LAPSUS DM

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus Saat ini, pembangunan bidang kesehatan di Indonesia mempunyai masalah ganda. Selain masih tingginya kejadian penyakit infeksi, prevalensi penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, kanker, diabetes melitus juga mengalami peningkatan (Suyono,2007). Berdasarkan data anamnesis dan analisis pasien di puskesmas Salaman 1 kabupaten Magelang, didapatkan diagnosis kerja diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi. Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang tidak tergantung insulin. Pada diabetes melitus tipe 2, terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Menurut WHO, Indonesia merupakan salah satu negara dengan peningkatan jumlah penderita diabetes melitus yang signifikan. Prevalensi penyakit v

description

LAPORAN KASUS ENDOKRIN

Transcript of LAPSUS DM

Page 1: LAPSUS DM

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kasus

Saat ini, pembangunan bidang kesehatan di Indonesia mempunyai

masalah ganda. Selain masih tingginya kejadian penyakit infeksi, prevalensi

penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, kanker, diabetes melitus juga

mengalami peningkatan (Suyono,2007).

Berdasarkan data anamnesis dan analisis pasien di puskesmas Salaman

1 kabupaten Magelang, didapatkan diagnosis kerja diabetes melitus tipe 2

dengan hipertensi. Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang tidak

tergantung insulin. Pada diabetes melitus tipe 2, terdapat dua masalah yang

berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin.

Menurut WHO, Indonesia merupakan salah satu negara dengan

peningkatan jumlah penderita diabetes melitus yang signifikan. Prevalensi

penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan

jumlah kalori yang dikonsumsi, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya

jumlah populasi masyarakat usia lanjut (Gustaviani, 2006).

Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang

memadai mengenai diabetes melitus sehingga mampu berperan dalam

pelayanan kasus diabetes melitus yang mencakup upaya promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif.

v

Page 2: LAPSUS DM

1.2 Gambaran Epidemiologi Kasus

Diabetes melitus adalah salah satu di antara penyakit tidak menular

yang menjadi salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia.

Diabetes mellitus pada dasarnya dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe I dengan

nama lain Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan diabetes tipe II

dengan nama lain Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Dari

kedua jenis diabetes ini, menurut catatan WHO, diperkirakan lebih dari 50

persen pengidap diabetes tipe II tidak terdiagnosis. Mereka umumnya baru

terdiagnosis saat berobat untuk penyakit lain. Hal ini mengakibatkan

komplikasi diabetes serius yang antara lain ditandai hilangnya kesadaran,

tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan penglihatan sampai

kebutaan, kerusakan jaringan (gangren) sehingga harus diamputasi agar tidak

menjalar ke jaringan lain. (Suyono, 2007).

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di

Indonesia, kejadian diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 sampai 1,6%,

kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang 2,3%

dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di

daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, mungkin

angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang

yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi jika dilihat dari

segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan

bahwa prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi diabetes di Filipina juga

tinggi sekitar 8,4% sampai 12% (Suyono, 2007).

Menurut Suyono (2007), penelitian terakhir antara tahun 2001 dan

2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar

14,7%. Demikian juga di Makasar prevalensi diabetes melitus tipe 2 terakhir

tahun 2005 mencapai 12,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko

v

Page 3: LAPSUS DM

terkena diabetes melitus adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya

aktivitas fisik dan kurangnya konsumsi serat.

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus terutama disebabkan oleh

perubahan gaya hidup, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu

saat atau lebih tepatnya dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang

kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan tajam. Hal ini

sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, bahwa Indonesia akan

menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah penderita diabetes

sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025 (Suyono, 2007).

Peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 ini disebabkan oleh

faktor :

a. Faktor demografi

Jumlah penduduk meningkat.

Urbanisasi yang tak terkendali.

b. Gaya hidup yang kebarat-baratan

Kurangnya konsumsi sayur dan buah.

Restoran cepat saji.

Hidup santai / kurangnya aktivitas fisik.

v

Page 4: LAPSUS DM

BAB II

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT

2.1 Faktor Risiko

Menurut Gustaviani (2006), kelompok yang memiliki risiko tinggi

diabetes melitus adalah :

a. Riwayat diabetes melitus dalam garis keturunan.

Diabetes melitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen

penyebab diabetes melitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita

diabetes melitus.

b. Usia >40 tahun.

Pada umumnya manusia mengalami penurunan fungsi fisiologis

setelah usia 40 tahun. Penurunan ini yang akan berisiko pada penurunan

fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.

c. Obesitas

Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam sel target

insulin diseluruh tubuh, jadi membuat jumlah insulin yang tersedia kurang

efektif dalam meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa.

d. Stres.

Stres dapat meningkatkan proses metabolisme dan meningkatkan

kebutuhan energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang

berat ini dapat membuat pankreas menjadi lebih mudah rusak sehingga

berdampak pada penurunan insulin.

v

Page 5: LAPSUS DM

e. Orang yang mengalami perubahan pola / gaya hidup ke barat-baratan.

Perubahan gaya hidup yang terlihat dari pola makan. Pola makan yang

telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung cukup gizi dan

serat, ke pola makan ke barat-baratan dengan komposisi makanan yang terlalu

banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan hanya mengandung

sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terdapat pada makanan siap saji

yang akhir-akhir ini sangat digemari masyarakat. Di samping itu, cara hidup

yang sangat sibuk dengan pekerjaan menyebabkan tidak adanya kesempatan

untuk berekreasi atau berolahraga. Pola hidup berisiko seperti inilah yang

menyebabkan banyaknya kejadian penyakit diabetes melitus.

2.2 Patogenesis

Menurut Suyono (2007), Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) adalah

diabetes melitus tidak tergantung insulin (DMTTI)/ non-insuline dependent

diabetes mellitus. Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai diabetes tipe dewasa,

penyakit ini sering dikaitkan dengan obesitas. Pada tipe ini, kelainan awal

terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan

disfungsi sel Beta pankreas (defek pada fase pertama sekresi insulin).

Kelainan pada jaringan perifer berupa :

Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, namun terdapat

keterlambatan sekresi insulin fase-1 (fase cepat), sehingga glukosa sudah

diabsorpsi masuk darah tetapi jumlah insulin yang efektif belum memadai

Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000). Hanya

20.000 pada obesitas jumlah reseptor.

Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek,

sehingga kerja insulin tidak efektif (insulin binding, atau sensitivitas

insulin terganggu).

v

Page 6: LAPSUS DM

Diabetes Melitus tipe 2 sering dikaitkan dengan peningkatan

konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya

kompensasi sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan

terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai

resistensi insulin. Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan

penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan

merangsang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton &

Hall, 2008).

Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa

dimulai dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Tetapi, mekanisme

yang menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin masih belum pasti.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot

rangka, hati, dan jaringan adipose pada orang obese lebih sedikit daripada

jumlah reseptor pada orang yang kurus. Namun kebanyakan resistensi insulin

agaknya disebabkan kelainan jaras sinyal yang menghubungkan reseptor yang

teraktivasi dengan berbagai efek selular. Gangguan sinyal insulin agaknya

disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka dan

hati akibat kelebihan berat badan (Guyton & Hall, 2008).

Resistensi insulin yang berat dapat terjadi akibat keadaan yang didapat

atau keadaan genetik. Ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja

insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap

kerja insulin. Pada pasien DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan

insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya

jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap

insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya,

terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan

system transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu

kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya

v

Page 7: LAPSUS DM

jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan

euglikemia (Price & Wilson, 2006).

2.3 Komplikasi

Komplikasi metabolik diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2

kategori mayor :

1. Komplikasi metabolik akut

2. Komplikasi-komplikasi vascular jangka panjang

A. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan perubahan yang relatif akut

dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang sering terjadi

pada diabetes tipe 2 yaitu hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketokik

(HONK). Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif,

hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar

glukosa serum lebih besar dari 600mg/dL. Hiperglikemia menyebabkan

hipersmolaritas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi

tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka

mortalitas dapat tinggi hingga 50% (Price & Wilson, 2006).

B. Komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang

Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan

pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang

dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes

yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetic), glomerulus

ginjal (nefropati diabetic), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetic).

v

Page 8: LAPSUS DM

Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan

penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran

dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia dapat menyebabkan

bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membrane dasar. Penggunaan

glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Manifestasi klinis dari

mikroangiopati akan muncul setelah 15-20 tahun sesudah awitan diabetes

(Price & Wilson, 2006).

Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa

aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh

insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini.

Gangguan-gangguan ini berupa :

a. Penimbunan sorbitol dalam intima vaskular

b. Hiperlipoproteinemia

c. Kelainan pembekuan darah

Pada akhirnya, makroangiopati diabetic ini akan menyebabkan

oenyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat

mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio

intermiten dan gangrene pada ekstremitas serta insufisiesi serebral dan stroke.

Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat

mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price & Wilson, 2006).

Pasien dengan berat badan berlebih dan menderita obesitas pada

diabetes tipe 2 memiliki risiko yang tinggi untuk menderita penyakit

kardiovaskular, stroke, dan dapat berlanjut menjadi kematian (Cederholm.J.,

2009).

2.4 Prognosis

v

Page 9: LAPSUS DM

Baik jika kadar gula darah terkontrol, pengaturan diet sehari-hari

seimbang, obat diminum teratur sesui anjuran, dan ada kegiatan jasmani yang

teratur.

2.5 Tindakan Pencegahan

Pada penyakit diabetes melitus usaha pencegahan terdiri dari :

a. Pencegahan primer : mencegah agar tidak timbul penyakit

diabetes melitus.

b. Pencegahan sekunder : mencegah terjadinya komplikasi walaupun

sudah terjadi penyakit.

c. Pencegahan tersier : mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih

lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi.

Selain itu dapat dilakukan pencegahan melalui pendekatan pada

penduduk yang bertujuan untuk mengubah dan memperbaiki gaya hidup

dengan menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko.

Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk

mencegah penyakit lain. Pada individu yang berisiko tinggi menderita

diabetes melitus juga harus dilakukan pendekatan. Pada golongan ini termasuk

individu yang berumur >40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga

diabetes melitus, riwayat diabetes melitus pada saat kehamilan, dislipidemia

(Suyono,2007).

a. Pencegahan primer.

Menurut Waspadji (2007), Pencegahan primer berarti mencegah

terjadinya diabetes melitus. Untuk dapat melaksanakan usaha pencegahan

v

Page 10: LAPSUS DM

primer harus diketahui faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit

diabetes melitus. Faktor tersebut adalah :

Faktor keturunan

Faktor kegiatan jasmani yang kurang

Faktor kegemukan

Faktor makanan

Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi

faktor lingkungan (kegemukan, kegiatan jasmani, makanan) merupakan faktor

yang dapat diubah dan diperbaiki.

Menurut Waspadji (2007), tindakan yang dapat dilakukan sebagai

usaha pencegahan primer diabetes melitus adalah penyuluhan mengenai

pentingnya pengaturan gaya hidup sehat yang berupa :

a. Pengaturan pola makan dengan tetap mempertahankan pola makan

masyarakat yang masih tradisional dan tidak membudayakan pola

makan cepat saji yang tinggi lemak. Pola makan tradisional adalah

pola makan empat sehat lima sempurna.

b. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis.

c. Melakukan kegiatan yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan

berkebun sekalipun dalam lingkup kecil namun dapat bermanfaat

sebagai sarana olahraga fisik.

d. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat

Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi

sasaran adalah orang yang belum sakit atau masih sehat. Yang bertanggung

jawab bukan hanya tenaga medis tetapi seluruh masyarakat termasuk

pemerintah (Suyono,2007).

v

Page 11: LAPSUS DM

b. Pencegahan sekunder

Menurut waspadji (2007), Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan

usaha mendeteksi dini penderita diabetes melitus. Oleh karena itu, dianjurkan

untuk individu yang mempunyai risiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan

penyaring glukosa darah. Jika diagnosis diabetes melitus sudah dapat

ditegakkan dilanjutkan dengan pengelolaan yang baik dengan obat-obatan dan

edukasi guna mencegah komplikasi lebih lanjut.

Pengelolaan dilakukan oleh dokter dan para petugas kesehatan.

Walaupun demikian, hasil pengelolaan yang baik akan dapat dicapai dengan

peran aktif penderita diabetes melitus (Suyono,2007).

Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat

seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan

peningkatan pelayanan kesehatan di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Selain

itu juga dipelukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang

berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi

(Suyono,2007).

c. Pencegahan tersier

Menurut Suyono (2007), Pencegahan tersier merupakan upaya

mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkan diabetes melitus.

Upaya ini terdiri dari 3 tahap, yaitu :

Pencegahan komplikasi diabetes melitus yang termasuk pada

pencegahan sekunder.

Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak menjurus pada

penyakit organ.

Mencegah terjadinya kecacatan yang disebabkan oleh karena

kegagalan organ atau jaringan.

v

Page 12: LAPSUS DM

Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan

dokter. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan penyuluhan untuk meningkatkan

motivasi pasien guna mengendalikan diabetesnya

BAB III

PEMBAHASAN HOME VISIT

2.1 Interpretasi hasil anamnesis

v

Page 13: LAPSUS DM

Dari hasil anamnesis dapat ditemukan data pasien beserta gejala-gejala

dan riwayat yang terdapat pada pasien, antara lain:

1. Identitas Pasien

Alamat pasien dipergunakan untuk mengetahui apakah pasien tinggal

di daerah endemik atau tidak.

Umur pasien dipergunakan untuk mengetahui apakah pasien termasuk

dalam seseorang yang beresiko terkena penyakit tersebut.

Pekerjaan pasien dipergunakan untuk mengetahui apakah pasien

memiliki faktor resiko berdasarkan pekerjaannya sehari-hari.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien tidak memiliki keluhan pada hari itu, tetapi pasien biasanya

merasakan badannya lemas.

Menurut Suyono (2007), sumber energi utama tubuh adalah

glukosa. Tubuh merasa lemas ketika sel-sel yang ada di dalam tubuh

tidak dapat mempergunakan glukosa yang seharusnya digunakan. Hal

ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya insulin, sehingga glukosa

tidak dapat di transportasikan ke dalam sel.

Pasien mengaku jika badannya terasa lemas maka pasien akan makan

nasi dan kentang sehingga badannya terasa segar kembali, tetapi

walaupun begitu pasien tetap mengalami penurunan berat badan.

Karena terjadinya defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan

akan meningkat sehingga timul keadaan yang biasa disebut polifagia.

Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan masukan makanan namun

berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin

pada metabolisme lemak dan protein. Sintesis trigliserida menurun

v

Page 14: LAPSUS DM

saat lipolisis meningkat, sehingga terjadi mobilisasi esar-esaran asam

lemak dari trigliserida (Guyton & Hall, 2008).

Penurunan berat badan juga terjadi karena adanya keadaan

defisiensi insulin. Insulin memiliki fungsi terhadap lemak di dalam

tuuh, jika insulin di dalam tubuh berkurang maka tidak akan ada

transpor glukosa ke dalam sel jaringan adiposa, tidak teraktivasinya

enzim yang mengkatalisasi pembentukan asam lemak, tidak masuknya

asam lemak dari darah ke dalam sel adiposa, dan terjadi lipolisis

secara terus menerus karena insulin berperan sebagai penghambat

lipolisis. Keadaan-keadaan tersebut akan mengakibatkan terjadinya

penurunan berat badan dan badan pasien menjadi semakin kurus

(Maclean, 2008).

Pasien mengaku sering terbangun di malam hari 3-4 kali untuk buang

air kecil.

Glukosa di absorbsi mengikuti proses Na+ dengan kecepatan

maksimal 320mg/ml. Jika konsentrasi glukosa plasma normal maka

seluruh glukosa dalam filtrat terabsorsi. Jika konsentrasi meningkat

maka jumlah glukosa dalam filtrat meningkat dan jika melebihi

kemampuan tubulus proksimal maka akan dibuang melalui urin

(glukosuria). Glukosa di urin menimbulkan efek osmotik yang

menarik H2O yang akan menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai

dengan poliuria (Chandra Kurniawan, 2006).

Pasien mengaku sering merasa haus dan terbiasa minum air putih 3

gelas besar perhari.

Keadaan glukosuria maka akan menimbulkan diuresis osmotik

yang ditandai dengan poliuria. Poliuria akan menyebabkan dehidrasi,

v

Page 15: LAPSUS DM

maka dari itu pasien akan mengalami polidipsia (rasa haus berlebihan)

yang merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi

tersebut (Lorenzo C, 2009).

Pasien mengaku kakinya sering terasa kebal dan kesemutan

Saat kadar glukosa darah tinggi dalam jangka waktu yang

lama, pembuluh darah di berbagai jaringan di seluruh tubuh mulai

mengalami gangguan fungsi dan perubahan struktur yang berakibat

ketidakcukupan suplai darah ke jaringan. Akibatnya adalah kerusakan

pada banyak jaringan, contoh kerusakan jaringan yaitu neuropati

perifer yang berakibat pada penurunan sensasi di ekstremitas.

Sehingga pada pasien diabetes sering merasakan rasa kebal dan

kesemutan pada kaki (Guyton & Hall, 2008).

Pasien tidak mengeluhkan matanya terasa kabur.

Menurut Suyono (2007), pada keadaan diabetes melitus dapat

ditemukan salah satu manifestasi klinis retinopati diabetik. Hal ini

dikarenakan rusaknya pembuluh darah yang memberi makan retina.

Bentuk kerusakannya bisa saja bocor dan mengeluarkan cairan

sehingga retina menjadi bengkak atau timbul endapan lemak yang

disebut eksudat.

Retina sendiri merupakan bagian mata tempat dimana cahaya

difokuskan. Cahaya yang difokuskan akan membentuk bayangan yang

berada di bawah otot ke saraf optik. Jika pemuluh mata mengalami

kebocoran atau kerusakan maka pasien akan mengalami kekaburan

pada penglihatannya.

Pasien mengaku tidak pernah merasa kesulitan sembuh jika

mengalami luka.

v

Page 16: LAPSUS DM

Pasien mengaku lutut kanannya terasa nyeri karena terpeleset beberapa

hari yang lalu.

Hal ini tidak ada berhubungan dengan gejala lain yang di

keluhkan oleh pasien, dan juga tidak berhubungan dengan penyakit

pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami kecelakaan pada tahun 1970 sehingga

mengakibatkan tangan sebelah kanannya retak, dan kaki sebelah

kanannya patah. Hal ini tidak berhubungan dengan penyakit yang

diderita oleh pasien.

Pasien mengeluhkan sering merasa lemas, lalu memeriksakan diri ke

puskesmas dan dari hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan

bahwa pasien positif diabetes melitus pada tahun 1997.

Telah kita ketahui bahwa diabetes melitus merupakan penyakit

yang tidak dapat disembuhkan. Hal yang dapat dilakukan adalah

mengubah pola hidup menjadi pola hidup sehat, dengan mengurangi

konsumsi gula, makan-makanan berserat, dan perbanyak olahraga.

Selain itu pengobatan juga harus dilakukan secara rutin

(Suyono,2007).

Pasien pernah memeriksakan kadar kolesterol sekitar 6 bulan yang

lalu. Hasil yang didapatkan adalah normal hampir meningkat.

Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum

terjadi pada keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik. Keadaan

ini terjadi akibat gangguan lipoprotein yang sering disebut lipid triad,

meliputi : peningkatan LDL, penurunan HDL dan terbentuknya small

dense LDL yang bersifat aterogenik (Suyono,2007).

v

Page 17: LAPSUS DM

Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi.

Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi

insulin, sedangkan pada tipe 1 hipertensi dapat terjadi jika sudah

ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan

mikroalbuminuria. Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi

endotel dan meningkatkan resiko penyakit jantung koroner

(Suyono,2007).

Beberapa tahun yang lalu pasien pernah melakukan rontgen paru

karena sering mengeluh batuk-batuk. Hasil pemeriksaan rontgen

menunjukan bahwa pasien terkena penyakit bronkitis.

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus pada orang tua tidak

diketahui.

Hal ini penting ditanyakan, karena kedua penyakit di atas

merupakan penyakit yang juga bersifat genetik. Seorang anak

memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk menderita suatu

penyakit jika salah satu dari kedua orang tuanya menderita penyakit

tersebut dibandingkan dengan anak yang kedua orang tuanya tidak

menderita penyakit tersebut.

Adik pasien menderita diabetes melitus.

Sama halnya dengan penjelasan diatas. Hal ini perlu

ditanyakan untuk mengetahui apakah ada keluarga lain yang menderita

penyakit serupa untuk lebih meyakinkan apakah penyakit ini

merupakan warisan dari kedua orang tuanya atau penyakit ini

merupakan penyakit didapat.

Pasien menduga anaknya menderita hipertensi.

v

Page 18: LAPSUS DM

Hal ini baru dugaan pasien saja, karna pasien tidak tahu pasti

apakah anaknya benar menderita hipertensi atau tidak.

4. Riwayat lingkungan/ Kebiasaan

Pasien setiap pagi berolahraga jalan santai mengelilingi desa.

Pengelolaan pasien penderita diabetes melitus berdasarkan 4 pilar dan

salah satunya merupakan latihan jasmani. Aktivitas minimal otot

skeletal lebih dari yang sekedar diperlukan untuk ventilasi basal paru.

Anjuran untuk melakukan latihan jasmani di anjurkan oleh

seorang dokter dinasti di Cina beberapa abad yang lalu. Kesimpulan

sementara yang dapat diambil adalah latihan jasmani dapat

mengurangi resiko kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup

(Suyono,2007).

Terbiasa mengkonsumsi nasi, kentang, sayuran, roti, dan buah-buahan.

Pada pasien penderita diabetes melitus memang di anjurkan untuk

mengelola pola makannya dengan baik. Sebagai sumber energi

karbohidrat yang diberikan kepada diabetisi tidak boleh melebihi dari

55-65% dari total kebutuhan energi perhari atau tidak boleh lebih dari

70% jika dikombinasikan dengan asam lemak tidak jenuh rantai

tunggal (Suyono,2007).

Pasien tidak suka makan semangka dan melon karena menurut pasien

hal itu dapat meningkatkan tekanan darah.

Keluarga melon merupakan buah-buahan yang kaya akan

mineral dan sangat ampuh untuk menurunkan tekanan darah.

Semangka mengandung kalium yang cukup tinggi sehingga dapat

menormalkan tekanan darah. Pada pasien dengan kencing manis di

anjurkan untuk memotong kulit buah semangka (30gr) lalu rebus

v

Page 19: LAPSUS DM

dengan 3 gelas air sampai tersisa segelas lau minum. Lakukan 2-3x

perhari (Wansink & Brian, 2011).

Terkadang mengkonsumsi sate kambing dan daging

Menurut penelitian Prof. Dr Harun Rasiy Luis dari Universitas

Sumatera Utara dan Prof. Oedi Darmojo dari Uniersitas Diponegoro

menunjukan bahwa daging kambing bukanlah menjadi penyebab

timbulnya tekanan darah tinggi atau hipertensi karena kolesterol

tinggi. Yang perlu kita perhatikan ketika mengkonsumsi jenis sate ini

adalah kadar lemak yang tinggi.

Jika sate kambing yang dikonsumsi merupakan sate kambing

yang berlemak maka seringkali akan meningkatkan kadar kolesterol

darah. Hal ini juga berlangsung sama ketika pasien mengkonsumsi

sate daging sapi. Jika seseorang mengkonsumsi daging sapi yang

berlemak maka dapat meingkatkan kadar kolesterol darah.

Pasien dulu merokok namun sudah lama sekali berhenti.

Walaupun telah berhenti merokok hal ini tetap menandakan bahwa

pasien memilliki faktor resiko terhadap kardiovaskular dan paru-paru.

2.2 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tidak tampak kesakitan, sadar penuh.

Pada saat dilakukan pemeriksaan pasien tidak terlihat

kesakitan, bahkan saat dilakukan pemeriksaan pasien tidak memiliki

keluhan sama sekali.

Tekanan Darah : 170/90 mmHg

v

Page 20: LAPSUS DM

Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7

Kategori Sistol(mmHg) Dan/atau Diastole

(mmHg)

Normal <120 Dan <80

Pre

hipertensi

120-139 Atau 80-89

Hipertensi

tahap 1

140-159 Atau 90-99

Hipertensi

tahap 2

>samadengan

160

Atau >samadengan

100

Pada saat pemeriksaan didapatkan tekanan darah sistol 170

mmHg dan tekanan darah diastole 90 mmHg. Hal tersebut

menunjukan bahwa pasien masuk kedalam kategori hipertensi tahap 2.

Nadi : 80x/ menit

Pada orang dewasa denyut nadi normal berkisar antara 60-

100x/menit. Denyut nadi <60x/menit diseut bradikardia sedangkan

jika >100x/menit disebut takikardia. Hasil pemeriksaan pada pasien

adalah normal karena denyut nadi sebanyak 80x/menit.

Respirasi 20x/menit

Pada orang dewasa frekuensi nafas normal berkisar antara 16-

24x/menit. Frekuensi nafas <14x/menit disebut bradipneu sedangkan

jika >24x/menit maka diseut takipneu. Pemeriksaan frekuensi nafas

pada pasien menunjukan hasil yang normal seanyak 20x/menit.

v

Page 21: LAPSUS DM

Suhu : 37ºC

Suhu axila rata-rata dewasa normal adalah 36.5-37,2ºC. Pada

saat dilakukan pemeriksaan ditemukan suhuh tubuh pasien normal.

Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Pada pemeriksaan kepala, apabila didapatkan hasil konjungtiva

anemis (+) menunjukan adanya tanda-tanda anemia. Sedangkan hasil

sklera ikterik (+) menunjukan adanya ikterus. Hasil pemeriksaan pada

pasien menunjukan tidak adanya tanda kedua penyakit tersebut.

Leher : keluhan menelan (-), faring hiperemis (-), pemesaran tonsil (-)

Pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya tanda-tanda radang

tenggorokan.

Thorak

Inspeksi : Sikatrik (-), tanda inflamasi (-), Eritema (-), Retraksi

dinding dada (-).

Palpasi : Nyeri tekan (-), ketinggalan gerak (-), fremitus paru

kanan=paru kiri.

Perkusi : batas jantung normal, paru-paru normal

Auskultasi : S1 dan S2 murni, reguler, bising jantung (-)

Pada pemeriksaan inspeksi dinding dada tidak didapatkan

sikatriks dan tanda inflamasi. Hal ini menunjukan tidak ada kelainan

pada kulit dinding dada. Untuk retraksi dinding dada dan kelainan

bentuk dinding dada juga tidak ditemukan.

Pada palpasi tidak ditemukan adanya kelainan, tidak ditemukan

adanya ketinggalan gerak pada paru kanan dan kiri, simetrisnya

fremitus paru kanan dan paru kiri. Sedangkan pada perkusi atas

v

Page 22: LAPSUS DM

jantung dan paru ditemukan normal dan pada auskultasi juga tidak ada

ditemukan bruit.

Adomen

Inspeksi : Sikatriks (-), tanda inflamasi (-). Dinding adomen

sedikit lebih tinggi dari dinding dada.

Auskultasi : Peristaltik usus 20x/menit. Tidak ditemukan bruit

pada aorta adominal, arteri iliaca, dan arteri renalis.

Perkusi : Suara timpani pada seluruh kuadran

Palpasi : massa (-), deformitas (-), nyeri tekan (-), tidak ada

peresaran pada lien dan hepar. Tes undulasi (-)

Hasil inspeksi adomen tidak ada sikatrik dan tanda inflamasi.

Hal ini menunjukan bahwa tidak ada kelainan pada kulit perut pasien.

Dinding perut sedikit lebih tinggi dari dinding dada karena pasien

sedikit gemuk, setelah dilakukan tes undulasi hasilnya (-).

Pada auskultasi didapatkan hasil peristaltik yang normal

sebanyak 20x/menit. Nilai normal peristaltik usus adalah 5-35x/menit.

Pada perkusi didapatkan hasil yang normal yaitu timpani di seluruh

lapang kuadran, dan tidak ditemukan adanya pembesaran hepar

maupun lien. Untuk palpasi tidak ditemukan adanya nyeri tekan,

massa, dan nyeri deformitas.

Ekstermitas : tidak teraba dingin, kuku tidak pucat, tidak ada

bekas memar

Px Fisik tam : Refleks telapak kaki

v

Page 23: LAPSUS DM

Ketika telapak kaki pasien diperiksa dengan menggelitikkan

pulpen pada kakinya pasien masih merasa kegelian. Hal ini

menunjukan tidak ada kelainan saraf pada kaki pasien.

2.5 Alasan dan Tujuan Pemilihan terapi

Farmakologis

Ada anyak golongan obat yang dapat diberikan kepada pasien

dengan penyakit diabetes melitus. Untuk pasien ini dapat diberikan

golongan sekretagok insulin (sulfonil urea). Sulfonil urea telah

digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak awal tahun 1950 an.

Mekanisme kerja oat ini adalah dengan merangsang channel K yang

tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea

berikatan dengan reseptor channel tersebut maka akan terjadi

penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan permeabilitas

K pada membran sel beta,terjadi depolarisasi membran dan

menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada

Calmodulin dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung

insulin (Suyono,2007).

Golongan obat ini berkerja dengan merangsang sel beta

pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Contoh obat

golongan ini adalah Glibenklamid diminum sehari sekali dengan dosis

harian sebanyak 2,5-15 mg.

Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai tekanan darah

<130/80mmHg dengan ACE Inhibitor. Contoh dari ACE inhibitor

adalah kaptopril yang dapat diberikan dengan dosis 12,5-25 mg sehari

3 kali (Suyono,2007).

v

Page 24: LAPSUS DM

Untuk pemeliharaan saraf pasien dapat diberikan vitamin B

karena menurut penelitian tentang vitamin ini memiliki efek anti

neuritis yang mana dapat membantu memulihkan keadaan neuritis

tertentu. Vitamin yang diberikan biasanya vitamin B complex (Bella,

2005).

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

v

Page 25: LAPSUS DM

a. Diabetes melitus adalah salah satu di antara penyakit tidak menular

yang menjadi salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia.

b. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya

hidup, kenaikan jumlah kalori yang dikonsumsi, kurangnya aktifitas

fisik dan meningkatnya jumlah populasi masyarakat usia lanjut.

c. Untuk mengurangi angka kejadian diabetes melitus harus dilakukan

upaya pencegahan primer, sekunder dan tersier.

4.2 Saran

a. Kepada masyarakat khususnya penderita DM, agar selalu melakukan

pemeriksaan atau kontrol tekanan darah, dan kadar kolesterol total 

secara rutin serta menjaganya pada kondisi yang normal.

b. Berolahraga setiap pagi, makan makanan yang bergizi rendah

karbohidrat dan lemak namun tinggi protein, vitamin dan mineral. Per

banyak makan sayuran dan makanan berserat tinggi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bella A.C., 2005. Ikhtisar Ringkas Vitamin dan Hormon penting. Jakarta : Penerbit

Djambatan.

v

Page 26: LAPSUS DM

Cederholm.J., 2009. Risk of cardiovascular disease and mortality in overweight

and obese patients with type 2 diabetes: an observational study in

13,087 patients, Diabetologia 52:65–73

Guyton, Arthur.C., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Gustaviani R., 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo

A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III. Edisi keempat, Jakarta : Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Kurniawan, Chandra. 2006. Sinopsis Fisiologi. Yogyakarta : Pidi Publisher.

Lorenzo C. Risk of type 2 diabetes among individuals with high and low glomerular

filtration rates. Diabetologia 2009 52:1290–1297

Maclean P.C., Littenberg B., Association of angiotensin-converting enzyme inhibitor

therapy and comorbidity ini diabetes : results from the Vermont

diabetes information system. Diabetalogia. 2008 8:17.

McPhee S.J., Ganong W.F., 2006. Pathophysiology of Disease : An Introduction to

Clinical Medicine (5thed). Pendit, B.U. 2007 (Alih Bahasa), EGC,

Jakarta.

Price S., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 6. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

v

Page 27: LAPSUS DM

Soegondo.S., Soewondo.P., Waspadji.S., 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Suyono S., 2007. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo A.W., Setiyohadi

B., Alwi I., Simadibrata K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

III. Edisi keempat, Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wansink, Brian. 2011. Semangka Kaya Khasiat. http//:www.conectique.com

v