Workshop Litbang DAS 2012

205

description

Workshop dan seminar Litbang dan DAS Dinas Kehutanan

Transcript of Workshop Litbang DAS 2012

Page 1: Workshop Litbang DAS 2012
Page 2: Workshop Litbang DAS 2012

ISBN 978-602-99218-5-4

PROSIDING WORKSHOP PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Surakarta, 21 Oktober 2011 Terbit Tahun 2012 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, M.Si Drs. Kuntadi, M.Agr

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Page 3: Workshop Litbang DAS 2012
Page 4: Workshop Litbang DAS 2012

Prosiding Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2012 ISBN : 978-602-99218-5-4 Foto Sampul : Retisa Mutiaradevi Farika Dian Nuralexa Desain Sampul : Eko Priyanto © P3KR 2012 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) 8633234 Fax : (0251) 8638111 E-mail: [email protected] Website: http://www.p3kr.com Dicetak oleh : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Page 5: Workshop Litbang DAS 2012

iii

Tim Penyunting

Penanggung Jawab Redaktur

: :

Ir. Bambang Sugiarto, M.P Ir. Didik Purwito, M.Sc

Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc

I Wayan S Dharmawan, S.Hut, M.Si Drs. Kuntadi, M.Agr

Sekretariat : Ir. Erna Rushernawati Retisa Mutiaradevi, S.Kom, MCA

Rara Retno Kusumastuti R, S.H, M.Hum Zamal Wildan, S.Kom Eko Priyanto, SP Farika Dian Nuralexa, S.Hut

Page 6: Workshop Litbang DAS 2012

iv

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002

KATA PENGANTAR Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, mengalami perubahan yang cepat dan dinamis sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk, dan pembangunan di luar sektor kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan. Akibatnya perambahan dan kebakaran hutan yang sering terjadi, mempercepat dan memperluas kerusakan hutan alam tropika, sehingga menurunkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Dalam mewujudkan pengelolaan SDA yang lestari dan berkeadilan, diperlukan satu kesatuan pengelolaan secara utuh dalam suatu wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan adanya reorganisasi dan tupoksi yang lebih khusus sesuai dengan P.31/Menhut-II/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Balai perlu menyusun Kerangka Dasar Riset Pengelolaan DAS 2012-2022. Kerangka Dasar Riset Pengelolaan DAS 2012-2022 merupakan peta jalan perencanaan riset yang akan dilaksanakan BPTKPDAS dalam kurun waktu 10 tahun kedepan. Diharapkan kedepan riset yang dilaksanakan lebih terfokus dan terintegrasi untuk menghasilkan iptek kehutanan pengelolaan DAS. Kami menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna karena berbagai keterbatasan yang ada, akan tetapi paling tidak dapat memberikan arah dan panduan rencana penelitian dalam 10 tahun kedepan. Kerangka Dasar Riset Pengelolaan DAS 2012-2022 ini tidak kaku tetapi dinamis, sehingga dalam perjalanannya dapat dilakukan revisi untuk penyempurnaannya. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi acuan bagi semua pihak yang terkait.

Page 7: Workshop Litbang DAS 2012

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………….................. iv DAFTAR ISI…………………………………………….................. v PENGARAHAN

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan ....... vi

KEY NOTE SPEECH Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai……………………………….

xi

RUMUSAN Rumusan Workshop........................…………………………...... xxv

MAKALAH-MAKALAH 1. Arah Riset Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tahun

2012 – 2021 (Salamah Retnowati, Beny Harjadi dan Bihhudalta Wirid Atmasu)....................................................

1

2. Kerangka Dasar Penelitian Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Untuk Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Daerah Aliran Sungai Tahun 2012 - 2021 (Paimin).......................................................................

20

3. Arah Penelitian Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tahun 2012-2021 (Irfan BP, Paimin)

40

4. Kajian Yang Diperlukan Pada Pengelolaan Model DAS Mikro (Purwanto).................................................................. 50

5. Kerangka Dasar Program Penelitian Pembiayaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Nur Ainun Jariyah)...... 66

6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Kebutuhan Riset Partisipasi Ke Depan (Nana Haryanti)........................................................

76

7. Peta Jalan Penelitian Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Di Indonesia (Evi Irawan)..............................

90

8. Teknologi Konservasi Air Pendukung Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Tyas Mutiara Basuki).................................... 107

9. Arah Penelitian Teknik Rehabilitasi Dan Konservasi Lahan Pantai Pendukung Pengelolaan DAS (Beny Harjadi).......... 121

10. Kebutuhan Penelitian Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Tanah Untuk Penanggulangan Degradasi Lahan (Nining)..

149

LAMPIRAN Jadwal Acara............................................................................. 159 Daftar Peserta............................................................................ 161 Hasil Diskusi………………………………………………………... 163

Page 8: Workshop Litbang DAS 2012

vi

PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Dalam Semiloka Dengan Tema :

“Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini”

Yth : Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kepala Pusat Lingkup Badan Litbang Kehutanan Para Pakar dan Nara Sumber Para Profesor, Peneliti dan Widyaiswara Bapak/Ibu peserta semiloka yang kami hormati, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada kita serta atas perkenan-Nya pulalah kita masih diijinkan untuk hadir di Solo pada acara semiloka yang dilaksanakan oleh Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi bersama dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS ini. Bapak/lbu peserta semiloka yang kami hormati, Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, mengalami perubahan yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk, dan pembangunan diluar sektor kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan. Kondisi demikian diperparah dengan adanya perambahan hutan dan

Page 9: Workshop Litbang DAS 2012

vii

terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia. Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS. Kerusakan hutan juga menjadi penyebab terjadinya penurunan kualitas Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebagai akibatnya, kestabilan ekosistem terganggu dan menimbulkan dampak negatif terhadap peran hutan sebagai penyangga kehidupan termasuk dalam menjaga stabilitas tata air. Penerapan pendekatan "one-river, one-plan, one-management" tidak mudah diwujudkan mengingat banyak pihak yang terkait dan berkepentingan dalam pengelolaan DAS. Rehabilitasi DAS dan Sub DAS, terutama yang berkondisi kritis serta peningkatan pengelolaan DAS secara lebih terpadu, menjadi kunci penting untuk memperbaiki kondisi DAS. Kementerian Kehutanan sedang menyiapkan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu untuk 36 unit DAS prioritas, termasuk 13 DAS super prioritas, dan sampai dengan tahun 2014 diharapkan akan dapat diselesaikan penyusunannya mencakup 108 unit DAS Prioritas di Indonesia. Peran litbang kehutanan antara lain adalah menyediakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dasar dan terapan untuk mendukung sistem perencanaan, monitoring dan evaluasi, kelembagaan serta implementasi pengelolaan DAS, serta pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam unit DAS. Selain itu, teknik rehabilitasi dan restorasi lahan kritis, rehabilitasi hutan mangrove dan gambut, serta revitalisasi hutan kota atau ekosistem perkotaan juga menjadi potensi litbang yang hasilnya akan mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan fungsi, daya dukung dan kualitas DAS. Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari

Page 10: Workshop Litbang DAS 2012

viii

perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang dapat berakibat buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir. Yang terhormat Bapak/Ibu peserta semiloka, Terkait dengan tema semiloka, program Litbang yang diangkat adalah program Litbang Daerah Aliran Sungai (DAS). Program Litbang tersebut diangkat untuk mendukung salah satu butir kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan 2010-2014, yaitu rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai. Untuk melaksanakan program ini mutlak diperlukan kegiatan penelitian secara integratif. Kompleksitas permasalahan dan tantangan sektor kehutanan tidak mungkin lagi dijawab melalui kegiatan penelitian yang sifatnya parsial. Penelitian integratif bersifat lintas unit kerja, melibatkan berbagai dislplin ilmu terkait, untuk menjawab kompleksitas tantangan dan permasalahan sektor kehutanan secara lebih komprehensif mulai dari hulu sampai hilir dengan keterkaitan yang tidak terpisahkan antara dimensi ekonomi, sosial-budaya dan ekologi (lingkungan). Karena itu pada kesempatan ini saya minta kepada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dan BPTKPDAS bersama-sama Balai Pengelolaan DAS terkait agar merancang pola integrated research untuk mengembangkan model pengelolaan DAS atau Sub DAS secara lestari (experimental watershed management). Pilih lokasi DAS atau Sub DAS yang representatif untuk mengembangkan model-model penelitian dari berbagai aspek, susun proposalnya

Page 11: Workshop Litbang DAS 2012

ix

secara bersama untuk kemudian diajukan kepada pihak donor yang relevan atau melalui pola kerjasama bilateral maupun multilateral. Ada baiknya kalau rancangan penelitian ini dikaitkan dengan implementasi (adaptasi dan mitigasi) program REDD +. Bapak/Ibu peserta semiloka yang saya hormati, Dalam rangka membantu menangani masalah yang dihadapi dalam pengelolaan DAS, meskipun sebagian masih dalam proses penyelesaian formulasinya serta sebagian yang lain masih dalam proses penyelesaian penelitian, beberapa hasil penelitian sudah siap dan layak untuk diaplikasikan, baik yang terkait dengan sistem pengelolaan DAS maupun teknis pendukungnya. Namun patut saya akui bahwa akibat lemahnya pola diseminasi atau kurang intensifnya komunikasi antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian, masih banyak hasil penelitian Iptek pengelolaan DAS yang belum diaplikasikan atau menjadi rujukan operasional bagi pengguna di lapangan. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang baik ini, mungkin baru yang pertama kali terjadi, saya atas nama Badan Litbang Kehutanan akan menyerahkan hasil-hasil penelitian Iptek pengelolaan DAS yang telah selesai dan siap untuk diaplikasikan kepada Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, baik untuk aplikasi di lapangan, pengembangan panduan-panduan atau juknis/juklak, serta untuk digunakan sebagai rujukan penyusunan kebijakan operasional pengelolaan DAS lebih lanjut. Bagi Badan Litbang Kehutanan, khususnya bagi para peneliti, momentum bersejarah ini merupakan salah satu wujud tuntasnya kinerja sebuah penelitian mengingat adanya hasil penelitian (output) yang telah dimanfaatkan oleh pengguna atau setidak-tidaknya menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan operasional (outcome). Bapak/Ibu peserta semiloka yang saya hormati, Semiloka pada hari ini, disamping sebagai media untuk sosialisasi hasil-hasil penelitian, juga merupakan wahana untuk menggali kebutuhan-kebutuhan penelitian dari para pengguna, sehingga dapat lebih mempertajam prioritas-prioritas penelitian dimasa

Page 12: Workshop Litbang DAS 2012

x

mendatang. Saya harap para peneliti benar-benar memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Sebelum saya akhiri sambutan saya ini, perlu saya sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dirjen DAS-PS beserta seluruh jajarannya yang telah menunjukkan komitmennya untuk penerapan hasil-hasil Iptek pengelolaan DAS ini. Saya juga sampaikan terima kasih kepada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi serta BPTKPDAS Solo, juga kepada Prof. Ris. Dr. Pratiwi dan Ir. Paimin, MSc serta para peneliti terkait, atas kinerja dan prakarsanya sehingga acara yang sangat penting ini dapat terselenggara dengan baik. Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahirohmanirrohim, Semiloka "Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini" yang dilaksanakan mulai tanggal 27-28 Juni 2011 di Solo ini, saya nyatakan secara resmi dibuka. Wassalamualaikum Wr. Wb. Kepala Badan, Dr. Ir. TACHRIR FATHONI, M.Sc NIP. 19560929 198202 1 001

Page 13: Workshop Litbang DAS 2012

xi

KEYNOTE SPEECH Kepala Balai Penelitian Teknologi Kehutanan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Workshop

“Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”

Solo, 21 Oktober 2011

Assalamualaikum Wr.Wb. Yang saya hormati : Kepala Badan Litbang Kehutanan; Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Para Pejabat Eselon II Kemenhut Para Nara Sumber, Pakar, Pembicara dan Fasilitator; Para tamu undangan dan hadirin sekalian yang berbahagia, Salam sejahtera bagi kita semua, Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan ridhoNya, pada hari ini kita dalam keadaan sehat wal’afiat dapat bersilaturahim menghadiri Workshop “Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis di Indonesia semakin meningkat dari 36 DAS kritis pada tahun 1984 dimana 22 DAS diantaranya dinyatakan super kritis dan perlu penanganan super prioritas (PP No. 7/2005), kemudian menjadi 108 DAS kritis pada tahun 2010. Penurunan kualitas DAS tersebut tidak lepas dari peran manusia dalam mengelola sumberdaya alam dalam DAS baik secara sosial ekonomi maupun kelembagaan.

Page 14: Workshop Litbang DAS 2012

xii

Pengelolaan DAS adalah pengelolaan penggunaan lahan pada skala DAS yang bertujuan untuk mencapai beberapa keuntungan, antara lain pencegahan banjir, peningkatan aliran saat musim kemarau, pencegahan longsor, peningkatan kualitas air, dan pengurangan sedimentasi (Kaimowitz, 2005). Kesalahan dalam pengelolaan lahan dapat menyebabkan erosi dan penurunan kesuburan, sehingga berpotensi menjadi penyebab semakin luasnya lahan kritis. Pada tahun 1989/1990 luas lahan kritis di Indonesia 13,18 juta ha yang tersebar di dalam kawasan hutan 5,91 juta ha dan di luar kawasan hutan seluas 7,27 juta ha, dan tahun 2000 meningkat menjadi 23.242.881 ha yang tersebar di dalam kawasan hutan 8.136.646 ha (35%) dan di luar kawasan 15.106.234 ha (65%) (Dep. Kehutanan, 2001). .Laju deforestasi semakin meningkat dari 1,6 juta ha/th pada periode 1985-1997 menjadi 2,1 juta ha/th pada periode 1997-2001. Masalah banjir dan kekeringan yang terjadi di berbagai tempat hanya bisa dinilai (assess) melalui satuan DAS, yaitu sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7/ 2004, ps 1). Bencana tanah longsor hampir tersebar ke seluruh tanah air dengan berbagai skala korban, baik harta maupun jiwa. Bencana tanah longsor bisa terjadi pada berbagai penggunaan lahan, baik pertanian, hutan, perkebunan, maupun pemukiman, tergantung dari kondisi alam yang menopang penggunaan lahan tersebut. Pada beberapa tempat, tanah longsor tidak hanya berdampak setempat (on site) tetapi juga berdampak pada tempat di hilirnya (off site). Bencana demikian menunjukkan kecenderungan masih lemahnya sistem pengelolaan dan teknologi dalam pengendalian tanah longsor di DAS.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya GDP (Gross Domistic Product atau Pendapatan Domestik Kotor) maka kebutuhan akan air, pangan, dan energi meningkat dengan pesat.

Page 15: Workshop Litbang DAS 2012

xiii

Makin tinggi GDP kebutuhan energi makin besar. Secara umum ada pola kecenderungan peningkatan kebutuhan energi sepanjang tahun. Sumber daya air bisa dikonversi menjadi energi listrik dengan membuat waduk penggerak turbin. Kebutuhan air bersih di Indonesia meningkat 6.7 % per tahun (Radiansyah, 2008), dan kebutuhan air untuk produksi biomassa, terutama tanaman pangan juga terus meningkat, sehingga defisit air semakin dirasakan oleh seluruh penduduk.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkat pula permintaan akan lahan untuk pemukiman, industri, perkantoran, pendidikan, dan pemanfaatan lahan di luar sektor pertanian lainnya, sehingga banyak terjadi konversi penggunaan lahan/alih fungsi lahan, dan hal ini sangat berpotensi untuk menurunkan kualitas DAS.

Wilayah DAS dibatasi oleh kondisi topografi alami yang umunya tidak berhimpitan dengan batas administrasi pemerintahan. Antar satuan wilayah administrasi bisa terhubung satu sama lainnya dalam satuan sistem DAS sehingga kondisi DAS dalam suatu wilayah kabuten/kota dan atau provinsi saling pengaruh mempengaruhi.

Otonomi daerah memberi keleluasan bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Masing-masing pemerintah kabupaten (pemkab) dan atau pemerintah kota (pemkot) berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya, tanpa disadari bahwa eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat mengganggu kelestariannya.

Teknologi konservasi pendukung pengelolaan DAS merupakan biaya investasi yang tidak sedikit akan tetapi hasilnya lebih dinikmati oleh pihak lain, yang dalam hal ini adalah masyarakat hilir, oleh karena itu diperlukan cost sharing hulu-hilir.Bentuk pembiayaan seperti ini masih banyak dijumpai di lapangan mengingat belum sepenuhnya diperoleh kesepahaman kepentingan antar pihak. Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan DAS, akan tetapi kurang adanya koordinasi dan bahkan hingga kini tidak ada kejelasan pihak mana yang berwenang mengkoordinir perencanaan, implementasi, dan

Page 16: Workshop Litbang DAS 2012

xiv

monitoring, sehingga berpotensi lambatnya penyelesaian permasalahan di masing-masing DAS.

Dengan semakin kompleknya permasalahan pengelolaan DAS maka penelitian dan pengembangan untuk mengsailkan IPTEK pengelolaan DAS yang bisa mencakup semua aspek dan bisa mewakili semua agro-ekosistem di Indonesia sangat dibutuhkan segera. Oleh karena itu sangat diperlukan terobosan-terobosan penelitian dan hasilnya untuk mempercepat perbaikan kekritisan DAS yang minimal secara prioritas penanganan telah ada 108 DAS kritis. Hasil-hasil penelitian harus lebih applicable dan implementatif sehingga lebih bisa dirasakan manfaatnya bagi berbagai pihak terkait dan masyarakat luas. Hasil-hasil penelitian pengelolaan DAS harus punya Roh yang mampu mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan bersifat interdisipliner, multisektor, dan multistageholder. Oleh karena itu diperlukan penajaman program litbang pengelolaan DAS yang mampu menghadapi tantangan masa depan yang makin kompleks.

LANDASAN HUKUM PENGELOLAAN DAS Pemanfaatan sumberdaya alam diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Demikian juga sumberdaya hutan yang merupakan modal pembangunan nasional bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, pengelolaaanya diselenggarakan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan (Undang Undang No. 41 Tahun 1999, pasal 2). Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan, termasuk plasma nuftah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.

UU No. 41/1999 ps. 3 antara lain mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuan rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

Page 17: Workshop Litbang DAS 2012

xv

a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional

b. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS)

Peningkatan daya dukung DAS (ayat c) tidak berarti hanya bermanfaat bagi wilayah kawasan hutan saja tetapi juga di luar kawasan hutan. Melalui daur air (hidrologi) dalam unit DAS, hutan secara umum dipandang memiliki peran penting sebagai pelindung efektif sumberdaya tanah serta regulator tata air dalam jumlah, mutu, dan distribusinya. Oleh karena itu pengelolaan hutan lestari dipandang bisa meningkatkan daya dukung DAS yang diindikasikan oleh lestarinya sumberdaya lahan dan sumberdaya air.

Untuk menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional diamanatkan dalam pasal 18 UU No 41 Tahun 1999 bahwa guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau minimal 30% dengan sebaran proporsional. Pengertian ini tidak hanya pada hutan lindung tapi seluruh bentuk penggunaan lahan hutan baik hutan produksi maupun hutan konservasi. Persentase luas hutan dalam DAS menjadi beragam tergantung dari kondisi iklim (hujan), geologi, bentuk lahan, topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat sekitar.

Kelestarian hutan terhadap peningkatan daya dukung DAS tidak hanya bemanfaat bagi kawasan hutannya sendiri tetapi juga bagi wilayah di luar kawasan hutan bagian hilir (off site) antara lain sebagai pemasok air, pengendali banjir, pengendali erosi tanah, dan pengurangan sedimentasi waduk, sungai, saluran air, dan bangunan air vital lainnya.

Pengelolaan pasokan air ini kemudian dimandatkan melalui UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang antara lain mengamanatkan (h) rehabilitai hutan dan lahan, dan (i) pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.

Page 18: Workshop Litbang DAS 2012

xvi

Berkaitan dengan tata air dalam DAS, banyak pihak terkait baik sebagai pemelihara maupun sebagai sebagai pemanfaat pasokan air dari kawasan hutan. Hutan sendiri terdiri dari fungsi-fungsi produksi, lindung, dan konservasi dimana masing-masing fungsi berbeda institusi penyelenggara atau pemangkunya. Hubungan antar pihak perlu ditata secara cermat sehingga hak dan kewajibannya secara jelas dapat difahami dan tata hubungan kerja dapat dibangun secara sinergis.

Peraturan Menteri Kehutanan No. 31/Menhut-II/2011 mengamanatkan bahwa Balai Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang teknologi kehutanan pengelolaan daerah aliran sungai sesuai peraturan perundang-undangan. Wilayah kerja BPTKPDAS adalah seluruh Indonesia. Oleh karena itu tujuan yang ingin dicapai dalam penajaman arah riset pengelolaan DAS 2012-2022 adalah diperolehnya Kerangka Dasar Riset Pengelolaan DAS untuk digunakan oleh BPTKPDAS sebagai acuan dalam penyusunan rencara penelitian dan pengembangan yang tertuang dalam Renstra sehingga dapat menghasilkan IPTEK yang inovatif, adaptif dan adoptif selaras dengan program Badan Litbang Kehutanan dan dapat memenuhi harapan pengguna dalam berbagai sektor terkait pengelolaan DAS.

Sasaran penyelenggaraan litbang pengelolaan DAS adalah seluruh Indonesia menurut skala prioritas, sesuai kebijakan sub sektor kehutanan, dengan memperhatikan :

1. Lokasi penelitian diprioritaskan pada DAS atau Sub DAS atau bagian daripadanya, yang masuk ke dalam 108 DAS Kritis,

2. Lokasi penelitian memperhatikan keterwakilan pulau, yang didasarkan pengelompokan kondisi agroekozone (kepadatan penduduk dan curah hujan),

3. Keterwakilan fungsi hutan dalam DAS (Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Konservasi),

4. Lokasi penelitian dapat menjadi show window model pengelolaan DAS terpadu, dengan pengelolaan integrative dan kolaboratif,

5. Aksesibilitas lokasi penelitian.

Page 19: Workshop Litbang DAS 2012

xvii

PERAN BPTKPDAS DALAM RISET PENGELOLAAN DAS A. Peran Yang Telah Ada

Peran Badan Litbang Kehutanan yang sudah dilakukan dalam penelitian pengelolaan DAS adalah untuk menghasilkan IPTEK sistem pengelolaan DAS (perencanaan, kelembagaan, implementasi, dan monitoring dan evaluasi) dan teknologi konservasi tanah dan air serta rehabilitasi hutan dan lahan sebagai pendukung pengelolaan DAS.

Kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendapatkan IPTEK pengelolaan DAS, khususnya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT)/rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) telah dimulai pada awal tahun 1970-an melalui Proyek “Upper Solo Watershed Management and Upland Development” yang dibantu oleh FAO (TA/INS/72/006/C/01/12). Kegiatan proyek ini dimulai setelah kejadian bencana banjir besar pada DAS Bengawan Solo tahun 1966, yang menyebabkan sebagian kota Solo dan sekitarnya terendam air. Hasil riset terapan di DAS Solo Hulu ini kemudian mengilhami riset-riset pengelolaan DAS lebih lanjut dan sekaligus dimanfaatkan untuk bahan kebijakan nasional konservasi tanah dan air melalui “Proyek Penghijauan”.

Perkembangan institusi selanjutnya merupakan upaya penyempurnaan agar kapasitas institusi bisa memenuhi kebutuhan IPTEK yang terus berkembang, sehingga terjadilah pengembangan dan penataan organisasi sebagai berikut:

1. Proyek Pusat Pengembangan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (P3DAS) Solo dengan Bagian Proyek Cilutung, Wiroko, Bali dan Lampung, berdasarkan KepMenTan No. 251/Kpts/um/4/1979. Kedudukan di bawah Direktorat Penghijauan, dengan wilayah Proyek seluruh Indonesia.

2. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BTPDAS) Solo berdasarkan KepMenHut No. 098/Kpts-II/1984. Kedudukan di bawah Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, dengan wilayah kerja seluruh Indonesia.

3. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BTPDAS) Solo berdasarkan KepMenHut No. 171/Kpts-

Page 20: Workshop Litbang DAS 2012

xviii

II/1991. Kedudukan di bawah Badan Litbang Kehutanan, dengan wilayah kerja seluruh Indonesia.

4. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB), berdasarkan KepMenHut No. 6178/Kpts-II/2002. Kedudukan di bawah Badan Litbang Kehutanan, dengan wilayah kerja Indonesia Bagian Barat.

5. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Solo, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 39/Menhut-II/2006, Kedudukan di bawah Badan Litbang Kehutanan, dengan wilayah kerja Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY.

6. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS), berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 31/Menhut-II/2011. Kedudukan di bawah Badan Litbang Kehutanan, dengan wilayah kerja seluruh Indonesia.

Perkembangan organisasi balai yang menangani penelitian pengelolaan DAS semata-mata adalah merupakan penataan organisasi litbang untuk meningkatkan peran lembaga litbang penelitian pengelolaan DAS dalam meningkatkan pelayanan hasil-hasil litbang pengelolaan DAS baik bagi pengguna sebagai bahan kebijakan maupun pengguna implementator yang selaras dengan tuntutan kebutuhan.

B. Hasil Yang Telah Ada dan Pemanfaatannya

Dalam prakteknya, penelitian pengelolaan DAS dapat dipilah dalam dua kelompok kegiatan yang sebenarnya saling terkait, yaitu sistem pengelolaan DAS dan teknologi pendukung sistem pengelolaan DAS. Terkait sistem pengelolaan DAS, hingga saat ini masih berlangsung berbagai penelitian untuk finalisasi dan telah dihasilkan IPTEK yang siap diimplementasikan sebagai berikut:

1. Sistem Karakterisasi tingkat Sub DAS: a. Sidik Cepat Degradasi Sub DAS b. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor

2. Sistem Karakterisasi tingkat DAS – “Tipologi DAS”

Page 21: Workshop Litbang DAS 2012

xix

3. Teknik Penginderaan Jauh untuk inventarisasi data Karakterisasi DAS

4. Teknik Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Karakterisasi DAS

5. Luas Hutan Optimal Dalam Perspektif Tata Air 6. Analisis Karakteristik Tata Air terhadap Kinerja DAS 7. Monitoring dan Evaluasi Teknik Konservasi Tanah

Vegetatif terhadap Kelestarian Sumberdaya Tanah dan air

8. Nilai Ekonomi Air dari Kawasan Hutan 9. Komponen Sistem Implementasi Pengelolaan DAS pada

skala mikro antara lain: a. Sistem Perancangan dan Implementasi b. Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di

DAS Mikro Demikian halnya terkait teknologi pendukung sistem pengelolaan DAS, hingga saat ini juga masih berlangsung berbagai penelitian untuk finalisasi dan telah dihasilkan IPTEK yang siap diimplementasikan sebagai berikut:

1. Teknik Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (batubara, feldspar, emas)

2. Teknologi Pemanfaatan Mikoriza untuk Rehabilitasi Lahan Terdegradasi

3. Peta Perwilayahan Jenis Pohon Andalan Setempat untuk mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan

4. Peta Kesesuaian Lahan untuk Jenis Tanaman yang sesuai di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Karo

5. Teknik pengendalian Tanah Longsor 6. Pemanfaatan Teknologi Mikrohidro dalam Pengembangan

Model RLKTA dengan Pendekatan Partisipatif 7. Teknik Pendayagunaan Lahan Pantai Berpasir

Dalam rangka penyebarluasan IPTEK hasil litbang pengelolaan DAS, telah dilakukan kegiatan-kegiatan a/l.:

1. Diseminasi IPTEK hasil litbang melalui penerbitan publikasi ilmiah dan populer,

2. Bantuan teknis kepakaran dalam pemecahan masalah pengelolaan DAS,

Page 22: Workshop Litbang DAS 2012

xx

3. Bantuan teknis penyusunan petunjuk teknis lapangan terkait pengelolaan DAS,

4. Pelatihan teknis terkait pengelolaan DAS untuk pelatih (training for trainers) dan petugas teknis.

5. Bantuan pelatihan petugas teknis terkait pengelolaan DAS..

Hasil litbang tentang “Sistem Karakterisasi DAS” paling banyak digunakan oleh para pengguna dalam membantu mendeteksi dini daerah rawan banjir dan tanah longsor dan membantu melakukan pengendalian banjir dan tanah longsor yang belakangan ini sering terjadi hampir menyeluruh di tanah air.

Dalam rangka membantu upaya pengendalian bencana banjir dan tanah longsor, telah dilakukan pula Alih Teknologi Sistem Karakterisasi DAS berupa pelatihan penggunaan perangkat tersebut kepada petugas terkait lingkup BPDAS, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kabupaten yang membidangi kehutanan, serta Badan Penanggulangan Bencana, secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dan meningkatkan pemahaman dan kemampuan teknis pengendalian banjir dan tanah longsor.

ARAH RISET PENGELOLAAN DAS KE DEPAN Menurut PerMenHut No. P. 42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu, pengertian Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS.

Sasaran pengelolaan DAS menurut KepMenHut No. 52/Kpts-II/2001 adalah:

1. Terciptanya kondisi hidrologis yang optimal, 2. Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh

perbaikan kesejahteraan masyarakat,

Page 23: Workshop Litbang DAS 2012

xxi

3. Terbentuknya kelembagaan masyarakat yang tangguh dan muncul dari bawah (bottom-up) sesuai dengan sosial budaya setempat,

4. Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut di atas, maka riset litbang kehutanan dalam bidang pengelolaan DAS

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut di atas maka riset Litbang Kehutanan dalam bidang pengelolaan DAS harus meliputi Sistem Pengelolaan DAS dan teknologi pendukung sistem pengelolaan serta teknologi Konservasi Tanah dan Air. Riset pada sistem pengelolaan DAS mencakup riset untuk mengembangkan sistem perencanaan, sistem kelembagaan, sistem implementasi, dan sistem monitoring dan evaluasi. Permasalahan dalam DAS, sistem pengelolaan yang akan dibangun, dan tujuan yang akan dicanangkan dalam pengelolaan, baru dapat diformulasikan dengan baik apabila telah tersedia data dan informasi yang cukup dan tersusun dalam karakteristik DAS. Oleh karena itu, sistem perencanan dan kinerja DAS dibangun berdasarkan hasil riset sistem karakterisasi DAS. Riset teknonologi merupakan dukungan dalam menyusun formulasi kebutuhan sumberdaya dalam sistem pengelolaan (method and machine), baik untuk perencanaan maupun implementasi.

Faktor alam maupun faktor buatan manusia selalu berubah setiap waktu secara dinamis, sehingga pengelolaan DAS merupakan suatu upaya yang terus berjalan. Permasalahan DAS tumbuh seiring berjalannya waktu dengan pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi budaya, dan perkembangan teknologi, sehingga menjadikan pengelolaan DAS sepertinya tanpa akhir. Tantangan yang dihadapi adalah bahwa sistem pengelolaan DAS yang dibangun sampai saat ini belum mampu mengimbangi dinamika proses Alam (perubahan iklim dan gempa), Politik (peraturan perundangan dan otonomi daerah), Sosial Ekonomi Budaya (pertambahan penduduk, pendapatan masyarakat hulu, peluang lapangan kerja, tekanan pembangunan), Teknologi (Penginderaan Jauh, Pemodelan, Sistem Informasi Geografis), oleh karenanya diperlukan penyempurnaan Sistem pengelolaan DAS melalui dukungan IPTEK hasil litbang. Berkaitan dengan hal

Page 24: Workshop Litbang DAS 2012

xxii

tersebut maka penelitian dan pengembangan pengelolaan DAS perlu terus dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan sesuai peraturan yang berlaku. Beberapa peraturan yang perlu dijadikan acuan dalam perencanaan penelitian dan pengembangan adalah UU No. 41/1999, KepMenHut No. 52/Kpts-II/2001, PP No. 38/2007, PP No. 76/2008, PerMenHut No. P. 42/Menhut-II/2009. Arah riset pengelolaan DAS ke depan perlu dilakukan penajaman guna memenuhi tuntutan kebutuhan yang dinamis. Untuk memberikan arah penelitian pengelolaan DAS yang mampu menjawab dinamika dalam pengelolaan DAS, maka diperlukan dua kerangka dasar penelitian pengelolaan DAS, yaitu (1) Kerangka Dasar Penelitian Terkait Sistem Pengelolaan DAS, dan (2) Kerangka Dasar Penelitian Terkait Teknologi Pendukung Sistem Pengelolaan DAS.

STRATEGI PENDEKATAN PENELITIAN PENGELOLAAN DAS Tantangan pengelolaan DAS semakin berat dan kompleks, menuntut peran IPTEK litbang pengelolaan DAS mampu berperan menjembatani antara permasalahan degradasi DAS yang semakin besar dengan kondisi DAS ideal yang diharapkan. Sehubungan hal tersebut, IPTEK hasil litbang pengelolaan DAS diharapkan dapat melandasi perumusan kebijakan pengelolaan DAS ke depan.

Kebijakan pengelolaan DAS yang tepat, diikuti dengan penerapan teknologi pengelolaan sumberdaya lahan dan air yang sesuai, akan berimplikasi kepada perbaikan sistem pengelolaan DAS. Lebih lanjut dampak yang terjadi adalah menurunnya erosi dan sedimentasi, membaiknya kelestarian air, berkurangnya luasan lahan kritis, serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar DAS dikarenakan perbaikan kualitas lingkungan DAS.

Permasalahan DAS tumbuh dinamis seiring berjalannya waktu dengan pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi budaya, dan perkembangan teknologi, sehingga untuk membantu menemukan solusi penyelesaian masalah 108 DAS kritis bukanlah pekerjaan yang mudah dan cepat. Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pengguna, kiranya diperlukan perumusan strategi pendekatan penelitian dan pengembangan yang tepat, sehingga mampu memacu perolehan hasil IPTEK pengelolaan DAS yang inovatif, adaptif dan adoptif secara bertahap untuk

Page 25: Workshop Litbang DAS 2012

xxiii

diimplementasikan secara bertahap pula menurut skala prioritas penanganan dan sesuai peraturan yang berlaku. Strategi pendekatan penelitian dan pengembangan pengelolaan DAS yang akan dilakukan adalah:

1. Penelitian lebih mengedepankan penemuan sistem pengelolaan DAS yang tepat sesuai karakteriskitnya dan peraturan yang berlaku.

2. Penelitian didasarkan pada karakteristik DAS. Karakteristik DAS diturunkan lebih lanjut ke karakteristik Sub DAS atau Sub Sub DAS yang merupakan satuan DAS terkecil, yang mewakili karakteristik DASnya.

3. Penelitian Teknologi rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air pendukung sistem pengelolaan DAS diselaraskan dengan tuntutan kebutuhan perbaikan sistem pengelolaan DAS.

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan dilakukan secara integratif dan kolaboratif, melibatkan lembaga lintas sektor/sub sektor dan pengambil kebijakan.

Menggunakan strategi pendekatan tersebut diharapkan a/l sebagai berikut:

1. Dapat diketahui lebih jelas sejak awal terhadap IPTEK hasil penelitian pengelolaan DAS yang ingin dicapai,

2. Dapat menghindari kemungkinan tumpang tindih penelitian pengelolaan DAS,

3. Dapat mengintegrasikan hasil litbang sehingga diperoleh efisiensi waktu dan biaya dan percepatan perolehan IPTEK hasil litbang pengelolaan DAS,

4. Dapat bertukar pengalaman dan pemikiran sehingga diperoleh efektifitas penelitian dan pengembangan, dan peningkatan kualitas IPTEK hasil litbang pengelolaan DAS.

PENUTUP Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai sudah terbentuk sejak Juni 2011, dengan wilayah kerja seluruh Indonesia dan mempunyai tugas untuk melaksanakan penelitian di bidang teknologi kehutanan pengelolaan daerah aliran sungai. Visi yang telah dicanagkan adalah ingin menjadi lembaga

Page 26: Workshop Litbang DAS 2012

xxiv

penyedia IPTEK Kehutanan pengelolaan DAS terpadu yang inovatif, adaptif dan adoptif untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tugas yang diemban sangat mulia dan disadari bahwa tidak mudah untuk mencapainya, namun demikian kami menganggap hal ini suatu tantangan untuk dapat mewujudkannya. Oleh karena itu diperlukan penajaman arah riset pengelolaan DAS 2012-2022. Hasil penajaman arah riset ke depan diharapkan dapat menghasilkan (1) Kerangka Dasar Penelitian Terkait Sistem Pengelolaan DAS, dan (2) Kerangka Dasar Penelitian Terkait Teknologi Pendukung Sistem Pengelolaan DAS. Kerangka dasar ini selanjutnya akan digunakan untuk penyempurnaan rencana penelitian pengelolaan DAS ke depan, diantaranya penyempurnaan Rencana Strategis (RENSTRA) Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Mengingat dinamika perubahan yang sangat cepat maka rencana penelitian nantinya perlu dilakukan evaluasi setiap lima tahun atau masa berakhirnya renstra. Wabillahitaufik Walhidayah Wassalamualaikum Wr. Wb. Solo, 21 Oktober 2011 Kepala Balai, Ir. Bambang Sugiarto, MP NIP. 19580924 198602 1 001

Page 27: Workshop Litbang DAS 2012

xxv

RUMUSAN WORKSHOP

“PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI”

(21 Oktober 2011)

Memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan, paparan Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS PS) tentang Kebutuhan Riset Pendukung Program Pengelolaan DAS Terpadu, Paparan Kepala BPTKPDAS tentang arah dan strategi litbang pengelolaan DAS ke depan, Paparan Rencana Riset Sistem Pengelolaan DAS, Paparan Riset Teknologi Pengelolaan DAS, Pencermatan Para Narasumber, dan hasil diskusi dalam Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Solo, tanggal 21 Oktober 2011 dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Permasalahan utama pengelolaan DAS terjadi karena sistem

yang dibangun belum mampu mengimbangi dinamika perubahan proses alam, politik, sosial, budaya, ekonomi dan teknologi; lemahnya koordinasi dan sinergi menyebabkan degradasi lahan yang berdampak makin luasnya lahan kritis.

2. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan pengelolaan DAS yang bertujuan untuk kelestarian sumberdaya DAS dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat .

3. Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS diperlukan dukungan penelitian dan pengembangan dimana BPTKPDAS ditetapkan sebagai salah satu lembaga penelitian yang memiliki tugas melaksanakan penelitian di bidang teknologi kehutanan pengelolaan DAS dengan wilayah kerja seluruh Indonesia.

4. Untuk melaksanakan tugas BPTKPDAS tersebut diperlukan penyusunan rencana penelitian pengelolaan DAS yang didasarkan pada kebutuhan teknologi oleh para pengguna, hasil yang telah dicapai dan sedang berjalan (dalam proses), program penelitian Badan Litbang Kehutanan, dan tugas pokok dan fungsi Balai Penelitian Teknologi Kehutanan

Page 28: Workshop Litbang DAS 2012

xxvi

Pengelolaan DAS (BPTKPDAS), sumberdaya manusia dan biaya, dengan memperhatikan rambu peraturan perundangan yang berlaku terkait pengelolaan DAS.

5. Karena adanya gap antara sumberdaya yang terbatas dan luasnya cakupan penelitian baik aspek, wilayah kerja, dan keberagaman pengguna maka diperlukan strategi penelitian dari sisi aspek, prioritas DAS yang diteliti, dan sedapat mungkin dilakukan bersama lembaga penelitian terkait. Aspek yang diteliti dibagi menjadi dua yakni Sistem Pengelolaan DAS dan Teknologi Pendukung Pengelolaan DAS. Lokus/ wilayah penelitian diprioritaskan pada DAS yang mewakili karakteristik DAS yang ada di Indonesia.

6. Hasil penelitian Teknologi Pendukung Pengelolaan DAS harus mendukung Kajian Sistem Pengelolaan DAS yang diharapkan dapat memperbaiki sistem pengelolaan DAS yang ada saat ini.

7. Penelitian ke depan harus lebih aplikatif, inovatif, adaptif dan adoptif.

8. Dengan keterbatasan sumberdaya manusia maka perlu dibangun jejaring kerja dengan Balai Penelitian Kehutanan di Bawah Badan Litbang Kehutanan, Universitas setempat, Badan Litbang Daerah, Forum DAS, Masyrakat Sipil, dll.

9. Arah riset DAS diarahkan untuk: a). Protection research (untuk mencegah /mengurangi resiko dan kerusakan akibat longsor, erosi, banjir, dan degradasi lahan), b. Production research (untuk mengoptimalkan pendayagunaan SDA dan meningkatkan produktivitas SDM), c. Utilization research (untuk meningkatkan daya dukung lahan/DAS, dan d. Rehabilitation research, untuk memperbaiki dan merestorasi DAS agar kembali produktif

10. Untuk mendukung hasil penelitian dan show window diperlukan Model Mikro DAS yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian dan implementator serta Pembangunan Research Centre untuk daerah kering (dryland) sebagai mandat COP9 UNCCD.

Surakarta, 21 Oktober 2011 Tim Perumus 1. Ir. Salamah Retnowati 2. Ir. Purwanto, M.Si 3. Ir. Beny Harjadi, M.Sc

Page 29: Workshop Litbang DAS 2012

1

ARAH RISET PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012 – 20211

Oleh :

Salamah Retnowati2, Beny Harjadi3, dan Bihhudalta Wirid Atmasu4

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

Email: 2 [email protected] ; 3 [email protected] ; [email protected]

ABSTRAK

Menghadapi kondisi DAS yang terus mengalami degradasi yang ditunjukkan dengan semakin besarnya jumlah DAS yang memerlukan prioritas penanganan yakni 22 DAS pada tahun 1984 dan pada saat sekarang diperkirakan sekitar 282 DAS dalam kondisi kritis, perlu adanya pembenahan dalam pengelolaan DAS ke depan. Pengelolaan DAS yang ideal dituangkan dalam Arah Riset Pengelolaan DAS Tahun 2012 - Tahun 2021 mengacu pada Permenhut No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Riset-riset pengelolaan DAS diarahkan untuk mendukung pengelolaan DAS ideal yang dijabarkan dalam aspek perencanaan, aspek implementasi (memuat konservasi air, konservasi-rehabilitasi pantai dan konservasi untuk penanggulangan degradasi lahan), aspek monitoring dan evaluasi, aspek kelembagaan, aspek partisipasi,aspek insentif-disinsentif dan aspek pembiayaan. Diharapkan Arah Riset Pengelolaan DAS Tahun 2012 – Tahun 2021 dapat digunakan sebagai pedoman didalam pelaksanaan pengelolaan DAS ke depan. Kata kunci : DAS, konservasi air, konservasi-rehabilitasi pantai, insentif-

disinsentif.

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 30: Workshop Litbang DAS 2012

2

I. PENDAHULUAN

Dilihat dari penutupan lahan/vegetasi kawasan hutan mengalami perubahan yang cepat dan dinamis seiring dengan perkembangan pembangunan. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut, yaitu pembangunan di sektor kehutanan sendiri dan di luar sektor kehutanan yang berlangsung sangat pesat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan lahan dan hasil hutan. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya perambahan hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin meluasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia. Dalam konteks wilayah DAS, hutan sebagai bagian dari wilayah DAS yang salah satu fungsinya adalah fungsi hidrologis yang berperan dalam perlindungan dan pengaturan tata air akan memberikan pengaruh terhadap kondisi DAS. Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, dan erosi pada lereng–lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti pemukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena adanya tumpang tindih kepentingan dan belum adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS.

Secara garis besar isu pokok dalam pelaksanaan pengelolaan DAS terbagi dalam 10 isu pokok menurut Permenhut No. 26 tahun 2006 tentang Pengelolaan DAS Terpadu yakni : 1) Lahan Kritis (penyebab, Luas dan distribusi), 2) Kondisi Habitat (daerah perlindungan keanekaragaman hayati), 3) Sedimentasi (sumber,laju dan dampak), 4) Kualitas air (sumber polutan, kelas, waktu), 5) Masalah penggunaan air tanah dan air permukaan, 6) Daerah rawan bencana (banjir dan longsor), 7) Masalah sosial-ekonomi dan kelembagaan, 8) Masalah tata ruang dan penggunaan lahan, 9) Permasalahan antara hulu dan hilir, dan 10) Konflik pemanfaatan sumberdaya.

Paradigma pengelolaan DAS dengan pendekatan top down di tingkat kebijakan operasional, dan pelaksanaan serta dengan penekanan pada bidang fisik dan ego sektoral mulai ditinggalkan dan bergeser pada paradigma baru yang menuntut adanya

Page 31: Workshop Litbang DAS 2012

3

peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS dengan pendekatan bottom up. Dalam paradigma baru ini pengelolaan dilaksanakan secara terpadu lintas sektoral, adanya peningkatan partisipasi masyarakat, adanya peningkatan penyuluhan baik kualitas dan kuantitas, adanya penguatan institusi/kelembagaan, serta semakin menguatnya dorongan utuk penerapan mekanisme pemberian insentif kepada petani di kawasan DAS (terutama di kawasan hulu). Pergeseran tersebut diatas tak lepas dari penerapan otonomi daerah yang terjadi di Indonesia selain juga merupakan sebuah kebutuhan.

Wilayah DAS yang di dalamnya terdapat paduan dan interaksi beranekaragam sumberdaya merupakan aset yang harus dikelola secara optimal guna mendapatkan manfaat yang seoptimal mungkin sesuai dengan mandat UUD (Undang-Undang Dasar) Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat (3). Ayat ini menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pasal ini kemudian ditindak lanjuti dengan Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008 – 2009 dimana salah satu programnya adalah Rehabilitasi DAS dengan sasarannya adalah mengurangi banjir, longsor, kekeringan dan pencemaran air. Berdasarkan sumberdaya-sumberdaya yang terlibat dalam sebuah DAS dan tujuan yang ingin dicapai maka pengelolaan DAS harus dilakukan multisektor, multipihak dan multidimensi serta mendesak untuk ditangani. Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia menetapkan “Kerangka Kerja Pengelolaan DAS di Indonesia” yang mengacu pada kaidah-kaidah “satu DAS, satu rencana, dan satu sistem pengelolaan terpadu. Dalam kaitan ini, pengelolaan DAS sebagai ekosistem pada hakikatnya ditujukan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya alam terutama hutan, lahan dan air untuk kesejahteraan rakyat sekaligus menjaga kelestarian DAS itu sendiri.

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antar lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari

Page 32: Workshop Litbang DAS 2012

4

perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemanfaatan.

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan degradasi DAS yang dapat berakibat buruk seperti yang dikemukakan diatas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh mulai daerah hulu sampai hilir.

Berkaitan dengan penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang tengah disusun oleh pemerintah dimana didalamnya terdapat teknik rehabilitasi dan restorasi lahan kritis, rehabilitasi hutan mangrove dan gambut, serta revitalisasi hutan kota atau ekosistem perkotaan serta peningkatan partisipasi mulipihak yang terkait dalam DAS, Badan Litbang Kehutanan sebagai bagian dai Kementerian Kehutanan dituntut untuk ikut berperan serta mendukung program tersebut melalui penyediaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dasar dan terapan untuk mendukung sistem perencanaan, monitoring dan evaluasi, kelembagaan dan implementasi pengelolaan DAS serta pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam unit DAS. Hal ini menjadi potensi litbang untuk melakukan riset-riset yang hasilnya akan mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan fungsi, daya dukung dan kualitas DAS.

Sebagai Balai khusus yang diberi amanah untuk melakukan penelitian-penelitian terkait dengan Pengelolaan DAS maka Balai Penelitian Kehutanan berubah nama menjadi Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS sejak bulan April 2011 sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2011 tanggal 20 April 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS), dengan wilayah kerja seluruh Indonesia. Balai ini bertugas menghasilkan informasi dan IPTEK

Page 33: Workshop Litbang DAS 2012

5

terapan berkaitan dengan pengelolaan DAS melalui kegiatan penelitian.Visi BPTKPDAS yakni menjadi lembaga penyedia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) di bidang teknologi kehutanan pengelolaan DAS yang terpadu dan berfungsi optimal (pemanfaatan hasil-hasilnya untuk mendukung kelestarian hutan secara ekologi, ekonomi dan sosial untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misi yang ingin dicapai oleh BPTKPDAS diwujudkan melalui :

1) Menyelenggarakan penelitian di bidang teknologi kehutanan pengelolaan DAS

2) Menyelenggarakan diseminasi dan komunikasi hasil IPTEK di bidang teknologi kehutanan pengelolaan DAS

3) Menyelenggarakan kegiatan pendukung kelitbangan di bidang teknologi kehutanan pengelolaan DAS

Dengan tugas pokok yang khusus menangani pengelolaan DAS di seluruh wilayah Indonesia maka perlu adanya suatu Arah Riset Pengelolaan DAS dalam kurun waktu 2012 – 2021 yang terjabarkan dalam 9 aspek riset pengelolaan DAS yakni :

1) Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS 2) Implementasi DAS Mikro dalam Pengelolaan DAS 3) Kelembagaan Pengelolaan DAS 4) Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS 5) Pembiayaan Pengelolaan DAS 6) Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan DAS 7) Konservasi Air dalam Pengelolaan DAS 8) Teknik Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Pantai dalam

Pengelolaan DAS 9) Konservasi untuk Penanggulangan Degradasi Lahan

dalam Pengelolaan DAS

II. PERATURAN YANG MENDUKUNG

Permasalahan, tantangan serta ultimate goals dalam mengelola DAS ke depan perlu berpijak pada payung hukum seperti : 1. Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan

Sumber Daya Air , pada Bab I pasal 1 ayat 11 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai adalah

Page 34: Workshop Litbang DAS 2012

6

suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

2. Undang-Undang No 41 tahun 1999 , pasal 18 menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan sebesar 30 % untuk setiap DAS atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

3. Permenhut nomor P.42/Menhut-II/ 2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS terpadu, bahwa pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar Sumber Daya Alam (SDA), terutama vegetasi, tanah dan air dengan Sumber Daya Manusia (SDM) di DAS dan segala aktifitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem. Sasaran pengelolaan DAS yakni menciptakan : a) kondisi hidrologis yang optimal, b) produktifitas lahan meningkat, c) kelembagaan terbentuk, tangguh dan muncul dari bawah serta d) pembangunan berkelanjutan, wawasan lingkungan dan adil dengan tujuan : a) mewujudkan tata air DAS yang optimal dari semua aspek baik kuantitas, kualitas maupun kontinyuitas, b) mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya tampung DAS secara lestari, c) mewujudkan kesadaran, kemampuan dan partisipatif para pihak dalam pengelolaan DAS dan d) mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan no 52 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS.

4. Riset Pengelolaan DAS diarahkan untuk : a) protection research yakni untuk mencegah/mengurangi resiko dan kerusakan akibat longsor, erosi, banjir dan degradasi lahan, b) production research yakni untuk mengoptimalkan pendayagunaan SDA dan meningkatkan produktifitas SDM, c) utilization research yakni untuk meningkatkan daya

Page 35: Workshop Litbang DAS 2012

7

dukung lahan/DAS dan d) rehabilitation research yakni untuk memperbaiki dan merestorasi DAS agar berproduktif kembali.

III. KONDISI PENGELOLAAN DAS SAAT INI

1. Aspek Perencanaan

Dengan mengacu pada Permenhut nomor P.42/Menhut-II/ 2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS terpadu, maka kondisi pengelolaan DAS khususnya aspek Perencanaan masih bersifat parsial dan belum terintegrasi. Demikian juga asas one river , one plan and one management belum diterapkan secara menyeluruh sehingga tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Masing- masing daerah memiliki ego terhadap eksploitasi potensi wilayahnya tanpa memperhatikan dampak bagi daerah lain. Di beberapa instansi terjadi duplikasi program yang menyebabkan ketidakefisienan anggaran dan ketidaksinambungan pembinaan program, serta ketidakjelasan tentang kewenangan pengelolaan DAS.

2. Aspek Kelembagaan

Aspek kelembagaan dalam pengelolaan DAS merupakan suatu sistem yang kompleks. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada. Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia sebagai institusi formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara lain adalah

Page 36: Workshop Litbang DAS 2012

8

masalah koordinasi program, seringkali program yang sama atau mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda.

3. Aspek Implementasi

Dalam ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain, pada ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.

4. Aspek pengendalian

Selain sebagai sistem ekologi yang bersifat kompleks, DAS juga dapat dianggap sebagai sistem hidrologi. Sebagai suatu sistem hidrologi, maka setiap ada masukan (input) ke dalam sistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran (output) dari sistem. Dalam sistem hidrologi DAS, komponen masukan terdiri atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan Spencemar di dalamnya. Daerah Aliran Sungai terdiri atas komponen-komponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai dan manusia berlaku sebagai

Page 37: Workshop Litbang DAS 2012

9

prosesor. Monitoring didefinisikan sebagai aktivitas pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus atau secara periodik terhadap pelaksanaan salah satu atau beberapa program pengelolaan DAS untuk menjamin bahwa rencana - rencana kegiatan yang diusulkan, jadwal kegiatan, hasil-hasil yang diinginkan dan kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan evaluasi didefinisikan sebagai suatu proses untuk menentukan relevansi, efektivitas dan dampak dari aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dengan kata lain kegiatan evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan ataupun kegagalan dan aktivitas pengelolaan DAS baik dari aspek fisik, sosial ekonomi, maupun kelembagaan. Tolok ukur yang dipakai untuk penilaian adalah perubahan yang terjadi pada aspek-aspek tersebut, sejak saat perencanaan dan setelah implementasi yang meliputi :

a) Perubahan karakteristik hidrologi DAS seperti debit rata-rata , debit puncak (Q maks) dan debit minimum (Q min), koefisien limpasan, produksi dan kualitas air dan sedimen terangkut yang keluar dari DAS

b) Perubahan tata guna lahan yang mencakup perubahan pemanfaatan lahan, produksi dan tingkat konservasi

c) Perubahan sosial ekonomi masyarakat misalnya pendapatan dan persepsi terhadap pengelolaan/konservasi sumberdaya alam, tanah dan air dan partisipasi masyarakat terhadap usaha pengelolaan

Beberapa permasalahan di lapangan dalam monev DAS yakni tidak semua DAS memiliki SPAS sebagai salah satu sarana untuk mengetahui kesehatan DAS. Disamping itu monev DAS belum dilaksanakan secara periodik oleh instansi yang terkait. Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen - komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan Dengan demikian tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa

Page 38: Workshop Litbang DAS 2012

10

kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian kegiatan monitoring dan evaluasi DAS pun harus terintegrasi pada daerah-daerah dalam satu wilayah Sub DAS ataupun DAS.

5. Aspek partisipasi para pihak/masyarakat

Partisipasi atau peran serta memiliki pengertian keterlibatan secara langsung seseorang pada suatu kegiatan untuk kepentingan sendiri atau kepentingan bersama. Untuk berperan dan berpartisipasi, seseorang atau kelompok masyarakat harus memiliki kemampuan atau kekuatan untuk mengatasi masalah sendiri atau kelompoknya. Bentuk partisipasi masyarakat dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu partisipasi dalam: a) tahap pembuatan keputusan, sejak awal masyarakat telah dilibatkan dalam proses perencanaan dan perancangan kegiatan serta dalam pengambilan keputusan atas rencana yang akan dilaksanakan, b) tahap implementasi., keterlibatan masyarakat juga diupayakan pada tahap pelaksanaan kegiatan sehingga masyarakat dapat mengontrol kegiatan di lapangan, c) tahap evaluasi, evaluasi secara periodik umumnya dilaksanakan pada tahap pelaksanaan dan pada akhir pelaksanaan kegiatan dan d) partisipasi untuk memperoleh manfaat suatu kegiatan. Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam mengelola dan menjaga agar ekosistem sungai terjaga dengan baik, perlu menempatkan masyarakat sebagai subyek bukan obyek dalam kegiatan. Namun demikian pada kenyataannya di lapangan masyarakat belum dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan DAS, sehingga program pengelolaan DAS tidak berjalan maksimal.

6. Aspek Insentif – Disinsentif danAspek Pembiayaan

Daerah Aliran Sungai terbagi menjadi bagian hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu sebagai daerah konservasi dicirikan dengan daerah yang mempunyai kerapatan drainase tinggi, memiliki kemiringan/topografi besar dan bukan daerah banjir. Daerah Aliran Sungai bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, mempunyai kerapatan drainase rendah, kemiringan lahan kecil dan sebagian merupakan daerah banjir. Daerah Aliran Sungai

Page 39: Workshop Litbang DAS 2012

11

bagian tengah merupakan transisi antara DAS hulu dan hilir. Masing-masing bagian saling berkaitan. Bagian hulu DAS merupakan kawasan perlindungan, khususnya perlindungan tata air yang keberadaannya penting bagi bagian DAS lainnya. Keterkaitan antara hulu dan hilir diantaranya : pada bagian hulu mengatur aliran air yang dimanfaatkan oleh penduduk di bagian hilir, erosi yang terjadi di bagian hulu menyebabkan sedimentasi dan banjir di hilir, bagian hilir umumnya menyediakan pasar bagi hasil pertanian dari bagian hulu ( Ramdan, 2006).

Keterkaitan antara hulu, tengah dan hilir lebih dipertegas lagi dalam bentuk penerapan sistem insentif dan disinsentif. Sistem tersebut berfungsi untuk mendorong para pemanfaat sumberdaya alam, terutama di hulu DAS dan para pihak lainnya tidak melakukan aktivitas yang mengakibatkan terjadinya degradasi hutan, lahan dan air (Permenhut No. P.42/Menhut-II/2009). Insentif diterima pada individu atau kelompok yang peduli atau melaksanakan terhadap program-program pemerintah dalam pelaksanaan pengelolaan DAS, biasanya dalam bentuk finansial ataupun non finansial. Prinsip ini lebih diarahkan kepada para pihak terutama di hulu DAS. Contoh penerapan sistem insentif yakni di Sub DAS Cidanau pada kelompok tani Karya Muda II, desa Citaman kecamatan Ciomas Kabupaten Serang. Disinsentif/denda diterima pada individu atau kelompok yang tidak peduli terhadap program-program pemerintah dalam pengelolaan DAS sehingga menimbulkan degradasi hutan, tanah dan air, tetapi pada kenyataan di lapangan disinsentif belum diterapkan oleh pemerintah.

IV. ARAH RISET PENGELOLAAN DAS KE DEPAN

Riset pengelolaan DAS ke depan diarahkan untuk mendapatkan suatu sistem pengelolaan DAS yang ideal sebagaimana tercantum dalam Permenhut nomor P.42/Menhut-II/ 2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS terpadu.

1. Aspek Perencanaan

Perencanaan merupakan salah satu tahapan penyelenggaraan kegiatan pengelolaan DAS dimana kegiatan ini harus mampu mengakomodir berbagai kepentingan semua pihak yang berada dalam satu DAS/SWP DAS. Dengan kondisi DAS di Indonesia

Page 40: Workshop Litbang DAS 2012

12

yang sangat banyak dengan bermacam karakter menuntut perlakuan yang bervariasi sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Kondisi tersebut di batasi oleh keterbatasan sumberdaya terutama manusia dan dana maka perencanaan pengelolaan DAS harus dilakukan secara prioritas bergantung dengan kondisi DAS nya. Proses perencanaan setiap DAS akan menghasilkan dokumen Rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang bersifat jangka panjang (20 tahun) yang mengacu pada kaidah satu DAS, satu rencana, dan satu sistem pengelolaan. Proses perencanaan pengelolaan DAS terpadu melibatkan lembaga terkait (para pihak) secara berjenjang dari pusat hingga daerah. Disamping itu perencanaan pengelolaan DAS mencakup wilayah pengelolaan sumberdaya dari hulu sampai hilir suatu DAS, dilakukan secara partisipatif dan adaptif, dan hasil dari rencana pengelolaan DAS terpadu disahkan oleh gubernur dan bupati/walikota sehingga memiliki sebuah kekuatan hukum.

Untuk mendukung terbentuknya rencana pengelolaan DAS terpadu tersebut diperlukan dukungan riset-riset terapan berkaitan dengan perencanaan pengelolaan DAS. Riset-riset tersebut antara lain berhubungan dengan karakteristik aspek-aspek yang saling berkaitan dalam DAS dan hubungan antar aspek tersebut, tata kelola pengelolaan DAS, serta formulasi integrasi pengelolaan DAS lintas pemangku wilayah dan kepentingan dalam sebuah DAS.

Dalam konteks kewilayahan, dimana riset-riset perencanaan pengelolaan DAS yang sudah banyak dilakukan adalah di pulau-pulau besar, perlu juga dikembangkan riset-riset pengelolaan DAS terpadu di pulau-pulau kecil. Dengan demikian maka akan diperoleh formula-formula perencanaan pengelolaan DAS tidak hanya di pulau besar namun juga di pulau-pulau kecil. Dengan formula-formula perencanaan pengelolaan DAS pada berbagai tipe wilayah tersebut diharapkan akan mendukung cita-cita untuk menjadikan DAS sebagai basis perencanaan wilayah.

2. Aspek Kelembagaan

Dalam pelaksanaan pengelolaan DAS, kelembagaan memegang posisi yang sangat penting, kelembagaan yang baik dalam pengelolaan DAS akan membuat tata laksana dan tata kelola

Page 41: Workshop Litbang DAS 2012

13

pengelolaan DAS semakin runtut dan hierarkis. Dengan demikian tidak ada tumpang tindih dan semua berada pada porsinya untuk melakukan kegiatan pengelolaan DAS. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi dan pemetaan para pihak, fungsi dan perannya dalam kegiatan pengelolaan DAS. Dengan kata lain terdapat alur koordinasi yang jelas pada masing-masing lembaga pengelola.

Adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antara para pihak dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan pra-kondisi untuk mewujudkan tujuan pengelolaan DAS. Dengan adanya koordinasi maka aktivitas-aktivitas yang dilakukan masing-masing pihak dalam pengelolaan DAS dapat terorganisir dan terintegrasi secara kokoh, satu dengan yang lainnya. Adanya multi kepentingan di dalam pengelolaan DAS mengharuskan kesepakatan bersama sebagai jalan tengah yang harus disepakati bersama oleh semua pihak demi tercapainya tujuan pengelolaan. Belum adanya sebuah lembaga yang mempunyai tupoksi dalam melakukan pengelolaan DAS dari hulu hingga hilir yang mencakup aspek perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, pelaksanaan, serta pengendalian menjadi sebuah hambatan sekaligus tantangan tersendiri dalam pengelolaan DAS. Situasi seperti ini menuntut perlunya dibentuk sebuah kelembagaan pengelolaan DAS guna mewujudkan keberhasilan kegiatan pengelolaan DAS.

Berkaitan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang semakin sering terjadi serta semakin meningkatnya degradasi lahan yang berimplikasi pada meningkatnya luasan lahan kritis, membuat fungsi kelembagaan pengelolaan DAS semakin vital untuk menjernihkan permasalahan tersebut. Selain itu kegiatan pengelolaan DAS merupakan kegiatan lintas sektor/instansi/ lembaga, lintas wilayah adminsitrasi (Negara/Provinsi/ Kabupaten/Kota) serta lintas disiplin ilmu (lingkungan, ekonomi, sosial, politik, hukum) yang menuntut kejelasan kelembagaan pengelolaan. Tanpa ada kelembagaan yang kuat maka akan sulit untuk melakukan penselarasan tujuan bersama dalam pengelolaan.

Wilayah DAS yang merupakan wilayah alami dan biasanya lintas kabupaten /kota bahkan lintas provinsi memerlukan kesadaran dan kesepahaman antar daerah otonom untuk mencapai keselarasan

Page 42: Workshop Litbang DAS 2012

14

pengelolaan. Disinilah format kelembagaan yang ideal diperlukan untuk menjembatani berbagai kepentingan yang terdapat di dalam DAS. Keberadaan Forum DAS yang dibentuk oleh pemerintah hingga sekarang belum menunjukkan efektifitasnya. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya masih cenderung mementingkan kepentingan masing-masing, belum ada pembagian tugas, fungsi, mekanisme kerja yang jelas dalam kegiatan pengelolaan DAS.

Selain riset yang bertujuan mencari formula kelembagaan ideal dari skala nasional hingga skala operasional di lapangan pada level Sub DAS atau DAS Mikro berkaitan dengan kedudukan, tugas dan fungsinya. Kedepan riset-riset yang mengarah pada pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan yang sudah ada masih dibutuhkan.

3. Aspek Implementasi

Pelaksanaan pengelolaan DAS di lapangan hingga saat ini masih cenderung mementingkan kepentingan sektoral masing-masing. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 yang membagi urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membuat kegiatan pengelolaan DAS menjadi semakin carut marut dan semakin memperlihatkan kepentingan daerah masing-masing. Hal ini dapat dilihat adanya kecenderungan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan eksploitasi sumberdaya alam DAS untuk meningkatkan PAD dengan tidak diikuti pengetahuan dan kegiatan konservasi dan rehabilitasi. Dengan demikian akan memperparah kondisi DAS ditambah tidak adanya inisiatif dari pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk melakukan kegiatan konservasi dan rehabilitasi DAS. Selain itu belum adanya penghargaan terhadap jasa lingkungan yang dihasilkan oleh suatu DAS. Jasa lingkungan seolah-olah masih terabaikan oleh sebagian besar pihak. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman tentang jasa lingkungan DAS tersebut oleh para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS.

Pelaksanaan pengelolaan DAS sangat terkait dengan kondisi kelembagaan pengelolaan DAS yang menunjukkan seberapa efektif keberadaan kelembagaan pengelolaan DAS terhadap pelaksanaan pengelolaan DAS. Menyikapi kondisi diatas perlu

Page 43: Workshop Litbang DAS 2012

15

adanya riset-riset tentang kebijakan multipihak dalam pengelolaan DAS yang mampu menemukan formula atau konsep pengelolaan DAS yang ideal, riset tentang jasa lingkungan yang dihasilkan oleh sebuah wilayah DAS serta riset tentang pengelolaan DAS yang mampu dan mudah diterima dan diterapkan oleh berbagai kalangan pada level oprasional. Obyek riset pengelolaan DAS diarahkan pada lahan daratan pantai dan lahan gambut (genangan dangkal dan genangan dalam).

4. Aspek Pengendalian

Pengendalian atau monitoring dan evaluasi merupakan unsur dasar dari proyek perencanaan dan pengelolaan dimana dilakukan kegiatan pengukuran yang sistematis dari indikator kegiatan pelaksanaan pengelolaan DAS terhadap tujuan yang ingin dicapai dengan sebuah parameter-parameter acuan sehingga bisa diketahui dengan jelas manfaat dan aktifitas pengelolaan DAS. Kegiatan pengendalian merupakan sebuah langkah untuk mendiagnosa kinerja dan kesehatan sebuah DAS yang kemudian hasilnya akan dijadikan input kegiatan perencanaan yang selanjutnya menjadi dasar kegiatan pengelolaan DAS. Salah satu kendala dalam kegiatan pengendalian adalah lemahnya kelembagaan pengelolaan DAS. Pengendalian ini berkaitan erat dengan aspek kelembagaan pengelolaan DAS dimana diperlukan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan DAS yang berdampak pada kuatnya koordinasi antar pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Selain itu perlunya membuka informasi tentang pengelolaan DAS kepada masyarakat dan menerima masukan dengan perkembangan dan kondisi DAS terkini. Hasil dari kegiatan pengendalian berupa kinerja DAS atau kesehatan DAS dapat dijadikan indikator kinerja institusi yang terkait dengan kegiatan pengelolaan DAS. Dalam menjawab tantangan pengelolaan DAS terutama dalam hal pengendalian pengelolaan DAS kedepan diperlukan dukungan riset terkait dengan strategi penguatan dan peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan DAS.

Sistem informasi manajemen/pengelolaan DAS (SIM DAS) sangat diperlukan untuk kegiatan perencanaan, pelaksanaan rencana/program, hasil dan luaran pelaksanaan program dan kegiatan serta sistem pengendalian. SIM DAS ini harus mudah

Page 44: Workshop Litbang DAS 2012

16

diakses karena upaya perbaikan dapat dilakukan segera setiap saat seandainya fungsi manajemen tidak berjalan. Selanjutnya masalah-masalah yang muncul dalam pengelolaan DAS dapat diantisipasi atau ditekan. Melalui SIM DAS ini dapat diketahui kondisi kesehatan suatu DAS melalui kriteria dan indikator kinerja DAS dalam suatu kerangka kerja logis yang telah disusun sebelumnya. Melalui kriteria dan indikator tertentu dalam sistem ini dapat ditentukan apakah suatu DAS dalam kondisi kritis atau tidak.

Dengan demikian sistem pengelolaan informasi yang dilengkapi perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware) dan SDM yang memadai merupakan salah satu prasarana yang sangat vital dalam mendukung riset-riset pengelolaan DAS kedepan ,riset tentang modelling penggunaan lahan dalam DAS serta riset tentang analisis iklim dan cuaca dalam DAS merupakan salah satu contoh kegiatan riset yang didukung SIM DAS.Untuk memudahkan komunikasi para pelaksana pengelolaan DAS sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam DAS dapat segera ditindak lanjuti maka diperlukan format baku SIM DAS

5. Aspek Partisipasi masyarakat/para pihak

Pembinaan dan pemberdayaan dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas institusi pemerintah, non pemerintah dan masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi serta pendanaan kegiatan pengelolaan DAS. Kegiatan pembinaan harus menjadi bagian integral dalam pelaksanaan penyelenggaraan pengelolaan DAS. Kegiatan tersebut terutama terkait adanya kesenjangan persepsi diantara para pihak dan antar sektor mengenai pengelolaan DAS, kurangnya SDM terampil, dan teknologi konservasi yang berdampak negatife terhadap kelestarian ekosistem DAS. Partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan pengelolaan DAS dalam tataran implementasi. Kegiatan pengelolaan DAS tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. Dengan demikian perlu perubahan paradigma pengelolaan DAS yang selama ini masih cenderung berupa kegiatan keproyekan dimana masyarakat hanya menerima saja, menjadi kegiatan yang mampu menggali potensi besar masyarakat. Kegiatan ini dimulai dari menyusun rencana

Page 45: Workshop Litbang DAS 2012

17

kebutuhan, identifikasi kebutuhan hingga melihat potensi pasar yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam pembangunan partisipasi masyarakat, konsensus, kesetaraan dan transparansi harus dilakukan untuk menanamkan kepercayaan inisiator kegiatan kepada masyarakat.

Kedepan riset-riset yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat harus mengarah kepada upaya-upaya kreatif untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat dalam pengelolaan DAS guna mengurangi eksploitasi sumberdaya alam DAS sehingga laju degradasi dan kerusakan sumbedaya alam DAS dapat ditekan.

6. Aspek Insentif-Disinsentif dan Pembiayaan

Konsep insentif dan disinsentif ini sudah lama diwacanakan dalam pengelolaan DAS. Konsep ini bertujuan untuk pelaku kegiatan pengelolaan DAS di daerah hulu dan pihak lain supaya tidak melakukan aktifitas yang mengakibatkan terjadinya degradasi hutan, lahan dan air. Individu atau kelompok tersebut akan mendapatkan bantuan,kemudahan/fasilitas baik itu finansial maupun non finansial yang diharapkan akan menarik dan semakin memacu untuk melakukan kegiatan pengelolaan DAS sesuai dengan program-program pengelolaan DAS yang telah ditetapkan. Namun demikian hal ini terkendala oleh aspek kewilayahan DAS itu sendiri yang tidak selalu selaras dengan batas administrasi pemerintahan (lintas kabupaten/kota atau lintas provinsi) yang membutuhkan penanganan lebih lanjut dalam skema insentif dan disinsentif ini. Dalam era otonomi daerah, koordinasi tentang pengelolaan DAS memerlukan kesadaran semua pihak. Disamping itu dukungan kelembagaan pengelolaan DAS dan payung hukum yang mengikat, diharapkan dapat membantu penselarasan program ini.

Selain penghitungan dan mekanisme pemberian insentif disinsentif, yang harus terlebih dahulu dibangun adalah komunikasi multipihak yang terlibat didalam DAS dan pengelolaan DAS untuk membangun kesadaran dan kesepahaman bersama. Pada tahap berikutnya adalah membangun kesepakatan bersama serta mekanisme insentif dan dis-insentif ini.

Ketersediaan dana merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggarakan pengelolaan DAS termasuk sebagai sarana

Page 46: Workshop Litbang DAS 2012

18

koordinasi antar pihak dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS. Secara garis besar sumber pendanaan bagi penyelenggaraan pengelolaan DAS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu dana pemerintah dan dana non-pemerintah. Hingga saat ini kegiatan pengelolaan DAS masih sangat tergantung pada dana pemerintah Hal ini akan sangat riskan mengingat kemampuan negara dalam menyediakan dana pembangunan nasional relatif mangalami penurunan, sedangkan biaya pengelolaan DAS relatf mengalami kenaikan sebagai akibat dari memburuknya kualitas sumber daya alam DAS. Untuk itu diperlukan strategi khusus untuk menggali sumber pendanaan yang berasal dari non-pemerintah serta membentuk lembaga penggalang dana non pemerintah untuk pengelolaan DAS. Agar strategi ini dapat berhasil maka perlu dicari mekanisme kuantifikasi nilai manfaat DAS sehingga ada dasar yang jelas dalam penentuan nilai manfaat dari sebuah DAS. Selain itu juga perlu melakukan upaya-upaya kreatif terkait dengan pengelolaan DAS yang mampu menarik pemilik dana non-pemerintah baik dalam maupun luar negeri untuk berkontribusi dalam hal pendanaan dalam kegiatan pengelolaan DAS.

Terkait dengan pihak pengguna sumberdaya alam DAS yang memberikan masukan negatif terhadap DAS maka perlu adanya sebuah metode perhitungan skema biaya lingkungan yang layak dan sepadan dengan dampak negatf yang ditimbulkan. Dengan demikian biaya lingkungan ini akan dapat digunakan dalam pemanfaatan penggunaan rehabilitasi dan konservasi atau sebagai bagian dari skema insentif dis-insentif.

V. PENUTUP

Arah Riset Pengelolaan DAS Tahun 2012 – tahun 2021 merupakan bagian rencana pelaksanaan pengelolaan DAS ke depan yang mengacu pada Roadmap Penelitian dan Kehutanan. Perubahan situasi dan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan politik akan selalu diikuti dan dicermati sehingga dalam perjalanannya, panduan yang telah disusun dapat ditinjau kembali untuk dilakukan penyempurnaan agar sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai.

Page 47: Workshop Litbang DAS 2012

19

DAFTAR PUSTAKA

Instruksi Presiden republik Indonesia No. 5 Tahun 2008, Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009

Keputusan Menteri Kehutanan No.52/Kpts-II/2001, tentang

Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Peraturan Menteri Kehutanan No. : P.26/Menhut-II/2006, tentang

Rencana Pengelolaan DAS Terpadu Peraturan Pemerintah republik Indonesia No. 38 Tahun 2007,

Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.42/Menhut-II/2009, tentang

Pola Umum, Kriteria dan Standar pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.

Ramdan, H. 2006., Prinsip Dasar Pengelolaan DAS, Laboratorium

Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Unaya Mukti, Jatinangor.

Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010 – 2025,

Departemen Kehutanan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999, Tentang

Kehutanan, Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004, tentang

Sumber daya Air.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No 4377, Fokus Media, Bandung.

Page 48: Workshop Litbang DAS 2012

20

KERANGKA DASAR PENELITIAN SISTEM PERENCANAAN PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI UNTUK BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI TAHUN 2012 - 20211

Oleh: Paimin

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] Email: [email protected]

ABSTRAK

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk sistem perencanaan di dalamnya, harus bisa mengikuti dan beradaptasi dengan dinamika faktor alam maupun faktor buatan manusia. Untuk bisa mengimbangi dinamika yang terjadi diperlukan penelitian perencanaan pengelolaan DAS yang mampu mengantisipasi kemungkinan perubahan yang terjadi. Dalam penyelenggaraan penelitian ternyata juga terjadi perubahan yakni Balai Penelitian Kehutanan Surakarta berubah menjadi Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS yang akhirnya juga membawa perubahan dalam tugas pokok dan fungsinya. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap penjabaran tugas pokok dan fungsi organisasi baru dalam menyusun kerangka dasar penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS yang akan diselenggarakan pada kurun waktu 10 tahun yakni tahun 2012 – 2021. Dasar penelitian perencanaan pengelolaan DAS bertumpu pada dinamika peraturan perundangan dan hasil penelitian yang telah dicapai. Peraturan perundangan yang digunakan sebagai penuntun rencana penelitian adalah Undang Undang (UU) No. 41 Tahun 1999, UU No. 7 Tahun 2004, UU No. 32 tahun 2004, dan UU No. 26 tahun 2007, serta peraturan perundangan di bawahnya yang terkait. Hasil penelitian terdahulu yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana penelitian adalah sistem karakterisasi DAS dan teknologi pendukungnya seperti pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, sistem informasi gegrafis, dan formulasi penetapan luas hutan optimal. Secara garis besar rencana penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS dalam kurun waktu 10 tahun (2012 – 2022) meliputi: (1) sistem perencanaan pengelolaan DAS lintas provinsi, dan pulau-pulau 1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 49: Workshop Litbang DAS 2012

21

kecil, (2) kajian ulang formula sistem karakterisasi DAS dan mekanisme sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, (3) pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, (4) aplikasi perkembangan teknologi sistem informasi geografis, (5) optimalisasi luas hutan pada berbagai kondisi alami DAS, dan modeling perencanaan pengelolaan DAS. Kata kunci: pengelolaan DAS, perencanaan, perundangan, penelitian I. PENDAHULULAN

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu usaha yang terus berjalan, karena dinamika faktor alam maupun faktor buatan manusia selalu berubah setiap waktu. Seiring dengan waktu, penduduk terus bertambah dan pembangunan terus berkembang menjadikan pengelolaan DAS sepertinya tanpa akhir. Yang memprihatinkan adalah dinamika perubahan kondisi alam DAS yang justru cenderung mengalami degradasi seperti dicerminkan oleh sering terjadinya bencana banjir dan kekeringan, pendangkalan waduk dan sungai, serta tanah longsor dan meluasnya lahan kritis. Di Indonesia, kondisi DAS yang berada dalam kondisi kritis dan memerlukan prioritas penanganan mencakup 108 DAS (Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.328/Menhut-II/2009). Luas lahan kritis masih terus berkembang dan telah mencapai 77,8 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2007) yang tersebar di dalam kawasan hutan sekitar 51 juta ha dan di luar kawasan hutan kurang lebih seluas 26,8 juta ha. Padahal pada tahun 2000, lahan kritis di Indonesia diperkirakan 23.242.881 ha yang berada di dalam kawasan hutan 8.136.646 ha (35%) dan di luar kawasan 15.106.234 ha (65%) (Dep. Kehutanan, 2001). Upaya pengendalian lahan kritis telah digaungkan secara intensif sejak tahun 1976 melalui program Inpres (Instruksi Presiden) Reboisasi dan Penghijauan, namun laju degradasi lahan jauh lebih cepat dibandingkan laju perbaikannya. Tingginya jumlah DAS prioritas dan masih luasnya lahan kritis mengindikasikan masih lemahnya sistem pengelolaan DAS, terutama dalam aspek perencanaan pengelolaan. Perkembangan politik, sosial ekonomi, kelembagaan, maupun teknologi yang dinamis belum mampu diimbangi oleh sistem perencanaan pengelolaan yang ada sekarang. Dinamika politik

Page 50: Workshop Litbang DAS 2012

22

yang utama berpengaruh terhadap sistem pengelolaan DAS adalah adanya kewenangan otonomi pemerintahan daerah (Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 32 Tahun 2004) serta peraturan perundangan terkait pengelolaan DAS lainnya. Sementara itu wilayah DAS tidak selalu bisa berhimpitan dengan wilayah administrasi pemerintahan karena DAS merupakan batas alam punggung bukit. Dixon dan Easter (1986) menyebutkan bahwa DAS merupakan penyatu ekosistem alami antara wilayah hulu (dari puncak gunung/bukit) dengan wilayah hilir (sampai dengan muara sungai dan wilayah pantai yang masih terpengaruh daratan) melalui siklus hidrologi. Dengan demikian tatanan pemerintahan yang diatur dalam peraturan perundangan perlu dicermati agar sistem perencanaan pengelolaan DAS yang dibangun bisa selaras dengan sistem pemerintahan yang berjalan. Perkembangan pemerintahan yang terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan pembangunan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sebagai suatu ekosistem, DAS dapat merupakan suatu unit pengelolaan karena setiap ada masukan (inputs) ke dalam ekosistem dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut. Satuan wilayah DAS, yang terdiri dari komponen tanah, vegetasi dan air/sungai dengan intervensi manusia, berperan sebagai prosesor terhadap setiap masukan. Sebagai prosesor DAS memiliki karakteristik khas yang dihasilkan dari interaksi karakter alami dengan pengelolaan yang diterapkan. Pengelolaan atau manajemen adalah sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan (monitoring dan evaluasi) yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya seperti bahan-bahan, mesin, metode, uang dan pasar (Terry, 1986). Adanya dinamika tersebut perlu adaptasi sistem perencanaan pengelolaan DAS yang aplikatif dan adoptif. Dalam pengembangan sistem perencanaan pengelolaan yang selaras dengan dinamika perkembangan tersebut perlu dukungan dasar

Page 51: Workshop Litbang DAS 2012

23

pemikiran obyektif rasional yang didukung data dan informasi terkini yang diperoleh melalui serangkaian penelitian yang bersifat integratif. Pada sisi lain telah terjadi perubahan organisasi Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yakni pergantian dari Balai Penelitian Kehutanan Surakarta menjadi Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS. Perubahan nomenklatur juga membawa perubahan dalam tugas pokok dan fungsinya. Dalam mengemban amanat tugas pokok dan fungsi yang baru diperlukan acuan dasar sebagai penuntun dalam penyelenggaraan organisassi. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap penjabaran tugas pokok dan fungsi Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS dalam menyusun kerangka dasar penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS yang akan diselenggarakan pada kurun waktu 10 tahun yakni tahun 2012 – 2022.

II. RUJUKAN PERATURAN DI BIDANG PENGELOLAAN DAS . Pemahaman peraturan perundangan akan bisa menuntun agar arah penelitian selaras dengan sistem pemerintahan yang ada sehingga hasil penelitian Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS bisa beradaptasi, sinergi, dan kompatibel dengan sistem perencanaan pembangunan sumberdaya alam lainnya dalam suatu wilayah. Disadari bahwa perencanaan pengelolaan DAS merupakan salah satu bentuk perencanaan pembangunan sumberdaya alam (vegetasi, tanah, dan air) dengan menggunakan satuan atau unit pengelolaan daerah tangkapan air (catchment area) atau Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan bagian-bagian wilayahnya. Pengelolaan sumberdaya alam merupakan wewenang pemerintahan daerah seperti diamanatkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Salah satu peraturan perundangan yang mendasari penyusunan perencanaan pembangunan adalah UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Berdasarkan Bab III pasal 3, 4, 5, 7, UU No. 25 Tahun 2004, hierarki perencanaan pembangunan nasional dapat diringkas seperti pada Tabel 1.

Page 52: Workshop Litbang DAS 2012

24

Tabel 1. Hierarki Perencanaan Pembangunan Nasional

Jenjang Pemerintahan Jangka Waktu Pembangunan

Panjang Menengah Tahunan Nasional RPJP

Nasional RPJM

Nasional RKP

Kementerian/Lembaga - Renstra-KL Renja-KL Provinsi RPJP

Daerah RPJM

Daerah RKPD

SKPD - Renstra-SKPD

Renja-SKPD

Kabupaten/Kota RPJP Daerah

RPJM Daerah

RKPD

SKPD - Renstra-SKPD

Renja-SKPD

Sumber: UU No. 25 Tahun 2004

Perencanaan Pembangunan Nasional menghasilkan: (a) rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), (b) rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan (c) rencana pembangunan tahunan atau rencana kerja pemerintah (RKP). Demikian juga Perencanaan Pembangunan Provinsi dan Kabupaten/Kota menghasilkan : (a) RPJP Daerah, (b) RPJM Daerah dan (c) RKPD (Daerah). Peraturan perundangan perencanaan pembangunan tersebut berorientasi pada wilayah administrasi pemerintahan, sedangkan wilayah DAS merupakan wilayah alami yang tidak selalu berhimpitan dengan wilayah administrasi. Oleh karena itu satuan daerah tangkapan air dari DAS perlu diselaraskan dengan wilayah admistrasi. Penselarasan bisa menggunakan istilah ”wilayah administrasi dominan” yakni wilayah daerah tangkapan air yang didominasi oleh satu wilayah administrasi. Penselarasan wilayah kerja ini juga dalam rangka penselarasan pembangunan dengan adanya otonomi daerah bahwa pembangunan sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air, diselenggarakan oleh pemerintah daerah otonomi (UU No. 22 tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 32 Tahun 2004). Salah satu jabaran lanjut dari perundangan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah (Pusat), Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota.

Page 53: Workshop Litbang DAS 2012

25

Tabel 2. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan DAS (PP No. 38 Tahun 2007)

No SUB BIDANG PEMERINTAH PEMDA PROVINSI PEMDA KABUPATEN/KOTA

1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan kritis.

2. Penetapan lahan kritis skala nasional.

3. Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.

4. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasiHutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional .

1. — 2. Penetapan lahan kritis skala provinsi. 3. Pertimbangan teknis rencana

rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS

4. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.

1. — 2. Penetapan lahan kritis skala

kabupaten/kota. 3. Pertimbangan teknis rencana

rehabIlitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.

4. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota.

2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS

Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi.

Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala

Page 54: Workshop Litbang DAS 2012

26

prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu.

kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

2. —

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.

2. Pelaksanaan rehabilitasiHutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/ pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pad ahutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/ pengelolaan hutan,dan lahan di luar kawasanhutan skala kabupaten/kota.

Page 55: Workshop Litbang DAS 2012

27

Dalam Lampiran AA pada PP tersebut, pembagian Urusan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS dijabarkan dalam Sub Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove (nomor 1 dan 3), dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (nomor 2) seperti pada Tabel 2. Mengingat PP tersebut maka dalam penyelenggaraan penelitian perencanaan pengelolaan DAS yang akan digunakan sebagai basis penyusunan formula sistem perencanaan pengelolaan DAS harus disesuaikan dengan kewenangan urusan pemerintahan yang berlaku. Berkaitan dengan kewenangan urusan tersebut dan mengingat masih lemahnya sistem pengelolaan yang ada sekarang maka diharapkan sistem perencanaan pengelolaan DAS ke depan seperti dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 42/Menhut-II/2009 seperti pada Tabel 3.

Page 56: Workshop Litbang DAS 2012

28

Tabel 3. Perbandingan Antara Kondisi Perencanaan Pengelolaan DAS Saat Ini Dengan Yang Diharapkan (Peraturan Menhut No.:P.42/Menhut-II/2009)

No. Kegiatan/Aspek

Manajemen Kondisi Pengelolaan DAS

Saat Ini Yang Diharapkan 1. Perencanaan a. Bersifat parsial (belum terintegrasi).

b. Belum memiliki tujuan bersama (bersifat sektoral).

c. Proses penyusunannya kurang partisipatif. d. Tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. e. Tidak efektif dan efisien (kurang diacu oleh

berbagai pihak, dianggap rencana bidang Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial/Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah)

a. Perencanaan dilakukan secara terpadu. b. Memiliki tujuan bersama yang telah

disepakati. c. Proses penyusunan rencana dilaksanakan

secara partisipatif. d. Mempunyai kekuatan hukum. e. Efektif dan efisien (menjadi salah satu acuan

dalam perencanaan sektoral/bidang lain).

2. Insentif-Disinsentif

a. Insentif bagi masyarakat di hulu DAS atau pihak lain yang melaksanakan pengelolaan DAS masih kurang.

b. Disinsentif bagi pencemar belum dilaksanakan.

a. Pemberian insentif dalam bentuk bantuan, kemudahan, dan/atau fasilitas lain yang atraktif bagi pihak yang melaksanakan program Pengelolaan DAS terutama di hulu DAS dan kawasan lindung.

b. Pemberian disinsentif/sanksi bagi pencemar/perusak DAS (pihak penyebab degradasi hutan, tanah dan air).

Page 57: Workshop Litbang DAS 2012

29

c. Insentif dan disinsentif untuk instansi

pemerintah berdasarkan kinerja keberhasilan pengelolaan DAS belum dilaksanakan.

c. Penerapan insentif dan disinsentif bagi instansi pemerintah berdasarkan kinerja pengelolaan DAS.

3 Pembiayaan a. Pembiayaan pengelolaan DAS masih sangat mengandalkan dana pemerintah.

b. Cost sharing belum dilaksanakan dengan

optimal. c. Belum ada peraturan tentang sistem

pembiayaan pengelolaan DAS.

a. Penerapan cost sharing antara Pemerintah, Pemda, Swasta dan masyarakat termasuk peluang memanfaatkan dana internasional.

b. Penerapan beneficiaries and poluters pay principles.

c. Tersedianya peraturan mengenai pembiayaan pengelolaan DAS.

Page 58: Workshop Litbang DAS 2012

30

Perencanaan pengelolaan DAS tidak terpisahkan dengan sistem Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seperti diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Penataan ruang wilayah disusun secara hierarki dengan mengikuti sistem pemerintahan yakni nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara kartografis RTRW tingkat Nasional dengan skala minimal 1: 1.000.000, pada tingkat provinsi berskala minimal 1 : 250.000, pada tingkat provinsi berskala minimal 1 : 50.000, dan rencana detail tata ruang skala peta minimal 1 : 5.000 (PP No.15 Tahun 2010). Pemanfaatan sumberdaya alam diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Demikian juga sumberdaya hutan yang merupakan modal pembangunan nasional bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, pengelolaaanya diselenggarakan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan (Undang Undang No. 41 Tahun 1999, pasal 2). Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan, termasuk plasma nuftah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Bertumpu pada prinsip tersebut maka pasal 3 UU No 41 tahun 1999 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). Peningkatan daya dukung DAS tidak berarti bahwa hutan hanya bermanfaat bagi wilayah kawasan hutan saja tetapi juga di luar kawasan hutan karena air hujan yang jatuh pada kawasan hutan akan ditampung, disimpan dan dialirkan ke sungai yang akhirnya sampai ke laut. Seperti disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 2004 pasal 1 bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang

Page 59: Workshop Litbang DAS 2012

31

berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Air di bumi selalu bergerak dalam berbagai bentuk dan letak dengan mengikuti kaidah siklus/daur air (water/hydrological cycle). Daur air inilah yang membentuk hubungan wilayah hulu dan hilir dimana setiap intervensi manusia terhadap sumberdaya alam dalam DAS, terutama aktivitas penggunaan lahan, berdampak pada proses hidrologis (Dixon dan Easter, 1986). Melalui daur air dalam unit DAS, hutan secara umum dipandang memiliki peran penting sebagai pelindung efektif sumberdaya tanah serta regulator tata air, baik jumlah, mutu maupun distribusinya. Oleh karena itu, pengelolaan hutan yang bisa meningkatkan daya dukung DAS diindikasikan oleh lestarinya sumberdaya lahan dan sumberdaya air. Kelestarian hutan terhadap peningkatan daya dukung DAS tidak hanya bermanfaat bagi kawasan hutannya sendiri tetapi juga bagi wilayah di luar kawasan hutan bagian hilir (off site) antara lain: (1) sebagai pemasok air untuk kehidupan, seperti untuk irigasi pertanian, industri, rumah tangga, (2) sebagai pengendali banjir, (3) sebagai pengendali erosi tanah dan (4) pengurangan sedimentasi waduk, sungai, saluran air, dan bangunan air vital lainnya. Dari aspek jasa, aliran air yang jernih dan mengalir sepanjang tahun dalam lingkungan alam yang indah bisa menjadi tempat wisata yang bisa memberikan keuntungan ekonomi, termasuk bagi masyarakat sekitarnya. Guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau minimal 30% dengan sebaran proporsional (pasal 18 UU No 41 Tahun 1999). Pengertian ini tidak hanya pada hutan lindung tapi seluruh bentuk penggunaan lahan hutan baik hutan produksi maupun hutan konservasi. Angka 30% ini sering disalah artikan bahwa kebutuhan luas hutan hanya 30% sehingga kelebihan luas bisa dikonversi untuk penggunaan lain tanpa mempertimbangkan kondisi DAS, karakteristik lahan, tipe sungai, fungsi hutan, sosial budaya, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat seperti diamanatkan dalam pasal 17 UU No 41 tahun 1999. Persentase luas hutan dalam DAS menjadi beragam tergantung dari kondisi

Page 60: Workshop Litbang DAS 2012

32

iklim (hujan), geologi, bentuk lahan, topografi, tanah dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Sebagai dasar pengambilan keputusan penetapan luas hutan optimal pada berbagai kondisi alam dalam suatu DAS diperlukan penelitian intensif. Dalam PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, pasal 3 menyebutkan bahwa inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan dalam perencanaan kehutanan. Inventarisasi hutan terdiri dari : (a) tingkat nasional, (b) tingkat wilayah, (c) tingkat DAS, dan (d) tingkat unit pengelolaan. Inventarisasi hutan tingkat DAS dimaksudkan sebagai bahan penyusunan rencana pengelolaan DAS yang bersangkutan yang dilakukan paling sedikit satu kali dalam lima tahun. Pengelolaan pasokan air juga dimandatkan melalui UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Untuk memperoleh pasokan air secara lestari (berkelanjutan) diperlukan konservasi sumber daya air seperti diamanatkan dalam UU No. 7 Tahun 2004 pasal 20, 21, dan 22. Pada pasal 21 ayat (2) disebutkan bahwa perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan melalui: (a) pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air, (b) pengendalian pemanfaatan sumber air, (c) pengisian air pada sumber air, (d) pengaturan sarana dan prasarana sanitasi, (e) perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air, (g) pengaturan sempadan sumber air, (h) rehabilitasi hutan dan lahan, dan (i) pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam. Mandat ini selaras dengan mandat yang dituangkan dalam UU No 41 tahun 1999. UU No 41 tahun 1999 pasal 46 menyebutkan penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, secara optimal dan lestari. Pasal 47 menerangkan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: (a) mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit, dan (b) mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan,

Page 61: Workshop Litbang DAS 2012

33

kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pasal-pasal ini merupakan dasar tumpuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pada pasal 5 menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Lebih lanjut dalam pasal 16 menyebutkan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh daya-daya alam meliputi letusan gunung, tanah longsor, banjir, kekeringan, badai, dan gempa. Kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008 Tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Unit pengelolaan yang digunakan dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah satuan DAS (pasal 9 ayat 2). Dalam Tabel 1 disebutkan bahwa kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) termasuk hutan mangrove karena wilayah mangrove merupakan bagian ekosistem DAS, seperti pengertian DAS yang disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 2004. III. HASIL PENELITIAN YANG TELAH DICAPAI Penelitian pada bidang perencanaan pengelolaan DAS yang telah diselenggarakan oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS (sebelumnya bernama Balai Penelitian Kehutanan Solo) dalam kurun waktu tahun 2003 – 2009 meliputi penelitian:

1. Kajian sistem karakterisasi DAS zona ekologi Jawa dan Sumatra

2. Kajian aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk karakterisasi DAS

3. Kajian optimalisasi luas penutupan lahan terhadap tata air 4. Pemodelan hidrologi DAS 5. Pengelolaan lahan terhadap hidrologi 6. Analisa tipologi sosial dan pengaruhnya terhadap kinerja DAS 7. Pengembangan sistem karakterisasi DAS, tata ruang dan

kelembagaan untuk perencanaan pengelolaan Sub DAS

Page 62: Workshop Litbang DAS 2012

34

Penelitian dilakukan dalam satuan daerah tangkapan air, baik satuan DAS, Sub DAS maupun Sub-sub DAS, yang secara administratif berada dalam satu kabupaten, lintas kabupaten maupun lintas provinsi. Hasil penelitian dimanfaatkan sebagai pendukung sistem karakterisasi DAS, baik tingkat daerah tangkapan air dalam kabupaten dominan maupun lintas kabupaten. Hasil penelitian sistem karakterisasi Sub DAS telah dimanfaatkan sebagai dasar penyusunan buku:

a. Sidik Cepat Degradasi Sub DAS (oleh Paimin, Sukresno dan Ir. Purwanto, terbit tahun 2006, direvisi tahun 2010)

b. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor (oleh Paimin, Sukresno, Irfan Budi Pramono, terbit tahun 2009).

Disamping itu juga telah dibangun formula sistem karakterisasi tingkat DAS (lintas kabupaten) yang disebut dengan ”Tipologi DAS”. Hasil penelitian sistem karakterisasi DAS/Sub DAS yang diperoleh digunakan sebagai acuan dasar penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS pada program kerja selanjutnya. IV. RENCANA PENELITIAN SISTEM PERENCANAAN

PENGELOLAAN DAS

Kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk perencanaan pengelolaan DAS dapat didekati dari peraturan perundangan sebagai mandat yang harus dijabarkan dan dilaksanakan oleh pelaku atau pengelola DAS. Prakiraan dan asumsi kebutuhan iptek melalui penafsiran peraturan perundangan terkait dapat dijadikan dasar bentuk luaran (outputs) dari penyelenggaraan penelitian. Disamping itu penyusunan rencana penelitian perencanaan pengelolaan DAS juga didasarkan pada hasil penelitian yang telah dicapai dan sedang berjalan, program penelitian Badan Litbang Kehutanan dan kapasitas Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS (BPTKPDAS), terutama sumberdaya manusia dan biaya, dengan rambu peraturan perundangan. Salah satu acuan dalam menyusun program penelitian dan pengembangan Badan Litbang Kehutanan menggunakan acuan dasar Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010 – 2025 (Keputusan Menteri Kehutanan No.:

Page 63: Workshop Litbang DAS 2012

35

SK.163/MENHUT-II/2009). Dalam Roadmap tersebut pengelolaan DAS merupakan salah satu sub-tema penelitian dan pengembangan kehutanan, yang kemudian oleh Badan Litbang dijadikan salah satu dari sembilan Program Rencana Strategis tahun 2010 – 2014. Program penelitian dan pengembangan Pengelolaan DAS dipilah menjadi dua Rencana Penelitian Integratif (RPI), dimana penelitian Perencanaan Pengelolaan DAS menginduk pada RPI Sistem Pengelolaan DAS. Memperhatikan proses penyusunan perencanaan penelitian dan pengembangan pada Badan Litbang Kehutanan, maka dalam menjabarkan kerangka dasar litbang sistem perencanaan pengelolaan DAS, BPTKPDAS perlu menginduk dan mengacu Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010 – 2025 sebagai penuntun penyusunan kerangka dasar penelitian sampai dengan tahun 2021. Sebagai tambahan, prakiraan litbang sistem perencanaan pengelolaan DAS dapat menggunakan acuan PP No. 38 Tahun 2007 dan PerMenKehut No.: P.42/Menhut-II/2009, dan usulan penelitian hasil workshop ”Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS” pada November 2007. Tumpuan dasar penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS adalah hasil formulasi sistem karakterisasi DAS yang telah dicapai pada periode tahun 2003 - 2009. Hasil yang harus dicapai dalam penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS tahun 2012 – 2021 adalah: (1) sistem pengelolaan DAS Hulu (daerah tangkapan air dalam kabupaten dominan), lintas kabupaten, lintas provinsi, dan pulau-pulau kecil, serta (2) kajian ulang formula sistem karakterisasi DAS dan mekanisme sistem perencanaan pengelolaan DAS sebagai respon dinamika, alam, politik dan sosial ekonomi. Salah satu sasaran hasil penelitian yang diharapkan oleh pengguna adalah seperti yang diuraikan pada Tabel 3. Untuk memperoleh himpunan data lapangan yang valid/sahih secara lebih cepat dan akurat perlu dukungan penelitian pemanfaatan teknologi penginderaan jauh; dan untuk membantu analisis data yang lebih cepat dan akurat serta penampilan data dan informasi diperlukan kajian aplikasi perkembangan teknologi sistem informasi geografis untuk kemudian dijadikan dasar dalam penyusunan sistem informasi manajemen DAS. Berkaitan dengan kelestarian tata air yang diharapkan, maka penelitian optimalisasi luas hutan pada berbagai

Page 64: Workshop Litbang DAS 2012

36

kondisi alami sangat diperlukan sebagai basis perencanaan, disamping itu diperlukan juga penelitian tentang modeling. Usulan penelitian perencanaan pengelolaan DAS untuk BPTKPDAS tahun 2012 – 2021 secara ringkas dapat dibagi dalam tiga tahapan seperti Tabel 4. Tabel 4. Usulan Rencana Penelitian Perencanaan Pengelolaan

DAS Pada BPTKPDAS Tahun 2012 – 2021. No Periode Usulan Rencana Penelitian

I 2012 - 2014 1 Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Lintas Provinsi 2 Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Pulau Kecil 3 Optimalisasi Luas Hutan pada Berbagai Kondisi Alami

Terhadap Tata Air DAS 4 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem

Informasi Geografis II 2015 - 2019 1 Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Pulau Kecil 2 Optimalisasi Luas Hutan pada Berbagai Kondisi Alami

Terhadap Tata Air DAS, Sosial Ekonomi dan Politik 3 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh, Sistem

Informasi Geografis, dan Sistem Informasi Manajemen DAS

4 Kaji Ulang Formula Sistem Karakterisasi DAS Selaras Dengan Dinamika Alam, Politik, dan Sosial Ekonomi

5 Kajian Ulang Mekanisme Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Selaras Dengan Dinamika Politik

6 Modeling Perencanaan Pengelolaan DAS III 2020 - 2021 (lanjutan tahun 2015 – 2019) 1 Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Pulau Kecil 2 Optimalisasi Luas Hutan pada Berbagai Kondisi Alami

Terhadap Tata Air DAS, Sosial Ekonomi dan Politik 3 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh, Sistem

Informasi Geografis, dan Sistem Informasi Manajemen DAS

4 Kajian Ulang Formula Sistem Karakterisasi DAS Selaras Dengan Dinamika Alam, Politik, dan Sosial Ekonomi

5 Kajian Ulang Mekanisme Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Selaras Dengan Dinamika Politik

6 Modeling Perencanaan Pengelolaan DAS

Page 65: Workshop Litbang DAS 2012

37

Adanya perubahan sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan proses alam maka hasil capaian hasil penelitian kemungkinan berubah yang akhirnya menjadikan penelitian juga berubah. Perubahan yang terjadi diharapkan tidak banyak merubah kerangka dasar yang telah tersusun. Demikian juga dengan adanya proses dinamika politik, sosial ekonomi dan teknologi perlu adanya kaji ulang formula sistem perencanaan pengelolaan DAS yang sebelumnya telah terbangun. Fase tahun 2012 – 2014 merupakan masa transisi dari program kerja institusi lama dengan tugas pokok dan fungsi organisasi baru. Pada hakekatnya perubahan yang terjadi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam aspek kegiatan penelitian dan pengembangan. Yang memerlukan perhatian adalah adanya perubahan wilayah kerja dari wilayah Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur menjadi wilayah nasional. Dengan demikian pemilihan lokasi penelitian harus mencerminkan representasi wilayah secara nasional. Rencana kerja sampai dengan tahun 2014 perlu diteruskan tetapi perlu tambahan kegiatan atau tambahan lokasi secara nasional sehingga mulai tahun 2015 orientasi kegiatan penelitian sudah menunjukkan sifat nasionalnya.

V. PENUTUP Rencana penelitian Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS secara teknis bertumpu pada Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Rencana Strategis Badan Litbang Kehutanan. Namun dalam penyusunan perencanaan penelitian ke depan perlu mempertimbangkan dinamika perubahan alam, politik, sosiaekonomi dan teknologi. Proses alam terus mengalami perubahan, seperti gempa dan perubahan iklim, sehingga perlu diantisipasi dan perlu penyiapan iptek dalam melakukan adaptasi dan mitigasi. Demikian juga dinamika sosial ekonomi, baik yang bersifat lokal maupun global, perlu dipertimbangkan karena kemungkinan bisa merupakan kekuatan pendorong atau merupakan ancaman terhadap degradasi. Dinamika politik yang dicerminkan oleh adanya dinamika peraturan perundangan akan mempengaruhi formulasi perencanaan pengelolaan DAS yang harus dibangun.

Page 66: Workshop Litbang DAS 2012

38

Walaupun kegiatan utama sampai dengan tahun 2014 tidak banyak mengalami perubahan tetapi kegiatan perlu dilengkapi dan dipersiapkan dengan basis wilayah nasional. Diharapkan kerangka dasar penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS yang tersusun dalam tulisan ini dapat digunakan sebagai penuntun dalam penyusunan program kerja Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS pada fase 10 tahun ke depan dengan orientasi wilayah nasional.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan. 2001. Eksekutif. Data Strategis

Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2007. Lahan Kritis Per BPDAS Tahun

2007. Situs Resmi Departemen Kehutanan. http://www.dephut.go.id.

Dixon, J.A., and K.W. Easter. 1986. Integrated Watershed Management : An Approach to Resource Management. In. K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. Westview Press and London. Honolulu.

Keputusan Menteri Kehutanan No.: SK.163/MENHUT-II/2009 tentang Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010 – 2025. Badan Litbang Kehutanan.

Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) N0. SK. 163/MENHUT-II/2009 tentang Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Pencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014.

Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Paimin, Sukresno, dan I.B. Pramono. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Puslit Sosek Kebijakan. Bogor.

Page 67: Workshop Litbang DAS 2012

39

Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Peraturan Pemerintah (PP) N0. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota.

Peraturan Pemerintah (PP) No 76 Tahun 2008 Tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.

Peraturan Pemerintah (PP) N0. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

Peraturan Pemerintah (PP) N0. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Permenhut (Peraturan Menteri Kehutanan) N0. P.42 /Menhut-V/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.

Terry, G.R. 1986. Principles of Management. 8th. Alih Bahasa. Winardi. Asas-Asas Menejemen. Cetakan IV. Alumni. Bandung.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3888.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No 4377. Fokus media. Bandung.

Undang-Undang No.. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4421.

Undang Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004. No. 125.

Undang Undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 68. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4725.

Page 68: Workshop Litbang DAS 2012

40

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012 - 20211

Oleh :

Irfan B. Pramono2 dan Paimin3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: 2 [email protected] & 3 [email protected]

ABSTRAK

Keberhasilan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dilihat dari hasil monitoring dan evaluasi kinerja DAS. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan kerangka dasar arah penelitian monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS untuk jangka waktu 10 tahun ke depan (2012 – 2021). Metode yang digunakan adalah mencermati kondisi monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS saat ini, permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi. Setelah itu dirumuskan strategi dan arah riset monitoring dan evaluasi ke depan. Hasilnya menunjukkan bahwa saat ini monev pengelolaan DAS belum banyak dilakukan, yang sudah banyak dilakukan adalah monev kinerja DAS. Namun demikian, dalam melakukan monev kinerja DAS masih banyak parameter-parameter yang belum bisa diperoleh atau diukur. Untuk itu perlu sinergi dengan semua stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Selain itu, penyederhanaan kriteria dan indikator perlu dilakukan sehingga mudah dilakukan oleh stakeholder. Berdasarkan roadmap litbang kehutanan maka penelitian monev pengelolaan DAS dibagi menjadi monev pengelolaan DAS hulu, lintas kabupaten, lintas propinsi dan pulau- pulau kecil, masing-masing dibagi dalam program lima tahunan. Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan maka perlu dikembangkan Sistem Informasi Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Dengan adanya sistem ini maka semua informasi yang menyangkut monev pengelolaan DAS dapat diakses oleh semua pihak.

Kata kunci: riset, monitoring, evaluasi, pengelolaan DAS

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 69: Workshop Litbang DAS 2012

41

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masalah banjir, sedimentasi dan kekeringan silih berganti terjadi di beberapa tempat. Masalah tersebut tidak dapat diatasi selain dengan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) karena masalah banjir, sedimentasi dan kekeringan tidak berdiri sendiri di suatu wilayah namun berkaitan erat dengan wilayah-wilayah yang mempengaruhinya.

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Peraturan Menteri Kehutanan No. 39, 2009). Sistem di dalam DAS terdiri dari input alamiah seperti sumber daya lahan, air, iklim, dan input manajemen seperti keahlian, bahan, peralatan, dan tenaga. Input ini akan diolah atau dikelola di dalam DAS yang berupa pemanfaatan sumber daya alam dan pengaturan organisasi. Hasilnya berupa output seperti hasil air, pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan jasa lingkungan. Selain menghasilkan output tersebut, pengelolaan DAS juga mempunyai dampak on site yang berupa longsor, erosi dan kehilangan hara serta dampak off site berupa perubahan kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran.

Kegiatan pengelolaan DAS di Indonesia sudah sejak lama dilakukan, namun kondisi DAS kritis di Indonesia makin meningkat. Penanganan DAS kritis banyak dilakukan dengan merehabilitasi lahan-lahan kritis. Tolok ukur keberhasilan penanganan lahan kritis secara vegetatif adalah persen tumbuh. Kadang-kadang kurang ada korelasi antara keberhasilan merehabilitasi lahan kritis dengan masalah banjir, sedimentasi dan kekeringan.

Dengan demikian maka untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan DAS maka aspek banjir, sedimentasi, dan kekeringan juga harus dipantau sejak sebelum dilakukan kegiatan pengelolaan DAS sampai beberapa tahun setelah selesainya kegiatan pengelolaan DAS.

Page 70: Workshop Litbang DAS 2012

42

Kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS ini dapat diumpamakan sebagai “general check up” kesehatan suatu DAS. Hasil monev ini dapat mengetahui tingkat keparahan suatu DAS dan sumber penyakit yang menyebabkan DAS tersebut sakit parah. Dengan demikian hasil monev ini wajib dijadikan dasar dalam perbaikan perencanaan berikutnya untuk penyembuhan kekritisan DAS.

Metode evaluasi pengelolaan DAS ada dua macam yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sebaiknya evaluasi pengelolaan DAS menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif (Kerr and Chung, 2001).

Hasil monev pengelolaan DAS harus dimanfaatkan secara maksimal oleh semua pihak. Untuk dapat dimanfaatkan oleh semua pihak maka hasil monev ini harus disajikan secara online. Untuk itu perlu lembaga khusus atau salah satu stake holder yang telah ada untuk menangani penyajian hasil monev pengelolaan DAS.

B. Kondisi Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Saat Ini

Monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan DAS dibagi dua yaitu monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS (Gambar 1) dan monitoring dan evaluasi kinerja DAS (Gambar 2).

Gambar 1. Proses monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS

Identifikasi Masalah

Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS

Perencanaan Pengelolaan DAS

Pelaksanaan Pengelolaan DAS

Page 71: Workshop Litbang DAS 2012

43

Gambar 2. Proses monitoring dan evaluasi kinerja DAS (Kerrand Chung, 2001 dengan penyesuaian)

Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS bertujuan untuk mengetahui antara rencana pengelolaan DAS dan hasil dari pelaksanaannya. Apabila belum sesuai maka hasil monev ini akan dijadikan dasar untuk perbaikan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan DAS yang akan datang. Sedangkan monitoring dan evaluasi kinerja DAS bertujuan untuk mengetahui kondisi DAS, apakah DAS tersebut kondisinya sakit sehingga perlu dipulihkan daya dukungnya atau apakah kondisi DAS tersebut sehat sehingga hanya perlu dipertahankan daya dukungnya.

Input

Input Alam: Lahan, air, iklim

Input Managemen: Tenaga, bahan, peralatan,

Proses Pengelolaan

DAS

Output

Output alami:

Onsite: erosi, longsor

Offsite: banjir, sedimentasi

Output ekonomi:

Produktivitas lahan, pendapatan masyarakat, jasa lingkungan

Output sosial:

Partisipasi, tekanan penduduk, kelembagaan, kepedulian

Monitoring dan evaluasi kinerja DAS

Page 72: Workshop Litbang DAS 2012

44

Monev kinerja DAS yang dilakukan saat ini menggunakan 3 kriteria yaitu lahan, tata air, dan sosial ekonomi dan kelembagaan. Kriteria lahan mempunyai empat indikator yaitu a) Penutupan oleh vegetasi, b) Kesesuaian penggunaan lahan, c) Indeks erosi dan atau pengelolaan lahan, d) Kerawanan tanah longsor. Kriteria tata air mempunyai empat indikator yaitu a) Debit sungai, b) Laju sedimentasi, c) Kandungan pencemar, d) Koefisien limpasan. Kriteria soseklem (sosial, ekonomi kelembagaan) mempunyai 11 indikator yaitu a) Kepedulian penduduk, b) Partisipasi masyarakat, c) Tekanan penduduk terhadap lahan, d) Ketergantungan terhadap lahan, e) Tingkat pendapatan, f) Produktivitas lahan, g) Jasa lingkungan, h) Pemberdayaan lembaga lokal/adat, i) Ketergantungan masyarakat kepada pemerintah, j) Koordinasi Integrasi Sinergi Sinkronisasi (KISS) , k) Kegiatan Usaha Bersama.

Saat ini yang sudah banyak dilakukan adalah monitoring dan evaluasi kinerja DAS. Walaupun sudah banyak dilaksanakan namun masih banyak kendala yang dihadapi khususnya dalam pengumpulan data baik aspek biofisik maupun sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Sebagian besar DAS belum ada pencatatan data hidrologi yang kontinyu sehingga untuk mengevaluasi kinerja DAS dari aspek tata air belum dapat dilakukan, padahal aspek tata air ini berkontribusi cukup besar.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan kerangka dasar arah penelitian “Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS dan Kinerja DAS” 10 tahun ke depan, yaitu tahun 2012 – 2022.

II. PERMASALAHAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAN KINERJA DAS

A. Masalah substansi monev

Ada beberapa masalah substansi dalam monitoring dan evaluasi kinerja DAS yaitu 1) Kriteria, indikator, dan parameter monev belum disepakati antar stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS, 2) Hasil monev belum dijadikan indikator kinerja institusi yang terkait dengan pengelolaan DAS, 3) Parameter penyusun monev kinerja DAS perlu disederhanakan namun dapat mewakili semua aspek kinerja DAS.

Page 73: Workshop Litbang DAS 2012

45

B. Masalah koordinasi monev

Masalah dalam koordinasi monev antara lain: 1) Monev pengelolaan DAS selama ini masih dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing instansi, belum ada koordinasi, belum ada sharing data dan informasi hasil monev, 2) Kegiatan monev pengelolaan DAS belum banyak melibatkan masyarakat. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas maka kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan dan kinerja DAS sebaiknya direncanakan sejak awal dan melibatkan semua pihak yang terkait dan ada salah satu lembaga yang dapat dijadikan “clearing house” yang berfungsi mengumpulkan data hasil monitoring pengelolaan dan kinerja DAS.

III. DASAR HUKUM

Ada beberapa produk hukum yang berkaitan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS antara lain:

a. Peraturan Pemerintah nomor 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan memerlukan pengendalian yang terdiri dari monitoring, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut.

b. Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.163/MENHUT-II/2009 Tentang Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Dalam tema Pengelolaan Hutan dengan sub tema Pengelolaan DAS diarahkan untuk menghasilkan 2 produk iptek yaitu: 1) Sistem pengelolaan DAS (Sistem Perencanaan, Kelembagaan, serta Monitoring dan Evaluasi DAS), 2) Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Alam pada kawasan DAS. Produk yang dihasilkan pada tahun 2010 – 2014 adalah Sistem pengelolaan DAS hulu, lintas kabupaten dan lintas provinsi. Tahun 2015 – 2019 produk yang dihasilkan adalah Sistem pengelolaan DAS lintas provinsi dan pulau-pulau kecil, sedangkan tahun 2020 – 2024 produk yang dihasilkan adalah Sistem Pengelolaan DAS pulau-pulau kecil. Untuk mendapatkan produk-produk tersebut maka dilakukan

Page 74: Workshop Litbang DAS 2012

46

penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan monitoring dan evaluasi yaitu tahun 2010 -2014 melakukan riset monev DAS hulu wilayah kabupaten, lintas kabupaten, dan lintas provinsi, sedangkan tahun 2015 – 2019 melakukan riset monev pengelolaan DAS lintas provinsi dan pulau-pulau kecil, dan tahun 2020 -2024 melakukan riset monev pengelolaan DAS pulau-pulau kecil.

c. Peraturan Menteri Kehutanan No.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, disebutkan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemantauan dan evaluasi antara lain: a) sistem asupan, proses, luaran, dan hasil, b) indikator kinerja yang perlu dimonitor adalah evaluasi kinerja kegiatan dan program. c) instrumen monev mencakup metode monitoring (alat, cara, lokasi, dan waktu) serta metode evaluasi. d) Agen/aktor yang bertanggung jawab terhadap monitoring suatu indikator, dan evaluasi. e) Capaian indikator kinerja, dan mekanisme umpan balik bagi perbaikan kinerja. f) Rencana jumlah anggaran dan sumber anggaran, dan mekanisme penganggaran.

d. Peraturan Menteri Kehutanan No. 42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu, disebutkan bahwa ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaan monev pengelolaan DAS selama ini, antara lain: a) monev terbatas oleh institusi tertentu, belum ada koordinasi dan sharing informasi, b) Kondisi DAS tidak menjadi indikator kinerja institusi yang terkait dengan pengelolaan DAS.

e. Peraturan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.04/V-DAS/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai, disebutkan kriteria monev kinerja DAS terdiri dari penggunaan lahan, tata air, dan sosial, ekonomi dan kelembagaan.

Page 75: Workshop Litbang DAS 2012

47

IV. STRATEGI DAN ARAH RISET MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAS

A. Strategi Riset Monev Pengelolaan DAS

Strategi riset monev pengelolaan DAS dilakukan melalui kerjasama dengan instansi yang sudah melakukan monitoring kinerja DAS. Instansi tersebut dapat Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) di bawah Kementerian Kehutanan dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) dibawah Pemerintah Provinsi maupun Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) di bawah Kementerian Pekerjaan Umum.

Instansi-instansi tersebut sudah memonitor aspek utamanya yaitu tata air, namun sebagian juga mempunyai data lahan dan sosek. Luas DAS yang dimonitor juga bervariasi, untuk BP DAS biasanya memonitor DAS dengan luasan yang relatif kecil, sedangkan BPSDA memonitor DAS dengan luasan sedang, dan BBWS memonitor DAS dengan luasan yang cukup besar.

Untuk data hujan sebaiknya memanfaatkan data yang sudah dikumpulkan oleh BMKG dan Dinas Pertanian maupun Dinas Pengairan kabupaten. Kementerian Lingkungan Hidup beserta jajarannya di daerah melakukan analisis kualitas air dalam rangka “Prokasih” sehingga kita dapat memperoleh data tersebut untuk melengkapi monev pengelolaan DAS.

Dinas-dinas maupun instantsi yang disebutkan di atas termasuk stakeholder yang utama dalam pengelolaan DAS sehingga diharapkan akan mudah bila diajak kerjasama dalam melakukan monev pengelolaan DAS.

B. Arah riset monev pengelolaan DAS

Berdasarkan strategi riset monev pengelolaan DAS tersebut, maka arah riset monev pengelolaan DAS adalah :

a. Riset dilakukan pada berbagai skala wilayah pengelolaan: Untuk DAS hulu, lintas kabupaten, dan lintas provinsi dilakukan pada tahun 2010 – 2014. Untuk tahun 2015 – 2019 masih melakukan penelitian pada lintas provinsi dan mulai pada DAS di pulau-pulau kecil, sedangkan tahun

Page 76: Workshop Litbang DAS 2012

48

2020- 2024 masih menyelesaikan monev pengelolaan DAS di pulau-pulau kecil.

b. Riset untuk pengembangan kriteria dan indikator pada setiap skala wilayah pengelolaan yang dapat disepakati oleh semua stakeholder. Kriteria dan indikator yang dikembangkan paling tidak harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1) harus jelas, dapat dipahami oleh semua pihak, 2) sederhana, mudah dikumpulkan datanya, 3) mewakili seluruh komponen yang berpengaruh dalam pengelolaan DAS.

c. Riset untuk pengembangan sistem informasi monev pengelolaan DAS. Pengembangan sistem informasi monev pengelolaan DAS ini bertujuan untuk mengefektifkan lembaga-lembaga yang sudah ada, dan mensinergikan hasil-hasil monev yang sudah dilakukan oleh beberapa instansi yang selama ini masih terpisah – pisah namun terjadi pengulangan parameter monev yang diukur.

V. PENUTUP

Monitoring dan evaluasi merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan DAS. Hanya sampai saat ini monitoring dan evaluasi belum sepenuhnya dilakukan. Selain itu, hasil monev ini juga masih belum banyak dimanfaatkan.

Diharapkan, ke depan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rencana dan pelaksanaan pengelolaan DAS.

Dengan tersusunnya tulisan “ Arah Penelitian Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS” ini maka diharapkan dapat dijadikan bahan untuk menyusun “Road Map” Penelitian Pengelolaan DAS ke depan sehingga penelitian-penelitian ke depan sudah mempunyai arah dan tujuan yang jelas.

Page 77: Workshop Litbang DAS 2012

49

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Kehutanan. 2009. SK.163/Menhut-II/2009 tentang Roadmap penelitian dan pengembangan kehutanan 2010 -2025.

Kerr, J and K.Chung. 2001. Evaluating watershed management

projects. International food policy reseach institute. CAPRi working paper No. 17. Washington

Peraturan Pemerintah No 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan

reklamasi hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No.39 tahun 2009 tentang

Pedoman penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu. Peraturan Menteri Kehutanan No. 42 tahun 2009 tentang Pola

umum, kriteria dan standar pengelolaan DAS terpadu. Peraturan Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan

Sosial, Departemen Kehutanan, No. P.04. tentang Pedoman monitoring dan evaluasi Daerah Aliran Sungai.

Page 78: Workshop Litbang DAS 2012

50

KAJIAN YANG DIPERLUKAN PADA PENGELOLAAN MODEL DAS MIKRO1

Oleh:

Purwanto2

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

Email: 2 [email protected]

ABSTRAK

DAS Mikro merupakan unit terkecil dalam pengelolaan DAS namun sampai saat ini contoh pengelolaan DAS mikro yang baik belum ada. Beberapa permasalahan dalam pengelolaan DAS antara lain: 1). Dari aspek perundangan, sebelum keluar PP. No. 37 tahun 2012 kewenangan perencanaan pengelolaan DAS berada di pemerintah pusat sedangkan implementator pengelolaan DAS adalah masyarakat pemilik lahan dan pemerintah daerah, namun setelah keluar PP. 37 tahun 2012 kewenangan perencanaan pengelolaan DAS sesuai dengan hirarkhi DAS dan merupakan bagian dari pembangunan daerah, 2). Lemahnya lembaga pengelola DAS mikro, dan 3). Penerapan teknik konservasi tanah dan air tidak sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu ke depan diperlukan kajian: kebijakan pemerintah daerah dalam perencanaan pengelolaan DAS sesuai dengan PP. 37 tahun 2012, kajian kelembagaan pengelolaan DAS mikro, teknik konservasi tanah yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial, dan ekonomi masyarakat, dan adopsi teknologi konservasi tanah dan air.

Kata kunci: DAS mikro, kajian DAS mikro.

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 79: Workshop Litbang DAS 2012

51

I. PENDAHULUAN

Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebagai wilayah daratan dengan topografi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang mana air hujan yang jatuh kedalamnya akan dialirkan melalui anak-anak sungai kemudian terkumpul pada sungai utama dan akhirnya akan dilepaskan sampai akhirnya ke laut. DAS merupakan cadangan dan pemasok air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga. DAS juga merupakan pengendali banjir, kekeringan, dan sedimentasi hasil erosi tanah serta pengendali ekosistem yang dibingkai oleh aliran air secara alami dari dulu sampai hilir.

Kondisi DAS di Indonesia terus mengalami degradasi atau kemunduran fungsi seperti ditunjukkan semakin besarnya jumlah DAS yang memerlukan prioritas penanganan yakni 22 DAS pada tahun 1984, menjadi berturut-turut sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun 1992 dan 1998, dan pada saat sekarang diperkirakan sekitar 282 DAS dalam kondisi kritis (Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005). Kondisi DAS demikian tercermin dari luasnya lahan kritis di dalam DAS di Indonesia yang diperkirakan meliputi luas 23.242.881 ha yang tersebar di dalam kawasan hutan 8.136.646 ha (35%) dan di luar kawasan 15.106.234 ha (65%) (Departemen Kehutanan, 2001).

Penurunan fungsi DAS terjadi sebagai akibat pengelolaan sumberdaya alam di dalam DAS cenderung semakin agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga melampaui daya dukung dan kemampuannya. Kondisi ini dikarenakan pemahaman tentang pengelolaan DAS masih lemah, khususnya tentang sifat rentan dan kapasitas yang dapat ditenggang dari DAS terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada serta intervensi manusia dalam menerapkan suatu sistem pengelolaan.

Akibat permasalahan tersebut menyebabkan menurunnya produktivitas lahan, meningkatnya bencana tanah longsor dan banjir, percepatan sedimentasi waduk, bendungan, dan danau, serta polusi badan air. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka pengelolaan DAS perlu dilakukan. Untuk mempermudah perencanaan, implementasi pengelolaan, montoring dan evaluasi pengelolaan maka DAS dibagi berdasarkan hirarkhinya yakni pada

Page 80: Workshop Litbang DAS 2012

52

tingkat DAS, Sub DAS, dan Sub-sub DAS. Disamping itu, DAS juga diklasifikasi berdasarkan perwilayahan yaitu: DAS lokal, regional, nasional, dan internasional (Departemen Kehutanan, 2001). Dengan diberlakukannya otonomi daerah, kewenangan pengelolaan DAS pada setiap jenjang hirarki perlu diselaraskan dengan kewenangan pemerintahan otonomi. Sejalan dengan tingkat hirarki DAS dan pemerintahan yang memiliki wewenang dalam perencanaan pengelolaannya, maka DAS mikro merupakan unit terkecil pengelolaan DAS baik dalam hal sistem perencanaan, sistem monitoring dan evaluasi (monev), maupun sistem pengembangan kelembagaannya.

Permasalahan utama dalam pengelolaan DAS mikro yakni belum diimplementasikan secara baik pengelolaan DAS mikro di Indonesia yang dapat digunakan sebagai contoh pengelolaan DAS yang baik. Hal ini karena: 1). Analisis masalah belum dilakukan secara komprehensif antara lain kerawanan tanah longsor, pasokan air banjir, daerah rawan kebanjiran, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, sedangkan kekritisan lahan sudah dilakukan dengan baik, 2). Implementasi pengelolaan DAS mikro belum dilakukan secara menyeluruh dalam rentang waktu perencanaan sehingga menyebabkan permasalahan ke 3. Monitoring dan evaluasi tidak dapat dilakukan secara komprehensif.

II. DASAR HUKUM PENGELOLAAN DAS MIKRO

Perencanaan pengelolaan DAS merupakan salah satu bentuk perencanaan pembangunan sumberdaya alam (vegetasi, tanah, dan air) dengan menggunakan satuan atau unit pengelolaan daerah tangkapan air (catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) dengan bagian-bagian wilayahnya. Salah satu acuan utama peraturan perundangan yang mendasari penyusunan perencanaan pembangunan di Indonesia adalah Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Oleh karena itu sistem perencanaan pengelolaan DAS yang dibangun harus kompatibel dengan sistem perencanaan nasional.

Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 pasal 3, 4, 5, dan 7, hierarki perencanaan pembangunan nasional dapat diringkas seperti pada Tabel 1.

Page 81: Workshop Litbang DAS 2012

53

Tabel 1. Hierarki Perencanaan Pembangunan Nasional

Jenjang Pemerintahan Jangka Waktu Pembangunan

Panjang Menengah Tahunan

Nasional RPJP Nasional

RPJM Nasional

RKP

Kementerian/Lembaga - Renstra-KL Renja-KL

Provinsi RPJP Daerah

RPJM Daerah

RKPD

SKPD - Renstra-SKPD

Renja-SKPD

Kabupaten/Kota RPJP Daerah

RPJM Daerah

RKPD

SKPD - Renstra-SKPD

Renja-SKPD

Sumber: UU No. 25 Tahun 2004 (Diolah)

Perencanaan Pembangunan Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota terdiri dari: (a) rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), (b) rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan (c) rencana pembangunan tahunan atau rencana kerja pemerintah/daerah (RKP/D). Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) Kementerian/Lembaga, yang kemudian disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), merupakan dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode lima tahun yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang kemudian disebut Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan

Page 82: Workshop Litbang DAS 2012

54

Kementerian/Lembaga untuk periode satu tahun yang disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif, serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masayrakat. Demikian juga untuk Daerah, RPJM Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), selanjutnya disebut Renstra-SKPD, merupakan dokumen perencanaan SKPD untuk periode lima tahun yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD yang disusun berdasarkan RPJM Daerah dan bersifat indikatif. Rencana Pembangunan Tahunan SKPD, yang kemudian disebut Renja-SKPD, adalah dokomen perencanaan SKPD untuk periode satu tahun yang disusun dengan berpedoman pada Renstra-SKPD dan mengacu kepada RKP, memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

Agar pengelolaan DAS sejalan dengan sistem pembangunan yang berlaku dalam pemerintahan maka sistem perencanaan yang dibangun juga harus diselaraskan. Dalam proses penselarasan, hal yang perlu disadari bahwa batas wilayah DAS yang alami jarang sekali, bahkan tidak mungkin, berhimpitan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan. Sementara itu luas DAS di Indonesia sangat beragam, sehingga DAS perlu dikelompokkan dengan menyesuaikan keberadaannya dalam wilayah administrasi pemerintahan yang “dominan” yakni DAS dalam wilayah kabupaten dominan, DAS dalam wilayah provinsi dominan, dan DAS lintas provinsi. Untuk mengikutti hierarki perencanaan dalam UU No. 25 Tahun 2004, wilayah DAS yang lintas provinsi dan lintas kabupaten dibagi menjadi satuan hidrologis atau daerah tangkapan air yang berada dalam wilayah provinsi dan kabupaten dominan. Bagian DAS dalam wilayah administrasi bisa terdiri dari satu atau lebih dari Sub DAS dan atau Sub-sub DAS. Dengan demikian perencanaan yang tersusun akan memiliki kompatibilitas dengan pembangunan wilayah yang berangkutan. Perencanaan disusun untuk jangka waktu lima-tahunan atau rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) (Paimin, dkk, 2012).

Page 83: Workshop Litbang DAS 2012

55

Dalam UU No 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, pasal 17 ayat (1) disebutkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: (c) penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pada pasal 17 ayat (2) disebutkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi: pelaksanaan pemanfaatan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: pelaksanan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang menjadi kewenangan daerah, kerjasama bagi hasil atas pemanfaatan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah, dan pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Pada pasal 196 dinyatakan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait melalui badan kerjasama. Apabila daerah tak bisa melaksanakan kerjasama maka pengelolaannya dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat). UU No 25 tahun 2004 pasal 33 menyebutkan bahwa Gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi perencanaan pembangunan antar kabupaten/kota. Dalam UU No. 7 Tahun 2007 pasal 7 menyebutkan bahwa Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 10 menyebutkan wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: (a) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan abupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota, (b) pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, (c) pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan (d) kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota. Pasal 11 ayat (1) mengamanatkan bahwa wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam

Page 84: Workshop Litbang DAS 2012

56

penyelenggaraan penataan ruang meliputi: (a) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota, (b) pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, (c) pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan (d) kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.

Pada pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 150 tahun 2000, tentang Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, disebutkan bahwa Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan berdampak lintas kabupaten/kota, dan bahwa Menteri dan/atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan berdampak lintas propinsi.

Hierarki perencanaan berimplikasi pada skala peta kerja yang digunakan. Dalam PP N0. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disebutkan bahwa skala peta untuk tingkat kabupaten paling sedikit 1 : 50.000, untuk tingkat provinsi digunakan tingkat ketelitian skala minimal 1 : 250.000, dan untuk skala nasional 1 : 1.000.000. Dengan demikian skala perencanaan pengelolaan pada tingkat DAS atau tingkat Bagian DAS dalam wilayah administrasi (Sub DAS) mengikuti hierarki skala ini.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS terdapat dua kriteria DAS dalam hal pengelolaannya yakni DAS yang perlu dupertahankan dan DAS yang perlu direhabilitasi. Kewenangan perencanaan pengelolaan DAS Mikro dalam PP tersebut yang berada di BAPPEDA Kota dan Kabupaten. Dalam hal perundangan berkaitan dengan pengelolaan DAS mikro, maka perlu adanya perda yang memberika tugas kepada BAPPEDA Kota dan Kabupaten untuk memasukkan aspek pengelolaan DAS dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah.

Page 85: Workshop Litbang DAS 2012

57

III. PEMILIHAN DAS MIKRO

Pemilihan model DAS Mikro didasarkan 3 (tiga) pertimbangan. Pertama tingkat kekritisan DAS Mikro dibandingkan dengan DAS Mikro lainnya dalam satu Sub DAS dominan dalam satu kabupaten. Kedua, mudah dikunjungi dan dilihat oleh masyarakat karena dalam jangka panjang model pengelolaan DAS dapat dijadikan show windows sehingga pengelolaannya ditiru oleh masyarakat di DAS Mikro yang lain. Ketiga, model DAS diharapkan dapat dikelola dalam jangka waktu menengah yakni 5 (lima) tahun sehingga dalam pembangunan jangka menengah tersebut pengelolaan model DAS telah selesai dan dapat dijadikan model.

Tingkat kekritisan DAS dalam satu kabupaten dominan dianalisis dengan menggunakan sidik cepat degradasi subDAS (Paimin, dkk, 2010). Berdasarkan analisis menggunakan manual sidik cepat karakteristik sub DAS tersebut akan diperoleh tingkat kerawanan subsub DAS atau DAS. Tingkat kerawanan DAS dalam satu kabupaten yang dianalisis diranking dari yang paling rawan sampai yang tidak rawan sehingga diketahui prioritas DAS yang lebih dulu harus dikelola.

Sebagai model pengelolaan DAS, syarat lain suatu DAS harus dapat dikelola oleh masyarakat dan dapat dilihat dan sebagai contoh pengelolaan DAS di tempat yang lain. Untuk itu lokasi DAS harus memiliki aksesibilitas yang mudah dijangkau. Bila digabung dengan tingkat kerentanan DAS yang telah diprioritaskan penanganannya akan dapat dipilih DAS yang dijadikan model pengelolaan.

Page 86: Workshop Litbang DAS 2012

58

IV. PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2011, dalam pembuatan rencana pengelolaan DAS diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Idenfikasi karakteristik DAS yang mencakup luas, topografi, tanah, iklim, kondisi hidrologi, penggunaan lahan, kerapatan drainase, sosial, ekonomi dan kelembagaan.

b. Identifikasi permasalahan yang meliputi aspek penggunaan lahan, tingkat kekritisan lahan, kerawanan tanah longsor, kerawanan hidrologi, kerawanan kekeringan, kerawanan sosial, ekonomi dan kelembagaan.

c. Rumusan tujuan dan sasaran secara jelas dan terukur2, d. Identifikasi kendala-kendala yang dihadapi dalam

pelaksanaan pengelolaan DAS. e. Identifikasi dan evaluasi alternatif kegiatan pengelolaan yang

akan diimplementasikan sehingga dapat dihasilkan bentuk kegiatan yang paling tepat (secara teknis dapat dilaksanakan secara sosial politik dapat diterima dan secara ekonomi terjangkau).

f. Penyusunan rencana kegiatan/program pengelolaan DAS. g. Legitimasi dan sosialisasi rencana yang telah disusun.

Paimin, dkk (2010) menyusun Sidik Cepat Degradasi Sub DAS yang dapat digunakan untuk mengnalisis keranan daerah rawan banjir, daerah pasokan banjir, daerah rawan kekritisan lahan, rawan sosial, ekonomi dan kelembagaan (Manual Lampiran 1). Berdasarkan manual tersebut dapat dipetakan secara spasial daerah rawan kebanjiran, pasokan air banjir, kekritisan lahan, daerah rawan longsor, rawan sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Unit pengamatan untuk biofisik untuk analisis rawan kebanjiran,

2Untuk mengurangi lahan kritis seluas a ha, untuk mengurangi bahaya tanah longsor b ha, untuk mengatasi rawan kebanjiran seluas c ha, dan atau untuk meningkatkan rata-rata pendapatan masyarakat sebesar Rp. ... /tahun selama 5 tahun ke depan.

Page 87: Workshop Litbang DAS 2012

59

pasokan air banjir, kekritisan lahan, daerah rawan longsor yakni unit lahan yang ditentukan berdasarkan jenis tanah, kelas lereng dan penggunaan lahan. Sedangkan untuk kerawanan sosial, ekonomi, dan kelembagaan unit pengamatannya yakni Desa. Apabila data sekunder untuk parameter sosial dan ekonomi maka parameter tersebut dianalisis berdasarkan data sekunder sedangkan apabila tidak diperoleh maka dilakukan survey dengan jumlah sampel 5% dari jumlah Kepala Keluarga di setiap desa. Kerentanan kelembagaan yang terdiri dari peran lembaga formal dan informal dalam kegiatan konservasi tanah dan air dapat dianalisis berdasarkan informasi dari lembaga yang terlibat langsung dengan kegiatan konservasi tanah dan air yang dilakukan oleh masyarakat. Lembaga tersebut antara lain penyuluh pertanian, dinas terkait (pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, dll) yang melakukan kegiatan di mikro DAS tersebut.

Disamping, lembaga formal maupun informal di setiap desa, di setiap mikro DAS terdapat kegiatan lembaga terkait yang melakukan kegiatan konservasi tanah dan air baik langsung maupun tidak langsung. Lembaga tersebut antara lain: Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Badan Penyuluhan Daerah, PDAM yang memanfaatkan air dari mikro DAS, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, BUMN, swasta yang terkait dengan pengelolaan lahan di suatu mikro DAS, dll.

Stakeholder utama dalam pengelolaan DAS Mikro yakni pengelola lahan. Pengelola lahan adalah pengambil keputusan dalam sistem pengelolaan lahan. Pengelola lahan ini yakni pemilik ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), HPHTI, pemilik perkebunan baik PTPN maupun swasta, Perum Perhutani, petani pemilik maupun penggarap, penduduk yang memanfaatkan lahan untuk pemukiman, dll. Agar pengelolaan DAS mikro berhasil maka kegiatan pengelolaan DAS mikro harus mengkombinasikan kepentingan pengelola lahan dengan tujuan konservasi tanah dan air.

Berdasarkan potensi dan permasalahan biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan disusun rencana pengelolaan mikro DAS. Untuk biofisik maka unit manajemennya yakni unit lahan sedangkan untuk pengembangan sosial, ekonomi, dan kelembagaannya

Page 88: Workshop Litbang DAS 2012

60

satuan pengembangannya adalah desa. Pada setiap unit lahan dilakukan perbaikan konservasi tanah yang disesuaikan dengan kondisi yang sudah ada. Untuk lahan-lahan yang sudah dilakukan konservasi tanah tinggal dilakukan perbaikan sedangkan yang belum dilakukan konservasi tanah dirancang untuk dilakukan pengolahan lahan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi tanah. Rancangan untuk lahan pertanian disesuaikan dengan komoditas tanaman yang ditanam oleh petani dan dilakukan kombinasi antara teknik sipil dan vegetatif. Untuk lahan-lahan yang digunakan untuk pemukiman sebaiknya dilakukan konservasi air dengan cara perbaikan teknik pemanenen air (water harvesting) seperti pembuatan sumur resapan, hidrophory, dll. Teknik pembuatan sumur resapan ini oleh sebagian besar masyarakat dibayangkan sebagai sumur yang dimanfaatkan untuk sumber air minum sehingga membutuhkan biaya yang besar. Untuk itu istilah sumur resapan perlu diganti misalnya dengan double septick tank dimana satu tank digunakan untuk menampung tinja dan satu tank digunakan untuk menampung air hujan.

Pertimbangan lain dalam penerapan konservasi tanah adalah aspek ekonomi. Penerapan teknik konservasi tanah harus mempertimbangkan keuntungan bagi pengelola lahan. Untuk lahan pertanian harus mempertimbangkan panca usaha tani (pengolahan lahan sesuai dengan konservasi tanah, pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pengolahan pasca panen). Demikian pula pemilihan penggunaan lahan juga dikombinasikan dengan pertanian terpadu yakni antara usaha tani tanaman semusim, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Lahan-lahan tanaman semusim sebaiknya dilakukan teknik konservasi tanah yang dapat menghasilkan hijauan makanan ternak sehingga di bibir-bibir teras sebaiknya ditanami tanaman penguat teras berupa tanaman yang dapat menghasilkan hijauan makakan ternak (hmt). Demikian pula untuk lahan hutan rakyat, apabila pemiliknya memiliki ternak maka di bawah tegkan disarankan untuk ditanami hmt namun bila tidak memiliki ternak disarankan untuk ditanami tanaman industri seperti empon-empon, porang, garut, dll.

Rancangan teknik konservasi tanah juga harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan kondisi pasar.

Page 89: Workshop Litbang DAS 2012

61

Misalnya, untuk wilayah yang jauh dari fasilitas listrik PLN maka pembangunan mikrohidro merupakan pilihan yang sangat baik dan masyarakat disuluh agar memmelihara hutan di bagian hulunya. Lahan-lahan untuk tanaman semusim yang hasilnya masih digunakan untuk kebutuhan bahan makanan (subsiatance) maka dilakukan pengelolaan lahan sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan panca usaha tani.

Untuk lahan sayur dan tembakau maka konservasi tanah harus miring ke dalam sesuai dengan syarat kecukupan bahwa tanaman sayuran tidak boleh ditanam di tanah yang bacek atau jenuh air. Lahan untuk perkebunan dan HTI yang penduduknya jarang sebaiknya ditanami tanaman penutup tanah (cover crops) untuk mengurangi erosi dan menjaga kesuburan tanah sedangkan untuk hutan tanaman yang di sekitarnya padat penduduk maka dapat dilakukan tumpang sari (agroforestry) dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah. Disamping itu, pertimbangan pemilihan teknik konservasi tanah juga harus mempertimbangkan kondisi pasar. Pemilihan jenis tanaman sebaiknya yang laku di pasar dan dapat memberikan keuntungan yang tinggi bagi petani.

Kemandirian masyarakat dalam kegiatan konservasi tanah perlu selalu didorong. Perberdayaan masyarakat dalam pengadaan bibit untuk konservasi vegetatif seperti pembangunan Kebun Bibit Rakyat harus selalu digalakkan. Namun demikian jangan sampai masyarakat selalu tergantung pada bantuan pemerintah. Pemilihan pohon plus, sortasi benih, penyemaian, pembibitan, dan penanaman yang baik sebaiknya disuluhkan terus-menerus. Kerjasama dengan pihak swasta untuk penampungan hasil pertanian yang konservatif selalu diperluas. Insentif dari pemerintah sebaiknya diberikan hanya untuk hal-hal yang masyarakat tidak mampu untuk menyediakannya.

Rancangan di tingkat desa dilakukan secara partisipatif diikuti oleh seluruh masyarakat melalui perwakilan. Karena konsep kegiatan konservasi tanah adalah adopsi teknologi maka orang-orang yang bersedia dan diperkirakan dapat mengadopsi teknologi lebih awal diajak berdiskusi dan lahannya dijadikan contoh untuk kegiatan konservasi tanah dan air. Masyarakat dilatih menerapkan teknik konservasi tanah dan air di lahan garapannya. Pemilik lahan dan

Page 90: Workshop Litbang DAS 2012

62

anggota masyarakat yang lahannya tidak digunakan untuk percontohan diajak berperan serta dalam pengamatan tentang teknik konservasi yang diterapkan dan dampak yang ditimbulkan baik terhadap erosi tanah maupun terhadap produksi pertanian yang dihasilkan.

V. IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAS MIKRO Rancangan pengelolaan mikro DAS harus dilihat dari hulu sampai hilir. Permasalahan utama pengolahan mikro DAS, misalnya lahan kritis, tanah longsor, kerawanan banjir, dan kemiskinan merupakan permasalahan yang harus dipecahkan dalam pengelolaan mikro DAS. Permasalahan tersebut diurutkan dari yang paling besar dan secara spasial luas sehingga perlu diprioritaskan untuk ditangani. Rancangan teknik konservasi tanah diplotkan per satuan unit lahan. Rancangan tersebut berisi detail teknik konservasi lahan dan bahan yang digunakan. Bahan-bahan yang digunakan disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya agar mudah didapat dan murah harganya. Kegiatan konservasi tanah yang dilakukan tergantung pada ketersediaan waktu oleh masyarakat. Misalnya di mikro DAS Wonosari, Parakan, Kabupaten Temanggung, masyarakat memiliki waktu luang pada awal bulan Oktober s/d pertengahan Nopember karena waktu lainnya mereka sibuk mengolah lahan, pemeliharaan tanaman, pemanenan, dan pengolahan hasil tembakau. Peran serta anggota kelompok tani perlu diaktifkan dalam implementasi ini. Anggota kelompok tani dibagi dua yakni pemilik lahan dan anggota yang merupakan target inovasi teknologi. Pemilik lahan yang digunakan untuk penerapan teknik konservasi harus rela lahannya digunakan untuk plot contoh. Merekalah yang seharusnya paling aktif ikut serta membangun plot, mengamati pertumbuhan tanaman dan dampak plot terhadap erosi di lahannya.

Page 91: Workshop Litbang DAS 2012

63

VI. MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAS

Parameter yang perlu dimonitor dan dievaluasi yakni: produksi hasil tanaman, tingkat erosi, debit air di outlet, tingkat adopsi teknologi yang dilakukan oleh masyarakat, dan peningkatan pendapatan masyarakat dari lahan yang digunakan untuk plot konservasi tanah. VII. PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN MIKRO DAS

DAN RISET YANG DIPERLUKAN Perencanaan pengelolaan DAS yang dilakukan dari tahun 1990 an dalam bentuk Pola Pengelolaan DAS dan Rencana Teknik Lapangan sampai saat ini (2012) yakni Rencana Pengelolaan DAS terpadu dan Rencana Teknik Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan hanya dipandang sebagai rencana sektor kehutanan oleh pemerintah daerah. Dengan terbitnya PP 37 tahun 2012 tentang pengelolaan DAS diharapkan bahwa perencanaan DAS mikro merupakan bagian dari perencanaan daerah sehingga pengelolaan das mikro akan selaras dengan pembangunan daerah. Untuk itu kajian kebijakan pengelolaan DAS di tingkat Kota dan Kebupaten perlu dilakukan. Permasalahan kedua yakni lemahnya lembaga pengelolaan mikro DAS sehingga perlu kajian untuk penguatan kelembagaan tersebut. Ketiga, masih sangat diperlukan teknik konservasi lahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat seperti untuk lahan sayur, tembakau dan lahan kering yang digunakan untuk tempat produksi tanaman semusim sehingga lahan yang miring tetap digunakan untuk lahan pertanian tanaman semusim. Untuk itu. penelitian teknik konservasi di lahan sayur dan tembakau masih perlu dilanjutkan. Permasalahan ketiga adalah banyak lahan rawan longsor yang teknologi pencegahannya masih perlu dilakukan penelitian untuk menemukan teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan keempat yakni banyaknya lahan kering yang digunakan untuk lahan pertanian dan hutan rakyat. Di lokasi tersebut perlu dilakukan kajian teknik memanen air dan melakukan teknik penanaman di lahan kering. Untuk melengkapi kajian tersebut diperlukan kajian budaya pengelolaan lahan dan analisis ekonomi berbagai usaha pengelolaan lahan. Tranformasi teknik

Page 92: Workshop Litbang DAS 2012

64

konservasi tanah yang diharapkan pemerintah dan penerapan teknik konservasi tanah yang dilaksanakan oleh masyarakat juga perlu dikaji tingkat adopsinya. DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Kehutanan Solo. 2008. Laporan Hasil Penelitian: Kajian Implementasi Pengelolaan DAS pada Skala Mikro. Solo (tidak diterbitkan).

Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Direktorat Rehabiltasi Lahan dan Konservasi Tanah. Jakarta.

Paimin, Purwanto, dan Sukresno. 2010. Sidik Cepat Degrasi Sub Daerah Aliran Sungai. Edisi Revisi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Paimin, Irfan B. Pramono, Purwanto, dan Dewi Retna Indrawati. 2012. Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Peraturan Pemerintah No. 150 tahun 2000, tentang Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. Tambahan Lembaran Negara No. 4068.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Tata Ruang. Tambahan Lembaran Negara No. 5103.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Tambahan Lembaran Negara No. 5292.

Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005 – 2009. Badan

Page 93: Workshop Litbang DAS 2012

65

Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. 19 Pebruari 2008 (http://www.bappenas.go.id/index.php? Module =Content Express&func=display&ceid=2050).

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2011 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Undang-undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.

Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang. Tambahan Lembaran Negara No. 4725.

Page 94: Workshop Litbang DAS 2012

66

KERANGKA DASAR PROGRAM PENELITIAN PEMBIAYAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh

Nur Ainun Jariyah2

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

Email: 2 [email protected]

ABSTRAK

Pembiayaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini masih mengandalkan pinjaman dari luar negeri, yaitu untuk mendanai perbaikan DAS. Sedangkan dana yang berasal dari dalam negeri masih belum mampu untuk perbaikan DAS secara keseluruhan, karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Sumber dana untuk penyelenggaraan pengelolaan DAS dapat berasal dari APBN, APBD, dana dunia usaha dan dana masyarakat. Meskipun di beberapa daerah di Indonesia seperti di DAS Cidanau dan di Lombok telah menerapkan Payment For Enviromental Service, tetapi masih banyak daerah yang belum melakukan cost sharing dalam pengelolaan DAS. Untuk itu masih diperlukan penelitian yang mengkaji masalah pembiayaan pengelolaan DAS seperti (1) Mengkaji tentang peraturan-peraturan yang bisa mengatur cost sharing antar stakeholder yang terkait dengan pengelolaan DAS, (2) Diperlukan kajian tentang bagaimana pembiayaan pengelolaan DAS itu seharusnya dijalankan sehingga pengelolaan DAS tidak hanya bersumber dari Pemerintah saja tapi juga bisa dibiayai dari pemanfaat DAS baik langsung maupun tidak langsung, (3) Masih perlu dikaji fiscal policy yakni bagaimana pemerintah maupun pemerintah daerah mengalokasikan biaya pengelolan DAS, (4) Apakah ada keterkaitan Penerimaan Asli Daerah dengan alokasi anggaran untuk pengelolaan DAS, (5) Cost-sharing antar pemerintah daerah, (6) Kajian eksternalitas dalam pengelolaan DAS, (7) Kajian hubungan struktur ekonomi dengan kinerja DAS (8) Kajian benefit cost untuk kegiatan pengelolaan skala mikro.

Kata kunci : pengelolaan DAS, pembiayaan, cost sharing, hulu hilir, PES

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 95: Workshop Litbang DAS 2012

67

I. PENDAHULUAN

Perencanaan DAS perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keterkaitan antar sektor baik dari hulu sampai hilir, dan tidak dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja (Effendi, 2012). Keterkaitan antar sektor meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS berpegang pada prinsip ‘one river one management’. Air sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan suatu sumberdaya yang mengalir (a mobile resource). Sebagai implikasinya, pemanfaatan sumberdaya air di daerah hulu akan mengurangi jatah pemanfaatan air di kawasan hilir. Namun demikian, perbaikan lingkungan di daerah hulu, sebagian besar manfaatnya akan banyak dirasakan masyarakat yang berdiam di kawasan hilir. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait yaitu seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir. Pengelolaan DAS terpadu sendiri adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS (Dephut, 2009). Menurut Easter et al. (1986) dalam Paimin dkk (2004). Pengelolaan DAS terpadu adalah suatu proses formulasi dan implementasi suatu kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan mempertimbangkan aspek sosial, politik, ekonomi dan institusi di dalam DAS dan disekitar DAS untuk mencapai tujuan sosial tertentu. Oleh karena itu pengelolaan DAS terpadu sangat diperlukan karena diperlukan keterpaduan antar sektor dan multipihak yang harus saling berinteraksi. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan DAS adalah masalah pembiayaan. Saat ini pembiayaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) masih mengandalkan pinjaman dari luar negeri, yaitu untuk mendanai perbaikan DAS. Sedangkan dana yang

Page 96: Workshop Litbang DAS 2012

68

berasal dari dalam negeri masih belum mampu untuk perbaikan DAS secara keseluruhan, karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Sehingga biaya yang berasal dari dalam negeri hanya digunakan untuk perawatan saja (Tempo Interaktif, 24 Desember 2007).

Pengelolaan DAS antara hulu dan hilir masih sering menimbulkan konflik. Hal ini karena wilayah hilir sering dianggap sebagai penerima keuntungan sebagai pemanfaat air. Sehingga biaya yang harus dikeluarkan termasuk untuk memelihara sumberdaya air oleh wilayah hulu harus dikompensasi, sedangkan masyarakat hulu dipandang sebagai penyebab timbulnya masalah karena kegiatan mereka dalam bercocok tanam seperti menanam tanaman palawija dan tanaman sayuran, dimana kegiatan tersebut sangat rentan terhadap bahaya erosi dan longsor serta kurang ramah terhadap konservasi (Indrawati, 2009). Sementara itu luas lahan kritis di Indonesia saat ini (Dephut, 2009a) mencapai angka 77,8 juta Ha yang terdiri dari lahan agak kritis seluas 47,6 juta Ha, lahan kritis 23,3 juta dan lahan sangat kritis 6,9 juta Ha, dengan laju deforestasi sebesar 1,08 juta Ha per tahun. Peningkatan lahan kritis merupakan indikator rusaknya hidrologi DAS (Pasaribu, 1999). Luas kawasan hutan yang terdegradasi di Pulau Jawa sudah mencapai 330.000 Ha. Kerugian ekonomi akibat degradasi hutan Pulau Jawa diperkirakan tidak kurang dari Rp 8,37 triliun per tahun, sedangkan akibat kritisnya areal DAS/Sub DAS seluas 10,7 juta hektar akan menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp 37 triliun per tahun. Angka kerugian akibat degradasi hutan merupakan nilai kehilangan subsidi langsung ekologis dari kawasan konservasi dan hutan lindung untuk sektor ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Sementara itu angka kerugian akibat kritisnya DAS berasal dari kerugian akibat bencana ekologis seperti banjir, longsor dan kekeringan (Prahasto, 2009). Oleh karena itu, makalah ini diharapkan dapat menjawab permasalahan pembiayaan pengelolaan DAS yang sekarang ini perlu diselesaikan dan bagaimana seharusnya pembiayaan dalam pengelolaan DAS yang seharusnya dilakukan.

Page 97: Workshop Litbang DAS 2012

69

II. PEMBIAYAAN PENGELOLAAN DAS YANG BERJALAN PADA SAAT INI DI INDONESIA

Pada saat ini pengelolaan DAS belum berjalan secara terpadu, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Sumber dana untuk penyelenggaraan pengelolaan DAS dapat berasal dana pemerintah yaitu dari dana APBN dan APBD; dana dunia usaha yaitu dari dana yang berasal dari penerapan pembebanan biaya pada pihak pembuat pencemaran lingkungan daerah aliran sungai, dana yang berasal dari pembebanan biaya pada penerima manfaat penggunaan/pemanfaatan hutan, tanah dan air, dana tanggungjawab sosial perusahaan, dana investasi usaha; dana masyarakat yaitu dari perorangan atau kelompok masyarakat untuk pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS; dan dana lainnya yaitu dari negara atau lembaga donor. Beberapa instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS dan Pemerintah Daerah sepertinya belum paham akan konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi. Sikap mementingkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang menyebabkan konsep pengelolaan DAS terpadu menjadi terabaikan (Dephut, 2009b). Pada saat ini antara Pemerintah Daerah yang berada di hulu dan Pemerintah Daerah yang berada di hilir belum ada kerjasama semacam cost sharing antar Pemerintah Daerah. Meskipun antar Pemerintah Daerah dan instansi yang terkait sudah tahu akan pentingnya lingkungan, tapi untuk melaksanakan pembiayaan dengan cost sharing belum dilaksanakan. Seandainya cost sharing antara hulu dan hilir dilaksanakan, tentunya kerusakan lingkungan khususnya di hulu akan teratasi. Hal ini dimungkinkan, karena bentuk cost sharing antar instansi belum jelas, sehingga untuk pelaksanaannya masih dalam kegiatan sektoral saja. Sehingga setiap Pemerintah daerah tentunya hanya memikirkan daerahnya masing-masing, tanpa melihat kondisi daerah lain. Melihat kondisi pengelolaan DAS sekarang ini maka diharapkan adanya peraturan-peraturan yang mengatur tentang masalah cost sharing antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat termasuk peluang memanfaatkan dana internasional.

Page 98: Workshop Litbang DAS 2012

70

Untuk itu diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah daerah di hulu dan hilir DAS. Meskipun selama ini belum ada nota kesepamahaman yang sama, tapi disetiap pemerintah daerah telah ada kesamaan visi dan misi dalam memandang pelestarian lingkungan bersama. Sebenarnya hal itu bisa dijadikan sebagai pegangan untuk membuat peraturan yang dapat mengikat antar instansi, pelaku dan pemanfaat dari pengelolaan DAS. Diharapkan dengan adanya peraturan tersebut akan memberikan manfaat bagi stakeholder di DAS yang bersifat positif, seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat hulu dan hilir, kelestarian lingkungan terjaga, bahaya banjir, erosi dan kekeringan dapat diatasi. Bentuk cost sharing dapat juga berupa imbal jasa lingkungan sebagai kompensasi pembayaran jasa lingkungan. Dengan adanya imbal jasa lingkungan diharapkan dapat memperkecil nilai resiko terjadi kerusakan atau kerugian lingkungan yang ada disekitar masyarakat. Misalnya adanya kegiatan pengusahaan air minum, sehingga seperti resiko berkurangnya sumber daya air baku, masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih untuk kepentingan air minum atau kegiatan rumah tangga atau kegiatan lainnya (Sutopo dan Mawardi, 2010). Beberapa daerah di Indonesia dan di beberapa Negara telah menggunakan Payment For Enviromental Service (PES) atau Imbal Jasa Lingkungan sebagai alat kebijakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 99: Workshop Litbang DAS 2012

71

Tabel 1. Daerah-daerah Indonesia dan Luar Negeri yang telah Menggunakan Payment For Enviromental Service

Negara Kelompok yang

berhak Sasaran jasa lingkungan

Sasaran jenis lingkungan

Indonesia a. Cidanau

Pemilik lahan yang terletak di hulu DAS

Pengaturan fungsi hidrologis

Wanatani

b. Lombok

Masyarakat di sekitar mulut pipa pengambilan

Pengaturan fungsi hidrologis

Hutan, wanatani

Meksiko Lahan milik swasta dan masyarakat yang memiliki resiko deforetasi tertinggi

Pengaturan fungsi hidrologis

Hutan berkabut, hutan

Vietnam Badan pengelola hutan lindung dan peruntukan khusus lainnya, lembaga keuangan pengelola hutan produksi, keluarga dan perorangan yang tinggal di daerah ini dan masyarakat desa

Pengaturan fungsi hidrologis dan konservasi tanah, dan keindahan pemandangan

Hutan

PES nasional Kosta Rika

Campuran nilai konservasi tinggi

Beragam jasa yang mencakup jasa hidrologi, keindahan pemandangan, penyimpanan karbon dan jasa keanekaragaman hayati

Hutan

Sumber : UNESCAP, 2009

Imbal Jasa Lingkungan (PES) merupakan transaksi sukarela untuk jasa lingkungan (Wunder, 2005). Dengan adanya PES, pemanfaat jasa lingkungan dapat mencegah kerugian ekonomi yang terkait dengan perubahan lingkungan, mendukung pelestarian lingkungan, dan meningkatkan pendapatan pengguna lahan, yang saling menguntungkan (UNESCAP, 2009). PES juga dapat didorong melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam bentuk investasi.

Page 100: Workshop Litbang DAS 2012

72

Seandainya banyak daerah yang telah memahami konsep PES tersebut tentu pengelolaan DAS akan berjalan dengan baik, dan dapat menghasilkan kualitas lingkungan yang lebih baik. Setiap masyarakat yang ada di daerah hulu dan hilir tidak hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri, tetapi saling memikirkan kepentingan daerah lain. Misalnya masyarakat yang ada di hulu dan di hilir pada saat mereka melakukan suatu kegiatan baik itu pengolahan tanah, eksplorasi lahan hutan, kegiatan penanaman dan lain sebagainya, mereka harus memikirkan dampak yang diterima daerah lain jika mereka melakukan kegiatan tersebut.

III. PEMBIAYAAN PENGELOLAAN DAS YANG SEBAIKNYA

DIKEMBANGKAN DI INDONESIA

Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hulu dan hilir dalam lingkup pengelolaan DAS, seharusnya instansi pemerintah dan masyarakat menerapkan beneficiaris and polluters pay principle. Dimana siapa saja yang menyebabkan kerusakan lingkungan diwajibkan atau harus bertanggung jawab untuk membayar kerusakan lingkungan, begitu juga masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS baik secara langsung maupun tidak langsung wajib menanggung biaya pengelolaan berdasarkan prinsip kecukupan dana (cost recovery). Pembiayaan bisa dilakukan dengan menggunakan replacement cost atau relocation cost. Atau jika kerusakan belum terjadi (averting cost/ biaya pencegahan) atau jika sudah siap (mitigation cost/ biaya peringanan). Dalam Gouyon (2004) dalam Cahyono (2006) membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam 3 kategori yaitu:

1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.

2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.

3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik.

Page 101: Workshop Litbang DAS 2012

73

Dilihat dari 3 hal tersebut, maka imbal jasa lingkungan dapat dilakukan baik melihat fisik maupun non fisik, sehingga semua bidang dapat dilakukan pembangunan dengan tujuan untuk kelestarian pengelolaan DAS. Melihat kondisi pembiayaan pengelolaan DAS yang seperti telah diuraikan sebelumnya, maka masih diperlukan beberapa penelitian yaitu :

1. Mengkaji tentang peraturan-peraturan yang bisa mengatur cost sharing antar stakeholder yang terkait dengan pengelolaan DAS, sehingga lingkungan khususnya di daerah hulu akan tetap terpelihara dengan baik. Dengan adanya peraturan yang bisa mengikat setiap pelaku, maka peraturan tersebut akan memberikan sangsi bagi pelaku yang tidak mau menjalankan peraturan tersebut.

2. Diperlukan kajian tentang bagaimana pembiayaan pengelolaan DAS itu seharusnya dijalankan sehingga pengelolaan DAS tidak hanya bersumber dari Pemerintah saja tapi juga bisa dibiayai dari pemanfaat DAS baik langsung maupun tidak langsung.

3. Perlu dikaji fiscal policy yakni bagaimana pemerintah maupun pemerintah daerah mengalokasikan biaya pengelolan DAS,

4. Apakah ada keterkaitan Penerimaan Asli Daerah dengan alokasi anggaran untuk pengelolaan DAS,

5. Cost-sharing antar pemerintah daerah, kajian ini tidak hanya kajian hitung-hitungan ekonomi tetapi harus memasukkan kajian politik anggaran daerah.

6. Kajian eksternalitas dalam pengelolaan DAS perlu dilakukan.

7. Kajian hubungan struktur ekonomi dengan kinerja DAS karena secara nyata telah berpengaruh terhadap kinerja DAS misalnya wilayah yang memiliki struktur ekonomi industri akan menimbulkan masalah banjir lokal dan polusi air, struktur ekonomi pertanian khususnya tanaman semusim berdampak pada erosi dan sidimentasi.

8. Kajian benefit cost untuk kegiatan pengelolaan skala mikro.

IV. PENUTUP

Pembiayaan pengelolaan untuk penyelenggaraan pengelolaan DAS dapat berasal dari APBN, APBD, dana usaha dan dana dari

Page 102: Workshop Litbang DAS 2012

74

masyarakat. Dalam pelaksanaannya belum dijelaskan secara tegas bagaimana cost sharing antar instansi yang melakukan pengelolaan DAS. Dengan adanya peraturan cost sharing yang jelas, diharapkan pengelolaan DAS antara hulu dan hilir bisa terlaksana dengan baik. Apalagi, sebenarnya antar instansi sendiri sudah mempunyai kesepamahaman yang sama akan pentingnya pengelolaan DAS, hanya permasalahan koordinasi antar instansi yang belum berjalan dengan baik, yang masih menonjolkan kepentingan instansi masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan yang mengatur cost sharing antar instansi yang melakukan pengelolaan DAS dan juga pembiayaan yang berasal dari sumber dana lainnya yang dapat berupa dana lingkungan antara lain Global Environmental Facility (GEF), Global Mechanism (GM), trust fund, enviromental fund, pembayaran jasa lingkungan. Dengan begitu akan tercipta pengelolaan DAS yang terpadu baik lintas sektor dan lintas wilayah dengan satu kepentingan yaitu terciptanya DAS yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA Cahyono, S.A. dan Purwanto. 2006. Imbal jasa multifungsi DAS

untuk mendukung pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Disampaikan pada Seminar Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih Hulu, 21 September 2006 di Bogor. http://kelembagaandas.wordpress.com

Dephut. 2009a. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Amanah Instruksi Presiden no. 5. Tahun 2008 tentang Fokus Program ekonomi tahun 2008-2009.

Dephut. 2009b. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Nomor SK.328/Menhut-II/2009. Tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam Rangka Pembangunan Jangka Mengengah (RPJM) Tahun 2010-2014.

Effendi, E. 2012. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2513/. Diakses tanggal 26 Januari 2012

Indrawati, D.R. 2009. Kerjasama hulu hilir dalam pengelolaan Daerah aliran Sungai (DAS). http://kelembagaandas.wordpress.com

Page 103: Workshop Litbang DAS 2012

75

Paimin, Sukresno, Purwanto. 2004. Sidik Cepat Degradasi. Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Pusat penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Pasaribu, H.S. 1999. “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air,” Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.

Prahasto, H. 2009. Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan DAS. Http://puslitsosekhut.web.id/download.php?page=publikasi&sub=prociding&id=138

Sutopo, M.F. dan Mawardi, M.I. 2010. Analisis Kesediaan Masyarakat Menerima Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam Pengelolaan Air Minum Di DAS Cisadane Hulu . Jurnal Hdrosfir Vol 5 (2) 1-11.

Tempo Interaktif. 2007. Pembiayaan DAS Masih Tergantung Pinjaman Luar Negeri . Senin, 24 Desember 2007

UNESCAP. 2009. Kebijakan Sosial Ekonomi Inovatif untuk meningkatkan kinerja lingkungan : Imbal Jasa Lingkungan. Seri Menghijaukan Pertumbuhan Ekonomi. Publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa . Hak Cipta Perserikatan Bangsa 2009. CST/ESCAP/2560. Versi elektronis tersedia di www.unescap.org/esd dan www.greengrowth.org. Tim publikasi: Hitomi Rankine, Matthew Watkins, Wipavee Kasemsawasd. Penyumbang naskah: Nantiya Tang Isujit, W Prabhat Barnwal. Desain dan tata-letak: Jeff Williams. Penerjemah: Wiyanto Suroso.

Wunder, S. 2005. Imbal Jasa Lingkungan: Apa dan Bagaimana , Terbitan Tak Berkala Pusat Penelitian Kehutanan International (Center for International Forestry Research) No. 42 (Bogor, 2005).

Page 104: Workshop Litbang DAS 2012

66

PENTINGNYA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN KEBUTUHAN

RISET PARTISIPASI KE DEPAN1

Oleh:

Nana Haryanti2

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

2 Email: [email protected]

ABSTRAK

Perubahan fundamental dalam pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang semula hanya memberikan prioritas pada kegiatan biofisik menjadi lebih berorientasi kepada penanganan secara sosial, membawa konsekuensi bahwa kegiatan penelitian juga harus memberikan perhatian dan memperluas bidang kajian pada aspek-aspek sosial. Oleh karena itu penting bagi lembaga-lembaga penelitian untuk mengubah arah penelitiannya, yang tidak hanya menekankan pada aspek biofisik saja namun mulai memberikan masukan mengenai bagaimana menangani masalah sosial seperti meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS. Partisipasi penting, karena merupakan syarat bagi keberhasilan pengelolaan sumber daya alam termasuk DAS.

Kata kunci: partisipasi, pengelolaan DAS, penelitian

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 105: Workshop Litbang DAS 2012

67

I. PENDAHULUAN

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan unit wilayah dimana sistem hidrologi memproduksi air dan pada saat yang bersamaan subsistem sosial dan ekonomi bekerja atas dorongan manusia, sumber daya, dan teknologi (Fernandez, 1993). DAS merupakan suatu area yang mengalirkan air ke dalam sungai, danau, dan sebagainya, yang di dalamnya terdapat berbagai aktivitas penggunaan lahan. Pada banyak kasus, penggunaan lahan dalam DAS memiliki dampak terhadap regim hidrologi dan kualitas air di bagian hilir (FAO, 2006). Banyaknya ragam penggunaan lahan dalam DAS, termasuk kejadian alih fungsi lahan, telah mengakibatkan perubahan pada pola lanskap DAS, fungsi ekosistem, dan dinamisasi dari iklim yang berdampak pada kondisi hidrologi karena erosi dan sedimentasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengelolaan terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang ada di dalam DAS.

Pengelolaan DAS dipahami sebagai upaya rasional untuk memanfaatkan sumber daya air dan tanah untuk mendapatkan produksi yang optimal dengan minimal kerusakan pada sumber daya alam (FAO, 2003). Oleh karena itu dalam rencana pengelolaan DAS aspek lahan dan sumber daya air serta aspek sosial ekonomi yang berdampak pada manusia secara umum dan praktek penggunaan lahan secara khusus harus mendapat perhatian. Hal ini penting, sebab tanpa kontrol sosial pada penggunaan sumber daya air dan tanah maka teknologi konservasi tidak akan ada artinya. Mempertimbangkan hal tersebut, maka keberhasilan pengelolaan DAS menjadi sangat tergantung pada ketersediaan salah satu atribut yang sangat penting dalam apa yang disebut sebagai praktek pengelolaan DAS yang baik, yaitu partisipasi (FAO, 2006).

Partisipasi kini menjadi isu penting dalam pengelolaan DAS karena pada awal tahun 1980-an pengelolaan DAS secara luas masih dilakukan dengan cara mengatasi permasalahan yang muncul seperti banjir, erosi, sedimentasi, tanah longsor, dan sebagainya menggunakan pendekatan teknis (FAO, 2003). Pada saat itu prioritas dari pengelolaan DAS terfokus pada kegiatan biofisik yang sering kali dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara top-down (Rhoades & Elliot, 2000). Pengelolaan DAS pada

Page 106: Workshop Litbang DAS 2012

68

periode itu masih difokuskan pada adopsi praktek konservsi air dan tanah dalam DAS dengan tujuan melindungi tanah dari kerusakan dan menjamin kualitas, jumlah, dan kontinuitas ketersediaan air, tetapi kurang memberikan perhatian pada penanganan aspek-aspek sosial secara khusus.

Terjadinya perubahan pada pendekatan pengelolaan DAS mendorong para profesional di bidang pengelolaan DAS mulai memberikan perhatian khusus pada penanganan aspek sosial ekonomi dalam pengelolaan DAS (FAO,2003). Untuk itu, dalam pengelolaan DAS dibutuhkan suatu langkah terintegrasi, yaitu lintas disiplin ilmu dan lintas sektoral, dan yang terpenting adalah mengikutsertakan masyarakat sekitar yang menjadi target kegiatan (Rhoades dan Elliot, 2000). Pada konsep pengelolaan DAS ini, masyarakat menjadi pusat perhatian, masyarakat dipandang perlu dilibatkan dalam seluruh tahapan pengelolaan DAS mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring. Harapannya adalah mereka bersedia memanfaatkan lahan dan sumber daya alam yang tersedia secara bijaksana dan tidak merusak lingkungan. Partisipasi (keterlibatan masyarakat) dikatakan “more than a requirement, it is a condition for success” (Reid, 2000).

Memandang betapa pentingnya partisipasi, maka kegiatan research juga perlu memberikan banyak porsi pada eksplorasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk membahas pentingnya memberikan perhatian pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, sekaligus memberikan gambaran arahan riset ke depan untuk tujuan peningkatan partisipasi masyarakat.

II. Rasionalitas Dari Partisipasi Masyarakat

Tantangan terbesar dari kegiatan pengelolaan DAS adalah transfer teknologi, baik itu transfer pada instansi pengelola DAS dan khususnya pada masyarakat sebagai pelaku pengelola lingkungan secara langsung. Permasalahan ini muncul karena fokus dalam pengelolaan DAS secara umum masih dilakukan pada penanganan aspek biofisik dari DAS, belum banyak teknologi yang menghasilkan teknik dan strategi yang bisa digunakan untuk

Page 107: Workshop Litbang DAS 2012

69

melakukan penanganan pada dampak yang ditimbulkan dari aspek sosial dalam masyarakat.

Rendahnya tingkat adopsi hasil-hasil penelitian untuk pengelolaan DAS menunjukkan rendahnya partisipasi masyarakat. Hal ini membuat para peneliti mendapat tekanan agar lebih berorientasi kepada klien atau pengguna (results-oriented) dan memperhitungkan ada tidaknya dampak dari kegiatan penelitian. Oleh karena itu lembaga penelitian juga perlu merubah orientasi dari organisasinya pada penelitian-penelitian praktis yang tidak hanya menyediakan data dan informasi, tetapi bisa secara langsung menjawab kebutuhan masyarakat pada setiap inovasinya.

Mempertimbangkan hal tersebut, akan sangat bermanfaat jika dilakukan penelitian dengan topik-topik yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS. Reid (2000) menjelaskan bahwa partisipasi memberikan jaminan kesuksesan suatu proyek karena dimungkinkan adanya pengaturan pembagian tanggung jawab sesuai kemampuan dan kepentingan dari masyarakat yang terlibat. Pembagian tanggung jawab ini kemudian akan mendorong terbentuknya rules sebagai upaya mendesentralisasikan wewenang dan tanggung jawab tersebut. Pembagian tanggung jawab ini penting untuk menghindari munculnya kecurigaan dan ketidakpercayaan dari masyarakat, dan yang paling utama menghindari munculnya antipati masyarakat untuk ikut terlibat pada kegiatan atau suatu proyek. Partisipasi masyarakat penting dalam pengelolaan DAS karena konsep partisipasi bertujuan untuk menciptakan self-supporting system yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka agar dipertimbangkan dan diakomodir, memungkinkan masyarakat membuat prioritas kegiatan yang menunjang kehidupannya, mengevaluasi hambatan dan kesempatan serta memantau kegiatan dan hasil dari kegiatan (Wani et al., 2005). Institusi pengelola DAS dan masyarakat sering kali memiliki kebutuhan, cara pandang, sistem pengetahuan, metode dan alat yang berbeda dalam memahami suatu fenomena. Melalui partisipasi memungkinkan dilakukannya dialog untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan dari kegiatan masyarakat misalnya pertanian.

Page 108: Workshop Litbang DAS 2012

70

Pada pengelolaan DAS, partisipasi dipilih sebagai metode yang merupakan respon atas ketidakjelasan tujuan, tidak adanya konsistensi pada pendekatan yang digunakan, serta rendahnya keberhasilan dari kegiatan pengelolaan DAS (German et al., 2012). Partisipasi dalam pengelolaan DAS kemudian dipahami sebagai proses dimana pengguna menentukan permasalahan dan prioritas, kriteria dari pengelolaan yang berkelanjutan, mengevaluasi penyelesaian masalah, pelaksanaan kegiatan, dan memonitor dampak dari pelaksanaan kegiatan (Johnson et al., 2001). Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan DAS akan mengurangi pertentangan akibat ketidaksepakatan pada ukuran, pengukuran, sebab-akibat, perdebatan mengenai penyelesaian masalah, dsb. Hal ini karena pengelolaan DAS melibatkan permasalahan yang kompleks, bermacam tipe dan level stakeholders yang memiliki perbedaan kepentingan, perspektif, pengetahuan, kemampuan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS akan memberikan jaminan bahwa DAS telah dikelola sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh masyarakat.

III. BENTUK PARTISIPASI YANG SEHARUSNYA DIBANGUN

Pengelolaan DAS selama ini dilakukan melalui serangkaian intervensi yang cenderung difokuskan pada kegiatan peningkatan inovasi yang dilakukan pada tingkat petani, serta upaya mendorong perubahan pada kegiatan pertanian melalui proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara individual. Metode seperti itu menyisakan banyak permasalahan yang sulit untuk dipecahkan, seperti munculnya konflik sumber daya alam, interaksi negatif antar desa dan lahan pertanian yang saling berbatasan, tidak munculnya collective action dalam menghadapi permasalahan bersama, dan sebagainya. Menghindari munculnya berbagai permasalahan yang berdampak negatif tersebut, maka pengelolaan DAS mensyaratkan suatu strategi intervensi dan proses pengambilan keputusan yang diambil di luar tingkatan petani saja, yaitu berupa suatu mekanisme efektif yang menjamin partisipasi dari berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat (German et al., 2012). Dengan demikian seluruh komponen penting dari sistem kehidupan, baik itu air, tanah, tumbuhan,

Page 109: Workshop Litbang DAS 2012

71

ternak, manusia, mata pencaharian, norma, budaya, dan sebagainya, tercakup dalam agenda pengelolaan DAS.

Berdasarkan ukurannya, DAS dapat diklasifikasikan sebagai mikro (<1500 ha), meso (1500-10000 ha), dan makro (>10000 ha). Pengelolaannya pun mengikuti skala ukuran dari DAS tersebut. Pada level mikro, partisipasi difokuskan pada rumah tangga dan kelompok kecil masyarakat. Pada level meso dan makro, partisipasi dilakukan dalam bentuk kolaborasi pengelolaan DAS (collaborative watershed management). Pada tingkatan ini fokus dari partisipasi adalah masyarakat secara luas (stakeholders), meliputi anggota masyarakat, pemerintah, lembaga kemasyarakatan, LSM, swasta, dan sebagainya (FAO, 2006).

Pengelolaan DAS pada umumnya mengadopsi pendekatan micro-level sebagai unit pengelolaannya. Penggunaan pendekatan secara mikro ini didasarkan pada penilaian bahwa pada level mikro memungkinkan dilakukannya integrasi antara air, tanah, infrastruktur, dan keterlibatan masyarakan melalui proses partisipasi. Daerah aliran sungai pada skala mikro terbukti fleksibel dan mudah digunakan untuk pelaksanaan suatu proyek dan murah. Namun demikian terdapat banyak kekurangan dalam pendekatan ini, karena sangat sulit melakukan perluasan intervensi. Dinyatakan bahwa pengelolaan DAS skala mikro tidak serta merta memunculkan interaksi hulu-hilir (pada level meso maupun makro). Oleh karena itu kegiatan pengelolaan DAS yang akan dilakukan pada skala yang lebih luas (meso-makro) memerlukan perencanaan teknis yang lebih matang, karena menyangkut penanganan mekanisme kelembagaan yang memungkinkan partisipasi seluruh stakeholders melalui kolaborasi dan koordinasi antar instansi (Darghout et al., 2008). Pada tataran meso dan makro partisipasi dalam pengelolaan DAS tidak bisa lagi dipandang sebagai kegiatan yang murni teknis karena kegiatan pengelolaan DAS sudah berada dalam pengaruh arena politik lokal. Oleh karena itu harus dipertimbangkan adanya kekuasaan yang tidak seimbang dari aktor-aktor kunci yang seharusnya ikut berpartisipasi seperti petani dan rumah tangga miskin di hulu DAS. Mempertimbangkan tantangan tersebut, pengelolaan DAS akan lebih berhasil jika dilakukan pada skala kecil yang pada umumnya diasosiasikan dengan sub DAS (FAO, 2006). Sedangkan bentuk partisipasi yang ideal pada skala kecil adalah interactive

Page 110: Workshop Litbang DAS 2012

72

participation. Partisipasi interaktif dilakukan dalam bentuk aksi bersama yang didasarkan pada proses analisis bersama atas permasalahan yang berkembang. Partisipasi jenis ini memungkinkan pembentukan institusi baru atau bisa juga dengan cara memperkuat dan memberdayakan institusi yang sudah ada. Jika pada skala-skala kecil partisipasi dalam masyarakat sudah berjalan, maka akan terakumulasi menjadi partisipasi dalam bentuk self-mobilization pada skala pengelolaan DAS yang lebih luas (Escap, 2009).

Prabhakar et al. (2010) mengasosiasikan pengelolaan DAS sebagai program untuk merestorasi kondisi lingkungan yang telah rusak. Oleh karenanya partisipasi pada pengelolaan DAS harus dilakukan dalam setiap tahapan pengelolaan. Terdapat lima tahapan dalam pengelolaan DAS menurut Prabhakar et al. (2010), yaitu pre-project, planning, implementation, maintenance, dan evaluation stages yang setiap tahapannya membutuhkan partisipasi aktif. Partisipasi masyarakat pada tahapan pre-project ini sangat penting karena di dalamnya terdapat upaya pemahaman bersama konsep dan tujuan dari kegiatan. Partisipasi pada tahapan ini secara operasional diwujudkan dalam bentuk kegiatan seperti pertemuan, diskusi mengenai permasalahan yang berkembang, keterlibatan dalam survey, dsb. Partisipasi pada tahapan planning berwujud konsensus bersama mengenai pelaksaaan kegiatan. Pada tahapan ini masyarakat hendaknya diberi ruang untuk turut mengambil keputusan dan dilibatkan pada perumusan program yang bisa diterima semua pihak. Selanjutnya, pada tahapan implementasi masyarakat terlibat pada semua aktivitas dan diharapkan bersedia mengadopsi teknologi yang disarankan. Berbagai asset yang telah dibangun dalam program pengelolaan DAS perlu dipelihara agar manfaatnya bisa dirasakan terus menerus. Oleh sebab itu partisipasi masyarakat pada pemeliharaan (maintenance) berbagai asset kegiatan sangat penting dilakukan untuk menjaga kelestarian DAS. Pada tahapan evaluation, partisipasi masyarakat meliputi pemberian umpan balik pada pengelola DAS mengenai pelaksanaan kegiatan. Pada tahapan ini dimungkinkan masyarakat memberikan saran berupa modifikasi teknologi untuk pelaksanaan ke depan jika dijumpai teknologi yang diterapkan memunculkan masalah baik fisik maupun sosial. Pada prinsipnya “partisipasi masyarakat” dilakukan

Page 111: Workshop Litbang DAS 2012

73

pada serangkaian prosedur yang memungkinkan masyarakat secara aktif terlibat pada pengambilan keputusan atas pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat. Prosedur ini dibuat sehingga masyarakat memiliki pengaruh dan suara yang sama (Webler & Tuler, 2001)

Namun demikian, meskipun telah banyak informasi mengenai pentingnya melibatkan diri dan berpartisipasi didengungkan di masyarakat luas, masih saja para pengelola DAS menjumpai kelompok masyarakat yang memutuskan untuk menjadi non-participant. Maka pemahaman akan situasi ini penting dilakukan. Para pengelola DAS harus berhati-hati membuat suatu penaksiran pada prioritas dan kebutuhan masyarakat tersebut (Cornwall, 2008). Hal ini dimaksudkan agar tidak ada kelompok masyarakat yang tersingkirkan dan mengalami diskriminasi dari program dan kegiatan pengelolaan DAS. Cara paling efektif menghadapi masyarakat seperti ini adalah pendekatan yang dilakukan secara personal untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran serta melakukan penelitian intensif yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi mereka.

IV. KONSEP PARTISIPASI DALAM PENELITIAN PENGELOLAAN DAS SAAT INI

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi partisipasi petani pada kegiatan konservasi air dan tanah. Namun jumlah dari kegiatan penelitian yang fokus pada tema ini hanya sedikit. Perlu dicermati bahwa unit analisis dari kegiatan penelitian tersebut umumnya adalah petani. Jadi yang dianggap menjadi penyebab tinggi rendahnya partisipasi adalah faktor karakteristik petani seperti, umur, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, status sosial ekonomi, tingkat pengetahuan dan kesadaran, jumlah tenaga kerja yang dimiliki, dan sebagainya. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh hasil-hasil penelitian saat ini juga masih berkisar pada peningkatan kemampuan petani.

Beberapa penelitian terapan dalam bentuk pengelolaan lahan bersama masyarakat melalui plot-plot penelitian telah dilakukan

Page 112: Workshop Litbang DAS 2012

74

untuk mulai memberikan perhatian pada peningkatan partisipasi masyarakat. Namun demikian belum banyak terjadi adopsi dari teknik-teknik konservasi biofisik yang diperkenalkan kepada pengguna secara luas. Pada umumnya kegiatan konservasi tidak dilanjutkan manakala penelitian atau proyek telah dihentikan. Penelitian tentang partisipatif memang lebih banyak membutuhkan waktu, hal ini karena sangat tergantung dari tipe dan karakteristik masyarakatnya. Namun demikian jaminan tingkat adopsi petani tinggi jika pengenalan teknik biofisik konservasi air dan tanah dilakukan menggunakan teknik sosial yang tepat.

Pengelolaan DAS yang terintegrasi membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat dengan kondisi kelembagaan yang matang. Kajian pengelolaan DAS juga telah menyediakan data mengenai kelembagaan yang ada. Namun sejauh ini hanya data mengenai siapa melakukan apa, dan belum menyentuh topik mengenai bagaimana koordinasi dilakukan, apa kendala dari jalannya collective action dalam pengelolaan DAS dan bagaimana menyelesaikan kendala tersebut, bagaimana cost dan benefit sharing diatur, dan sebagainya. Beberapa penelitian di luar negeri (Webler & Tuler, 2001; Blomquist & Schlager, 2005; Nare et al., 2011) telah banyak memberikan gambaran mengenai hal tersebut, namun tidak serta merta menggambarkan kondisi di tanah air dan bisa diadopsi karena begitu kompleksnya permasalahan yang ada.

V. RISET PARTISIPASI YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENUNJANG PENGELOLAAN DAS

Disadari bahwa masih terdapat kesenjangan yang cukup lebar dalam penelitian yang bertema partisipasi. Oleh karenanya perlu dirancang beberapa topik penelitian mengenai partisipasi agar praktek pengelolaan DAS lebih berhasil.

Pengembangan metode pengelolaan DAS bertujuan untuk membuat suatu kerangka kerja bagi pemanfaatan DAS yang terintegrasi serta menyediakan aturan dalam pemanfaatan air dan tanah di suatu wilayah, sebagai upaya menjamin kesejahteraan masyarakat dan menjaga kesehatan ekosistem yang ada. Karena

Page 113: Workshop Litbang DAS 2012

75

pengelolaan DAS menyangkut aspek biofisik dan sosial ekonomi, maka penelitian tentang partisipasi juga harus memperluas agenda penelitiannya pada topik baru dan isu-isu penting seperti masalah koordinasi, collective action, resolusi konflik, perilaku organisasi, percepatan alih teknologi, dan sebagainya.

Para ahli yang biasa bekerja dengan petani mengetahui bahwa petani memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai tanaman, lingkungan pertanian setempat, dan kondisi sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu bisa dipahami alasan-alasan petani membuat keputusan dalam melakukan praktek pengelolaan lahan pertaniannya. Pengenalan teknologi baru pada praktek pengelolaan lahan sering kali tidak mendapat respon positif dari petani terutama karena peneliti hanya fokus pada aspek biofisik saja dan sering kali mengabaikan pandangan-pandangan petani mengenai praktek pengelolaan lahan yang dilakukannya (Bellon, 2001). Padahal memahami persepsi petani terhadap suatu isu sangat penting dilakukan terutama untuk menjamin diterimanya teknologi yang diperkenalkan yang selanjutnya akan diikuti partisipasi aktif masyarakat untuk menerapkan teknologi tersebut. Mempertimbangkan hal inilah penelitian hendaknya diarahkan untuk menjaring informasi mengenai bagaimana persepsi masyarakat tentang teknologi baru dalam pengelolaan lahan. Selanjutnya dilakukan penilaian mengenai teknologi yang paling tepat untuk diterapkan pada suatu wilayah.

Seiring dengan banyaknya kritik bahwa praktek konservasi air dan tanah belum banyak diadopsi karena teknologi konservasi cenderung bersifat time consuming, capital dan labour intensive (Omari, 2008), maka pada penelitian mengenai partisipasi objects of inquiries juga harus dikembangkan pada mengapa tingkat partisipasi masyarakat masih rendah? Apakah permasalahan terletak pada petani, ataukah teknologi yang diperkenalkan, atau orang/lembaga yang memperkenalkan, atau pada mode of introduction-nya, sarana komunikasi yang digunakan, atau pada hal-hal lain. Oleh karena itu lembaga-lembaga penelitian kehutanan juga harus tanggap menggarap program-program penelitian yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Harapannya agar teknologi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS tersedia dan bisa digunakan lembaga lain yang terkait.

Page 114: Workshop Litbang DAS 2012

76

Selanjutnya perlu pula dilakukan kajian yang berkaitan dengan property right untuk memberikan penjelasan kepada para pihak apa saja yang bisa stakeholders lakukan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini untuk menjamin bahwa partisipasi melalui investasi yang mereka keluarkan untuk kegiatan konservasi, misalnya, akan memberikan manfaat secara ekonomi kepada mereka juga. Penelitian ini juga harus dilengkapi dengan penelitian mengenai metode insentif dan cost sharing yang berkeadilan. Hal ini karena petani yang diminta berpartisipasi dan melakukan investasi umumnya adalah petani miskin sedangkan penerima manfaat adalah masyarakat luas.

Penelitian partisipasi dalam pengelolaan DAS juga harus memberikan perhatian pada isu-isu mengenai gender. Hal ini penting karena dalam pengelolaan lahan perempuan seringkali menjadi aktor yang sangat menentukan. Namun, sebagaimana dikemukakan Bellon (2001), selama ini para peneliti cenderung lebih memperhatikan petani laki-laki. Padahal dalam kehidupan rumah tangga petani sering kali perempuanlah yang membuat keputusan mengenai kapan waktu penanaman dimulai, tanaman apa yang akan ditanam, perawatan tanah dan tanaman, pemberian pupuk, bahkan penjualan hasil pertanian. Oleh karena itu untuk tujuan pengelolaan sumber daya alam penelitian mengenai gender menjadi sangat relevan.

Salah satu pertanyaan mendasar dalam kegiatan pengelolaan DAS adalah munculnya pertanyaan “apakah DAS selama ini dikelola berdasarkan masukan dari hasil penelitian?”. Pertanyaan ini muncul karena disadari selama ini pengambil kebijakan masih memandang sebelah mata hasil-hasil penelitian (Watt, 1994). Oleh karenanya sangat penting pula melakukan penelitian yang secara langsung melibatkan para pengambil kebijakan dan menyediakan data dan strategi yang mampu memberi masukan kepada mereka. Hal ini dimaksudkan agar terjadi perubahan kebijakan yang benar-benar didasarkan pada scientific evidence. Untuk itu peneliti dituntut benar-benar memahami sifat dari suatu kebijakan dan latar belakang politiknya.

Page 115: Workshop Litbang DAS 2012

77

VI. PENUTUP

Jalinan kerjasama yang erat di masyarakat pada berbagai tingkatan diyakini akan menciptakan suatu collective action dalam bentuk pengorganisasian perilaku masing-masing sebagai upaya mengatasi masalah yang dirasakan bersama. Dalam aksi bersama ini akan disiapkan suatu aturan yang menjadi pedoman semua pihak dalam bertindak dan berperilaku. Dalam kontek pengelolaan sumber daya alam, aksi bersama dengan keterlibatan masyarakat merupakan kunci bagi tercapainya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, terutama pada sumber-sumber daya yang sangat penting dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak (common pool resources). Oleh karena itu sangat penting memberi perhatian pada pentingnya meningkatkan partisipasi masyarakat dengan melakukan penelitian dengan topik-topik seputar partisipasi untuk menemukan pola dan metode meningkatkan partisipasi masyarakat pada pengelolaan DAS, baik melalui adopsi teknologi konservasi air dan tanah yang benar maupun penggunaan lahan yang ramah lingkungan.

PUSTAKA

Bellon, MR. 2001. Participatory research methods for technology evaluation: A manual for scientists working with farmers. Mexico, D.F.:CIMMYT.

Blomquist, W. and E. Schlager. 2005. Political pitfalls of integrated watershed management. Society and Natural Resources 18: 101-117.

Cornwall, A. 2008. Unpacking participation: models, meanings and practices. Community Development Journal 43 (3): 269-283.

Darghouth, S., C. Ward, G. Gambarelli, E. Styger, and J. Roux. 2008. Watershed management approaches, policies, and operations: lessons for scaling up. Water Sector Board Discussion Paper Series. Paper No 11. The World Bank, Washington, DC.

Escap. 2009. Regional trends, issues and practices in rural poverty reduction: Case studie on community participation.

Page 116: Workshop Litbang DAS 2012

78

Economic and Social Commission for Asia and the Pasific. United Nation.

FAO. 2003. Participatory watershed management. Website: www.fao.org/sd/ ruralradio/ common/ecg/24516_en_factsheet7_1.pdf. Diakses tanggal 5 September 2011.

FAO. 2006. The new generation of watershed management programmes and projects. FAO Forestry Paper.

Fernandez, E. 1993. Strategies for strengthening watershed management in tropical mountain areas. Kumpulan naskah pada: Watershed Management, Torrent and Avalanche Control, Land Rehabilitation and Erosion Control. Website: www.fao.org/forestry/docrep/wfcxi/PUBLI/PDF/V2E_T9.PDF. Diakses tanggal 19 April 2011.

German, L., W. Mazengia, S. Nyangas, J. Meliyo, Z. Adimmasu, B. Bekele, and W. Tirwomwe. 2012. Participatory integrated watershed management. Book chapter: Integrated natural resource management in the high land of Eastern Africa, from concept to practice. ICRAF and International Development Research Centre.

Johnson, N., H.M. Ravnborg, O. Westermann and K. Probst. 2001. User participation in watershed management and research. CAPRI Working Paper 19: 1-25. CGIAR Systemwide Program on Collective Action and Property Right. International Food Policy Research Institute, 2033 K Street, N.W. Washington, D.C. 20006 USA.

Nare, L., J.O. Odiyo, J. Francis dan N. Potgieter. 2011. Framework for effective community participation in water quality management in Luvuvhu catchment of South Africa. Physics and Chemistry of the Earth 36: 1063-1070.

Omari, R. 2008. Agricultural technology adoption and related policy issues in Ghana”. Paper presented at the conference on Practicing Agricultural Innovation in Africa - A Platform for

Page 117: Workshop Litbang DAS 2012

79

Action, 12th – 14th May 2008 at Movenpick Hotel Dar es Salaam, Tanzania.

Prabhakar, K., K.L. Latha and A.P. Rao. 2010. NGOs and farmer’s participation in watershed development programme in Prakasam district. Asia-Pacific Journal of Social Sciences II(1): 173-182.

Reid, J.N. 2000. Community participation, How people power brings sustainable benefits to communities. USDA Rural Development Office of Community Development.

Rhoades, R.E., and T.S. Elliot. 2000. Participatory watershed research and management: Where the shadow falls. Gatekeeper Series No.81, London: International institute for Economic Development.

Wani, S. P., H.P. Singh, T.K. Sreedevi, P. Pathak, T.J. Rego, B. Shiferaw, and S.R. Iyer. 2005. Farmer-participatory integrated watershed management: Adarsha Watershed, Kothapally India. An Innovative and Upscalable Approach. Case 7 in part 3 case example series lpart3, ICRISAT, India.

Watt, G. 1994. How far does research influence policy. Guest editorial. European Journal of Public Health 4: 233-235.

Webler, T dan S. Tuler. 2001. Public participation in watershed management planning: views on process from people in the field. Human Ecology Review 8 (2): 29-37.

Page 118: Workshop Litbang DAS 2012

90

PETA JALAN PENELITIAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DI INDONESIA1

Oleh Evi Irawan2

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: 2 [email protected]

“..Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup….” (Qur’an Surat Al-Anbiya (21):30)

ABSTRAK

Aspek kelembagaan pengelolaan DAS di Indonesia sejauh ini masih belum banyak diteliti, meskipun sebagian besar permasalahan pengelolaan DAS berakar pada masalah kelembagaan, seperti koordinasi. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan peta jalan penelitian aspek kelembagaan pengelolaan DAS di Indonesia. Dengan menggunakan kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan baru (new institutional economics) diperoleh hasil bahwa penelitian aspek kelembagaan DAS di masa depan perlu diarahkan pada penemuan inovasi kelembagaan untuk menjawab permasalahan koordinasi, inersia kelembagaan dan sistem insentif dan pembiayaan pengelolaan DAS. Kata kunci: Kelembagaan, DAS, Penelitian

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 119: Workshop Litbang DAS 2012

91

I. PENDAHULUAN Hampir semua tulisan ilmiah, pidato, atau bahkan opini surat kabar tentang daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia selalu diawali dengan kisah suram. Kondisi DAS digambarkan begitu memprihatinkan. Bukan untuk menarik minat pembaca, tetapi suatu ilustrasi nyata atas kondisi sebagian besar DAS di Indonesia saat ini. Terlepas dari berbagai kriteria dan indikator yang digunakan, catatan statistik Kementerian Kehutanan mendukung pernyataan tersebut. Jumlah DAS kritis di Indonesia memang setiap tahunnya bertambah. Selama 30 tahun terakhir (1980-2010), peningkatan jumlah DAS yang tergolong kritis meningkat hampir lima kali lipat. Jika pada tahun 1980-an terdapat 22 DAS yang masuk kategori kritis, pada tahun 2009 jumlahnya bertambah menjadi 108 buah2. Semakin bertambahnya jumlah DAS kritis secara eksplisit mengindikasikan adanya ketidaktepatan strategi pengelolaan DAS yang selama ini diterapkan. DAS pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang kompleks dan dinamis; mencakup sistem sosial, fisik, dan biologi yang saling terkait satu sama lain. Sebagai suatu sistem, gangguan pada salah satu komponennya akan mengakibatkan dampak berantai pada komponen lainnya. Kualitas interaksi sistem sosial, fisik, dan biologi pada akhirnya bermuara pada ‘kesehatan’ DAS, yang secara fisik terlihat dari besarnya erosi-sedimentasi, fluktuasi debit air sungai, dan produktivitas lahan. Namun demikian, sistem sosial yang komponen utamanya adalah manusia memegang peranan penting dalam menentukan kualitas interaksi antarsistem DAS. Manusia tidak hanya mampu mengeksploitasi sumberdaya alam, tetapi juga mampu merehabilitasinya. Meskipun sistem sosial dan ekonomi memegang peran penting, namun penelitian pengelolaan DAS di Indonesia selama ini masih sangat didominasi oleh proyek-proyek penelitian bertemakan aspek bio-fisik. Aspek sosial ekonomi, khususnya kelembagaan pada tingkat DAS, belum banyak disentuh. Fakta di lapangan

2 Data jumlah DAS kritis tahun 2009 diperoleh dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014.

Page 120: Workshop Litbang DAS 2012

92

menunjukkan bahwa kegagalan kelembagaan atau institusi pengelolaan DAS ternyata justru lebih mengemuka dibandingkan permasalahan ketersediaan teknologi konservasi tanah dan air. Ekonomi kelembagaan mendefinisikan lembaga (institusi) sebagai suatu mekanisme dan struktur sosial yang dibangun untuk mengatur perilaku manusia dan memfasilitasi koordinasi dan kerjasama antarindividu atau kelompok. Bentuknya dapat berupa seperangkat aturan formal dan informal yang sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk suatu sistem insentif yang mengatur hubungan antarindividu atau kelompok (North, 1990). North (1990) menyepadankan lembaga/institusi sebagai suatu aturan main yang memayungi berbagai interaksi antarindividu dalam suatu masyarakat. Mengacu pada pengertian ini, lembaga dalam konteks pengelolaan DAS dapat dipahami sebagai suatu tatanan atau pranata sosial yang mengatur hubungan antara pihak-pihak terkait terhadap DAS. Dengan demikian, yang menjadi fokus perhatian ekonomi kelembagaan adalah hubungan antarmanusia. Institusi sendiri tidak akan efektif tanpa adanya bangunan tata-kelola kepemerintahan (governance structures) (Hagedorn, 2008). Governance structures, seperti kontrak, jaringan, birokrasi, koperasi, atau pasar, diperlukan untuk menjamin berlakunya hak dan kewajiban yang terbentuk oleh adanya suatu institusi dan dapat digunakan dalam mengkoordinasikan transaksi yang terjadi antarindividu atau kelompok. Degradasi DAS terjadi ketika institusi dan bangunan tata-kelola kepemerintahan yang ada tidak lagi mampu beradaptasi dengan dinamika interaksi sistem sosial dan sistem alam. Namun demikian, memugar suatu institusi dan tata-kelola kepemerintahan yang telah mengakar dalam pada suatu sistem sosial bukanlah pekerjaan mudah dan mengandung banyak risiko, meskipun bukanlah hal yang mustahil. Dengan kata lain, biaya transaksi transformasi kelembagaan pengelolaan DAS bisa jadi sangat tinggi sehingga dapat menghambat proses transformasi pengelolaan DAS ke arah yang lebih tepat. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan peta jalan penelitian kelembagaan pengelolaan DAS yang sebaiknya dilakukan di masa yang akan datang.

Page 121: Workshop Litbang DAS 2012

93

II. PERKEMBANGAN STRATEGI PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA

DAS merupakan terminologi Bahasa Indonesia untuk watershed yang berasal dari Bahasa Jerman wasserscheide, suatu istilah yang sudah digunakan sejak abad ke-14 (Reimold, 1998). Di Indonesia, DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas daratnya merupakan pemisah topografis dan batas laut di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan3. Untuk mempermudah pengelolaan, satu DAS biasanya dibagi menjadi beberapa sub-DAS dan dalam setiap sub-DAS dibagi lagi menjadi dua atau lebih daerah tangkapan air atau biasa disebut dengan DAS mikro. Penggabungan dari beberapa DAS kemudian dapat membentuk satu wilayah sungai (lihat Gambar 1).

Gambar 1: Hirarki Pembagian DAS

3 Definisi ini diambil dari UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Daerah tangkapan air 1

Sub Daerah Aliran Sungai (sub DAS) 2

Daerah Aliran Sungai (DAS) 3

Satuan Wilayah Pengelolaan DAS (SWPDAS)

4

Page 122: Workshop Litbang DAS 2012

94

Hingga saat ini belum ada kesepakatan jumlah DAS yang ada di Indonesia. Menurut beberapa penulis yang bekerja di lingkungan Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa di Indonesia terdapat sebanyak 470 DAS (e.g. Anwar, 2003), sedangkan Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan sebanyak 863 DAS4. Perbedaan jumlah ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya perbedaan definisi DAS yang digunakan. Mengingat jumlah seluruh pulau di wilayah Indonesia mencapai lebih dari 17.000 dan pada setiap pulau paling sedikit terdapat lebih dari satu DAS, maka jumlah DAS di Indonesia sebenarnya bukanlah 470 atau 863 DAS, tetapi lebih dari 17.000 buah. Konsep pengelolaan DAS (watershed management) berkembang dari konsep pengendalian sungai berarus deras (torrent control) yang banyak digunakan negara-negara Eropa untuk mengatasi masalah banjir dan longsor tebing sungai (Sheng, 1999). Konsep tersebut kemudian berkembang lebih lanjut di Amerika Serikat dengan ruang lingkup yang lebih luas, mencakup perlindungan daerah tangkapan air terutama kawasan hulu (Sheng, 1999). Konsep pengelolaan DAS ‘ala‘ Amerika Serikat ini kemudian berkembang di Indonesia melalui berbagai proyek rehabilitasi DAS yang dibiayai oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dan Bank Dunia pada tahun 1970-an. Meskipun DAS dipandang sebagai suatu sistem, strategi pengelolaan DAS yang berkembang di Indonesia selama ini masih didominasi paradigma bio-fisik yang mengedepankan teknologi dan cenderung sektoral serta bias hilir (downstream bias). Sumber pendanaannya pun masih tergantung pada sumber-sumber eksternal, seperti FAO, Bank Dunia, United Nations Development

4 Berapakah jumlah DAS di Indonesia? Jawabannya sangat bervariasi. Beberapa naskah ilmiah atau populer yang ditulis rimbawan Kementerian Kehutanan umumnya menyebutkan jumlah DAS di Indonesia sebanyak 470 buah. Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum yang juga memiliki kewenangan dalam pengelolaan DAS menyebutkan bahwa keseluruhan jumlah DAS yang ada di Indonesia adalah sebanyak 863 buah. Priyo Suwarno (2011) menyebutkan jumlah DAS di Indonesia sebanyak 5.950 DAS (Tribun Kaltim, Rabu 27 September 2011). Berita Harian Suara Pembaruan edisi Selasa 16 Juni 2009 menyebutkan jumlah DAS di Indonesia sebanyak 3.245 DAS. Namun demikian, mengingat pulau-pulau yang ada di Indonesia berjumlah tidak kurang dari 17.000, maka jumlah DAS di Indonesia sedikitnya berjumlah 17.000.

Page 123: Workshop Litbang DAS 2012

95

Program (UNDP), Asian Development Bank (ADB) atau negara-negara donor, baik berupa dana hibah maupun hutang. Paradigma tersebut beimplikasi pada strategi yang digunakan dalam penyelesaian permasalahan DAS. Permasalahan degradasi lahan, misalnya, seringkali dipahami semata-mata sebagai permasalahan teknis konservasi tanah dan sebagai implikasinya pendekatan teknologi hampir selalu diandalkan untuk mengatasinya, meskipun akar masalahnya justru terletak pada ranah sosial, ekonomi, kebijakan, dan kelembagaan (Barbier, 1997). Degradasi lahan di dataran tinggi Dieng barangkali dapat dijadikan contoh. Besarnya erosi-sedimentasi tanah sebagai akibat dari usahatani kentang yang dilakukan secara intensif dan masif justru dipicu oleh berbagai kebijakan pemerintah, khususnya dalam bidang budidaya kentang, dan tidak ditegakkannya peraturan penataan ruang atau zonasi kawasan lindung. Petani kentang bukan tidak paham teknologi konservasi tanah, tetapi insentif yang ada mendorongnya pada pilihan berusahatani kentang dengan segala risikonya. Agus (2001) bahkan mensinyalir bahwa kegagalan berbagai proyek rehabilitasi lahan kritis lebih banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap permasalahan sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat pengguna lahan dibandingkan dengan permasalahan teknologi. Salah satu ciri khas strategi pengelolaan DAS berparadigma bio-fisik adalah sangat dikedepankannya pendekatan teknologi penghijauan dan konservasi tanah yang dikemas dalam satu kesatuan dengan paket insentif baik dalam bentuk natura (subsidi bahan pangan) maupun bentuk lainnya, seperti pemberian bibit tanaman keras atau subsidi upah tenaga kerja. Paket teknologi tersebut dirancangbangun oleh pihak-pihak yang dianggap ahli di bidangnya, misalnya badan penelitian dan pengembangan atau tenaga ahli konservasi tanah dan air, dengan merujuk pada permasalahan erosi-sedimentasi tanah yang terjadi di lokasi yang ditinjau dari perspektif peneliti atau birokrat pemerintah. Petani, sementara itu, diposisikan sebagai implementator seperangkat paket teknologi tersebut. Aspek kelembagaan kurang banyak disentuh, kecuali pembentukan kelompok tani yang lebih ditujukan untuk mempermudah pengorganisasian pelaksanaan berbagai kegiatan proyek termasuk diantaranya penyuluhan. Selain itu, pada tempat-tempat tertentu dibangun petak atau plot percontohan

Page 124: Workshop Litbang DAS 2012

96

(demonstration plots) usahatani konservasi yang dimaksudkan sebagai suatu contoh nyata bagi petani. Jauh sebelum dikembangkannya sejumlah proyek pengelolaan DAS yang didukung dengan dana lembaga internasional, seperti FAO dan Bank Dunia, pada dekade 1950-an pemerintah telah menggalakkan gerakan “karang kitri” yang ditujukan untuk mengembangkan sistem agroforestry pada lahan-lahan pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan sekaligus melestarikan lingkungan. Pada tahun 1960-an dikembangkan pula sejumlah proyek penghijauan untuk mengatasi lahan kritis, rehabilitasi hutan, dan memperbaiki tata air. Pekan Penghijauan Nasional bahkan dicanangkan sejak tahun 1961 dan setiap tahunnya rutin diselenggarakan hingga berakhir pada tahun 1996. Strategi dengan berbasis gerakan masyarakat juga terus dilaksanakan hingga saat ini. Pada dekade 2000-an pemerintah kembali mencanangkan beberapa gerakan penanaman pohon, seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), One Man One Tree (OMOT), dan yang terakhir One Billion Indonesian Trees (OBIT) untuk mengatasi masalah degradasi hutan dan lahan yang semakin meluas. Selain itu, pada dekade 1990-an, pemerintah bahkan mengeluarkan skim kredit usahatani konservasi DAS (KUK-DAS) dan kemudian dilanjutkan dengan skim kredit usaha hutan rakyat (KUHR). Sampai dengan bulan Mei tahun 2000, besarnya KUK-DAS dan KUHR yang disalurkan kepada masyarakat berturut-turut mencapai Rp. 47.152.000.000,- dan Rp. 94.554.433.000,-. Sejauh ini belum ada informasi yang dapat memastikan keberhasilan atau kegagalan proyek-proyek tersebut. Sebagian besar proyek tersebut pada akhirnya kurang berdampak pada percepatan adopsi teknologi konservasi tanah yang diindikasikan oleh kembalinya sebagian besar masyarakat, khususnya petani, pada praktik pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah. Perkecualian barangkali hanya dapat diberikan kepada proyek-proyek pengembangan hutan rakyat. Saat ini, di sejumlah daerah di Pulau Jawa dan Madura, seperti Wonosobo, Wonogiri, Gunung Kidul, dan lainnya, hutan rakyat telah berkembang pesat. Bahkan, beberapa di antaranya telah mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari. Namun demikian, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa hutan

Page 125: Workshop Litbang DAS 2012

97

rakyat tersebut banyak berkembang di kawasan-kawasan yang memiliki opportunity costs lahan yang rendah. Dengan dibentuknya Departemen Kehutanan pada tahun 1983, perangkat proyek pengelolaan DAS ditransformasikan menjadi organ birokrasi Departemen Kehutanan. Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan DAS (P3RPDAS) direorganisasi menjadi unit pelaksana teknis (UPT) dengan nama Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) dengan tugas pokok meliputi bidang perencanaan, pembinaan dan penyuluhan yang berkaitan dengan lingkungan, konservasi tanah dan kegiatan reboisasi di kawasan hutan perhutani. Seluruh DAS di Indonesia dibagi menjadi 21 satuan wilayah pengelolaan. Pada setiap satuan wilayah pengelolaan DAS terdapat satu BRLKT dan beberapa sub-BRLKT. Satuan wilayah pengelolaan Sub-BRLKT mencakup satu atau dua DAS. Sub-BRLKT bertanggung jawab kepada BRLKT dan BRLKT bertanggung jawab kepada Kantor Wilayah Kehutanan Provinsi. Sebagai wujud dari penerapan asas dekonsentrasi, pada tahun 1994 dibentuk dinas perhutanan dan konservasi tanah (Dinas PKT) yang merupakan organ birokrasi pemerintah daerah tingkat II atau kabupaten.

Gambar 2: Strategi dan Siklus Pengelolaan DAS di Indonesia

Transformasi proyek pengelolaan DAS menjadi organ birokrasi Departemen Kehutanan ternyata tidak diikuti dengan perubahan strategi pengelolaan DAS. Penanggulangan lahan kritis masih menjadi tujuan utama pengelolaan DAS. Demikian juga dengan strategi yang digunakan. Departemen Kehutanan menggunakan dua strategi utama, yakni gerakan penghijauan dan introduksi paket teknologi konservasi tanah. Kedua strategi tersebut dijalankan dengan mengikuti alur sekuensial siklus pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, pengorganisasi, implementasi, monitoring dan evaluasi (lihat Gambar 2). Paradigma sektoral dan

Penurunan Luas Lahan

Kritis

Gerakan Penghijauan

Paket Teknologi Konservasi Tanah

Implementasi Perenca-naan

Pengorgani-sasian

Monitoring dan Evaluasi

Page 126: Workshop Litbang DAS 2012

98

sentralistik yang digunakan selama masa proyek pengelolaan DAS semakin terkukuhkan dengan dibentuknya BRLKT dan sub-BRLKT yang merupakan UPT Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. Memasuki pertengahan dekade 1990-an, strategi pengelolaan DAS di Indonesia mulai mempertimbangkan konsep keterpaduan meskipun masih pada tahap wacana. DAS mulai dipandang sebagai suatu sistem dan, oleh karena itu, pengelolaannya pun tidak akan mungkin dapat dikerjakan oleh satu atau dua instansi saja, misalnya Departemen Kehutanan, tetapi perlu melibatkan sejumlah aktor yang berkepentingan secara langsung dengan kelestarian DAS. Di lingkup Kementerian Kehutanan sendiri, perubahan paradigma pengelolaan DAS secara eksplisit terlihat dari perubahan bentuk organisasi UPT BRLKT menjadi Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) pada tahun 2002. Meskipun demikian, paradigma pengelolaan DAS terpadu belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan karena masih terkendala banyak hal, khususnya kebijakan dan koordinasi antarinstansi dan pemerintah daerah.

III. BENTANG KELEMBAGAAN DAN BIROKRASI

PENGELOLAAN DAS: ANTARA KOMPLEKSITAS DAN KERUWETAN

Sebagai suatu bentang alam, DAS merupakan wadah bagi beragam kegiatan yang terkait dengan sumberdaya alam. Kegiatan-kegiatan tersebut secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni kegiatan yang bersifat penyediaan (provision) dan pengambilan/pemanfaatan (appropriation). Kegiatan yang bersifat provision mencakup kegiatan pelestarian, rehabilitasi, restorasi, dan pengkayaan. Berbagai kegiatan yang ditujukan untuk pemanfaatan, pemungutan, dan pemanenan atau eksploitasi aliran barang dan jasa yang dihasilkan atau yang berada pada suatu DAS merupakan kegiatan appropriation. Banyak pihak yang terkait dengan kegiatan-kegiatan tersebut. Instansi pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga tingkat kabupaten dan kota secara sengaja atau tidak, langsung maupun tidak langsung, ikut serta dalam kegiatan pengelolaan DAS. Demikian juga dengan perusahaan negara, swasta hingga petani.

Page 127: Workshop Litbang DAS 2012

99

Masing-masing pihak memiliki kewenangan, kepentingan, hak dan kewajiban yang seringkali tumpah tindih atau bahkan saling bertentangan. Karena DAS merupakan suatu sistem, maka kegiatan yang dilakukan oleh satu pihak dengan sendirinya akan berdampak pada pihak lain, baik disadari atau tidak. Dampak tersebut bisa positif atau negatif. Atas fakta tersebut, selain sebagai suatu bentang alam, suatu DAS sebenarnya juga merupakan suatu bentang kelembagaan dan birokrasi. Banyaknya ragam kegiatan yang terjadi dan pihak-pihak yang terlibat berimplikasi pada munculnya bermacam sistem kelembagaan pada suatu DAS. Degradasi DAS kemungkinan besar akan terjadi ketika sistem-sistem kelembagaan yang ada tersebut tidak koheren satu dengan yang lain.

Gambar 3: Daerah Aliran Sungai dan Batas Administrasi

Pada tataran praktis, ranah pengelolaan DAS di Indonesia secara umum merupakan pengelolaan sumberdaya lahan dan air yang ditujukan untuk mempertahankan atau meningkatkan daya dukung lingkungan atau pengelolaan stok sedemikian rupa sehingga mampu menjamin pemanfaatan aliran sumberdaya secara lestari. Pengelolaan sumberdaya lahan (SDL) sejauh ini masih difokuskan pada kawasan hulu dan tengah DAS, sedangkan pengelolaan sumberdaya air (SDA) banyak dilakukan pada kawasan hilir. Terdapat garis demarkasi imajiner yang membagi secara tegas

Hulu

Hilir

Page 128: Workshop Litbang DAS 2012

100

pengelolaan lahan dan air. Kegiatan pengelolaan SDL pada umumnya berupa rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi tanah yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas lahan, mengurangi erosi-sedimentasi, mengurangi limpasan permukaan dan memperbesar infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Pengelolaan SDA, sementara itu, lebih ditujukan untuk pengelolaan jaringan irigasi, pengendalian banjir dan kekeringan, serta pengelolaan air untuk keperluan pembangkitan energi dan transportasi. Pembagian ranah pengelolaan sangat jelas terlihat jika dihubungkan dengan pembagian kewenangan dan tanggung jawab diantara instansi pemerintah yang ditugaskan mengurus pengelolaan SDL dan SDA. Meskipun sekilas terlihat sederhana, implementasi pengelolaan DAS sebenarnya sangatlah kompleks dan rumit sehingga menuntut kelembagaan yang sesuai dengan kompleksitas dan kerumitan tersebut. Sebagai ilustrasi atas kompleksitas pengelolaan DAS, pada Gambar 3 dipaparkan peta DAS yang ditumpangsusunkan dengan batas administrasi pemerintah daerah. Tampak di sini batas DAS tidak bersesuaian dengan batas administrasi. Ketidaksesuaian batas tersebut disebabkan oleh perbedaan rasionalitas yang mendasari penetapannya. Batas administrasi pemerintahan merupakan wujud dari rasionalitas politik dan administrasi publik yang seringkali merujuk pada kesamaan ideologi, etnisitas, sejarah dan lain sebagainya. Batas DAS, sementara itu, merupakan rasionalitas hidrologis atas fakta aliran air yang mengikuti kontur topografi dan menyatu pada suatu titik atusan (outlet) yang sama. Ketidaksesuaian tersebut berimplikasi pada rumitnya pengelolaan DAS, khususnya koordinasi. Kerumitan pengelolaan akan semakin bertambah jika aspek-aspek lainnya, seperti rezim property rights, jurisdiksi instansi sektoral, jaringan kebijakan, peraturan, perundang-undangan dan lain-lain, turut diperhitungkan. Kelestarian DAS mensyaratkan koherensi dari sistem-sistem kelembagaan yang berkembangan pada suatu DAS sedemikian rupa sehingga mewujud dalam suatu keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu hingga hilir. Keterpaduan tersebut hanya mungkin dicapai jika koordinasi berjalan dengan baik. Namun demikian, koordinasi bukanlah suatu hal yang mudah dicapai dan sederhana dalam penerapannya, khususnya pada suatu sistem yang memiliki kompleksitas tinggi, seperti DAS.

Page 129: Workshop Litbang DAS 2012

101

Kompleksitas DAS perlu untuk tidak diasosiasikan dengan keruwetan, karena dapat berimplikasi pada pengembangan sisitem kelembagaan yang berpandangan sempit, misalnya sektoral, dan inkoheren. Kompleksitas merujuk pada suatu jalinan relasional yang melibatkan banyak simpul, tetapi membentuk suatu keteraturan yang menuju pada suatu tujuan. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan tubuh manusia yang di dalamnya terdapat sejumlah sistem, seperti sistem peredaran darah, syaraf, pencernaan, pernafasan dan lain-lain. Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang derajat kompleksitasnya sangat tinggi, tetapi membentuk suatu keteraturan sedemikian rupa sehingga tubuh manusia tersebut dapat tumbuh dan berkembang dalam keseimbangan. Keruwetan, di lain pihak, merujuk pada suatu kekacauan atau dengan kata lain, suatu jalinan yang kompleks, tetapi tidak mengarah pada suatu keteraturan. Pengembangan kelembagaan DAS sudah semestinya memperhatikan kompleksitas tersebut dan memastikan bahwa kelembagaan yang dikembangkan tidak mendorong pada munculnya keruwetan pengelolaan DAS. Hal tersebut kemungkinan besar akan dapat dicapai jika proses pembangunan dan pengembangan kelembagaan DAS merujuk pada hasil-hasil penelitian kelembagaan yang telah teruji secara empiris.

IV. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

KELEMBAGAAN DAS Dari sudut pandang ekonomi kelembagaan, degradasi DAS merupakan wujud dari ketidaksesuaian antara institusi beserta bangunan tata-kelola kepemerintahannya dengan karakteristik transaksi yang terjadi di pengelolaan DAS. Dengan kata lain, sistem insentif yang dibentuk oleh institusi dan diejawantahkan oleh tata-kelola kepemerintahan belum mampu menjadikan kegiatan-kegiatan yang bersifat pelestarian DAS sebagai alternatif pilihan yang menguntungkan. Sebagai akibatnya, rasionalitas individu tidak lagi sejalan dengan rasionalitas kolektif dan akhirnya bermuara pada kegagalan kolektif dalam menjamin kelestarian DAS. Kegagalan kolektif yang berkelanjutan yang pada akhirnya membentuk suatu lingkaran setan yang semakin menguat dan sulit dicari pemecahannya.

Page 130: Workshop Litbang DAS 2012

102

Pelajaran utama dari teori-teori ekonomi kelembagaan adalah bahwa terdapat banyak cara yang dapat digunakan untuk mengelola DAS. Masing-masing cara tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Untuk itu pemilihan sistem kelembagaan yang sesuai kondisi sosial ekonomi dan biofisik DAS merupakan hal yang krusial. Sistem kelembagaan yang dapat berjalan dengan baik pada suatu DAS belum tentu dapat diterapkan pada DAS yang lain. Tidak ada sistem kelembagaan generik yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan. Sistem kelembagaan cenderung bersifat kontekstual dan spesifik lokasi serta karakteristik transaksi yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Namun demikian, dalam khasanah penelitian kelembagaan terdapat sejumlah kerangka konseptual yang dapat dijadikan rujukan dalam melakukan analisis kelembagaan, dua diantaranya adalah kerangka konseptual yang dikembangan Williamson (1996) atau kerangka analisis kelembagaan dan pembangunan (IAD framework) yang dikembangkan oleh Ostrom (2011). Wiliamson (1996) menekankan bahwa kajian kelembagaan cenderung berada pada ranah tata-aturan kelembagaan atau lingkungan kelembagaan (institutional environment) dan keorganisasian (institutional arrangement). Pada ranah tata-aturan kelembagaan, penelitian kelembagaan berfokus pada “aturan main”, khususnya aturan-aturan formal yang dianut sebagai suatu tatanan pada suatu masyarakat. Di sini, teori kelembagaan yang digunakan sebagai alat analisis biasanya terkait dengan teori ekonomi property rights. Pada ranah keorganisasian, sementara itu, penelitian kelembagaan difokuskan pada masalah efisiensi organisasi transaksi dengan asumsi tata-aturan kelembagaan tertentu. Kriteria pilihan organisasi transaksi ditentukan oleh efisiensi biaya transaksi. Kerangka kelembagaan yang dikembangkan oleh Ostrom (2011) lebih memfokuskan pada dampak aturan main yang dikombinasikan dengan karakteristik bio-fisik sumberdaya dan sosial ekonomi masyarakat terhadap interaksi antar pihak-pihak terkait dalam suatu situasi tertentu sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu luaran tertentu, misalnya degradasi lahan atau kelestarian DAS. Kerangkan IAD yang dikembangkan Ostrom (2005) mencakup hubungan timbal balik antara berbagai komponen pembentuk kelembagaan. Implikasinya adalah bahwa sistem kelembagaan merupakan

Page 131: Workshop Litbang DAS 2012

103

sistem terbuka dan dinamis yang berkembang sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi masyarakat. Merujuk pada uraian pengelolaan DAS di Indonesia yang dipaparkan pada Seksi 2 dan 3, beberapa tantangan kelembagaan pengelolaan DAS yang dihadapi saat ini maupun di masa depan adalah sebagai berikut: 1. Koordinasi

Kelestarian DAS sangat terkait dengan metode pengelolaan yang digunakan. Seperti telah dijelaskan pada seksi 2, kelestarian DAS mensyaratkan adanya keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu hingga hilir. Mengingat banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan DAS, maka koordinasi menjadi hal yang krusial. Dalam hal ini koordinasi tidak sekadar pada aras kebijakan atau tingkat instansi pemerintah semata, tetapi juga mencakup koordinasi pada tingkat masyarakat. Dengan demikian sistem kelembagaan yang dibangun semestinya mampu mendorong terjadinya koordinasi antarinstansi, antarmasyarakat, antarindividu dan bahkan antarnegara dalam hal pengelolaan DAS mulai dari perencanaan hingga pemantauan dan evaluasi. Dinamika mayarakat yang terus berkembang menjadikan problematika kelembagaan juga akan terus berubah. Implikasinya bagi penelitian kelembagaan adalah perlunya mencari inovasi-inovasi kelembagaan yang mampu mendorong koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS.

2. Inersia Kelembagaan Sebagai suatu struktur sosial, sistem kelembagaan pada suatu masyarakat dibangun dan dibentuk sesuai dengan kondisi dan situasi pada masanya. Namun demikian, akibat dari perkembangan teknologi yang demikian cepat, perubahan sosial masyarakat juga terjadi sangat cepat. Sebagai akibatnya adalah bahwa beberapa sistem kelembagaan yang telah berkembang dan mengakar di masyarakat tidak lagi relevan dengan perubahan situasi. Dampaknya terlihat pada degradasi lahan, peningkatan polusi, dan lain-lain. Barbier (2011) berpendapatan bahwa kegagalan transisi kelembagaan lama ke kelembagaan baru yang sesuai dengan kondisi mutakhir sosial ekonomi masyarakat dan tuntutan kelestarian

Page 132: Workshop Litbang DAS 2012

104

lingkungan seringkali justru terkendala oleh besarnya biaya transaksi. Sebagai konsekuensinya, masyarakat terjebak pada struktur kelembagaan lama yang tidak lagi relevan dan justru semakin memperparah kerusakan lingkungan sebagai akibat dari ketidaksesuaian antara institusi dan situasi. Penelitian kelembagaan ke depan akan dihadapkan tantangan untuk menemukenali dan sekaligus merancangbangun suatu sistem kelembagaan DAS yang fleksibel terhadap perubahan situasi dan sekaligus tetap mendorong tindakan-tindakan masyarakat yang mengarah pada kelestarian lingkungan.

3. Sistem insentif dan pembiayaan pengelolaan DAS Pengelolaan DAS merupakan salah satu contoh klasik theorema Coase, dimana eksternalitas kegiatan masyarakat di kawasan hulu terhadap masyarakat di kawasan hilir. Eksternalitas sendiri merupakan wujud dari kegagalan pasar. Kegagalan pasar adalah suatu kondisi dimana mekanisme pasar tidak mampu mengalokasi sumberdaya secara efisien. Dalam konteks pengelolaan DAS, kegagalan pasar dapat diartikan sebagai ketidakmampuan pasar dalam merefleksikan nilai ekonomi lingkungan dari suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan sumberdaya alam pada suatu DAS. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan antara biaya sosial dan biaya privat sebagai akibat dari adanya eksternalitas, baik yang bersifat positif maupun negatif. Eksternalitas adalah keuntungan atau kerugian yang dinikmati atau diderita pelaku ekonomi sebagai akibat tindakan pelaku ekonomi yang lain, tetapi tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan biaya secara normal. Sebagai bentang alam, DAS merupakan sumberdaya berupa stock yang bercirikan common pool resource. Dengan demikian, pengelolaan DAS dihadapkan pada masalah biaya eksklusi dan substraktibilitas yang tinggi. Kedua karakteristik ini akan menghadapkan pengelolaan DAS pada masalah “penumpang gelap (free rider)”, dalam arti bahwa pihak-pihak yang tidak berkontribusi dapat ikut menikmatinya. Tanpa adanya suatu mekanisme kelembagaan yang tepat, DAS bisa berada pada rezim terbuka (open-access) yang cenderung mengarah pada tragedi kerusakan DAS yang tidak akan mungkin terpulihkan.

Page 133: Workshop Litbang DAS 2012

105

V. KESIMPULAN Pengelolaan DAS di Indonesia masih terbebani dengan permasalahan kelembagaan. Banyak proyek pengelolaan yang berakhir gagal karena kurangnya perhatian terhadap masalah kelembagaan. Dengan menggunakan paradigma ekonomi kelembagaan baru (new institutional economics) diperoleh hasil bahwa penelitian aspek kelembagaan DAS di masa depan perlu diarahkan pada penemuan inovasi kelembagaan untuk menjawab permasalahan koordinasi, inersia kelembagaan dan sistem insentif dan pembiayaan pengelolaan DAS. DAFTAR PUSTAKA Agus, F., 2001. Selection of Soil Conservation Measure in the

Indonesian Regreening Program, in: Stott, D.E., Mohtar, R.H., Steinhardt, G.C. (Eds.), Sustaining the Global Farm. Presented at the The 10th International Soil Conservation Organization Meeting, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion Research Laboratory, pp. 198–202.

Anwar, S., 2003. Watershed Management in Indonesia, in:

Achouri, M., Tennyson, L., Uppadhyay, K., White, R. (Eds.), Preparing for The Next Generation of Watershed Management Programmes and Projects. Presented at the The Asian Regional Workshop, Food and Agriculture Organization, Kathmandu, Nepal, pp. 93–103.

Barbier, E., 1997. The Economic Determinants of Land

Degradation in Developing Countries. Philosophical Transactions of the Royal Society 352, 891–899.

Barbier, E., 2011. Transaction Costs and the Transition to

Environmentally Sustainable Development. Environmental Innovation and Societal Transitions 1, 58–69.

Hagedorn, K., 2008. Particular Requirements for Institutional

Analysis in Nature-Related Sectors. European Review of Agricultural Economics 35(3), 357-384.

Page 134: Workshop Litbang DAS 2012

106

North, D., 1990. Institutions, Institutional Change and Economic

Performance. Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Ostrom, E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princenton

University Press. Princenton, USA. Ostrom, E., 2011. Background on the Institutional Analysis and

Development Framework. Policy Studies Journal 39, 7–27. Reimold, R.J., 1998. Watershed Management: Practices, Policies

and Coordination. McGraw-Hill Professional, New York, USA.

Sheng, T.C., 1999. Important and Controversial Watershed

Management Isues in Developing Countries, in: Stott, D.E., Mohtar, R.H., Steinhardt, G.C. (Eds.), Sustaining the Global Farm. Presented at the The 10th International Soil Conservation Organization, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion Research Laboratory, pp. 49–52.

Williamson, O.E., 1996. The Mechanims of Governance. Oxford

University Press, USA.

Page 135: Workshop Litbang DAS 2012

107

TEKNOLOGI KONSERVASI AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh : Tyas Mutiara Basuki2

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: [email protected]

ABSTRAK

Permasalahan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi karakter alami dari DAS dan juga sistem pengelolaannya. Karakter alami DAS yang bersifat permanen seperti curah hujan, bentuk DAS, geomorfologi, geologi, kelerengan lahan secara makro, maupun jenis tanah sulit diubah. Pada DAS yang mempunyai karakter alami yang kurang baik, maka peran manajemen akan sangat penting untuk mengurangi dampak negatif dan mengurangi resiko kerusakan yang diakibatkannya. Untuk dapat mendukung pengelolaan DAS yang tepat sesuai dengan karakter alaminya, maka diperlukan beberapa teknologi pendukungnya. Dalam paper ini diuraikan beberapa masalah yang dihadapi dalam tata air DAS dan upaya-upaya yang diperlukan untuk memperbaiki tata air serta penelitian pendukung yang diperlukan.

Kata Kunci: DAS, konservasi, tata air, karakter alami

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 136: Workshop Litbang DAS 2012

108

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau dan terjadinya banjir pada musim penghujan merupakan salah satu masalah dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kurangnya air di musim kemarau tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan industri dan pertumbuhan tanaman, namun juga untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga. Timbulnya permasalahan seperti yang disampaikan di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor atau karakter alami dari DAS dan metode pengelolaannya. Faktor-faktor yang tidak dapat diubah seperti curah hujan, bentuk DAS, geomorfologi, geologi, kelerengan lahan secara makro, dan jenis tanah merupakan bentukan alam. Jika faktor-faktor yang relatif permanen tersebut mempunyai karakter negatif seperti lereng yang curam, tidak dibarengi dengan pengelolaan DAS yang tepat maka akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, termasuk kerusakan tata air DAS dan penurunan produktivitas lahan. Karakter alami biofisik tidak secara individual mempengaruhi kondisi DAS, namun faktor-faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap lingkungan ditentukan oleh aspek manajemennya. Ditinjau dari sisi manajemen, kerusakan tata air suatu DAS sangat ditentukan oleh kemampuan penggunaan lahannya atau secara lebih luas tata ruang wilayahnya. Selain tata guna lahan, pemilihan kesesuaian jenis tanaman yang diusahakan juga berpengaruh terhadap kondisi neraca air DAS. Perubahan tutupan lahan hutan menjadi areal pertambangan, pemukiman, pertanian, perkebunan ataupun konversi suatu jenis ke jenis lain akan merubah fungsi hidroorologis hutan. Perubahan jenis daun lebar ke daun jarum kemungkinan juga akan dapat merubah hasil air (Komatsuet al., 2008). Konversi hutan menjadi perkebunan karet juga akan mengurangi hasil air melalui tingginya evapotransiprasi tanaman karet (Guardiola-Claramonte et al., 2010) dan juga mengurangi sumber air bawah permukaan tanah (Guardiola-Claramonte et al., 2008). Tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, walaupun merupakan tanaman tahunan namun karena penanamannya

Page 137: Workshop Litbang DAS 2012

109

secara monokultur maka diperkirakan akan mengubah kondisi tata air maupun mengubah biodiversitas areal sekitarnya. Oleh karena konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang beberapa tahun terakhir marak dilakukan maka sudah saatnya dilakukan penelitian yang berkaitan dengan kebutuhan air tanaman sawit maupun jenis-jenis yang diusahakan untuk hutan tanaman. Kerusakan tata air DAS juga disebabkan oleh terjadinya erosi sebagai akibat interaksi antara curah hujan, sifat-sifat tanah, lereng, vegetasi, dan pengelolaan tanah (Rahayuet al., 2009). Terjadinya erosi yang terus menerus akan menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang banyak mengandung bahan organik. Hilangnya bahan organik ini akan menyebabkan kemampuan tanah dalam menahan dan menginfiltrasikan air ke lapisan tanah yang lebih dalam terganggu. Erosi dan juga pemakaian alat-alat berat akan memadatkan tanah yang selanjutnya jika terjadi hujan maka air akan menjadi limpasan permukaan. Dalam upaya mewujudkan pengelolaan DAS yang tepat terutama untuk pemenuhan kebutuhan air, maka harus didukung teknologi konservasi air yang sesuai dengan kondisi biofisik wilayahnya. Untuk itu diperlukan hasil-hasil penelitian teknologi konservasi air yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memutuskan kebijakan yang akan diterapkan. Pada prinsipnya konservasi air adalah upaya efisiensi penggunaan air yang jatuh ke tanah dan pengaturan waktu yang tepat sehingga tidak menimbulkan banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau (Subagyono et al., 2004). B. Permasalahan Selain karakter alami DAS yang sulit diubah, permasalahan yang dihadapi dalam tata air DAS adalah: a. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya

Lahan yang penggunaaanya tidak sesuai dengan daya dukungnya akan mengakibatkan kerusakan linngkungan. Sebagai contoh pada lahan-lahan dengan kemiringan curam

Page 138: Workshop Litbang DAS 2012

110

yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan, namun digunakan untuk budidaya tanaman semusim dengan pengolahan tanah yang intensif akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan yang terjadi tidak hanya menyebabkan erosi, limpasan permukaan, penurunan kemampuan tanah dalam menyimpan air, namun juga penurunan produktivitas lahan. Pemukiman pada areal yang berlereng juga akan menyebabkan lahan tidak mempunyai kesempatan untuk meresapkan air hujan ke lapisan tanah yang lebih dalam yang nantinya akan dapat dialirkan pada musim kemarau sebagai aliran dasar (base flow).

b. Pemilihan jenis tanaman yang kurang sesuai dengan kondisi

biofisik Penanaman dalam upaya reboisasi, rehabilitasi dan

konservasi lahan juga harus memperhatikan kesesuaian jenis. Ketepatan pemilihan jenis yang berkaitan kondisi iklim maupun dengan sifat-sifat fisik tanah penting diperhatikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal. Penanaman jenis-jenis yang banyak mengkonsumsi air pada daerah dengan curah hujan rendah justru akan menimbulkan bencana kekeringan.

c. Kurangnya tindakan konservasi bahan organik/seresah

sebagai spon penyimpan air Seresah terutama yang sudah melapuk merupakan sumber

carbon (C) organik tanah yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan memperbaiki sifat-sifat tanah. Seresah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan yang jatuh yang mempunyai energi untuk memecah agregasi tanah sehingga memudahkan terjadinya erosi dan limpasan permukaan. Fungsi lain yang tidak kalah penting dari seresah yang sudah lapuk adalah sebagai spon yang dapat menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah. Pada lahan-lahan walaupun ditanami tanaman kayu-kayuan atau hutan tanaman, namun jika permukaan tanah di bawahnya bersih tanpa seresah maka air hujan yang jatuh melalui tajuk pohon masih mempunyai energi yang besar yang dapat memecah agregasi struktur

Page 139: Workshop Litbang DAS 2012

111

tanah dan menimbulkan erosi. Air hujan yang jatuh juga tidak dapat ditahan dan akan menjadi limpasan permukaan. Oleh karena itu penanaman tanaman tahunan saja tanpa memperhatikan tutupan permukaan tanahnya juga tidak menjamin lahan terbebas dari erosi dan menjamin ketersediaan air DAS pada musim kemarau.

C. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk memberikan arah dalam perencanaan kegiatan penelitian ”Teknologi Konservasi Air Pendukung Pengelolaan DAS” pada Balai Penelitian Teknologi Kehutanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. II. KONSERVASI AIR DAN DASAR HUKUM TERKAIT Dasar hukum baik yang berupa undang-undang maupun peraturan harus dipertimbangkan dalam menyusun perencanaan penelitian. Hal ini diperlukan agar kegiatan penelitian yang akan dilaksanakan sesuai dengan rencana pembangunan dan hasilnya dapat digunakan sebagai tumpuan dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan. Payung hukum yang berkaitan dengan pengertian dan tujuan konservasi air dimuat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air. Dalam UU RI tersebut dinyatakan bahwa salah satu cara untuk melindungi atau konservasi sumberdaya air adalah dengan penerapan teknik konservasi air. Dalam PP-RI Nomor 42 Tahun 2008 dinyatakan bahwa ”Konservasi atau pengawetan air adalah upaya pemeliharaan keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air agar tersedia sesuai dengan fungsi dan manfaatnya”. Tujuan konservasi tanah adalah untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya (Pasal 22, Ayat 1, UU No.7 Tahun 2004).

Page 140: Workshop Litbang DAS 2012

112

Dalam upaya konservasi air, peranan hutan sangat penting, hal ini juga dituangkan dalam Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU RI ini pada BAB II tentang status dan fungsi hutan Pasal 9 disebutkan bahwa hutan mempunyai fungsi untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah RI No.76 Tahun 2008, Pasal 36, Ayat 3 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan disebutkan bahwa dalam rehabilitasi kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dilaksanakan dengan ketentuan bahwa jenis yang ditanam harus sesuai dengan fungsi hidroorologis dan sejauh mungkin menghindari penanaman jenis-jenis eksotis. Kegiatan rehabilitasi, konservasi lahan serta konservasi air seperti yang dimaksud dalam undang-undang ataupun peraturan-peraturan tersebut di atas pada dasarnya merupakan upaya untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.yang merupakan tujuan dalam pengelolaan DAS seperti yang dituangkan dalam PP RI No. 37 Tahun 2012. III. BEBERAPA PENELITIAN YANG TELAH DAN SEDANG

DILAKUKAN

Dalam upaya mendukung pengembangan jenis-jenis yang sesuai dengan kondisi iklim terutama curah hujan, peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah dan sedang melaksanakan kegiatan penelitian yang berkaitan dengan evapotransirasi ataupun kebutuhan air suatu jenis yang meliputi:

1. Konsumsi air pada tegakan sengon, kayu putih, nyamplung, mahoni, kayu putih, dan eukaliptus.

2. Evapotranpirasi pada berbagai jenis dengan hasil seperti yang tercantum dalam Tabel 1.

3. Hasil air dari DAS dengan berbagai persentase luas penutupan hutan jati dan pinus.

Page 141: Workshop Litbang DAS 2012

113

Tabel 1. Nilai evapotranspirasi pada berbagai jenis tegakan Sumber

Jenis pohon

Lama

penelitian (tahun)

Curah hujan (mm)

Nilai ET (% dari hujan)

Pudjiharta (1986)

Pinus merkusii Eucalyptus urophylla Shcima walichii

1 – 8 1 – 8 1 - 8

3056 3056 3056

36,9 22,9 57,7

Pudjiharta dan Pramono (1988) dalam RLPS (2009)

Calliandra calothyrsus Acacia decuren Acacia excelsa

1 – 3 1 – 3 1 - 3

3402 3402 3402

44,0 46,0 42,0

Pudjiharta (1991)

Acacia mangium Shorea pinanga Dalbergia latifolia

1 – 4 1 – 4 1 - 4

3465 3465 3465

68,8 33,3 41,7

Pudjiharta dalam RLPS (2009)

Eucalyptus deglupta Eucalyptus alba Eucalyptus trianta

1 – 3 1 – 3 1 – 3

3136 3136 3136

52,9 52,4 53,4

Pudjiharta (1994)

1. Penraria javanica 2. Calopogonium

mucunoides 3. Flemingia congesta 4. Campuran (1+2) 5. Campuran (2+3)

1 1 1 1 1

3092 3092 3092 3092 3092

49,3 55,8 53,7 64,0 68,0

Pudjiharta (1995)

1. Lantana camara 2. Sacharum

spontaneum 3. Andropogon

muricatus 4. Themeda gigantea 5. Campuran

(1+2+3+4)

1 1 1 1 1

2755 2755 2755 2755 2755

58,0 60,5 62,4 66,5 61,5

Sumber: Ditjen RLPS (2009)

IV. STRATEGI KONSERVASI AIR DAN KEGIATAN PENELITIAN YANG DIPERLUKAN

A. Strategi konservasi air Strategi konservasi air ditujukan untuk peningkatan masuknya air hujan ke dalam tanah dan pengurangan kehilangan air melalui limpasan permukaan serta melalui evaporasi. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa penerapan teknologi konservasi tidak bisa digeneralisasi. Penerapan metode konservasi air harus

Page 142: Workshop Litbang DAS 2012

114

disesuaikan dengan karakter alami lahan/DASnya. Menurut Subagyono et al. (2004), faktor pembatas yang harus dipertimbangkan dalam teknik konservasi air yang akan diterapkan meliputi iklim terutama curah hujan, lereng, kedalaman efektif tanah dan tekstur tanah. Konservasi air pada daerah bercurah hujan tinggi dimaksudkan untuk menampung air hujan agar tidak hilang menjadi limpasan permukaan dan menyebabkan banjir serta untuk penyediaan air pada musim kemarau. Untuk daerah yang beriklim kering atau curah hujan rendah, konservasi air ditujukan terutama untuk mengurangi evaporasi dan memanen air hujan yang nantinya akan digunakan pada musim kemarau.

Oleh karena itu untuk meminimalkan dampak negatif dari faktor-faktor permanen terhadap ketersediaan air, diperlukan sistem pengelolaan yang sesuai dengan kondisi biofisik DAS dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu upaya konservasi air harus ditekankan kepada:

a. Peningkatan kemampuan tanah dalam menyimpan air dimusim penghujan dan mengalirkannya sesuai ruang dan waktu

b. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya c. Pemilihan jenis untuk rehabilitasi lahan-lahan kritis ataupun

penghijaun harus disesuaikan dengan kondisi biofisik, terutama pemenuhan kebutuhan air

d. Pengendalian evaporasi dan pemeliharaan kelembaban tanah, baik dengan seresah/mulsa ataupun tumbuhan penutup tanah.

e. Pemanenan air (water harvesting), baik dengan rorak, embung, mulsa vertikal maupun saluran peresapan. Pemanenan air dengan menggunakan embung banyak diterapkan di daerah-daerah dengan curah hujan rendah (Previati et al., 2010; Widiyono, 2008)

f. Peningkatan efisiensi penggunaan air B. Kegiatan penelitian konservasi air pendukung

pengelolaan DAS

Konservasi air sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan juga masyarakat. Dengan semakin bertambahnya penduduk, cepatnya perubahan penggunaan lahan dan kemungkinan terjadi pergeseran iklim jika tidak dibarengi

Page 143: Workshop Litbang DAS 2012

115

upaya konservasi air maka akan mengacaukan distribusi air sesuai dengan ruang dan waktu. Perubahan tutupan lahan hutan menjadi pertambangan sudah sangat jelas menghilangkan fungsi tanah dalam meresapkan, menyimpan dan mengalirkan air secara alami. Oleh karena areal pertambangan sudah mengubah kondisi ekologi hutan, lahan menjadi benar-benar terbuka, panas dan gersang, dan ketiadaan lapisan tanah atas maka diperlukan jenis-jenis yang tahan kekeringan dan tingkat konsumsi air yang rendah.

Perubahan hutan menjadi areal perkebunan seperti kelapa sawit, kemungkinan besar juga akan mengubah tata air. Sistem monokultur dalam penanaman kelapa sawit amat berbeda dengan ekologi hutan sebelum dikonversi. Stratifikasi tajuk dalam ekosistem hutan memungkinkan air hujan yang jatuh akan menyebabkan energinya berkurang setelah sampai di permukaan tanah. Selain itu, akar vegetasi dan seresah pada lantai hutan mempunyai peranan besar dalam menahan dan meresapkan air hujan ke lapisan yang lebih dalam. Iklim mikro terutama suhu udara juga akan berubah sebagai akibat penanaman sistem monokultur. Oleh karena itu penelitian kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit berikut kharakteristik biofisik lingkungannya (temperatur udara, ketersediaan air tanah, neraca air ) sangat diperlukan.

Mengingat perubahan tutupan lahan mempunyai sifat temporal dan spatial, maka penggunaan data dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Gographic Information System (GIS) sangat diperlukan. Penelitian “on site” seperti dengan plot atau lisimeter memang diperlukan untuk mendapatkan data awal kebutuhan air suatu jenis tanaman. Namun penelitian yang berskala lebih luas dalam suatu mikro DAS/sub-DAS ataupun DAS juga diperlukan, karena kebutuhan air suatu jenis secara individu dalam suatu lisimeter kemungkinan berbeda dengan kebutuhan air dan simpanan air dalam tanah pada skala yang lebih luas. Pertumbuhan dan kebutuhan air suatu jenis tanaman dalam skala luas yang akan ditanam secara monokultur maupun campuran diduga berbeda, mengingat terjadi persaingan di dalam jenis ataupun antar jenisnya.

Page 144: Workshop Litbang DAS 2012

116

Penggunaan penginderaan jauh tidak hanya untuk memonitor dan memetakan perubahan penggunaan lahan. Namun penelitian harus lebih ditekankan kepada penemuan-penemuan metode untuk mengakses data hidrologi dari citra satelit ataupun pesawat udara yang lebih mendekati pengukuran secara langsung di lapangan. Jika akurasi parameter hidrologi dari data citra cukup tinggi, maka metode yang diperoleh bisa digunakan untuk mengakses parameter-parameter hidrologi pada lokasi-lokasi yang sulit dijangkau secara langsung di lapangan. Beberapa parameter biofisik yang berkaitan dengan aspek hidrologi-iklim yang dapat diakses dari citra adalah data suhu permukaan lahan yang dapat diakses dari termal infra-red band (French, et al., 2008; Schugge, et al., 2002), kelembaban tanah untuk daerah yang vegetasinya jarang yang dapat diakses dari daerah “microwave spectrum” (Mohanty and Skaggs, 2001; Schugge, et al., 2002), hujan dari reflektivitas radar (Krajewski and Smith, 2002; Marx, et al., 2006), dan evapotranspirasi (French,and Inamdar, 2010; Yang, et al., 2010). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu metode untuk mengakses data melalui remote sensing adalah tingkat ketelitian dan hal ini perlu dilakukan validasi dengan data independen sebelum metode tersebut diaplikasikan secara luas.

Berdasarkan permasalahan dalam pengaturan tata air DAS maupun penelitian-penelitian yang telah dilakukan serta peluang pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh dan GIS seperti yang telah disampaikan sebelumnya maka perlu dilakukan beberapa kegiatan penelitian konservasi air. Beberapa kegiatan penelitian yang diusulkan beserta tata waktunya disajikan dalam Tabel 2.

Page 145: Workshop Litbang DAS 2012

117

Tabel 2. Tata waktu kegiatan penelitian yang berkaitan dengan konservasi air

Tahun 2013-2014 Tahun 2015-2019 2019-2024

Konsumsi air jenis-jenis tanaman kehutanan selain yang tersebut di atas (Bab III) dan tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet) dengan pendekatan plot/lisimeter ataupun mikro DAS.

a. Konsumsi dan hasil air dari hutan tanaman dan perkebunan dengan sistem tanam monokultur atau sistem agroforestri dengan pendekatan mikro DAS.

a.Estimasi evapotranspirasi ataupun pemodelan kebutuhan air tanaman dengan menggunakan data dari penginderaan jauh

b.Metode efisiensi penggunaan air (misalnya pruning) dan pola pemanfaatan aliran permukaan dalam sistem agroforestri

b. Neraca air hutan tanaman pada berbagai panjang rotasi

c. Metode pemanenan air untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman di daerah dengan curah hujan reñdah.

d. Metode penyiapan lahan untuk memelihara kelembaban tanah guna mendukung pertumbuhan tanaman.

Page 146: Workshop Litbang DAS 2012

118

V. PENUTUP Agar pengelolaan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan air berhasil, maka diperlukan hasil-hasil penelitian konservasi air yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan. Agar kebutuhan air terpenuhi, penerapan teknik konservasi air harus sesuai dengan karakter spesifik DAS seperti curah hujan, geomorfologi, geologi, lereng, sifat tanah serta kebutuhan air tanaman. Penggunaan metode remote sensing dalam mengakses beberapa parameter biofisik harus memperhatikan tingkat akurasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS)., 2009. Pedoman monitoring dan evaluasi daerah aliran sungai.

French, A.N., Schmugge, T.J., Ritchie, J.C., Hsu, A., Jacob, F. and

Ogawa, K. 2008. Detecting land cover change at the Jornada Experimental Range, New Mexico with ASTER emissivities. Remote Sensing of Environment, 112: 1730 –1748.

French, A. N., Inamdar, A.. 2010. Land cover characterization for

hydrological modelling using thermal infrared emissivities. International Journal of Remote Sensing 31(14): 3867 – 3883.

Guardiola-Claramonte, M., Troch, P.A., Ziegler, A.D., Giambelluca,

T.W., Vogler, J.B., Nullet, M.A. 2008. Local hydrologic effects of introducing non-native vegetation in a tropical catchment. Ecohydrology 1: 13 – 22.

Guardiola-Claramonte, M., Troch, P.A., Ziegler, A.D., Giambelluca,

T.W., Durcik, M., Vogler, J. B., Nullet, M. A.. 2010. Hydrologic effects of the expansion of rubber (Hevea brasiliensis) in a tropical catchment Ecohydrology 3: 306 –314.

Komatsu, H., Kume,T., Otsuki, K.. 2008. The effect of converting

a native broad-leaved forest to a coniferous plantation forest on annual water yield: A paired-catchment study in northern Japan Forest Ecology and Management 255: 880 – 886.

Page 147: Workshop Litbang DAS 2012

119

Krajewski, W.F., Smith, J.A. 2002. Radar hydrology: rainfall

estimation. Advances in Water Resources 25: 1387 – 1394. Marx, A., Kunstmann, H., Bardossy, A., Seltmann. 2006. Radar

rainfall estimates in an alpine environment using inverse hydrological modelling. Adv. Geoscience 9: 25 – 29.

Mohanty, B.P., Skaggs, T.H. 2001. Spatio-temporal evolution and

time stable characteristics of soil moisture within remote sensing footprints with varying soil, slope, and vegetation. Advances in Water Resources 24: 1051 –1067.

Pemerintah Republik Indonesia,. 1999. Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pemerintah Republik Indonesia., 2004. Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Pemerintah Republik Indonesia., 2008. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2008 tentang sumber daya air.

Pemerintah Republik Indonesia., 2008. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 76 tahun 2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan.

Pemerintah Republik Indonesia., 2008. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2012 tentang pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Previati, M., Bevilacqua, I., Canone, D., Ferraris, S., Haverkamp,

R. 2010. Evaluation of soil water storage efficiency for rainfall harvesting on hillslope micro-basins built using time domain reflectometry measurements. Agricultural Water Management 97: 449 – 456.Pudjiharta, A., 1986. Peranan beberapa jenis pohon hutan dalam mentransfer air hujan. Buletin Penelitian Hutan 478: 21 – 29.

Page 148: Workshop Litbang DAS 2012

120

Pudjiharta, A., 1991. Aspek hidrologis jenis pohon Dalbergia latifolia, Shorea pinanga dan Acacia mangium. Buletin Penelitian Hutan 542: 1 – 8.

Pudjiharta, A., 1994. Evapotranspirasi dari beberapa jenis tanaman

bawah. Buletin Penelitian Hutan 541: 1 – 15. Pudjiharta, A., 1995. Respon beberapa jenis tumbuhan bawah

terhadap evapotranspirasi di Waspada Garut. Buletin Penelitian Hutan 582: 1 – 16.

Rahayu, S., Widodo, R. H., van Noordwijk, M., Suryadi, I., Verbist,

B. 2009. Monitoring air di Daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre, ICRAF Asia Tenggara, Bogor, Indonesia.

Schumugge, T., Kustas, W.P., Ritchie, J.C., Jackson, T.J., Rango,

A. 2002. Remote sensing in hydrology. Advances in Water Resources 25:1367 – 1385.

Subagyono, K., Haryati, U., Talao’ohu, S.H., 2004. Teknologi

konservasi air pada pertanian lahan kering. Hlm. 145-181. Dalam Konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Widiyono, W. 2008. Konservasi flora, tanah dan sumberdaya air

embung-embung di Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Teknologi Lingkungan 9 (2): 197 – 204.

Yang, D., Chen, H., Lei, H. 2010. Estimation of evapotranspiration

using a remote sensing model over agricultural land in the North China Plain. International Journal of Remote Sensing 31 (14) : 3783 – 3798.

Page 149: Workshop Litbang DAS 2012

121

ARAH PENELITIAN TEKNIK REHABILITASI DAN KONSERVASI LAHAN PANTAI PENDUKUNG

PENGELOLAAN DAS1 Oleh

Beny Harjadi2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: 2 [email protected]

ABSTRAK

Permasalahan pantai dan pesisir di Indonesia sangat komplek, beragam dan terus meningkat dari tahun ke tahun akibat ulah manusia dan perubahan iklim yang ekstrim akhir-akhir ini. Permasalahan tersebut meliputi masalah : (a) erosi dan konservasi, (b) abrasi dan garis pantai, (c) pendangkalan muara dan sedimentasi, (d) pemukiman dan wisata, (e) kualitas air laut, (f) kerusakan terumbu karang, (g) hutan mangrove, dan (h) kondisi lingkungan dan pemetaan pantai. Pesisir pantai di Indonesia sangat besar dan beragam, yakni memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan 5,8 juta km2 laut atau 70% dari luas total Indonesia. Kondisi pantai sering tidak terawat karena lahan pantai biasanya marjinal sehingga tidak mampu berproduksi dari tanaman pertanian dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal jika permasalahan penyebab marjinalnya lahan pantai di kurangi maka justru pantai memiliki banyak keunggulan dibandingkan lahan mineral biasa. Permasalahan lahan di pantai antara lain karena lahan bergaram dan air tanah asin, unsur hara rendah, uap air laut bergaram, iklim ekstrim panas dan kering, angin kencang menyebabkan tingginya evapotranspirasi. Dengan pembuatan tanggul angin dari mekanis maupun vegetatif cemara laut (Casuarina equisetifolia spp) akan mengeliminir permasalahan diatas. Begitu juga dengan pembuatan tanggul pemecah ombak (mekanis) atau tanaman mangrove (vegetatif) dapat mengurangi penurunan garis pantai akibat abrasi. Kebalikannya pada daerah yang mengalami penyusutan air laut akan menyebabkan tanah timbul dimana-mana seperti terjadi di pantai Cilacap. Disini yang jadi masalah justru perebutan masalah kepemilikan dan jenis tanaman yang diperkenankan untuk pengelolaan lahan agar tanah lebih produktif apakah tanaman kehutanan atau tanaman pertanian.

KATA KUNCI : Kerusakan Pantai, erosi angin, abrasi, rob, pencemaran limbah 1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 150: Workshop Litbang DAS 2012

122

I. PENDAHULUAN

Gambaran umum kondisi pantai di Indonesia berdasarkan bentuk lahan (landform) terdiri dari pantai berlumpur (muddy shores), pantai berpasir (sandy shores), dan pantai berbatu karang atau andesit (Bloom, 1979). Khusus untuk Pulau Jawa di daerah utara di dominasi pantai berlumpur sehingga di daerah utara ada intrusi air asin dari laut masuk ke pesisir, sebaliknya untuk pantai pasir Selatan Jawa di dominasi formasi batuan kapur sehingga air di pesisir kondisinya tawar (Harjadi dkk., 2010). Kondisi pantai sering mengalami perubahan yang cenderung mengarah kerusakan yang menimbulkan permasalahan pada lahan pantai. Perubahan keadaan kawasan pantai dan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor campur tangan manusia. Kerusakan tersebut diperkirakan 60% penduduk Indonesia hidup dan bermukim di daerah pantai. Dari 64.439 desa di Indonesia, terdapat 4.735 desa yang dapat dikategorikan sebagai desa pantai (RRL, 2010). Bahkan, masyarakat yang bermukim di wilayah kota pantai sudah mencapai sekitar 100 juta orang. Lahan pantai berpasir termasuk lahan marjinal yang bersifat dinamis karena mengalami perubahan yang cepat. Pada lahan ini terdapat hubungan antara pasokan butir-butir pasir dari hasil abrasi pantai oleh ombak menuju pantai dan adanya gisik (bukit pasir) yang merupakan hasil erosi angin ke arah daratan. Peristiwa tersebut menyebabkan lahan pantai berpasir menjadi semakin marjinal, baik untuk wilayah itu sendiri maupun wilayah di belakangnya. Kondisi lahan yang marjinal tersebut disebabkan tidak hanya oleh faktor biofisik semata yang secara alami kurang mendukung untuk dilakukan tindakan budidaya, tetapi juga upaya penanganan yang ada masih belum optimal, sehingga bila tidak segera ditangani dampak negatif yang akan terjadi akan semakin meluas. Permasalahan pantai berpasir selain abrasi yaitu adanya kandungan dari uap garam-garaman dari laut yang dibawa oleh angin dan iklim ekstrim panas. Dengan adanya perubahan iklim ekstrim akhir-akhir ini membuat perubahan yang drastis pada tinggi muka air laut yang berpotensi

Page 151: Workshop Litbang DAS 2012

123

terjadinya abrasi atau penggerusan pantai. Kondisi tersebut jika ditunjang adanya gempa bumi yang terjadi di dekat pantai akan berpotensi timbulnya tsunami yang akan memporak-porandakan bangunan sekitar pantai dan kadang memakan korban jiwa. Undang undang nomor 27 tahun 2007 pada Bab I pasal 2 menyebutkan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. Wilayah pesisir merupakan wilayah daratan yang berbatasan dengan laut. Batas daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut dan instriusi air laut. Sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan, seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut serta yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Supriharyono, 2000). Menurut kesepakatan bersama dunia internasional, pantai diartikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, apabila ditinjau dari garis pantai maka suatu wilayah pesisir memeiliki dua macam batas yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus pantai (crossshore) (Supriharyono, 2000). Garis pesisir adalah garis yang membentuk batas antara pesisir dan pantai. Garis pesisir membatasi pesisir dan pantai yang kedudukannya relatif tetap, garis pesisir akan berhimpit dengan garis pantai saat terjadi pasang tertinggi atau gelombang yang relatif besar. Dalam hal ini pantai memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Pantai berhubungan langsung dengan laut. 2. Pantai berkedudukan di antara garis air tinggi dan garis

air rendah. 3. Pantai dapat terjadi dari material padu, lepas atau

lembek. 4. Pantai yang bermaterial lepas dengan ukuran kerikil atau

pasir disebut sebagai gisik (beach).

Page 152: Workshop Litbang DAS 2012

124

5. Pantai dapat berelief rendah (datar, berombak, atau bergelombang), namun dapat pula berelief tinggi (berbukit atau bergunung).

6. Pantai secara asal usul dapat berasal dari bentukan marin, organik, vulkanik, tektonik, fluviomarin, denudasional, atau solusional.

Lahan pantai yang merupakan tanah mineral mencakup luas 3.654.500 ha didominansi ordo Entisols. Dalam tingkat great group tanahnya didominansi oleh Endoaquents, Sulfaquent, dan Udipsamment (Nugroho et.al., 2008). Pada umumnya wilayah pantai di Indonesia berada pada altitude (ketinggian tempat) kurang dari 5 mdpl, dengan permukaan daratan landai. Ciri dominan (terutama di daerah tropis) adalah rata-rata suhu udara relatif tinggi, lebih dari 26oC. Daratan landai, jarang pohon-pohonan dan bangunan tinggi mengakibatkan tidak ada hambatan bagi gerakan udara yang berarti, sehingga kecepatan angin relatif tinggi. Di pantai terdapat pola lokal harian yang khas yaitu angin laut terjadi pada siang hari dan angin darat pada malam hari. Lahan pantai yang ada di Jawa Tengah sebagian besar Udipsamment (43.080 ha) dan Endopsamment (28.720 ha) (Tim PPTA, 1996). Menurut Suhardjo et al (2000) secara umum lahan pantai dapat diarahkan untuk: 1) lahan pemukiman dan pertanian, 2) lahan tambak, 3) lahan penggaraman, 4) lahan konservasi, 5) lahan rekreasi dan 6) lahan pertambangan.

Page 153: Workshop Litbang DAS 2012

125

II. KONDISI DAN PERMASALAHAN PANTAI DI INDONESIA Permasalahan lahan pantai meliputi pengurangan garis pantai akibat abrasi, degradasi lahan akibat erosi angin, pendangkalan muara dan sedimentasi, dan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan meliputi : pemukiman, kualitas air laut, terumbu karang, hutan mangrovedan bangunan bermasalah di sekitar pantai. Dalam kriteria tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa jenis kerusakan berikut ini: 1. Erosi

Gambar 1. Erosi Angin di Pantai Berpasir Karanggadung,

Kebumen (Harjadi et al., 2011)

Erosi angin selain membentuk gisik (bukit gundukan pasir) akan menyebabkan gerusan di kaki bangunan dan juga perubahan garis

Page 154: Workshop Litbang DAS 2012

126

pantai (Gambar 1). Disamping itu juga daerah yang terkena erosi akan menurunkan kualitas hasil produksi tanaman dan produktivitas lahan. 2. Abrasi

Gambar 2. Penggerusan Pantai (Abrasi) Tepi Pantai Kuwaru,

Bantul (http://www.google.co.id/ Kuwaru, 2011) Abrasi pada tepi pantai sering terjadi pada daerah batuan kapur karang, menghantam tembok laut atau pelindung pantai. Akibat abarasi akan menurunkan kualitas air laut akibat adanya sedimentasi dan pengurangan garis pantai (Gambar 2).

Page 155: Workshop Litbang DAS 2012

127

3. Pendangkalan muara dan sedimentasi

Gambar 3. Pendangkalan Muara Sungai Porong Akibat

Sedimentasi Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur (http://www.google.co.id/ Pangkah, 2011).

Muara yang tertutup oleh sedimentasi (bed load) akan menyebabkan penyumbatan yang berakibat banjir disekitarnya (Gambar 3). Pembukaan muara perlu diupayakan agar air dari sungai segera masuk ke laut, agar tidak terjadi luapan banjir. Jika tidak ada upaya pembukaan muara, maka selain muara pada bagian hilir, juga akan mengarah ke hulu terjadi sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan volume tampung sungai.

Page 156: Workshop Litbang DAS 2012

128

4. Kerusakan lingkungan a. Pemukiman

Gambar 4. Kerusakan Lingkungan Akibat Pemukiman Dekat

Pantai (http://www.google.co.id/ Pesisir, 2011)

Beberapa pemukiman yang dekat dengan pantai atau tepian sungai besar sering mengalami banjir atau genangan akibat rob (naiknya air laut ke daratan). Akibat luapan air tersebut akan menyebabkan pencemaran air laut dan juga mengganggu aktivitas masyarakat yang tergenang air (Gambar 4). Dengan tergenangnya air akan menjadi sarang penyakit (jentik-jentik nyamuk) dan kesulitan untuk mendapatkan pasokan air bersih untuk dikonsumsi. Sehingga masyarakat mudah terserang malaria dan diare akibat kualitas air yang rendah.

Page 157: Workshop Litbang DAS 2012

129

b. Pencemaran Air Laut

Gambar 5. Kerusakan Lingkungan Menurunkan Kualitas Air

Laut (http://www.google.co.id/, 2011/Walhi, 2011)

Pencemaran air laut biasa terjadi di daerah Metropolitan akibat limbah sampah rumah tangga dan industri akan mengotori daerah muara sungai atau tepi pantai (Gambar 5). Dengan kontaminasi limbah tersebut menyebabkan rusaknya ekosistem dan banyak biota laut yang tidak bisa hidup lagi. Seandainya ada hewan laut yang hidup sering terkontaminasi dengan logam-logam berat seperti mercuri (Hg).

Page 158: Workshop Litbang DAS 2012

130

c. Kerusakan Terumbu Karang

Gambar 6. Kerusakan Lingkungan Menyebabkan Kerusakan

Terumbu Karang (www.google.co.id/ubb.ac.id/, 2011)

Kerusakan lingkungan akibat penggunaan bom (bahan peledak) untuk menangkap ikan akan berdampak pada kerusakan terumbu karang (Gambar 6). Dengan berkurangnya terumbu karang maka akan berkurang pula populasi ikan di lautan.

Page 159: Workshop Litbang DAS 2012

131

d. Kerusakan Hutan Mangrove

Gambar 7. Kerusakan Hutan Mangrove Menyebabkan

Pengurangan Luas Wilayah Pulau atau Mundurnya Batas Garis Pantai (Htttp:www.google.co.id/ubb.ac.id/.2011).

Kerusakan hutan mangrove karena biji yang hanyut sehingga tidak jadi tumbuh, adanya ombak, kurangnya pemeliharaan, dan faktor manusia atau hewan yang merusak tanaman. Padahal hutan mangrove ini sangat penting untuk pencegahan abrasi akibat hantaman ombak dan pengurangan garis pantai, serta mencegah sedimentasi partikel tanah dari daratan yang masuk ke lautan (Gambar 7).

Page 160: Workshop Litbang DAS 2012

132

e. Bangunan Bermasalah

Gambar 8. Bangunan Bermasalah Sekitar Pantai Penyebab

Kerusakan Lingkungan (Htttp:www.google.co.id/ bongkaran, 2011).

Bangunan bermasalah yang terlalu dekat dengan pantai sebaiknya dihindari dan dibangun agak menjauh sehingga tidak mudah rusak atau tergerus oleh hantaman ombak, sebab dengan runtuhnya bangunan akan melongsorkan tanah tebing pantai (Gambar 8). Bangunan hendaknya paling tidak terletak lebih 500 m dari tepi pantai pada saat pasang tertinggi.

III. PERUNDANGAN DAN PERATURAN DALAM PENGELOLAAN PANTAI (PESISIR)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu; dan Peraturan Menteri Kehutanan Republik

Page 161: Workshop Litbang DAS 2012

133

Indonesia Nomor : P. 35/Menhut-II/2010 (PP.No.35/Tahun 2010) Peraturan Menteri Kehutanan tentang RTkRHL-DAS (Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Daerah Aliran Sungai) Mangrove dan Sempadan Pantai; tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; dan pentingnya pesisir pantai yang kaya akan SDA dan jasa lingkungan, hendaknya pemanfaatan lahan pantai berpasir dilakukan secara baik, benar dan dapat berfungsi ganda. Pemanfaatan lahan pantai berpasir berfungsi untuk mengendalikan erosi (angin) dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui usaha budidaya tanaman semusim yang sesuai dan bernilai ekonomis. Lahan di kawasan pantai yang tidak dibebani hak milik, dikuasai oleh negara dan digunakan sesuai peruntukan/fungsinya untuk kemakmuran rakyat. Peralihan status lahan dari lahan negara menjadi lahan yang dilekati hak yang bukan tanah negara dapat ditempuh dengan proses pelepasan atau pembebasan hak sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria. Peraturan yang secara khusus mengatur tanah timbul secara alami memang belum ada. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah, bahwa Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. Tanah timbul, dalam tahapan yang manapun wujudnya, biasanya ada vegetasinya. Reklamasi pantai yang sudah dilakukan di Jakarta selama ini memang belum menimbulkan masalah dalam hukum tanah positif. Hal tersebut disebabkan oleh reklamasi tersebut belum dalam arti yang sebenarnya, yakni menimbun pantai untuk menciptakan daratan baru. Sebagian reklamasi yang dilakukan adalah memunculkan kembali daratan yang terkikis abrasi. Sehingga tanah timbul tersebut tetap sama dengan peta wilayah yang lama sebelum abrasi. Dan juga sebagian lain merupakan daerah rawa atau ekosistem mangrove yang kebetulan berstatus tanah negara.

Page 162: Workshop Litbang DAS 2012

134

Hal diatas akan berbeda kalau yang direklamasi itu sepenuhnya laut. Sebab, hak atas tanah hanya berlaku sampai batas pasir pantai. Karenanya, laut tidak dapat didekati dengan hak atas tanah. Pemegang hak atas laut sampai ke batas yang ditentukan oleh "Konvensi Hukum Laut PBB" yang telah diratifikasi Indonesia dengan undang-undang (UU.No.27/Tahun 2007). Jadi, seluruh kawasan perairan laut Indonesia dikuasakan kepada Kementerian Perhubungan untuk kepentingan pelayaran. Masalah yang dapat timbul adalah bagaimana status tanah yang muncul akibat reklamasi. Selama belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalahan itu dapat dipecahkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada. Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan azas kepatutan, tentu pihak yang mereklamasi yang dapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut. Melihat dinamika pembangunan nasional saat ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa reklamasi pantai akan menjadi tren pengembangan wilayah kota di masa depan, setidaknya bagi kota-kota besar di Jawa yang berbatasan dengan laut. Tidak saja didorong oleh laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga karena dunia usaha akan lebih memiliki reklamasi pantai sebagai upaya mendapatkan lahan yang strategis, meski dengan investasi yang lebih tinggi. Suatu saat Jawa, karena kepadatan penduduk dan aktivitas pembangunannya, akan menyerupai Singapura atau Hongkong yang terpaksa menimbun laut untuk menambah luas daratan. Karena itu, perlu diantisipasi sejak sekarang dengan menyiapkan peraturan perundangan yang relevan dengan tren demikian. Sudah waktunya dirumuskan peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur kegiatan reklamasi/pengerukan danau/sungai serta seluruh aspek dan masalah terkait, agar dapat diberikan kepastian hukum terhadap pekerjaan yang begitu besar. Kepastian hukum, dalam hal ini hukum tanah, juga suatu syarat mutlak bagi kesuksesan pembangunan nasional.

Page 163: Workshop Litbang DAS 2012

135

IV. HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN PESISIR DAN PANTAI

YANG TELAH DILAKUKAN Sebenarnya tanpa adanya upaya penanaman tanaman tanggul angin pantai telah memiliki perlindungan alami menahan serangan gelombang, misalnya pantai berlumpur memiliki hutan mangrove untuk meredam serangan gelombang, untuk pantai berpasir memiliki bukit pasir (sand dune) untuk menyuplai pasir yang hilang terbawa gelombang ke lepas pantai, dan terumbu karang serta padang lamun yang juga dapat mereduksi energi gelombang yang menuju pantai (Surya, 2007). Penanaman tanaman tangul angin atau penahan angin dengan cemara laut (Casuarina equisetifolia L.) dan pandan (Pandanus tectorius Parkinson ex Zucc.) dimaksudkan untuk mengeliminir permasalahan yang umum terjadi pada lahan pantai berpasir, antara lain angin laut yang kencang, erosi angin, suhu tinggi, uap air bergaram, dan tanah yang rendah hara (Harjadi dan Octavia, 2008). Dari hasil penelitian Sukresno (1998) menunjukkan bahwa penanaman jalur tanggul angin pada lahan pantai berpasir berdampak positif bagi perbaikan iklim mikro (suhu tanah dan evaporasi) dan menurunkan tingkat erosi pasir. Lahan pantai juga perlu adanya reklamasi pada daerah pantai yang dilakukan penambangan, seperti penambangan pasir besi, clay vertisol, atau bentonit seperti pada Tabel 1. Pada lahan bekas penambangan disamping upaya reklamasi, juga perlu ada restorasi perbaikan ekosistem serta rehabilitasi pada lahan bermasalah dan upaya konservasi pada lahan yang kondisinya masih baik.

Page 164: Workshop Litbang DAS 2012

136

Tabel 1. Berbagai jenis dan asal bahan lapisan kedap (Saparso et.el., 2009) SIMBOL JENIS

JENIS TANAH/ MINERAL

ASAL-USUL

PSIR VERT KKAP BNGL RMBL BLBK BLUB BPIB

Pasir Lempung Vertisol Lempung Bentonit blenching earth (Giling) Bahan baku bentonit Bentonit kualitas BK Bentonit kualitas UB Bentonit Spect A (drilling mud)

Pantai Samas, Bantul, DIY Sentolo, Kulonprogo, DIY Kokap, Kulonprogo, DIY Nanggulan, Kulonprogo, DIY diproduksi Perusda Anindya, Yogyakarta Wonosegoro, Boyolali, Jateng Wonosegoro, Boyolali, Jateng diproduksi oleh PT Tunas Inti Makmur, Magelang Wonosegoro, Boyolali, Jateng diproduksi oleh PT Tunas Inti Makmur, Magelang Punung diproduksi PT. Indobent Wijaya Mineral Punung, Pacitan, Jatik

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia terkait dengan pantai:

a. Erosi dan Konservasi Pantai

1. Analisa Erosi dan Perubahan Garis Pantai Pada Pantai Pasir Buatan.

2. Kajian Stabilitas Kemiringan Pantai Pasir Buatan

3. Model Kerentanan Kawasan Pantai, Studi Kasus di Kecamatan Jawai Selatan dan kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas, provinsi Kalimantan Barat.

4. Model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Pantai Berpasir

5. Panduan Praktis. Rehabilitasi Pantai : Sebuah Pengalaman Merehabilitasi Kawasan Pesisir, Dampak yang Ditimbulkan oleh Gelombang Tsunami Pada Pesisir

Page 165: Workshop Litbang DAS 2012

137

Pantai Berpasir, Penanaman Adalah Pantai Berlumpur Dengan Jenis Mangrove

6. Pengaruh Bauran Pemasaran (Pemasaran Campuran) Terhadap Kepuasan Pengunjung

7. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati Di Indonesia Kekayaan dan Sumber di Pesisir Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa dan Sulawesi

b. Abrasi dan Garis Pantai

1. Coastal Zones (Wilayah Pesisir & Lautan ) Jawa Timur, Pantai Berpasir. Pantai Berlumpur dan Pantai Berbatu

2. Definisi Abrasi, Abrasi Pantai, Hutan Pantai, Tindakan Manusia yang Mendorong Terjadinya Abrasi Adalah Pengambilan Batu dan Pasir Di Pesisir Pantai Sebagai Bahan Bangunan dan Penebangan

3. Garis Pantai yang Panjang + 81.000 Km Pesisir Utara Umumnya Memiliki Pantai Berlumpur yang Landai dan Dangkal (KemNeg Lingkungan Hidup).

4. Penelitian Daerah Pantai yang Tidak Ditutupi Vegetasi Biasa Berlumpur atau Berpasir (Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah dan Pusat Penelitian Kelautan LPPM-ITB).

5. Penelitian Hibah Kompetensi Lanjutan Stabilitas Pantai Pasir dan Interaksinya dengan Struktur Pelindung Pantai

6. Pengaruh Abrasi Di Pantai Grogol Kecamatan Cirebon

7. Perubahan Garis Pantai Di Sepanjang Pesisir Pantai Indramayu

8. Stabilitas Pantai Pasir dan Interaksinya Dengan Struktur Pelindung

c. Pendangkalan Muara dan Sedimentasi

1. Pengelolaan Delta yang Berkelanjutan : Pantai Landai Berpasir gengan Bentuk Garis Pantai Memanjang, Kemiringan Bibir Pantai, Vegetasi Penutup, Pemetaan

Page 166: Workshop Litbang DAS 2012

138

Karakteristik Pantai di Kawasan Pesisir Provinsi Sumatera Barat .

d. Pemukiman dan Wisata Pantai

1. Kajian Pengembangan Pertambakan dalam Pemanfaatan Lahan Pesisir

2. Kuantifikasi Kesimbangan Pengembangan Objek Wisata Berdasarkan Faktor Geografis.

3. Pariwisata Pasir Putih untuk mewujudkan kepuasan konsumen. Penelitian ini dilaksanakan pada wisata Pantai Pasir Putih

4. Pengaruh Rob Pada Pemukiman Pantai ( Kasus Semarang)

5. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Pantai Timur Sumatra dan Pantai Barat serta Selatan Kalimantan. Tumbuh dan Berkembang pada Daerah Pasang Surut Pantai Berlumpur Sebagai Kawasan Konservasi, Hutan Penelitian dan Pendidikan

6. Penurunan Kualitas Ekosistem, Konsumsi dan Masyarakat Pantai Pendekatan Analisis Regresi Linier), Berpasir (Sandy Soil, Seperti Rhizopora Stylosa), dan Bahkan Tanah Berkoral (Kerjasama Balitbang Propinsi Sumatera Utara)

7. Persepsi Pemukim di Kawasan Pantai Terhadap Kerusakan Pantai (R Ruzardi – 200

8. Potensi dan Daya Tarik Wisata Pantai Pasir

9. Profil Pariwisata Pesisir Kabupaten Minahasa, Kota Obyek Wisata Bahari (Wisata Pantai, Panorama Pantai yang Khas, Berpasir Putih dan Wisata Alam)

10. Tingkat Kesadaran Masyarakat dalam Pelestarian di Wilayah Pesisir Pantai Disepanjang Kecamatan Lais Pantai Berpasir (Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan)

Page 167: Workshop Litbang DAS 2012

139

e. Kualitas Air Laut

1. Daerah Pantai Adalah Suatu Pesisir Beserta Perairannya, dimana Terdapat Pada Pantai Berlumpur, Pantai Berpasir Halus (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi: Jakarta)

2. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia serta Kaitannya dengan Faktor Fisik – Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Daerah Pesisir Pantai Labu Merupakan Daerah yang Telah Mengalami Bivalvia Umumnya Terdapat di Dasar Perairan yang Berlumpur atau Berpasir

3. Laut dan Wilayah Pesisir Memiliki Peranan Penting Terhadap Kehidupan di Bumi Penelitian Meliputi Zona Intertidal di Tujuh Pantai Karst di Kabupaten Berbeda (Putih-Berbatu, Landai-Terjal, Bervegetasi-Berlumpur, Teduh, Bergelombang, Dll)

4. Penyakit Kawasan Pesisir Akibat Pembuangan Sampah, Analisis Data Perubahan Penutupan Lahan dan Iklim Di Kalimantan Selatan

5. PSDAL-Pesisir Untuk Evaluasi Ekosistem Pantai (Tambak Ikan dan Udang, Pesisir, Estuartia, Terumbu dan Terdapat Di Pantai Rendah yang Tenang Serta Berlumpur Sedikit Berpasir)

6. Uji Coba Teknik Bioremediasi di Pantai Berpasir Tercemar Minyak Di Cilacap.

f. Kerusakan Terumbu Karang

1. Indeks Keanekaragaman Bentos di Pantai Probolinggo dan Ekosistem Pesisir Indonesia (Berpasir, Pantai Berbatu, Pantai Berlumpur, Estuaria, Dll) Beserta Daerah Penyebarannya

2. Keanekaragaman dan Distribusi Udang serta Kaitannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Pantai Berbatu, Pantai Berpasir dan Pantai Berlumpur.

Page 168: Workshop Litbang DAS 2012

140

3. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Serta Kondisi Terumbu Karang

4. Keanekaragaman Makrozoobenthos, Meiofauna di Pantai Pasir Putih Pangandaran

5. Pengaruh Cahaya Terhadap Tumbuhan Kondisi Ekosistem Pantai Berbatu, Pantai Berpasir, Pantai Hutan Mangrove Pesisir Pulau Bintan, (Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati)

6. Pengelolaan Sistem Sosial-Ekologi Pesisir Pulau-Pulau Kecil Untuk Mangrove, Danau, Terumbu Karang, Pantai yang Berasosiasi

g. Hutan Mangrove

1. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Sedimen dan Memperlambat Aliran Air, Membantu Melindungi Garis Pantai dan Mencegah Erosi Wilayah Pesisir dan Lautan.

2. Ekosistem Pesisir Merupakan Daerah Peralihan Antara Ekosistem Darat dengan Pantai Berbatu, Pantai Berpasir, Hutan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu dengan Jumlah Jenis Biota yang Menghuni Ekosistem

3. Hutan Bakau (Mangrove) Merupakan Komunitas Vegetasi Pantai Tropis, dan Berkembang Pada Daerah Pasang Surut Pantai Berlumpur (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB-Bogor

4. Informasi Taman Nasional Wakatobi Pantainya yang Elok dengan Dihiasi Pasir Putih Membentang, Sebagian Besar Berpasir dan Berkarang. Hanya Beberapa Wilayah Saja dengan Kondisi Ketebalan Mangrove yang Tipis.

5. Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pantai Sanur Bali Peran Ekosistem Pantai Berlumpur Di Wilayah Pesisir Tergambar oleh Kehadiran Ekosistem (Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi)

6. Keanekaragaman Hayati Laut Ekosistem Pesisir Merupakan Ekosistem yang Memiliki Pantai Berlumpur

Page 169: Workshop Litbang DAS 2012

141

(Laomy Beds), Pantai Berpasir (Sandy Beach), Pantai Berbatu (Rocky Beach)

7. Mangrove Jawa Timur, Hutan Pantai Di Tuban, Lamongan, Gresik, Pantai Utara Jawa Timur

8. Mangrove Ku Sayang, Mangrove Ku Malang. Kawasan Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Kelurahan Oesapa Barat, Kota Kupang

9. Mangrove Merupakan Karakteristik dari Bentuk Tanaman Pantai, Estuari atau Muara Sungai, dan dari 35 Jenis Pohon tersebut, yang umum dijumpai di Pesisir Pantai Adalah Avicennia Sp.,Pada Substrat Dalam/Tebal & Berlumpur; Avicennia marina dan Bruguiera Hidup Pada Tanah Lumpur Berpasir;

10. Pembahasan Konsep Penelitian Dalam Rangka Pengembangan dan Inovasi di Bidang Ekosistem Pantai Berbatu, Ekosistem Pantai Berpasir dan Ekosistem Laut (Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB)

11. Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas Sonneratia Spp., Kawasan Pesisir Pantai Utara dan Selatan Jawa Tengah, Pantai Utara Cenderung Berlumpur.

12. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Pantai Berpasir Pantai Berlumpur Pada Mangrove di Pantai Labuhan Desa Labuhan Kecamatan Brondong

13. Pengetahuan Ekosistem Pesisir dalam Membangun Gerakan Siaga pada Pantai Berpasir, Pantai Berbatu, Pantai Berlumpur

14. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove

15. Permasalahan Tanah Sekitar Pantai Ekosistem Pesisir dan Laut Pantai Berpasir; Pantai Berlumpur; Pantai Berawa; Pantai Berbatu dengan Kecepatan Angin di Kawasan Pantai Selatan yang Sangat Tinggi

16. Rehabilitasi Ekosistem Pesisir Di Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh

17. Sifat Hutan Bakau di Indonesia

Page 170: Workshop Litbang DAS 2012

142

18. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove di Pesisir Kab.Tanjung Jabung.

19. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove Tanjung Di Kawasan Hutan Mangrove Pesisir Pantai

20. Studi Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan

21. Studi Perencanaan Konservasi Mangrove di Di Sepanjang Pantai Selatan Kabupaten Sampang Dengan (Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Samboja, Kalimantan Timur)

h. Kondisi Lingkungan dan Pemetaan Pantai

1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Penentuan Pantai. Pantai Berpasir, Pantai Berbatu, Pantai Berkarang, dan Pantai Berlumpur

2. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung

3. Ekosistem Pesisir dan Laut (Coremap)

4. Kajian 3 Tipe Ekosistem, Yaitu, Ekosistem Perairan Laut, Ekosistem Pesisir Pantai, dan Ekosistem Daratan Taman Nasional Ujung Kulon dan Cagar Alam

5. Konsep dan Model Penyusunan Tipologi Pesisir Indonesia Pesisir Berlumpur Ekosistem Mangrove Dibudidayakan Mencakup Ekosistem Samudera, Perairan Pantai, Selat, Teluk

6. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu (Instansi Terkait)

7. Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Investasi Di Bidang Sumber Daya Kawasan Pesisir . (Jurnal Geologi Kelautan)

8. Penelitian Geospasial Kepesisiran (Bakosurtanal - Bakohumas Kementerian dan Lembaga Serta BUMN)

9. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pada Pantai Berpasir dan Berlumpur

Page 171: Workshop Litbang DAS 2012

143

Kegiatan Ombak Dapat Membongkar Karena Pengaruh Tekanan Hidrostatik.

10. Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut yang Terdapat di Seluruh Wilayah Negara Pantai Grogol yang Merupakan Pantai Berlumpur dan Pantai Bojongsalawe yang Merupakan Pantai Berpasir

11. Reklamasi Pantai Ditinjau dari Segi Ekologi Lansekap, Mencermati Atas Degradasi Kawasan Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap, Sebagai Akibat Penambangan Pasir Besi Wilayah Pesisir Dekade (1970-1990)

12. Spatial Management of Small Islands Using SPOT 5 Data di Wilayah Pesisir Laut Arafura, Kepulauan Aru Mempunyai Pantai Berlumpur, dan Pantai Berpasir Ditumbuhi oleh Vegetasi

13. Wilayah Pantai di Indonesia Memiliki Potensi Pembangunan yang Cukup Besar, Pantai Berpasir Umumnya Tidak Seberapa Besar Dibanding Pantai Berlumpur (Direktorat Bina Pesisir, Direktorat Jendral Urusan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil)

14. Zona Pesisir dan Zona Laut, Morfologi. Dasar ”Cliff”, Pantai Berpasir Disebut Gisik atau “Sand Beach” dan Pantai Berlumpur Disebut. “Mud Beach”.

15. Model Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten Cilacap V. Rencana Riset Pengelolaan Pantai Pendukung Pengelolaan DAS.

Dalam ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai), DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya (BPDAS Ketahun, 2011). Sehingga dalam hal ini pantai sebagai daerah hilir dari suatu DAS berpotensi terjadinya masalah sedimentasi, pencemaran limbah, abrasi dan lain-lain. Rencana Strategis

Page 172: Workshop Litbang DAS 2012

144

(Renstra) BPTKPDAS (Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) dari tahun 2013 sampai 2021 yang terkait daerah pesisir pantai seluruh wilayah Indonesia antara lain : Renstra 2013-2014 : 1. Pemetaan Wilayah Pantai Berpasir, Pantai Berlumpur dan

Pantai Berbatu Karang di Pulau Jawa 2. Pemetaan Wilayah Pantai Berpasir, Pantai Berlumpur dan

Pantai Berbatu Karang di Pulau Sumatra 3. Pemetaan Wilayah Pantai Berpasir, Pantai Berlumpur dan

Pantai Berbatu Karang di Pulau Kalimantan 4. Pemetaan Wilayah Pantai Berpasir, Pantai Berlumpur dan

Pantai Berbatu Karang di Pulau Sulawesi Renstra 2015-2019 : 1. Pengelolaan Lahan Pantai Berpasir 2. Pengelolaan Lahan Pantai Berlumpur 3. Pengelolaan Lahan Pantai Berbatu Karang 4. Reklamasi Lahan Pantai Bekas Tambang 5. Restorasi Ekosistem Pantai Bermasalah Renstra 2020-2021 : 1. Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah pada Lahan Pantai Berlumpur 2. Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah pada Lahan Pantai Berbatu Karang

Page 173: Workshop Litbang DAS 2012

145

VI. Penutup Permasalahan lahan pantai sangat kompleks, sehingga

perlu penanganan secara terpadu. Permasalahan tersebut antara lain meliputi sosial dan biofisik. Masalah sosial meliputi : sosial ekonomi, budaya, anthropologi, dan kelembagaan, sedangkan masalah biofisik meliputi erosi, abrasi, pendangkalan muara dan sedimentasi, sampai pada masalah kerusakan lingkungan. Masalah lingkungan di daerah pantai yang sering terjadi antara lain : kondisi pemukiman, kualitas air laut, terumbu karang, hutan mangrove dan bangunan yang bermasalah.

Dari berbagai permasalahan pada lahan pantai yang merupakan wilayah hilir dari suatu pengelolaan DAS, perlu disusn strategi penanganan dan arah riset teknologi untuk pengelolaan rehabilitasi dan konservasi pantai. Permasalahan yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu menyangkut permasalahan : (1) erosi dan konservasi pantai, (2) abrasi dan garis pantai, (3) pendangkalan muara dan sedimentasi, (4) pemukiman dan wisata pantai, (5) kualitas air laut, (6) kerusakan terumbu karang, dan (7) kondisi lingkungan dan pemetaan pantai.

Dalam kegiatan penanganan pengelolaan lahan pantai agar bisa berlanjut dan berkesinambungan dari waktu ke waktu maka perlu koordinasi dengan para aparat dari tingkat pusat sampai daerah dan melibatkan tokoh kunci utama di daerah, serta seluruh masyarakat pesisir yang dekat dengan lahan pantai bermasalah.

DAFTAR PUSTAKA

Bloom, A. L. 1979. Geomorphology: A Systematic Analysis of Late Cenozoic Landforms. Prentice-Hall of India, ND 110001.

BPDAS Ketahun. 2011. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Info DAS.

Harjadi B., Cahyono S.A., Octavia D., Gunawan, Priyanto A., dan Siswo, 2010. Laporan Hasil Proyek (LHP) ”Model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Pantai Berpasir”. Balai Penelitian Kehutanan Solo, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Solo. (Tidak Dipublikasikan).

Page 174: Workshop Litbang DAS 2012

146

Harjadi B., Purwanto., Gunawan, dan Siswo, 2011. Laporan Hasil Proyek (LHP) Pemeliharaan Plot-Plot Penelitian ”Model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Pantai Berpasir”. Balai Penelitian Kehutanan Solo, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Solo. (Tidak Dipublikasikan).

Harjadi, B., dan Octavia, D., 2008. Penerapan teknik konservasi tanah di pantai berpasir untuk agrowisata, Info Hutan Vol. V, No. 2, Tahun 2208. Dephut., Balitbanghut, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA). Bogor.

Http://www.google.co.id/Pesisir. 2011. Foto0056.jpg. ketiksaja.com. 600 × 400 - ... Semarang meminta masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir.

Http://www.google.co.id/Kuwaru, 2011. kuwaru1‑370x277.jpg. harianjogja.com, 370 × 277 - Abrasi di pantai Kuwaru Bantul (JIBI/Harian Jogja/dok)

Http://www.google.co.id/Pangkah. 2011. pangkah.jpg. rovicky.wordpress.com, 983 × 1079 - Itulah sebabnya ada usaha mengatasi pendangkalan

Http://www.google.co.id/. 2011walhi‑1307348790.jpg. today.co.id. 260 × 173 - Jakarta - Perairan laut.

Htttp:www.google.co.id/ bongkaran, 2011. bongkaran_BKT_anton_1.JPG. metro-jaktim. blogspot.com. 448 × 336 - JAKARTA, MP - Pembongkaran 11 bangunan yang berada di trace basah.

Htttp:www.google.co.id/ubb.ac.id/. 2011. 1208‑csrnews‑terumbu karang.jpg. 108csr.com. 550 × 413 - Ilustrasi terumbu karang di dasar laut Flores, Indonesia Timur

Htttp:www.google.co.id/ubb.ac.id/. 2011. Evaluasi Program Pengembangan Mangrove Terpadu di Surabaya. urbanplanner36.wordpress.com. Full-size image 448 × 336 (Same size), 47KB.

Page 175: Workshop Litbang DAS 2012

147

Nugroho B., Priyono FDJ, Tetalepta J.,Nurida, N.L., Hidayati R., Rustamsjah dan Wawan. 2008. Pengelolaan Wilayah Pesisir Untuk Pemanfaatan Sumberdaya Alam Yang Berkelanjutan. http://tumoutou.net/3_sem1 012/ke4_012.htm. diunduh pada tanggal 17 September 2011

PP. No 16/Tahun 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004, Tentang Penatagunaan Tanah, Presiden Republik Indonesia (Megawati Soekarnoputri), Diundangkan Di Jakarta Pada Tanggal, 10 Mei 2004. Sekretaris Negara Republik Indonesia (Bambang Kesowo). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45.

PP. No. 35/Tahun 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 35/Menhut-Ii/2010, Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-Ii/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS). Ditetapkan Di Jakarta Pada Tanggal 2 Agustus 2010 Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Zulkifli Hasan). Diundangkan Di Jakarta Pada Tanggal 5 Agustus 2010, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia (Patrialis Akbar). Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 379.

RRL. 2010. Status Kepemilikan Lahan Pada Kawasan Pantai Dan Hutan Mangrove..http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/STS_Mangrove.HTM. Kementerian Kehutanan, Gd.Manggala Wana Bhakti, Jakarta, diunduh pada tanggal 17 September 2011.

Saparso, Tohari, Shiddieq D., dan Setiadi B., 2009. Karakterisasi berbagai Jenis Bahan Lapisan Kedap, Ketebalan dan Nisbah Bentonit dengan Pasir: Konsep Dasar Pengelolaan Lahan Pasir Pantai. Jurnal Tanah Trop., Vol.14, No.2, 2009:167-176. ISSN 0852-257X.

Suhardjo, H., Suratman, T. Prihartini dan S. Ritung. 2000. Lahan Pantai dan pengelolaannya. dalam A. Abdurahman (Eds.).

Page 176: Workshop Litbang DAS 2012

148

Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. p : 97-126.

Sukresno. 1998. Pemanfaatan Lahan Terlantar di Pantai Berpasir Samas-Bantul DIY dengan Budidaya Semangka. Prosiding. Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, HITI Komda Jawa Timur, Malang.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Surya, 2007. Menggeliatnya Pasir Laut. Kompilasi informasi mengenai berbagai tantangan dan ancaman terhadap ekosistem dan wilayah pesisir Indonesia - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. http://www.surya. co.id/web/ Wanita-Kesehatan/Page-2999.html; http://coastal-hazard. blogspot.com/2008/ 02 /menggeliatnya-pasir-laut.html. 3 Agustus 2007.

Tim PPTA (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1996. Petunjuk Teknis Evalu-asi Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Dokumen Puslittanak, Bogor. (Tidak dipublikasikan).

UU. No. 27/Tahun 2007. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Andi Mattalatta). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84.

Page 177: Workshop Litbang DAS 2012

149

KEBUTUHAN PENELITIAN REHABILITASI LAHAN DAN

KONSERVASI TANAH UNTUK PENANGGULANGAN DEGRADASI LAHAN1

Oleh:

Nining Wahyuningrum Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: 2 [email protected]

ABSTRAK

Degradasi lahan dimulai ketika ada pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Bertahun-tahun petani menggunakan praktek tradisional untuk melindungi dan memperbaiki lahan mereka, namun demikian kegiatan ini menjadi kurang diperhatikan ketika jumlah populasi mereka bertambah dan selanjutnya tekanan terhadap lahan pun semakin meningkat pula. Degradasi lahan antara lain disebabkan oleh erosi dimana konservasi tanah dianggap sebagai salah satu pemecahan masalah. Sampai saat ini erosi masih dipandang sebagai masalah fisik dan banyak ditanggulangi secara teknis praktis. Teknik ini lebih banyak mengandalkan pada prinsip kontur dengan memasang penghalang pada kontur dengan kombinasi vegetasi sebagai alternatif lainnya. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa vegetasi baik yang hidup maupun yang mati mampu menutupi lahan dari pengaruh air dan angin. Saat ini erosi dipandang sebagai salah satu problem dari masalah yang lebih besar lagi yaitu penggunaan dan manajemen lahan. Dengan demikian penanggulangannya tidak hanya mengandalkan masalah keteknikan dan biologi saja tetapi juga melibatkan perbaikan manejemen lahan. Selain itu, setiap kegiatan konservasi lahan dapat berhasil hanya bila pengguna lahan terlibat sepenuhnya dalam proses perencanaan sampai dengan implementasi. Oleh sebab itu, problem penelitian konservasi tanah harus berubah dari menghitung berapa besar tanah yang hilang menjadi seberapa besar pengaruh hilangnya tanah tersebut terhadap produktivitas lahan dan pendapatan masyarakat. Akibat tuntutan kebutuhan lahan, penggunaan lahan yang intensif menuntut perencanaan pengelolaan yang lebih mendetil, yang dimulai dari pemilihan jenis tanaman, kombinasi tanaman, rencana pemungutan hasil, pengelolaan hasil, pemasaran dan

1 Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 178: Workshop Litbang DAS 2012

150

perhitungan rugi laba serta pemilihan teknik konservasi tanah yang sesuai. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjaga kelestarian lahan dan juga kelestarian produksi, yang pada akhirnya kebutuhan masyarakat Tercukupinya. Kata Kunci : degradasi, lahan, konservasi, tanah, pengelolaan I. PENDAHULUAN Di bawah kondisi alami, beberapa jenis ekosistem berubah-ubah sesuai dengan variasi komponen penyusunnya, tanaman dan binatang penghuninya serta kondisi tanah, iklim dan topografi. Kondisi alami ini terjadi karena adanya keseimbangan dalam sistem ekologinya. Masing-masing komponen penyusun sistem ini berfungsi secara ‘normal’ sesuai dengan perannya. Kondisi alami ini dapat beradaptasi setelah adanya kejadian yang tidak biasa, seperti kekeringan dan kebakaran. Namun demikian, ketika manusia memasuki sistem tersebut, dengan cara merubah salah satu atau beberapa komponen penyusun, maka keseimbangan akan terganggu. Contoh dari intervensi manusia adalah pengolahan lahan, dimana ada pembukaan lahan dari vegetasi yang ada di atasnya. Beberapa bentuk perubahan penggunaan lahan dapat menganggu keseimbangan sistem alami yang ada. Sayangnya, kejadian ini sering kurang diperhatikan, sehingga banyak ditemui secara luas penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Konsekuensi dari ketidak harmonisan ini adalah degradasi lahan. Masalah degradasi lahan bukan merupakan hal yang baru. Meskipun masyarakat sudah aktif menerapkan konservasi tanah secara konvensional, problem degradasi lahan masih saja terjadi. Masalah degradasi lahan juga bukan merupakan masalah biofisik lahan semata. Masalah sosial, ekonomi dan kebudayaan ikut menjadi penyebab. Masalah umum degradasi lahan yang terutama akibat erosi di Indonesia adalah disebabkan oleh kurangnya lahan garapan. Akibat dari bertambahnya penduduk pedesaan, maka lahan garapan yang semula dapat mencukupi kehidupan satu keluarga petani menjadi berkurang. Lahan milik dibagi-bagi kepada anak-cucu, sehingga kepemilikan lahan menjadi menyempit. Meningkatnya jumlah penduduk juga menuntut produksi lahan yang lebih besar dan lebih bervariasi baik untuk produksi bahan

Page 179: Workshop Litbang DAS 2012

151

makanan maupun bahan bakar. Dengan demikian, untuk mengatasi masalah degradasi lahan perlu diintegrasikan penanggulangan aspek biofisik dan sosial ekonomi. Menurut Arsyad (1989), konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dengan demikian konservasi tanah terutama ditujukan untuk menanggulangi degradasi lahan khususnya erosi tanah yang dipercepat. Erosi dipercepat ini merupakan hasil dari pengaruh air dan angin. Lahan akan menjadi lebih peka terhadap pengaruh air dan angin ini apabila ada intervensi manusia ke dalam lingkungan alami. Hal ini dapat dipakai sebagai dasar dugaan bahwa erosi merupakan tanda buruknya pengelolaan lahan yang mengakibatkan degradasi lahan. Pengunaan dan pengelolaan lahan yang tepat dapat memberikan produktivitas lahan yang lebih tinggi dibandingkan produktivitas pada kondisi alami. Kondisi seperti ini dituntut untuk secara kontinyu memberi hasil yang tinggi. Dengan kata lain, konservasi tanah dapat didefinisikan sebagai kombinasi penggunaan lahan yang tepat dan praktek pengelolaan yang mendukung produktivitas dan kelestarian lahan dengan cara meminimalkan erosi dan bentuk-bentuk degradasi lahan lainnya. Riset tentang konservasi tanah sudah lama berlangsung di lingkup Kementerian Kehutanan jauh sebelum Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) terbentuk. Sebagai komponen dari kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), riset konservasi tanah sudah dilakukan dengan dibentuknya Proyek Penghijauan Departemen Pertanian 001 tahun 1969 pada skala operasional yang luas. Selanjutnya adalah formulasi sistem pengelolaan DAS pada tahun 1972 yang dilakukan oleh Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organization, United Nation) bekerjasama dengan pemerintah Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Proyek "Upper Solo Watershed Management and Upland Development Project" (TA INS/72/006). Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan secara terpadu yang mencakup aspek-aspek konservasi tanah, agronomi, kehutanan, ekonomi, hidrologi, dan penyuluhan. Kemudian beberapa proyek uji coba pengelolaan DAS terus dikembangkan

Page 180: Workshop Litbang DAS 2012

152

melalui organisasi proyek yang disebut Proyek Pusat Pengembangan Pengelolaan DAS (Proyek P3DAS), hingga beberapa proyek yang berujung pada terbentuknya BPTKPDAS. Belajar dari pengalaman tersebut maka tujuan penulisan ini adalah untuk memberi gambaran tentang kebutuhan riset konservasi tanah dimasa yang akan datang, terutama untuk mendukung reorganisasi Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Solo menjadi Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS). Di dalam pengelolaan DAS, kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan perlu dilaksanakan demi menjaga kelestarian sumberdaya lahan dan air. Untuk merealisasikan kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan perlu mengacu kepada UU No. 41 Tahun 1999 pasal 40,41 dan 42 tentang konservasi dan rehabilitasi hutan. Dalam merealisasikan rehabilitasi dan konservasi lahan aspek konservasi tanah merupakan salah satu komponen yang penting yang perlu dilaksanakan. II. PROBLEM DEGRADASI LAHAN Erosi merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dimulai ketika ada pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Meskipun sudah banyak tercatat keberhasilan praktek konservasi tanah untuk mencegah erosi tersebut namun sebagian petani yang terlibat langsung pada pengelolaan lahan masih banyak yang belum bersedia menerapkannya. Contoh paling ekstrim dapat dilihat di Dieng Kabupaten Wonosobo, pada sistem penanaman kentang dan sayuran. Banyak alasan petani tidak menerapkan konservasi tanah, antara lain adalah karena konservasi tanah memerlukan biaya ekstra dan jenis konservasi yang ada dianggap menghambat/mengganggu tanaman yang mereka budidayakan. Budidadaya kentang dan sayuran menuntut kondisi lahan yang porus dan tidak tergenang sehingga pola tanam disusun sedemikian rupa sehingga air hujan tidak mengalami hambatan dan langsung mengalir ke saluran pembuangan air. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar konservasi tanah yaitu menahan air di dalam tanah dan perlahan melepaskannya melalui

Page 181: Workshop Litbang DAS 2012

153

aliran bawah permukaan. Selama ini erosi hanya dipandang sebagai masalah teknis. Oleh karena itu penanggulangannya hanya berorientasi untuk mencegah hilangnya tanah akibat terbawa aliran air permukaan. Padahal erosi merupakan suatu tanda dari ketidaksinkronan pengelolaan lahan. Kesalahan penggunaan lahan di lokasi tersebut sebenarnya sudah lama ditengarai namun praktek-praktek pengelolaan lahan yang keliru ini masih tetap berlangsung. Kesalahan penggunaan lahan secara umum diakibatkan oleh adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan. Pemilikan lahan yang semakin lama semakin menyempit akibat pertambahan penduduk dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Masyarakat masih melakukan kegiatan pertanaman budidaya tanaman semusim di lahan-lahan miring yang seharusnya tidak layak untuk budidaya pertanian baik dilihat dari aspek kelerengan lahan dan kedalaman tanah. Pemilihan jenis maupun jenis pengelolaan lahannya dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Degradasi lahan yang berkelanjutan menyebabkan penurunan kualitas lahan dan produktivitas lahan. Sebagai muara dari masalah tersebut adalah minimnya pendapatan petani. Lingkaran ini akan terus terjadi sampai dengan diputusnya mata rantai dengan teknologi/metode/teknik/cara pengelolaan lahan yang efektif dan efisien, yang mampu menjamin kelangsungan produktivitas lahan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui perencanaan pengelolaan lahan yang komprehensif, yaitu meliputi seluruh hamparan tertentu. Dengan demikian perencanaan tidak hanya dilakukan per individu petani, melainkan dalam satu kelompok hamparan. Akibat tuntutan kebutuhan lahan, penggunaan lahan yang intensif menuntut perencanaan pengelolaan yang lebih mendetil, yang dimulai dari pemilihan jenis tanaman, kombinasi tanaman, rencana pemungutan hasil, pengelolaan hasil, pemasaran dan perhitungan rugi laba serta pemilihan teknik konservasi tanah yang sesuai. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjaga kelestarian lahan dan juga kelestarian produksi, yang pada akhirnya tercukupinya kebutuhan masyarakat. Perencanaan

Page 182: Workshop Litbang DAS 2012

154

pengelolaan lahan yang komprehensif tersebut perlu diawali dengan evaluasi lahan. Evaluasi lahan diperlukan karena kondisi lahan sangat bervariasi, akibat dari kondisi alaminya yang tidak seragam. Variasi tersebut mempengaruhi jenis penggunaan lahan. Untuk setiap penggunaan ada yang lebih/kurang sesuai dengan kondisi lahan baik secara fisik maupun ekonomi. Karakter lahan pada suatu jenis penggunaan dapat diprediksi. Dengan demikian kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaan lahan aktual dan yang direncanakan dapat secara sistematis dideskripsikan. Pengambil keputusan, seperti pemilik lahan dan perencana dapat menggunakan prediksi-prediksi ini sebagai petunjuk untuk menentukan suatu penggunaan lahan di kondisi lahan tertentu. Dari hasil evaluasi lahan akan dapat direncanakan beberapa aspek pengelolaan lahan seperti (1) kondisi lahan saat ini dan prediksi kelestarian penggunaanya, (2) perbaikan praktek pengelolaan yang mungkin diterapkan untuk perbaikan, (3) alternatif jenis penggunaan lahan yang lain yang lebih produktif dan lestari. Diharapkan dari kegiatan ini degradasi lahan dapat dihindari sebagai akibat dari suatu bentuk penggunaan.

III. KEBUTUHAN RISET KONSERVASI TANAH Problem degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi sangat khas untuk masing-masing lokasi. Dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi yang berbeda menuntut metode penanggulangan yang berbeda pula. Sebagai contoh, kondisi topografi berlereng terjal dengan solum tanah yang relatif masih dalam dan subur akan berbeda penanganannya dengan kondisi yang sebaliknya yaitu bersolum tanah tipis dan kurang subur. Mengingat konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan meningkatkan daya guna lahan sesuai peruntukkannya maka konservasi tanah adalah usaha mempertahankan tanah dari kehilangan, kerusakan dan penggunaan sia-sia. Perlu dibedakan konservasi tanah dengan tujuan untuk konservasi (menjaga/ mencegah/mempertahankan) atau untuk rehabilitasi (memperbaiki). Kondisi yang pertama menuntut konservasi agar produktivitas lahan terjaga atau dapat ditingkatkan. Sedangkan

Page 183: Workshop Litbang DAS 2012

155

pada kondisi kedua maka perlu tindakan rehabilitasi untuk mengembalikan kondisi lahan pada kondisi produktif seperti semula. Tahapan keberhasilan konservasi dan rehabilitasi tentu saja berbeda, mengingat kondisi kualitas lahan yang berbeda. Dengan demikian dalam menilai keberhasilannya pun berbeda. Kebutuhan riset mendatang bisa dipilah menjadi dua aspek yaitu teknologi dan proses adopsi teknologi penelitian. Aspek teknologi dapat didasarkan pada teknis yang secara umum digunakan (site specific, kesesuaian lahan) dan juga memperhatikan aturan perundangan yang berlaku. Aspek adopsi dapat didasarkan pada teknologi yang mudah dilaksanakan masyarakat atau teknologi yang berbasis modelling yang dapat digunakan oleh institusi-institusi yang terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Anonimous, 2011). Bermacam-macam jenis konservasi tanah telah dirancang dari hasil penelitian dan pengalaman lapangan. Berbagai jenis konservasi telah dirangkum dalam buku petunjuk teknis tentang konservasi tanah antara lain seperti yang disusun oleh Tim Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS IBB 2002) dan Tim Litbang Pertanian (2007). Dalam buku tersebut selain terdapat rancangan teknis juga dilengkapi dengan sedikit analisis kebutuhan biaya dan efektifitasnya. Namun demikian mengingat masalah konservasi tanah sebagai bagian dari pengelolaan lahan, bukan hanya mengenai biofisik saja, tetapi juga masalah sosial ekonomi maka riset konservasi masih perlu dilakuan. Riset tersebut harus dilakukan secara integratif yang meliputi berbagai aspek. Aspek yang dapat diteliti dalam rangka untuk memecahkan masalah degradasi lahan antara lain adalah penelitian yang dapat memberi solusi dalam pemilihan jenis tanaman, kombinasi tanaman, rencana pemungutan hasil, pengelolaan hasil, pemasaran dan perhitungan rugi laba selain juga mampu berfungsi mengendalikan erosi dan mencegah degradasi lahan. Penelitian dilakukan dengan menerapkan pola-pola yang memadukan kombinasi tanaman (semusim, tahunan) maupun

Page 184: Workshop Litbang DAS 2012

156

beberapa usaha tani lain yang site specific. Pada pola tersebut dapat diaplikasikan pula teknik konservasi tanah (mekanis maupun kimiawi) sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Masyakarat dan para pihak dilibatkan secara total dari awal perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan. Analisis perlu dilakukan secara komprehensif. Efektifitas pola-pola yang diterapkan akan dapat dilihat secara fisik maupun ekonomis. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan penelitian, kelemahan yang sering mengganggu keberlangsungan kegiatan adalah kurang intensifnya masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan metode penelitian yang telah dirancang. Dengan demikian apa yang dihasilkan kurang dapat diaplikasikan karena satu dan lain hal, antara lain kegiatan yang dilaksanakan kurang menarik minat karena dianggap tidak memberikan manfaat secara langsung dan tidak ada kegiatan pendampingan kepada masyarakat. Kegiatan pendampingan diperlukan karena kegiatan penelitian umumnya bersifat keproyekkan dengan jangka yang tidak terlalu lama (lima tahunan). Sedangkan metode-metode yang diterapkan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat terlihat keberhasilannya, misalnya pertumbuhan tanaman keras dan dampaknya terhadap penurunan laju erosi. Problem degradasi lahan tidak hanya terjadi di lahan milik masyarakat, tetapi juga terjadi di kawasan hutan milik negara (misal Perum Perhutani). Potensi degradasi tersebut paling menonjol terdapat pada tegakan tua dan tegakan yang sedang diteres. Pada kondisi tersebut jarak tanam sudah cukup lebar sehingga fungsi pohon sebagai pelindung tanah sudah tidak optimal lagi dan terkadang tumbuhan bawah telah jarang sehingga lantai hutan terlihat terbuka. Di lokasi-lokasi terjal, lahan bekas tebangan dan sepanjang sungai banyak dijumpai hamparan yang rawan terhadap erosi. Penelitian untuk mengatasi degradasi lahan di kawasan hutan tersebut perlu juga dilakukan, terutama untuk mengoreksi anggapan sebagian orang bahwa kawasan hutan tidak memerlukan kegiatan konservasi tanah lagi karena penutupan lahan oleh vegetasi pohon dianggap dapat melindungi tanah dari erosi.

Page 185: Workshop Litbang DAS 2012

157

Dalam konteks pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu, dimana diperlukan one river, one plan and one integrated management, maka perencanaan penggunaan lahan amat diperlukan dalam rangka mencegah degradasi lahan yang pada akhirnya akan menurunkan kesehatan DAS. Lahan harus digunakan sesuai dengan daya dukungya untuk suatu penggunaan yang lestari. Apabila dalam penggunaanya tidak demikian, maka diperlukan alternatif teknik konservasi yang mampu mencegah degradasi lahan. Teknik tersebut harus sangat site specific. Riset tentang aspek penggunaan lahan yang berkaitan dengan degradasi lahan sangat diperlukan. Riset tersebut dapat berupa kajian tentang jenis-jenis penggunaan lahan dan produktivitasnya dilihat dari aspek biofisik dan ekonomis.

IV. PENUTUP Hasil penelitian bidang konservasi tanah sudah sangat maju, teknik konservasi vegetatif, teknis sipil, kimia maupun biologis sudah banyak dihasilkan. Namun demikian, problem konservasi tanah bukan hanya masalah bifisik semata, tetapi menyangkut juga masalah sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu, penelitian konservasi tanah dimasa yang akan datang lebih baik ditekankan kepada aplikasi teknik-teknik yang sudah ada tersebut dengan menyesuaikan problem-problem lokal yang sangat spesifik. Penelitian tidak hanya dilakukan di lahan milik masyarakat tetapi juga kawasan hutan negara. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2011. Semiloka riset pengelolaan DAS menuju

kebutuhan terkini. Surakarta, 27-28 Juni 2011, Balai Penelitian Kehutanan, Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Surakarta.

Arsyad, S. 1989. Teknik konservasi tanah dan air. Penerbit ITB, Bandung.

Tim Peneliti BP2TPDAS IBB. 2002. Pedoman praktik konservasi tanah dan air, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat, Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Surakarta.

Page 186: Workshop Litbang DAS 2012

158

Tim Litbang Pertanian, 2007. Petunjuk teknis teknologi konservasi tanah dan air. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.

UU No. 41. 1999. Kehutanan. http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-41-1999.pdf Diunduh 18 Juni 2012).

Page 187: Workshop Litbang DAS 2012

159

Lampiran 1. Jadwal Acara

JADWAL ACARA WORKSHOP “Penelitian dan Pengembangan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai” Solo, 21 Oktober 2011

Waktu Acara Pembicara Ket

08.00-08.30 PENDAFTARAN

08.30-08.35 Doa

08.35-08.40 Menyanyikan lagu Indonesia Raya

08.40-08.50 Laporan Panitia Penyelenggara

Kasie PE BPTKPDAS Ir. Salamah Retnowati

08.50-09.10 Arahan dan Pembukaan

Kepala Badan Litbang (Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc)

09.10-09.30 REHAT KOPI

09.30-10.00 Keynote Speech : Riset Pendukung Pengelolaan DAS Terpadu

Dirjen Bina PDAS dan Perhutanan Sosial (Dr. Ir. Harry Santoso)

Moderator: Dr. Ir. Amir Wardhana, MSc Notulen: 1. Nana Haryanti, S.Sos, MSc 2. Nur Ainun J.S. Hut, M.Sc

10.00-10.15 Paparan tentang arah dan strategi litbang pengelolaan DAS kedepan

Kepala BPTKPDAS (Ir. Bambang Sugiarto, MP)

10.15-10.45 DISKUSI

10.45-11.15 Paparan Rencana Riset terkait Sistem Pengelolaan DAS (Aspek : perencanaan, monev, implementasi dan soseklem)

Ir. Paimin, M.Sc

Fasilitator: Ir. Haryanto R. Putro, MS Notulen: 1. Nana Haryanti, S.Sos, MSc 2.Nur Ainun J.S. Hut, M.Sc

11.15-11.35 Pencermatan Narasumber

Dr. Eka W. Sugiri Prof. Dr. Sampe Paembonan

Page 188: Workshop Litbang DAS 2012

160

Waktu Acara Pembicara Ket 11.35-13.15 ISHOMA

13.15 - 14.15 DISKUSI LANJUTAN

14.15-14.45 Paparan Riset Teknologi Pengelolaan DAS (Aspek : Konservasi Tanah dan Air wilayah daratan dan Pantai)

Ir. Tyas Mutiara Basuki, M.Sc

Fasilitator: Ir.Haryanto R. Putro, MS Notulen: Nana Haryanti, S.Sos, MSc Nur Ainun J.S. Hut, M.Sc

14.45-15.15 Pencermatan Narasumber

Ir. Billy Hindra, MSc Dr. Agnes Rampisela Dr.Ir. Soenarto Gunadi, DAA

15.15-16.15 DISKUSI

16.15-16.45 Rehat Kopi

16.45-17.00 Presentasi hasil perumusan

Perumus: 1. Ir. Salamah Retnowati 2. Ir. Purwanto, MSi 3. Ir. Beny Harjadi, MSc Moderator: Dr. Ir. Amir Wardhana, MSc

17.00-17.30 floor

17.30-18.30 ISHOMA

18.30-19.00 PENUTUPAN Dr. Ir. Amir Wardhana, MSc

Page 189: Workshop Litbang DAS 2012

161

Lampiran 2. Daftar Peserta

DAFTAR PESERTA WORKSHOP “Penelitian dan Pengembangan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai” Solo, 21 Oktober 2011

No Nama Instansi Asal 1 Dr. Ir. Tachrir Fathoni Badan Litbang Kehutanan di Jakarta 2 Dr. Ir. Harry Santosa Dirjen BPDAS PS di Jakarta 3 Ir. Billy Hindra, M.Sc Dirjen BPDAS PS di Jakarta

4 Dr. Ir. Amir Wardana, M.Forst BBPBPTH di Yogyakarta

5 Ir. Ambar Kusumandari, MES Fahutan UGM di Yogyakarta

6 Ir. Soenarto Gunadi, DAA FTP UGM di Yogyakarta

7 Prof. Dr. Sampe Paembonan Universitas Hasanuddin Makassar

8 Dr. Agnes Rampisela Universitas Hasanuddin Makassar

9 Dr. Ir. Amir Wardana, M.For.Sc

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

10 Dr. Corryanti Puslitbang Perhutani di Cepu 11 Ir. Prasodjo Hari N, MP Puslitbang Perhutani di Cepu 12 Ir. Herudojo BPDAS Sampean di Bondowoso 13 Ir. Siti Kuniarsih Balitbangda Prov Jateng di Semarang 14 Santosa Sandy Putra, ST Balai Sabo, PU di Yogyakarta 15 Ir. Heru Winarto, M.Si BPDAS Brantas di Surabaya 16 Widayana Novatriana BPDAS Pemali Jratun di Semarang 17 Nova Adi Widanto Dishut Prop Jateng di Semarang 18 Drs. Kuswaji Dwi P, M.Si Fak. Geografi UMS di Solo 19 Samanhudi Faperta UNS di Solo 20 Ir. Kuswir Ayub BPDAS Solo di Solo 21 Siswo, S.Hut, MP BPDAS Solo di Solo 22 Nur Sihmiati, SP BPDAS Solo di Solo

23 Ir. Bambang Sugiarto, MP BPTKPDAS di Solo

24 Ir. Salamah Retnowati BPTKPDAS di Solo 25 Ir. A. Agus Munawar, MP BPTKPDAS di Solo

26 Retisa Mutiara Devi, S.Kom, MCA BPTKPDAS di Solo

27 Ir. Purwanto, M.Si BPTKPDAS di Solo 28 Ir. Paimin, M.Sc BPTKPDAS di Solo 29 Drs. Irfan Budi P, M.Sc BPTKPDAS di Solo 30 Ir. Heru Dwi Riyanto BPTKPDAS di Solo 31 Ir. Tyas Mutiara B, M.Sc BPTKPDAS di Solo 32 Ir. Beny Harjadi, M.Sc BPTKPDAS di Solo 33 Ir. C. Yudilastiantoro, MP BPTKPDAS di Solo

Page 190: Workshop Litbang DAS 2012

162

No Nama Instansi Asal 34 Dr. rer Agr. Evi Irawan BPTKPDAS di Solo

35 Nur Ainun Jariyah S.Hut, M.Sc BPTKPDAS di Solo

36 Nana Haryanti, S.Sos, M.Sc BPTKPDAS di Solo

37 Drs. Ugro Hari Murtiono, M.Si BPTKPDAS di Solo

38 Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc BPTKPDAS di Solo

39 Arina Miardini, S.Hut BPTKPDAS di Solo

40 Wahyu Wisnu Wjaya, S.Hut BPTKPDAS di Solo

41 Endah Rusnaryati, S.E BPTKPDAS di Solo 42 Muhammad Shidiq, SP BPTKPDAS di Solo 43 Ir. Kuswardani, MP BPTKPDAS di Solo 44 Wiwin Budiarti, S.Hut BPTKPDAS di Solo 45 Bihhudalta Wirid A, S.Hut BPTKPDAS di Solo 46 N a r d i BPTKPDAS di Solo 47 Ana Pangaribuan, SE BPTKPDAS di Solo 48 Istiyadi BPTKPDAS di Solo 49 Dody Yuliantoro BPTKPDAS di Solo 50 Eko Priyanto, SP BPTKPDAS di Solo 51 Bambang Subandrio BPTKPDAS di Solo 52 Anung Wijayanti BPTKPDAS di Solo 53 Edy Hartanto BPTKPDAS di Solo 54 Uchu Waluya Heri P. BPTKPDAS di Solo 55 Sururi BPTKPDAS di Solo 56 Radiyo BPTKPDAS di Solo 57 Wahyu Budiarso, SP BPTKPDAS di Solo 58 Bambang Dwi A. BPTKPDAS di Solo 59 Asep Hermawan BPTKPDAS di Solo 60 Siswo BPTKPDAS di Solo

Page 191: Workshop Litbang DAS 2012

163

Lampiran 3. Hasil Diskusi

1. PERTANYAAN

NO PENANYA INSTANSI PERTANYAAN SESION 1 MODERATOR : DR. Ir. Amir Wardhana, MSc Kesimpulan : masalah sosial, perlu dibuat pengalolaan DAS yang spesifik, diperlukan pembangunan lembaga pengelolaan DAS yang menyeluruh, pengelolaan DAS dilakukan bersama masyarakat, perlu ada alat ukur untuk DAS, peningkatan efektifitas, agar dibuat model pengelolaan DAS, tajamkan arah riset, riset dengan tema: proteksi-pemanfaatan-rehabilitasi & kelembagaan, riset harus diarahkan dari hulu-hilir, strategi riset: DAS - Sub DAS - lintas sektor. 1 Dr. Ir. Ambar

kusumandari, MSc.

FKT UGM Jumlah DAS lebih dari 17.000 lebih banyak dari Dinas PU, kalau mengelola DAS terpadu mana yang dipakai sebagai acuan dari Kehutanan atau instansi lain

Jumlah lahan kritis menurun, mengapa tidak diimbangi penurunan permasalahan lingkungan (banjir, kekeringan, longsor dll)? Mohon klarifikasi.

Di Kyoto air bersih, pembayaran air bersih membayar 2 kali, untuk air bersih dan untuk penanggulangannya. Kalau di lakukan di Indonesia akan baik

2 Prof. Dr. Sampe Paembonan

UNHAS Optimis pengelolaan DAS akan bagus berdasarkan pemakalah. Padahal kenyataan di lapangan terbalik seperti yang disampaikan, padahal lahan kritis meningkat. Mungkin ada yang salah dengan pemikiran yang

Page 192: Workshop Litbang DAS 2012

164

kita kembangkan, apa itu DAS, strategi, dukungan penelitian, evaluasi ke dalam untuk perbaikan DAS.

Ada yang lupa disampaikan konsep-konsep yang kita lakukan tidak fokus, berdasarkan satu tujuan yang jelas. Peng DAS tidak harus sama antar DAS. Peng DAS harus dilihat untuk satu tujuan tertentu. Misal untuk irigasi, air minum dan lain-lain. Pengelolaan DAS terlalu umum, PDAS atau pengelolaan lahan/ rehabilitasi lahan/rehabilitasi lahan kritis/ pengelolaan DAS saja. Harus difokuskan.

Kriteria PDAS pada air (kualitas dan distribusi air), mengapa tidak mengacu pada dasar yang ada untuk membuat perencanaan

3 DR. Ir. Soenarto Gunadi, DAA

FTP UGM MKTI

Pengelolaan DAS ada psikologi efek, seolah-olah kehutanan menangani semuanya. Pasti akan berat.

Dasar pengelolaan DAS, hakekat dan dasarnya apa? Pasti ada gol yang jelas

Kriteria DAS seperti apa?( Hulu, tengah, hilir, DAS besar, kecil, DAS utk pemukiman dll)

Fokus ketiga pemakalah apa? Biar kita bisa memberi masukan 2012-

Page 193: Workshop Litbang DAS 2012

165

2022. Kontan bisa terukur, kalau lainnya tidak terukur

Siapa penanggung jawab pengelola DAS

4 Dr. Ir. Agnes Rampisela

UNHAS DAS di Indonesia ada 36 yang di ICU, dan kita tidak tahu permasalahan. Dan tidak sehat2. Kita harus bersama2 untuk mengeluarkan DAS tersebut dari DAS yang jelek.

Dulu ada permalahan yang mengatakan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap DAS harus dirubah Rendahnya pemahaman kita kepada masyarakat. Rendahnya pemahaman pengelola DAS atas kondisi masyarakat

Perlunya pengukuran ilmiah bersama masyarakat.

Kekeruhan di Sub-sub DAS perlu diambil sampelnya, kalau bisa debit bagus

Perlu dilakukan monitoring DAS tidak sehat, dan apa yang dimonitor?

Apakah istilah DAS kritis sama dengan DAS prioritas?

Menjadi DAS prioritas karena apa?

Indikator yang menentukan kritis, agak kritis

Perlunya data base dan partisipatori

Tiap-tiap DAS perlu data lahan kritis untuk penelitian

Target harus ada DAS

Page 194: Workshop Litbang DAS 2012

166

yang ditangani/keluar ICU tiap tahun

5 Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc

BPTKPDAS DAS model digunakan untuk penelitian

Bagamana teknis pelaksanaannya

Swasta juga mempunyai Community Sosial Responsbility (CSR)yang bisa menjadi bagian DAS model

6 Nova Adianto Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah

Kasus di Dieng, mengalami perkembangan pola dan budaya dan pemanfaatan lahan akan penanaman kentang dan sayuran. Alih usaha yang akan dilakukan untuk mengganti kentang masih bingung.

DAS prioritas di Jateng Dieng, Segara Anakan, Muria, Rawa Pening

7 Ir. Heru Dwi Riyanto

BPTKPDAS Setuju dengan pak irfan Teknologi tidak

ketinggalan dengan Jepang, tapi masyarakat ketinggalan dengan Jepang

Penelitian harus diintegrasikan di satu tempat

SESSION 2 FASILITATOR : Ir. Haryanto R. Putro,MS 1 Prof. Dr. Sampe

Paembonan Universitas Hasanudin

Sebagian besar rencana paparan riset sudah memadai dan sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan roadmap penelitian Badan Litbang Kehutanan

Secara keseluruhan apa yang diteliti, dilihat dari jumlah dan kemampuan

Page 195: Workshop Litbang DAS 2012

167

peneliti apakah bisa dilakukan? Misalnya peneltian tentang evapotranspirasi di HTI, gimana BPTKPDAS mengkoordinasilan dengan dinas (eselon 2).

Penelitian pada sawit, karet dan sebagainya bagaimana penelitiannya jika hanya dilakukan satu kali saja

Perlu kaji ulang dan perenungan apa yang akan diteliti

Bagimana kita mencoba merumuskan ulang DAS itu apa? Kalau dilihat dari perumusan UU, maka PDAS agak sulit dilakukan.

Kalu dilihat dari tujuan (3) (1) melihat produksi air, mutu, jumlah, ketersediaan air. mengapa tidak difokuskan pada itu saja. Ketika masih di hutan itu urusan Kehutanan setelah masuk di DAS itu urusan PU

Perlu pendefinisian batas-batas DAS

Perlu dicermati sistem DAS itu apa?

Sistem PDAS atau Pengelolaan sistem DAS?

Salah satu cara untuk menfokuskan penelitian, harus didefiniskan ulang apa yang disebut DAS.

Penelitian-penelitian yang akan dilakukan harus melihat DAS sebagai satu kesatuan ekosistem atau sistem, sehingga rencana

Page 196: Workshop Litbang DAS 2012

168

riset menjadi utuh dan tidak terpisah-pisah. Suatu ekosistem tidak melihat hulu-tengah-hilir. Oleh karena itu diperlukan riset bagi penyusunan tata ruang DAS yang mampu mendukung tujuan PDAS. Tata ruang DAS ini minimal disesuaikan dengan arahan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan tata ruang DAS tersebut, harus diyakini bahwa kalau pembangunan itu mengikuti arahan termaksud, maka tujuan PDAS akan tercapai.

Perlu definisi operasional untuk PDAS

Pd konteks Kelembagaan ada hal yang tidak masuk dalam area penelitian kita. Sistem koordinasi ada 3 yaitu 1. pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, 2. koordinasi antar sektor dalam pemerintah, 3. DAS kalau lintas provinsi atau kabupaten harus dilihat. Hal tersebut menimbulkan kerumitan.

Ragu apa litbang bisa melakukan penelitian kelembagaan, karena litbang eselon 3 sedang kabupaten eselon 2.

Berdasarkan pada arahan tata ruang DAS dilakukan berbagai riset sesuai dengan fungsi dan peruntukan DAS

Page 197: Workshop Litbang DAS 2012

169

termaksud. Oleh karena itu penentuan jenis tanaman, jarak tanam, pola tanam, partisipasi masyarakat dll tidak sama pada setiap arahan penggunaan lahan hasil penyusunan Tata ruang DAS tersebut.

2 Ir. Billy Hindra, M.Sc

Dasar hukum/kebijakan yang tekait yang perlu dijadikan dasar : PP no 76/2008 dll

Kerusakan DAS perlu diperbaiki. Pengelolaan DAS tidak hanya terpadu, tapi perlu dijabarkan.

instrumen kebijakan dan teknologi sudah memadai , tapi mengapa masih ada masalah

Masukan litbang tentang peraturan perundangan tentang rehabilitasi lahan

3 Dr. Agnes Rampisela

UNHAS Lahan kritis tidak berhasil dikurangi karena tempat penanaman salah, jenis pohon kurang tepat., tidak berdasarkan hasil hidrologi. Paling gampang mengukur kekeruhan.

Menentukan 10 DAS model analisis tingkat kekeruhan masing-masing sub DAS tentukan sub DAS untuk menjadi daerah penelitian temukan kerusakan lahan dan DAS tentukan teknologi konservasi dan rehabilitasi berdasar buku panduan yang ada terapkan di lapangan sambil terus mengukur dan memonitor indikator tujuannya

Page 198: Workshop Litbang DAS 2012

170

adalah DAS sehat Penelitian kontinyu

minimal 10 tahun Partisipatori Uji coba Tanaman sagu juga perlu

dilakukan penelitian (tanaman cadangan pangan, bisa menahan tsunami)

4 Dr. Ir. Soenarto Gunadi, DAA

FTP UGM MKTI

Indonesia makin banyak peraturan tapi pengelolaan DAS makin tidak teratur. Azas legal itu siapa? Sehingga perlu ada pembenahan

Kita ingin mengelola DAS, langkah dasar filosofinya apa? Yang dikelola potensi sumber alam agar keluar model tertentu. Mari inventarisasi hasil penelitian yang telah dilakukan, kemudian diuji parameter yang sudah ada. Fisik berhasil belum tentu ekonomi berhasil. Model berhasil jika efesien efektif.

Evaluasi ada, tapi belum tersosialisasi, Monitoring dan sebagainya. Sehingga akan terbentuk road map PDAS. Kapan skala biofisk berhasil, kapan sosek berhasil? Administrasi merupakan manajemen sharing.

Teknologi adalah bentuk inovasi. Apakah ada inovasi? Seperti sidik cepat DAS perlu dikembangkan lagi

Kelapa sawit merupakan

Page 199: Workshop Litbang DAS 2012

171

sumber energi, tetapi dijadikan kambing hitam? Tidak setuju

Evaluasi belum tersosialisasi. Monev itu untuk perencanaan

Roadmap pengelolaan DAS seperti apa?

Roadmap harus dipetakan kapan secara biofisik berhasil, kapan akan masuk secara social

5 Dr. Ir. Ambar Kusumandari

FKT UGM PDAS bagaikan menyembuhkan penyakit. Untuk mengatasinya perlu ditentukan kita akan berangkat kemana sampai ke mana? Pertama yang kita lakukan adalah DAS kritis, sehingga yang diteliti hidrologi, konservasi,erosi, sedimentasi. Di lapangan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan fungsinya. Ini merupakan awal kerusakan lahan.

Climate change itu karena alam atau manusia, belum ada penelitiannya.

REDD, carbon stock, climate change jika kita punya data series, maka kita tdk perlu menyalahkan siapa-siapa.

Kita perlu kerjasama dengan pihak LNutk penelitian dan minta alat

6 Heruwinarto Kasie Evaluasi dan Pelaporan BPDAS Brantas

Di DAS Tondano terjadi kerusakan DAS Menyusun perda PDAS

Pemahaman mengenai DAS tidak tahu. Sehingga perlu kesepahaman apa itu DAS

Page 200: Workshop Litbang DAS 2012

172

Setuju dengan Pak Paimin, bagaimana kita menyusun formula koordinasi sistem PDAS

Kita masih lemah tentang masalah sosek, bagaimana koordinasi antar lembaga, bagaimana penelitian tentang koordinasi

7 Kusmadji Dwi Priyono

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Mengapa ketika bicara ego sektoral, dan sebagainya tidak melakukan penelitian tentang DAS terpadu

8 Herudoyo BPDAS Sampeyan

DAS itu milik banyak pihak, tapi melihat PDAS terpadu, tidak jadi2.

Bagaimana persepsi pemda untuk PDAS

Pemilihan jenis tanaman untuk mendukung BPDAS sebagai center of excelent

BPTKPDAS membackup kehutanan. Tapi mau meneliti sawit dan kelapa. untuk evapotranspirasi. Ini bukan tanaman kehutanan. Tanaman sawit menurut penelitian menguras air

Sosek perlu diberi ruang khusus

Agroforestry selama ini hanya itu-itu saja

2. TANGGAPAN

No Narasumber Tanggapan SESSION 1 1 DR. Ir. Tahrir fatoni Membangun kehutannan, itu

membangun sosial Kunci keberhasilan pengelolaan

kehutanan “ ngewongke” conflict

Page 201: Workshop Litbang DAS 2012

173

resolution tapi masyarakat harus dapat keuntungan

Forum perlu merumuskan dan menyepakati Criteria Monitoring System (MRV) untuk lahan kritis.

Setuju di sungai harus ada alat kekeruhan, alat erosi.

2 Dr.Ir. Harry Santoso Kita belum bisa menunjukkan apa itu DAS Mikro (MDM)

DAS Garang akan coba ditreatmen untuk Das Mikro. Di Solo membangun DAS Keduang kerjasama dengan UNS.

Data yang disajikan berbeda dengan PU hanya jumlah DASnya yang berbeda, SWS masih sama dengan PU. PU menggabungkan beberapa Sub DAS kecil.

Jumlah DAS 17.000 tapi yang menjadi prioritas adalah 108 DAS. Prioritas 5 th 108 DAS prioritas dengan kriteria tertentu.

Lahan kritis yang menjadi sasaran adalah yang krtitis dan sangat kritis.

Kondisi lingkungan berubah, apa lebih baik atau lebih jelek, kami mempunyai kriteria tersendiri untk mengevaluasi.

Tujuan pengelolaan DAS harus fokus setuju, tujuan kami memang normatif.

KISS sulit dilaksanakan. Penetapan kriteria lahan kritis sudah

ada detail dari berbagai aspek Alat sudah ada (SPAS), hanya tidak

semua outlet ada SPAS. Dipasang ditempat yang strategis

108 DAS tidak menyembuhkan, semua bertanggung jawab akan das proritas, perlu pengelolaan DAS Terpadu berdasar PP 38 th 2007.

Peta spasial berbasis GIS sudah ada (baik itu lahan kritis, kritis, potensial kritis)

Gerhan ada yang berhasil ada yang gagal

Page 202: Workshop Litbang DAS 2012

174

Yuridiksi penelitian ada di Badan Litbang.

3 Bambang Sugiarto Banyak kegiatan penelitian tidak pada satu kegiatan yang utuh. Oleh karena itu kedepan perlu DAS yang menjadi wakil

Perlu diketahui potensi yang ada, sehingga yang dikembangkan adalah potensi yang ada diarahkan kesitu.

Pemangku kebijakan harus lintas sektoral

Karakterisasi DAS dan tipologi DAS mohon bisa diadopsi, sehingga jika ada masukan bisa menjadi perbaikan buat kami.

Alat monitor langsor sudah ada DAS dipantau dari permasalahan-

permasalahan yang kecil sehingga diharapkan penyakit bisa terobati.

SESSION 2 1 Ir. Paimin, M.Sc Untuk Pak Haryanto, kalo sudah ada

peraturan mengapa perlu diteliti? Padahal DAS semakin jelek. Bagaimana kita mengimbangi dinamika? Sehingga diperlukan penelitian.

Penelitian perlu untuk melihat UU itu tepat atau tidak.

Dengan adanya peningkatan pertumbuhan penduduk, maka akan terjadi perubahan.

Penelitian berdasarkkan UU agar penelitian tidak berjalan semaunya.

Batas DAS sudah ada dalam UU, sehingga jika diubah, maka akan mengubah UU

Hulu tengah hilir, merupakan satu pemikiran

Hierarkhi DAS, Sub DAS, Sub-sub DAS harus match dengan daerah tangkapan air

Teknik penanaman dengan tujuan proyek harus sesuai

2 Ir. Tyas Mutiara Penelitian tidak berlangsung 1 tahun

Page 203: Workshop Litbang DAS 2012

175

Basuki, M.Sc tapi beberapa tahun. Penelitian tidak dilakukan single

BPTKPDAS saja tapi bekerjasama dengan balai lain

Teknik konservasi tanah banyak ditinggalkan, karena sifat social, ekonomi dan kelembagaan kurang, maka perlu partisipatif.

Software FAO sudah ada, tapi jenis tanaman jenis tanaman luar Indonesia.

Sawit dan kelapa yang bukan tanaman kehutanan. Dalam UU ada tentang sawit ditanam di lahan yang kurang produktif. Karakteristik lahan jika diubah menjadi tanaman sawit. karakteristik tanah dan iklim mikronya bagaiman. Begitu juga karet .

Lisimeter untuk dapat gambaran awal Bagaimana mengakses klimatologi dari

remote sensing Pedoman KTA ada yang seperti

dipresentasi P Billy Riset evapotranspirasi jenis HTI, Penyakit mangrove

3. KESIMPULAN

Ir. Haryanto R. Putro,MS

Pada DAS yang belum kritis bagaimana, bagaimana cara agar tidak menjadi kritis

Perlu penelitian tentang adaptasi masyarakat di DAS kritis

Baseline info DAS lemah terkait hidrologi dan sosek. Contoh berapa banyak guludan diimplementasi di DAS tertentu

Tidak ada data mengenai dimana sebaran lahan kritis, akibatnya kegiatan terulang ditempat yang sama

Data hidrologi lemah mengenai kekeruhan, debit dan neraca air

Page 204: Workshop Litbang DAS 2012

176

Masalah sosial seperti berapa institusi lokal dengan social capital tidak ada data

Jika di DAS tidak ada intervensi kondisinya seperti apa juga tidak ada data

Apa intervensi yang paling penting untuk data yang lemah harus dikeluarkan

Spatial modeling ada di internet Pada system PDAS, policy menjadi

SOP management sistem

Notulen : Nur Ainun Jariyah Nana Haryanti

Page 205: Workshop Litbang DAS 2012