Lapsus

44
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama cabang kedokteran lain serta anggota masyarakat ikut aktif mengelola bidang kedokteran gawat darurat (1) . Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi (1) . Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut apendekomi. Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, 1

description

JHGOHS

Transcript of Lapsus

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif

pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama

cabang kedokteran lain serta anggota masyarakat ikut aktif mengelola bidang

kedokteran gawat darurat(1).

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)

harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi

pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra

anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,

menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap

penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan

pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi(1).

Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks Bila diagnosis sudah

pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut

apendekomi. Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses

atau perforasi. Apendisitis akut temasuk operasi emergensi. Pada operasi

emergensi, kondisi pasien harus dipersiapkan seoptimal mungkin. Persiapannya

sama seperti operasi elektif, hanya segala sesuatunya dilakukan saat itu juga.

Operasi intra abdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum

endotrakeal(2).

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. APENDISITIS

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks. Apendisitis pada

awalnya dapat sembuh spontan, namun akan terjadi jaringan parut dan fibrosis.

Risiko untuk terjadinya serangan kembali adalah 50 %. Apendisitis yang parah

dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga

abdomen atau peritonitis. Terjadinya apendisitis umumnya karena bakteri. Namun

terdapat banyak sekali faktor pencetus, di antaranya sumbatan lumen apendiks,

timbunan tinja yang keras (fekalit), makanan rendah serat, tumor apendiks, dan

pengikisan mukosa apendiks akibat parasit seperti E. hystolitica. Terdapat gejala

awal yang khas, yaitu nyeri pada perut kanan bawah, yang disebut titik

Mc.Burney. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah.

Berbeda dengan apendisitis akut, apendisitis kronis pada palpasi didapatkan massa

atau infiltrat yang nyeri tekan dan leukosit yang sangat tinggi. Pada beberapa

keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis, sehingga dapat menyebabkan

terjadinya komplikasi yang lebih parah. Hal ini sering menjadi penyebab

terlambatnya diagnosis, sehingga lebih dari setengah penderita baru dapat

didiagnosis setelah perforasi. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh

sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang akan menyebabkan

perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan

keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu saat, ketika meradang lagi,

yang disebut apendisitis eksaserbasi akut. Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi

yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut apendektomi. Penundaan

operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses atau perforasi (5)

B. ANESTESI REGIONAL (SPINAL)

Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah

tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid

2

di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang

sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.(1)(3)

II. 2. INDIKASI

Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah

(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,

maksimal 2-3 jam. [1][3]

II.3. KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua

yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

Kontra indikasi absolut :

Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan

bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.

Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun

diare. : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya

hipovolemia.

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.

Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam

rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan

intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis

Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal

bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,

maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya

Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini

dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla

spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.

Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :

Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan

apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan

kemungkinan penyebaran infeksi.

3

Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat

suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.

Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya

agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis

yang sudah ada pada pasien sebelumnya.

Kelainan psikis

Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120

menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan

hingga 150 menit.

Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah

jantung akibat efek obat anestesi local.

Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya

hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan

Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.

Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-

ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman [1][3]

II. 4. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA

Gambar 1 : Kolumna Vertebralis [4]

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah

tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,

torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang

4

sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang

sakum dan koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga

berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)

memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk

perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh

Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar

sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil

sampai apex dari tulang  koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang

harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai

kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio

sacroilliaca.

Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh

suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,

kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan

stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang

berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan

kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi

subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla

spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus

medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda

equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara

vertebra T12 hingga L1. [1][4]

Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark

yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,

diantaranya adalah :

1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang

paling terlihat di daerah leher.

2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra

torakal 3-4

5

3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal

5-6

4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10

5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra

lumbalis 4-5[1][3][6]

Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis[5]

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

Kutis

Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.

Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung

procesus spinosus.

Ligamentum interspinosum

6

Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1

cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan

vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,

akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita

rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.

Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah

yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah

tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.

Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus

duramater seperti saat menembus epidural.

Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi

spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada

penusukan. [1][4]

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra[6]

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan

vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis

posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior

memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang

7

memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.

Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan

posterior.

Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis[7]

II. 5. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL

Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih

sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib

diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi

dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat

diubah menjadi anestesi umum.

Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;

8

Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini

(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan

terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.

Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit

tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti

infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau

kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus

tidak teraba.

Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang

perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT)

dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat

gangguan pembekuan darah. (6)(7)

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan

obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :

1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.

2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.

3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,

quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point

whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G

4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.

5. Kapas/ kasa steril dan plester.

6. Obat-obatan anestetik lokal.

7. Spuit 3 ml dan 5 ml.

8. Infus set. (6)

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal[7]

9

II.6. OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat

anestesi local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila

dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat

anestesi local bersifat reversible.

Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap

jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat

mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut

dalam air.

Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid

dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun

hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini

adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama

kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah

permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi

yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.[8]

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-

1.008. Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric.

Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik.

10

Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.

Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan

mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya

digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. [8]

Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum

digunakan.

Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,

dosis 20-50mg(1-2ml).

Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.

Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat

hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.

Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus

diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.

1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi

local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan

terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.

2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang

bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa

menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.

3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls

saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,

maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan

bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat

terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting

diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi

local agar tidak masuk ke pembuluh darah.

4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka

memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat

alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine

11

seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh

darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.

5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila

disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi

yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.

6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan

pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan

yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local. [2][8][11]

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau

adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya

pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal

dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme

kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local

dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses

pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan

saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat

clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi

lebih lama.[6][7][8]

2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat

onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid

misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini

sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga

penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga

menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal

menambah efek anestesi post-operasi.[9][10]

3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat

menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena

klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai

terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.[10]

12

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi

spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal[11]

II. 7. TEKNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas

meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

pasien.

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat

sebanyak 500 - 1500 ml (pre-loading).

2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit

3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.

Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan

berbaring lateral.

4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua

krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.

5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi

ligamen interspinous.

6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin

harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.

7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

13

8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain

1-2% 2-3ml

9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal

besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan

untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan

penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum

suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis,

ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,

ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah

mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes

keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang

arachnoid tersebut.[2][6][7]

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

14

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan

paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari

sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral

dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.[7]

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial[7]

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring.

Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom di

kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien

dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat,

15

kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu diperhatikan

lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun

drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum

diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan

keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,

pusing, mual, berkeringat.[7]

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris[7]

II.8. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :

Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah

analgesia

Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

16

Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan

batas daerah analgetik.

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia

yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk

1 ml larutan.

Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor

serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik

cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-

4 obat cenderung menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik

Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama

didapat batas analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis

makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap

dosis obat)

Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan

analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi

diubah dengan posisi pasien.[3]

17

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. K.A.

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Hindu

Tempat, Tanggal Lahir : Mataram, 11 Juni 2015

Alamat : Lingkungan Gebang

Diagnosis pre operatif : Appendisitis Akut

Diagnosis post operasi : Appendisitis Akut

Macam Operasi : Appendiktomi

Macam Anestesi : Anestesi umum

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Buruh dan tukang

MRS : 09 Juni 2015

Pre Operatif (10 Juni 2015)

a. Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah

RPS :

- Onset : kurang lebih 3 bulan yang lalu

- Lokasi : perut kanan bawah

- Kualitas : -

- Kuantitas : keluhan dirasakan hilang timbul

- Faktor yang memperberat dan memperingan : -

- Kronologis : ± 3 hari SMRS hari sebelum masuk rumah sakit, yaitu

hari minggu (9 juni 2015), pasien merasakan nyeri pada perut bagian

kanan bawah dan badannya hangat. Nyeri dirasakan tidak menjalar.

18

Nyeri bertambah bila untuk menekukan kaki. Nyeri bersifat kumat-

kumatan. Belum ada riwayat pengobatan apapun.

- Keluhan penyerta : susah buang air besar

RPD : Asma (-), alergi makanan dan obat (-), HT (-), DM (-)

RPK : -

Riwayat sosial/ekonomi : sehari-hari pasien pergi bekerja dan ditempat

kerja pasien bekerja sebagai buruh tukang

BB : ± 70 kg

TB : ± 165 cm

b. Pemeriksaan fisik

Keadaan Umum : sakit sedang, kompos mentis, gizi cukup

Tensi : 120/ 80 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Suhu Axiler : 37,0 C

Respirasi : 20x/menit

Berat badan : 60 kg

Mata : Konjungtiva anemis ( - ), sklera ikterik ( - )

Hidung : nafas cuping hidung ( - ), sekret ( - )

Mulut : sianosis ( - ), gigi goyah / palsu ( - )

Telinga : sekret ( - ), pendengaran baik

Leher : glandula thiroid ditengah, pembesaran limfonodi

( - ), JVP tidak meningkat

Thorax

Pulmo I : Pengembangan paru kanan = kiri

P : Fremitus raba kanan = kiri

P : Sonor - Sonor

A: Suara dasar : vesikuler kanan = kiri

Suara tambahan : wheezing (-)

Jantung I : Ictus cordis tidak tampak

19

P : Ictus cordis tidak kuat angkat

P : Batas jantung kesan tidak melebar

A: Bunyi jantung I-II intensitas normal,

Reguler, bising (-)

Abdomen : I : Dinding perut = dinding dada, distended (-), darm contur

(-), darm steifung (-)

P : Supel, Nyeri tekan (+) pada perut kanan bawah (Mc

Burney Sign (+)),defans muskuler (-)

P : Timpani (+), NKCV (-)

A : Peristaltik (+) normal

Ekstremitas : oedem ( - ), akral dingin (-)

Pemeriksaan Khusus :

Mc Burney sign (+)

Rovsing sign (+)

Rebound Sign (+)

Obturator sign (+)

Psoas sign (-)

Rectal Toucher : TMSA normal, mukosa licin, ampila normal, prostat

tidak teraba membesar, nyrti tekan jam 9,11 (+), massa (-), sarung tangan

lender darah (-), feses (+)

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a. WBC : 8,19 x 103/ul

b. RBC : 5,43 x 106/ul

c. HB : 16,3 gr/dl

d. PLT : 266 x 103/ul

e. PT : 7,46 detik

f. APTT : 1,39 detik

20

2. USG

d. Diagnosis Pre-operasi

- Diagnosis : Appendisitis

- Tindakan : Appendictomi

e. Kesan Anestesi

Laki - Laki 42 tahun menderita appendisitis dengan ASA I

21

f. Terapi Pre-operasi

1. Puasa 6 jam pre-operasi

2. Inform consent ke keluarga tentang resiko tinggi operasi

3. IVFD RL 20 TPM

4. Oksigenasi 3 lpm (kanul)

5. Cefoperazon 1 gr / 8jam

6. Premed metil prednisolon 125 mg, Ranitidin 1 amp

g. Kesimpulan

Pasien seorang laki-laki, usia 42 tahun, dengan keluhan utama

nyeri perut kanan bawah, dan didiagnosa : appendisitia akut. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan : Vital Sign : tekanan darah 120/80 mmHg,

nadi 78x/menit, respirasi rate 20x/menit, suhu axiller 37,0oC, BB 60 kg.

Cor dan pulmo dalam batas normal, abdomen: didapatkan nyeri kanan

bawah, Mc Burney Sign (+)

Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan

a. WBC : 8,19 x 103/ul

b. RBC : 5,43 x 106/ul

c. HB : 16,3 gr/dl

d. PLT : 266 x 103/ul

e. PT : 7,46 detik

f. APTT : 1,39 detik

g. GDS 126 mg/dL

Akan dilakukan appendictomi dengan anestesi regional (spinal).

Kelainan sistemik : (-), Kegawatan bedah : (+), Status fisik : ASA I

(Pasien sehat secara Jasmani dan Rohani, tidak ada gangguan sistemik.

ACC Operasi

22

B. RENCANA ANESTESI

1. Persiapan operasi

a. Persetujuan operasi tertulis ( + )

b. Periksa tanda vital dan keadaan umum

c. Puasa > 6 jam

d. Oksigenasi 3 L / menit

e. Cek obat dan alat anestesi

f. Infus RL 20 tpm makro

2. Jenis anestesi :

Anestesi regional (spinal).

3. Mulai Anestesi : 11 Juni 2015, Pukul 10.00 WITA

Mulai Operasi : 11 Juni 2015, Pukul 10.15 WITA

4. Premedikasi yang diberikan :

5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi, pasien diberikan Ondancetron

(Cedantron) 4 mg.

5. Anestesi yang diberikan :

Induksi anestesi (pukul 10.00):

Dilakukan penyuntikan Bupivacain (Bunascan) 125 mg dengan jarum

spinal ke ruang subarachnoid antara kanalis spinalis VL 4 – VL 5. dan

setelahnya diberikan phetidin 50 mg iv

6. Pemeliharaan (Maintenance):

Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi

selalu dimonitor. Infus RL diberikan pada penderita sebagai cairan

rumatan. Beberapa saat sebelum operasi selesai diberikan Ketorolac

tromethamin (Remopain 3 %) 2,5 cc IV sebagai analgesik setelah operasi.

23

Waktu O2 HR TD SaO2 Obat Ket

10.00

8 L 107 135/83 99

Ondansentron

4mg

Midazolam 2mg

Kanul

10.15

(mulai

operasi)

4 L 110 130/80 99

Tramadol

100mg

Ketorolak 30mg Kanul

10.30 4 L 85 112/65 99 -

10.45 4 L 85 129/70 99 -

7. Keadaan pasca operasi :

Operasi selesai dalam waktu 45 menit (pukul 10.45).

8. Ruang Recovery :

Pasien dipindah ke ruang rumatan dan diawasi aktivitas motorik, sensorik

dan kesadaran. Bila pasien tenang dengan Aldrette Score > 8 tanpa nilai

nol, maka pasien dapat dipindah ke bangsal. Pada pasien ini, Aldrette

Score bernilai 8, dengan rincian sebagai berikut:

1. Warna kulit merah muda (nilai 2)

2. Pasien dapat bernapas dalam dan teratur (nilai 2)

3. Tekanan darah + 20 % dari tekanan darah praanestesi (nilai 2)

4. Pasien bangun bila dipanggil (nilai 1)

5. Ekstremitas atas dapat digerakkan (nilai 1)

9. Program pasca operasi :

Setelah pasien memiliki Aldrette Score > 8, pasien dikirim ke bangsal

dengan catatan:

- Awasi tanda vital secara ketat

- Awasi kesadaran

- Mual muntah berikan ondansentron 4 mg / 8 jam

- Program cairan (RL 20 TPM)

- Cek Hb pasca operasi

24

- Jika kaki pasien dapat digerakkan dan pasien sadar penuh, minum

bertahap

- Program analgetik (Tramadol 100 mg dan ketorolac 30 mg) injeksi IV/

8 jam mulai jam 17.00, bila kesakitan dapat diberikan lebih awal

- Pemberian antibiotik (Cefotaxim)

- Program khusus : 1) pasien tidur dengan bantal tinggi / head up 30% /

Bedrest total selama 24 jam, 2) bila TD sistl < 90 mmHg, Injeksi

efedrin 10 mg, 3) Bila HR < 60 x/m, injeksi Sulfas Atropin 2 ampul

- Lain-lain sesuai dokter bedah

- Keadaan gawat darurat, hubungi dokter anestesi

25

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik

akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAH DARI SEGI MEDIK

Appendisitis yang merupakan proses radang dapat meningkatkan

metabolisme, dimana kebutuhan cairan meningkat yang menyebabkan penderita

mengalami kehilangan banyak cairan sehingga bisa terjadi dehidrasi atau juga

sepsis.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Operasi yang jika tidak dilakukan pembedahan, bisa mengancam jiwa

pasien, terutama jika terapi obat tidak respon dapat timbul perforasi.

2. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi, sehingga perlu

dipersiapkan darah.

3. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)

Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan

teknik anestesi yang aman untuk operasi yang lama.

C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

1. Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam.

b. Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahan yang ada adalah :

Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan

anestesi dan operasi.

Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan

keadaan umum penderita.

26

Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada

penderita perlu dilakukan :

Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.

Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga

bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.

Pada operasi pasien ini, teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi

regional (spinal). Sebagai premedikasi dipakai Midazolam (Miloz) dan

Ondancetron (Cedantron).

Midazolam dapat digunakan sebagai premedikasi dengan dosis sedatif

(0,1 mg/kgBB) maupun sebagai analgesi anestesi dengan dosis 5-10 mg. Pada

pasien ini digunakan Midazolam sebagai dosis sedatif yaitu sebanyak 1,5 mg.

Ondancetron digunakan sebagai antiemetik sebanyak 4 mg yang diberikan

secara intravena.

Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesi karena sering

menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala dan mual-

muntah pasca anestesia, pandangan kabur serta mimpi buruk. Ketamin juga

dapat menimbulkan halusinasi, oleh karena itu sebelumnya perlu diberikan

sedasi berupa Midazolam atau Diazepam dengan dosis 0,1 mg/kgBB dan

untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kgBB. Dosis

induksi intravena ialah 1-2 mg/kgBB dan untuk intramuskular 3-10 mg. Pada

pasien ini Ketamin digunakan untuk analgesi dengan dosis 15mg, agar pada

saat melakukan spinal anestesi, pasien tidak merasakan sakit.

Induksi dilakukan dengan menggunakan Bupivacain (Bunascan) 125 mg

dengan jarum spinal ke ruang subarachnoid antara kanalis spinalis VL3 –

VL4. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi

selalu dimonitor. Infus RL diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan.

Beberapa saat sebelum operasi selesai diberikan Ketorolac tromethamin

(Remopain 1 %) 10 mg IV sebagai analgesik setelah operasi

27

BAB V

KESIMPULAN

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi regional

(spinal) pada operasi elektif appendictomy pada pasien laki-laki, umur 42 tahun,

status fisik ASA I. Dengan diagnosis appendicitis dengan menggunakan teknik

anestesi regional (spinal)

Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa

digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Anestesi ini bekerja setinggi

papilla mamae atau setinggi kurang lebih vertebra torakal 4. Prinsip yang

digunakan adalah menggunakan obat analgetik local untuk menghambat hantaran

saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motoric juga terhambat

sebagian. Dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.

Terdapat indikasi dan kontra indikasi yang terbagi dua yaitu kontraindikasi

absolut dan relative. Pada kontraindikasi relative anestesi tetap bisa dilakukan

dengan memperhatikan hal-hal tertentu seperti kemungkinan komplikasi dan

alternative lain jika tidak bisa dilakukan anestesi spinal. Seluruh persiapan wajib

dicermati mulai dari persiapan pasien, alat, obat anestesi local, obat emergensi

yang harus disediakan jika terjadi komplikasi, hingga kemungkinan untuk

mengganti prosedur menjadi anestesi umum seketika prosedur anestesi spinal

tidak berjalan dengan baik. Saat penusukan diperlukan ketelitian untuk

menentukan lokasi suntikan, kemudian memperhatikan pendekatan untuk

melakukan penusukan serta memperhatikan factor yang mempengaruhi anestesi.

Prosedur ini merupakan sebuah alternative pada operaasi dengan durasi

singkat. Pilihan ini menyediakan opsi yang memiliki komplikasi yang lebih

sedikit ketimbang melakukan prosedur anestesi umum diantaranya adalah waktu

pemulihan pasca-dilakukan posedur anestesi.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi, M, dkk. (2002). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, CV Infomedia, Jakarta.

2. Tony H., (2000). Anestesi umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

3. Boulton T.H., Blogg C.E., (1999). Anesthesiology, cetakan I. EGC, Jakarta.

4. Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large medical Book

5. Wim de Jong, (1996) Buku Ajar lmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,

6. Wirjoatmojo, K, (2000). Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

7. Dobson Michael B, (1994)Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

29