normal bangunan gedung). Terlebih bagi penggunaan untuk rumah susun tingkat tinggi yang merupakan transformasi dari hunian permukiman tapak dengan mobilitas yang sangat tinggi.

Selain mitigasi (pengurangan resiko) terhadap kekumuhan dan juga keborosan energi dalam

sumber foto: M. Harsya Pambudi

EDISI II TAHUN 2015 39

penggunaan sarana mobilitas vertikal, resiko terhadap kebakaran juga harus dipertimbangkan secara cermat. Posisi refuge area juga harus tepat serta memenuhi standar kecukupan luasan. Pengawasan terhadap teritori publik sebagai sarana evakuasi juga harus dilakukan secara ketat. Kecenderungan pembiaran yang dimulai dari skala kecil yang berkembang menjadi skala besar dalam pemanfaatan teritori ruang publik akan menimbulkan kesulitan dalam pengaturan dan akan berakibat sangat fatal.

Epilog

Pembangunan menara hunian dalam sebuah sistem kota padu merupakan sebuah konsekuensi logis dan keharusan dalam sebuah perencanaan dan pengelolaan perkotaan dengan tingkat intensitas yang cukup tinggi. Menara hunian kota padu bukan merupakan sekedar trend ataupun pilihan, tetapi merupakan sebuah keharusan. Keterbatasan lahan dan sumberdaya perkotaan

menuntut perencanaan hunian perkotaan dengan pola high density. Sehingga intensifikasi perkotaan (urban intensification) menjadi satu-satunya solusi dan strategi dalam bentuk konsep pembangunan kota padu.

Akan tidak menjadi masalah yang cukup berat apabila calon warga yang akan berhuni di dalamnya merupakan warga yang sudah siap berhuni dalam gaya hidup perkotaan yang mengedepankan prinsip privasi dan efisiensi. Namun apabila masyarakat yang akan berhuni merupakan masyarakat yang selama ini berhuni dengan gaya hidup hunian tapak permukiman kampung (semi rural atau semi perkotaan) maka banyak hal yang harus dipertimbangkan. Sehingga tidak terjadi lompatan budaya dan perilaku huni yang rentan terhadap terjadinya kekumuhan yang memicu kerawanan sosial hunian bertingkat tinggi.

Untuk itu diperlukan kajian secara cepat dan mendalam

terhadap pola transformasi adaptif budaya dan perilaku huni dari budaya bermukim permukiman tapak kampung menjadi budaya bermukim bertingkat tinggi. Peran Balitbang disini sangat penting untuk mengawal mulai dari proses perencanaan model yang tepat sampai pada proses kepenghuniannya (pengelolaan dan pengawasan). Apabila hal ini tidak dilakukan, resiko terjadinya fenomena Pruitt Igoe yang selama ini dijadikan pembelajaran bagi arsitek dan perencana kota dalam merekayasa hunian tingkat tinggi dalam sebuah kota kompak negara-nrgara lain, bukan tidak mungkin resiko ini bisa terjadi di Indonesia. Semoga kita mampu menyiapkan proses transformasi adaptif secara efektif dalam mendukung program akselerasi pencapaian target pembangunan ‘sejuta rumah’. Amin.

*Arsitek dan Perencana KotaDirektur PUSPERKIM UGMPusat Kajian Perumahan dan Pengembangan PerkotaanUniversitas Gadjah Mada

sum

ber f

oto:

istim

ewa

DINAMIKA RISET - LITBANG40

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pekerjaan merupakan bagian

penting dari sistem manajemen proyek. Kemajuan pekerjaan proyek menjadi indikator dalam proses pemantauan untuk menilai perkembangan pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan rencana yang telah disusun.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai salah satu bagian dari Kementerian PUPR yang mendukung e-Government yang berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Sebagai bentuk nyata dari dukungan tersebut, Balitbang Kementerian PUPR telah bekerjasama melalui PusLitBang Jalan dan Jembatan dengan pihak ketiga (PT Prajna Marga Solusi) dalam menerapkan satu sistemmonitoring terhadap pekerjaan konstruksi yang dilakukan di beberapa proyek, di antaranya:

Pada prinsipnya, proyek konstruksi jalan adalah salah satu jenis

proyek yang sangat dipengaruhi resiko dan ketidakpastian. Jika timbul beberapa hambatan yang tidak diinginkan oleh semua pihak, bisa berakibat fatal serta berpengaruh besar pada hasil dan pencapaian jadwal pekerjaan secara keseluruhan. Proses dalam pengerjaan proyek membutuhkan pengawasan dan pemantauan guna mengetahui perkembangan pengerjaan proyek yang berjalan.

Mengingat kompleksnya persoalan dalam setiap kegiatan pekerjaan di berbagai lokasi, melakukan pemantauan dan pembinaan dalam waktu yang bersamaan bisa menyulitkan pembina jalan. Maka dari itu dibutuhkan suatu sistem informasi untuk memantau pelaksanaan perkembangan pengerjaan proyek yang sedang berjalan di lapangan. Dengan adanya perancangan sistem ini, mempercepat sharing data pengerjaan proyek, mengelola data proyek, menjaga keutuhan data dan keamanan data proyek bisa dilakukan. Harapannya, dapat menyelesaikan masalah yang dialami perusahaan. Agar tercipta suatu sarana, sebuah program teknologi audio visual bisa menjadi tawaran/jawaban dalam

mencari solusi tersebut. Tentu saja sebaiknya solusi dilengkapi dengan standardisasi prosedur dan keselamatan kerja pada setiap pekerjaan konstruksi, yang dipadu sesuai kebutuhan stakeholder konstruksi dan informasi yang berdasarkan real time.

Remote Construction Monitoring System (RCMS)

Remote Construction Mentoring System merupakan sistem informasi yang dibangun untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan akan pemantauan dan pengendalian pekerjaan pembangunan konstruksi jalan secara lebih baik dan praktis. Aplikasi ini mempunyai peran penting untuk mengindikasikan bahwa pemantauan pembangunan jalan menjadi lebih hemat terutama dalam segi waktu yang kemudian berimbas pada biaya yang dikeluarkan.

Teknologi ini dirancang untuk dapat memberi solusi atas kendala dalam pemantauan dan pengendalian pekerjaan konstruksi jalan dengan didukung teknologi komputer dan elektronik yang

Sistem Pemantauan Proyek Berbasis Remote ConstructionMonitoring System(RCMS) Zaenal Arifin

EDISI II TAHUN 2015 41

memadai dengan penambahan model real-time monitoring yang mampu mengukur produktivitas dan kemajuan secara otomatis. Pemantauan berbasis RCMS ini terbukti memberikan dampak berupa peningkatan kualitas pekerjaan, ketepatan waktu dan administrasi yang lebih tertelusur.

RCMS merupakan aplikasi yang dibangun secara terintegrasi dengan aplikasi dashboard e-Monitoring yang memudahkan pemantauan dalam segi visualisasi dengan konsistensi dan akurasi data yang didapat langsung dalam pelaksanaan lapangan, yang dapat meningkatkan sistem manajemen konstruksi jalan melalui integrasi teknologi RCMS dengan SIPP dan e-Monitoring.

Sistem RCMS ini dibangun dengan berbasis web, sehingga aplikasi dapat diakses dari manapun dan kapan pun sepanjang tersedia koneksi internet. Dalam penggunaan sistem RCMS ini para pengambil keputusan dapat secara real time memantau kemajuan pekerjaan suatu proyek secara administrasi maupun secara visual.

Dari kurva dan diagram yang dihasilkan RCMS akan terlihat kecepatan dan keterlambatan, progress kemajuan, kendala, deteksi pergerakan, dan jalan atau tidak jalannya suatu pekerjaan konstruksi jalan. Penerapan RCMS ditujukan untuk keperluan keselamatan kerja dan lalu lintas.

Peranan sistem pemantauan proyek berbasis RCMS telah memberikan banyak kemudahan bagi para stakeholders Puslitbang Jalan & Jembatan yang dapat mendukung agenda pembangunan menuju kepada

prinsip pelaksanaan akuntabilitas yang lebih baik sesuai dengan kepentingan satu misi dari Kementerian Pekerjaan Umum yaitu meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas wilayah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan penyediaan jaringan jalan yang andal, terpadu dan berkelanjutan.

Diharapkan dengan penggunaan RCMS ini dapat memberikan solusi atas kendala para pengambil keputusan dalam hal pemantauan

dan pengendalian pekerjaan konstruksi dengan didukung pemanfaatan kemampuan teknologi informasi yang memadai sehingga dapat menghemat penggunaan waktu dan biaya.

Sistem ini juga diharapkan dapat mendukung program pemerintah dalam rangka keterbukaan informasi publik dan mendukung program e-Government.

Sistem RCMS berbasis web, sehingga bisa di akses

dari manapun selama tersedia koneksi internet.

Selain memantau dari jarak jauh, RCMS dapat mengumpulkan data dalam bentuk kurva dan diagram untuk melihat kecepatan dan perkembangan suatu pekerjaan..

DINAMIKA RISET - MANAJEMEN42

Kehadiran Badan Penelitian dan Pengembangan

(Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sesuai dengan adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menegaskan perlunya pelaksanaan fungsi dan layanan litbang bagi Kementerian dan stakeholders lainnya yang akan melaksanakan pembangunan infrastruktur PUPR.

Balitbang PUPR adalah organisasi Eselon I yang mempunyai tugas melakukan penelitian dan pengembangan bidang pekerjaan umum. Tugas tersebut mencakup penyusunan kebijakan teknis, penelitian dan pengembangan di bidang pekerjaan umum yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penerapan dalam rangka alih teknologi serta perumusan Standar, Pedoman dan Manual (SPM), berikut pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan.

Dalam melaksanakan tugasnya, Balitbang menaungi 5 unit Eselon II, yaitu Sekretariat Balitbang, Pusat Litbang Sumber Daya

Air (Pus-SDA), Pusat Litbang Jalan dan Jembatan (Pus-Jatan), Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman (Pus-Perkim) dan Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi (Pus-PKPT).

Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan dukungan kepada stakeholders bagi percepatan pembangunan infrastruktur yang berkualitas, Balitbang PUPR sedang melakukan telaah dan naskah akademik tentang terobosan dan strategi jitu model Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) sebagai pengganti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dapat menjangkau keseluruhan sistem infrastruktur.

Pelayanan Litbang yang ada pada saat ini dianggap memiliki kelemahan sistemik yang cukup mengganggu kinerja Litbang dalam membantu pembangunan maupun pemeliharaan infrastruktur. Besarnya investasi pada peralatan uji dan laboratorium tidak disertai dengan penguatan SDM dan sistem penyelenggaraan keuangan yang seirama dengan kebutuhan lapangan. Karena itu, perlu dilakukan terobosan dalam penyelenggaraan pelayanan

Litbang. Diharapkan dengan terobosan baru, Pusat-pusat Litbang dapat melakukan pelayanan secara lebih luas dengan memanfaatkan kapasitas yang tersedia.

Sebagai institusi pemerintah, Pusat-Pusat Litbang di lingkungan Balitbang PUPR pada umumnya menyelenggarakan kegiatan menggunakan sistem pengelolaan keuangan konvensional yakni PNBP. Model pengelolaan keuangan ini tidak cukup fleksibel untuk melayani permintaan pelayanan litbang yang membutuhkan kecepatan dan suplai logistik dan keuangan operasional yang besar. Proses pencairan yang membutuhkan waktu dapat menjadi kendala apabila permintaan datang melewati pertengahan atau mendekati akhir tahun anggaran.

Mengantisipasi hal ini, penawaran untuk menggunakan model pengelolaan keuangan dengan BLU sepertinya dapat menjadi solusi yang menjanjikan untuk memastikan dapat terlayaninya permintaan secara baik, sekaligus

RpHeny Prasetyawati*

EDISI II TAHUN 2015 43

Rp

terlaksananya good governance dalam penyelenggaraan layanan litbang.

Layanan Litbang dengan pola PNBP

Sampai saat ini pelayanan Litbang dilakukan dengan pola pengelolaan keuangan Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) dan PNBP. Pusat-pusat Litbang yang ada telah menjadi unit pengguna PNBP dan sudah mempunyai tarif layanan sebagaimana tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2012 tentang tarif PNBP yang berlaku pada Kementerian Pekerjaan Umum. Tahun ini Kementerian PUPR sedang mengajukan revisi terhadap tarif yang ada karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan layanan maupun biaya pengelolaan alat dan bahan.

Padahal jangkauan pelayanan Balitbang sudah mencakup seluruh Indonesia dengan stakeholders/klien yang terdiri dari: stakeholders utama (direktorat jenderal teknis di bawah naungan Kementerian PUPR), Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN, Swasta, Investor, Perguruan Tinggi dan Masyarakat Umum. Indikator kinerja outcome Balitbang Kementerian PUPR tahun 2010-2014 yakni persentase pelayanan teknis yang diterima stakeholders, mengalami kenaikan setiap tahunnya, khususnya sejak tahun 2012–2014. Ini menunjukkan indikator potensi layanan dan pasar yang cukup meningkat dan strategis dalam menyiapkan model pengelolaan keuangan dengan BLU. Ini artinya potensi pengembangan layanan yang siap menyambut pasar terbuka. Pada

saat ini penerimaan dari PNBP di masing-masing Puslitbang memperlihatkan peningkatan setiap tahunnya. Seperti dapat dilihat pada tabel di bawah.

Penerapan PK-BLU Sebagai Strategi Jitu BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi, produktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada stakeholders, sesuai ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

Grafik PNBP Puslitbang di lingkungan Balitbang Kementerin Pekerjaan Umum (dalam rupiah)

Rp 10.261.798.043.000

Rp 7.007.711.000

Rp 7.261.733.00 Rp 2.080.816.00

Rp 2.987.339.000

Rp 3.090.495.000 Rp 4.546.495.000

Rp 2.334.075.000

Rp 1.725.280.000

DINAMIKA RISET - MANAJEMEN44

dalam membentuk dan menjadi satker yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum.

Untuk memenuhi persyaratan teknis, dapat dianalisa dengan kriteria sebagai berikut: kinerja pelayanan layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU; kinerja keuangan Balai-Balai sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU; dan pendapatan Balai-Balai mempunyai porsi cukup signifikan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pembentukan satker yang menerapkan pengelolaan keuangan BLU pada Balitbang PUPR perlu diikuti dengan perubahan kebijakan porsi untuk kegiatan litbang dan manajemen yakni 60:40. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan minimal 10 miliar rupiah untuk memenuhi salah satu unsur persyaratan teknis yaitu satker yang mempunyai pendapatan signifikan.

Pelayanan Litbang Dengan Pulsa Online

Untuk memberikan kepuasan lebih terhadap pelayanan yang dibutuhkan stakeholder secara cepat dan berkualitas, Badan Litbang PUPR sedang membuat Pelayanan Uji Laboratorium, Sertifikasi dan Advis teknis / PULSA secara online agar bisa mempercepat proses pelayanan. Harapannya dengan layanan PULSA Online dapat memberikan pelayanan publik yang merupakan kewajiban instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik kepada pemerintah daerah, badan usaha, swasta/investor, dan masyarakat sebagai penerima pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Hal ini dilakukan selaras dengan semakin tingginya ekspektasi masyarakat terhadap kualitas layanan pembangunan yang lebih inklusif, termasuk pelayanan infrastruktur yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas.

*Kasubbag Umum, Sekretariat Balitbang Kementerian PUPR

2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, instansi pemerintah ini dipersiapkan untuk bertransformasi sebagai agen otonom untuk melakukan pelayanan dengan kaidah-kaidah bisnis yang sehat namun tidak ditargetkan mencari keuntungan.

Kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang dimaksud dapat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, pembentukan satuan kerja (satker) baru yang menerapkan pengelolaan keuangan BLU pada Balitbang PUPR merupakan terobosan baru dan strategi yang jitu dalam meningkatkan layanan litbang kepada stakeholders.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 jo. PP Nomor 74 tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diijinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.

Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud di atas terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum. Berdasarkan analisis persyaratan substantif tersebut di atas, Balai-Balai di bawah naungan Balitbang layak dan memenuhi syarat administratif

instansi pemerintah ini dipersiapkan untuk

bertransformasi sebagai agen otonom untuk

melakukan pelayanan dengan kaidah-kaidah bisnis yang sehat

namun tidak ditargetkan mencari keuntungan.

Berdasarkan analisis persyaratan teknis tersebut di atas, untuk laporan keuangan pokok kurang signifikan, mengingat masih rendahnya porsi layanan kegiatan PNBP. Hal itu dikarenakan pengelolaan keuangan dengan pola PNBP cukup menghambat dalam melakukan peningkatan layanan.

Namun demikian, berdasarkan hasil analisis potensi pendapatan, dapat diketahui bahwa pendapatan PNBP Balai sebagaimana tabel di atas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, cukup potensial untuk diusulkan menjadi satker yang menerapkan model pengelolaan keuangan dengan BLU.

EDISI II TAHUN 2015 45

BERPIKIR KREATIF MENANGANI SAMPAH

Dunia akan menjadi tempat yang baik, bila manusia yang hidup di dunia

memiliki pola pikir yang baik. Cara pandang manusia terhadap sesuatu itulah yang menjadikan sesuatu tersebut negatif atau positif. Hal ini pun berlaku untuk sampah.

Umumnya masyarakat mengenal dua jenis sampah, yaitu sampah organik yang merupakan sampah yang berasal dari sisa material hidup dan mudah membusuk, dan yang lainnya adalah sampah non-organik yang merupakan sampah yang berasal dari sisa material non-biologis dan sulit terurai. Selain dua kategori diatas, juga terdapat sampah B3 yang merupakan limbah dan beracun. Apabila sampah sudah tidak lagi dapat diolah dengan pemadatan, pengomposan, daur ulang materi atau daur ulang energi, maka disebut sebagai residu.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2013 tentang penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dalam penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga adalah dikhususkan untuk menangani sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, dikecualikan untuk tinja dan sampah spesifik yang memiliki aturan tersendiri. Selain

sampah yang berasal dari kegiatan keseharian rumah tangga, yang diatur dalam peraturan ini juga sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.

Dewasa ini, kebijakan dalam penanganan sampah telah menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) pada tempat pengolahan sampah sehingga sampah hasil pengumpulan bukan hanya ditimbun melainkan dilakukan kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang dan pendauran ulang pada skala kawasan.

Dalam menangani sampah, masyarakat dan swasta juga memiliki peran. Masyarakat dapat memberikan usulan hingga menjadi pelaksana kegiatan penanganan sampah yang dilakukan secara mandiri maupun dengan kemitraan dengan pemerintah kota/kabupaten. Swasta juga dapat berperan aktif, termasuk juga dengan melibatkan pihak negara asing pada penanganan sampah. Selanjutnya, pembuangan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga serta residu ke tempat pembuangan akhir (TPA) hanya diizinkan hingga tahun 2025, dan setelah itu hanya residu yang dapat dibuang disana.

Implementasi penanganan sampah dengan melibatkan swasta, kerjasama pemerintah asing dan pemerintah Indonesia dan masyarakat, dapat dilihat di kota Surabaya. Super Depo Suterejo adalah salah satu fasilitas percontohan sanitasi di Surabaya, yang bertujuan untuk mengurangi sampah sebelum dibuang ke tempat penimbunan, sebagai upaya mewujudkan ‘Low Carbon Society’. Super Depo Suterejo diresmikan pada tanggal 8 Maret 2013, sebagai kerjasama antara Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Kitakyushu melalui Nishihara Corporation.Fasilitas ini berlokasi di Mulyorejo, bagian timur dari kota Surabaya, dan melayani dua desa yaitu Dukuh Suterejo dan Kalisari. Jumlah sampah yang diproses pada depo ini hanya sekitar 15-16 ton per hari, namun sampah yang masuk benar dipilah dengan menggunakan teknologi dan juga penggunaan tenaga kerja manusia. Melalui proses pilah, hasilnya adalah timbunan sampah yang masuk dapat dikurangi hingga sepertiga dari volume awal. Pada gambar 1, adalah foto yang diambil saat mengunjungi depo bersama Pusat Litbang Permukiman. Sampah yang datang dibawa gerobak sampah, lalu dipilah

Retta Ida Lumongga*

DINAMIKA RISET - KIPRAH46

LITBANG

dan ukkan dalam kerangkeng sampah. Terdapat conveyor belt yang mengelilingi depo, yang digunakan untuk membawa sampah untuk dipilah, dari tempat pemilahan awal hingga tempat pemilahan akhir. Beberapa pegawai yang bekerja memilah sampah sesuai posnya masing-masing. Suasana lingkungan sekitar depo dapat dikatakan bersih untuk ukuran depo sampah meskipun bau sampah yang menyengat sangat terasa. Hanya disayangkan, kali di depan depo tampak tercemar buangan sampah sehingga kadar oksigen air rendah, terlihat dari banyaknya ikan sepat yang melompat-lompat di air untuk menghirup udara.

Selain pemilahan sampah pada depo, masyarakat desa setempat juga mandiri dalam menangani sampah. Sebuah desa yang menjadi eco-tourism village yaitu desa Jambangan yang berada di bagian selatan kota Surabaya, secara kreatif menerapkan sistem ramah lingkungan pada desa tersebut. Komunitas desa tersebut secara mandiri mengelola 4 tempat penyimpanan sampah, dengan kapasitas sekitar 12,5 ton sampah per bulan. Bukan hanya melakukan pilah, tetapi sampah yang dipisahkan oleh warga berdasarkan jenis organik dan non-organik tersebut, diproses lebih lanjut menjadi karakteristik berbeda yang mempunyai nilai ekonomis lebih.

Untuk sampah organik, masyarakat desa menerapkan hasil sosialisasi biofil dari pemerintah untuk mengolah sampah organik menjadi kompos. Memang membutuhkan waktu yang lama hingga setahun untuk menghasilkan kompos, dikarenakan sampah yang dikumpulkan biasanya berupa sisa-sisa material biologis rumah tangga maupun daun-daun kering dalam jumlah yang tidak seberapa tiap harinya. Sedangkan untuk sampah non-organik, masyarakat desa tersebut menerapkan Bank Sampah. Penduduk desa dapat mengumpulkan sampah berupa plastik bekas air minum dalam kemasan, bekas wadah detergen dan sebagainya, lalu menghitung nilainya dalam rupiah yang kemudian menjadi tabungan tiap penduduk pada desa tersebut. Sistem bank sampah ini pun memungkinkan penduduk yang menjadi anggotanya untuk dapat melakukan peminjaman uang hingga 3 juta rupiah dengan pengembalian yang dicicil.

Sampah-sampah non-organik buangan rumah tangga tersebut, diolah oleh para ibu rumah tangga menjadi berbagai merchandise yang unik, seperti bros, tas, tatakan meja dan banyak lagi. Harga dari sampah tersebut setelah diolah pun menjadi melambung. Misalnya, sebuah tas tangan ukuran sedang yang dibuat dari sampah bekas kemasan cairan

pelembut pakaian yang berwarna biru muda, yang bila dibeli di toko persatuannya hanya beberapa ribu rupiah, setelah menjadi tas kemudian dihargai menjad 100 ribu rupiah.

Pada gambar 2, dapat dilihat harga sampah yang dikumpulkan warga yang kemudian ditukarkan uang dalam bentuk tabungan sampah. Desa ini juga telah banyak mendapatkan penghargaan dalam bentuk uang tunai mulai dari jutaan hingga paling tinggi 45 juta rupiah. Bahkan dijelaskan oleh tokoh masyarakat, desa tersebut tengah berupaya mendapatkan bantuan asing yang dalam rupiah berada pada kisaran 2 miliar rupiah.

Dengan demikian, jika disikapi secara kreatif, maka sampah bukan hanya sekedar sisa buangan yang tidak berguna yang menjadi gangguan lingkungan, tetapi dapat menjadi pemersatu dua negara, menerapkan berbagai temuan teknologi, menciptakan lapangan kerja baru, tabungan, bahkan dapat memiliki nilai jual yang tinggi. Semoga tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi pembaca, untuk mulai berpikir positif terhadap sampah.

*Peneliti Sekretariat Badan Litbang

Dari kiri: Bagian dalam dari Depo sales, sungai di depan punti masuk Depok, Tabungan Bank sederhana warga dan Teknologi Sederhana Memproses Sampah Organik

sumber foto-foto: Sekretariat Balitbang

EDISI II TAHUN 2015 47

Ir. Bernaldy, C.E.S., pria kelahiran Bukittingi, 8 April 1957 terpilih menjadi Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sosoknya dikenal simpatik namun tegas dalam mengambil keputusan, mimpinya membawa Balitbang ke depan pelan-pelan diwujudkan melalui berbagai perubahan di lingkungan Sekretariat Balitbang.

Alumni Teknik Sipil Universitas Indonesia angkatan 78 ini sebelumnya telah berkarir di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sejak tahun 1984. Pengalamannya sejak di Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PU telah membawanya menjadi Asisten Deputi Evaluasi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat dan akhirnya kembali dipercaya untuk memimpin Sekretariat Balitbang. Disela-sela kesibukannya Tim Dinamika Riset berkesempatan melakukan wawancara tentang ‘mimpinya’ di Balitbang.

Apa mimpi Bapak dalam mengembangkan Balitbang?

Hmm…kalau masuk Balitbang bukan mimpi ya, tapi amanah dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk mendampingi Pak Kepala Balitbang membawa

Balitbang menuju yang lebih baik. Nah…kalau bisa disebut mimpi saya terhadap Balitbang, sudah tentu harus sejalan dengan kebijakan Pak Arie (Kepala Balitbang-red.) ingin membawa Balitbang menjadi garda depan di Kementerian PUPR. Sebagai institusi yang menangani penelitian dan pengembangan (kalau di swasta ini biasa disebut Research and Development atau R and D) Balitbang harus kembali melihat ke dalam. Tugas saya adalah melakukan pembenahan di internal Balitbang, melihat kembali hubungan Balitbang dengan Direktorat-Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian PUPR, membangun sinergitas, mengembangkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait dengan produk-produk Balitbang yang sudah ada dan atau sedang dalam proses penelitian dengan pihak swasta, perguruan tinggi maupun investor. Hal ini penting dikarenakan sampai saat ini produk-produk yang dihasilkan oleh Balitbang belum secara optimal dapat dirasakan oleh masyarakat luas, padahal biaya penelitian dan pengembangan yang sudah dikeluarkan tidak sedikit.

Analogi sederhananya begini, kalau Balitbang itu sebuah restoran, maka kita perlu melihatnya dari hulu ke hilir, misalnya, apakah menunya sudah disusun sesuai dengan kebutuhan market, apakah peralatan yang digunakan masih berfungsi baik, apakah bahan baku untuk mengolah masakan tersebut adalah

BERNALDY:SEKRETARIAT BALITBANG

MEMBANGUN SINERGITAS MENGEMBANGKAN

KERJASAMA

sumber foto: M. Harsya Pambudi

DINAMIKA RISET - TOKOH48

LITBANG

bahan baku terbaik dan segar, apakah koki yang memasak adalah koki-koki yang terbaik dengan pengetahuan yang baik juga, apakah koki tersebut tepat untuk masakan yang akan diolah, apakah ruang dapur higienis, ruang makan penataannya baik, sampai ke pelayan apakah sudah memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan baik? Semua itu adalah analogi pertanyaan yang perlu dijawab oleh Balitbang, untuk menjawab itu maka saya melakukan penataan dimulai dari Sekretariat Balitbang, karena fungsi sekretariat selain sebagai pelayan juga sebagai pembina dari Pusat-Pusat Litbang.

Apa itu bukan hal yang terlalu ambisius?

Lho…kenapa nggak boleh ambisius? Ambisius beda ya dengan ambisi, ambisius adalah keinginan untuk mencapai cita-cita melalui targetan-targetan capaian yang jelas dan bisa diukur. Bagi saya membangun Balitbang harus ambisius agar target tersebut dapat dicapai, mari kita semua yang ada di Balitbang bergandengan tangan, berjalan bersama, bahu-membahu dari mulai staf, Pejabat Eselon IV, Pejabat Eselon III, para Kepala Pusat Litbang, hingga saya dan Pak Arie. Kalau ini semua kita lakukan bersama tanpa mengedepankan ego, saya yakin Balitbang akan lebih maju. Dan bagi saya pribadi, saya bukan orang yang mudah begitu saja menerima keadaaan atau menyerah kepada keadaan, kalau demi kebaikan saya mesti melakukan perubahan, maka saya dengan segenap tenaga akan berusaha mengubah keadaan yang ada menjadi lebih baik tentunya.

Saya yakin semua orang pada dasarnya menginginkan keadaan yang lebih baik, lebih dasar lagi semua manusia pasti ingin kehidupan yang lebih baik dari sekarang, kalau ada yang merasa terusik mungkin mereka terlalu nyaman dalam zona yang sebenarnya membuai mereka sendiri. Tapi kembali lagi, perbedaan yang terjadi itu sebuah hal yang biasa bagi organisasi sebesar Balitbang, sebuah dinamika, asal perbedaan itu bukan sebuah perbedaan yang merusak Balitbang. Kalau Balitbang tidak berkembang, pertanyaan saya adalah siapa yang harus menanggung malu, harusnya ya kita semua ini yang malu sudah bertahun-tahun di Balitbang tapi kok ya gitu-gitu aja, nggak ada perubahan.

Lalu apa langkah-langkah Bapak untuk mencapai perubahan tersebut?

Hmm…menurut saya banyak hal yang harus dilakukan. Salah satunya adalah memberikan motivasi bagi seluruh staf dan teman-teman pejabat di lingkungan Balitbang. Bahwa kita (Balitbang) punya tanggung jawab besar sebagai pendukung sarana teknologi infrastruktur di Kementerian PUPR atau lebih besarnya untuk masyarakat Indonesia. Hal tersebut merupakan tugas yang besar, bukan tugas yang mudah. Nah…jika kita semua sudah tahu bahwa kita ini punya tugas dan tanggung jawab yang besar apakah kemudian kita tidak akan berbuat sesuatu, kita akan diamkan saja? Kan sudah pasti akan kita jalankan, wong kita ini abdi negara kok, pelayan dari masyarakat. Tinggal kemudian menjalankannya ini yang bagaimana?

Apa-apa yang sudah kita jalankan di waktu sebelumnya kan sudah pasti, mau tidak mau harus kita terima nih…nah apa yang kita terima itu, marilah kita evaluasi bersama, gunanya evaluasi kan mencari sesuatu hal baik positif maupun negatif dari suatu kondisi atau apapun namanya. Kalau positif mari sama-sama kita pertahankan dan kembangkan nah kalau negatif ya harus kita ubah bersama, secara teori memang terdengar mudah tapi pada kenyataannya ini bukan hal yang mudah seperti kita membalik telapak tangan. Minimal bagi saya, selama 6 bulan ini kita di Balitbang sudah memiliki platform yang sama, mulai dari bagaimana menyusun suatu anggaran, menyusun suatu program kegiatan, bagaimana melakukan pengawasan dan pengendalian, bagaimana melakukan monitoring dan evaluasi, dan masih banyak lagi. Kalau kembali ke analogi restoran tadi maka kita harus sama-sama belajar bagaimana cara mengolah menu tadi, misalnya ada sebuah resep, kan tergantung kita bagaimana kita mau mengolah dan memodifikasi resep tersebut, jadi ke depannya saya berharap Balitbang bisa lebih fleksibel. Kalau cuma resep standar yang disajikan menjadi makanan bisa-bisa lewat kita nggak bisa jadi ‘pemain’ di negeri sendiri.

Jika demikian, maka apa target Bapak untuk tahun depan?

Kalau kita semua di Balitbang sudah memiliki platform yang sama Insya Allah saya yakin tahun depan semua akan jalan dan Balitbang akan menjadi lebih baik. Dan saya setuju dengan apa yang sudah disampaikan oleh Pak Kepala Balitbang, bahwa Balitbang sudah harus satu paket, artinya Balitbang melakukan suatu kegiatan dari A sampai Z yang melibatkan semua

EDISI II TAHUN 2015 49

pemangku kepentingan yang juga mulai dari A sampai Z. Dimulai dengan melibatkan dari peneliti, pengguna hingga produsen. Kalau tidak nanti kita akan cuma jadi penonton saja melihat Indonesia diserbu oleh banyak produk-produk dari luar negeri, yang paling sakit kalau produk itu dari negara ‘tetangga’ dan lebih dipercaya ketimbang produk-produk yang dikeluarkan atau akan dikeluarkan Balitbang.

Saat ini Balitbang sudah melakukan koordinasi dan sinergi dengan Direktorat Jenderal (Dit.Jend) Bina Konstruksi (sebelumnya bernama Badan Pembinaan Konstruksi/Bapekon.-red.) dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM). Balitbang membuat produk, Dit.Jend. Bina Konstruksi membantu pengembangan para pelaku dunia konstruksi dan BPSDM meningkatkan kualitas para peneliti di lingkungan Balitbang khususnya dan umumnya lingkungan Kementerian PUPR. Jadi nantinya para pengguna lebih yakin tentang produk-produk yang dihasilkan Balitbang. Kalau bisa diistilahkan Balitbang dengan Dit.Jend. Bina Konstruksi seperti sebuah mata uang dengan dua muka sedangkan kalau bertiga dengan BPSDM, kita itu seperti The Three Musketeers.

Bagaimana peran Sekretariat Balitbang yang saat ini dipimpin oleh Bapak dalam mendukung perubahan Balitbang ke depan?

Setba (Sekretariat Balitbang-red.) memiliki dua fungsi, sebagai pembina sekaligus pelayan. Dalam fungsinya sebagai pelayan Setba harus mampu melayani pelbagai kebutuhan Pusat-Pusat Litbang dengan baik, sedangkan fungsi Setba sebagai pembina menyampaikan pesan-pesan atau apa-apa yang terjadi di pusat, kebetulan Setba ini kantornya berada di pusat (Jakarta-red.), sedangkan Pusat-Pusat Litbang berada di luar Jakarta. Nah…dalam mejalankan kedua fungsi ini maka Setba dituntut selalu menjadi terdepan dan terbaik, bagaimana kita akan menjadi pembina kalau kita (Setba) malah kinerjanya tidak bagus. Hal ini perlu disadari oleh semua orang yang berada di lingkungan Sekretariat Balitbang. Balitbang adalah salah satu organisasi di Kementerian PUPR yang sudah mendapatkan ISO. Untuk itu perlu dilakukan sebuah standarisasi kegiatan, masa kita sudah punya ISO tapi kegiatannya nggak mencerminkan itu? Salah satu peran Setba adalah membuat Balitbang ini lebih solid tidak terpecah-pecah. Sebagai contohnya kegiatan-kegiatan Setba seperti yang kita laksanakan

di Yogyakarta bulan kemarin menjadi terpadu tidak kemudian masing-masing bikin kegiatan sendiri.

Bapak tadi sudah bercerita panjang lebar soal Balitbang, sebenarnya kalau ditarik lebih ke belakang lagi apa sih cita-cita Bapak?

Hehehe…sebenarnya kalau waktu kecil sih saya mau jadi pilot eh nggak jadi.

Jadi maksud Bapak, jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu kecelakaan bukan cita-cita?

Kan saya bilang itu waktu kecil, boleh dong berubah-ubah. Ketika kuliah saya memang ingin jadi PNS dan dulu itu saya konsentrasinya di ke-Bina Marga-an, kebetulan saya kan dari Teknik Sipil, jadi sejak mulai mulai skripsi saya memang akrab sekali dengan hal-hal yang terkait ke-Bina Marga-an. Kenapa bagi saya itu cita-cita, karena jaman dulu untuk menjadi PNS itu adalah panggilan, kenapa panggilan karena zaman dulu PNS nggak seenak sekarang, sekarang tunjangan ini itu banyak, dulu mah susah. Jadi kalau nggak panggilan mana mau jadi PNS kala itu, beda dengan sekarang PNS itu sudah mulai dilirik, nggak cuma sama orang-orang muda, tapi juga calon mertua lah minimal, ha...ha…ha…

sum

ber f

oto:

M. H

arsy

a Pa

mbu

di

DINAMIKA RISET - OPINI50

LITBANG

LITBANG

Target penanganan sektor perumahan dan permukiman menurunkan

angka backlog berdasarkan konsep penghunian dari 7,6 juta unit pada tahun 2014 menjadi 5 juta unit pada tahun 2019 atau berdasarkan konsep kepemilikan dari 13,5 juta unit pada tahun 2014 menjadi 6,8 juta unit pada tahun 2019 merupakan tantangan sekaligus peluang untuk bekerja lebih keras dan berpikir lebih inovatif dalam kerangka besar “program nasional sejuta rumah”. Mengingat kondisi saat ini masih banyak permasalahan yang harus dicarikan solusinya. Mulai dari ketidaksinkronan regulasi, misalnya pembagian peran (kewajiban) antara pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota sektor perumahan yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 (UU No. 1/2011) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 (UU No. 20/2011) tentang Rumah Susun berbeda dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU No. 23/2011) tentang Pemerintah Daerah yang berimplikasi terhadap kesiapan dan kejelasan peran pemerintah daerah dalam mendukung ketersediaan lahan, kemudahan

perijinan dan keberadaan kelembagaan pendukungnya.

Di tingkat pemerintah nasional penguatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai lembaga regulator dan enabler serta lembaga korporasi pelaksana penyediaan perumahan umum nasional Perum Perumnas sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor perumahan masih harus melakukan konsolidasi kelembagaan. Dan tentu saja fungsi kemitraan baik secara lintas kementerian/lembaga (misalnya dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) maupun secara lintas pelaku khususnya dengan pihak swasta (pelaku usaha) mutlak harus melakukan kosolidasi peran dan strategi kemitraannya.

Memberdayakan Pemerintah Daerah

Pelaksana pembangunan yang sebenarnya adalah daerah sedangkan pemerintah nasional berpartisipasi sebagai regulator dan enabler. Untuk itu, penguatan peran lebih berdaya atau dengan kata lain “Pemberdayaan

Pemerintah Daerah” menjadi sangat penting dan strategis. Di tengah-tengah situasi para pemangku kewajiban tata laksana pemerintah daerah yang serba “paranoid” (ketakutan yang berlebihan-red.) akibat resiko target lawan politik ataupun pesaing kerja dengan cara “mencari-cari kesalahan” yang berujung pada penjeblosan ke ranah kesalahan tindak pidana, para pemangku kewajiban berperilaku ‘bermain aman’ (play save) dan menghindar dari kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola kegiatan pembangunan. “Penguatan pendampingan dan penjaminan keselamatan” oleh para penegak hukum terhadap para pemangku kewajiban pengelola pembangunan untuk mampu bekerja lebih keras dan berpikir lebih inovatif dengan tetap mengedepankan prinsip “kehati-hatian dan kejelasan akuntabilitas”nya.

Melalui penguatan peran pemerintah daerah diharapkan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan perkotaan akan lebih efektif dilaksanakan. Mengingat sumberdaya perumahan berupa sumber-sumber pendanaan, ketersediaan lahan serta kewenangan

Konsolidasi Peran Dan Strategi Program Sejuta RumahBUDI PRAYITNO

sumber foto: istimewa

EDISI II TAHUN 2015 51

Konsolidasi Peran Dan Strategi Program Sejuta Rumah

pengaturan dan pengendalian penataan ruangnya dalam bentuk kewenangan perijinan berada di daerah sehingga akan lebih efektif dalam melakukan konsolidasi (restrukturisasi dan penguatan) kinerja tata kelola dan kelembagaannya. Bahkan selain penyelesaian permasalahan pencadangan tanah untuk kepentingan umum melalui kebijakan bank tanah dan permasalahan kerumitan dan kemahalan perijinan, penyelesaian permasalahan kelembagaan korporasi penyedia pasokan perumahan di daerah termasuk infrastruktur dan lahannya pun dapat diperkuat di daerah melalui pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sehingga dalam skala nasional Perum Perumnas sebagai lembaga korporasi milik negara (BUMN) dapat berfungsi sebagai lembaga semacam Badan Urusan Logistik (BULOG) yang menangani penyediaan pasokan dalam skala nasional.

Mendorong Kebijakan Kawasan Siap Bangun (Kasiba)

Pemahaman konsep bank tanah bukan sekedar membeli tanah sebagai upaya pencadangan/pasokan saja, melainkan juga bertujuan untuk mengendalikan tata ruangnya. Kebijakan yang terkait dengan fungsi tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam bentuk Kawasan Siap Bangun (KASIBA) yang mengandung pengertian sebidang tanah yang fisik serta prasarana, sarana dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai

dengan rencana tata ruangnya. Bahkan hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999, yang menerangkan bahwa pengelolaannya dapat dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggaraannya dapat dilakukan oleh badan pengelola baik BUMN maupun BUMD.

Sekali lagi peran korporasi penyelenggara penyediaan perumahan lebih tepat harus segera dilakukan oleh BUMN dan BUMD. Hal ini mengingat bahwa terdapat perbedaan pencapaian kinerja birokrasi kementerian yang berbasis tata kelola pelayanan publik dengan pencapaian kinerja korporasi yang berbasis tata kelola usaha. Program Sejuta Rumah mutlak harus didukung oleh keterpaduan sistem tata kelola pelayanan publik yang efektif dan sistem kerja tata kelola korporasi untuk kepentingan publik. Pengembangan yang sebenarnya merupakan penerapan konsep kawasan siap bangun dalam mendukung program sejuta rumah adalah program pengembangan kawasan skala besar melalui kemitraan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Perum Perumnas (BUMN), PT. Bank Tabungan Negara dan PT. Jakarta Propertindo (BUMD) dalam bentuk pengembangan kota baru publik dengan konsep new town in town berupa 40 menara yang terdiri dari 18.000 unit rusun yang dapat menampung 72.000 masyarakat berpenghasilan rendah diatas lahan seluas 22,4 ha di Kemayoran, Jakarta. Lahan tersebut terdiri dari 14,4 ha kawasan padat kumuh serta 8 ha merupakan peremajaan rumah susun bertingkat menengah (mid-rise).

Merevitalisasi Perumnas

Penetapan Perum Perumnas sebagai pengemban utama amanah untuk merumahkan rakyat dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Pada tahun-tahun awal berdirinya, BUMN ini pernah mampu membangun permukiman baru berskala besar yang sampai saat ini dikenal sebagai ‘branding’ kawasan perumahan umum dengan sasaran masyarakat berpenghasilan menengah bawah. Namun dalam perjalanannya, pemerintah belum mampu menjalankan badan usaha tersebut sebagai bentuk penugasan kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO) akibat minimnya dukungan Penyertaan Modal Negara (PMN) serta lemahnya dukungan kebijakan dalam memerankan Perum Perumnas sebagai pengelola pasokan tanah (bank tanah) untuk keperluan penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Melalui dukungan regulasi yang berupaya merevitalisasi peran Perum Perumnas, maka disusunlah RPP tentang Revitalisasi Perumnas yang saat ini sedang dalam proses pengesahannya. Inti dari penguatan kembali (revitalisasi) tersebut meliputi penguatan terhadap 4 fungsi yang harus diperankan oleh Perum Perumnas. Pertama, Perumnas diberi amanah untuk mampu mengelola dan mengembangkan aset lahan yang diperuntukkan bagi kepentingan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk sistem pencadangan tanah berupa bank tanah. Kedua, Perumnas diberi

DINAMIKA RISET - OPINI52

LITBANG

LITBANG

penguatan penugasan tidak hanya sebagai pelaku pembangunan perumahan umum tetapi juga sebagai pengelola perumahan umum. Untuk itu pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2004 (PP No. 12/2004) tentang Perumnas terutama tentang lingkup penugasannya sehingga mampu menjalankan peran dan kewenangannya sebagai penyedia utama perumahan umum. Ketiga, dalam konteks pembangunan kawasan berskala besar tentunya Perumnas harus mampu berperan untuk mengembangkan dan menjalankan fungsi dan kewenangannya sebagai penyedia dan pengelola perumahan umum dalam bentuk pengembangan dan pengelolaan kawasan siap bangun (kasiba). Keempat, sebagai konsekuensi logis dari penguatan peran dan kewenangan tersebut serta berpedoman pada UU No. 1/2011 dan UU No. 20/2011 maka Perum Perumnas selayaknya harus difungsikan sebagai badan pembangunan perumahan nasional atau di negara-negara lain sering dikenal dengan sebutan “National Housing Development Board”.

Keterpaduan Program Pembangunan “Perumahan dan Perkotaan”

Peningkatan persentase jumlah penduduk yang berhuni di perkotaan semakin meningkat, pada tahun 2005 berjumlah 47,9 persen, pada tahun 2010 berjumlah 54,1 persen dan diprediksikan akan meningkat mencapai 67,5 persen (ada perhitungan versi lain yang menyebutkan angka 68,3 persen) pada tahun 2025. Meskipun dari sisi pengembangan perdesaan

juga sudah banyak upaya yang dilakukan dan menunjukkan peningkatan dari sisi jumlah desa dengan laju 7,8 persen dari periode pembangunan 2005-2008 serta upaya-upaya pemekaran desa serta pengembangan desa-desa agropolitan, minapolitan dan desa-desa wisata, namun tingkat capaian kinerja keberhasilan programnya belum mampu mendorong peningkatan produktivitas kerja, kualitas sumberdaya manusia serta tingginya angkatan kerja yang belum terserap. Akibatnya, sampai saat ini perkotaan masih menjadi tumpuan target bermukiman warga. Akibatnya, kemampuan perkotaan dalam menghadapi derasnya arus urbanisasi yang sering dengan istilah ‘hyper urbanization’ tidak seimbang dan berimplikasi pada semakin cepatnya pertumbuhan kantong-kantong kemiskinan yang ditunjukkan dengan semakin meluasnya kawasan padat huni perkotaan. Pemukiman padat kumuh yang tersebar di sekitar 10 kota besar di Indonesia yaitu Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Semarang, Yogyakarta,

Surabaya, Banjarmasin, Pontianak dan Makassar. Bahkan angkanya pun menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan yang pada tahun 2004 luasan permukiman kumuhnya mencapai 54.000 ha dan meningkat menjadi 57.000 ha pada tahun 2009. Namun secara bertahap pemerintah telah berhasil menurunkan luasan kawasan kumuhnya menjadi 38,431 ha pada akhir tahun 2014. Pemerintah melalui gerakan 100-0-100 mentargetkan bahwa pada tahun 2019 luasan permukiman kumuh menjadi 0 ha dari angka 38,431 ha pada akhir tahun 2014 dan mentargetkan akses air minum layak menjadi 100 persen dari angka 70 persen pada akhir tahun 2014 serta akses sanitasi layak menjadi 100 persen dari angka 60,9 persen pada akhir tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara proses urbanisasi yang menuntut penanganan secara kontinum (bukan dikotomi) permasalahan perdesaan dan perkotaan. Untuk itu, program sejuta rumah dan gerakan 100-0-100 merupakan satu kesatuan kerja

sumber foto: istimewa

EDISI II TAHUN 2015 53

sistemik penanganan perumahan dan perkotaan secara utuh dan terpadu. Implikasi dari kesatuan penanganan perumahan dan perkotaan dapat dilakukan melalui penguatan kinerja pemberdayaan pemerintah daerah dalam menyediakan lahan bagi permukiman, menyederhanakan perijinan serta membentuk kelembagaan korporasi daerah yang mampu menjalankan fungsi penyedia dan pengelola lahan dan perumahan serta dukungan regulasi terhadap kebijakan kawasan siap bangun. Selain itu kemampuan kemitraan antar satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) dan kemitraan antar pelaku baik dengan pemerintah pusat (Kementerian/ Lembaga) maupun dengan lembaga korporasi pusat (BUMN) dan swastanya harus semakin diperkuat. Demikian pula di tingkat pusat pun kemitraan antar Kementerian/Lembaga serta BUMN dengan pemerintah daerah pun harus semakin diperkuat. Bahkan untuk lebih memperluas dan memperkuat kewenangan dan tanggung jawab perlu penugasan Perum Perumnas sebagai Badan Perumahan Nasional (National Housing Board) menjadi Badan Perumahan dan Pengembangan Perkotaan (National Housing and Urban Development Board).

Meng-intensif-kan Perkotaan, Meng-konsolidasi-kan Pinggiran (Penyangga)

Program Sejuta Rumah yang terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan perkotaan melalui

sering disebut “hyper urbanization” tidak akan dapat dikendalikan tanpa melakukan percepatan pembangunan di kawasan pinggiran (penyangga) urbanisasi baik berupa pengembangan kawasan agraris maupun maritimnya.

Ancaman kerentanan ketimpangan kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan akan semakin mempersulit pengendalian proses urbanisasinya. Kota yang pada awalnya memang dikonsepkan sebagai ‘engine of growth’, saat ini paradigmanya harus dirubah tidak hanya sebagai motor penggerak pembangunan perkotaan tetapi juga sebagai pendorong pengembangan wilayah penyangganya secara terintegrasi. Kota-kota yang pada dikonsepkan secara hirarkis sebagai pusat pertumbuhan sesuai dengan tingkat tumbuhnya masing-masing belum bisa terintegrasi dalam sistem kota-kota yang mendukung sistem pengembangan wilayah penyangganya.

Komponen pembentuk interaksi perdesaan dan perkotaan berupa penghidupan, modal sosial, dinamika pasar, pola sebaran populasi dan sumberdaya alam yang membentuk jaringan dan aliran finansial, pelayanan dan infrastruktur perlu dikonsolidasikan fungsinya. Termasuk sistem kota-kota yang ada sampai saat ini belum dikembangkan sebagai sistem jejaring kota-kota pesisir yang terintegrasi dengan kawasan agropolisnya. Padahal kita sepakat bahwa negara kita adalah negara kepulauan seperti halnya negara Jepang yang sistem kota-kotanya sudah sejak awal pembangunannya didasarkan pada

strategi intensifikasi lahan perkotaan perlu dibarengi strategi penguatan kawasan penyangganya (pinggirannya). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan urbanisasi (urban-rural continum/urbanization equilibrium). Akselerasi penyedian perumahan melalui Program Sejuta Rumah dan Gerakan 100-0-100 untuk menghilangkan kawasan permukiman kumuh perkotaan pada tahun 2019 harus didasari dengan pendekatan berskala kota (citywide approach) bukan menggunakan pendekatan sektoral lagi. Pendekatan ini juga pernah dilakukan Jepang, Hongkong, Korea Selatan dan Singapura dalam mempercepat penyediaan perumahan dan menghilangkan kawasan kumuhnya dalam bentuk pengintegrasian strategi, program dan kelembagaannya yang terjadi di era tahun 1960an.

Belum optimalnya upaya penyeimbangan proses urbanisasi ini disebabkan karena masih lemahnya pengembangan keunggulan komparatif dan kompetitif perdesaan terutama dari sisi kapasitas tata kelola sumberdaya agraris dan maritimnya. Seharusnya kawasan pinggiran (penyangga) perkotaan diposisikan secara tepat dan diperkuat peran dan kinerjanya melalui sistem jaringan terpadu aliran finansial, infrastruktur, pelayanan, barang, manusia dan penghidupan (livelihoods)nya yang dikelola sejak dari hulu program sampai hilir programnya. Penggalian potensi sumberdaya lokal yang dapat dikembangkan sebagai ‘branding’ melalui program “one village, one product” harus segera dilakukan secara akseleratif. Hal ini mengingat laju percepatan urbanisasi yang

DINAMIKA RISET - OPINI54

LITBANG

LITBANG

sistem jejaring kota-kota pesisir kepulauan. Namun,berbagai upaya kemajuan saat sudah banyak tercapai diantaranya pengembangan konsep “tol maritim” yang sangat strategis dan penting dikembangkan untuk mengembangkan sistem jejaring kota-kota pesisir negara kepulauan.

Dua hal yang saat ini secara simultan harus dilakukan adalah meng-intensif-kan kawasan perkotaan melalui pembangunan menara rumah susun bertingkat tinggi pada kawasan-kawasan pusat perkotaan sebagai solusi untuk penanganan kekumuhan perkotaan melalui relokasi ke rumah susun tingkat tinggi di kawasan hunian berskala luas di pusat perkotaan dan meng-konsolidasi-kan (merestrukturisasi sistem keterkaitan jaringan dan memperkuat fungsinya) kawasan penyangga (pinggiran) dalam satu sistem keterpaduan pembangunan permukiman perdesaan dan perkotaan.

Epilog

Beberapa kata-kata kunci yang digunakan dalam konsolidasi peran dan strategi Program Sejuta Rumah adalah: pemberdayaan pemerintah daerah, penguatan kebijakan kawasan siap bangun (kasiba), penguatan Perum Perumnas, keterpaduan program pembangunan perumahan dan perkotaan serta intensifikasi kawasan perkotaan dan konsolidasi kawasan penyangga (pinggiran) menuntut komitmen bersama yang kuat secara lintas program dan pelaku. Hal ini nampaknya sederhana, namun dalam prakteknya membutuhkan ‘energi’ perjuangan dan kesabaran

yang cukup tinggi. Mengingat kita mempunyai sejarah yang cukup panjang dan sangat lama dalam “ budaya berkoordinasi”. Sampai saat ini, perjuangan untuk meminimalisir ego-sektoral, ego-kelembagaan dan ego-kepentingan masih terus dilakukan. Berbagai kemajuan sudah mulai terlihat, mulai dari penguatan kinerja lembaga ‘clearing house’ Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Paradigma penguatan kinerja untuk meminimalisir budaya kerja yang ‘fragmented’ berbasis konsep yang sekedar untuk berkoordinasi harus dikembangkan menjadi berbasis konsep kolaborasi. Prinsip kerja berbasis kolaborasi adalah “co-benefit” dimana masing-masing pihak yang berkolaborasi mendapatkan manfaat yang setara. Budaya kerja koordinasi birokratis

yang mempunyai kecenderungan berorientasi melihat kedalam (inward-looking) yang sulit bergerak secara cepat serta rentan terhadap timbulnya konflik kepentingan harus secara perlahan mulai diarahkan menggunakan prinsip kerja kolaborasi. Hal ini mengingat tuntutan pola kerja akseleratif dalam sebuah kondisi kompleksitas yang semakin tinggi baik dari sisi kebutuhan pelayanan masyarakatnya maupun dari sisi tata kelola pemerintahan yang semakin menguat sistem demokrasi dan pemberdayaan otonomi pemerintah daerahnya.

Program Sejuta Rumah dan Gerakan 100-0-100 merupakan program akseleratif yang sangat kompleks yang membutuhkan penguatan peran dan strategi baik dari sisi program pasokan (penyediaan) perumahannya maupun dari sisi kebutuhannya. Untuk itu kebijakan, strategi dan program untuk “meningkatkan pasokan dan memampukan akses” menjadi prinsip yang harus digunakan secara simultan dari aspek pelaku, program dan lingkup penanganannya.

sumber foto: istimewa

EDISI II TAHUN 2015 55

LINGKAR 3D

adalah ajang yang sudah berjalan sejak tahun 2003, pagelaran ini dimaksudkan untuk mempererat kerjasama dan mengembangkan lini bisnis baru antar sesama stakeholder, serta mendorong komunitas konstruksi dan penyedia jasa untuk melakukan transfer knowladge teknologi ramah

Rapat Koordinasi Berkala (Rakorla) yang telah dilaksanakan pada pada tanggal 19-20 Oktober 2015 di Hotel Eastparc Yogyakarta ini dimaksudkan untuk membahas rencana upaya percepatan pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2015 dan persiapan pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2016 serta memantabkan sinergitas di lingkungan Balitbang PUPR, beberapa penelitian dan pengembangan terpadu yang sedang dalam proses antara lain Kampung Nelayan Tambak Lorok dan Revitalisasi Danau Tempe.

Workshop Penilaian Pejabat Fungsional Peneliti dan Perekayasa Terbaik 2015 dilakukan pada 20 Oktober 2015. Salah satu tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk memberikan motivasi kepada pejabat fungsional peneliti dan pejabat funsional perekayasa untuk meningkatkan hasil karyanya terutama di lingkungan Balitbang PUPR.

FGD Keprotokolan

Workshop Penilaian Pejabat Fungsional Peneliti dan Perekasaya Terbaik

Dalam Rakorla ini juga dilaksanakan FGD tentang keprotokolan. FGD ini dilaksanakan sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi dalam menunjang seluruh aktivitas protokol dalam acara formal atau non formal. Tujuan pelaksanaan acara ini adalah untuk membangun jejaring kerja, serta menyiapkan sistem koordinasi yang terintegrasi.

Rakorla Balitbang Jogjakarta

Pameran Konstruksi Indonesia 2015

lingkungan. Event ini pun sebagai wadah bertukar informasi, membahas isu strategis tentang jasa konstruksi di Indonesia dengan seluruh pelaku bidang industri Konstruksi, produsen alat berat dan material serta teknologi konstruksi. Pameran ini dilaksanakan pada 4 – 6 November 2015 di Jakarta Convention center.

Launching Produk Litbang 2015Peluncuran produk litbang rutin dilaksanakan setiap tahun sebagai ajang pembuktian kerja Badan Litbang PUPR selama satu tahun anggaran. Pada acara tahun ini, Balitbang berkesempatan untuk meluncurkan sembilan buku terbaik karya dari para peneliti.

DINAMIKA RISET - RISENSI BUKU56

LITBANG

LITBANG

Perkembangan industri dan urbanisasi yang cukup pesat menciptakan suatu

tren yang sangat menarik terhadap munculnya kota-kota mega-metropolitan (megapolitan) di seluruh belahan dunia. Seiring dengan hal ini, permasalahan yang dihadapi oleh suatu daerah/kota pun akan bertambah. Salah satu masalah yang cukup menarik perhatian adalah masalah lingkungan yang menyangkut daya dukung atau carrying capacity yang dimiliki suatu kawasan megapolitan untuk dapat mendukung aktivitas kehidupan di dalamnya.

RRT (Republik Rakyat Tiongkok), sebagai salah satu negara dengan tingkat populasi yang tinggi, juga mengalami hal serupa. Kawasan Beijing-Tanjin-Hebei merupakan suatu kawasan yang dibentuk oleh pemerintah RRT untuk memenuhi kebutuhan standar hidup manusia yang semakin dinamis. Lahirnya kawasan megapolitan ini pun menyebabkan berbagai aktivitas meningkat, seperti restrukturisasi ekonomi, modernisasi industri yang terintegrasi, urbanisasi,

optimalisasi penggunaan lahan daerah rural dan urban, serta pertumbuhan daerah pelabuhan. Aktivitas-aktivitas yang mendukung pemenuhan standar hidup suatu kawasan megapolitan ini akhirnya menyebabkan pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem dan krisis sumber daya alam akibat minimnya usaha pembaharuan terhadap sumber daya yang tersedia. Dengan kata lain, daya dukung yang dimiliki kawasan tersebut sudah mencapai titik kritis.

Oleh sebab itu, buku yang diedit oleh Wen & Zhu ini berupaya mensintesiskan hasil penelitian dan studi mengenai carrying capacity yang dilihat dari masing-masing aspek pendukung kawasan megapolitan Beijing-Tianjin-Hebei, serta carrying capacity sebagai satu kesatuan aspek yang terintegritas dalam mendukung perkembangan masing-masing kota pendukung. Hasil penelitian dan studi mereka yang dituangkan dalam buku setebal 289 halaman ini dibagi ke dalam dua bab besar. Bagian pertama berisi pandangan umum yang membahas latar

belakang dan tujuan penelitian, metode-metode pendekatan yang dilakukan, indikator pengukuran dan variabel pembatas dalam suatu level kerangka analisis, serta countermeasures yang dilakukan sebagai pendukung studi.

Pada bagian selanjutnya, dipaparkan hasil studi mengenai carrying capacity kawasan megapolitan Beijing-Tianjin-Hebei dari berbagai indikator. Lingkup studi yang dilakukan mencakup studi daya dukung populasi, daya dukung ketersediaan lahan, daya dukung ketersediaan air berdasarkan sumber daya yang disediakan oleh alam dan daya dukung ketersediaan air berdasarkan water footprint, ekologi daya dukung lingkungan, daya dukung infrastruktur dan fasilitas sosial pendukung kawasan, serta daya dukung sosial pembentuk kawasan. Lalu, bagaimana dengan daya dukung yang terjadi di masing-masing kota? Pada bagian selanjutnya, juga dijelaskan mengenai daya dukung yang terintegrasi di setiap kota Beijing, kota Tianjin, maupun kota Hebei.

Buku yang diterbitkan Springer pada tahun 2015 ini layak menginspirasi para urban planner, peneliti, civitas akademika, serta masyarakat luas yang concern terhadap perkembangan suatu kota dan kawasan, dengan tetap memperhitungkan kemampuan variabel pendukung kota tersebut. Dengan mempertimbangkan daya dukungnya, diharapkan perkembangan dan pertumbuhan kawasan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga dapat lebih bertahan lama.

Seri Buku

Judul Buku Editor Penerbit Tempat Tahun Jumlah Hal. ISBN-13

:

:

:

:::

:

Current Chinese Economic Report SeriesReport on Development of Beijing, Tianjing, and Hebei Province (2013)Kui Wen & Erjuan ZhuSpringerAmerika2015289 Halaman

978-3662462041

TRANSFORMASI KOTA MEGAPOLITAN BERBASIS DAYA DUKUNG

Alia Rainy Damayanti*

*Peneliti Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi)

SIMPUL LAYANAN INFORMASISTANDAR PEDOMAN BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN

DAN REKAYASA SIPIL

PIP2B*, LampungPIP2B*, AcehPIP2B*, Riau

PIP2B*, Sumatera SelatanUniversitas Negeri Padang-Fakultas Tekni

Jurusan Teknik Sipil, Sumatra Barat

Panitia Teknis Bahan Konstruksi BangunanDan Rekayasa Sipil, Jakarta

Perpustakaan Sekretariat Jenderal,Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta

Media Centre BalitbangKementerian Pekerjaan Umum, Jakarta

Balai Irigasi, BekasiBalai Jasa Konstruksi Dinas Bina Marga

Dan Tata Ruang, BantenSub Panitia Teknis Sumber Daya Air, Bandung

Sub Panitia Teknis Rekayasa Jalan Dan Jembatan, Bandung

Sub Panitia Teknis Perumahan Dan Sarana Prasarana Permukiman Bahan, Sains, Struktur

Dan Konstruksi Bangunan, BandungPIP2B*, Jawa Barat

Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional, MakassarDinas PU, Sulawesi UtaraPerpustakaan Fakultas Teknik Universitas Samratulangi, ManadoPIP2B*, Sulawesi SelatanUPTD Laboratorium Dinas Pekerjaan Umum, Sulawesi Tenggara

Dinas PU, Kalimantan TimurBalai Rawa, Banjarmasin

Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional, DenpasarBidang Perumahan Dan Permukiman, Dinas PU, Nusa Tenggara Barat PIP2B*, Nusa Tengara Timur

UPT Informasi Teknologi Bangunan Perumahan Dan Permukiman Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Dan Tata Ruang, Jawa TimurUniversitas Kristen Petra, SurabayaBalai Litbang Sosial, Ekonomi Dan Lingkungan,Bidang Jalan Dan Jembatan, Surabaya

PIP2B*, Jawa TengahUniversitas Diponegoro, Semarang

Balai Sungai, SoloPIP2B*, Yogyakarta

Balai Litbang Sosial, Ekonomi DanLingkungan Bidang Permukiman, Yogyakarta

Balai Sabo, Yogyakarta

PIP2B*, Papua

SELAMATBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

Ruang TerbukaUntuk Semua