Laptut Skenario 3

42
MALARIA Definisi Penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual plasmodium di dalam darah penderita. Infeksi dari malaria ini sendiri dapat menyebabkan demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Infeksi malaria ini dapat berkomplikasi ke organ lainnya dan menimbulkan malaria berat. Etiologi Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia Plasmodium terdiri dari 4 spesies yaitu Plasmodium Falciparum, Plasmodium Vivax, Plasmodium Ovale dan Plasmodium Malariae, serta pada tahun 2010 ditemukan juga genus plasmodium yang baru di kalimantan yaitu Plasmodium Knowlesi. Seseorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis plasmodium dikenal sebagai infeksi campuran (mixed infection) yang pada umumnya adalah antara plasmodium falciparum dan plasmodium vivax. Epidemiologi Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis dimana hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 – 2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % (Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas 2010). Sementara itu berdasarkan laporan yang diterima selama

description

Laptut Skenario 3

Transcript of Laptut Skenario 3

MALARIA

DefinisiPenyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual plasmodium di dalam darah penderita. Infeksi dari malaria ini sendiri dapat menyebabkan demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Infeksi malaria ini dapat berkomplikasi ke organ lainnya dan menimbulkan malaria berat.

EtiologiMalaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia Plasmodium terdiri dari 4 spesies yaitu Plasmodium Falciparum, Plasmodium Vivax, Plasmodium Ovale dan Plasmodium Malariae, serta pada tahun 2010 ditemukan juga genus plasmodium yang baru di kalimantan yaitu Plasmodium Knowlesi. Seseorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis plasmodium dikenal sebagai infeksi campuran (mixed infection) yang pada umumnya adalah antara plasmodium falciparum dan plasmodium vivax.

EpidemiologiPada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis dimana hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % (Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas 2010). Sementara itu berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun 2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai 1,3%. Walaupun telah terjadi penurunan Annual Parasite Incidence (API) secara nasional, di daerah dengan kasus malaria tinggi angka API masih sangat tinggi dibandingkan angka nasional, sedangkan pada daerah dengan kasus malaria yang rendah sering terjadi kejadian Luar Biasa (KLB) sebagai akibat adanya kasus impor.Pada tahun 2011 jumlah kematian malaria yang dilaporkan adalah 388 kasus. Prevalensi nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional adalah Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara Timur (4,4%).

PatogenesisInfeksi parasit malaria pada manusia dimulai bila nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah, dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di dalam darah. Di dalam sel parenkim hati, mulailah perkembangan aseksual, perkembangan memerlukan waktu 5,5 hari (untuk Plasmodium falciparum) dan 15 hari (untuk Plasmodium malariae). Setelah parenkim hati terinfeksi terbentuk skizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke sirkulasi darah. Pada plasmodium vivax dan plasmodium ovale sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun dan bentuk ini akan menyebabkan terjadinya relaps pada malaria. Setelah berada dalam sirkulasi darah merozit akan menyerang eritrosit dan masuk melalui reseptor permukaan eritrosit dalam waktu kurang dari 12 jam, parasit berubah bentuk menjadi ring. Pada Plasmodium falciparum manjadi bentuk stereo-headphones yang mengandung kromatin di dalam intinya dikelilingi sitoplasma.Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, bila sizont pecah akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual pada P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale adalah 48 jam sedangkan untuk P. malariae adalah 72 jam. Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina dan bila nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygot dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya membentuk oosyt yang akan masuk dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia lain.

Gambar: Siklus hidup Plasmodium

Setelah melalui jaringan hati, P. falciparum melepaskan 18-24 jam merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia.

Manifestasi KlinisGejala klsik malaria yaitu terjadinya Trias Malaria secara berurutan: Periode dingin (15-60 menit): mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperature tubuh Periode panas: penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti keadaan berkeringat Periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan temperatur turun dan penderita merasa sehat.Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi P. vivax, pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P. falciparum, 36 jam pada P. vivax dan ovale, 60 jam pada P. malariae.Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria adalah: Serangan primerYaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksimal yang terdiri dari dingin/menggigil, panas dan berkeringat. Serang paroksimal dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita. Periode latentYaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadiya infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksimal. RecrudescenseBerulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah berakhirnya serangan primer. RecurrenceYaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya serangan primer. Relapse atau RechuteAdalah berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu diantara sernagan perodik dan infeksi primer yaitu setelah periode yang lama dari masa latent (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar eritrosit (hati) pada malaria vivax atau ovale.

Manifestasi Klinis Malaria Tertiana/ M. Vivax/M. Benigna Inkubasi 12-17 hari, kadang-kadang lebih panjang 12-20 hari Pada hari-hari pertama panas ireguler, kadang intermiten atau remiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan paroksimal biasanya terjadi waktu sore hari. Kepadatan parasit mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari. Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari, limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu kelima oanas mulai turun secara krisis. Malaria serebral jarang terjadi. Edema tungai disebabkan karena hipoalbuminemia.

Manifestasi Klinis Malaria Malariae/ M. Quartana Masa inkubasi 18-40 hari Manifestasi klinis seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan, anemia jarang terjadi, splenomegali sering dijumpai walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksimal terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore. Pada pemeriksaan dapat dijumpai edema, asites, proteinuria yang banyak, hipoproteinaemia tanpa uremia dan hipertensi.

Manifestasi Klinis Malaria Ovale Merupakan bentuk paling ringan dari semua jenis malaria Masa inkubasi 11-16 hari, serangan paroksimal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali wlaupun tanpa terapi.

Maifestasi Klinis Malaria Tropika/ M. falciparim Merupakan bentuk malaria yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia. Masa inkubasi 9-14 hari Gejala prodromal yang sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri belakang/tungkai, lesu, perasaan dingin, mual, muntah, dan diare. Panas biasanya ireguler dan tidak periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperature di atas 40oC. Apabila infeksi memberat, nadi cepat, nausea, muntah, diare menjadi berat dan diikuti kelainan paru. Splenomegali dijumpai lebih sering dari hepatomegali dan nyeri pada perabaan, hati membesar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin dapat berupa albuminuria, hialin dan Kristal yang granuler.

DiagnosisSebelumnya perlu diketahui kelompok risiko tinggi untuk untuk menderita malaria untuk lebih memudahkan dalam mendiagnosa, yaitu: 1. Di daerah hiper/holoendemik: Anak kecil berumur dibawah 6 bulan Angka kematian tinggi pada kelompok umur 1-3 tahun Wanita hamil, selama trimester kedua dan ketiga kehamilan diperkirakan disebabkan oleh dua faktor yaitu parasit-parasit yang menyebabkan malaria cenderung berakumulasi dalam plasenta (ari-ari), dan selama kehamilan, sistem kekebalan tubuh sang ibu berada dalam tingkat respon yang kurang dari normal.2. Lain-lain : pendatang, misalnya transmigran, Pelancong (travelers)

Anamnesis: Adanya demam, menggigil, keringat dingin, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot. Adanya riwayat bepergian ke tempat tempat endemis seperti rawa, sungai dan hutan. Adanya riwayat sakit malaria, atau minum obat malaria dan riwayat transfusi.

Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala dan tanda seperti demam, konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali, hepatomegali, tanda dehidrasi, takipnea, takikardi, serta ronki pada paru.

Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan tetesan darah untuk malaria preparat tebal untuk menemukan parasit, sedangkan preparat tipis untuk identifikasi jenis plasmodium. Keuntungan: lebih murah dan dan dapat menentukan jenis plasmodium Kekurangan: kurang fleksibel, pemeriksaan harus dilakukan pleh orang yang ahli dan berpengalaman. 2. Rapid test Sangat cepat namun biaya yang dikeluarkan agak mahal, digunakan untuk mengetahui ada tidaknya parasit, akan tetapi tidak bisa mengidentifikasi jenis plasmodium. Hasilnya cepat dan tidak perlu keterampilan khusus, serts sering digunakan pada daerah KLB 3. Tes antigen Untuk mendeteksi antigen dari plasmodium falciparum. Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit. Tidak memerlukan keterampilan khsus dan sensitivitasnya baik. 4. Tes PCR Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA Waktunya cukup cepat dan sensitivitasnya tinggi Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif

PenatalaksanaanPrinsip Pengobatan Malaria:1. Penderita tergolong: malaria biasa/tanpa komplikasi, dan malaria berat dengan komplikasi.Penderita dengan komplikasi (malaria berat) memakai obat parenteral, sedangkan malaria biasa diobati dengan per oral2. Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT (Artemisinin-based Combination Therapy)3. Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan pemeriksaan malaria yang positif dan dilakukan monitoring efek/respon pengobatan4. Pengobatan malaria klinis/tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT

Pengobatan Penderita Malaria Secara global WHO telah menetapkan pengobatan malaria dengan memakai obat ACT Golongan artemisinin / ART telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan Bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit Efektif terhadap semua spesies

Golongan Artemisinin Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bahasa Cina sebagai Qinghaosu Termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti: artemisin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin Bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontosidal darah Beberapa penelitian menemukan bahwa pemakaian obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka direkomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi obat lain Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya Terdapat penyediaan oral, parenteral/injeksi dan supposituria

Pengobatan Golongan Artemisin

Nama ObatKemasan / Tablet / CapDosis

Artesunat Oral : 50 mg/200 mg

Injeksi im/iv : 60mg/ amp

Supposituria : 100/200 mg/sup Hari 1 : 2 mg/kg BB, 2x sehari, hari II V : dosis tunggal 2,4 mg/kg hari I ; 1,2 mg/kg/hari minimal 3 hari/bisa minum oral 1600 mg/3 hari atau 5 mg/kg/12 jam

Artemeter Oral : 40 mg/50 mg

Injeksi 80 mg/amp 4 mg/kg dibagi 2 dosis hari I ; 2 mg/kg/hari untuk 6 hari 3,2 mg/kg BB pada hari I ; 1,6 mg/kg selama 3 hari atau bisa minum oral

Artemisinin Oral 250 mg

Supposituria : 100/200/300/400/500 mg/supp 20 mg/kg dibagi 2 dosis hari I ; 10 mg/kg untuk 6 hari 2800 mg/3 hari ; yaitu 600 mg dan 400 mg hari I dan 2 x 400 mg, 2 hari berikutnya

Dihidroartemisinin Oral : 20/60/80 mg Supposituria : 80 mg/sup 2 mg/kg BB/dosis 2 x sehari hari I dan 1 x sehari 4 hari selanjutnya

Artheether Injeksi i.m : 150 mg/amp artheether (artemotil) : 4,8 dan 1,6 mg/kg 6 jam kemudian dan hari I : 1,6 mg/kg 4 hari selanjutnya

Pengobatan Malaria dengan obat-obat Non-ACT Resistensi telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia Beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%) masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan

Obat-obatan Non-ACT :Klorokuin Difosfat/Sulfat 250 mg (150 mg basa), dosis 25 mg basa/kg BB untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kg BB hari I dan II, 5 mg/kg BB hari III Pada orang dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I dan II serta 2 tablet hari III. Dipakai untuk P.Falciparum maupun P.VivaxSulfadoksin-Pirimetamin (SP) 500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin Dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal/1 kali. Atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25 mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai untuk plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk P.Vivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SPKina Sulfat: 1 tablet 220 mg Dosis yang dianjurkan : 3x10 mg/kg BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P.Falciparum maupun P.Vivax Kina dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk waktu yang lama menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesaiPrimakuin 1 tablet 15 mg Dipakai sebagai obat pelengkap/pengobatan radikal terhadap P.Falciparum maupun P.Vivax Pada P.Falciparum dosisnya 45 mg/3 tablet dosis tunggal untuk membunuh gamet Untuk P.Vivax dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti relaps)Penggunaan Obat Kombinasi Non-ACT Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi serta belum tersedianya obat golongan artemisinin dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan Contoh kombinasi : Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin SP + Kina Klorokuin + Doksisiklin/Tetrasiklin SP + Doksisiklin/Tetrasiklin Kina + Doksisiklin/Tetrasiklin Kina + Klindamisin Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring respon pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan meluas

Pencegahan Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, serta surveilans dan pengendalian vektor dalam hal pendidikan masyarakat dan pengertian tentang kesehatan lingkungan, yang kesemuanya ditujukan untuk memutus mata rantai penularan malaria.Cara mencegah penyakit malaria menurut Depkes RI, 2004 dengan menghindari gigitan nyamuk, dengan cara: tidur memakai kelambu, memakai obat anti nyamuk, mengolesi badan dengan obat anti nyamuk (repelen), memasang kawat kasa, menjauhkan kandang ternak dari rumah, jangan berada diluar rumah pada malam hari. Apabila pada malam hari sebaiknya memakai pakaian yang tertutup (menggunakan lengan panjang) atau memakai obat anti nyamuk oles (repelen)

Prognosis Prognosis malaria bergantung pada jenis plasmodium yang meninfeksi. Untuk M. vivax prognosis baik, M. malariae dan M. ovale bisa sembuh tanpa pengobatan sedangkan untuk M. falciparum prognosisnya buruk dan bisa sampaimenyebabkan kematian.

Komplikasi Untuk M. falciparum ada yang akut dan kronik. Untuk komplikasi akut data berupa M. serebral dan M. algid sedangkan untuk komplikasi kronik misalnya seperti splenomegali.

LEPTOSPIROSIS

DefinisiLeptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh weil pada tahun 1886. Bentuk berat dari penyakit ini dikenal sebagai weils disease.

EtiologiGenus Leptospira berasal dari famili Leprospiraceae ordo Spirochaetales. Genus Leptospira secara garis besar dibagi dalam dua spesies, L. interrogans bersifat patogen dan L. biflexa yang non-patogen. Kedua spesies tersebut dibagi menjadi beberapa serogrup dan serovars. Leptospira dapat menyebabkan infeksi pada berbagai jenis banyak mamalia, seperti tikus, anjing, kucing, domba, babi, tupai, rakun, dan lain-lain. Binatang pejamu untuk spesies dan serogrup tertentu berbeda pada tiap daerah, satu mamalia dapat menampung beberapa serovars. Leptospira ditularkan melalui urin yang terinfeksi, melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar. Pada keadaan ideal, leptospira dapat bertahan selama 16 hari di air dan 24 hari di tanah. Petani, pegawai kebersihan (pembuang samapah), pemelihara binatang, orang yang berolah raga air, dan nelayan merupakan kelompok risiko tinggi terkena leptospirosis.

EpidemiologiLeptospirosis dapat ditemukan diseluruh dunia, insidens di Amerika berkisar antara 0,02-0,04 kasus per 100.000 penduduk. Daerah yang beresiko tinggi adalah kepulauan Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kepulauan Pasifik. Leptospirosis kadangkala dapat menyebabkan wabah. Indonesia merupakan negara yang memiliki insidens Leptospirosis yang tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitasnya. Leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. Angka mortalitas sekitar 10% pada jaundice leptospirosis.

PatofisiologiLeptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis.Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa,pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian.Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan faktor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi,hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibody didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hampir tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis.

Manifestasi klinikGambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase imun dan fase penyembuhan.1. Fase LeptospiremiaDemam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.2. Fase ImunDengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasiperdarahan spontan.3. Fase PenyembuhanFase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik. Leptospirosis anikterikOnset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang- kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi (fase imun). Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri (self - limited) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utamaFever of unknown origindi beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.

Leptospirosis ikterikIkterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.

Diagnosis Pada umumnya diagnosa awal leptosirosis sulir, karena pasien biasanya datang dengna meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitits. Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok resiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai protein uria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.

Kultur Dengan mengambil spesimen dari darah atau CCS segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada spesimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan.

Serologi Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengna pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver strain atau fluroscent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap.

Pemeriksaan Serologis Mikroskopik Aglutinasi Test(MAT) Titer (+) 1/200 -1/800 atau peningkatan 4x. ELISA Isolasi kuman dari darah/urine baik dg dark field mikroskopik maupun kultur (tumbuh setelah 2- 4 minggu). PCR bahan dari darah, CSF, urine.

Darah rutin Leukositosis 15000-30000/mm3. LED Trombositopenia ringan

Fungsi hati Bilirubin &alkaline fosfatase Transaminase sedikit me Protombin time

PenatalaksanaanPengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, pendarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada leprospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus lepirospirosis berat, pemberian intravena penicilin G, amoxicilin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosforin.

Suportif terapi Pemberian cairan untuk Menjaga keseimbangan elektrolit. Gagal ginjal dengan dilakukan dialisis. Perdarahan parudapat digunakn ventilator.

Pemberian AntibiotikLeptospirosis ringan : Doksisiklin 100 mg 2x sehari. Ampisilin 500-750 mg 4x sehari. Amoksisilin 500 mg 4x sehari.Leptospirosis sedang/berat : Penisilin G 1,5 jt unit IV/6 jam Ampisilin 1 g/ 6 jam (IV) Ceftriakson 1 g/hr (IV) Cefotaksim 1 g/6jam (IV) Eritromisin 500 mg/6 jam (IV)Lama pemberian obat selama 7 hari.

Profilaksis: Doksisiklin 200 mg/minggu untuk orang yang terpapar dalam jangka pendek.

PencegahanPemberian doksisiklin dengan dosis 200 mg/minggu dapat memberikan pencegahan sekitar 95% pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun profilaksis pada anak belum ditemukan. Pengontrolan lingkungan rumah terutama daerah endemik dapat memberikan pencegahan pada penduduk berisiko tinggi walaupun hanya sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya memberikan sedikit perlindungan pada masyarakat karena terdapat serotipe kuman yang berbeda.

KomplikasiMeningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan. Gagal ginjal, kerusakan hati, perdarahan paru, vaskulitis, dan miokarditis jarang ditemukan walaupun pada umumnya sebagai menyebabkan kematian.

PrognosisMortalitas pada leptospirosis berat sekitar 10%, kematian paling sering disebabkan karena gagal ginjal, perdarahan masif atau ARDS. Fungsi hati dan ginjal akan kembali normal, meskipun terjadi disfungsi berat, bahkan pada pasien yang menjalani dialisis. Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapat mengalami nyeri kepala secara periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan pandangan yang kabur.

DEMAM TIFOID

DefinisiDemam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch. Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.

EtiologiDemam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

Gambar: Mikroskopik Salmonella Typhi

EpidemiologiBesarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

PatogenesisMasuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella para typhi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakbatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu di eksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarah saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ.

Manifestasi KlinisMasa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtimatik hingga gambaran penyakit yang khas diserati komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umunya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu bdan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relative (peningkatan suhu 1C tidak di ikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi, dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Diagnosis Anamnesis: menanyakan adanya demam, nyeri kepala, dan menanyakan riwayat makan dan minum. Untuk menegakan diagnosis haruslah di lakukan pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan darah rutin: pada pemeriksaan ditemukan leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Selain itu dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Uji widal : dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap kuman S.Typhi. maksud dari uji widal adalah untuk mementukan adanya glutinin dalam serum penderita tersangkan demem tifoid yaitu: a.aglutinasi O (dari tubuh kuman), b. Aglutinin H (flagella kuman) dan c. Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga agglutinin hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin tinggi kemungkinan terinfeksi kuman ini. Uji Tubex : merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah dikejarkan. Hasil positif uji tubex ini menunjukan terdapat infeksi salmonellae serogrup D walaupun tidak secra spesifik menunjukan pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negative Uji typhidot: dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secra spesifik antibody igM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 Kd yang terdapat pada strip nitroselulosa. Uji IgM Dipstick : uji ini secra khusus mendeteksi IgM spesifik terhadap S. typhi pada specimen serum atau whole blood. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari ) dilakukan tanpa peralatan khusu apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala. Kultur darah : hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan karena beberapa hal yaitu :1. Telah mendapatkan terapi antibiotic menyebabkan hasilnya mungin negative2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah )3. Riwayat vaksinasi 4. Saat pengambilan darah setelah seminggu pertama, pasa saat aglutinin semakin meningkat.

Penatalaksanaan Sampai saat ini masih dianut penatalaksaan demem tifoid, yaitu: Istirahat dan perawatan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dan perawatan profesinal bertujuan untuk mencegah komplikasi. Dalam perwatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) tujuannya mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet ini penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifois, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dari gizi penderita akan semakin turun dan proses penymbuhan akan menjadi lama. Di beberapa penelitian menunjukan bhawa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari semenstara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasein demem tiroid. Pemberian antimikroba tujuannya menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat untuk mengobati demem tifoid : Kloramfenikol : dosis yang digunakan 4 x 500 mg perhari dapat diberikan dengan 7 hari bebas panas. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Tiamfenikol: dosisnya 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai ke 6. Kortimoksazol : dosis untuk orang dewasa 2x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimetoprim). Ampisilin dan amoksisilin: kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB digunakan selama 2 minggu. Sefalosporin generasi ketiga : dosis yang dianjurkan 3-4 gram dalam dektrosa 100cc diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. Golongan fluorokuinolon : ada golongan beberapa jenis Norfloksasin dosis 2 x 400mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari Azitromisin : penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Dosis yang digunakan 2x500 mg. Kombinasi obat antimikroba : kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antra laian toksik tifois, peritonitis atau perforasi, serta syok septic, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organism dalam kultur darah selian kuman salomonell. Kortikosteroid : diindikasikan pada toksik atau demam tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg Pengobatan untuk demam tifoid pada wanita hamil : obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin dan seftriakson.

PencegahanBerikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid: Cuci tangan. Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air. Hindari minum air yang tidak dimasak. Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas. Pilih makanan yang masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain: Sering cuci tangan. Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur. Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari. Hindari memegang makanan. Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella. Gunakan barang pribadi yang terpisah. Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasiDi banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni: 1. Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun. 1. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek. 1. Vaksin polisakarida Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

KomplikasiSebagai suatu penyakit sistemik maka hamper semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid : Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis Komplikasi ekstra-intestinalKomplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitisKomplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosisKomplikasi paru : pneumonia, empyema, pleuritisKomplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitisKomplikasi ginjal : glumerulanefritis, pielonefritis, perinefritisKomplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, spondylitis, artritisKomplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik

Prognosis Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa komplikasi. Hal ini juga tergantung pada ketepatan terapi, usia, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, keadaan kesehatan sebelumnya.

Sumber: Pedoman tata laksana malaria depkes, Available at : http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/65_PMK%20No.%205%20ttg%20Pedoman%20Tata%20Laksana%20Malaria.pdf

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-10.pdf

IPD