LAPSUS DM
-
Upload
hanifahrafa -
Category
Documents
-
view
92 -
download
0
description
Transcript of LAPSUS DM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kasus
Saat ini, pembangunan bidang kesehatan di Indonesia mempunyai
masalah ganda. Selain masih tingginya kejadian penyakit infeksi, prevalensi
penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, kanker, diabetes melitus juga
mengalami peningkatan (Suyono,2007).
Berdasarkan data anamnesis dan analisis pasien di puskesmas Salaman
1 kabupaten Magelang, didapatkan diagnosis kerja diabetes melitus tipe 2
dengan hipertensi. Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang tidak
tergantung insulin. Pada diabetes melitus tipe 2, terdapat dua masalah yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin.
Menurut WHO, Indonesia merupakan salah satu negara dengan
peningkatan jumlah penderita diabetes melitus yang signifikan. Prevalensi
penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan
jumlah kalori yang dikonsumsi, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya
jumlah populasi masyarakat usia lanjut (Gustaviani, 2006).
Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang
memadai mengenai diabetes melitus sehingga mampu berperan dalam
pelayanan kasus diabetes melitus yang mencakup upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.
v
1.2 Gambaran Epidemiologi Kasus
Diabetes melitus adalah salah satu di antara penyakit tidak menular
yang menjadi salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia.
Diabetes mellitus pada dasarnya dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe I dengan
nama lain Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan diabetes tipe II
dengan nama lain Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Dari
kedua jenis diabetes ini, menurut catatan WHO, diperkirakan lebih dari 50
persen pengidap diabetes tipe II tidak terdiagnosis. Mereka umumnya baru
terdiagnosis saat berobat untuk penyakit lain. Hal ini mengakibatkan
komplikasi diabetes serius yang antara lain ditandai hilangnya kesadaran,
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan penglihatan sampai
kebutaan, kerusakan jaringan (gangren) sehingga harus diamputasi agar tidak
menjalar ke jaringan lain. (Suyono, 2007).
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di
Indonesia, kejadian diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 sampai 1,6%,
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang 2,3%
dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di
daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, mungkin
angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang
yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi jika dilihat dari
segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan
bahwa prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi diabetes di Filipina juga
tinggi sekitar 8,4% sampai 12% (Suyono, 2007).
Menurut Suyono (2007), penelitian terakhir antara tahun 2001 dan
2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar
14,7%. Demikian juga di Makasar prevalensi diabetes melitus tipe 2 terakhir
tahun 2005 mencapai 12,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko
v
terkena diabetes melitus adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan kurangnya konsumsi serat.
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus terutama disebabkan oleh
perubahan gaya hidup, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu
saat atau lebih tepatnya dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang
kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan tajam. Hal ini
sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, bahwa Indonesia akan
menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah penderita diabetes
sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025 (Suyono, 2007).
Peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 ini disebabkan oleh
faktor :
a. Faktor demografi
Jumlah penduduk meningkat.
Urbanisasi yang tak terkendali.
b. Gaya hidup yang kebarat-baratan
Kurangnya konsumsi sayur dan buah.
Restoran cepat saji.
Hidup santai / kurangnya aktivitas fisik.
v
BAB II
PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT
2.1 Faktor Risiko
Menurut Gustaviani (2006), kelompok yang memiliki risiko tinggi
diabetes melitus adalah :
a. Riwayat diabetes melitus dalam garis keturunan.
Diabetes melitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen
penyebab diabetes melitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita
diabetes melitus.
b. Usia >40 tahun.
Pada umumnya manusia mengalami penurunan fungsi fisiologis
setelah usia 40 tahun. Penurunan ini yang akan berisiko pada penurunan
fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.
c. Obesitas
Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam sel target
insulin diseluruh tubuh, jadi membuat jumlah insulin yang tersedia kurang
efektif dalam meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa.
d. Stres.
Stres dapat meningkatkan proses metabolisme dan meningkatkan
kebutuhan energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang
berat ini dapat membuat pankreas menjadi lebih mudah rusak sehingga
berdampak pada penurunan insulin.
v
e. Orang yang mengalami perubahan pola / gaya hidup ke barat-baratan.
Perubahan gaya hidup yang terlihat dari pola makan. Pola makan yang
telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung cukup gizi dan
serat, ke pola makan ke barat-baratan dengan komposisi makanan yang terlalu
banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan hanya mengandung
sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terdapat pada makanan siap saji
yang akhir-akhir ini sangat digemari masyarakat. Di samping itu, cara hidup
yang sangat sibuk dengan pekerjaan menyebabkan tidak adanya kesempatan
untuk berekreasi atau berolahraga. Pola hidup berisiko seperti inilah yang
menyebabkan banyaknya kejadian penyakit diabetes melitus.
2.2 Patogenesis
Menurut Suyono (2007), Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) adalah
diabetes melitus tidak tergantung insulin (DMTTI)/ non-insuline dependent
diabetes mellitus. Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai diabetes tipe dewasa,
penyakit ini sering dikaitkan dengan obesitas. Pada tipe ini, kelainan awal
terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan
disfungsi sel Beta pankreas (defek pada fase pertama sekresi insulin).
Kelainan pada jaringan perifer berupa :
Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, namun terdapat
keterlambatan sekresi insulin fase-1 (fase cepat), sehingga glukosa sudah
diabsorpsi masuk darah tetapi jumlah insulin yang efektif belum memadai
Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000). Hanya
20.000 pada obesitas jumlah reseptor.
Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek,
sehingga kerja insulin tidak efektif (insulin binding, atau sensitivitas
insulin terganggu).
v
Diabetes Melitus tipe 2 sering dikaitkan dengan peningkatan
konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya
kompensasi sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan
terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai
resistensi insulin. Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan
penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan
merangsang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton &
Hall, 2008).
Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa
dimulai dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Tetapi, mekanisme
yang menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin masih belum pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot
rangka, hati, dan jaringan adipose pada orang obese lebih sedikit daripada
jumlah reseptor pada orang yang kurus. Namun kebanyakan resistensi insulin
agaknya disebabkan kelainan jaras sinyal yang menghubungkan reseptor yang
teraktivasi dengan berbagai efek selular. Gangguan sinyal insulin agaknya
disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka dan
hati akibat kelebihan berat badan (Guyton & Hall, 2008).
Resistensi insulin yang berat dapat terjadi akibat keadaan yang didapat
atau keadaan genetik. Ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap
kerja insulin. Pada pasien DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan
insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya
jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap
insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya,
terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan
system transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu
kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya
v
jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan
euglikemia (Price & Wilson, 2006).
2.3 Komplikasi
Komplikasi metabolik diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2
kategori mayor :
1. Komplikasi metabolik akut
2. Komplikasi-komplikasi vascular jangka panjang
A. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan perubahan yang relatif akut
dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang sering terjadi
pada diabetes tipe 2 yaitu hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketokik
(HONK). Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif,
hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar
glukosa serum lebih besar dari 600mg/dL. Hiperglikemia menyebabkan
hipersmolaritas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi
tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka
mortalitas dapat tinggi hingga 50% (Price & Wilson, 2006).
B. Komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang
dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes
yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetic), glomerulus
ginjal (nefropati diabetic), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetic).
v
Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan
penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran
dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia dapat menyebabkan
bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membrane dasar. Penggunaan
glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Manifestasi klinis dari
mikroangiopati akan muncul setelah 15-20 tahun sesudah awitan diabetes
(Price & Wilson, 2006).
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa
aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh
insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini.
Gangguan-gangguan ini berupa :
a. Penimbunan sorbitol dalam intima vaskular
b. Hiperlipoproteinemia
c. Kelainan pembekuan darah
Pada akhirnya, makroangiopati diabetic ini akan menyebabkan
oenyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat
mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio
intermiten dan gangrene pada ekstremitas serta insufisiesi serebral dan stroke.
Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat
mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price & Wilson, 2006).
Pasien dengan berat badan berlebih dan menderita obesitas pada
diabetes tipe 2 memiliki risiko yang tinggi untuk menderita penyakit
kardiovaskular, stroke, dan dapat berlanjut menjadi kematian (Cederholm.J.,
2009).
2.4 Prognosis
v
Baik jika kadar gula darah terkontrol, pengaturan diet sehari-hari
seimbang, obat diminum teratur sesui anjuran, dan ada kegiatan jasmani yang
teratur.
2.5 Tindakan Pencegahan
Pada penyakit diabetes melitus usaha pencegahan terdiri dari :
a. Pencegahan primer : mencegah agar tidak timbul penyakit
diabetes melitus.
b. Pencegahan sekunder : mencegah terjadinya komplikasi walaupun
sudah terjadi penyakit.
c. Pencegahan tersier : mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih
lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi.
Selain itu dapat dilakukan pencegahan melalui pendekatan pada
penduduk yang bertujuan untuk mengubah dan memperbaiki gaya hidup
dengan menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko.
Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk
mencegah penyakit lain. Pada individu yang berisiko tinggi menderita
diabetes melitus juga harus dilakukan pendekatan. Pada golongan ini termasuk
individu yang berumur >40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga
diabetes melitus, riwayat diabetes melitus pada saat kehamilan, dislipidemia
(Suyono,2007).
a. Pencegahan primer.
Menurut Waspadji (2007), Pencegahan primer berarti mencegah
terjadinya diabetes melitus. Untuk dapat melaksanakan usaha pencegahan
v
primer harus diketahui faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit
diabetes melitus. Faktor tersebut adalah :
Faktor keturunan
Faktor kegiatan jasmani yang kurang
Faktor kegemukan
Faktor makanan
Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi
faktor lingkungan (kegemukan, kegiatan jasmani, makanan) merupakan faktor
yang dapat diubah dan diperbaiki.
Menurut Waspadji (2007), tindakan yang dapat dilakukan sebagai
usaha pencegahan primer diabetes melitus adalah penyuluhan mengenai
pentingnya pengaturan gaya hidup sehat yang berupa :
a. Pengaturan pola makan dengan tetap mempertahankan pola makan
masyarakat yang masih tradisional dan tidak membudayakan pola
makan cepat saji yang tinggi lemak. Pola makan tradisional adalah
pola makan empat sehat lima sempurna.
b. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis.
c. Melakukan kegiatan yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan
berkebun sekalipun dalam lingkup kecil namun dapat bermanfaat
sebagai sarana olahraga fisik.
d. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat
Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi
sasaran adalah orang yang belum sakit atau masih sehat. Yang bertanggung
jawab bukan hanya tenaga medis tetapi seluruh masyarakat termasuk
pemerintah (Suyono,2007).
v
b. Pencegahan sekunder
Menurut waspadji (2007), Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan
usaha mendeteksi dini penderita diabetes melitus. Oleh karena itu, dianjurkan
untuk individu yang mempunyai risiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan
penyaring glukosa darah. Jika diagnosis diabetes melitus sudah dapat
ditegakkan dilanjutkan dengan pengelolaan yang baik dengan obat-obatan dan
edukasi guna mencegah komplikasi lebih lanjut.
Pengelolaan dilakukan oleh dokter dan para petugas kesehatan.
Walaupun demikian, hasil pengelolaan yang baik akan dapat dicapai dengan
peran aktif penderita diabetes melitus (Suyono,2007).
Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat
seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan
peningkatan pelayanan kesehatan di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Selain
itu juga dipelukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang
berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi
(Suyono,2007).
c. Pencegahan tersier
Menurut Suyono (2007), Pencegahan tersier merupakan upaya
mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkan diabetes melitus.
Upaya ini terdiri dari 3 tahap, yaitu :
Pencegahan komplikasi diabetes melitus yang termasuk pada
pencegahan sekunder.
Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak menjurus pada
penyakit organ.
Mencegah terjadinya kecacatan yang disebabkan oleh karena
kegagalan organ atau jaringan.
v
Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan
dokter. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan penyuluhan untuk meningkatkan
motivasi pasien guna mengendalikan diabetesnya
BAB III
PEMBAHASAN HOME VISIT
2.1 Interpretasi hasil anamnesis
v
Dari hasil anamnesis dapat ditemukan data pasien beserta gejala-gejala
dan riwayat yang terdapat pada pasien, antara lain:
1. Identitas Pasien
Alamat pasien dipergunakan untuk mengetahui apakah pasien tinggal
di daerah endemik atau tidak.
Umur pasien dipergunakan untuk mengetahui apakah pasien termasuk
dalam seseorang yang beresiko terkena penyakit tersebut.
Pekerjaan pasien dipergunakan untuk mengetahui apakah pasien
memiliki faktor resiko berdasarkan pekerjaannya sehari-hari.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien tidak memiliki keluhan pada hari itu, tetapi pasien biasanya
merasakan badannya lemas.
Menurut Suyono (2007), sumber energi utama tubuh adalah
glukosa. Tubuh merasa lemas ketika sel-sel yang ada di dalam tubuh
tidak dapat mempergunakan glukosa yang seharusnya digunakan. Hal
ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya insulin, sehingga glukosa
tidak dapat di transportasikan ke dalam sel.
Pasien mengaku jika badannya terasa lemas maka pasien akan makan
nasi dan kentang sehingga badannya terasa segar kembali, tetapi
walaupun begitu pasien tetap mengalami penurunan berat badan.
Karena terjadinya defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan
akan meningkat sehingga timul keadaan yang biasa disebut polifagia.
Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan masukan makanan namun
berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin
pada metabolisme lemak dan protein. Sintesis trigliserida menurun
v
saat lipolisis meningkat, sehingga terjadi mobilisasi esar-esaran asam
lemak dari trigliserida (Guyton & Hall, 2008).
Penurunan berat badan juga terjadi karena adanya keadaan
defisiensi insulin. Insulin memiliki fungsi terhadap lemak di dalam
tuuh, jika insulin di dalam tubuh berkurang maka tidak akan ada
transpor glukosa ke dalam sel jaringan adiposa, tidak teraktivasinya
enzim yang mengkatalisasi pembentukan asam lemak, tidak masuknya
asam lemak dari darah ke dalam sel adiposa, dan terjadi lipolisis
secara terus menerus karena insulin berperan sebagai penghambat
lipolisis. Keadaan-keadaan tersebut akan mengakibatkan terjadinya
penurunan berat badan dan badan pasien menjadi semakin kurus
(Maclean, 2008).
Pasien mengaku sering terbangun di malam hari 3-4 kali untuk buang
air kecil.
Glukosa di absorbsi mengikuti proses Na+ dengan kecepatan
maksimal 320mg/ml. Jika konsentrasi glukosa plasma normal maka
seluruh glukosa dalam filtrat terabsorsi. Jika konsentrasi meningkat
maka jumlah glukosa dalam filtrat meningkat dan jika melebihi
kemampuan tubulus proksimal maka akan dibuang melalui urin
(glukosuria). Glukosa di urin menimbulkan efek osmotik yang
menarik H2O yang akan menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
dengan poliuria (Chandra Kurniawan, 2006).
Pasien mengaku sering merasa haus dan terbiasa minum air putih 3
gelas besar perhari.
Keadaan glukosuria maka akan menimbulkan diuresis osmotik
yang ditandai dengan poliuria. Poliuria akan menyebabkan dehidrasi,
v
maka dari itu pasien akan mengalami polidipsia (rasa haus berlebihan)
yang merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi
tersebut (Lorenzo C, 2009).
Pasien mengaku kakinya sering terasa kebal dan kesemutan
Saat kadar glukosa darah tinggi dalam jangka waktu yang
lama, pembuluh darah di berbagai jaringan di seluruh tubuh mulai
mengalami gangguan fungsi dan perubahan struktur yang berakibat
ketidakcukupan suplai darah ke jaringan. Akibatnya adalah kerusakan
pada banyak jaringan, contoh kerusakan jaringan yaitu neuropati
perifer yang berakibat pada penurunan sensasi di ekstremitas.
Sehingga pada pasien diabetes sering merasakan rasa kebal dan
kesemutan pada kaki (Guyton & Hall, 2008).
Pasien tidak mengeluhkan matanya terasa kabur.
Menurut Suyono (2007), pada keadaan diabetes melitus dapat
ditemukan salah satu manifestasi klinis retinopati diabetik. Hal ini
dikarenakan rusaknya pembuluh darah yang memberi makan retina.
Bentuk kerusakannya bisa saja bocor dan mengeluarkan cairan
sehingga retina menjadi bengkak atau timbul endapan lemak yang
disebut eksudat.
Retina sendiri merupakan bagian mata tempat dimana cahaya
difokuskan. Cahaya yang difokuskan akan membentuk bayangan yang
berada di bawah otot ke saraf optik. Jika pemuluh mata mengalami
kebocoran atau kerusakan maka pasien akan mengalami kekaburan
pada penglihatannya.
Pasien mengaku tidak pernah merasa kesulitan sembuh jika
mengalami luka.
v
Pasien mengaku lutut kanannya terasa nyeri karena terpeleset beberapa
hari yang lalu.
Hal ini tidak ada berhubungan dengan gejala lain yang di
keluhkan oleh pasien, dan juga tidak berhubungan dengan penyakit
pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami kecelakaan pada tahun 1970 sehingga
mengakibatkan tangan sebelah kanannya retak, dan kaki sebelah
kanannya patah. Hal ini tidak berhubungan dengan penyakit yang
diderita oleh pasien.
Pasien mengeluhkan sering merasa lemas, lalu memeriksakan diri ke
puskesmas dan dari hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan
bahwa pasien positif diabetes melitus pada tahun 1997.
Telah kita ketahui bahwa diabetes melitus merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan. Hal yang dapat dilakukan adalah
mengubah pola hidup menjadi pola hidup sehat, dengan mengurangi
konsumsi gula, makan-makanan berserat, dan perbanyak olahraga.
Selain itu pengobatan juga harus dilakukan secara rutin
(Suyono,2007).
Pasien pernah memeriksakan kadar kolesterol sekitar 6 bulan yang
lalu. Hasil yang didapatkan adalah normal hampir meningkat.
Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum
terjadi pada keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik. Keadaan
ini terjadi akibat gangguan lipoprotein yang sering disebut lipid triad,
meliputi : peningkatan LDL, penurunan HDL dan terbentuknya small
dense LDL yang bersifat aterogenik (Suyono,2007).
v
Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi.
Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi
insulin, sedangkan pada tipe 1 hipertensi dapat terjadi jika sudah
ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan
mikroalbuminuria. Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi
endotel dan meningkatkan resiko penyakit jantung koroner
(Suyono,2007).
Beberapa tahun yang lalu pasien pernah melakukan rontgen paru
karena sering mengeluh batuk-batuk. Hasil pemeriksaan rontgen
menunjukan bahwa pasien terkena penyakit bronkitis.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus pada orang tua tidak
diketahui.
Hal ini penting ditanyakan, karena kedua penyakit di atas
merupakan penyakit yang juga bersifat genetik. Seorang anak
memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk menderita suatu
penyakit jika salah satu dari kedua orang tuanya menderita penyakit
tersebut dibandingkan dengan anak yang kedua orang tuanya tidak
menderita penyakit tersebut.
Adik pasien menderita diabetes melitus.
Sama halnya dengan penjelasan diatas. Hal ini perlu
ditanyakan untuk mengetahui apakah ada keluarga lain yang menderita
penyakit serupa untuk lebih meyakinkan apakah penyakit ini
merupakan warisan dari kedua orang tuanya atau penyakit ini
merupakan penyakit didapat.
Pasien menduga anaknya menderita hipertensi.
v
Hal ini baru dugaan pasien saja, karna pasien tidak tahu pasti
apakah anaknya benar menderita hipertensi atau tidak.
4. Riwayat lingkungan/ Kebiasaan
Pasien setiap pagi berolahraga jalan santai mengelilingi desa.
Pengelolaan pasien penderita diabetes melitus berdasarkan 4 pilar dan
salah satunya merupakan latihan jasmani. Aktivitas minimal otot
skeletal lebih dari yang sekedar diperlukan untuk ventilasi basal paru.
Anjuran untuk melakukan latihan jasmani di anjurkan oleh
seorang dokter dinasti di Cina beberapa abad yang lalu. Kesimpulan
sementara yang dapat diambil adalah latihan jasmani dapat
mengurangi resiko kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup
(Suyono,2007).
Terbiasa mengkonsumsi nasi, kentang, sayuran, roti, dan buah-buahan.
Pada pasien penderita diabetes melitus memang di anjurkan untuk
mengelola pola makannya dengan baik. Sebagai sumber energi
karbohidrat yang diberikan kepada diabetisi tidak boleh melebihi dari
55-65% dari total kebutuhan energi perhari atau tidak boleh lebih dari
70% jika dikombinasikan dengan asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (Suyono,2007).
Pasien tidak suka makan semangka dan melon karena menurut pasien
hal itu dapat meningkatkan tekanan darah.
Keluarga melon merupakan buah-buahan yang kaya akan
mineral dan sangat ampuh untuk menurunkan tekanan darah.
Semangka mengandung kalium yang cukup tinggi sehingga dapat
menormalkan tekanan darah. Pada pasien dengan kencing manis di
anjurkan untuk memotong kulit buah semangka (30gr) lalu rebus
v
dengan 3 gelas air sampai tersisa segelas lau minum. Lakukan 2-3x
perhari (Wansink & Brian, 2011).
Terkadang mengkonsumsi sate kambing dan daging
Menurut penelitian Prof. Dr Harun Rasiy Luis dari Universitas
Sumatera Utara dan Prof. Oedi Darmojo dari Uniersitas Diponegoro
menunjukan bahwa daging kambing bukanlah menjadi penyebab
timbulnya tekanan darah tinggi atau hipertensi karena kolesterol
tinggi. Yang perlu kita perhatikan ketika mengkonsumsi jenis sate ini
adalah kadar lemak yang tinggi.
Jika sate kambing yang dikonsumsi merupakan sate kambing
yang berlemak maka seringkali akan meningkatkan kadar kolesterol
darah. Hal ini juga berlangsung sama ketika pasien mengkonsumsi
sate daging sapi. Jika seseorang mengkonsumsi daging sapi yang
berlemak maka dapat meingkatkan kadar kolesterol darah.
Pasien dulu merokok namun sudah lama sekali berhenti.
Walaupun telah berhenti merokok hal ini tetap menandakan bahwa
pasien memilliki faktor resiko terhadap kardiovaskular dan paru-paru.
2.2 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tidak tampak kesakitan, sadar penuh.
Pada saat dilakukan pemeriksaan pasien tidak terlihat
kesakitan, bahkan saat dilakukan pemeriksaan pasien tidak memiliki
keluhan sama sekali.
Tekanan Darah : 170/90 mmHg
v
Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7
Kategori Sistol(mmHg) Dan/atau Diastole
(mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre
hipertensi
120-139 Atau 80-89
Hipertensi
tahap 1
140-159 Atau 90-99
Hipertensi
tahap 2
>samadengan
160
Atau >samadengan
100
Pada saat pemeriksaan didapatkan tekanan darah sistol 170
mmHg dan tekanan darah diastole 90 mmHg. Hal tersebut
menunjukan bahwa pasien masuk kedalam kategori hipertensi tahap 2.
Nadi : 80x/ menit
Pada orang dewasa denyut nadi normal berkisar antara 60-
100x/menit. Denyut nadi <60x/menit diseut bradikardia sedangkan
jika >100x/menit disebut takikardia. Hasil pemeriksaan pada pasien
adalah normal karena denyut nadi sebanyak 80x/menit.
Respirasi 20x/menit
Pada orang dewasa frekuensi nafas normal berkisar antara 16-
24x/menit. Frekuensi nafas <14x/menit disebut bradipneu sedangkan
jika >24x/menit maka diseut takipneu. Pemeriksaan frekuensi nafas
pada pasien menunjukan hasil yang normal seanyak 20x/menit.
v
Suhu : 37ºC
Suhu axila rata-rata dewasa normal adalah 36.5-37,2ºC. Pada
saat dilakukan pemeriksaan ditemukan suhuh tubuh pasien normal.
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Pada pemeriksaan kepala, apabila didapatkan hasil konjungtiva
anemis (+) menunjukan adanya tanda-tanda anemia. Sedangkan hasil
sklera ikterik (+) menunjukan adanya ikterus. Hasil pemeriksaan pada
pasien menunjukan tidak adanya tanda kedua penyakit tersebut.
Leher : keluhan menelan (-), faring hiperemis (-), pemesaran tonsil (-)
Pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya tanda-tanda radang
tenggorokan.
Thorak
Inspeksi : Sikatrik (-), tanda inflamasi (-), Eritema (-), Retraksi
dinding dada (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), ketinggalan gerak (-), fremitus paru
kanan=paru kiri.
Perkusi : batas jantung normal, paru-paru normal
Auskultasi : S1 dan S2 murni, reguler, bising jantung (-)
Pada pemeriksaan inspeksi dinding dada tidak didapatkan
sikatriks dan tanda inflamasi. Hal ini menunjukan tidak ada kelainan
pada kulit dinding dada. Untuk retraksi dinding dada dan kelainan
bentuk dinding dada juga tidak ditemukan.
Pada palpasi tidak ditemukan adanya kelainan, tidak ditemukan
adanya ketinggalan gerak pada paru kanan dan kiri, simetrisnya
fremitus paru kanan dan paru kiri. Sedangkan pada perkusi atas
v
jantung dan paru ditemukan normal dan pada auskultasi juga tidak ada
ditemukan bruit.
Adomen
Inspeksi : Sikatriks (-), tanda inflamasi (-). Dinding adomen
sedikit lebih tinggi dari dinding dada.
Auskultasi : Peristaltik usus 20x/menit. Tidak ditemukan bruit
pada aorta adominal, arteri iliaca, dan arteri renalis.
Perkusi : Suara timpani pada seluruh kuadran
Palpasi : massa (-), deformitas (-), nyeri tekan (-), tidak ada
peresaran pada lien dan hepar. Tes undulasi (-)
Hasil inspeksi adomen tidak ada sikatrik dan tanda inflamasi.
Hal ini menunjukan bahwa tidak ada kelainan pada kulit perut pasien.
Dinding perut sedikit lebih tinggi dari dinding dada karena pasien
sedikit gemuk, setelah dilakukan tes undulasi hasilnya (-).
Pada auskultasi didapatkan hasil peristaltik yang normal
sebanyak 20x/menit. Nilai normal peristaltik usus adalah 5-35x/menit.
Pada perkusi didapatkan hasil yang normal yaitu timpani di seluruh
lapang kuadran, dan tidak ditemukan adanya pembesaran hepar
maupun lien. Untuk palpasi tidak ditemukan adanya nyeri tekan,
massa, dan nyeri deformitas.
Ekstermitas : tidak teraba dingin, kuku tidak pucat, tidak ada
bekas memar
Px Fisik tam : Refleks telapak kaki
v
Ketika telapak kaki pasien diperiksa dengan menggelitikkan
pulpen pada kakinya pasien masih merasa kegelian. Hal ini
menunjukan tidak ada kelainan saraf pada kaki pasien.
2.5 Alasan dan Tujuan Pemilihan terapi
Farmakologis
Ada anyak golongan obat yang dapat diberikan kepada pasien
dengan penyakit diabetes melitus. Untuk pasien ini dapat diberikan
golongan sekretagok insulin (sulfonil urea). Sulfonil urea telah
digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak awal tahun 1950 an.
Mekanisme kerja oat ini adalah dengan merangsang channel K yang
tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea
berikatan dengan reseptor channel tersebut maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan permeabilitas
K pada membran sel beta,terjadi depolarisasi membran dan
menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada
Calmodulin dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin (Suyono,2007).
Golongan obat ini berkerja dengan merangsang sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Contoh obat
golongan ini adalah Glibenklamid diminum sehari sekali dengan dosis
harian sebanyak 2,5-15 mg.
Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai tekanan darah
<130/80mmHg dengan ACE Inhibitor. Contoh dari ACE inhibitor
adalah kaptopril yang dapat diberikan dengan dosis 12,5-25 mg sehari
3 kali (Suyono,2007).
v
Untuk pemeliharaan saraf pasien dapat diberikan vitamin B
karena menurut penelitian tentang vitamin ini memiliki efek anti
neuritis yang mana dapat membantu memulihkan keadaan neuritis
tertentu. Vitamin yang diberikan biasanya vitamin B complex (Bella,
2005).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
v
a. Diabetes melitus adalah salah satu di antara penyakit tidak menular
yang menjadi salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia.
b. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya
hidup, kenaikan jumlah kalori yang dikonsumsi, kurangnya aktifitas
fisik dan meningkatnya jumlah populasi masyarakat usia lanjut.
c. Untuk mengurangi angka kejadian diabetes melitus harus dilakukan
upaya pencegahan primer, sekunder dan tersier.
4.2 Saran
a. Kepada masyarakat khususnya penderita DM, agar selalu melakukan
pemeriksaan atau kontrol tekanan darah, dan kadar kolesterol total
secara rutin serta menjaganya pada kondisi yang normal.
b. Berolahraga setiap pagi, makan makanan yang bergizi rendah
karbohidrat dan lemak namun tinggi protein, vitamin dan mineral. Per
banyak makan sayuran dan makanan berserat tinggi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bella A.C., 2005. Ikhtisar Ringkas Vitamin dan Hormon penting. Jakarta : Penerbit
Djambatan.
v
Cederholm.J., 2009. Risk of cardiovascular disease and mortality in overweight
and obese patients with type 2 diabetes: an observational study in
13,087 patients, Diabetologia 52:65–73
Guyton, Arthur.C., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Gustaviani R., 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo
A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Edisi keempat, Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Kurniawan, Chandra. 2006. Sinopsis Fisiologi. Yogyakarta : Pidi Publisher.
Lorenzo C. Risk of type 2 diabetes among individuals with high and low glomerular
filtration rates. Diabetologia 2009 52:1290–1297
Maclean P.C., Littenberg B., Association of angiotensin-converting enzyme inhibitor
therapy and comorbidity ini diabetes : results from the Vermont
diabetes information system. Diabetalogia. 2008 8:17.
McPhee S.J., Ganong W.F., 2006. Pathophysiology of Disease : An Introduction to
Clinical Medicine (5thed). Pendit, B.U. 2007 (Alih Bahasa), EGC,
Jakarta.
Price S., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
v
Soegondo.S., Soewondo.P., Waspadji.S., 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Suyono S., 2007. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo A.W., Setiyohadi
B., Alwi I., Simadibrata K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi keempat, Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Wansink, Brian. 2011. Semangka Kaya Khasiat. http//:www.conectique.com
v