LINGUA STBA LIA (Vol. 7, No. 1, 2008)

85

description

LINGUA STBA LIA Jakarta is a biyearly academic journal from STBA LIA Jakarta (Indonesia) which publishes the journal through PPPM, a unit of Research and Community Development .The content of this journal revolves around issues on Literature, Journalism, Translation, Linguistics, Cultural Studies, and Language Teaching. The writers are from the teaching staff of STBA LIA and other people from outside campus.Most articles in this journals are written in Indonesia and the rests are in Indonesian and Japanese.This journal is registered at: http://u.lipi.go.id/1180428792. More information about STBA LIA Jakarta can e found here: http://www.stbalia.ac.id/.

Transcript of LINGUA STBA LIA (Vol. 7, No. 1, 2008)

  • ISSN 1412-9183 Volume 7 Nomor 1, Maret 2008

    fLHtAH LINGUA

    PUSATPENELITIAN DANPENGABDIANPADAMASYARAKAT SEKOIAHTINGGI BAHASAASING UAJAKARTA

    Penasihat Dr. Ekayani Tobing

    Penanggung Jawab Sulistini Dwi Putranti MHum.

    Penyunting Penyelia Askalani Munir, M Pd

    Penyunting Pelaksana DewiA.Yudhasari, MHum.

    Vera Syamsi, MHum.

    PenyuntingTamu/PenelaahAhii Dr. AgusAris Munandar

    Sekretaris Agus Wahyudin, MPd

    TataUsaha Tety Kumiati

    Alamat Redaksi Jalan Pengadegan Timur Raya No.3

    Pancoran, Jakarta 12770 Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181048

    E-mail: [email protected]

  • ISSN 1412-9183 Volume 7 Nomor 1, Maret 2008

    Jendela

    JlIRNAL fLHfAH LINQUA

    DAFfARISI

    Membangun Karakter Bangsa (Character Building) dalam Rangka Pertemuan Jati Diri Bangsa 2008 Conny R. Semiawan

    LinguistikAntropologi: Disiplin Dmu yang Tennajinalisasi pada Program Studi Linguistik Katubi

    Karya SastraMasyarakatJawaKuna AgusAris Munandar

    ../ Various Techniques Teaching IELTS E.S Lumbantontan

    Analisis Tes K.eterampilan Menulis yang Digunakan di Jurusan Inggris STBA lJA Jakarta Supriyatna

    Pedoman Penulisan Jumal Dmiah LINGUA

    i-ii

    1-10

    11-30

    31-54

    55-65

    66-77

  • Globalisasi ke segala penjuru dunia tampaknya sulit dicegah. Berbagai hal seperti perkembangan teknologi informasi hampir dipastikan telah melesap pada semua sektor kehidupan. Hal tersebut berdampak berubahnya tatanan perilaku manusia akibat penetrasi cara berpikir, budaya, atau hal lainnya yang dimotori oleh negara-negara kuat terhadap negara-negara yang lemah. Paradigma ini telah membawa keberuntungan pada pihak tertentu yang telah menguasi berbagai disiplin ilmu, sedangkan di sisi lain membawa efek negatif, seperti pudarnya jati diri bangsa sehingga identitas yang dimiliki samar untuk dikenali. Kalaupun ada sekadar ditunjukkan secara ceremonial sebab jengah untuk dilihat.

    Perubahan ke arah kemajuan merupakan keniscayaan sebagai salah ciri masyarakat modern. Namun, kepribadian sejati tidak harus diabaikan. Bergeraka terus menuju kemaslatan memang seharusnya, tetapi sifat asli hams tetap ada diri bangsa.

    Agar hal-hal positif di at as tetap dimiliki bangsa Indonesia, human capacity development secara fundamental hams dilakukan sejak sekarang. Secara konkret, hal itu hanya dapat dilakukan melalui pendidikan, sebagai bentuk pembebasan manusia dari segala ketertinggalan. Dengan cara ini eksistensi karakter asli akan tetap terpelihara sebagai upaya membangun jati diri bangsa, baik mas a sekarang maupun akan datang.

    Tulisan pertama Volume pertama 2008 dari Prof. Conny R. Semiawan di atas mengingatkan betapa penting peran pendidikan sebagai upaya membangun karakter bangsa. Melalui human capacity development bukan hal yang mustahil

    lendela

  • jati diri itu akan tegak kembali dimiliki bangsa Indonesia, yang saat ini nyaris ditinggalkan masyarakatnya.

    Di samping itu, ada beberapa tulisan lain, seperti Linguistik. Antropologi: Disiplin Ilmu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik, Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna, Various Techniques Teaching fELTS, dan Analisis Tes Keterampilan Menulis di Jurusan Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta.

    Semua tulisan di atas tentu menarik untuk dibaca. Berbagai analisis dan sudut pandang dikemukan oleh para penulisnya secara saksama dan mendetail. Anda ingin mengetahui lebih lanjutl? Silakan baca Jurnal UNGlJA Volume 7, No.1, Maret 2008 ini.

    Redaksi

    ii lendela

  • MEMBANGUN KARAKTER BANGSA (CHARACTER BUILDING) DALAM RANGKA PERTEMUAN JATI DIRI BANGSA 2008

    Prof. Conny R. Semiawan'

    Abstrak Dampak penetrasi budaya Barat secara global membawa perubahan dalam berbagai

    kehidupan. Adanya kolonisasi budaya ini berpengaruh terhadap perilaku atau karakter bangsa-bangsa, yang secara sadar atau tidak sadar, telah menerimanya. Untuk mencari solusi atas masalah tersebut perlu upaya pembangunan jati diri bangsa agar tetap eksis sehingga menjadi bangsa dengan segenap karakter dasar yang telah dimiliki. Dalam hal ini perubahan secara fundamental untuk memberdayakan manusia sesuai dengan kemampuan yang ada merupakan salah satu jalur tempuh untuk mencapai human capacity development (HCD). Secara konkret misi itu hanya dapat ditempuh melalui pendidikan, sebagai bentuk pembebasan manusia dati segal a ketertinggalan.

    Kata kunci : karakter bangsa; jati diri

    Abstract The globalization impact of the penetration of western culture has brought changes in all aspect of life. This cultural colonialism influences the characteristics or behaviour of nations which accept it. To find a solution for that problem, a nation should build its identity to exist as strong nation with its own basic characters. In achieving human capacity development, the nation should establish fundamental changes to empower its people. This mission can only be accomplished through education, the only way to escape from poverty.

    Keys word: nation's chacacter; identity

    . Konteks Pengembangan Disertai global warning, arus global merombak seluruh aspek

    kehidupan semua bangsa dan negara, tidak terkecuali Indonesia dalam memasuki abad ke-21.

    Abad ke-21, abad baru telah juga membawa peradaban baru, sekaligus restrukturisasi ke dalam perubahan dunia yang berpengaruh

    * Guru Besar pad a Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam bidang Psikologi Pendidikan, Anggota Komite Nasional Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan (KNAPPP) Kementrian Riset dan Teknologi, Anggota Dewan Pengurus Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (YPPM), Ketua Yayasan Pendidikan Musik (YPM), Ketua Yayasan LIA. Membangun Karakter Bangsa (Character Building) Dalam Rangka Perlemuan Jati Diri Bangsa 2008 (prof. Conny R. Semiawan') 1

  • terhadap aspek ekonomi, sosial, politik, serta perilaku manusia di masyarakat. Sementara itu, dua jenis ideologi dalam mengalami perubahan yang dahsyat itu terejawantahkan dalam sikap hidup manusia, yaitu sikap hidup pragmatis dan sikap hidup idealistis.

    Dalam gejolak perubahan dunia tersebut di Indonesia pun ada sekelompok manusia yang masih mempunyai cita-cita yang mangacu pada idealisme untuk membangun bangsa ini dan tetap mempertahankan kehidupan bangs a dan negara serta keseluruhan masyarakat yang madani, adil, dan sejahtera dengan berbagai usaha dan kontribusi dari berbagai segmen kehidupan.

    Sementara itu, theoverwhelming forces of pragmatism melanda seluruh negara kita juga, dari grass root level sampai dengan the top level of society. Sikap pragmatisme telah begitu jauh sehingga malah mau mengorbankan sumber daya alam Indonesia untuk bisa mencapai kemakmuran yang pragmatis tersebut, bahkan tanpa peduli lagi akan nilai-nilai dalam membangun karakter bangsa yang berlandaskan filsafat Pancasila untuk membangun kesejahteraan rakyat yang merata dan berkeadilan.

    Namun, membangun karakter bangsa tidak dapat terjadi dalam suatu isolasi permasalahan lepas dari konteks yang lebih komprehensif. Paper ini dimaksudkan membeberkan the what, why, and how membangun character bangsa dalam konteks perubahan fundamental kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

    II. What is going on in Our Country?

    2

    Sejak beberapa dekade yang lalu dengan adanya reformasi dalam kehidupan politik, maka kehidupan masyarakat diarahkan pada landasan demokratisasi. Namun, demokratisasi yang diharapkan seyogianya

    LINGUA Vo!.7 No.1, Maret 2008 1-10

  • menggandeng tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang madani. Cara seperti ini memperkuat komitmen untuk menentang jalan pendek yang mementingkan kepentingan segelintir orang. Partisipasi takyat diharapkan juga menunjang pencapaian kesejahteraan.

    Gerakan politik dan pengembangan aspek ekonomi seyogianya merupakan sepasang action masyarakat yang harmonis mengusung dan menyejajarkan kedua komitmen dalam satu gaya pembangunan nasional yang terpadu dan harmonis (Jusuf, D., 2007).

    Namun, hal ini tidak terjadi, kehidupan politik berjalan sendiri dilaksanakan oleh politikus yang kurang profesional, apalagi segi akademis yang banyak digerakkan oleh parpol yang menjadikan aspek politis ini kendaraan meraih kekuasaan, dalam suasana hukum yang tidak menentu dan sangat nyata mengarahkannya kepada pragmatisme yang sangat hedonistis. Makin lama gerakan tersebut terarah pada tujuan dan sikap hidup "to have rather than to be". Bahkan fakta bahwa sebagian rakyat kita masih hidup dalam dunia kemiskinan, ketidakadilan dan peperangan antarsuku, antaragama dan lapisan masyarakat miskin yang berposisi tidak puny a kontra dengan yang punya. Kontradiksi ini tidak saja diabaikan, tetapi juga diingkari oleh sebagian kelompok masyarakat yang berkuasa.

    Harapan bahwa landasan hidup berkarakter, bermoral, dan beretika adalah hal-hal yang sangat jelas kurang dipedulikan. Sementara itu, arus global juga memberikan tekanan yang memperngaruhi kepada perkembangan masyarakat. Hal tersebut juga tampak dalam kegiatan KKN atau jual beli ijazah yang merupakan kendaraan-kendaraan untuk menggali jalan pintas dalam mencapai gaya hidup "to have" tersebut.

    Kepemimpinan yang bagaimana diperlukan untuk mengarahkan cita-cita masyarakat kepada kepribadian dan karakter yang diperlukan untuk

    Membangun Karakter Bangsa (Character Building) Dalam Rangka Pertemuan Jati Diri Bangsa 2008 (Prof. Conny R. Semiawan") 3

  • 4

    menyertai kehidupan ini dengan cita-cita bangsa yang murni? Kemampuan dan keterampilan apa yang diperlukan oleh masyarakat kit a dalam meraih cita-cita tersebut untuk mas a depan?

    Tidak dapat diingkari bahwa arus global yang merambah negeri kita, harus juga diperhatikan dalam pembangunan bangsa, sehingga kita tidak terpelanting dalam arus tersebut.

    Era global tercetus sebagai dampak modernisasi yang bermula pada era pencerahan (enlightment abad ke-16) di Eropa. Setelah berbagai dekade, budaya Barat merambah ke seluruh dunia yang disertai oleh munculnya kapitalisme di dunia Barat dalam upaya meningkatkan modal dan bahan mentah untuk keperluan industrinya.

    Karenanya budaya Barat modern membawa akses seperti kolonialisme budaya (Tilaar, 2006), beberapa ekses terkait antara lain adalah: degradasi lingkungan karen a pembangunan industri dan dehumanisasi pekerja pabrik yang menganggap para buruh sebagai alat produksi industri tersebut yang dikenal dengan istilah sumber daya manusia (SDM) sehingga manusia dianggap sumber bagi pengembangan produksi, suatu alat dalam perrnesinan industri. Perlakuan manusia sebagai alat produksi membawa serta degradasi kemanusiaan (dehumanisasi), terutama terjadi di koloni.,_ (negara jajahan), dan mengakibatkan kesengsaraan dan kemiskinan di temp at bekas jajahan negara Barat itu. Dalam kortteks pendidikan, orientasi tersebut berdampak terhadap pembelajaran di kelas. Sikap dehumanisasi mengakibatkan pembelajar penurut yang duduk, dengar, diam. Guru adalah aktor utama di kelas dan murid tinggal menurut, sementara otaknya "diisi" dengan pengetahuan.

    UNGUA Yol.7 No.1, Maret 2008 1-10

  • Pendidikan sebagai Proses Membebaskan Diri Berbeda dari pandangan ini, muncul juga pemikiran dalam dunia

    pendidikan yang mempakan "proses membebaskan manusia", manusia memperoleh peluang mengaktualisasikan diri secara "to become what he is capable of", suatu upaya untuk memberdayakan manusia sesuai kemampuan yang ada padanya dan sesuai pilihannya sendiri. Ini adalah suatu pengembangan kemampuan rnanusia (human capacity development, HeD).

    Tren yang kemudian muncul dalam abad 20 dan 21 dalarn era globalisasi ekonorni yang diikuti difusi modal adalah bahwa para negara rnaju berinvestasi di negara berkembang (Levinger, 1996). Selain itu, difusi informasi tersebut manjalar ke selumh dunia. .

    Bagi negara berkembang, HeD berarti mernbangun dan meningkatkan tingkat kemampuan manusia sebagai individu yang unik sehingga mamaksimalkan partisipasinya secara inklusif dalam pengernbangan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat hams juga membuka peluang bagi anggotanya sehingga perkernbangannya yang secara genetis ada padanya, terealisasikan dalam interaksinya dengan dunia karena partisipasi ini merniliki relasi sosial maupun personal. Peluang partisipasi ini secara esensial disosialisasikan ke masyarakat dalam konteks globalisasi sehingga cepat terjadi perkembangan manusia dan masyarakat secara berkelanjutan.

    HeD adalah suatu on-going life long achevement dan dapat ditandai dalam tiga fase utarna, yaitu fase usia dini, fase usia sekolah, dan fase usia dewasa yang berkelanjutan ke lanjut usia. Usia dewasa ditandai oleh penghasilan dan pencarian nafkah. Munculnya berbagai teknologi bam yang berdampak terhadap tren pendidikan dan tidak tedepas dari tren difusi informasi serta difusi modal yang secara sinergetik dan simbiotik berinteraksi mempergunakan perolehan informasi, mengevaluasi, menerapkan, dan

    Membangun Karakter Bangsa (Character Building) Dalam Rangka Pertemuan Jati Did Bangsa 2008 (Prof. Conny R. Semiawan") 5

  • memanfaatkannya adalah kunci kesejahteraan bangsa. Negara berkembang merasakan kebutuhannya untuk mewujudkan strategi yang meyakinkan untuk mengembangkan tingkat kemampuan kemanusiaan sehingga dapat bertahan dan dapat menjaga keberlangsungan kehidupan bangsa. Strategi tersebut diwujudkan dalam upaya pengembangan kapasitas manusia (human capacity development, HCD) atas pilihannya sendiri. Apabila human resource development (HRD) dilandasi oleh paradigma mempergunakan manusia sebagai alat produksi sesuai supply and demand dalam kehidupan ekonomi, RCD ini ternyata agak berbeda dari HRD. RCD memiliki relevansi sosial dan personal manusia yang mempunyai kapasitas mampu meraih peluang-peluang dari lingkungannya. Jadi, yang dipersoalan bukan kemampuan produktif ketenagakerjaan, melainkan konstelasi keterampilan, sikap, dan perilaku yang diperankan dalam masyarakat sebagai individu yang mengadakan pilihannya sendiri at as partisipasinya. Masyarakat yang membangun kapasitasnya (capacity building) memanfaatkan peluang dalam proses pembelajaran "membebaskan diri dengan" menemukan dirinya, mengembangkan aktivitasnya, meraih prestasinya, dan mencapai kemampuan belajar mandiri. Masyarakat melalui RCD makin memperoleh peluang terhadap berbagai informasi tentang dimensi kehidupan ekonomi sosial sehingga menjadikan information based society (Levinger, 1996).

    Kalau dikaitkan berbagai fase kehidupan manusia dalam konteks global dengan masalah pendidikan di Indonesia dan memperhatikan tren pendidikan di dunia, hams dipersoalkan bahwa Indonesia adalah masyarakat plural yang latar belakang kulturnya beraneka ragam. Dalam menghadirkan peluang partisipasi, setiap individu yang bersifat unik itu pasti memiliki respon yang berbeda-berbeda. Latar masyarakat beragam dan terdiri dari berbagai individu yang berbeda pula mengakibatkan perlunya pendidikan yang sesuai dengan

    6 LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 1-10

  • kebutuhan perkernbangannya (developmentally appropriate practice) dan pengernbangankapasitasnya. HCD harus tetap terjadi dalarn eakupan kulturnya, suatu rnultikultur yang tetap rnernperhatikan kebutuhannya dalarn berperilaku, berinteraksi dengan lingkungannya, dan belajar dengan ternan sebaya.

    Hanya dengan peningkatan HCD akan terbentuk kepereayaan diri untuk rnernbangun karakter yang rnasih dapat rnenghadirkan idealisrne.

    V. Implikasi Pendidikan di berbagai negara rnenunjukkan (Frisby, c.L., 2005),

    bahwa di seluruh dunia ada konflik antarberbagai upaya untuk rneraih kernarnpuan yang dipersyaratkan yang sifatnya rnerata bagi berbagai populasi yang berbeda dalarn arti latar belakang kultural ataupun sosial ekonorni (Gottfredson, L.S. dalarn Frisby, et aI., 2005). Juga di Indonesia yang rnasyarakatnya plural selalu ada trade-off antara kesernpatan pendidikan yang mer at a (equal opprtunity) dan hasil pendidikan yang sarna baiknya (equal outcome) yang rnuneul sebagai salah satu tantangan (challenge) dalarn rnenyelenggarakan pendidikan rnultikultur.

    Narnun, apabila sebagai seorang Homo Sapiens, suatu spesies yang sangat spesifik yang disebut rnanusia itu adalah yang pada dasarnya rnerniliki kebutuhan sarna, serta belajar juga dengan rnekanisrne otak rnanusia yang sarna pula bersurnber dari sifat kernanusiaan yang sarna, rnaka dapat dikatakan bahwa rnanusia pada hakikatnya rnerniliki lebih banyak persarnaan dari perbedaan (Hyman, Me Laughlen, in Frisby, et. aI., 2005).

    Di Indonesia pernbukaan UUD 1945 rnenunjukkan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan dan bahwa pernerintah Indonesia wajib rnernberikan pendidikan yang rnerata. Narnun, hal ini rnengandung konsekuensi bahwa

    Membangun Karakter Bangsa (Character Building) Dalam Rangka Pertemuan Jati Diri Bangsa 2008 (Prof. Conny R. Semiawan') 7

  • pendidikan hams memperhatikan kultur yang jamak itu (multikultural) dan hams ditimbulkan kesadaran kultural yang pada gilirannya menuntut pemahaman terhadap budaya orang lain. Yang paling penting adalah bahwa selain ada pemahaman dan penerimaan terhadap budaya lain, yaitu kebanggaan bahwa biarpun ada ragam budaya (multikultur) ini, ada juga kebanggaan bahwa kita adalah satu bangsa (Semiawan, 2004). Hal tersebut berkenaan dengan pengertian multikultural yang menunjuk pada konvergensi dari berbagai kultur yang beragam dalam masyarakat global (McFadden, et. aI., 1997). Karenanya, pendidikan multikultural hams berespons terhadap kebutuhan pendidikan sesuai DAP, yang secara implisit mencakup realitas sosiohistoris dan sosioekonomis, etnis, rasial dari ragam budaya kita.

    Untuk itu, gum dan sekolah perlu mengenal muridnya secara mendalam, penetrate dalam hidupnya untuk dapat memberi pengamh yang bermakna kepadanya. Dengan demikian, anak dapat merasakan dirinya aman dan menerima dirinya maupun menerima orang lain yang berbeda.

    Meskipun pada usia dini anak sudah hams belajar menerima dan menghormati (respek) orang lain yang berbeda, dalam konteks HeD pada usia pendidikan dasar** (bukan sekolah dasar) 5-15 tahun, umumnya mulai terjadi pembentukan kematangan keterampilan mengatasi masalah (problem skill), kemampuan mentranferkan pengetahuan (knowledge transfer), serta berbagai strategi kognitif yang lain (Levinger, 1996).

    Apabila manusia Indonesia dapat ditempa dalam budaya multikultural seperti ini, tidak sulit membentuk karakter yang dapat membedakan antara kepentingan sosial, masyarakat, negara, dan budaya secara bermartabat dalam perkembangan dirinya .

    atau juga disebut usia sekolah

    8 LINGUA Vo!.7 No.1, Maret 2008 1-10

  • HCD akan menghasilkan manusia yang secara optimal menghadirkan kemampuannya secara bermakna karen a menetapkan pilihannya sendiri untuk memainkan peran yang bersifat jamak dalam masyarakat. Perubahan masyarakat yang plural yang dipicu difusi informasi dan difusi modal menjadi an information based society menuntut manusia berpikir untuk belajar dan sekali lagi belajar untuk berpikir. Dengan demikian, manusia ikut berubah dalam perubahan global dengan kebanggaan menjadi orang Indonesia yang sejati dan berkarakter.

    DAFTAR PUSTAKA Frisby, C.L., Reynolds, Cicil, R. 2005. Comprehensive Handbook of

    Multicultural School Psychology. USA: John Wilwy & Sons. Gottfredson, L.S. dalam Frisby, c.L. 2005. Implications of Cognitive

    Differences for Schooling within Diverse Societies. USA: John Wilwy & Sons.

    Haneem Sayadi, Newton, J. Morrison, P. 1998. Education in Indonesia, from Crisis to Recovery, Education Sector Unit, East Asia and Pacific Region Office. Indonesia: World Bank Repot MOEC.

    Jusuf, D. 2007. Apa Guna Reformasi. Koran Harian Kompas Tanggal 26 Desember 2007. Jakarta

    Levinger, B. 1996. Critical Transition: Human Capacity Development Across the Lifespan. USA: Educaation Development Center Inc.

    McFadden, Merryfied, M.N., Baron, K.R. 1997. Multicultural and Global. International Education Guidelines for Programs in Teacher Education. USA: American Association for Teacher Education.

    Sallis, E & Jones, G. 2002. Knowledge Management in Education: Enhancing Learning in Education. London: Kogan Page: Limited.

    Membangun Karakter Bangsa (Character Building) Dalam Rangka Pertemuan Jati Diri Bangsa 2008 (Prof. Conny R. Semiawan') 9

  • Semiawan, C, et. AI. 2005. Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Mizan Teraju.

    Semiawan, C. 2004. Eligibility Action Research sebagai Disertasi di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Seminar Sehari dalam rangka Mengkaji Action Research diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Negeri Jakarta.

    Semiawan, C. 2004. Towards Multicultural Education. Proceeding International Seminar on Multiculturalism. Depok: Departemen of Anthropology, University of Indonesia.

    Semiawan, C. 1999. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: PT. Grasindo.

    Stenberg, R.J. 2005. Creativity. New York: Cambridge University Press. Tilaar, H.A.R. 2006. National Education Manifesto, Post Modernism and

    Cultural Study Perspective. Jakarta: Institute of Management, State University of Jakarta in Cooperation with Cultural Studies Working Group.

    10 LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 1-10

  • LINGUISTIK ANTROPOLOGI: DISIPLIN ILMU YANG TERMARJINALISASI PADA PROGRAM STUDI LINGUISTIK

    Katubi1

    Abstrak Ada beberapa nama yang diberikan oleh para ahli untuk kajian inter disipliner antara

    bahasa dan budaya, misalnya Linguistik Antropologi, Antropologi Linguistik, dan kadang kala Etno-linguistik. Akan tetapi apakah ada perbedaan dian tara nya? di Indonesia, kajian inter disipliner semacam itu masih belum memperoleh banyak perhatian dari para ahli linguistik, bahkan di Jurusan Linguistik sendiri. Oleh karen a itu, tulisan ini memaparkan perbedaan penyebutan mengenai Kajian inter disipliner antara bahasa dan budaya selain mencari penyebab kecilnya perhatian yang diberikan oleh ahli linguistik terhadap kajian sejenis ini, terutama di Jurusan Linguistik.

    Kata kunci: linguistik antropologi, terminologi

    Abstract Interdisciplinary study between language and culture called with many names by

    many scientist, namely Linguistics Anthropology, Anthropology Linguistics, and sometimes Ethno-linguistics. But are there differences among them? Interdisciplinary studies like that in Indonesia until now hasn't being paid attention by linguists, in linguistic department. Because of that, this paper discusses the differences of naming on interdisciplinary study between language and culture and also searching cause of bit attention by linguists to the study, especially in linguistic department.

    Key words: linguistics antropoiogy, terminology

    Pengantar: Pertelingkahan Terminologi Pada judul di atas tampak adanya penggunaan salah satu nama

    disiliplin ilmu yang bersifat interdisipliner, yaitu Linguistik Antropologi dan bukan Antropologi Linguistik. Padahal, kedua nama itu sering digunakan untuk mengacu kepada disiplin ilmu yang bersifat interdisipliner antara linguistik dan antropologi.

    Dalam berbagai kepustakaan, ada beberapa nama yang digunakan untuk mengacu kepada disiplin ilmu yang bersifat interdisipliner, yang mengkaji

    1 Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan pengutamaan kajian bahasa dalarn dimensi kemasyarakatan dan kebudayaan.

    Linguistik Antropologi: Disiplin llmu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubi) 11

  • hubungan bahasa dan kebudayaan. Foley (1997), misalnya, memberi judul bukunya Anthropological Linguistics (Linguistik Antropologi), Duranti (1997) menamai bukunya Linguistic Anthropology (Antropologi Linguistik) dan Duranti (2001) Linguistic Anthropology: A Reader. Di samping itu, ada beberapa buku yang mengupas hubungan bahasa dan kebudayaan yang tidak mencantumkan judul buku sebagai sebuah nama disiplin ilmu, seperti buku Language and Culture (Kramsch 2000), Language, Culture and Society.

    Hal itu menimbulkan pertanyaan: adakah perbedaan linguistik antropoiogi dan antropologi linguistik? Duranti (1997: 1) menyatakan bahwa kedua nama itu telah digunakan pada masa lalu dan lebih kurang keduanya dapat saling dipertukarkan. Hal itu dapat dilihat pada tulisan Hymes yang berusaha memantapkan penggunaan nama antropologi linguistik dalam sejumlah esainya pada era 1960-an. Namun, dalam buku Language) Culture and Society (1964), dia menggunakan antropologi linguistik maupun linguistik antropologi.

    Untuk menyibak perbedaan atau persamaan kedua terminologi itu akan diperbandingkan dua pendapat dari pakar, yang berbeda basis disiplin ilmunya. Duranti (1997: 2--4), pakar yang berbasis disiplin ilmu antropoiogi, berpendapat bahwa antropologi linguistik adalah studi tentang bahasa sebagat sumber kebudayaan dan "berbicara" merupakan praktik kebudayaan. Antropologi Linguistik memiliki tujuan umum, yaitu memberikan pemahaman tentang berbagai aspek bahasa sebagai serangkaian praktik kebudayaan, yaitu sebagai sis tern komunikasi yang memperhitungkan representasi antarpsikologis (antarindividu) dan intrapsikologis (pada individu yang sarna) dari tatanan sosial dan membantu orang menggunakan representasi seperti itu untuk melakukan tindak sosial. Selain itu, bagi Duranti, Antropologi Linguistik bukan sekadar studi bahasa yang dilakukan para antropolog dan juga tidak

    12 LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 11-30

  • sarna dengan kurnpulan teks "eksotik" yangdikurnpulkan dan dipelajari antropolog, yakni teks yang biasanya dihasilkan oleh rnasyarakat yang secara teknologi belurnrnaju dan nonliterat. Hal yang rnernbedakan antropolog linguistik dengan pakar lain yang sarna-sarna rnengkaji bahasa ialah tidak hanya pada ketertarikan dalarn penggunaan bahasa, tetapi juga fokus kajian. Antropolog linguistik rnernusatkan perhatian pada bahasa sebagai serangkaian surnber sirnbolik. Antropologi linguistik harus dipandang sebagai bagian dari bidang yang lebih luas dari antropologi bukan karen a disiplin ilrnu ini merupakan jenis linguistik yang dipraktikkan di jurusan antropologi, tetapi karena antropologi linguistik meneliti bahasa melalui "teropong" antropologi.

    Sernentara itu, Foley, pakar yang berbasis disiplin linguistik, rnenarnakan bidang interdisipliner tersebut sebagai linguistik antropologi. Bagi Foley (1997: 3--5), linguistik antropologi adalah subbidang linguistik yang rnemusatkan perhatian dan rnenernpatkan bahasa dalarn konteks sosial dan kebudayaan yang lebih luas, yakni perannya dalam rnenempa dan menopang praktik kebudayaan dan struktur sosial. Linguistik antropologi rnernandang bahasa rnelalui sudut pandang konsep antropologis, yakni kebudayaan. Oleh karena itu, linguistik antropologi rnencari untuk menernukan "rnakna" dibalik penggunaan, salah penggunaan, dan tidak digunakannya bahasa, bentuk bahasa tertentu, register dan style yang berbeda dari bahasa tersebut. Dalarn hal ini, Foley beranggapan bahwa pastilah ada rnakna dibalik setiap penggunaan atau tidak digunakannya bentuk-bentuk kebahasaan dalam interaksi.

    Pada sisi lain, ada istilah etnolinguistik, yang juga sering disarnakan dengan antropologi linguistik atau linguistik antropoiogi. Istilah etnoiinguistik, rnenurut Duranti (1997: 2), rnerupakan istilah yang popularitasnya terbatas di Amerika Serikat pada akhir 1940-an dan awal 1950-an. Akan tetapi, istilah itu cukup urnum digunakan oleh pakar Eropa. Mungkin hal tersebut berdasar pada

    Linguistik Antropologi: Disiplin IImu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubij 13

  • penggunaan istilah "etnologi" di Eropa Kontinental, yang asal-usulnya sarna dengan antropologi. Narnun, Duranti tetap rnenggunakan istilah Antropologi Linguistik alih-alih etnolinguistik atau linguistik antropologi sebagai upaya rnernantapkan dan rnendefinisikan ulang studi bahasa dan kebudayaan sebagai satu dari subbidang utarna antropologi.

    Kridalaksana (1993: 52) rnenyebutkan bahwa etnolinguistik ialah (1) cabang linguistik yang rnenyelidiki hubungan antara bahasa dan rnasyarakat pedesaan atau rnasyarakat yang belurn rnernpunyai tulisan (bidang ini juga disebut linguistik antropologi); (2) cabang linguistik antropologi yang rnenyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat rnenonjol ialah rnasalah re1ativitas bahasa.

    Di sini ada tiga terminologi yang berbeda dari disiplin ilrnu yang bersifat interdisipliner antara kebudayaan dan bahasa, yaitu antropologi linguistik, linguistik antropoiogi, dan etnolinguistik. Perbedaan yang paling rnencolok terletak pada sudut pandang awal dan pengklasifikasian bidang tersebut. Tarnpak jelas bahwa antropologi linguistik rnerupakan subbidang antropologi, sedangkan linguistik antropologi rnerupakan subbidang linguistik. Sernentara itu, etnolinguistik tarnpak rnenjadi netral karena terrninologi itu rnuncul berbasis disiplin ilrnu etnologi. Narnun, dalarn definisi yang dikernukakan Kridalaksana, pada satu sisi etnolinguistik dapat rnenjadi disiplin ilrnu sendiri (lihat definisi pertarna), pad a sisi lain etnolinguistik rnenjadi cabang linguistik antropologi (lihat definisi kedua). Definisi yang dikernukakan Kridalaksana pun terlalu sernpit jika dibandingkan dengan perkernbangan etnolinguistik pada saat ini.

    Dengan car a apa lagi ketiga terminologi tersebut, khususnya linguistik antropologi dan antropologi linguistik dibedakan? Untuk rnenjawab hal itu, kita dapat rnelihat dari ernpat hal, yaitu rnasalah yang ditangani, data yang

    14 LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 11-30

  • digunakan, teknik analisis, perspektif dalam memandang hubungan bahasa dan kebudayaan. Keempat hal itu secara konkret dapat digunakan untuk menganalisis perbedaan terminologi tersebut dengan mengajukan pertanyaan: apakah linguis dan antropolog serta linguis antropolog dan antropolog linguis: (1) menangani masalah yang sarna at au berbeda, (2) mengerj akan data yang sarna atau berbeda, (3) memakai teknik analisis yang sarna atau berbeda, dan (4) apakah ada sesuatu yang bersifat mendasar yang berbeda dalam perspektif dari mana seorang antropolog, antropolog linguistik, linguis antropolog, dan linguis dalam memandang hubungan bahasa dan kebudayaan? Jika hal itu dapat terjawab dengan memuaskan, pertanyaan selanjutnya ialah: apakah antropoiogi linguistik, linguistik antropologi, dan etnolinguistik itu hanya sekadar pertelingkahan yang tidak berarti atau teka-teki akademis yang belum terjawab?

    Namun, pada dasarnya, penamaan dengan menggunakan terminologi pada suatu disiplin ilmu membawa konsekuensi tertentu. Taruhan dan sanksi sangatlah penting dalam penamaan, sarna seperti dalam kebiasaan lain. Pada sisi ini harus diakui bahwa nama dan istilah pertama dalam suatu bidang sekurang-kurangnya mempunyai keuntungan awal dalam perjuangan apa pun demi dominasi terminologis.

    Antropologi Linguistik/Linguistik Antropologi V s Sosiolinguistik Baik Antropologi Linguistik maupun Linguistik Antropologi meneliti

    makna dibalik penggunaan bahasa dalam kebudayaan masyarakat oleh pengguna bahasa. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan bahasa itu hanya terjadi dalam masyarakat, mungkin yang homogen maupun tidak. Dalam masyarakat itu ada struktur sosial. Karena itu, Linguistik Antropologi juga harus memperhitungkan masyarakat tempat bahasa yang menjadi objek studi

    Linguistik Antropologi: Disiplin lImu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubi) 15

  • terse but digunakan. Padahal, selama ini sudah tertanam erat di alam pikiran pemerhati bahasa bahwa hubungan bahasa dan masyarakat dikaji dalam disiplin ilmu sosiolinguistik, yang merupakan disiplin ilmu interdisipliner antara sosiologi dan linguistik. Menurut Suhardi et al. (1995: 2) dalam istilah linguistik-sosial (sosiolinguistik), kat a sosial adalah aspek utama dalam penelitian dan merupakan ciri umum dalam bidang itu, sedangkan linguistik dalam hal itu juga berciri so sial sebab bahasa pun berciri so sial, yaitu bahasa dan strukturnya hanya dapat berkembang dalam suatu masyarakat tertentu.

    Lalu, bagaimanakah perbedaan Linguistik Antropologi dan Sosiolinguistik, yang keduanya tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat tempat penggunaan bahasa? Foley (1997: 1) membuat pembedaan antara lingustik antropologi dan sosiolinguistik. Linguistik antropologi memandang bahasa melalui sudut pandang kebudayaan untuk menemukan "makna" dibalik penggunaan bahasa. lni adalah disiplin interpretif, yang mengupas bahasa untuk menemukan pemahaman kebudayaan. Sosiolinguistik, pada sisi lain, memandang bahasa sebagai institusi sosial. Sosiolinguistik meneliti data penggunaan bahasa untuk menemukan keterkaitan pola perilaku kebahasaan dengan pengelompokan sosial dalam masyarakat dan menghubungkan perbedaan dalam perilaku kebahasaan dengan variabel penentu kelompok. sosial, seperti usia, jender, kelas, dan ras.

    Duranti (1997: 12) berpendapat bahwa di antara berbagai disiplin dalam ilmu so sial dan kemanusian yang mengkaji komunikasi, sosiolinguistik merupakan disiplin terdekat dengan antropologi linguistik. Beberapa perbedaan antara antropologi linguistik dan sosiolinguistik terletak pada sejarahnya. Antropologi linguistik merupakan salah satu cabang dari empat subbidang antropologi ketika disiplin ilmu itu secara resmi ditentukan oleh Boas dan para koleganya pada permulaan abad ke-20. Sementara itu, sosiolinguistik muncul

    16 UNQlIA Vol.? No.1, Maret 2008 11-30

  • lari dialektologi urban (perkotaan) pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-m. Kedekatan antardua disiplin itu pernah membuat beberapa upaya para Jakar menggabungkan kedua disiplin itu. NamuIi, pentingnya konsep kebudayaan membuat metode dan tujuan teoretis antropologi linguistik cukup Derbeda dengan penelitian sosiolinguistik. Meskipun begitu, perbedaan antara sosiolinguistik dan antropologi linguistik/linguistik antropologi tidaklah absolut karena ada beberapa ketumpangtindihan dalam beberapa bidang kajian seperti register ujaran, bahasa dan jender, tindak tutur, wacana, yang memungkinkan adanya peluang untuk terjadinya pembauran antara dua disiplin itu.

    Linguistik AntropoIogi Termarjinalisasi: Benarkah? Untuk melihat termarjinalisasinya suatu disiplin ilmu dalam dunia

    akademis, hal itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, di antaranya ialah jumlah kajian di bidang tersebut dan ditawarkan tidaknya disiplin ilmu tersebut dalam kurikulum sebuah program studio Berkaitan dengan bidang kajian, Kaswanti-Purwo (2003: 40) berusaha menjaring karya berupa tesis S-1 dari tiga puluh tujuh perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri untuk melihat bidang kajian yang diminati 'inahasiswa dalam bahasa-bahasa nusantara (etnik). Hasil penelitiannya itu dapat dilihat pada tabel berikut.

    Tabel 1. Sepuluh Bidang yang Diteliti di Dalam Karya Bahasa Nusantara yang Berupa Tesis

    Bidang yang diteliti lumlah Morfologi 604 Sintaksis 475 Sosiolinguistik 328

    Linguistik Antropologi: Disiplin IImu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubi) 17

  • Pengajaran bahasa daerah 276 Semantik 130 Fonologi 125 Kontrastif 53 Pragmatik 40 Terapan 29 Wacana 21

    Sementara itu, bidang linguistik yang diteliti di dalam karya-karya nontesis dapat dilihat pada tabel berikut.

    Tabel 2. Sepuluh Besar Bidang Linguistik yang Diteliti di dalam Karya-Karya Nontesis

    Bidang yang diteliti Jumlah Morfologi 584 Fonologi 375 Sintaksis 333 Sosiolinguistik 328 Wacana 313 Kontrastif 107 Semantik 103 Tipologi 99 Historis bandingan 88 Pengajaran Bahasa daerah 79

    Data di atas menunjukkan bahwa bidang linguistik yang paling banyak dipilih sebagai topik penelitian tesis S-l mengenai bahasa-bahasa etnik,

    18 UNGVA Vo1.7 No.1, Maret 2008 11-30

  • sebagian besar di antaranya mengambil topik morfologi, sintaksis, dan fonologi. Menurut Kaswanti-Purwo (2003: 5), kajian sosiolinguistik serta sedikit pragmatik dan wacana, pada umumnya dihasilkan pada tahun 1990 ke atas.

    Data lain dikemukakan oleh Ekowardono (1998: 330--340), yang melakukan kajian tentang kemajuan dalam penelitian bahasa Indonesia .. Namun, bidang yang dia paparkan adalah aspek bahasa Indonesia yang telah diteliti dalam bentuk disertasi. Menurut dia, aspek bahasa Indonesia yang telah diteliti meliputi (1) aspek-aspek lingual, (2) aspek sosio-spikoetnolinguistik, (3) aspek linguistik terapan, dan (40) aspek historis. Aspek lingual yang telah diteliti meliputi (a) fonologi, (b) ejaan, (3) kosakata, (4) morfologi, (5) sintaksis, (6) semantik, (7) tat a wacana. Aspek linguistik terapan yang diteliti meliputi (a) leksikografi, (b) kemampuan berbahasa, (c) tes prestasi belajar bahasa, (c) metode pengaj aran bahasa. Sebenarnya bidang sosio-psikoetnolinguistik yang dimaksudkan Ekowardono juga tidak jelas karena dalam uraian topik kajian bidang itu juga tidak jelas. Dia memerinci penelitian di bidang sosio-psiko-etnolinguistik ke dalam topik-topik: (a) penelitian tentang pola, fungsi, kedudukan, dan pemakaian bahasa Indonesia di daerah atau sekelompok masyarakat tertentu, (b) penelitian sosiolinguistik mengenai variasi gramatikal, (c) interferensi, (d) perencanaan bahasa, (e) sikap berbahasa, (f) kemampuan berbahasa, (g) pemakaian kosakata pada murid, (h) komponen proses belajar mengajar (PBM), yaitu bahan pelajaran bahasa Indonesia dan faktor penunjang (i) pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua berdasarkan pendekatan kontrastif, dan G) tes prestasi belajar. Berdasarkan topik-topik yang dipaparkan Ekowardono tersebut, dapat dinyatakan bahwa terjadi pencampuradukan bidang dalam sosio-psikoetnolinguistik yang dimaksudkannya. Bukankah topik tes prestasi belajar

    Linguistik Antropologi: Disiplin I1mu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubij 19

  • lebih masuk akal kalau dimasukkan dalam bidang pengajaran bahasa at au linguistik terapan? Begitu pun topik komponen proses belajar mengajar dan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, apalagi dengan pendekatan kontrastif.

    Berdasar paparan hasil kajian yang berkaitan dengan bidang kajian dan jumlahnya pada masing-masing bidang, baik dalam bahasa-bahasa nusantara maupun bahasa Indonesia menunjukkan bahwa bidang linguistik antropologi sebenarnya belum ada yang "menyentuh" secara serius. Kedua data di atas, baik kajian bahasa etnik maupun bahasa Indonesia menunjukkan bahwa kajian bahasa dalam Program Studi Linguistik cenderung didominasi oleh bidang linguistik deskriptif.

    Sementara itu, berkaitan dengan dimasukkannya disiplin ilmu dalam kurikulum, dapat dikemukakan hasil survei Kaswanti-Purwo (1998: 1068). Dia mengambil percontoh kurikulum dari dua universitas, yaitu Universitas Udayana dan Universitas Indonesia. Bahan ajar mengenai linguistik yang disampaikan kepada mahasiswa pada program sarjana bahasa dan sastra di Universitas Udayana dan Universitas Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut. A. Wajih Universitas Udayana dan Universitas Indonesia

    (1) Pengantar Linguistik Umum (2) Fonologi I dan II (3) Morfologi I dan II (4) Sintaksis I dan II (5) Semantik (leksikal) I dan II

    B. Pilihan (l)Universitas Udayana dan Universitas Indonesia

    20 UNGUA Vo!.7 No.1, Maret 2008 11-30

  • (1) Kapita Selekta Linguistik (2) Seminar Linguistik (3) Sosiolinguistik (4) Struktur Bahasa Daerah (5) Sejarah Kajian Bahasa Indonesia (6) Linguistik Historis (7) Linguistik Komparatif (8) Metode Penelitian Bahasa (9) Metode Pengajaran Bahasa dan Sastra (10) Bahasa Arab

    2) Universitas Udayana (1) Linguistik Abad ke-20 (2) Struktur Bahasa daerah (3) Bahasa Sanskerta

    3) Universitas Indonesia (1) Struktur Bahasa Sunda (2) Struktur Bahasa Lamalera (3) Struktur Bahasa Jawa (4) Struktur Bahasa Batak Toba (5) Bahasa Jawa Kuno (6) Pengantar Leksikografi (7) Pengantar Dialektologi

    C. Praktis 1) Universitas Udayana

    (1) Teori Terjemahan (2) Kemahiran Bahasa Indonesia I s.d. IV

    2) Universitas Indonesia

    Linguistik Antropologi: Disiplin Ilmu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik {Katubi) 21

  • (1) Retorika Indonesia I dan II (2) Penulisan Populer I dan II

    Dengan berbagai pertimbangan untuk membekali lulusan program studi linguistik, Kaswanti Purwo (1998: 1072) mengajukan perlunya dipertimbangkan penambahan jenis mata kuliah seperti berikut. (1) Neurolinguistik (2) Linguistik Komputasional (3) Penerjemahan Komputer (4) Leksikografi (yang lebih dari tingkat "pengantar").

    Berdasar pada ditawarkannya disiplin ilmu dalam kurikulum, tampak bahwa linguistik antropologi sarna sekali tidak ditawarkan, bahkan juga tidak diusulkan oleh Kaswanti-Purwo dalam tulisannya. Harus diakui bahwa survei kurikulum pada dua universitas itu memang masih terlalu sedikit untuk digunakan sebagai data termarjinalisasinya disiplin linguistik antropoiogi dalam Program Studi Linguistik. Harus diakui pula bahwa data yang digunakan dalam tulisan ini juga sudah agak "usang" karena survei kurikulum yang dilakukan Kaswanti-Purwo dilakukan pada tahun 1998. Tentu saja kini banyak perubahan kurikulum dan isinya yang telah dilakukan oleh berbagai universitas. Akan tetapi, tulisan ini tetap menghipotesiskan bahwa belum ada Program Studi Linguistik di beberapa universitas, yang menawarkan mata kuliah Linguistik Antropologi. Jika pun ada, pastilah persentasenya sangat rendah.

    Hal itu lantas menimbulkan pertanyaan: ada apa gerangan dengan Linguistik Antropologi pada Program Studi Linguistik? Paparan berikut ini akan mencoba menelusuri berbagai kemungkinan jawaban atas pertanyaan tersebut.

    22 UNGUA VoL7 No.1, Maret 2008 11-30

  • Penyebab Utama Termarjinalisasinya Linguistik Antropologi A. Kuatnya Strukturalisme dalam Linguistik

    Termarjinalisasinya kajian linguistik antropologi dalam kajian linguistik selama ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya disebabkan dominannya kajian linguistik deskriptif, yang meneliti aspek internal bahasa. Strukturalisme linguistik sangat berpengaruh terhadap kajian kebahasaan di Indonesia. Menurut Piaget (1995: 62--81), strukturalisme yang khas linguistik lahir pada saat Ferdinand de Saussure membuktikan bahwa proses-proses bahasa tidak dapat dijabarkan menjadi diakroni dan bahwa, misalnya, riwayat sepatah kata terlampau jauh untuk dijelaskan artinya sekarang. Alasannya ialah bahwa, selain sejarahnya, terdapatnya "sistem" dan bahwa sistem semacam itu pada dasarnya terdiri atas kaidah-kaidah keseimbangan yang berpengaruh terhadap unsur-unsurnya dan yang pad a setiap saat dalam sejarah, bergantung pada sinkroni: sesungguhnya hubungan fundamental yang terjadi dalam bahasa adalah sebuah kesesuaian antara tanda dengan makna, himpunan arti-arti tentu saja membentuk sebuah sistem berbasis pembedaan dan periawanan karena arti-arti tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain. Hal itu membentuk sebuah sistem sinkronis karena kaitan tersebut saling bergantung. Strukturalisme itu nanti dapat dibahas berkaitan perkembangannya, yakni strukturalisme transformasional, terutama yang dikembangkan oleh Chomsky.

    Bahasa dalam kajian strukturalisme, baik yang sinkronis maupun transformatif, tampak menjadi maujud (entity) yang abstrak, seperti maujud yang berada di ruang hampa. Padahal, bahasa dipakai dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pendukung kebudayaan mereka.

    Dominannya ancangan strukturalisme berpengaruh besar terhadap sistem pengajaran bahasa di Indonesia. Selama sekian puluh tahun pengajaran bahasa didominasi oleh ancangan strukturalisme, yang menekankan bentuk-

    Linguistik Antropologi: Disiplin IImu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubi) 23

  • bentuk bahasa, bukan fungsi bahasa. Kaswanti Purwo (1990: 30--31) berpendapat bahwa dalam pengajaran bahasa Indonesia dengan ancangan struktural, rumus-rumus, definisi-definisi, istilah-istilah dilimpahi perhatian yang utama. Siswa dituntut untuk menghafalkan mentah-mentah apa itu kalimat elips, kalimat minor, apa itu kalimat majemuk rap at an, kalimat majemuk bertingkat, apa itu pola S-P-O-K, dan segudang istilah lain.

    Strukturalisme, yang pada tahun 1966 digambarkan Francois Dosse sebagai tahun memancarnya strukturalisme di Eropa dan pada tahun 1967--1968 digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan penerangan tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu pengetahuan, mempengaruhi minat para pakar bahasa untuk tidak menoleh ke disiplin ilmu lain, seperti linguistik antropologi, terutama di Indonesia. Bahkan, dalam kurikulum Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana pada berbagai universitas terkemuka, sampai pada periode tahun 1990-an masih bertahan dengan kurikulum yang hanya membekali mahasiswanya untuk mengkaji bahasa hanya sampai tataran analisis wacana. Akibatnya, sedikit sekali pengajar pada perguruan tinggi yang mampu mengaitkan dimensi struktur bahasa dengan berbagai aspek sosial budaya pemakai bahasa. Akibat lanjutannya adalah sedikitnya kajian di bidang itu sehingga mahasiswa yang., mengambil disiplin ilmu tersebut juga sedikit.

    B. Rumitnya Hubungan Bahasa dan Kebudayaan Keengganan pakar bahasa untuk mengkaji bahasa dengan kebudayaan

    juga disebabkan oleh rumitnya hubungan bahasa dan kebudayaan itu sendiri. Foley (1997: xiv) menyatakan bahwa selama beberapa dekade yang lalu, linguistik dan antropologi memisahkan diri satu sarna lain, linguistik yang sebagian besar bersifat positivistik, berorientasi strukturalis ketika membahas

    24 lINGlJA Vol.7 No.1, Maret 2008 11-30

  • pokok kajiannya dan antropologi lebih interpretif dan diskursif. Hal itu sering kali menyulitkan para pakar dari kedua bidang tersebut untuk bisa berbicara satu sarna lain. Hal itu juga mengakibatkan makin termarjinalisasinya disiplin ilmu linguistik antropologi pada dua disiplin ilmu, baik linguistik maupun antropologi.

    Hal itu sebenarnya sudah ditengarai sejak dulu oleh Levi-Strauss (1963: 92) ketika membahas masalah linguistik dan antropologi. Sebagai seorang antropolog, dia beranjak dari pertanyaan dasar: untuk mempelajari sebuah kebudayaan, apakah diperlukan pengetahuan tentang bahasa? Dalam ukuran yang bagaimana dan sampai po in mana? Sebaliknya, pengetahuan tentang bahasa itu apakah berimplikasi pada pengeta:huan tentang kebudayaan atau setidak-tidaknya pada beberapa aspeknya? Bagaimanakah hubungan bahasa dan kebudayaan? Lalu, tulisan dia menukik pada hubungan antara linguistik dan antropologi. Menurut dia, hubungan bahasa dan kebudayaan merupakan salah satu hal paling rumit yang pernah ada. Pada awalnya kita bisa memperlakukan bahasa sebagai sebuah produk kebudayaan karena sebuah bahasa yang ada pada masyarakat merefleksikan kebudayaan masyarakat itu secara umum. Namun, dalam pengertian lain, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa membentuk salah satu di antara sekian elemen (kebudayaan). Kita juga bisa memperlakukan bahasa sebagai kondisi kebudayaan, dan dengan gelar ganda, yakni diakronis karena dengan cara berbahasalah individu lebih memperoleh kebudayaan dari kelompoknya. Bahasa juga tampak sebagai kondisi kebudayaan dalam pengertian bahwa kebudayaan memiliki arsitektur yang sarna dengan arsitektur bahasa.

    Lebih jauh Levi-Strauss (1963: 94) menyatakan bahwa "menghadapi ahli linguistik kami merasa ditempatkan pada posisi yang lemah. Selama bertahun-tahun kami telah bekerja berdampingan, tetapi seketika para ahli

    Linguistik Antropologi: Disiplin llmu yang Tennajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubij 25

  • linguistik menghindar. Kami melihat mereka, lewat sisi lain dari penghalang yang sudah lama dianggap tidak bisa dilalui, yang memisahkan ilmu-ilmu eksakta dari ilmu alam mengenai manusia serta sosial. Pada saat itu, dia mengakui perkembangan linguistik yang pes at dan dia bertanya-tanya tidak bisakah antropoiog mengikuti jejak kajian linguistik pada kekerabatan, organisasi sosial, dan sebagainya. Pada bagian lain, dia menyatakan (1963: 96) bahwa segal a upaya untuk merumuskan permasalahan linguistik dan kultural dalam sebuah bahasa umum sudah sejak awal menempatkan kita pada situasi yang kompleks luar biasa.

    C. Perbedaan Pandangan Linguistik dan Antropologi terhadap Bahasa Jika dikaji lebih dalam, rumitnya hubungan bahasa dan kebudayaan itu

    dapat dikembalikan pada karakteristik antropologi dan linguistik dalam memandang bahasa. Masinambow (2003: 1) menyatakan adanya perbedaan perspektif linguistik dan antropologi dalam memandang bahasa sebagai studi kebahasaan. Penelitian kebahasaan menurut perspektif linguistik menghasilkan informasi yang semata-mata berkaitan dengan struktur bahasa itu sendiri. Bagaimana tanda-tanda simbolis yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi an tara warga yang satu dan warga suatu kelompok sosial, komunitas atau masyarakat tertentu saling berkaitan merupakan pokok perhatian utama, sedangkan siapa yang menghasilkan tanda-tanda simbolis termaksud tidaklah ditonjolkan karena dianggap sebagai informasi sekunder dan merupakan latar yang konstan. Sebaliknya, perspektif antropologis mengarahkan perhatian pada kaitan antara tanda-tanda simbolis itu dan mereka yang menghasilkannya. Konsekuensi dari perbedaan perspektif itu berpengaruh besar terhadap pendefinisian makna dan metodologi penelitian terhadap bahasa, dan juga terhadap kondisi bahasa dalam konteks dan lingkungannya.

    26 LlNGlIA VoL7 No.1, Maret 2008 11-30

  • Perbedaan perspektif itu membawa logis lain, yakni seorang pengajar dan peneliti bidang Linguistik Antropologi hams dapat menggabungkan "konsep bahasa" dari perspektif linguistik sekaligus antropologi. Di samping itu, mereka juga hams mampu menggabungkan metode penelitian linguistik dan juga antropologi. Padahal, selama ini, para pengajar pad a Program Studi Linguistik cendemng menggunakan metode yang khas pad a masing-masing disiplin ilmu dalam linguistik. Misalnya, metode penelitian linguisik deskriptif sangat berbeda dengan metode penelitian dialektologi. Keduanya juga sangat berbeda secara metodologis dengan disiplin linguistik historis komparatif, apalagi dengan analisis wacana. Padahal, semua itu masih dalam satu kerangka studi kebahasaan dari perspektif linguistik. Jika seseorang ingin menggeluti linguistik antropologi, berarti ia hams menambah kemampuannya, temtama dalam hal metodologi penelitian dari disiplin antropologi. Hal itu tentu saja bukan hal yang mudah yang membuat banyak orang melangkah mundur dengan teratur.

    Catatan Penutup Pemahaman yang kaya tentang bahasa dalam konteks sosiokulturalnya

    dan juga pemahaman tentang kebudayaan melalui bahasa, tidak hanya dapat dicapai melalui kajian linguistik saja atau antropologi. Perlu adanya disiplin ilmu yang bisa memediasi keduanya, yang dalam hal ini adalah Linguistik Antropologi (yang dalam tulisan ini juga termasuk Antropologi Linguistik). Melalui disiplin ilmu itu, bahasa tidak dipandang sebagai sesuatu yang "berada dalam mang hampa udara". Melalui kajian dalam disiplin itu pula bahasa dikembalikan dalam isu-isu penggunaannya dan bahasa dikaji dalam guyub tutur dan network-nya ketika pengguna bahasa menyampaikan nilai sosial dan budaya berkaitan dengan bagaimana masyarakat dibentuk dan cara anggota

    Linguistik Antropologi: Disiplin !lmu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubi) 27

  • komunitas bahasa diharapkan bertindak dan dengan menggunakan bahasa.

    Akan tetapi, studi yang menyatukan aspek bahasa dan kebudayaan bukanlah hal yang mudah karena kajian itu tentu melibatkan dua ancangan metodologis yang berbeda, tetapi saling melengkapi, yaitu ancangan antropoiogis dan ancangan linguistik, yang pada "tataran tertentu" seolah-olah seperti bertabrakan karena kuatnya positivisme dalam ancangan linguistik. Karena sulitnya menggabungkan dua ancangan itu, Linguistik Antropologi tidak terlalu "populer", terutama di kalangan linguis. Pamor disiplin ilmu itu jauh kalah populer dibanding linguistik deskriptif. Bahkan, dalam berbagai call for paper untuk berbagai peristiwa kebahasaan, sangat jarang disiplin Linguistik Antropologi dimasukkan dalam kode pilihan makalah. Akhirnya, hanya satu pernyataan yang dapat dikemukakan: sempurna sudah marjinalisasi Linguistik Antropologi di kalangan kaum linguis. Dengan demikian, mampukah para linguis memahami bahasa secara "total" tanpa melihatnya dari sisi penggunaan dan konteks sosiokulturalnya?

    DAFTAR PUSTAKA Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge

    University Press. Duranti, Alessandro (ed.). 2001. Linguistic Anthropology: A Reader. Oxford:

    Blackwell. Ekowardono, B. Kamo. "Kemajuan dalam Penelitian Bahasa Indonesia".

    28

    Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan S. R. H. Sitanggang. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. 330--352

    LINGUA Vol.? No.1, Maret 2008 11-30

  • Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics . .oxford: Blackwell. Kaswanti-Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Penggunaan Bahasa:

    M enyibak Kurikulum 1984. Y ogyakarta: Kanisius. Kaswanti-Purwo, Bambang. 1998. "Pengembangan Sumber Daya Manusia

    Lulusan Program sarjana Bahasa dan Sastra Pengutamaan Linguistik". Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan S. R. H. Sitanggang. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. 1068-1074

    Kaswanti-Purwo, Bambang. 2003. "Penelitian Bahasa Nusantara di Indonesia". Makalah dipresentasikan pada Seminar Hari Bahasa-Ibu Internasional. Jakarta, 19 Februari 2003.

    Piaget, Jean. Strukturalisme. 1968 (1995). Diterjemahkan oleh Hermoyo dari buku Le Structuralisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

    Suhardi, Basuki et al. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik I. Terjemahan dari Sociolinguistics: An International Handbook of The Science of Language and Society. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

    Kramsch, Claire. 2000. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.

    Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books.

    Masinambow, E.K.M. 2003. "Studi Kebahasaan dalam Perspektif Linguistik dan Antropologi". Makalah dipresentasikan pada Workshop Linguistik. Jakarta: 15 Desember 2003.

    Linguistik Antropologi: Disiplin Hmu yang Termajinalisasi pada Program Studi Linguistik (Katubi) 29

  • Masinarnbow, E.K.M. 1985. "Perspektif Kabahasaan terhadap Kebudayaan."

    30

    Dalarn Alfian (ed.). Persepsi Masyarakat ten tang Kebudayaan." Jakarta: Gararnedia. 173-197.

    LlNC;UA Vol.7 No.1, Maret 2008 11-30

  • KARYA SASTRA MASYARAKAT JA WA KUNA

    Agus Aris Munandar Departemen Arkeologi FIB UI

    Abstrak Untuk menghasilkan karya sastra Jawa kuna diperlukan waktu yang sang at panjang,

    bisa mencapai 4 abad. Bukti menunjukkan beberapa karya sastra Jawa kuna digubah pada abad ke-1O-16 M. Dipandang dari tern a atau isi, karya sastra tersebut umumnya sarna, yaitu bercerita tentang ajaran agama, khususnya Hindu. Selain itu, cerita epik, roman dengan tema cinta, kejadian tentang suatu daerah atau tempat-tempat suci keagamaan, dan raja-raja yang pernah memerintah juga merupakan bagian karya sastra yang banyak digubah oleh sastrawan Jawa kuna. Unsur-unsur yang terdapat dalam stuktur karya sastra Jawa kuna terdiri atas (1) penokohan, (2) alur dan adegan, (3) 1atar, dan (4) motif. Bentuk pengejawantahan unsur-unsur tersebut dapat dilihat pada ornamen relief, seperti Candi Induk Panataran di Blitar, Candi Tegawangi, Kediri, dan Goa Selamangleng, Tulungagung.

    Kata Kunci: karya sastra, jawa kuna

    Abstract It takes a velY long time in order to create an ancient Javanese literature; it may even

    take up to 4 centuries. Some evidences show that some ancient Javanese literature were created during the 10th _16th C. From the theme or content-wise, those works usually carry the same things, that is concerning religious teachings, especially Hinduism. Besides that, there are epics; love-themed romances, the emergence of a site or sacred religious places, and Kings who ruled are some of the other themes in ancient Javanese literature. Elements in those literature works consist of (1) Characters, (2) Plot and Scenes, (3) Setting, and (4) Motive. The embodiment of those elements are transformed in the reliefs found in places such as Temple Induk Panataran in Blitar, Temple Tegawangi, Kediri, dan Goa Selamangleng, Tulungagung.

    Key words: literature works, Javanese literature

    Pengantar Telah banyak telaah yang dilakukan terhadap karya sastra Jawa Kuna,

    baik yang berupa alihaksara dan terjemahannya, tinjauan isi, hubungan isi dengan historiografi sezaman, dan lain sebagainya. Berkat kajian terhadap sejumlah karya sastra itulah maka penataan masyarakat, kehidupan keagamaan, kehidupan istana, kesenian, dan berbagai aspek kebudayaan lainnya dari masa Jawa Kuna sedikit banyak dapat diungkapkan. Walaupun demikian, tetap saja tidak mungkin seluruh tatanan masyarakat beserta aspek kebudayaan mas a itu

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 31

  • dapat diungkap seeara memuaskan. Sudah barang tentu akan terdapat bagian-bagian yang samar-samar bahkan gelap sarna sekali perihal mas a Jawa kuna apabila data yang ditemukan untuk meneliti bagian tersebut sangat terbatas.

    Satu babakan dalam sejarah Jawa Kuna yang masih gelap--walaupun telah dicoba dijelaskan dengan berbagai teori oleh para ahli--adalah perihal alasan perpindahan pusat kerajaan dari wilayah Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur pada sekitar akhir abad ke-lO M. Hingga sekarang masalah itu belum dapat dikatakan selesai, karena bukti yang ada baik dari prasasti maupun karya sastra tidak ada yang seeara nyata dan jelas menguraikan alas an perpindahan tersebut.

    Hal lain yang juga tetap dipertanyakan oleh para ahli filologi dan arkeologi adalah era kerajaan Kadiri (abad ke-12 M). Masa itu karya sastra yang dihasilkan oleh para pujangganya relatif berlimpah dan bermutu, tetapi hal yang masih belum dapat dijelaskan adalah perihal tinggalan arkeologisnya sangat terbatas, padahal kerajaan Kadiri diperintah oleh beberapa orang raja. Sudah sewajarnya apabila banyak eandi, area, ataupun benda arkeologis lainnya yang dihasilkan oleh masyarakatnya. Namun hingga sekarang hanya sedikit peninggalan artefaktual yang dihubungkan dengan kerajaan Kadiri.

    Hal yang hendak diungkap selanjutnya dalam kajian ini adalah perihal. lingkungan kehidupan yang tergambar dalam setiap penulisan karya sastra J awa Kuna. Setiap karya sastra mestinya meneerminkan gambaran kehidupan si penggubahnya, kiranya wajar apabila gambaran kehidupan itu tertuang seeara langsung atau tidak langsung dalam karya sastra gubahannya. Detail-detail dari suatu narasi karya sastra mungkin dapat dijadikan patokan untuk menelusuri dunia kehidupan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Selain itu tema utama dalam karya sastra juga merupakan patokan lainnya yang juga dapat dijadikan pegangan terhadap kajian ini. Pada akhirnya yang harus pula

    32 LlNGliA Vol.7 No.1, Maret 2008 31-54

  • liperhatikan adalah tokoh utama--jika ada--yang dalarn cerita dengan Jerbagai peristiwa yang dialarninya dapat pula diacu untuk rnengungkapkan nasalah yang sarna.

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna Sebagairnana yang telah dikernukakan bahwa relatif banyak karya

    ;astra Jawa Kuna yang telah ditelisik oleh para ahli. Karena itu, kajian ini tidak :tkan rnungkin rnernperbincangkan seluruh karya sastra Jawa Kuna yang telah berhasil dipelajari. Kajian ini sudah tentu didasarkan pada hasil telaah para pakar sastra Jawa Kuna terdahulu sebagairnana yang telah dilakukan, antara lain oleh R.M.Ng. Poerbatjaraka) yang rnernbahas secara urnurn karya sastra Jawa Kuna dalarn bukunya Kepustakaan Jawa (1957), begitupun P.J .Zoetrnulder dalarn karyanya Kalangwan: Sastra J awa Kuna Selayang Pandang (1985) rnernbahas seluk beluk karya sastra Jawa Kuna dan beberapa contohnya, dan Liaw Y ock Fang rnenyusun rangkurnan karya sastra di Nusantara dengan judul Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik I (1991) terrnasuk di dalarnnya rnernbicarakan karya sastra Jawa Kuna. Pernbicaraan khusus tentang satu karya sastra antara lain telah pula dilakukan oleh Th.G.Th.Pigeaud tentang kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca (1960-63), J.L.A.Brandes rnernperbincangkan perihal kitab Pararaton (1920), S.Suporno tentang kakawin Arjunawijaya (1977), I. Kuntara Wiryarnartana rnenelaah kakawin Arjunavivaha (1990), Soewito-Santoso rnernbahas Sutasoma (1975), Sutjipto Wirjosuparto rnernbicarakan perihal kakawin Bharatayuddha (1968), dan lain-lain lagi.

    Kajian ini tidak sernata-rnata rnenelisik karya-karya sastra yang berbahasa Jawa Kuna saja, rnelainkan juga rnernperhatikan uraian karya-karya sastra yang berbahasa J awa Pertengahan. Hal itu dilakukan karena dalarn

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 33

  • uraian karya-karya sastra yang berbahasa Jawa Pertengahan juga digambarkan keadaan pemerintahan, politik, masyarakat dan kehidupan masyarakat yang masih memeluk agama Hindu-Buddha. Jadi walaupun karya sastra itu digubah dalam abad-abad setelah merosotnya pengaruh agama Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa (abad ke-16-17 M), apabila menguraikan keadaan masyarakat Hindu-Buddha di Jawa, sudah tentu tetap diperhatikan dalam kajian ini. Oleh karena itu serat Pararaton, Sudhamala, Bhubuksah-Gagangaking, Nirarthaprakreta, dan juga Calon Arang, ditinjau pula isinya sesuai dengan tujuan kajian ini.

    Karya sastra Jawa Kuna diciptakan dalam masa yang cukup panjang, bukti-bukti tertua menunjukkan bahwa telah ada karya sastra Jawa Kuna yang diperkirakan digubah pad a sekitar abad ke-lO M. Kemudian dalam abad-abad selanjutnya hingga runtuhnya kerajaan Majapahit (awal abad ke-16 M), karya-karya sastra itu masih tetap digubah walaupun sebagian telah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Secara ringkas data karya sastra tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

    NO

    01

    02

    03

    34

    Tabel 1. Data Karya Sastra yang Berkenaan dengan Masyarakat Jawa Kuna

    NAMA PENGGUBAH TEMAISI

    Sang Hyang Kamaha- (?) Ajaran agama yanikan Buddha

    Kakawin Ramayana Y ogiswara (?) Kepahlawanan

    Arjunavivaha MpuKanwa sda.

    KRONOLOGI

    ..Abad ke-lO

    -Abad ke-lO

    Abad ke-ll

    LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 31-54

  • 04 Parwa-parwa Mahabharata (?) sda. Abad ke-l0

    05 Bharatayuddha Mpu Sedah & Panuluh Epik (Hindu) 1157M

    06 Krsnayana Mpu Triguna Roman & epik Abad ke-12 (Hindu)

    07 S umanasan taka Mpu Monaguna Keagamaan Hindu sda.

    08 Smaradahana Mpu Dharmaja sda. sda.

    09 Hariwangsa Mpu Panuluh Roman & epik sda. (Hindu)

    10 Gatotkacasraya Mpu Panuluh sda. sda.

    11 Nagarakrtagama Mpu Prapanca Deskripsi wilayah Abad ke-14

    12 Sutasoma Mpu Tantular Keagamaan & epik sda. Buddha

    13 Arjunawijaya Mpu Tantular Epik (Hindu) sda.

    14 Kunjarakarna anonim Keagamaan Buddha sda.

    15 Parthajayna anonim Keagamaan & epik sda. (Hindu)

    16 Siwaratrikalpa Mpu Tanakung Keagamaan Hindu Abad ke-15

    17 Tantu Panggelaran anonim Tempat -temp at Abad ke-16 keagamaan

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 35

  • 18 Bubuksah-Gagangaking anonim

    NO NAMA PENGGUBAH

    19 Sudhamala anonim

    20 Sri Tanjung anonim

    21 Tantri Kamandaka anonim

    21 Pararaton anonim

    22 Calon Arang anonim

    Upaya untuk bersatu dengan dewata tertinggi

    Abad ke-14

    TEMA lSI KRONOLOGI

    Keagamaan Hindu: lukat s.d.a

    Keagamaan, roman, dan epik s.d.a (Hindu)

    Pendidikan etika, moral, kecer- s.d.a ikan dan lain -lain

    Kisah Ken Angrok & raja-raja Abad ke-15 Singhasari dan Majapahit

    Ajaran sesat dapat diatasi ajaran yang benar, ruwat

    Abad ke-15

    23 Nirarthaprakerta Danghyang Nirartha Ajaran keagamaan (Hindu)

    Akhir abad ke-14

    24 .Korawasrama anonim Keagamaan Abad ke-15

    25 Kisah-kisah Panji anonim Roman, epik, dan keagamaan Abad 14--18

    Demikian beberapa contoh karya sastra Jawa Kuna yang dihasilkan oleh para penggubah sezaman atau yang isinya menguraikan perihal keadaan masyarakat masa Jawa Kuna. Berdasarkan kajian para ahli yang telah menelisik karya-karya sastra itu dapat diketahui bahwa tern a isinya sebenarnya

    36 UNGtJA Vol.7 No.1, Maret 200S 31-54

  • berkisar kepada apran agama merupakan hal yqng dominan, kemudian kepahlawanan (epik), roman-percintaan, dan tema lain seperti uraian tentang daerah-daerah, raja-raja yang pernah memerintah, serta tempat-tempat suci keagamaan. Dalam hal sifat keagamaannya kebanyakan karya sastra tersebut bernafaskan agama Hindu, artinya dalam uraian karya sastra itu yang dewata yang tampil dan diseru adalah dewa-dewi yang dikenal dalam agama Hindu. Adapun mengenai karya sastra yang bernafaskan ajaran agama Buddha diketahui beberapa saja, umumnya bersifat ajaran keagamaan dan pencerahan yang dilalui oleh tokoh utamanya.

    Terdapat hal yang menarik bahwa dapat ditafsirkan adanya dua nafas keagamaan, baik Hindu-saiva ataupun Buddha Mahayana dalam uraian suatu karya sastra. Per an an ritus Tantrayana juga turut menghiasi narasi karya sastra tersebut. Contoh karya sastra yang bernuansakan Hindu, Buddha, serta ritus Tantrayana adalah kisah Calon Arang dan Bhubuksah-Gagangaking Akan halnya dalam uraian kitab Sutasoma, peranan agama Buddha terlihat lebih diunggulkan dari agama Hindu, sebab dewata Hindu dapat dikalahkan oleh penjelman Buddha. Oleh karen a itu Sutasoma dapat dianggap sebagai kitab masa Majapahit yang "mempromosikan" keunggulan agama Buddha daripada agama Hindu.

    Beberapa Patokan: Tinjauan Ringkas Dalam upaya mengungkap dunia kehidupan yang tergambar dalam

    suatu karya sastra, perlu kiranya ditentukan dulu beberapa patokan penting yang dapat dijadikan acuan. Biasanya dalam suatu karya sastra yang bersifat naratif, terdapat beberapa hal yang membentuk rangkaian cerita secara utuh.

    Bagian-bagian yang membentuk karya sastra biasanya disebut dengan struktur, dan dalam setiap karya sastra terdapat struktur yang membentuknya

    Karya Sas!ra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 37

  • antara lain adalah, (1) penokohan, (2) alur dan adegan, (3) latar, dan (4) motif (Baried dkk. 1985). Dalam karya sastra Jawa Kuna keempat komponen tersebut sudah tentu dapat dijumpai pula apabila dilakukan penelisikan secara saksama. Komponen-komponen itulah yang akan dijadikan patokan selanjutnya dalam membicarakan karya sastra Jawa Kuna dan dunia kehidupan yang tergambar di dalamnya.

    3.1 Penokohan Secara ringkas dalam karya sastra Jawa Kuna penokohan dapat

    dikernukakan sebagai pencitraan tentang seseorang yang segala aspek kehidupannya kerapkali diuraikan dalam cerita tersebut. Selain berupaya rnenghadirkan tokoh utama dalarn cerita, pujangga masa Jawa Kuna juga rnenguraikan pula tokoh-tokoh pendukung lainnya yang rnenghidupkan suatu kisah. Terdapat pula ungkapan yang agak rinci perihal karakter dan tokoh, deskripsi atribut, kedudukan dalarn rnasyarakat dan lain-lain.

    Dalarn kakawin Nagarakrtagama yang diuraikan sebagai tokoh utama ialah raja Hayarn Wuruk yang mernerintah di Majapahit tahun 1350-1389 M. Ia disebut dengan gelar resrninya sebagai Rajasanagara, ataukata julukan bagi dirinya seperti sang narapatti, sri natha, bhattara natha, dan berbagai epitel lainnya. Adapun Lubdhaka tokoh, pernburu yang banyak rnembunuh hewan yang akhirnya dosa-dosanya diampuni oleh Siva Mahadeva, disebutkan dalarn kakawin Siwaratrikalpa. Begitupun dalarn kakawin Arjunavivaha disebutkan tokoh utarna sebagai pusat penceritaan adalah Arjuna, Pandawa ke-3 yang bertapa di lereng gunung Indrakila, sedangkan dalam cerita Calon Arang tokoh utarnanya adalah janda dari desa Girah, yaitu Calon Arang sendiri yang kernudian dimusnahkan oleh Mpu Bharadah.

    38 LINGUA Yol.7 No.1, Maret 2008 31-54

  • Beberapa tokoh cerita yang disebutkan dala:Q1 karya sastra Jawa Kuna, figur-figur itu sebagai tokoh utama. Dalam pada itu terdapat gancaran (prosa) yang tidak meIiyebut secara khusus tokoh utamanya, yaitu Para raton. Kitab Para raton sebenarnya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama bertutur secara panjang lebar tentang Ken Angrok, bagian itu dapat dianggap mempunyai tokoh utama, yaitu Ken Angrok yang mendirikan Singhasari. Bagian kedua sepenuhnya uraian perihal raja-raja Singhasari dan Majapahit hingga masa keruntuhannya. Dengan demikian, tidak ada tokoh raja utama yang disebutkan secara dominan dalam uraiannya.

    3.2 Alur dan Adegan Pada dasarnya alur dan adegann merupakan rangkaian peristiwa yang

    membentuk cerita, yang terkait secara kausalitas (sebab-akibat). Uraiannya dapat berurutan secara kronologis, atau menggunakan teknik penceritaan mundur (flash-back) cerita dalam cerita (cerita berbingkai). Adegan yang ada di dalam alur adalah salah satu bagian dari perisitiwa tertentu yang mempunyai fungsi untuk pengembangan cerita, dapat pula dinyatakan bahwa adegan adalah bagian terkecil dari satu sequence (satu segmen dalam rangkaian cerita).

    Dalam karya sastra Jawa Kuna sudah tentu alur dan adegan terdapat pula dalam uraiannya, misalnya dalam kakawin Arjunawijaya gubahan Mpu Tantular, diuraikan tentang pertempuran yang terjadi antara Rawana dan Raja Arjuna Sahasrabahu. Rawana marah karena peribadatannya terganggu akibat meluapnya air sungai Narmada. Raja Arjuna mengubah dirinya sebagai dewa bertangan seribu yang dipergunakannya untuk membuat bendungan. Dalam pertempuran yang terjadi, Rawana berhasil mengalahkan para raja sekutu Arjuna Sahasrabahu, bahkan patih raja Arjuna, yaitu Suwanda dapat ditewaskan oleh Rawana. Namun akhhirnya Rawana dapat dikalahkan oleh

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 39

  • Raja Arjuna, tetapi tidak dibunuh. Rawana dilepaskan kembali dari ikatan rantainya karena menurut kakawin tersebut, ajalnya memang belum tiba. Kelak Rawana akan meninggal oleh tangan seorang raja yang merupakan avatara (penjelmaan) Visnu yang dibantu oleh bala tentara monyet.

    AIur cerita dalam kakawin Arjunawijaya, terutama di bagian akhir cerita, terlihat jelas bahwa pertempuran yang terjadi akibat kesombongan Rawana sendiri yang merasa tidak terkalahkan oleh raja mana pun. Adegan demi adegan ditampilkan secara berurutan dalam setiap peristiwa, sehingga pembaca dapat mengikuti cerita secara baik. Dapat pula dianggap bahwa cerita Arjunawijaya sebenarnya sebagai pendahulu dari kisah Ramayana yang akhirnya menguraikan kematian Rawana (metafora kejahatan) oleh Rama (metafora kebaikan).

    Begitupun dalam kakawin Arjunavivaha karya Mpu Kanwa, terlihat jelas adanya alur penceritaan yang akhirnya membawa tokoh Arjuna dapat pergi ke dunia dewa-dewa di Kahyangan. Asal mula masalah dalam kisah itu adalah kehadiran raksasa Nivatakavaca yang ingin mempersunting bidadari tercantik Suprabha. Kemauan itu ditolak oleh sang bidadari, Nivatakavaca merusak Kahyangan dan hanya dapat dikalahkan oleh Arjuna yang pada waktu itu sedang bertapa sebagai pertapa Mintaraga. Pada akhirnya walaupun dengan bantuan senjata yang dianugerahkan oleh Siva Mahadeva sendiri, Nivatakavaca tewas oleh Arjuna.

    Berdasarkan beberapa contoh tersebut dapat diketahui bahwa karya-karya sastra yang berupa kisah saduran dari viracarita India alur penceritaan secara kausalitas dapat diamati secara baik. Akan halnya dalam karya sastra gubahan lebih kemudian yang menceritakan keadaan di Tanah J awa sendiri, seperti Tantu Panggelaran, alur itu tidak begitu jelas. Uraiannya Tantu Panggelaran cukup beraneka, tidak mengandung kisah yang utuh melainkan

    40 LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 31-54

  • penggalan-penggalan cerita yang dikaitkan denga.n perilaku tokoh-tokoh keagamaan dan dunia supernaturallainnya.

    3.3. Latar Hal yang dimaksudkan sebagai latar adalah lingkungan tempat

    terjadinya suatu peristiwa yang dialami oleh tokoh, artinya keadaan dan waktu tertentu, serta temp at tertentu yang membentuk suatu peristiwa dan tokoh berada di dalamnya. Latar dapat berkaitan dengan gambaran kasat mata, yaitu latar fisik (temp at dan waktu), tetapi juga dapat berkenaan latar non-fisik berkenaan yang berkenaan dengan situasi sosial, keagamaan, lingkungan mental, dan lainnya.

    Latar dalam karya sastra Jawa Kuna sangat bervariasi, ada yang menceritakan kehidupan pertapaan atau mandala, bermacam tempat menyepi para pertapa di lereng gunung atau di hutan-hutan yang jauh dari keramaian, misalnya kitab Tantu Panggelaran dan Bhubuksah-Gagangaking, peperangan yang dahsyat diuraikan, antara lain, dalam Gatotkacasraya, perburuan yang dilakukan raja diuraikan dalam Nagarakrtagama, dan kesedihan seorang istri karena ditinggal pergi suaminya diuraikan dalam kitab Sri Tanjung. Pada umumnya setiap uraian cerita tidak hanya menggambarkan latar yang tetap dan monoton, tetapi sudah tentu akan berbeda-beda. Penggambaran latar dapat dimulai di pertapaan, keraton, hutan, peperangan, dan lainnya kemudian menyambung ke bermacam latar lainnya hingga suatu cerita selesai.

    3.4 Motif Peristiwa atau tokoh yang kehadirannya dalam cerita bersifat menetap

    atau baku. Hal itu terjadi karena adanya pola yang berulang. Apabila terdapat dua cerita atau lebih yang mempunyai pol a yang sarna, dapat disebut bahwa

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 41

  • cerita-cerita itu mempunyai kemiripan motif. satu dengan lainnya walaupun nama tokoh-tokoh utamanya berbeda at au latarnya di tempat-tempat yang berbeda pula.

    Dalam beberapa karya sastra dikenal juga adanya motif yang sarna satu dengan lainnya. Contoh yang baik adalah dalam kisah-kisah Panji yang umumnya ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan atau pun kisah Panji Melayu. Motif yang telah menjadi pola cerita dalam kisah-kisah Panji adalah perihal kisah asmara antara putra mahkota kerajaan Janggala, yaitu Raden Inu Kertapati (Raden Panji) dan Dewi Sekar Taji, putri Raja Kadiri (Daha). Setelah melalui pengembaraan yang cukup panjang diselingi beberapa peristiwa kedua putra-putri raja itu akhirnya berjodoh sesuai dengan kehendak dewata. Dalam kakawin Sutasoma juga dijumpai adanya motif yang sarna dengan Ramayana. Misalnya ketika Pangeran Sutasoma diminta untuk mengusir dan memusnahkan para raksasa yang acapkali menggangu kehidupan penduduk desa dan para pertapa. Hal yang sarna diuraikan pula dalam bagian awal Ramayana, ketika itu Rama dan Laksmana diperintahkan oleh ayahanda untuk memusnahkan para raksasa yang sering menggangu kehidupan para pertapa di hutan-hutan tempat mereka menyepi.

    Motif yang membentuk pola cerita yang mirip dalam beberapa karya-sastra kiranya dapat ditelisik apabila karya-karya sastra itu dicermati dan dibandingkan isinya satu dengan lainnya. Hal itu menimbulkan asumsi bahwa para pujangga sebelum menggubah karyanya telah mengenal terlebih dahulu beberapa karya sastra yang diciptakan oleh para pujangga sebelumnya. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh pola cerita dari karya yang telah ada kepada karya yang diciptakan lebih kemudian.

    42 LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 31-54

  • Hubungan Antara Karya Sastra dengan Penggambaran Relief Candi Candi-candi di Jawa selain sebagai bangunan suei dapat pula dijadikan

    data bagi kajiaIi karya sastra Jawa Kuna karena beberapa karya sastra Jawa Kuna ada yang dipahatkan dalam bentuk relief di dinding candi. Tujuan pemahatan karya sastra dalam bentuk relief tersebut antara lain adalah: l.Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief

    yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinei dan indah.

    2.Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunJung candilbangunan suei di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief, jadi tidak perlu langsung membaca naskahnya yang sang at mungkin jumlahnya terbatas.

    3.Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Hal yang pasti cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu, sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula bahwa orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elit penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastra tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cerita yang dimaksudkan (Munandar 2003: 16).

    Bangunan suei yang dihias dengan relief cerita misalnya Candi Induk Panataran di BIitar yang dinding kaki bangunannya dihias dengan relief Ramayana dan Krsnayana (Bernet Kempers 1959: plate 278-81, dan 283). Sedangkan Candi Tegawangi di Kediri, dinding bangunannya dihias dengan relief Sudhamala (Bernet Kempers 1959: plate 296-7), dan Goa

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 43

  • Selamangleng di Tulungagung dindingnya dip,ahati relief cerita Arjunavivaha (Holt 2000: gambar 52), dan masih banyak yang lainnya.

    Pengamatan terhadap relief cerita yang dipahatkan di candi-candi menunjukkan banyak cerita yang begitu sering divisualisasikan, baik dalam bentuk pemahatan relief yang agak panjang maupun berupa fragmennya dalam satu adegan saja yang lazim disebut dengan relief pandu. Cerita yang acapkali dipahatkan dalam bentuk relief dapat dipandang sebagai cerita yang popular pada masanya, at au juga dapat ditafsirkan sebagai cerita yang bermutu, mempunyai tendensi keagamaan yang kental, dan dipilih karen a disukai oleh para penaja ataupun pemahat relief berdasarkan nasihat dari pendeta keagamaan. Apabila demikian halnya, kajian untuk mengungkap perihal dunia apa yang sebenarnya tercermin dalam uraian suatu karya sastra dapat terbantu pula lewat penelisikan relief cerita yang dipahatkan di candi-candi.

    Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat diketahui pula bahwa relief cerita Arjunavivaha secara agak panjang ataupun dalam bentuk fragmennya (adegan pertapa Mintaraga) paling banyak dipahatkan di candi-candi wilayah Jawa Timur. Menyusul kemudian kisah Panji, Tantri Kamandaka, Sri Tanjung dan Garudeya kisah tentang Garuda dari kitab Adiparwa (Munandar 2004: 56-57). Mungkin dalam konsepsi para pembangun candi, kisah tentang Arjunavivaha lebih sesuai untuk dipahatkan di dinding candi karena cerita itu merupakan simbol yang sarat dengan makna keagamaan, yaitu kebajikan, setia pada dharma, dan pertemuan langsung dengan dunia dewa-dewa (Munandar 2004: 60).

    Kisah-kisah lainnya yang dipahatkan di dinding candi-candi sudah tentu terpilih dari karya sastra karena keistimewaannya. Dalam pada itu terdapat pula sejumlah relief naratif yang dipahatkan di suatu bangunan suci masa Jawa Kuna tetapi belum dapat diketahui isi ceritanya. Contoh yang baik dalam hal

    44 UNGlJA VoL7 No.1, Maret 2008 31-54

  • ini adalah relief cerita yang dipahatkan di dinding kqki Candi Jawi, Pasuruan, dan relief kisah-kisah Panji tertentu yang belum dapat diidentifikasikan pula. Untuk mengetahui keistimewaan itulah maka dunia yang tercermin dalam karya sastra itu pun harus diungkapkan berdasarkan data yang tersedia hingga kini.

    Gambaran Dunia dalam Karya Sastra Berdasarkan tinjauan awal yang telah dilakukan terhadap sejumlah

    karya sastra yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa Kuna, dapat diketahui adanya tema-tema yang berbeda, walaupun tema keagamaan merupakan yang paling banyak dijumpai. Selanjutnya, yang dapat kiranya dijelajahi adalah perihal dunia apa yang tergambar dalam suatu karya sastra.

    Seorang penulis yang menguraikan suatu bagian, lingkungan, benda, atau apa pun secara rinci dapat diasumsikan bahwa penulis tersebut sangat menguasai perihal apa yang diuraikan dengan detail tersebut. Demikian juga apabila ada seorang pujangga Jawa Kuna yang sangat baik dan rinci menguraikan Zatar tertentu dalam kisahnya, dapatlah dianggap sang at menguasai dan mengenal dengan baik latar tersebut. Ketika Mpu Prapanca mampu menguraikan secara detail kehidupan di keraton dan bagian-bagian keraton Majapahit tempat Hayam Wuruk bersemayam, dapat dinyatakan bahwa sang pujangga itu tentunya mengenal betul seluk-beluk puri Majapahit. Dapat ditafsirkan bahwa Mpu Prapanca adalah seorang agamawan Buddha yang juga pujangga dan pernah tinggal di lingkungan puri Majapahit sebelum atau ketika Nagarakrtagamanya digubah. Akan halnya penulis Pararaton tidaklah menjelaskan secara detail kehidupan di lingkungan kedaton Majapahit, walaupun yang diuraikan dalam bagian kedua dari Pararaton itu menjelaskan pergantian raja-raja Majapahit dengan segala intriknya. Dalam hal ini dapat

    Karya Sas!ra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 45

  • ditafsirkan bahwa sang penulis memang bukandari lingkungan istana, dan juga berada jauh pada masa yang lebih kemudian ketika peristiwa di Majapahit itu terjadi. Hal yang menarik adalah justru sang penulis Pararaton mampu menguraikan secara hidup perilaku Ken Angrok dengan latar pedesaan di bagian pertama dari Pararaton. Tafsiran yang mengemuka bahwa memang benar sang penulis Pararaton adalah berasal dari lingkungan pedesaan, mungkin seorang agamawan mandiri yang tinggal menyepi dari dunia ramai di alam desa.

    Tinjauan terhadap detail-detail uraian agaknya memang memegang peranan penting dalam kajian yang ingin mengetahui dunia apa sebenarnya yang diungkapkan dalam suatu karya sastra. Selanjutnya diuraikan dalam tabel II sejumlah karya sastra serta dunia yang terbayang darinya, melalui pengamatan terhadap detail-detail dari bagian yang diuraikan dalam karya sastra tersebut.

    Tabel 2: Karya Sastra Dan Dunia yang Tergambar Di Dalamnya

    NO. NAMA TOKOH UTAMA DETILIRINCI DUNIA

    01. Sang Hyang Kamaha- Tidak disebutkan yanikan

    02. Kakawin Ramayana Rama

    03. Arjunavivaha Arjuna

    Tempat pendidikan Kaum agamawan di agama iuar istana

    keraton, hutan, kewi- Istana dan para raan ksatrya

    Pertapaan di hutan, Kaum agamawan di kedewataan lingkungan istana

    04. Parwa-parwa Mahabharata Pandava dan Keraton, hutan, kede- sda.

    46 LINGUA Yo\'7 No.1, Maret 2008 31-54

  • Kaurava wataan dan lain-lain

    05. Bharatayuddha Pandava dan Kaurava Medan perang, istana Ksatrya dan istana

    06. Krsnayana Krsna Keraton sda.

    07. Sumanasantaka Bidadari Harini Kahyangan, keraton Kehidupan istana

    NO. NAMA TOKOHUTAMA DETIL/RINCI DUNIA

    08. Smaradahana Kama, Siva, Ganesa Kahyangan, pertapaan Kaum agamawan di lingkungan istana

    09. Hariwangsa Krsna, Dewi Rukmini Keraton Ksatrya dan istana

    10. Gatotkacasraya Gatotkaca, Abimanyu sda. sda.

    11. N agarakrtagama Rajasanagara Keraton, perjalanan, sda. perburuan, kerabat raja

    12. Sutasoma Pangeran Sutasoma Keraton, pengembaraan Kaum agamawan di lingkungan istana

    13. Arjunawijaya Raja Arjunawijaya Keraton, perjalanan, Ksatrya dan istana medan perang

    14. Kunjarakarna Yaksa Kunjarakarna Kehidupan di Kahyangan Kaum agamawan adegan di neraka diMandala

    15. Parthajayna Pandava Adegan di keraton Ksatrya dan istana

    Karya Sastra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 47

  • 16. Siwaratrikalpa Pemburu Lubdhaka Pedesaan, kede- Agamawan mandiri wataan, medan perang yang dekat istana

    17. Tantu Panggelaran Tiada tokoh utama Pertapaan-pertapaan dan Kaum agamawan mitologi dewa di Mandala

    18. Bhubuksah-Gagangaking Dua bersaudara Pertapaan di hutan Agamawan mandiri

    19. Sudhamala Sadewa Pertapaan pasetran

    20. Sri Tanjung Sri Tanjung dan Keraton, pertapaan,

    21. Tantri Kamandaka

    21. Pararaton

    22. Calon Arang

    23. Nirarthaprakerta

    24 Korawasrama

    Sidapaksa kahhyangan

    Banyak tokoh Tergantung setting ceritanya

    Ken Angrok, Kisah Ken Angrok di tiada tokoh utama pedesaan,kehidupan

    keraton yang tidak detail

    Calon Arang Pasetran dan keraton

    Tidak ada tokoh Ajaran agama

    Pandawa dan Korawa Adegan di Kahyangan, neraka, surga

    25. Kisah-kisah Panji Raden Panji Keraton, pengembaraan, medan perang

    sda.

    Kaum agamawan lingkungan istana

    sda.

    Agamawan mandiri

    Kaum agamawan di lingkungan istana

    Agamawan mandiri

    Agamawan di ling-kungan mandala

    Kehidupan ksatrya dan istana

    48 LINGUA Vol.7 No.1, Maret 2008 31-54

  • Dalam tabel II dapat dilihat bahwa setiap, karya sastra dianggap nempunyai uraian yang detail. Kedetilan itu dapat dipandang sebagai cemampuan seniman mengungkap dunia kehidupan di sekitarnya. Artinya lfaian tersebut menggambarkan dunia tertentu sesuai dengan detail-detail yang :e1ah dirincinya secara cermat.

    Naskah Bhubuksah-Gagangaking menguraikan kehidupan kaum Jertapa secara rinci, tempat tinggalnya, perilakunya sehari-hari, lingkungan llamnya, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa pujangga penyusun naskah tersebut tentunya ia yang mengerti betul seluk beluk pertapaan mandiri, pertapaan yang dilakukan oleh individu-individu secara perorangan. Dunia yang tergambarkan di dalamnya adalah dunia pertapaan yang dilakukan secara perseorangan.

    Adapun naskah Calon Arang pada bagian detailnya menguraikan juga keadaan pertapaan pasetran di Gandamayu, temp at tinggal janda dari Girah tersebut. Pada bagian lain di naskah yang sarna diuraikan pula tentang kedudukan Raja Airlangga di keraton Daha, balai penghadapannya, upaya pelebaran pengaruh daha ke Bali, dan proses pembagian wilayah kerajaan Airlangga oleh Mpu Bharadah. Nuansa keraton terasa kental pula pada uraian naskah Calon Arang itu. Maka, dapat ditafsirkan bahwa pujangga penyusunnya tentunya seseorang dari kalangan kaum agamawan --sebagaimana para penyusun naskah Jawa Kuna umumnya-- yang tinggal di lingkungan keraton sehingga mampu menguraikan detail istana secara baik.

    Lain halnya dengan kakawin Ramayana, Bharatayuddha, Hariwangsa, Gatotkacasraya, dan lainnya lagi yang bersifat kepahlawanan dan kewiraan, sudah tentu diuraikan oleh pujangga istana, mereka memang tinggal di lingkungan istana raja-raja untuk menambah kewibawaan kehidupan istana itu sendiri. Dunia yang tergambarkan pada karya-karya sastra Jawa Kuna yang

    Karya Sas!ra Masyarakat Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 49

  • bersifat epik sudah tentu adalah dunia para raja, kaurn ksatrya, gernerlap kehidupan istana, rnedan perang yang rarnai sesuai dengan dharmanya para ksatrya, dan lain-lain.

    Secara ringkas dunia yang tergarnbarkan dalarn karya sastra yang rnenguraikan rnasyarakat Jawa Kuna dapat dilihat dalarn bagan berikut.

    DUNIADALAM KARYASASTRA

    MASYARAKAT JAWA KUNA

    DUNIA PARA PENDETA

    YANG DEKAT DENGAN ISTANA

    DUNIA PARA PERTAPA

    DI LUAR ISTANA

    (KAuMRsl) DUNIA KEHIDUPAN DUNIA KEAGAMAAN

    ISTANA DAN PARA RAJA LINGKUNGAN ISTANA (Contoh: Ramayana & Bharatayuddha) (Contoh: Arjunavivaha & Sutasoma)

    DUNIA KEAGAMAAN DUNIA PERTAPAAN

    LUAR 1ST ANA (MANDALA) MANDIRI

    (Contoh: Tantu Panggelaran & Korawasrma) (Contoh: Bhubuksah-Gagangaking, Pararaton, Nirarthaprakreta)

    Dapat dinyatakan bahwa sebagian besar para penggubah karya sastra J awa Kuna berasal dari lingkungan kaum agamawan sebab kemah iran tulis rnenulis, pengetahuan tentang kaidah susastra, ajaran keagaman, dan pengetahuan lain yang berkenaan dengan sastra tulis dan isinya merupakan hal

    50 UNGtlA VoL7 No.1, Maret 2008 31-54

  • yang lazim dimiliki oleh kaum agamawan. SeperaQgkat pengetahuan tentang aturan penulisan susastra dan cerita-cerita yang bernafaskan keagamaan telah menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan menjadi ciri keprofesionalan mereka yang eksklusif. Dalam masa Jawa Kuna terdapat istilah khusus untuk mereka yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu Wilal (Zoetmulder 1985: 183). Mereka ada yang mempunyai hubungan akrab dengan istana, bahkan dalam menggubah kakawinnya, raja yang bersemayam di istana itu justru menjadi penaja yang melindungi serta merestui pekerjaan para wiku yang bertindak sebagai kawi (penggubah kakawin) (Zoetmulder 1985: 194-203). Dalam hal ini misalnya yang terjadi antara Mpu Prapanca dengan Rajasanagara (Hayam Wuruk) kala sang mpu menggubah Nagarakrtagama, dan juga antara Mpu Tanakung yang menggubah Siwaratrikalpa dan Raja Sri Adi Suraprabhawa atau Sri Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas yang memerintah di Majapahit pada 1466--1474 M (Djafar 1978: 20-21, Zoetmulder 1985: 440-51 dan 458-9).

    Berdasarkan data ya