Lapsus OA
-
Upload
erick-rangga-junior -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of Lapsus OA
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Suyati
Umur : 70 tahun
Alamat : Bojonegoro
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
II. ANAMNESA
Keluhan Utama : Nyeri pada lutut kiri
RPS : Pasien datang dengan keluhan nyeri pada lutut kiri mulai ± 2 minggu,
nyeri semakin lama semakin bertambah, di sertai bengkak dan panas di
sekitar daerah lutut kiri, karena nyeri pasien tidak mau menggerakan kaki
kirinya dan selama 2 minggu pasien hanya tidur saja. Pasien sudah berobat
ke perawat dekat rumah dan diberi obat tetapi tidak membaik. 3 hari yang
lalu pasien mengaku BAB hitam seperti petis dan disertai nyeri uluh hati,
mual (+), muntah (-), pusing (+).
RPO : Ranitidin,
RPD : Riwayat trauma (-), HT (+) DM (-)
Riwayat sosial :
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 170/100 mmHg
N : 100x/menit
Respirasi : 20x/m
Suhu : 36 C
A. Kepala Leher
Mata : Konjungtiva : Anemis (+)
Sklera : Icterus (-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : JVP meningkat (-)
B. Thoraks
Inspeksi : Bentuk : Simetris
Pergerakan : Simetris
Retraksi Intercostal : (-)
Spider naevi (-)
Palpasi : Pergerakan Nafas : Normal
Fremitus raba : Normal
Perkusi : Batas Jantung : dbn
Suara Ketuk : Sonor
Auskultasi : Pulmo : suara nafas : Vesikuler +/+, Ronchi -/-, Wheezing -/-
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
C. Abdomen
Inspeksi : Perut flat, Jejas (-), caput medusa (-),
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : distended (-), nyeri tekan (-)
Hepar & Lien: tidak teraba
Perkusi : Shifting dullness (-)
D. Ekstremitas
Akral hangat, Nyeri tekan (+)
Oedem
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- -
- +
A. Pemeriksaan Hematologi (20-05-1015)
Darah Rutin
Leukosit : 40,42 H (3,60-11,00)
Jumlah Eritrosit : 2,73 L (4,40 – 6,00)
Hb : 7,9 L (11,8 – 16,00 gr/dl)
Hematokrit : 23,2 L (40 – 52,0)
MCV : 85,0 (80,0 – 100,0)
MCH : 28,9pg (26,0 – 34,0)
MCHC : 34,1g/L (32,0 – 36,0)
Trombosit : 695 H (150 - 400)
RDW-SD : 46,0 L (37-54)
RDW-CV : 15,4 H (11,0-15,0)
PDW : 11,1
MPV : 10,0
P-LCR : 24,9
PCT : 0,70
LED/BBS : 68 H (0-20)
B. Pemeriksaan Kimia Darah (20-05-2015)
SGOT : 23,4 (<31 U/L)
SGPT : 79,5 H (<34 U/L )
Trigliserida : 94 (<150 mg/dL)
Kolesterol total : 111 (<200 mg/dL)
Glukosa sewaktu : 138 H (70-120mg/dL)
Ureum : 228,4 H (15,0-43,0 mg/dl)
Kreatinin : 2,52 H (0,60-1,10 mg/dl)
Uric acid : 5,6 (2,6 – 6,0 mg/dl)
C. Pemeriksaan Rontgen GENU AP/Lat
- Alignment baik
- Trabekulasi tulang normal
- Tidak tampak fraktur maupun dislokasi
- Tampak osteophyte medialis dan lateralis os tibia, dan margo posteroinferior os
patella
- Celah sendi femurotibial medial menyempit
- Soft tissue baik
Kesimpulan
Ostheoarthritis Genu Sinistra grade III
V. DAFTAR MASALAH SEMENTARA
- Nyeri lutut kiri
- Bengkak dan panas pada lutut kiri
- Kaki kiri susah digerakkan
- BAB hitam seperti petis
- Mual (+)
- Pusing (+)
- Odem (+) dan hangat pada regio genu sinistra
VI. DAFTAR MASALAH PERMANEN
Ostheoarthritis Genu Sinistra grade III + obs melena susps gastritis erosiva
VII. PLANNING
DIAGNOSTIK TERAPI MONITORING EDUKASI
- Rongent genu
sinistra
- Darah lengkap
- Inf. NS 14 tpm
- Inj. Pantoprazole 1x1vial drip
- Inj ketorolac 2x30mg
- Inj Ranitidin 2x1 amp
- Nutriflam 2x1
- Mucosta 2x1 tab
- Nocid 3x1 tab
- Syrup Musin 3xCI
- TTV
-
- Bed rest
- Makan lunak
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Osteoarthritis
Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai dengan
kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis
dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula
sendi, timbulnya peradangan, dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi.
B. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling
umum di dunia. Felson (2008) melaporkan bahwa satu dari tiga orang dewasa memiliki
tanda-tanda radiologis terhadap OA. OA pada lutut merupakan tipe OA yang paling
umum dijumpai pada orang dewasa. Penelitian epidemiologi dari Joern et al (2010)
menemukan bahwa orang dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22% .
Pada pria dengan kelompok umur yang sama, dijumpai 23% menderita OA. pada lutut
kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita OA pada lutut kiri. Berbeda halnya
pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden OA pada lutut kanan sebanyak
24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7.
C. Klasifikasi Osteoarthritis
1. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
Berdasarkan etiologi, OA dapat terjadi secara primer (idiopatik) maupun sekunder.
Klasifikasi OA berdasarkan etiologi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
2. Klasifikasi berdasarkan Lokasi Sendi yang terkena
D. Patogenesis
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan
OA sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki penyebab
yang pasti ( tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun
proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder, berbeda dengan OA primer,
merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem endokrin, metabolik,
pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan immobilisasi yang terlalu lama. Kasus
OA primer lebih sering dijumpai pada praktik sehari-hari dibandingkan dengan OA
sekunder.
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan
tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya
masih belum jelas diketahui ( Soeroso, 2006 ). Kerusakan tersebut diawali oleh
kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain
sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera ( Felson, 2008 ).
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu :
Kapsula dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya .
Kapsula dan ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range
of motion) sendi (Felson, 2008).
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan
sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang
disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai
pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan
pada sendi (Felson, 2008).
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu
mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang
dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan
yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak (Felson, 2008).
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung
sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan
akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi
otot tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan
deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan
didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang
diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang
diterima (Felson, 2008).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan
sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika
bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap
tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat
terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago
(Felson, 2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe
dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul –
molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada
kartilago (Felson, 2008).
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruhan
elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah
matriks, sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor
pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit
untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang baru.
Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor
pertumbuhan, dan faktor lingkungan (Felson, 2008).
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah
kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi
oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar
hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago (Felson, 2008).
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi
pergantian matriks, namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG),
oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan
degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut.
NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses
pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya OA
(Felson, 2008).
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks
yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi. Namun,
pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki metabolisme yang sangat
aktif (Felson, 2008) .
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan
aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi.
Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah
mengendur (Felson, 2008). Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen
pertahanan sendi akan meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi (Felson,
2008).
E. Gejala Klinis
Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang
dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut
adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :
a. Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah
dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan
tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain.
Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara radiologis ).
Umumnya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya
bias digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris
( seluruh arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja ) ( Soeroso,
2006 ).
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada
sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri
yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago (Felson, 2008).
Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari
nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan
edema sumsum tulang ( Felson, 2008).
Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit
tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago
dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri
(Felson, 2008). Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di
dekat sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine bursitis
dan sindrom iliotibial band (Felson, 2008).
b. Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan
dengan pertambahan rasa nyeri ( Soeroso, 2006 ).
c. Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak
melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang
cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari. ( Soeroso, 2006 )
d. Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala
ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan
adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa.
Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak
tertentu ( Soeroso, 2006 ).
e. Pembesaran sendi ( deformitas )
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar ( Soeroso, 2006 ).
f. Pembengkakan sendi yang asimetris
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi
yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga
bentuk permukaan sendi berubah ( Soeroso, 2006 ).
g. Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan
gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA
karena adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada
perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut
( Soeroso, 2006 ).
h. Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan
ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia.
Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan
terutama pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Osteoartritis dimodifikasi berdasarkan guideline ACR: Update tahun
2000
TAHAP PERTAMA
Terapi Non farmakologi :
a. Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
b. Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs): modifikasi gaya hidup.
(Level of evidence: II)
c. Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan, minimal
penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25. (Level of evidence: I).
d. Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises).(Level of Evidence: I)
e. Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot- otot
(quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive devices for ambulation):
pakai tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
f. Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi, menggunakan splint dan
alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik sehari-hari. (Level of evidence: II)
TAHAP KEDUA
Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi nonfarmakologi
diatas)
• Pendekatan terapi awal
a. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan salah satu obat
berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian obat tersebut:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of Evidence: II)
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko pada
sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan polifarmaka,
riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat
kortikosteroid dan atau antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
• Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian obat
pelindung gaster (gastro- protective agent).Obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) harus dimulai dengan dosis analgesik rendah dan dapat dinaikkan
hingga dosis maksimal hanya bila dengan dosis rendah respon kurang efektif.
Pemberian OAINS lepas bertahap (misalnya Na-Diklofenak SR75atau SR100)
agar dipertimbangkan untuk meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien.
Penggunaan misoprostol atau proton pump inhibitor dianjurkan pada penderita
yang memiliki faktor risiko kejadian perdarahan sistem gastrointestinal bagian
atas atau dengan adanya ulkus saluran pencernaan. (Level of Evidence: I, dan II)
• Cyclooxygenase-2 inhibitor. (Level of Evidence: II)
Catatan:
Obat-obat tersebut ini dapat diberikan secara teratur pada pasien dengan gangguan fungsi
liver, namun harus dihindari pada pasien peminum alkohol kronis. Capcaisin topikal atau
methylsalicylate cream dapat diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap
acetaminophen atau tidak diperbolehkan untuk mendapatkan terapi sistemik. (Level of
Evidence: II)
c. Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi dan
tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone hexatonide 40
mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai tiga minggu) dapat
diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per oral (OAINS). (Level
of evidence: II)
• Pendekatan terapi alternatif
Bila dengan terapi awal tidak memberikan respon yang adekuat:
a. Untuk penderita dengan keluhan nyeri sedang hingga berat, dan memiliki kontraindikasi
pemberian COX-2 inhibitor spesifik dan OAINS, dapat diberikan Tramadol (200-300
mg dalam dosis terbagi). Manfaatnya dalam pengendalian nyeri OA dengan gejala
klinis sedang hingga berat dibatasi adanya efek samping yang harus diwaspadai,
seperti: mual (30%), konstipasi (23%), pusing/dizziness(20%), somnolen (18%), dan
muntah (13%).
b. Terapi intraartikular seperti pemberian hyaluronan (Level of Evidence: I dan II) atau
kortikosteroid jangka pendek (satu hingga tiga minggu) pada OA lutut. (Level of
Evidence: II)
c. Kombinasi : Metaanalisis membuktikan: Manfaat kombinasi paracetamol-kodein
meningkatkan efektifitas analgesik hingga 5% dibandingkan paracetamol saja, namun
efek sampingnya lebih sering terjadi: lebih berdasarkan pengalaman klinis. Bukti-bukti
penelitian klinis menunjukkan kombinasi ini efektif untuk non-cancer related pain.
Injeksi intraartikular/intra lesi
Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan utama dalam
penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan selektifitas dalam penggunaan
modalitas terapi ini, mengingat efek merugikan baik yang bersifat lokal maupun sistemik.
Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni penanganan simtomatik dengan
steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk memodifikasi perjalanan penyakit.
Dengan pertimbangan ini yang sebaiknya melakukan tindakan adalah dokter ahli reumatologi
atau dokter ahli penyakit dalam dan dokter ahli lain, yang telah mendapatkan pelatihan.
1. Kortikosteroid (triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone)
Dapat diberikan pada OA lutut, jika mengenai satu atau dua sendi dengan keluhan
nyeri sedang hingga berat yang kurang responsif terhadap pemberian OAINS, atau
tidak dapat mentolerir OAINS atau terdapat penyakit komorbid yang merupakan
kontra indikasi terhadap pemberian OAINS. Diberikan juga pada OA lutut dengan
efusi sendi atau secara pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda inflamasi lainnya.Teknik
penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar untuk menghindari penyulit yang timbul.
Sebagian besar literatur tidak menganjurkan dilakukan penyuntikan lebih dari sekali
dalam kurun 3 bulan atau setahun 3 kali terutama untuk sendi besar penyangga
tubuh.Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-
sendi kecil biasanya digunakan dosis 10 mg.Injeksi kortikosteroid intra-artikular harus
dipertimbangkan sebagai terapi tambahan terhadap terapi utama untuk mengendalikan
nyeri sedang-berat pada penderita OA
2. Viskosuplemen: Hyaluronan
Terdapat dua jenis hyaluronan di Indonesia: high molecular weight dan low molecular
weightatau tipe campuran. Penyuntikan intra artikular viskosuplemen ini dapat
diberikan untuk sendi lutut. Karakteristik dari penyuntikan hyaluronan ini adalah
onsetnya lambat, namun berefek jangka panjang, dan dapat mengendalikan gejala klinis
lebih lama bila dibandingkan dengan pemberian injeksi kortikosteroid
intraartikular.Cara pemberian: diberikan berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan interval
satu minggu @ 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan untuk jenis low molecular weight, 1 kali
untuk jenis high molecular weight, dan 2 kali pemberian dengan interval 1 minggu
untuk jenis tipe campuran. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar. Kalau
tidak dapat timbul berbagai penyulit seperti artritis septik, nekrosis jaringan dan abses
steril. Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap unsur/bahan dasar hyaluronan misalnya
harus dicari riwayat alergi terhadap telur.
TAHAP KETIGA
Indikasi untuk tindakan lebih lanjut:
1. Adanya kecurigaan atau terdapat bukti adanya artritis inflamasi: bursitis, efusi
sendi: memerlukan pungsi atau aspirasi diagnostik dan teurapeutik (rujuk ke
dokter ahli reumatologi/bedah ortopedi.
2. Adanya kecurigaan atau terdapat bukti artritis infeksi (merupakan kasus gawat
darurat, resiko sepsis tinggi: pasien harus dirawat di Rumah Sakit)
Segera rujuk ke dokter bedah ortopedi pada:
a. Pasien dengan gejala klinis OA yang berat, gejala nyeri menetap atau bertambah
berat setelah mendapat pengobatan yang standar sesuai dengan rekomendasi baik
secara non-farmakologik dan farmakologik (gagal terapi konvensional).
b. Pasien yang mengalami keluhan progresif dan mengganggu aktivitas fisik sehari-
hari.
c. Keluhan nyeri mengganggu kualitas hidup pasien: menyebabkan gangguan tidur
(sleeplessness), kehilangan kemampuan hidup mandiri, timbul gejala/gangguan
psikiatri karena penyakit yang dideritanya.
d. Deformitas varus atau valgus (>15 hingga 20 derajat) pada OA lutut
e. Subluksasi lateral ligament atau dislokasi: rekonstruksi retinakular medial, distal
patella realignment,lateral release.
f. Gejala mekanik yang berat (gangguan berjalan/giving way, lutut terkunci/locking,
tidak dapat jongkok/inability to squat): tanda adanya kelainan struktur sendi
seperti robekan meniskus: untuk kemungkinan tindakan artroskopi atau tindakan
unicompartmental knee replacement or osteotomy/realignment osteotomies.
g. Operasi penggantian sendi lutut (knee replacement: full, medial unicompartmental,
patellofemoral and rarely lateral unicompartmental) pada pasien dengan:
a. Nyeri sendi pada malam hari yang sangat mengganggu
b. Kekakuan sendi yang berat
c. Mengganggu aktivitas fisik sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Dieppe, P.A., Osteoarthritis: Clinical Feature in Klippel, J. H., Stone, J. H., Crofford, L. J.,
White, P. H. (eds) Primer on The Rheumatic Diseases, 2008.13th ed., pp. 224-28.
Arthritis Foundation, New York.
Berenbaum, F., Osteoarthritis: Pathology and Pathogenesis in Klippel, J. H., Stone, J. H.,
Crofford, L. J., White, P. H. (eds) Primer on The Rheumatic Diseases,2008. 13th ed.,
pp. 229-34. Arthritis Foundation, New York.
American College of Rheumatology Subcommittee on Osteoarthritis Guidelines: Arthritis
Rheum 43(9):1905-15, 2000.
Sellam J, Beaumont GH, and Berenbaum F. Osteoarthritis : pathogenesis, clinical aspects
and diagnosis. In EULAR Compendium in Rheumatic disease, 2009: 444-63.
Sharma, L., 2008 Osteoarthritis: Treatment in Klippel, J. H., Stone, J. H., Crofford, L. J.,
White, P. H. (eds) Primer on The Rheumatic Diseases, 13th ed., pp. 235-40. Arthritis
Foundation, New York.
Osteoarthritis. The care and management of osteoarthritis in adult. National Institute of
Health and Clinical Exellence, Februari 2008. NICE Clinical Guideline 59.
Felson, D. T., Osteoarthritis in Fauci, A.S., Braunwald, E. B., Kasper, D. L., Hauser, S. L.,
Longo, D. L., Jameson, J. L., Loscalzo, J. (eds) Harrison’s Principles of Internal
Medicine,2009. 17th ed, pp. 2158-65. McGraw–Hill Medical, New York.
Verges, J., 2007 What’s New in Osteoarthritis? Disease Modifying Osteoarthritis Drugs
Clinical Review. First Congress of Food Supplements, Sava Center, Beograde.
Bellamy N, Campbell J, Robinson V, et al. Intraarticular corticosteroid for treatment of
osteoarthritis of the knee. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2006