laporan tutorial up 3 blok 14
-
Upload
tyastrisedyarenaning -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of laporan tutorial up 3 blok 14
Mengetahui :
A. Perubahan otot menjadi daging
B. Proses preservasi daging
C. Faktor mikrobiologi yang mempengaruhi kualitas daging
D. Proses pembusukan daging
Pembahasan :
A. Perubahan otot menjadi daging
Perubahan otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan hewan.
Penyembelihan hewan yang menyebabkan hewan mati, berhenti berdenyut
jantung dan aliran darah dalam tubuh hewan. Dalam otot perubahan
tersebut mempengaruhi kualitas daging dan masa simpan (Sanjaya, dkk.,
2007). Adapun perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan
disembelih:
Skema 1: Perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan telah disembelih (Sanjaya, dkk., 2007).
1
Sirkulasi Darah Terhenti
Tidak ada Supply Oksigen
Respirasi terhenti
Glikolisis anaerob
Penurunan kadar ATP
dan CP
Penurunan nilai pH
Rigor Mortis Denaturasi Protein
Pembebasan dan aktivitas
enzim
Penjelasan Bagan diatas:
1. Glikolisis Anaerob
Glikolisis anaerob adalah proses penguraian glikogen dalam keadaan
tanpa oksigen sehingga dihasilkan energy (ATP) dan asam laktat.
Asam laktat yang dihasilkan dari glikolisis anaerob akan terakumulasi
dalam otot, sehingga nilai pH otot menjadi menurun, dari 7,0 – 7,2
menjadi 5,3 – 5,7 setelah 24-48 jam postmortem (Sanjaya, dkk., 2007).
2. Perubahan Nilai pH
Nilai pH daging setelah hewan mati akan menurun mencapai pH akhir.
Penurunan pH tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi laju glikolisis. Nilai pH menurun secara bertahap dari
7,0 sampai 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem (Sanjaya, dkk.,
2007).
3. Rigor Mortis
Rigor mortis adalah proses pemendekan/pengerutan/kekakuan otot
setelah kematian yang bersifat irreversible. Dalam kondisi rigor mortis,
elastisitas otot hilang, otot sulit direnggangkan. Proses ini sama dengan
proses konstraksi pada saat hidup. Daging pada saat rigor mortis tidak
empuk (Sanjaya, dkk., 2007).
4. Daya Ikat Air
Daya Ikat air adalah kemampuan protein daging (otot) untuk mengikat
air atau air yang ditambahkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh: Nilai
pH, rigor mortis, dan proses pengempukan daging (Sanjaya, dkk.,
2007).
5. Proteolisis Postmortem
Proteolisis pada protein jaringan otot oleh enzim-enzim dalam otot
menyebabkan terjadinya proses pengempukan daging dan selanjutnya
dapat menyebabkan pembusukan. Beberapa enzim yang terlibat dalam
proses tersebut adalah Calcium active calpin I dan calpain II,
cathepsin, dan enzim-enzim lisosom (Sanjaya, dkk., 2007).
2
Setelah kematiaan karena tidak ada energy (ATP), Ca++ dan
mitokondria dilepaskan, Konsentrasi Ca++ intraseluler meningkat
sehingga menstimulasi calcium-activated enzymes Calpain I dan
Calpain II, Calpain optimum bekerja pada pH > 6,0 (Sanjaya, dkk.,
2007).
6. Keadaan Otot Setelah Kematian
Prerigor
Proses glikolisis anaerob aktif
Penurunan kadar ATP dan creatin Phosphat (CP)
Akumulasi asam laktat
Otot lunak dan lentur
Daya ikat air relative tinggi
Rigor
Terjadinya konstraksi (aktin-miosin) yang bersifat irreversible
Elastisitas otot menurun → otot liat/a lot
Terjadi sterric effect pada daya ikat air
Postrigor
Terjadi aktivitas enzim proteolitik → pengempukan daging
Daya ikat air diperbaiki
Citarasa meningkat (Sanjaya, dkk., 2007)
B. Proses preservasi daging
1. Penyimpanan Suhu Rendah
Refrigerasi adalah penyimpanan pada suhu di atas titik beku daging,
sedangkan pembekuan adalah penyimpanan dibawah titik beku daging,
sehingga daging dalam keadaan beku. Prinsipnya adalah menghambat
kecepatan pertumbuhan mikroorganisme serta reaksi-reaksi kimia dan
biokimia di dalam daging, sehingga dengan demikian kerusakan yang
ditimbulkannya juga akan diperlambat (Desrosier, 1969).
a. Penyimpanan Refrigerasi (Pendinginan/Chilling)
3
Yang harus diperhatikan adalah bahwa temperatur penyimpanan
daging harus tercapai secepat mungkin setelah pemotongan ternak
ataupun pengolahan (Desrosier, 1969).
Beberapa sifat penyimpanan dengan pendinginan antara lain :
1) Tidak membunuh mikroorganisme.
2) Pertumbuhan terhambat dan akan berhenti pada suhu di bawah
suhu pertumbuhan minimal.
3) Pada suhu pertumbuhan minimal, fase lag dan waktu
generasinya lama.
4) pembentukan toxin akan terhambat (misalnya pada
Clostridium).
5) proses biokimiawi dalam daging akan diperlambat (proses
pelayuan).
Ruang pendingin untuk daging biasanya diatur pada kisaran -4°
sampai 0° C, sehingga diharapkan temperatur di dalam daging pada
kisaran 2° - 5° C. Pada temperatur penyimpanan ini, kualitas
daging dapat dipertahankan selama 8 hari bergantung pada bagian
daging dan penanganan daging sebelumnya.
b. Penyimpanan Beku
Pembekuan merupakan metode yang paling baik untuk
mengawetkan daging, karena proses pembekuan tidak mempunyai
pengaruh yang berarti terhadap warna, flavor dan kadar jus daging
setelah pemasakkan. Air yang terdapat di dalam daging tidak
membeku secara sekaligus, tetapi pembekuannya berlangsung
secara berangsur-angsur. Air yang membeku di dalam daging tidak
dapat digunakan lagi oleh mikroorganisme dan reaksi reaksi kimia
di dalam daging. Hal inilah yang menyebabkan mengapa
pembekuan dapat menyimpan daging dalam jangka waktu yang
lama (Desrosier, 1969).
Beberapa prinsip penyimpanan daging dalam keadaan beku:
1) Mikroorganisme tidak tumbuh pada suhu -18 °C.
4
2) Mikroorganisme dapat mati akibat terbentuknya kristal es.
3) Pendinginan yang lambat menyebabkan lebih banyak kristal
es yang terbentuk menyebabkan mikroorganisme lebih
banyak mati.
4) Kerugian akibat pembentukan kristal es dalam daging: air
daging akan keluar ketika dicairkan (thawing) karena drip
(menetes).
Metode penyimpanan beku antara lain :
1) Memakai aliran udara dingin (tunel pendingin, kecepatan
aliran udara 4 m/menit, suhu -40 °C)
2) Metode plat pembekuan (-40 °C)
3) Metode pembekuan kriogenik
a) -80 °C (menggunakan CO2 sebagai cairan tekanan tinggi
atau es kering).
b) Pencelupan dalam nitrogen cair.
c) Pemercikan dengan larutan garam.
Kerugian akibat pembekuan daging:
1) Freezer burn (terbakar beku), terjadi akibat sublimasi
(terbentuknya lapisan kondensasi) kristal es dari jaringan
sehingga daging menjadi berwarna keabu-abuan
2) Hilangnya cairan daging/ drip
3) Kerusakan kimia dan fisik pada daging dapat terjadi akibat
penyimpanan beku, yaitu :
a) Kehilangan zat-zat gizi pada waktu daging beku
dikembalikan ke bentuk asal.
b) Perubahan warna daging dari merah menjadi gelap
c) Timbulnya bau tengik pada daging.
2. Perlakuan dengan suhu tinggi
Metode penyimpanan daging pada suhu tinggi yang sering dilakukan
adalah dengan pasteurisasi dan sterilisasi. Pasteurisasi merupakan
5
pemanasan dengan suhu di bawah 100 °C sedangkan sterilisasi
pemanasan dengan suhu lebih dari 100 °C yang dapat menyebabkan
inaktivasi mikroba dan enzim (Desrosier, 1969).
Keuntungan perlakuan terhadap daging dengan suhu tinggi antara lain
ekonomis, bebas bahan kimia dan aman, sebagian besar
mikroorganisme pembusuk bersifat tidak tahan panas dan shelf life
yang lama setelah dikemas dalam wadah steril. Kerugian : desintegrasi
tekstur dan aroma yang tidak disukai dan kerusakan nilai gizi
3. Perlakuan Pengeringan (drying)
Prinsip dari pengeringan adalah pengurangan terhadap aktivitas air
karena pada aw kurang dari 0,70 produk relatif aman selama tidak ada
rekonstruksi (penyerapan air kembali)
Metode yang sering dilakukan untuk pengeringan antara lain :
a. Pengeringan di bawah tekanan udara
b. Pengeringan vakum
c. Kombinasi antara pembekuan dan penghilangan air dengan/tanpa
vakum
4. Perlakuan dengan penambahan zat kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia
pengawet yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam
produk olahan daging. BTP adalah bahan aditif yang engandung
senyawa kimia yang telah diizinkan penggunaannya. BTP yang
diizinkan adalah:
a. Garam NaCl
Berguna untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan jamur,
memberi rasa, menurunkan aktivitas air, dan meningkatkan ionic
streght. Penggunaannya berkisar antara 1,5-3%.
b. Sodium tripolyphosphate (STPP)
Berguna untuk menurunkan jumlah bakteri, mempertahankan
warna produk, mengurangi jumlah penyusutan ketika dimasak,
meningkatkan kemampuan mengikat air atau menaikan nilai WHC
6
(Water Holding Capacity) protein otot, meningkatkan flavor dan
juiciness daging, dan menghambat ransiditas oksidatif. Penggunaan
STPP pada produk olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
c. Gula pasir
Dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan
minimal 3%.
d. Sodium nitrit
Digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan
pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari
156 ppm. Kadang dikombinasi dengan askorbat 550 ppm untu
mencegah pembentukan senyawa karsinogen nitrosamine.
e. Sodium laktat
Digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum
penggunaannya adalah 2,9% (Soeparno, 2009).
5. Pengasapan
Pengasapan dilakukan dalam rangka pengawetan, memberi warna dan
aroma daging asap. Metode ini termasuk sederhana dan banyak
digunakan.
Metode yang sering dilakukan antara lain :
a. pengasapan dingin 22 °C maksimal 28 °C
b. pengasapan hangat 40 – 60 °C
c. pengasapan panas 60 - 65 °C
Prinsip dari asap yang dapat mengawetkan daging antara lain:
a. Panas
b. Selulose, kemiselulose, pektin yang dibakar akan menghasilkan zat
yang bersifat bakteriostatik/bakterisid , yaitu :
1) Formaldehid
2) Asam organik
3) Karboksilat
4) Fenol/kreosol
7
c. Aldehid: membekukan daging dan membuat dehidrasi sehingga
bakteri tidak dapat berkembang. Hanya diperbolehkan dalam
bentuk komponen asam.
Jenis asap yang biasa digunakan antara lain :
a. Asap sintetik (smoke taquer), berbentuk cair (asap cair)
Tidak mengawetkan, hanya sebagai pemberi aroma
b. Asap alami (natural smoke)
1) Cold smoking
2) Hot smoking (Desrosier, 1969).
C. Faktor mikrobiologi yang mempengaruhi kualitas daging
Komposisi kimia daging terdiri dari protein yang kandungannya berfariasi
antara 16-20% lemak, 1,5-13% senyawa non protein, 1,5% nitrogen, 1,0%
senyawa organic dan air berfariasi antara 65-86%. Adapun kandungan
lemaknya terdiri dari fosfolipida, cerebrosida, kolesterol, dan asam lemak
esensial (Sutaryo 2004).
Daging mudah mengalami kerusakan akibat adanya aktivitas pada daging
atau produk daging, karena daging memenuhi persyaratan untuk
perkembangan mikroorganisme termasuk mikroorganisme perusak,
karena:
1. Mempunyai kadar air yang tinggi (68-75%)
2. Kaya dengan zat yang mengandung nitrogen dengan komplek yang
berbeda.
3. Kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroba.
4. Mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme
(5,3-6,5) (Soeparno, 2009).
Mikroorganisme yang merusak daging dapat berasal dari infeksi ternak
hidup atau kontaminasi daging postmortem. Sumber kontaminasi dapat
berasal dari darah, tanah, kulit, isi saluran pencernaan, air, alat yang
digunakan, udara, maupun pekerja. Mikroorganisme yang dapat
8
mencemari antara lain Salmonella, Shigella, Eschericia coli, Bacillus
proteus, Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, Clostridium
walchii (Soeparno, 2009).
Pertumbuhan bakteri di dalam daging dapat dibagi menjadi empat fase:
1. Fase Lag : fase tidak ada pertumbuhan. Bila kondisi lingkungan
menguntungkan maka ukuran sel, material inti dan jumlah sistem
enzim meningkat.
2. Fase pertumbuhan logaritmik/eksponensial : fase ini jumlah
mikroorganisme akan mulai tumbuh dan meningkat dan tumbuh
dengan laju pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan
menjadi terbatas.
3. Fase Konstan (stationary) : fase pertumbuhan logaritrim berangsur
berkurang dan mencapai titik ekuilibrium yaitu jumlah sel konstan
selama beberapa saat karena berkurangnya pembelahan sel atau
adanya keseimbangan antara laju perbanyakan sel dengan laju
kematian.
4. Fase penurunan pertumbuhan/kematian : dipengaruhi oleh kondisi
seperi habisnya persediaan nutrisi esensial, atau akumulasi hasil
metabolik asam, atau pengaruh proses preservasi (Soeparno, 2009).
Keberadaan mikroorganisme pada pangan tak terkecuali daging atau
produk olahan daging dipengaruhi oleh faktor-faktor, yaitu:
1. Faktor instrinsik
a. Nutrisi
Mikroorganisme terutama proteolitik menggunakan protein sebagai
sumber energi, beberapa menggunakan lemak. Semua
mikroorganisme memerlukan mineral, sedangkan vitamin dan
faktor lain bervariasi. Jamur (mold) dapat memanfaatkan protein,
karbohidrat dan lemak lebih baik dibandding yeast atau bakteri
9
karena memiliki sistem enzim yang mampu menghidrolisis menjadi
komponen sederhana.
b. Air
Kadar air yang tersedia dalam daging sangat menentukan tingkat
pertumbuhan mikroorganisme. Kebutuhan mikroorganisme akan
air dinyatakan sebagai aktivitas air (water activity = Aw). Aktivitas
air adalah perbandingan antara tekanan uap larutan dengan tekanan
uap air solven murni pada temperatur yang sama. Daging segar
biasanya 0,99 atau lebih tinggi. Bakteri membutuhkan (aw) yang
lebih tinggi daripada jamur dan ragi tumbuh baik pada aw 0,80.
c. pH
Daging memiliki pH ultimat 5,3-5,7. Bakteri tumbuh optimal pada
pH 7,0, jamur pada pH antara 2,0 – 8,0, sedangkan ragi tumbuh
dengan baik pada pH antara 4,0-4,5. Jadi pada pH normal daging
(5,4-5,6) akan menguntungkan bagi pertubuhan jamur dan ragi,
disamping bakteri yang suka asam, bakteri asam laktat dapat
berkembang baik pada pH 5.5-6.
d. Potensi oksidasi-reduksi
Untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal, sejumlah
mikroorganisme membutuhkan kondisi oksidasi dan sejumlah lain
reduksi. Mikroorganisme anaerobic dapat tumbuh tanpa
kondisi O2, karena O2 bersifat toksik. Mikroorganisme anaerob
dapat utmbuh pada potensi oksidasi yang rendah. Mikroorganisme
fakultatif dapat tumbuh tanpa dan ada sedikit O2. Permukaan
daging segar yang berhubungan dengan udara akan
menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri aerobik, misalnya
Achromobacter dan Pseudomonas. Pencacahan dan penggilingan
daging meningkatkan potensi oksidasi dan reduksi.
e. Ada tidaknya substanssi penghambat dan jaringan protektif
Substansi yang menghambat aktifitas mikroorganisme disebut
bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak/ mengahncurkan
10
dan membunuh mikroorganisme disebut bakterisidal. Secara alami
daging tidak mempunyai bakteriostatik. Lemak karkas dan kulit
pada karkas unggas dan babi melindungi daging dari kontaminasi
(Soeparno, 2009).
2. Faktor ekstrinsik
a. Temperatur
Temperatur sngat menentukan laju pertumbuhan mikroorganisme
yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu mesophiles yang dapat
tumbuh pada temperatur 15-40oC (optimum 25-40oC) ;
psychrophiles tumbuh optimum pada 20-30oC ; thermophiles
tumbuh optimum pada 45-60oC. Jamur termasuk psychrophilic
dapat tumbuh pada -1 sampai 3oC. Temperatur dibawah 5oC
menghabat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan mencegah
bakteripatogen sehingga dianggap sebagai temperatur kritis selama
penanganan dan penyimpanan daging.
Bakteri psychrophilic seperti Pseudomonas, Achromobacter,
Micrococcus, Streptococcus setelah proses pembekuan mampu
tumbuh kembali bila daging dicairkan kembali.
b. Kelembaban relatif
Kelembaban relatif yang tinggi menyebabkan cairan akan
berkondensasi pada permukaan daging sehingga permukaannya
basah dan mendukung pertumbuhan mikrobial. Jika kelembaban
terlalu rendah, cairan permukaan daging akan terdehidrasi sehingga
pertumbuhan mikrobia terhambat dan permukaan daging menjadi
gelap. Nilai ekonomis daging akan berkurang karena pengerutan
dan daging kurang menarik.
c. Oksigen atmosfir
Semua jamur dan sebagian besar ragi bersifat aerobik, sedangkan
bakteri dapat besifat aerobik, anaerob, dan aerobik fakultatif.
Mikroorganisme yang terdapat pada permukaan daging bersifat
aerob dan anaerob fakultatif dan bagian dalam daging mengandung
11
bakteri anaerob dan anaerob fakultatif. Pengepakan vakum atau
pengalengan akan mereduksi atau mencegah aktivitas bakteri
aerobik.
d. Keadaan fisik daging
Dipengaruhi oleh keadaan fisik daging seperti besar kecilnya
karkas, potongan karkas, bentuk daging cacahan, daging gilig atau
perlakuan prosesing. Penggilingan daging memperbesar
kontaminasi pertumbuhan bakteri karena : area permukaan menjadi
lebih besar, nutrien dan air menjadi siap, penetrasi dan
pemanfaatan oksigen menjadi lebih besar, proses penggilingan
membutuhkan waktu, kontak dengan alat prosessing sebagai
sumber kontaminasi dan distribusi mikroorganisme yang lebih
merata keseluruhan bagian daging selama proses penggilingan
(Soeparno, 2009).
Kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa
berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan
hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak
memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna,
kekenyalan, penampakan, dan rasa (Simanjuntak dan Rivai 2009).
Berbagai tanda-tanda kerusakan pada daging:
a. Perubahan kekenyalan pada daging disebabkan oleh pemecahan
struktur daging oleh berbagai bakteri.
b. Pembentukan lendir pada daging disebabkan oleh pertumbuhan
berbagai mikroba seperti kamir, bakteri asam laktat (terutama
oleh Lactobacillus, misalnya Lactobacillus.
c. Pembentukan asam umumnya disebabkan oleh berbagai bakteri
seperti Lactobacillus, Acinebacter, Bacillus, Pseudomonas,
proteus, Microrocci, Clostidium.
d. Pembentukan warna hijau pada daging, terutama disebabkan oleh:
pembentukan hydrogen peroksida (H2O2) oleh Lactobacillus
Viridescens, Lactobacillus fructovorans, Leuconostoc,
12
Enterococcus faecium dan Enterococcus faecalis, pembentukan
hidrogen sulfida (H2S) oleh Pseudomonas mephita, Shewanell
putrefaciens, dan Lactobacillus sake.
e. Pembentukan warna kuning pada daging, disebabkan oleh
Enterococcus cassliflavus dan Enterococcus mundtii.
f. Perubahan bau, misalnya: timbulnya bau busuk oleh berbagai
bakteri karena terbentuknya amonia, H2S, Indol dan senyawa-
senyawa amin seperti diamin kadaverin dan putresin (Simanjuntak
dan Rivai 2009).
D. Proses pembusukan daging
1. Kontraksi
Daging 15 menit setelah dipotong masih bergerak, kemudian akan
berwarna merah tua karena ada reaksi Hb. Daging akan berwarna
lebih gelap mengkilat dan lebih keras pada jaringan yang mengalami
aktivitas berlebih seperti daerah jantung dan diafragma.
2. Rigor mortis
Setelah ¾ jam pemotongan, daging akan menjadi kaku, berwarna
merah dan mengkilat hilang. Mekanismenya yaitu aliran darah
berhenti menyebabkan suplay O2 berhenti sehingga metabolisme
glikogen berlangsung secara anaerobic dan menghasilkan asa laktat
yang menyebabkan psebut terjadi juga penurunan ATP, sehingga
protein aktin dan myosin yang menyebabkan daging menjadi busuk.
3. Autolisis
Terjadi karena pengaruh enzim dalam tubuh hewan dimana terjadi
penimbunan asam laktat sehingga semakin lama daging menjadi
lembek.
4. Pembusukan
Adanya perubahan glikogen menjadi asam laktat menyebabkan pH
daging turun, kemudian dengan dilayukan maka akan timbul asam
laktat sehingga pH daging akan turun 5,4. pada pH ini apabila
pelayuan diteruskan pH tidak akan turun karena proses glikolisis yang
13
tidak terjadi (inaktif), bahkan pH naik. Kenaikan pH disebabkan
karena bakteri tahan asam berkembang dan menghancurkan daging
serta sisa makanan dalam daging menyebabkan pH naik. Dengan
naiknya pH maka bakteri tahan asam akan mati dan digantikan oleh
bakteri yang dapat hidup pada pH tinggi semakin lama daging akan
mengalami pembusukan. Bakteri pembusuk antara lain Salmonella
sp., Campylobacter sp., Enterobacter sp., Micrococcus sp.,
Clostridium weichii, dan lain-lain.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan pembusukan antara lain :
1. Hewan yang darahnya tidak keluar sempurna saat pemotongan.
2. Proses penyimpanan daging (paling baik pada suhu rendah).
3. Kadar glikogen yang terlalu tinggi dalam daging dapat memperlambat
pembusukan.
4. Kebersihan daging dari pemotongan sampai ke konsumen
(Susetya.2011).
14
DAFTAR PUSTAKA
Desrosier, N.W. 1969. The Technology of Food Preservation. Third Ed. New
York : Avi Pub. Co. Inc.
Sanjaya, AW., Sudarwanto, M., Soejono, RR., Purnawarman, T., Lukman, DW.,
Latif, H. 2007. Hygiene Pangan. Bogor : IPB.
Simanjuntak E, Rivai M. 2009. Deteksi Kebusukan Daging Menggunakan Sensor
Polimer Konduktif dan Neural Network. Surabaya: Seminar Nasional
Pascasarjana IX – ITS, ISBN No. 978-979-96565-5-1
Soeparno. 2009. Ilmu Daging Dan Teknologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Susetya,H.2011.Perubahan Otot Menjadi Daging, Pengawetan dan Penyimpanan
Daging. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Sutaryo. 2004. Penyimpanan dan Pengawetan Daging. Semarang: Universitas
Ponogoro.
15