LBM 1
description
Transcript of LBM 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tonsilofaringitis akut merupakan faringitis akut dan tonsillitis akut yang
ditemukan secara bersamaan. (Efiaty,2002). Tonsilofaringits adalah infeksi
(virus atau bakteri) dan inflamasi pada tonsil dan faring (Muscari, 2005). Dari
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tonsilofaringitis
merupakan peradangan pada faring atau tonsil ataupun keduanya yang
disebabkan oleh bakteri dan juga oleh virus.
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptococcus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala
yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia 2 tahun adalah nyeri kepala,
nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat
mencapai suhu 40˚C, beberapa jam terdapat nyeri tenggorokan. Gejala seperti
rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh
virus (Suardi, 2010).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang kelainan atau penyakit pada saluran
nafas.
2. Tujuan Khusus
Mempelajari lebih dalam mengenai fisiologi pernafasan dan dan kelainan-
kelainannya.
C. Manfaat
1. Untuk menambahan wawasan keilmuan tentang pernafasaan bagi penulis.
2. Sebagai sumber bacaan bagi pembaca untuk membuat karya tulis serupa.
LBM 1Page 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekenario
Tenggorokanku Sakit
Seorang anak laki-laki umur 11 tahun datang ke puskesmas dengan
keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan sejak lima hari yang
lalu,awalnya pasien mengeluh pilek namun beberapa hari kemudian pasien
mengeluh nyeri tenggorokan,batuk juga dikeluhkan oleh pasien namun tidak
berdahak,sesak disangkal oleh pasen,pada pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah didapatkan 100x/70 mmHg,frekuensi nafas didapatkan
24x/m,dan nadi didapatkan 90x/m,dan suhu 37,8 derajat celcius.
Pemeriksaan rongga mulut ditemukan didinding faring posterior
hiperemis,tonsil : T3-T3
B. Terminologi
1. Hiperemis
2. Tonsil
C. Permasalahan
1. Jelaskan Anatomi dan Fisiologi saluran pernafasan
2. Histologi Saluran Pernafasan
3. Interpretasi Skenario
4. Diagnosa Banding pada Skenario
5. Diagnosa Penyakit pada Skenario
D. Pembahasaan
1. Anatomi dan Fisiologi saluran pernafasan
LBM 1Page 2
Hidung Luar
Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas;
struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas,
kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah apertura
piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisabkan hidung luar
dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar
berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung,
semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu
bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior
merupakan bagian dari prosesus maksilaris medial embrio yang meliputi
premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar.
Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan,
dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang sating berfusi di garis
tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum
kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung,
LBM 1Page 3
dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus
menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebe]ah medial oleh kolumela,
di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh Ujung hidung (Gbr. 10-4)
Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan
mengendus, dan bersin. Otot ekspresi wajah yang terletak subkutan di
atas tulang hidung, pipi anterior, dan bibir atas menjamin mobilitas
lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut menyokong hidung
luar. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi di sebclah
inferior olch krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh
septum nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai baths
superior dan lateral. Struktur tersempit dari seluruh saluran pernapasan
atas adalah apa yang disebut sebagai limen nasi atau os internum oleh
ahli anatomi, atau sebagai katup hidung Mink oleh ahli faal. Istilah
"katup" dianggap tepat karena struktur ini bergerak bersama, dan ikut
menga1ur pernapasan.
Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os internum di sebclah anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah,
secara anatomi mcmbagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada
LBM 1Page 4
dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara yang tak
teratur di antaranyameatus superior, media dan inferior (Gbr. 10-2).
Sementara kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti
dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam
cenderung bervariasi tebalnya, jugs mengubah resistensi, dan akibatnya
tckanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang
berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa,
perubahan badan vaskular yang dapat mengembang pada konka dan
septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa.
LBM 1Page 5
Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian
anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus
frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel- sel sinus
etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus
sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis (Gbr. 10-3).
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada
bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah
hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa
berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah
olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat mengganggu penghiduan.
Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum
(kuadrangularis) di sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang
etmoidalis di sebelah atas, vomer dan rostrum sfenoid di posterior dan
suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista maksial dan krista
palatina (Gbr. 10-4). Krista dan tonjolan yang terkadang perlu diangkat,
tidak jarang ditemukan. Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena
faktor-faktor pertumbuhan ataupun trauma dapat hebatnya sehingga
mengganggu aliran udara dan perlu dikorcksi secara bedah. Konka di
dekatnya umumnya dapat mcngkompensasi kelainan septum (bila tidak
terlalu berat), dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan
mengecil pada sisi lainnya, sedemikian rupa agar dapat mempertahankan
lebar rongga udara yang optimum. Jadi, meskipun septum nasi bengkok,
aliran udara masih akan ada dan masih normal. Daerah jaringan erektil
pada kedua sisi septum berfungsi mengatur ketebalan dalam berbagai
kondisi atmosfer yang berbeda.
Sinus Paranasalis
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan
bagian lateral rongga udara hidung; jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri
bervariasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang
wajah dan diberi nama yang sesuai: sinus maksilaris, sfenoidalis,
LBM 1Page 6
frontalis dan etmoidalis (Gbr. 10-3 dan 10-5). Yang terakhir biasanya
berupa kelompok-kelompok sel etmodialis anterior dan pos¬terior yang
saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam
hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang
mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia,
sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus
terutama berisi udara.
Sinus maksilaris rudimenter, atau antrum umumnya telah
ditemukan pada saat lahir. Sinus paranasalis lainnya timbul pada masa
kanak-kanak dalam tulang wajah. Tulang-tulang ini bertumbuh melebihi
kranium yang menyangganya. Dengan teresorpsinya bagian tengah yang
keras, maka membran mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam rongga-
rongga yang baru terbentuk ini
2. Struktur Histologi dari Saluran Pernafasan
a. Hidung
Hidung adalah bagian yang paling menonjol di wajah, yang
berfungsi menghirup udara pernafasan, menyaring
udara,menghangatkan udara pernafasan, juga berperan dalam
resonansi suara.
Rongga hidung (cavum nasi) memiliki sepasang lubang
didepan untuk masuk udara, disebut nares; dan sepasang lubang di
belakang untuk menyalurkan udara yang dihirup masuk ke
tenggorokan, disebut choanae. Rongga hisung sepasang kiri kanan,
dibatasi di tengan oleh sekat yang dibina atas tulang rawan dan
tulang.
Dinding rongga ditunjang oleh tulang rawan dan tulang.
Lantai, di depan terdiri dari tulang langit-langit, di belakang berupa
langit-langit lunak. Atap juga ditunjang oleh tulang rawan sebagian
dan sebagian lagi oleh tulang. Dari tiap dinding ada tiga tonjolan
tulang ke rongga hidung, disebut conchae.
LBM 1Page 7
Rongga hidung dibagi atas 4 daerah :
1. Vestibula.
2. Atrium.
3. Daerah pembauan.
4. Daerah pernapasan.
Vestibula adalah bagian depan rongga, atrium adalah bagian
tengah. Daerah pembauan berada pada conchae yang atas,
sedangkan daerah pernapasan terletak pada dua conchae yang
bawah.
Rongga hisung dilapisi oleh tunica mukosa. Kecuali di bagian
depan vestibula sampai ke nares. Di sini dilapisi oleh kulit yang
strukturnya sama dengan kulit wajah. Epidermis dibina atas jaringan
epitel berlapis menanduk, ada bulu, kelenjar minyak bulu, dan
kelenjar peluh. Pada vestibula itu ada bulu yang keras, disebut
vibrissae.
Tunica mukosa sendiri dibina atas jaringan epitel berlapis semu
bersilia. Di daerah pembauan epitel bersilia itu memiliki struktur dan
fungsi khusus, yaitu sabagai indera bau. Diantara sel epitel batang
bersilia tersebar banyak sel goblet. Pada lamina propria banyak
terdapat simpul vena, simpul limfa dan kelenjar lendir. Tak ada bulu,
kelenjar minyak bulu maupun kelenjar peluh. Kelenjar lendir itu di
sebut kelenjar Bowman. Tunica mukosa melekat ketat ke
periosteum atau perichondrium di bawahnya.
Sekeliling rongga hidung ada empat rongga berisi udara yang
berhubungan dengannya, disebut sinus paranasal. Keempat sinus itu
berada pada tulang-tulang berikut : 1). Frontal; 2). Maxilla; 3).
Ethmoid; 4) sphenoid. Sinus dilapisi oleh tunica mucosa juga, seperti
LBM 1Page 8
yang melapisi rongga hidung. Hanya saja lebih tipis dan sel-selnya
lebih kecil-kecil serta sedikit mengandung kelenjar lendir. Lamina
propria tidak terliahat dengan jelas.
b. Tekak ( pharynx )
Daerah simpangan saluran napas dan saluran makan. Dibedakan atas
tiga daerah
Daerah hidung (naso-pharynx)
Merupakan bagian pertama pharynx kebawah, dilanjutkan dengan
bagian oral organ ini yaitu oro-pharynx.
Daerah mulut (oro-pharynx)
Daerah jakun (laryngeo-pharynx)
Di daerah mulut lapisan muscularis-mucosa dari tunica mucosa
digantikan oleh serat elastis yang rapat dan tebal. Tunica
submucosa hanya ada didinding daerah hidung dan dekat ke
kerongkongan. Di tempat lain tunica mukosa melekat langsung ke
gumpal otot lurik sekitar leher. Lapisan serat elastis yang ada
pada bagian bawah tunica mucosa itu berpaut rapat dan berjalin
dengan jaringan interstisial otot.
Lamina propria tunica mucosa terdiri dari jaringan ikat rapat yang
berisi jala serat elastis yang halus. Di daerah mulut dan jakun
tunica mukosa dilapisi oleh jaringan epitel berlapis banyak dan
mengelupas, sedang atapnya dibina atas jaringan epitel batang
berlapis bersilia, dengan banyak sel goblet. Pada lamina propria,
dibawah lapisan serat elastis, banyak terdapat kelenjar lendir.
c. Jakun ( Larynx )
Gerbang trakea ini ditunjang oleh beebrapa keping tulang
rawan hialain dan elastis, jaringan ikat, serat otot lurik, dan dilapisi
LBM 1Page 9
sebelah kelumen oleh tunica mucosa. Tunica mucosa itu memiliki
kelenjar lendir.
Keping tulang rawan yang menunjang jakun ialah:
1. Tiroid
2. Krikoid tunggal
3. Epiglotis
4. Aritenoid
5. Kornikulat sepasang
6. Kuneiform
Permukaan depan dan sebelah belakang epiglotis dan pita
suara diselaputi epitel berlapis mengelupas. Didaerah lain yaitu dasar
epiglotis, trakea dan bronkhus, epitel itu bersilia.
Pada tunica mucosa banyak sel goblet. Kelenjar lendir disini
tergolong jenis tubulo-acinus. Sedikit kuncup rasa terdapat tersebar
pada bagian bawah epiglotis.
Pita suara berisi ligamen tiro-aritenoid, yang mengandung serat
elastis dan dibagian sisisnya silengkapi serat otot lurik tiro-aritenoid.
Ditengah ditutup dengan tunica mucosa yang tipis dari epitel berlapis
mengelupas.
d. Tenggorok ( Trakhea )
Saluran nafas ini menghubungkan larynx dengan paru.
Histologi dinding tenggorok dapat dibedakan atas tiga lapis, yaitu
tunica mucosa, tunica muscularis, tunica adventitia.
Permukaan kelumen diselaputi tunica mucosa, dengan epitel
batang berlapis semu dan bersilia, menumpu pada lamina basalis
yang tebal. Pada selaput epitel banyak terdapat sel goblet. Lamina
LBM 1Page 10
propria berisi banyak serat elastis dan kelenjar lendir yang kecil-
kecil. Kelenjar terletak sebelah atas lapisan serat elastis. Dibagian
posterior tenggorok kelenjar itu menerobos masuk tunica muscularis.
Pada lamina propria terdapat pula pembuluh darah dan pembuluh
limfa. Tunica muscularis sendiri sangat tipis dan tidak terlihat
dengan jelas.
Tunica adventitia juga tidak terlihat secara jelas, dan
berintegrasi dengan jaringan penunjang yang terdiri dari tulang
rawan dibawahnya.
Tulang rawan di bawah tunica adventitia itu tersusun dalam
bentuk cincin-cincin hialin bentuk huruf C. Cincin inilah yang
menunjang tenggorok pada sebelah samping dan ventral. Sedangkan
dibagian dorsal tenggorok, ditempat itu adalh bagian terbuka cincin,
terdapat serat otot polos yang susunannnya melintang terhadap poros
tenggorok. Serat otot itu melekat kepada kedua ujung cincin, dan
berfungsi untuk mengecilkan diameter tenggorok. Jika otot kendur,
diameter tenggorok kembali sempurna.
Diantara cincin bersebelahan terdapat serat fibroelastis.
Dengan struktur cincin yang tak bulat penuh ini maka tenggorok
dapat meregang (membesar) untuk menyalurkan lebih banyak udara
ke dalam paru. Di sebelah luar cincin terdapat jaringan ikat yang
berisi banyak serat elastis dan retikulosa.
e. Cabang Tenggorok
Ini adalah percabangan tenggorok menuju paru kiri-kanan,
disebut bronkhus. Tiap bronkhus bercabang membentuk cabang
kecil, dan tiap cabang bronkhus ini membentuk banyak ranting.
Histologi dinding bronkhus sama dengan trachea, yaitu terdiri
dari : tunica mucosa, tunica muscularis, tunica adventitia. Cabang
yang sudah berada dalam jaringan paru histologi dindingnya banyak
berubah. Cincin tulang rawan hilang, digantikan oleh keping tulang
LBM 1Page 11
rawan, yang susunannya tidak teratur dan menunjang seluruh
keliling saluran.
Tunica mucosa pada cabang dan ranting bronkhis yang besar,
memiliki epitel bentuk batang bersilia, sedangkan pada ranting yang
kecil epitel berubah jadi kubus dan tak bersilia. Ada lamina basalis
tebal, membatasi jaringan epitel dari lamina propria terkandugng
banyak serat elastis, dan sedikit serat kolagen dan retikulosa. Di
bawah lamina propria erdapat tunica muscularis-mucosa. Kelenjar
lendir terkandung dalam tunica mucosa dan tunica submucosa.
Tunica adventitia mengandung serat jaringan ikat, sedikit
jaringan lemak, dan dibawahnya terdapat keping tulang rawan yang
susunannya tak teratur. Lapis terluar terdiri dari mesothelium,
sebagai penerusan selaput dalam pleura.
f. Paru
Cabang bronkhi masuk ke dalam paru (pulmo). Paru ada
sepasang kiri-kanan, terdiri dari lima lobi. Tiap lobus oleh septa
yang terdiri dari jaringan ikat terbagi-bagi atas banyak lobulli.
Masing-masing lobulus dimasuki oleh satu bronkhiolus. Di
dalamnya bronkhiolus bercabang-cabang kecil berbentuk
bronkhiolus ujung, dan berakhir pada bronkhiolus pernapasan.
Dalam lobulli terkandung pula pembuluh darah, pembuluh limfa,
urat saraf, dan jaringan ikat. Pada banyak tempat sepanjang cabang
dan ranting bronkhus terdapat nodus limfa menempel pada dinding.
Sebelah luar arah ke rongga pleura paru diselaputi oleh
penerusan selaput dalam pluera.
g. Bronkhiolus
Bronkhus bercabang berkali-kali sampai jadi ranting kecil.
Ranting bronkhus itu bercabang halus berbentuk bronkhiolus .
Bronkhiolus bercabang lagi membentuk ranting, disebut bronkhiolus
ujung. Bronkhiolus ujung ini berakhir pada bronkhiolus pernapasan.
LBM 1Page 12
Tunica mucosa pada bagian ini memiliki epitel kubus yang tak
bersilia.
Di bawah tunica adventitia tidak ada lagi keping tulang rawan.
Lapisan ini mengandung mesothelium sebagai penerusan selaput
dalam pleura.
Bronkhiolus Pernapasan
Ini adalah bagian ujung bronkhiolus, saluran pendek yang dilapisi
sel epitel bersilia. Sel itu di pangkal bentuk batang, makin ke ujung
makin rendah sehingga menjadi kubus dan siliapun hilang. Di bawah
lapisan epitel ada serat kolagen bercampur serat elastis dan otot polos. Di
sini tak ada lagi keping tulang rawan maupun kelenjar lendir. Lendir di
sini dihasilkan oleh sel goblet yang hanya terdapat dibagian pangkal
bronkhiolus. Sebagai gantinya ada sel Clara berbentuk benjolan yang
menonjol ke lumen. Sel ini menggetahkan surfaktan untuk melumasi
permukaan dalam saluran.
Bronkhiolus pernapasan bercabang-cabang secara radial
membentuk saluran alveoli.
Saluran alveoli
Ini adalah saluran yang tipis dan dindingnya terputus-putus.
Saluran ini bercabang-cabang, tiap cabang berujung pada kantung
alveoli. Dinding saluran alveoli pada mulutnya kekantung alveoli dibina
atas berkas serat elastis, kolagen dan otot polos.
Kantung alveoli dan alveolus
Kantung alveoli berpangkal pada saluran alveoli. Tiap kantung
memiliki dua atau lebih alveoli.
Alvelus adalah unit terkecil paru-paru, berupa gembungan bentuk
polihedral, terbuka pada satu sisi, yaitu muara ke kantung alveoli.
Dindingnya terdiri dari selapis sel epitel gepeng yang tipis sekali.
LBM 1Page 13
Dinding alveolus dililit pembuluh kapiler yang bercabang-cabang dan
yang beranastomosis. Di luar kapiler ada anyaman serat retikulosa dan
elastis.
Antara alveoli bersebelahan ada sekat. Sekat itu terdiri dari dua
lapis sel apitel dari kedua sel epitel terdapat serat elastis, kolagen,
kapiler, dan fibroblast.
Epitel alveolus dibatasi dari endotel kapiler oleh lamina basalis
yang tipis. Ada pula sel epitel yang berbentuk bundar atau kubus, berada
pada dinding alveolus, disebut sel sekat atau sel alveolus besar.
Diperkirakan sel ini mensekresikan lendir. Ia memiliki mikrovilli
dan mebentuk kompleks pertautan dengan sel epitel alveolus yang
gepeng dan yang lebih kecil. Sel alveolus gepeng itulah dengan endotel
kapiler yang melilitnya yang membina membaran pernapasan.
Membran pernapasan berarti disusun atas : membran sel epitel
alveolus, sitoplasma sel epitel elveolus, membran sel alveolus, lamina
basalis, membarab sel endotel kapiler, sitoplasma sel endotel kapiler,
membran sel endotel kapiler. Yang tujuh lapis ini sangat tipis. Karena itu
kaluar-masuk gas pernapasan antara lumen alveolus dan lumen kapiler
sangat mudah dan cepat.
Di dinding alveoli sering ditemukan fagosit atau makrofag. Karena
lazimnya sel ini berisi butiran maka disebut dengan sel debu. Sel ini
banyan di temukan pada perokok.
3. Interpretasi Skenario
a. Kenapa pasien diskenario mengeluhkan nyeri tengggorokan dan
nyeri saat menelan ?
Penyebab sakit tenggorokan susah menelan diakibatkan
karena bakteri streptokokus, yakni adalah penyebab dari terjadinya
sakit tenggorokan dan amandel. Dimana di dalam tenggorokan sudah
LBM 1Page 14
mengalami inflamasi yang disebabkan oleh bakteri, tanda-tanda
inflamasi sebagai berikut :
Nyeri (karena bahan kimia yang dilepaskan oleh sel-sel yang
rusak).
Bengkak atau Edema (karena masuknya cairan ke dalam wilayah
yang rusak).
Kemerahan (karena vasodilatasi-pelebaran pembuluh darah dan
perdarahan di sendi atau struktur).
Panas (karena peningkatan aliran darah ke daerah tersebut).
Hilangnya fungsi (karena pembengkakan meningkat dan nyeri).
b. Kenapa suhu pasien di scenario mengalami peningkatan ?
Karena demam yang berkaitan dengan bakteri coccus pada
kasus Diatas Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus yang mengatur
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas. Dalam
keadaan normal thermostat di hipotalamus selalu diatur pada set
point sekitar 370 C. Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh
dengan cara mengeluarkan panas melalui vasodilatasi kulit dan
menambah produksi keringat. Sedangkan hipotalamus posterior
bertugas mengurangi pengeluaran panas dengan vasokontriksi kulit
dan pengurangan produksi keringat sehingga suhu tubuh tetap
dipertahankan tetap. Setelah informasi tentang suhu diolah
dihipotalamus selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran
panas sesuai dengan perubahan set point. Umumnya peninggian suhu
tubuh terjadi akibat peningkatan set point. Infeksi bakteri
menimbulkan demam karena endotoksin bakteri merangsang sel
PMN untuk membuat pirogen endogen yaitu interleukin-1,
interleukin 6 atau tumor nekrosis faktor. Pirogen endogen bekerja di
hipotalamus dengan bantuan enzim siklooksigenase membentuk
protaglandin, selanjutnya prostaglandin meningkatkan set point
hipotalamus. Selain itu pelepasan pirogen endogen diikuti oleh
LBM 1Page 15
pelepasan pryogens (antipiretik endogen) yang ikut memodulasi
peningkatan suhu tubuh.
4. Diagnosis Banding
Abses Peritonsil
a. Definisi
Abses peritonsil (quinsy) adalah termasuk salah satu abses leher
dalam. Selain abses peritonsil termasuk juga abses parafaring, abses
retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses
submandibula. Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial
di antara fascia leher dalam sebagai akibat perjalaran infeksi dari
berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan
mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala
dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan
menunjukkan lokasi infeksi.
Nyeri tenggorokan dan demam yang disertai gangguan berupa
terbatasnya gerak mandibula dan leher kemungkinan disebabkan
oleh abses leher dalam. Abses peritonsil ialah abses diluar kapsul
atau selubung tonsil, antara kedua lapisan paltum molle. Penyakit ini
merupakan komplikasi dari tonsilofaringitis akut yang membentuk
abses pada jaringan longgar sekitar tonsil.
b. Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut
atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas
tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab
tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang
lebih tua dan dewasa muda.
LBM 1Page 16
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat
aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling
sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob
yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan
abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara
organisme aerobik dan anaerobik.
c. Epidemiologi
Angka kejadian padapenyakit abses peritonsilberdasarkan usia
banyakmenyerang pada usia 15 tahunsampai dengan 35
tahun,berdasarkan jenis kelamin belumada literatur
yangmenggambarkan adanyaperbedaan jumlah kejadian
absesperitonsil pada laki-laki dan perempuan. Di Amerika
Serikatditemukan 30 kasus absesperitonsil dari 100.000 penduduk
pertahun mewakili sekitar 45.000kasus baru tiap tahunnya.
DiIndonesia belum ada data tentangjumlah abses peritonsil
secarapasti.
d. Patofisiologi
Abses peritonsil adalah infeksi yang biasanya didahului oleh
terjadinya tonsilitis. Infeksi di daerah sekitar tonsil terdapat ruang
potensial peritonsil yang diisi oleh jaringan ikat longgar. Daerah
yang tersering menjadi abses peritonsil adalah daerah superior dan
lateral fossa tonsil sehingga saat terjadi infeksi pada daerah tersebut
palatum molle tampak membengkak. Walaupun sangat jarang, abses
peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.
Pada stadium permulaan yang terjadi adalah selulitis peritonsil
(stadium infiltrasi) dan belum terbentuk pus. Selulitis ini terjadi dari
berkembangnya infeksi yang terjadi pada tonsil atau faring. Setelah
LBM 1Page 17
proses berlanjut maka terjadi supurasi sehingga daerah tersebut
menjadi lunak. Pembengkakan akan mendorong uvula ke arah
kontralateral. Bila proses berlangsung terus peradangan jaringan
akan menyebabkan iritasi m.pterigoid interna sehingga menimbulkan
trismus.
e. Gejala Klinis
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yangterus menerus
hingga keadaan yang memburuk secaraprogresif walaupun telah
diobati. Rasa nyeri terlokalisir,demam lemah dan mual.
Odinofagidapat merupakan gejala menonjol dan pasien
mungkinmendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelanludah.
Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah seringkalimenetes keluar . Keluhan lainnya
berupa mulut berbau(foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai
nyeri alih ketelinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi
meluasmengenai otot-otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan
berbicara, suaramenjadi seperti suara hidung, membesar
sepertimengulum kentang panas (hot potato’s voice) karenapenderita
berusaha mengurangi rasa nyeri saat membukamulut.
f. Diagnosis Kerja
Abses peritonsil (quinsy) adalah termasuk salah satu abses leher
dalam. Selain abses peritonsil termasuk juga abses parafaring, abses
retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses
submandibula. Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatuinfeksi
akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus padajaringan ikat
longgar antara m.konstriktor faring dengantonsil pada fosa tonsil.
Infeksi ini menembus kapsultonsil (biasanya pada kutub atas). Abses
peritonsilmerupakan infeksi pada tenggorok yang
seringkalimerupakan komplikasi dari tonsilitis akut.Abses per itonsil
merupakan infeksi pada kasuskepala leher yang sering ter jadi pada
orang dewasa.Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksisuper
LBM 1Page 18
fisial dan berkembang secara progresif menjadi peritonsilar selulitis
lalu menjadi abses peritonsil.
g. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tentunya dimulai dari inspeksi pasien secara
umum, lalu melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital untuk menilai
suhu, nadi, tekanan darah, dan pernafasan pasien. Pada pasien abses
peritonsil biasanya ditemukan adanya peningkatan suhu. Selanjutnya
yang paling penting adalah melakukan pemeriksaan pada orofaring.
Perlu diperhatikan karena sering terdapat trismus maka terkadang
agak sulit untuk melihat jelas orofaring. Pada inspeksi tampak
palatum mole membengkak pasa satu sisi umumnya dan menonjol ke
depan. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan, dan bawah. Jika dilakukan palpasi pada palatum
molle maka dapat teraba fluktuasi. Pada perabaan KGB
submandibula dapat ditemukan pembesaran.
h. Pemeriksaan Penunjang
Hitung darah lengkap (complete blood count) ditumukan
leukositosis sebagai tanda terjadinya infeksi.
Pemeriksaan radiologi berupa fotorontgen polos, ultrasonografi
dan tomografi komputer.Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat
mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik danmungkin dapat
digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang
diperiksamenampakkan gambaran cincin isoechoic dengangambaran
sentral hypoechoic.
Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bilavolume relatif
pus dalam seluruh abses adalah kurangdari 10% pada penampakan
tomografi komputer .Penentuan lokasi abses yang akurat,
membedakan antaraselulitis dan abses peritonsil ser ta
menunjukkangambaran penyebaran sekunder dari infeksi
inimerupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer.Khusus
LBM 1Page 19
untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutubbawah tonsil akan
sangat terbantu dengan tomografikomputer.Ultrasonografi juga dapat
digunakan di ruangpemer iksaan gawat darurat untuk
membantumengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasi
dengan jarum.
Gambar 1. USG intraoral.
i. Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan anibiotika dosis tinggi,
penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x
250-500 mg atau sefalosforin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x
250-500 mg. Juga obat simtomatik berupa analgesik antipiretik
paracetamol 3 x 500 mg, anjuran berkumur dengan antiseptik/air
hangat, dan kompres dengan air dingin.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di
daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir
pada sisi yang sakit. Setelah selesai pasien diminta berkumur dengan
antiseptik. Bila terdapat trismus, diberikan analgetik lokal untuk
nyeri dengan menyuntikkan silokain atau novokain 1% di ganglion
sfenopalatinum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi
LBM 1Page 20
tonsilektomi. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
j. Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupadehidrasi karena
masukan makanan yang kurang.Pecahnya abses secara spontan
dengan aspirasi darahatau pus dapat menyebabkan pneumonitis atau
absesparu. Pecahnya abses juga dapat menyebabkanpenyebaran
infeksi ke ruang leher dalam, dengankemungkinan sampai ke
mediastinum dan dasartengkorak.
Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapatmenyebabkan ter
jadinya abses parafaring, penjalaranselanjutnya dapat masuk ke
mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis.
Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yangmemerlukan tindakan
trakeostomi. Keterlibatan ruangruangfaringomaksilar is dalam
komplikasi absesperitonsil mungkin memer lukan drainase dari
luarmelalui segitiga submandibular .
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranialdapat
mengakibatkan thrombus sinus kavernosus,meningitis dan abses
otak. Pada keadaan ini, bila tidakditangani dengan baik akan
menghasilkan gejala sisaneurologis yang fatal.
k. Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi
risiko terbentuknya abses peritonsil, antara lain dengan cara menjaga
kebersihan gigi dan mulut, serta tidak merokok.Jika terjadi tonsilitis,
terutama tonsilitis bakteri, maka infeksi perlu segera diobati sampai
tuntas untuk mencegah terjadinya abses.
l. Prognosis
Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti
dengan tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya.
LBM 1Page 21
Pada saat peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan
fibrosa dan granulasi pada saat operasi.
Angina Ludwig
a. Definisi
Angina Ludwig atau ludovici didefinisikan sebagai selulitis
yang menyebar dengan cepat, potensial menyebabkan kematian,
yang mengenai ruang sublingual dan submandibular. Umumnya,
infeksi dimulai dengan selulitis, kemudian berkembang menjadi
fasciitis, dan akhirnya berkembang menjadi abses yang
menyebabkan indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut,
dan elevasi serta perubahan letak lidah ke posterior.
Wilhelm Fredrick von Ludwig pertama kali mendeskripsikan
angina Ludwig ini pada tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis
yang progresif yang berasal dari region kelenjar submandibula.
b. Epidemiologi
Kebanyakan kasus Angina Ludwig terjadi pada individu yang
sehat. Kondisi yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes mellitus,
neutropenia, alkoholisme, anemia aplastik, glomerulonefritis,
dermatomiositis, dan lupus eritematosus sistemik. Umunya, pasien
berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada yang melaporkan kasus ini
terjadi pada rentang usia 12 hari sampai 84 tahun. Laki-laki lebih
sering terkena dibandingkan dengan perempuan dengan
perbandingan 3:1 atau 4:1.
c. Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi
yang berasal dari gigi geligi, tetapi dapat juga terjadi sebagai akibat
proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada ruang submaksilaris.
Angina Ludwig yang disebabkan oleh infeksi odontogenik,
berasal dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai
akar yang berada di atas otot milohioid, dan abses di lokasi ini dapat
LBM 1Page 22
menyebar ke ruang submandibular. Infeksi yang menyebar diluar
akar gigi yang berasal dari gigi premolar pada umumnya terletak
dalam sublingual pertama, sedangkan infeksi diluar akar gigi yang
berasal dari gigi molar umunya berada dalam ruang submandibular.
Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus,
stafilokokus, atau bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan
disebabkan oleh polimikroba, baik oleh gram positif ataupun gram
negatif, aerob ataupun anaerob.
Penyebab lain dari angina Ludwig yaitu sialadenitis, abses
peritonsil, fraktur mandibula terbuka, kista duktus tiroglossal yang
terinfeksi, epiglotitis, injeksi intravena obat ke leher, bronkoskopi
yang menyebabkan trauma, intubasi endotrakea, laserasi oral, tindik
lidah, infeksi saluran nafas bagian atas, dan trauma pada dasar mulut.
d. Patofisiologi
Angina Ludwig merupakan suatu selulitis dari ruang
sublingual dan submandibular akibat infeksi dari polimikroba yang
berkembang dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian akibat
dari gangguan jalan nafas. Pada pemeriksaan bakteriologi ditemukan
polimikroba dan kebanyakan merupakan flora normal pada mulut.
Organism yang sering diisolasi pada pasien angina Ludwig
yaitu Streptokokus viridians dan Stafilokokus aureus. Bakteri
anaerob juga sering terlibat, termasuk bakteroides,
peptostreptokokus, dan peptokokus. Bakteri gram positif lainnya
yang berhasil diisolasi yaitu Fusobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa,spirochetes, and Veillonella, Candida, Eubacteria, dan
Clostridium species. Bakteri gram negative yang berhasil diisolasi
termasuk Neisseria species, Escherichia coli,Pseudomonas species,
Haemophilus influenzae, dan Klebsiella sp.
Angina Ludwig yang disebabkan oleh infeksi odontogenik,
berasal dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai
akar yang berada di atas otot milohioid, dan abses di lokasi ini dapat
LBM 1Page 23
menyebar ke ruang submandibular1.Infeksi yang menyebar diluar
akar gigi yang berasal dari gigi premolar pada umumnya terletak
dalam sublingual pertama, sedangkan infeksi diluar akar gigi yang
berasal dari gigi molar umunya berada dalam ruang submandibular.
Sebuah infeksi dengan cepat menyebar dari ruang
submandibula,sublingual dan submental dan menyebabkan
pembengkakan dan elevasi lidah dan indurasi berotot dari dasar
mulut.Ruang potensial terjadinya peradangan selulitis atau Angina
Ludwig adalah Ruang suprahiod yang berada antara otot-otot yang
melekatkan lidah pada tulang hiod dan otot milohiodeus, peradangan
pada ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada
jaringan dasar mulut dan mendorong lidah keatas dan belakang dan
dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara
potensial.
e. Manifestasi Klinis
Pasien dengan angina Ludwig biasanya memiliki riwayat
ekstraksi gigi sebelumnya atau hygiene oral yang buruk dan nyeri
pada gigi. Gejala klinis yang ditemukan konsisten dengan sepsis
yaitu demam, takipnea, dan takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi,
dan konfusi. Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri
pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, disfagia,
odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath.
Suara serak, stridor, distress pernafasan, penurunan air movement,
sianosis, dan “sniffing” position.
Pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh
edema pada struktur vokalis.bau mulut, air liur berlebihan,disfagia,
odynophagia dan susah bernapasGejala klinis ini harus diwaspadai
oleh klinisi akan adanya gangguan berat pada jalan nafas.
Stridor, kesulitan mengeluarkan secret,kecemasan, sianosis,
dan posisi duduk merupakan tanda akhir dari adanya obstruksi jalan
LBM 1Page 24
nafas yang lama dan merupakan indikasi untuk dipasang alat bantu
pernafasan.
f. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan oral, elevasi dari lidah, terdapat indurasi
besar di dasar mulut dan di anterior lidah, dan pembengkakan
suprahioid. Biasanya terdapat edema submandibular bilateral.
Pembengkakan pada jaringan anterior leher diatas tulang hyoid
sering disebut dengan bull’s neck appearance.
Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig
penting sangat penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang
serius ini. Terdapat 4 tanda cardinal dari angina Ludwig, yaitu:
Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam
Gangrene yang disertai dengan pus serosanguinous, putrid
infiltration tetapi sedikit atau tidak ada pus
Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai
struktur kelenjar
Penyebaran melalui ruang fasial lebih jarang daripada melalui
sistem limfatik
Adanya brawny induration di dasar mulut merupakan gejala
klinis sugestif bagi klinisi untuk melakukan tindakan stabilisasi jalan
nafas dengan secepatnya diikuti dengan konfirmasi diagnostik
selanjutnya.
Foto polos leher dan dada sering menunjukkan
pembengkakan soft-tissue, adanya udara, dan adanya penyempitan
saluran nafas. Sonografi telah digunakan untuk mengidentifikasi
penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto panorama dari rahang
menunjukkan focus infeksi pada gigi.
Foto polos leher dan dada sering menunjukkan
pembengkakan soft-tissue, adanya udara, dan adanya penyempitan
saluran nafas. Sonografi telah digunakan untuk mengidentifikasi
LBM 1Page 25
penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto panorama dari rahang
menunjukkan focus infeksi pada gigi.
Gambar 3. Foto Polos menunjukkan adanya pembengkakan
supraglotik (tanda panah)
Setelah patensi jalan nafas diamankan, CT scan dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya pembengkakan soft-
tissue, penumpukan cairan, dan gangguan jalan nafas. CT scan juga
dapat menentukan luas abses retrofaringeal dan dapat menolong
untuk menentukan kapan alat bantu pernafasan diperlukan. MRI
merupakan pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan pada
beberapa pasien.
LBM 1Page 26
Gambar 4. CT scan menunjukkan adanya pembengkakan
supraglotik dan adanya udara dalam soft-tissue
Tumor Nasofaring
a. Definisi
Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predili difosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Tumor ini
tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga
mulut. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma
nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien karsinoma
nasofaring didapatkan titer anti virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih
tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya,
tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain
sekalipun.
LBM 1Page 27
b. Etiologi
Terbagi menjadi beberapa macam :
1. Sering mengonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet,
termasuk makanan yang diawetkan dengan cara diasinkan atau
diasap.
2. Sering mengonsumsi makanan dan minuman yang panas atau
bersifat panas dan merangsang selaput lendir, seperti yang
mengandung alkohol. Selain itu, sering mengisap asap rokok, asap
minyak tanah, asap kayu bakar, asap obat nyamuk, atau asap candu.
3. Sering mengisap udara yang penuh asap atau rumah yang
pergantian udaranya kurang baik.
4. Faktor genetik, yakni yang mempunyai garis keturunan penderta
kanker nasofaring.pernafasan.
c. Gejala Tumor Nasofaring 1. Pendarahan hidung (mimisan) atau gangguan saluran pernafasan
2. Dahak/Lendir yang bercampur darah
3. Gejala pada telinga, termasuk tersumbatnya telinga, suara berdengung,
berkurangnya pendengaran
4. Sakit kepala
5. Leher membengkak akibat pembesaran kelenjar getah bening
6. Kelopak mata menurun, penglihatan ganda, wajah kebas akibat
dari terjangkitnya saraf kranial
7. Gejala dari kanker stadium lanjut seperti kehilangan berat badan, cepat
letih, nyeri pada tulang
d. Pemeriksaan Penunjang - Laboratorium
- Foto thorax
- Bone survey
- CT scan
- Bone scanning
- USG
LBM 1Page 28
e. Terapi Sejauh ini, terapi radiasi masih merupakan pilihan pengobatan untuk
kanker nasofaring, disertai kemoterapi, baik secara terpisah ataupun
kombinasi. Yang perlu diperhatikan, terapi ini bisa menimbulkan efek
samping diantaranya mulut terasa kering, mual, demam, infeksi, jamuran
pada mulut, dan sariawan.
5. Diagnosa Penyakit Pada Skenario
Tonsilofaringitis
a. Definisi
Tonsilofaringitis atau radang tenggorokan adalah radang pada
tenggorokan yang terletak di bagian faring dan tonsil.
Tonsilofaringitis akut merupakan faringitis akut dan tonsillitis
akut yang ditemukan secara bersamaan. (Efiaty,2002).
Tonsilofaringits adalah infeksi (virus atau bakteri) dan inflamasi pada
tonsil dan faring (Muscari, 2005). Dari beberapa pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa tonsilofaringitis merupakan peradangan
pada faring atau tonsil ataupun keduanya yang disebabkan oleh
bakteri dan juga oleh virus.
b. Etiologi
Penyebab utama pada faringitis adalah bakteri dan virus, baik
faringitis sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari
penyakit lain. Virus merupakan terbanyak terjadinya faringitis akut,
terutama pada anak berusia kurang lebih tiga tahun (prasekolah).
Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab
terbanyak faringitis / tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup
15 – 30% dari penyebab faringitis akut pada anak.
Mikroorganisme penyebab tonsilofaringitis adalah:
LBM 1Page 29
1. Bakteri
Streptococcus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus
lainnya. Seperti mobile dan varisella atau komplikasi penyakit
kuman lain seperti pertusis atau pneumonia dan pneumococcus.
Streptococcus lebih banyak pada anak-anak dan bersifat progresif
resistensi terhadap pengobatan dan sering menimbulkan
komplikasi seperti abses paru, empiema, tension pneumotoraks.
2. Virus
Lebih dari 200 virus dapat menyebabkan infeksi pada saluran
pernapasan bagian atas, diantaranya adalah :
Rhinovirus
Adalah salah satu jenis virus yang paling sering menjadi
penyebab infeksi pada saluran pernapasan bagian atas.
Meskipun pasien mendapat imunitas terhadap serotype virus
akan tetapi lebih dari 100 serotype virus telah dikenali.
Meningkatkan imunitas terhadap semua rhinovirus
membutuhkan waktu yang lama.
Syncytial
Sering dimulai pada bayi menyerang system pernapasan
bagian atas kemudian menginvasi saluran pernapasan bagian
bawah. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa secara
alami yang terinfeksi virus syncitial biasanya mempunyai
gejala pernapasan yang khas yang mungkin berakhir 2 minggu.
Masa inkubasi virus 2 – 7 hari setelah pajanan dan berlanjut
hingga 2 minggu.
c. Manifestasi klinis Tonsilofaringitis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptococcus berupa
nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam.
Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia 2 tahun
LBM 1Page 30
adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga
didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 40˚C, beberapa jam
terdapat nyeri tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus (Suardi,
2010).
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua penderita tonsilofaringitis
akut Streptococcus menunjukkan tanda infeksi Streptococcus, yaitu
eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.
Tonsilofaringitis akut Streptococcus sangat mungkin jika
dijumpai tanda dan gejala sebagai berikut:
1. Awitan akut, disertai mual dan muntah.
2. Terdapat nyeri pada tenggorokan
3. Nyeri ketika menelan
4. Kadang disertai otalgia (sakit telinga)
5. Demam tinggi
6. Anoreksia
7. Malaise
8. Kelenjar limfe leher membengkak
9. Pada pemeriksaan tenggorokan ditemukan faring yang hiperemi,
pembesaran tonsil disertai hyperemia, kadang didapatkan bercak
kuning keabu-abuan yang dapat meluas membentuk seperti
membrane. Bercak menutupi kripta dan terdiri dari leukosit, sel
epitel yang sudah mati dan kuman pathogen (Ngastiyah, 2005).
Pada tonsilofaringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus
di palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan
tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada tonsilofaringitis
akibat Streptococcus. Gejala yang timbul dapat menghilang selama 24
jam, berlangsung 4-10 hari (Suardi, 2010).
d. Patofisiologi Tonsilofaringitis
Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas
bagian atas kanan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring
LBM 1Page 31
kemudian menyebar melalui system limfa ke tonsil. Adanya bakteri
dan virus pathogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses
inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat
menghambat keluar masuknya udara. Infeksi juga dapat
mengakibakan kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya
eksudat berwarna putih aeabuan pada tonsil sehingga menyebabkan
timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi dan bau mlut
serta otalgia.
Faringitis Streptococcus beta hemolitikus grup A (SBHGA)
adalah infeksi akut orofaring dan atau nasofaring oleh SBHG. Infeksi
jarang terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, karena kurang
kuatnya SBGHA melekat pada sel-sel epitel. Infeksi pada toddlers
paling sering melibatkan nasofaring. Remaja biasanya telah
mengalami kontak dengan organisme beberapa klai sehingga
terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarang pada
kelompok ini.
Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, diantara
penyebab bakteri tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyak.
Streptococcus grup C dan D telah terbukti dapat menyebabkan
epidemic faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan dan air
yang terkontaminasi. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan
glomerulonefritis akut (GNA). Organism ini lebih sering terjadi pada
usia dewasa.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan local.
Rhinovirus menyebabkan respon peradangan local. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal.
Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula dan palatum
mole. Perjalanan penyakitnya adalah terjadi inokulasi dari agen
infeksius di faring yang menyebabkan peradangan local, sehingga
menyebabkan eritema faring, tonsil, dan keduanya. Infeksi
LBM 1Page 32
Streptococcus ditandai dengan invasi local serta pelepasan toksin
ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan
SBGHA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan secret hidung
dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa
inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam (Suardi, 2010).
e. Komplikasi Tonsilofaringitis
Komplikasi yang bisa timbul akibat penyakit tonsilofaringitis
yang tidak tertangani dengan baik adalah :
1. Otitits media akut
2. Abses peritonsil
3. Toksemia
4. Bronchitis
5. Miocarditis
6. Arthritis
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Leukosit : terjadi peningkatan
2. Hemoglobin : terjadi penurunan
3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas
obat
g. Penatalaksanaan
Kompres dengan air hangat
Istirahat yang cukup
Pemberian cairan adekuat, perbanyak minum air hangat
Kumur denga air hangat
Medikamentosa :
Antibiotic baik injeksi maupun oral.
Cefotaxim, penisilin, amoksisilin, eritromisin.
Antipiretik untuk menurunkan demam.
Parasetamol, ibu profen.
LBM 1Page 33
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
LBM 1Page 34
DAFTAR PUSTAKA
1. Price,Syilvia A &,Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiologi : konsep
klinis proses-proses penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC. (HLM: 299).
2. Higler Boies adams. Boies buku ajar penyakit THT.Rongga mulut dan
faring.P 345-346.Penerbit buku kedokteran EGC 1997.jakarta.
3. Burton martin.Neck swelling.Hall and colman’s Disease of the
Ear,Nose, and throat..P 140.Churchill livingstone.Edinburgh.2000
4. Utama Hendra.2007.Buku ajaran ilmu keehataan THT.Penerbit Buku
Kedokteran.Jakarta
5. K. Lalwani.Anil. Antibacterial agent in Current Diagnosis &
Treatment in Otolaryngology—Head & Neck Surgery, 2nd
Edition.MC graw Hill Lange.New York.2007.
LBM 1Page 35