laringitis baru

download laringitis baru

of 49

Transcript of laringitis baru

http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/laryngitis-akut.html

Laryngitis Akut

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005

BAB I Pendahuluan Laringitis akut merupakan penyakit yang umum pada anak-anak, mempunyai onset yang cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut laringitis kronik. Laringitis didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan dapat disebabkan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi. Laringitis sering juga disebut juga dengan croup. Dalam proses peradangannya laringitis sering melibatkan saluran pernafasan dibawahnya yaitu trakea dan bronkus. Bila peradangan melibatkan laring dan trakea maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeitis, dan bila peradangan sampai ke bronkus maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeobronkitis.1,2,3,4

BAB II Epidemiologi Dari penelitian di Seattle Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan didapatkan 11 dari

1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Dari penelitian di Chapel Hill NC (Danny dkk, 1983) didapatkan data-data perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47, 31.2, dan 14.5, dan dari data-data tersebut didapatkan 1.26% membutuhkan perawatan di rumahsakit. Di Tuscon AZ didapatkan angka serangan croup selama tahun pertama kehidupan 107 kasus dari 961 anak. Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan laki-laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada keluarganya.2,5,6 Anatomi Laring Untuk mengerti patogenesis penyakit laringitis maka kita sebelumnya harus mengetahui anatomi dari laring. Laring terdiri dari 4 kartilago besar yaitu thyroid, krikoid, arytenoid, dan epiglotis, dihubungkan dengan otot, ligamen, dan membran fibroelastis dan membran mukus. Anatomi dari laring pada bayi berbeda dari orang dewasa, dan perbedaan tersebut membuat bayi lebih rentan pada infeksi saluran nafas atas. Laring pada neonatus terletak tinggi pada leher. Epiglotisnya lebih sempit, berbentuk omega, dan posisinya vertikal. Submukosa dari area subglotis merupakan daerah tersempit dari laring, tidak berserabut, menyebabkan ikatan yang lebih longgar dari membran mukus dibanding orang dewasa, memudahkan terjadinya akumulasi dari edema. Sebagai tambahan, kartilago yang menyokong saluran udara dari bayi bersifat lunak, sehingga dapat menyebabkan saluran nafas collapse selama inspirasi. Saluran nafas dari neonatus berukuran 5-6 mm di diameter pada titik tersempitnya, yaitu cincin krikoid, sehingga bayi berada pada resiko tinggi terhadap gagal nafas.5

Gambar 2.1. anatomi saluran nafas.5 Etiologi Etiologi dari laringitis akut yaitu penggunaan suara berlebihan, gastro esophago reflux disease (GERD), polusi lingkungan, terpapar dengan bahan berbahaya, atau bahan infeksius yang membawa kepada infeksi saluran nafas atas. Bahan infeksius tersebut lebih sering virus tetapi dapat juga bakterial. Jarang ditemukan radang dari laring disebabkan oleh kondisi autoimun seperti rematoid artritis, polikondritis berulang, granulomatosis Wagener, atau sarkoidosis. Virus yang sering menyebabkan laringitis akut antara lain virus parainfluenza tipe 1 sampai 3 (75% dari kasus), virus influenza tipe A dan B, respiratory syncytial virus (RSV). Virus yang jarang menyebabkan laringitis akut antara lain adenovirus, rhinovirus, coxsackievirus, coronavirus, enterovirus, virus herpes simplex, reovirus, virus morbili (measles), virus mumps.1,2,3,4,5,6

gambar 2.2. Virus Parainfluenza.7

gambar 2.3. Virus Influenza.7

gambar 2.4. Adenovirus.7

gambar 2.5. Measles Virus atau Paramyxovirus.7 Bakteri walaupun jarang tetapi dapat juga menyebabkan laringitis akut, antara lain Haemophilus influenzae type B, Staphylococcus aureus, Corynebacterium diphtheriae, Streptococcus group A, Moraxella chatarralis, Escherichia coli, Klebsiella sp., Pseudomonas sp., Chlamydia trachomatis, Mycoplasma pneumoniae, Bordatella pertussis, dan sangat jarang Coccidioides dan Cryptococcus. C. diphtheriae harus dicurigai sebagai kuman penyebab terutama bila anak belum diimmunisasi, karena C. diphtheriae dapat meyebabkan membranous obstructive laryngitis.1,2,3,4,5,6

gambar 2.6. Haemophilus influenza.7

gambar 2.7. Staphylococcus aureus.7

gambar 2.8. Streptococcus pneumoniae.7

gambar 2.9. Corynebacterium diphtheriae.7 Selain virus dan bakteri laringitis juga dapat disebabkan juga oleh jamur, antara lain Candida albicans, Aspergilus sp., Histoplasmosis dan Blastomyces. Histoplasma dan Blastomyces dapat menyebabkan laringitis sebagai komplikasi dari infeksi sistemik.3,5

gambar 2.10. Candida albicans.7 Patofisiologi Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas

yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah. Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan pengecilan sedikit saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas yang besar dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas sesuai dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas akan berkurang. Sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan bernafas yang akan menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat. Hipoksia dengan sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau bahkan adanya cairan.1,4,5 Gejala Klinis dan Diagnosis Laringitis ditandai dengan suara yang serak, yang disertai dengan puncak suara (vocal pitch) yang berkurang atau tidak ada suara (aphonia), batuk menggonggong, dan stridor inspirasi. Dapat terjadi juga demam sampai 39-40, walaupun pada beberapa anak dapat tidak terjadi. Gejala tersebut ditandai khas dengan perburukan pada malam hari, dan sering berulang dengan intensitas yang menurun untuk beberapa hari dan sembuh sepenuhnya dalam seminggu. Gelisah dan menangis sangat memperburuk gejala-gejalanya. Anak mungkin memilih untuk duduk atau dipegangi tegak. Pada anak yang lebih dewasa penyakitnya tidak begitu parah. Pada anggota keluarga lainnya mungkin didapatkan penyakit saluran pernafasan yang ringan. Kebanyakan pasien hanya bergejala stridor dan sesak nafas ringan sebelum mulai sembuh. Gejala tersebut sering disertai dengan gejala-gejala seperti pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada kebanyakan pasien gejala tersebut timbul 1 sampai 3 hari sebelum gejala sumbatan jalan nafas terjadi.3,4,5,6

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa sampai megapmegap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang sudah ada sebelumnya.2,4,6 Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.1,2,3,4,5,6

gambar 2.11. gambaran laringoskopi dari laringitis akut.1,8,9

gambar 2.12. gambaran rontagen laringitis akut, gambaran steeple sign, dibandingkan dengan gambaran rontagen normal.5 Terapi pasien dengan laringitis harus ditangani dengan tenang dan dengan sikap yang menentramkan hati, karena emosi atau marah akan memperburuk keadaan distress pernafasan anak. Kebanyakan pasien mengalami hipoksemia, sehingga oksigenisasi harus dilakukan dan diberikan oksigen yang dilembabkan. Oksigenisasi dapat dinilai pertama-tama dengan cara oximetry pulse noninvasif untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan memaksimalkan ketenangan pasien. Bila distres pernafasan parah dan tidak responsif terhadap perawatan pertama makan harus diukur tekanan gas darah arteri untuk menilai hiperkapnia dan asidosis respiratori. Tetapi harus diingat bahwa PaCO2 normal dapat tidak menggambarkan keparahan penyakit karena sumbatan dapat terjadi tiba-tiba. Bila terjadi hiperkapnea maka kebanyakan pasien membutuhkan jalan nafas buatan.5 Pemberian makan pada pasien harus mempertimbangkan keparahan pernyakitnya. Pada pasien yang keadaannya gawat maka tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi.5 Nebulisasi epinefrin rasemic sementara dapat memperbaiki distres pernafasan, dengan efek dalam jam dari pemberian aerosol dan hilang efeknya setelah 2 jam. Namun tidak ada bukti bahwa penggunaan epinefrin rasemic merubah dasar penyakit dari laringiti, tetapi penggunaannya telah memperkecil perlunya saluran nafas buatan. Epinefrin rasemic dapat diberikan sering, sampai setiap setengah jam bila diperlukan untuk melegakan distres pernafasan. Epinefrin resemic diberikan dalam dosis 0.25 ml dari larutan 2.25% untuk setiap 5 kg Berat badan, sampai dosis maksimum 1.5 ml. Epinefrin rasemic ini harus diberikan dengan nebulisasi dalam oksigen, karena dapat menyebabkan perburukan sementara dari ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi dalam paru-paru. Irama jantung dan

nadi harus dimobitor dan obat harus dihentikan bila terjadi aritmia. Bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja dengan dosis 5 ml larutan 1:1000 ternyata manjur setara 0,5 efinefrin rasemic 2.25% yang dilarutkan dengan 4.5 ml normal saline dalam memperbaiki distres pernafasan pada laringitis. Efeknya juga hilang dalam 2 jam seperti resemic epinefrin.4,5,6 Pengguanaan kortikosteroid dalam terapi laringitis menimbulkan kontroversi. Pada awalnya penelitian yang menilai kemanjuran steroid menggunakan metodologi yang salah dan menggunakan dosis yang kecil. Lalu bukti-bukti mucul bahwa dosis steroid setara dengan 100 mg kortisol atau 0,3 mg/kg dexametason dapat jadi efektif mengurangi keparahan laringitis dalam 12 dan 24 jam. Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa kemanjuran dari penggunaan dosis tunggal parenteral 0.6 mg/kg deksametason dalam mengurangi gejala dan mempercepat kesembuhan, juga mengurangi kebutuhan perawatan intensif dan intubasi endotrakeal. Pada pasien yang memerlukan intubasi, penggunaan prednisolon 2 mg/kg.hari telah menunjukan mempercepat extubasi. Dalam sebuah penelitian pada 120 pasien dengan laringitis yang sedang, penggunaan dexamethasone secara oral dengan dosis 0.15, 0.3 dan 0.6 mg/kg sama efektifnya untuk menghilangkan gejala dan kebutuhan nebulisasi epinefrin. Malah, pertimbangan untuk menggunakan dexamethasone pada pasien dengan laringitis yang parah sekarang direkomendasikan oleh Committee of Infectious Disease of the American Academy of Paediatrics, The Infectious Diseases and Immunization Comittee of the Canadian Paediatric Society, dan the Respiratory Committee of the Paediatric Societ of New Zealand. Penelitian terakhir lebih difokuskan kepada pengguanaan steroid nebulisasi. Budesonide nebulisasi dengan dosis 2 mg telah menunjukkan kemanjuran dalam memperbaiki stridor, batuk, dan berbagai kegawatan 2 jam setelah pengobatan. Onset yang cepat ini menunjukkan efek steroid pada permeabilitas vaskular dibandingkan dengan efek anti inflamasi saja. Konsep ini didukung oleh penelitian lebih baru yang menunjukkan nebulisasi 2 mg budesonide sama efektifnya dengan nebulisasi 4 mg epinefrin dalam melegakan gejala. Lebih lanjut, nebulisasi 2 mg bunesonide secara statistik sama manjurnya dengan 0.6 mg/kg dexamethasone per oral

dalam mengurangi gejala, mengurangi kebutuhan nebulisasi epinefrin dan mengurangi lama perawatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada anak yang laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat. Masih tidak diketahui apakah pemberian kortikosteroid berulang aman dan menguntungkan. Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid jangka lama antara lain candidiasis.4,5,6 Penggunaan helium-oksigen telah berhasil meningkatkan aliran udara pada pasien dengan obstruksi saluran nafas atas. Kepadatan helium yang rendah mengurangi hambatan aliran udara yang turbulen.5,6 Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Intubasi harus dilakukan dengan perhatian penuh, sehingga meminimalkan cedera dan inflamasi saluran nafas. Tube endotrkea harus sampai 1 ukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya berdasarkan usia pasien (atau seukuran dengan jari kelingking pasien) dan tube dipotong untuk memperpendek panjangnya dan mengurangi resistensi aliran udara. Setelah diintubasi pasien jarang memerlukan bantuan ventilator mekanik. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Penghisapan harus diminimalkan untuk mengurangi cedera saluran nafas. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit untuk 24 jam sampai seminggu atau lebih, dan kriteria pemulangan pasien harus terjadi perbaikan distres pernafasan dan tidak diperlukan terapi spesifik dalam 24 jam.5 Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus, dimana penicillin adalah obat pilihannya.3

BAB III

Kesimpulan Laringitis akut merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada laring dan dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Penyebab tersering dari laringitis akut ini adalah virus parainfluenza. Gejala yang terjadi pada laringitis akut ini adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Gejala biasanya lebih berat pada malam hari. Bisa didahului oleh pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor terus menerus, megap-megap (air hunger), hipoksia, saturarsi oksigen yang rendah, dan sianosis. Dari pemeriksaan penunjang bisa didapatkan pada laringoskopi ditemukan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara, kadang bercak-bercak dari sekresi, pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Dari pemeriksaan rontagen leher dapat ditemukan gambaran staplle sign pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral. Dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis. Pada pasien dengan keadaan gawat tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi. Nebulisasi epinefrin rasemic dapat memperbaiki distres pernafasan, tetapi bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja. Anak yang menderita laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat. Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Anak

dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit. Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus.

DAFTAR PUSTAKA http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. h 388-392. Kasper, Dennis L. Harrisons Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw Hill. 2005. h 192. Landau, Louis I. Pediatric Respiratory Diseases. USA: Mosby. 1999. h 539-541. Grad, Roni. Acute infections producing upper airway obstruction. Dalam: Kendigs disorder of the respiratory tract in children. Edisi 6. USA: W.B. Saunders. 1998. h 447-460 Rosevelt, Genie E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408. http://www.visualsunlimited.com http://www.akh-wien.ac.at/hno/kkentz_de.htm http://www.entorg.net/laryngitis_2.htm SILAHKAN DINIKMATI, BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI SENIOR

Diposkan oleh Makalah Referat Kedokteran di 03:08 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

EMBRIOLOGI, ANATOMI, DAN FISIOLOGI LARINGOleh

dr. FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL NIP : 198109142009121002

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN USU MEDAN 2011Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISIHalaman BAB I EMBRIOLOGI LARING 1 BAB II ANATOMI LARING 3 2.1 Kartilago 4 2.2 Ligamentum dan membran 8 2.3 Otot-otot 13 2.4 Persendian 18 2.5 Anatomi laring bagian dalam 19 2.6 Persarafan 22 2.7 Vaskularisasi 23 2.8 Sistem limfatik 26 2.9 Histologi laring 27 BAB III FISIOLOGI LARING 29 DAFTAR PUSTAKA 33 Universitas Sumatera Utara

BAB I EMBRIOLOGI LARING Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat1

dengan lengkung ke IV daripada lengkung ke III. Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah1

menjadi esofagus dan bagian laringotrakeal. Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 10, lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 9. Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya, Universitas Sumatera Utara1

sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 16 mm). Otot-otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus Superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan dipersarafi2

oleh N. Hipoglosus. Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu3

pula dengan aritenoid. Universitas Sumatera Utara

BAB II ANATOMI LARING Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV VI, dimana pada anakanak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang4

kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adams apple atau jakun. Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus4 4

kelenjar tiroid. Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami4

osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.4

Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot. Universitas Sumatera Utara

2.1. KARTILAGO.4

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : 1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari : Kartilago Tiroidea, 1 buah Kartilago Krikoidea, 1 buah Kartilago Aritenoidea, 2 buah 2. Kartilago minor, terdiri dari : Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah Kartilago Epiglotis, 1 buah Tulang dan kartilago laring tampak lateral, gambar dari http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/LarynxGrossAnatomy. jpg Universitas Sumatera Utara

Tulang dan Kartilago Laring tampak Sagital http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/LarynxGrossAnatomy. jpg Tulang dan Kartilago Laring tampak Posterior http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/LarynxGrossAnatomy. jpg Universitas Sumatera Utara

Kartilago Tiroidea Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 (dua) sayap (ala tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adams apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea. Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan4

ligamenta, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata. Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakan tempat perlekatan muskulus4

sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus dan muskulus konstriktor faringeus inferior. Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendo komisura anterior. Sedangkan tangkai epiglotis melekat kira-kira 1 cm diatasnya oleh ligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 30 tahun. Kartilago Krikoidea Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan lkartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit darpada Universitas Sumatera Utara4

bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat4

dilakukan tindakan trakeostomi emergensi atau krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus. Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea. Kartilago Aritenoidea Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita2

suara ini disebut glotis. Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini4

dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3 kehidupan. Kartilago Epiglotis Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh Universitas Sumatera Utara

ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah4,5

menyebelah laring. Kartilago Kornikulata Merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan merupakan kartilago kecil di4

atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika. Kartilago Kuneiforme Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil yang terletak di dalam4

plika ariepiglotika. 2.2 LIGAMENTUM DAN MEMBRANA Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu 1. Ligamentum ekstrinsik , terdiri dari : Membran tirohioid Ligamentum tirohioid Ligamentum tiroepiglotis Ligamentum hioepiglotis Ligamentum krikotrakeal

Universitas Sumatera Utara

The Extrinsic Ligaments Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.8, fig.1.7 2. Ligamentum intrinsik, terdiri dari : Membran quadrangularis Ligamentum vestibular Konus elastikus Ligamentum krikotiroid media Ligamentum vokalis

Universitas Sumatera Utara

The Intrinsik Ligaments Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.8, fig.1.7 Membrana Tirohioidea Membrana ini menghubungkan tepi atas kartilago tiroidea dengan tepi atas belakang os hioidea yang pada bagian medial dan lateralnya mengalami penebalan membentuk ligamentum tirohioideus lateral dan medial. Membrana ini ditembus oleh a. laringeus superior cabang interna n. laringeus superior4

dan pembuluh limfe. Membrana Krikotiroidea (Konus Elastikus). Terdapat di bawah mukosa pada permukaan bawah pita suara sejati, berjalan ke atas dan medial dari lengkungan kartilago krikoid untuk bersambung dengan kedua ligamenta vokalis yang merupakan jaringan fibroelastis yang berasal dari tepi atas arkus kartilago krikoid. Di sebelah anterior melekat pada pinggir bawah kartilago tiroid dan menebal membentuk ligamentuk krikoidea medialis yang juga melekat pada tuberkulum vokalis. Di sebelah posterior konus menyebar dari kartilago krikoid Universitas Sumatera Utara

4

ke prosesus kartilago aritenoid (vokalis). Pinggir bebas menebal membentuk ligamentum vokalis. Membrana Kuadrangularis. Merupakan bagian atas dari jaringan ikat longgar elastis laring, membentang dari tepi lateral epiglotis ke kartilago aritenoid dan kartilago kornikulata, di bagian inferior meluas ke pita suara palsu. Tepi atasnya membentuk plika ariepiglotika, sedangkan yang lainnya membentuk dinding diantara laring5

dan sinus piriformis Morgagni. Laring tampak dari Coronal section. Gambar dari http://khoomei.com/pics/larynx.jpg Universitas Sumatera Utara

Laring dilihat dari atas (Membrana Kuadrangularis diangkat) http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/LarynxGrossAnatomy. jpg Membrana laring tampak sagital http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/LarynxGrossAnatomy. jpg Universitas Sumatera Utara

Membrana laring dari posterior (Kartilago Ariteoid kanan digeser ke lateral) http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/LarynxGrossAnatomy. jpg 2.3 OTOT - OTOT Otototot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan otot-otot4

intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.4

Otot-otot ekstrinsik. Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan. Universitas Sumatera Utara

Terbagi atas : 1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu : - M. Stilohioideus - M. Milohioideus - M. Geniohioideus - M. Digastrikus - M. Genioglosus - M. Hioglosus 2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu : - M. Omohioideus - M. Sternokleidomastoideus - M. Tirohioideus The Extrinsic Muscles Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11,fig.1.10 Universitas Sumatera Utara

Adapted from: Netter F, Atlas of Human Anatomy 2nd Ed. Novartis, East Hanover, New Jersey. 1997, p. 47 Adapted from: Netter F, Atlas of Human Anatomy 2nd Ed. Novartis, East Hanover, New Jersey. 1997, p. 47 Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3 dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting4

pada proses deglutisi. Universitas Sumatera Utara

Otot-otot intrinsik Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m. interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara.4

Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :2

1. Otot-otot adduktor : Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik M. Krikotiroideus M. Krikotiroideus lateral Berfungsi untuk menutup pita suara.4

2. Otot-otot abduktor : M. Krikoaritenoideus posterior Berfungsi untuk membuka pita suara.4

3. Otot-otot tensor : Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak. Universitas Sumatera Utara

The Intrinsic Muscles Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.13, fig.1.13 Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.14, fig.1.14 Universitas Sumatera Utara

Adapted from: Netter F, Atlas of Human Anatomy 2nd Ed. Novartis, East Hanover, New Jersey. 1997, p. 72 2.4 PERSENDIAN Artikulasio Krikotiroidea Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian posterior kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamenta, yaitu : ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan4

atau fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu untuk menegangkan pita suara. Universitas Sumatera Utara

The Larynx Joints Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.6, fig.1.5 Artikulasio Krikoaritenoidea. Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya mengarah dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakan menggeser yang sama arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut penting dalam perubahan suara dari nada rendah menjadi nada5

tinggi. 2.5 ANATOMI LARING BAGIAN DALAM4

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut : 1. Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring. Universitas Sumatera Utara

2. Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni. 3. Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea. Beberapa bagian penting dari dalam laring : Aditus Laringeus Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika,4

posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus. Rima Vestibuli.2

Merupakan celah antara pita suara palsu. Rima glottis Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan basis4

kartilago aritenoidea. Vallecula Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh plika4

glossoepiglotika medial dan lateral. Plika Ariepiglotika Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke4

kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata. Universitas Sumatera Utara

Sinus Pyriformis (Hipofaring)4

Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea. Incisura Interaritenoidea4

Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri. Vestibulum Laring Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago aritenoid,4

permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea. Plika Ventrikularis (pita suara palsu) Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan4

jaringan ikat tipis di tengahnya. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus) Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya4

untuk melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring. Plika Vokalis (pita suara sejati) Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus4

vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion. Universitas Sumatera Utara

2.6 PERSARAFAN Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn. Laringeus Inferior6

(Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.4

1. Nn. Laringeus Superior. Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.6

2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren). Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan : Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

Universitas Sumatera Utara

The Laryngeal Nerves Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11, fig1.11 2.7 VASKULARISASI Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A. Laringeus4

Superior dan Inferior. Arteri Laringeus Superior Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid menuju ke4

bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis. Arteri Laringeus Inferior Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior, Universitas Sumatera Utara

di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan2

mukosa laring. Laryngeal Arterial System Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.12,fig.1.12

Universitas Sumatera Utara

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea Superior dan Inferior2

yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna. Laryngeal Venous System Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.16,fig.1.15

Universitas Sumatera Utara

2.8 SISTEM LIMFATIK4

Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu : 1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya. Laryngeal Lymphatic System Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.16,fig.1.16 Universitas Sumatera Utara

2.9 HISTOLOGI LARING Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali pada daerah pita suara4

yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk. Diantara sel-sel bersilia terdapat sel goblet. LARYNGEAL MUCOSA Membrana basalis bersifat elastis, makin menebal di daerah pita suara. Pada daerah pita suara sejati, serabut elastisnya semakin menebal membentuk ligamentum tiroaritenoidea. Mukosa laring4

dihubungkan dengan jaringan dibawahnya oleh jaringan ikat longgar sebagai lapisan submukosa. Kartilago kornikulata, kuneiforme dan epiglotis merupakan kartilago hialin. Plika vokalis sendiri tidak mengandung kelenjar. Mukosa laring berwarna merah muda sedangkan pita suara berwarna4

keputihan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB III FISIOLOGI LARING Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa7

fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :6

1. Fungsi Fonasi. Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk : Teori Myoelastik Aerodinamik. Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling Universitas Sumatera Utara6

mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.7

Teori Neuromuskular. Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).7

2. Fungsi Proteksi. Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.5

3. Fungsi Respirasi. Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO dan O arteri serta pH darah. Bila pO tinggi akan2 2 2

menghambat pembukaan rima Universitas Sumatera Utara

glotis, sedangkan bila pCO tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan2

obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2

2

arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.76

4. Fungsi Sirkulasi. Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.3

5. Fungsi Fiksasi. 5 Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.7

6. Fungsi Menelan. Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu : Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Universitas Sumatera Utara

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.8

7. Fungsi Batuk. Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.8

8. Fungsi Ekspektorasi. Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.8

9. Fungsi Emosi. Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA 1.Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606 Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18 Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 241-242. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993 Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology - Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 : 425-456 Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 747, 755-760. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and Neck SurgeryOtolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479486.

Universitas Sumatera UtaraSeluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif.Pada saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung ke IV daripada lengkung ke III. 1 Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi esofagus dan bagian laringotrakeal. 1 Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 10, lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 9.1

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28894 Infeksi pada saluran napas atas termasuk infeksi laring akut dan kronis dapat berlanjut menjadi suatu obstruksi jalan nafas. Infeksi laring ini dapat diderita oleh semua tingkatan usia. berdasarkan kondisi anatominya, infeksi laring pada anak lebih menimbulkan masalah dibandingkan orang dewasa.1 Penyebab tersering untuk obstruksi jalan napas karna infeksi pada laringo-trakeo-bronhitchis akut. Kondisi ini timbul paling banyak pada anak anak. Obstruksi disebabkan oleh edema mukosa laring, trakea, dan bronkus dan juga oleh sekret yang kental. Serak, batuk kering, stridor, dispne, kelelahan dan demam dapat timbul bila penyakit bertambah berat. Peningkatan frekuensi pernapasan dan retraksi suprasternal selama inspirasi merupakan tanda yang harus diwaspadai oleh dokter untuk melakukan trakeostomi.1 Tindakan trakeostomi selain itu untuk menyelamatkan nyawa pasien juga untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Dengan tindakan trakeotosmi diharapkan oksigeniasi ke jaringan lebih baik. Sehingga pasien menjadi lebih tenang dan dapat melanjutkan pengobatan selanjutnya. Diharapkan para dokter khususnya dibidang THT dapat melakukan trakeostomi dengan terampil dan aman untuk menyelamatkan jiwa pasien dan dapat menghindari berbagai komplikasi semaksimal mungkin.1