Blok 11 UP 5

48
Blok 11 UP 5 * Unit Pembelajaran 5 Learning Objectives: Mengetahui Etiologi, Gejala Klinis, Pathogenesis, Perubahan Patologi anatomi dan Klinis, Diagnosa Klinis, Pencegahan dan Pengobatan, serta Kerugian yang Ditimbulkan dari Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease) Pembahasan Learning Objectives: I. ETHIOLOGI PENYAKIT MULUT DAN KUKU Penyakit mulut dan kuku, atau sering disebut PMK, adalah salah satu penyakit menular pada hewan dan sangat ditakuti oleh hampir semua negara di dunia, terutama negara-negara pengekspor ternak dan produk ternak. Indonesia pertama kali tertular PMK pada tahun 1887 di daerah Malang, Jawa Timur. Upaya pemberantasan dan pembebasan PMK di Indonesia terus dilakukan sejak tahun 1974 hingga 1986. Pada tahun 1990, penyakit tersebut benar-benar dinyatakan hilang dan secara resmi Indonesia telah diakui bebas PMK oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE). Keberhasilan Indonesia bebas dari PMK merupakan hasil kerja keras berbagai pihak dalam penanggulangan wabah PMK serta didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga memudahkan dalam melokalisasi penyakit ini (Adjid, 2004).

description

learning objective kita

Transcript of Blok 11 UP 5

Page 1: Blok 11 UP 5

Blok 11 UP 5 *

Unit Pembelajaran 5

Learning Objectives:

Mengetahui Etiologi, Gejala Klinis, Pathogenesis, Perubahan Patologi anatomi dan Klinis,

Diagnosa Klinis, Pencegahan dan Pengobatan, serta Kerugian yang Ditimbulkan dari

Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease)

Pembahasan Learning Objectives:

I. ETHIOLOGI PENYAKIT MULUT DAN KUKU

Penyakit mulut dan kuku, atau sering disebut PMK, adalah salah satu penyakit menular

pada hewan dan sangat ditakuti oleh hampir semua negara di dunia, terutama negara-negara

pengekspor ternak dan produk ternak. Indonesia pertama kali tertular PMK pada tahun 1887

di daerah Malang, Jawa Timur. Upaya pemberantasan dan pembebasan PMK di Indonesia

terus dilakukan sejak tahun 1974 hingga 1986. Pada tahun 1990, penyakit tersebut benar-

benar dinyatakan hilang dan secara resmi Indonesia telah diakui bebas PMK oleh Badan

Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE). Keberhasilan

Indonesia bebas dari PMK merupakan hasil kerja keras berbagai pihak dalam

penanggulangan wabah PMK serta didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang berupa

kepulauan sehingga memudahkan dalam melokalisasi penyakit ini (Adjid, 2004).

Pada umumnya PMK menyerang hewan berkuku genap, seperti sapi, kerbau, kambing,

domba, babi, gajah, jerapah, dan menjangan. Penyebab PMK adalah virus family

Picornaviridae, genus apthovirus. Aphthovirus memiliki diameter 23 nm. Serotipe virus ini

ada 7 yaitu O, A, C, SAT (Southern African Territories) 1, SAT2, SAT3 dan Asia 1, (Hirsh,

1999). Virus ini berbentuk icosahedral, non-enveloped, ssRNA, kapsid terdiri dari 60 subunit

identik, setiap subunit terdiri dari 4 protein utama yaitu VP1, VP2, VP3 dan VP4. VP4

terletak di permukaan dalam dari kapsid, (Quinn, 2001).

Virus ini inaktif pada pemanasan lebih dari 50oC, sensitif terhadap asam (pH kurang

dari 6,5), sensitif terhadap alkalin (pH lebih dari 11), namun resisten terhadap ether dan

Page 2: Blok 11 UP 5

chloroform, (Hirsh, 1999). Biasanya menyerang sapi, kambing, domba, babi, kerbau yang

didomestikasi, kerbau Afrika, gajah, landak, kijang dan antelope, (Quinn, 2001).

II. GEJALA KLINIS PENYAKIT MULUT DAN KUKU

A. Sapi

Setelah masa inkubasi 2-8hari, terjadi demam, hilangnya nafsu makan, depresi, dan

anjloknya produksi susu. Dalam waktu 24jam, leleran air liur mulai terjadi, dan terbentuk

vesikel pada lidah dan gusi. Hewan membuka dan menutup mulutnya disertai suara

melenguh yang khas. Vesikel juga terdapat pada kulit diantara jari dan pita koroner dari

kuku dan pada putting. Vesikel segera pecah dan menghasilkan lesi ulserative terbuka

yang besar. Lesi pada lidah seringkali sembuh dalam beberapa hari, tetapi yang pada

kaki dan rongga hidung sering terinfeksi sekunder oleh bakteri yang mengakibatkan

kelemasan yang berkepanjangan dan pengeluaran ingus yang kental (Fenner, 1995).

B. Babi

Pada babi tanda awal sering berupa kelemasan. Lesi pada kaki dapat serius dan

terasa sakit sehingga menyusahkan babi untuk berdiri. Daerah yang terkelupas diantara

kuku biasanya terinfeksi oleh bakteri. Vesikel pada mulut biasanya kurang kentara

dibandingkan dengan pada sapi walaupun vesikel yang besar, yang pecah dengan cepat,

sering timbul pada cungur (Fenner, 1995).

C. Hewan Lain

Penyakit klinis pada domba, kambing, dan ruminansia liar biasaya lebih ringan

ketimbang pada sapid an dicirikan oleh lesi pada kaki yang disertai oleh kelemasan

(Fenner, 1995).

III. PATHOGENESIS PENYAKIT MULUT DAN KUKU

Walaupun infeksi biasanya melalui inhalasi, virus dapat juga masuk ke jaringan melalui

saluran pencernaan, inseminasi, inokulasi dan kulit yang abrasi. Replikasi virus pertama kali

terjadi di mukosa faring dan jaringan limfatik faring. Kemudian terjadi fase viremia dan

replikasi lebih lanjut di nodus limfatikus, glandula mammae, organ lain seperti sel epitel

mulut, moncong, puting susu, rongga interdigitalis dan coronary band. Pada area epitel

skuamus bertingkat, pembentukan vesikel adalah hasil dari pembengkakan dan pecahnya

keratinocytes pada stratum spinosum, (Quinn, 2001).

Ada 3 macam bentuk PMK : bentum dermo-stomatitis yang benigna, bentuk

intermediate toxic lebih berat, dan bentuk ganas yang menginfeksi myocardium dan otot

skelet. Pada PMK ganas, dimulai dengan gejala-gejala berat, suhu tubuh tinggi, sangat lesu,

Page 3: Blok 11 UP 5

pulsus dan respirasi cepat dan mati. Gejala ini nampak pada hari ke 6-7 di saat kesembuhan

seharusnya terjadi. Dalam keadaan ini jantung mengalami pembesaran, otot melunak, dna

bergaris-garis berwarna putih atau kuning dikenal dengan “tiger heart atau jantung macan”

(Subronto, 2003).

Lesi epitel dapat terjadi akibat pembentukan vesikel karena lisisnya sel terinfeksi yang

membengkak dengan pelepasan cairan intraseluler, edema intraseluler dan keluarnya cairan

edema tanpa pembentukan vesikel. Pada FMD malignant, virus menginfeksi otot jantung,

menyebabkan degenerasi dan nekrosis otot jantung, (Hirsh, 1999).

Lesi pada mulut menyebabkan berkurangnya konsumsi pakan, kehilangan berat badan

dan kurus, (Hirsh, 1999). Pecahnya vesikel pada rongga interdigitalis dan coronary band

menyebabkan hewan malas bergerak. Ulser dapat disembuhkan dengan cepat namun

mungkin ada infeksi bakterial sekunder yang memperpanjang proses keradangan. Hewan

dewasa jarang yang terinfeksi hingga mati, namun hewan muda mungkin mati akibat

myocarditis akut. Walaupun virus tidak melewati plasenta, abortus dapat terjadi akibat

respons pyrexial, (Quinn, 2001).

Didalam skenario dikatakan bahwa ada daging kerbau illegal yang masuk ke kampung

Pak Tono. Hal tersebut berhubungan dengan menularnya virus PMK. Karena virus ini dapat

menular lewat makanan beku yang mengandung tulang atau kelenjar limfe. Sebenarnya, virus

PMK ini dalam daging akan menjadi inaktif (mati) saat terjadi pelayuan daging. Ketika pH

daging menjadi asam, namun virus yang berada dalam sumsum tulang dan kelenjar limfe

masih tetap hidup. Oleh karena itu, beberapa negara mensyaratkan pengiriman daging dari

negara tertular PMK tidak boleh mengandung sumsum tulang dan kelenjar limfe. Namun,

mengenai dapat masuknya daging illegal ke Indonesia itu dikarenakan lemahnya system

hukum dan kurangnya kesadaran dari masyarakat sendiri, (Soeharsono, 2005).

IV. PERUBAHAN PATOLOGI ANATOMI DAN KLINIS PENYAKIT MULUT DAN

KUKU

Perubahan patologi anatomi secara makroskopis ditandai dengan adanya vesikel (lepuh-

lepuh berupa tonjolan bulat yang berisi cairan limfe dan ulcer pada rongga mulut, lidah

sebelah atas, bibir sebelah dalam, gusi, langit-langit, lekukan antara tracak kaki dan di

ambing susu, (Ressang, 1984).

Page 4: Blok 11 UP 5

Perubahan patologi anatomi secara mikroskopis ditandai dengan adanya edema inter

dan intraseluller pada stratum spinosum. Namun, jika vesikulanya sudah pecah maka semua

penyakit vesikuler memiliki gambaran mikroskopi yang mirip sehingga tidak dimungkinkan

untuk mendiagnosa penyakit PMK hanya berdasar gambaran mikroskopi. Terlihat pula

adanya degenerasi lemak pada serabut-serabut di jantung. Selain itu pada serabut-serabut juga

terlihat degenerasi hialin dan vakuoler, nekrobiosa, nekrosa, dan kadang-kadang terlihat

perkapuran Degenerasi hialin sampai nekrosis pada dinding ventrikel kiri menyebabkan

perubahan warna dari suram sampai kelabu putih yang tidak merata. Jantung menjadi belang

menyerupai harimau sehingga sering disebut juga dengan tiger heart, (Ressang, 1984).

Pict.2

Perubahan patologi klinis berupa anemia normositik normokromik, dengan anisositosis,

basofilia, PCV turun, Hb turun. Pada saat demam leukopenia (terutama limfosit, jumlah

leukosit turun sampai 2000/ml), eosinofil dan tronbosit hilang dari peredaran. Uremia, TPP

turun, BUN naik.

V. DIAGNOSA KLINIS PENYAKIT MULUT DAN KUKU

Virus dari sampel klinik (cairan vesikel, dll.) dapat dipropagasi dalam kultur sel atau

hewan laboratorium kemudan dilanjutkan karakterisasi fisiokemikal dan uji serologis dengan

CF (complement fixation), viral neutralization, ELISA, Fluorescent Antibody (FA) dan Agar

Gel Immunodiffusion (AGID). Antigen viral dapat diidentifikasi langsung dari jaringan via

CF, AGID, FA dan ELISA. Mikroskop Elektron (EM) dan mikroskop immuno-EM dapat

digunakan untuk diagnosis cepat. Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) digunakan untuk

identifikasi materi genomik, (Hirsh, 1999).

VI. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT MULUT DAN KUKU

Penyakit PMK pada hewan umumnya sembuh spontan tanpa pengobatan. Di daerah

endemik, pengobatan hanya ditujukan untuk infeksi sekunder oleh bakteria. Ada beberapa

tindakan pencegahan, pengendalian, dan pengobatan terhadap wabah PMK, tergantung pada

perkiraan besarnya kerugian yang akan dialami dan kemampuan suatu negara.

Inggris melakukan tindakan stamping out, yaitu membunuh hewan tertular dan hewan

lain yang berdekatan, kemudian mengubur bangkainya di daerah peternakan tersebut.

Sementara itu, lalu lintas hewan ditutup dan kandang tempat ternak sebelumnya didesinfeksi

dengan larutan asam atau basa tertentu.

Page 5: Blok 11 UP 5

Di Indonesia, tindakan drastis seperti ini sulit dilakukan karena mendapat tentangan

dari masyarakat pemilik hewan, seperti pernah terjadi di Bali sekitar tahun 1972. Pemerintah

memilih cara vaksin massal terhadap semua hewan peka PMK selama tiga tahun berturut-

turut di pulau tertular. Vaksin yang digunakan untuk mencegah wabah PMK adalah vaksin

inaktif dari galur virus yang sesuai.

Upaya pemberantasan dan pembebasan PMK di Indonesia terus dilakukan sejak tahun

1974 hingga 1986. Pada tahun 1990, penyakit tersebut benar-benar dinyatakan hilang dan

secara resmi Indonesia telah diakui bebas PMK oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia atau

Office International des Epizooties (OIE). Keberhasilan Indonesia bebas dari PMK

merupakan hasil kerja keras berbagai pihak dalam penanggulangan wabah PMK serta

didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga memudahkan

dalam melokalisasi penyakit ini (Partadiredja, 1985).

Apabila PMK masuk kembali ke Indonesia, penyakit tersebut akan menyebabkan

kerugian ekonomi yang sangat besar, bukan hanya karena mengancam kelestarian populasi

ternak di dalam negeri, tetapi juga mengakibatkan hilangnya peluang ekspor ternak dan hasil

ternak. Oleh karena itu, setelah mengetahui situasi perkembangan terjadinya wabah PMK di

dunia dan pola penularan antar negara serta mengidentifikasi hewan, produk olahan yang

dapat berperan dalam sebagai media penyebaran PMK, maka diberlakukan langkah-langkah

antisipasi pencegahan masuknya PMK. Langkah-langkah tersebut dirumuskan oleh

Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan berupa :

A. Memonitor secara terus menerus perkembangan situasi PMK didunia dengan

membentuk Pusat Pemantauan Krisis PMK. Yang bertugas menghimpun informasi dan

menganalisa resiko ancaman bagi Indonesia dan menyampaikan ke pembuat keputusan

dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan.

B. Mengadakan pengawasan pemasukan komoditi yang berasal dari luar negeri yang dapat

berperan sebagai media pembawa PMK, dengan cara penetapan pelarangan komoditi

masuk/di impor ke Indonesia dari negara yang tertular PMK.

C. Menggerakkan kesiagaan dan pengetatan pengawasan di pintu-pintu masuk (airport,

seaport dan kantor pos) oleh petugas karantina.

D. Berkoordinasi dengan instansi terkait yang terlibat dalam pengawasan komoditi

perdagangan seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pengawas

Obat dan Makanan, Bea & Cukai, dll

E. Menginformasikan setiap ada kebijakan atau keputusan pelarangan masuk komoditi

hewan, produk hewan dan benda lain dari luar negeri, ke berbagai pihak yang

Page 6: Blok 11 UP 5

berkepentingan, termasuk pelaku ekonomi agar masyarakat dapat memahami dan pada

gilirannya diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan masuknya

PMK ke wilayah RI (Partadiredja, 1985).

VII. KERUGIAN YANG DITIMBULKAN DARI PENYAKIT MULUT DAN KUKU

PMK akan mendatangkan kerugian yang cukup besar karena hal-hal berikut ini, (Adjid,

2004):

A. Penurunan produktivitas kerja ternak. Pada sapi potong, produktivitas kerja ternak

penderitan PMK akan menurun.

B. Penurunan bobot hidup. Ternak yang menderita PMK sulit mengonsumsi, mengunyah

dan menelan pakan, bahkan pada kasus yang sangat parah, ternak tidak dapat makan

sama sekali. Akibatnya, cadangan energi tubuh akan terpakai terus hingga akhirnya

bobot hidup menurun dan ternak menjadi

lemas.

C. Gangguan fertilitas. Ternak produktif yang terserang PMK akan kehilangan kemampuan

untuk melahirkan setahun setelah terserang penyakit tersebut. Ternak baru dapat

beranak kembali setelah dua tahun kemudian. Jika pada awalnya seekor ternak mampu

beranak lima ekor, karena penyakit ini

kemampuan melahirkan menurun menjadi tiga ekor atau kemampuan menghasilkan

anak menurun 40%.

D. Kerugian ekonomi akibat penutupan pasar hewan dan daerah tertular. Dalam keadaan

terjadi serangan PMK, seluruh kegiatan di pasar hewan dan rumah pemotongan hewan

(RPH) ditutup. Akibatnya, pekerja di pasar hewan dan RPH, pedagang ternak, serta

pengumpul rumput akan kehilangan mata pencaharian selama jangka waktu yang tidak

menentu.

E. Hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil bahan hewan, dan pakan.

Daftar Pustaka

Adjid. 2004. Mengenal Lebih Jauh Penyakit Mulut dan Kuku

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/ publikasi/wr266046.pdf diakses pada tanggal

10/05/2011

Fenner, Fransk J. 1995. Edisi Kedua Virologi Veteriner. California: Academic Press.

Hirsh, D. C., Zee, Y. C. 1999. Veterinary Microbiology. London: Blackwell Science, Inc.

Page 7: Blok 11 UP 5

Partadiredja, Danuwidjaja D. dkk. 1985. Penyakit Mulut dan Kuku di Indonesia Berbagai

Aspek Dan Pengendaliannya. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat

Jenderal Peternakan.

Quinn, P.J, et all. 2001. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. London: Blackwell

Science, Inc.

Soeharsono. 2005. Zoonosis Volume 2 Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Blok 11 UP 4 *

Unit Pembelajaran 4

Learning Objective:

Mengetahui Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, Patologi Anatomi dan Patologi Klinis,

Diagnosa, serta Pencegahan dan Pengobatan dari Penyakit Leptospirosis

Pembahasan Learning Objective:

I. ETIOLOGI LEPTOSPIROSIS

Leptospira merupakan anggota famili Leptospiraceae. Genus Leptospira memiliki dua

spesies: L. biflexa yang beranggotakan seluruh leptospira apatogenik, dan L.

interrogans yang mewakili spesies patogenik. Berdasarkan variasi antigen

permukaan, L. interrogans disubklasifikasi menjadi lebih dari 100 serovar dalam 19

serogrup (Kayser, 2005). Spesies leptospira (genospesies) sekarang diklasifikasikan

berdasarkan homologi DNA. L. borpetersenii, L. fainei, L. inadai, L. interrogans

sensu stricto, L. kirschneri, L. meyeri, L. noguchi, L. santarosai, L. alexanderi dan L.

weilii dikenal sebagai spesies yang patogen (Quinn, 2002).

Leptospira memiliki panjang 10-20 μm dan tebal 0,1-0,2 μm. Mereka tidak memiliki

flagella, tetapi bisa bersifat motil karena menggunakan pergerakan rotasi dari badan

selnya. Visualisasi leptospira paling baik dilakukan menggunakan teknik mikroskopis

medan gelap (dark field) atau fase kontras (phase contrast). Leptospira dapat tumbuh

pada medium kultur khusus dengan kondisi aerobik pada suhu antara 27-300C

(Kayser, 2005).

Leptospira patogen diklasifikasikan menjadi satu spesies yaitu Leptospira interrogans

yang beranggotakan 212 serovar yang dikelompokkan dalam 23 serogrup, contohnya

Page 8: Blok 11 UP 5

L. interrogans serovar pomona. Diferensiasi antar serovar (dahulu disebut serotipe)

didasarkan pada cross-agglutination test.

Serovar merupakan tipe pembagian (klasifikasi) paling kecil yang didasarkan pada uji

serologis. Penamaan serovar ditulis dengan huruf kecil semua, contohnya serovar

pomona. Nama serovar dahulu ditulis italic (miring) tetapi sekarang tidak

direkomendasikan lagi. Serovar-serovar tertentu dikelompokkan dalam grup yang

disebut serogrup, yang bukan merupakan status taksonomi, tetapi cocok digunakan

dalam diagnosis dan epidemiologi. Penamaan serogrup ditulis dengan huruf kecil

diawali dengan huruf besar, contohnya serogrup Pomona. Beberapa serovar lebih

lanjut dikelompokkan menjadi subgrup berdasarkan analisis genom. Subgrup tersebut

merupakan tipe serovar, tetapi secara serologis tidak bisa dibedakan satu dengan yang

lain (contohnya serovar hardjo, tipe hardjoprajitno dan hardjobovis). Untuk efisiensi,

penulisan serovar spesifik leptospira bisa disingkat, misalnya L. pomona untuk

Leptospira interrogans serovar pomona (Radostits, 2006).

II. PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS

Leptospira memasuki tubuh melalui selaput lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit

yang menjadi lebih lunak karena terkena air. Selanjutnya, organisme akan terbawa ke

berbagai bagian tubuh, dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar

susu dan selaput otak. Organisme tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-

sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit leptospira dapat

ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa hari

setelah infeksi dapat dijumpai fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada minggu

pertama. Beberapa serovar yang menghasilkan eksostoksin sedang serovar lainnya

menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak dinding kapiler pembuluh darah. Pada

proses infeksi yang berkepanjangan reaksi immunologik yang timbul dapat

memperjelek keadaan hingga kerusakan jaringan makin diperberat. Berbeda dengan

infeksi oleh kuman-kuman lain, pada leptospirosis tidak dibebaskan eksotoksin oleh

organisma leptospira.

Leptospira hidup dengan baik di dalam tubulus kontortus ginjal. Mungkin organisme

tersebut akan dibebaskan melalui kemih untuk jangka waktu yang lama, meskipun

kadar antibodi hewan penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat kebal

dapat ditemukan di tempat-tempat yang mengalami infeksi. Sampai sekarang tidak

ada uraian yang dapat menjelaskan hal tersebut. Organisme leptospira dapat hidup di

dalam kemih yang tidak diencerkan sampai beberapa jam pada suhu 150C, dan

Page 9: Blok 11 UP 5

beberapa hari pada suhu 40C. Apabila kemih tersebut terlarut di dalam air yang serasi,

leptospira dapat hidup lebih lama lagi.

Pada sapi bunting, janin dan pembungkus janin memiliki kerentanan yang tinggi terhadap

infeksi pada masa kebuntingan sekitar lima bulan keatas. Karena infeksi, janin akan

mati dan keluron (premature stillbirth) akan terjadi pada sekitar dua minggu sejak

terlihatnya gejala klinis. Usaha isolasi leptospira dari janin yang digugurkan biasanya

tidak membuahkan hasil.

Kematian penderita leptospirosis terjadi karena septisemia, anemia hemolitika, kerusakan

hati atau oleh terjadinya uremia. Beratnya penderitaan bervariasi tergantung pada

umur dan spesies penderita serta serovar leptospira penyebab infeksi. Dalam satu

kelompok hewan, kadang-kadang dijumpai pedet yang menderita infeksi, misalnya

oleh L. pomona, yang gejalanya sangat bervariasi, mulai dari yang sangat ringan

sampai yang bersifat fatal.

III. PATOLOGI ANATOMIS DAN PATOLOGI KLINIS

A. Patologi Anatomis

Leptospirosis bentuk akut ditandai dengan ikterus, anemia, hemoglobinuria, dan

perdarahan submukosal maupun subserosa. Pada selaput lendir abomasum mungkin

ditemukan adanya tukak-tukak (ulserasi) dan perdarahan. Bila bilirubinemia yang

terjadi cukup berat, akan dapat diikuti dengan edema maupun emfisema paru-paru.

Secara histologis lesi utama berupa sebagai radang ginjal interstitial, baik yang bersifat

fokal maupun difus. Perubahan nekrotik yang bersifat sentrolobuler dan vaskuler

terdapat pada histologi hati. Lesi pada hati terdapat meluas pada kasus yang bersifat

fatal. Pada otak dan selaput-selaputnya mungkin dijumpai lesi pada pembuluh darah.

Radang ginjal interstitial pada sapi yang menderita leptospirosis subakut oleh kuman

L. pomona terlihat dengan jelas sesuai dengan proses kelangsungan infeksinya.

Bercak-bercak putih, berukuran kecil tampak pada korteks ginjalnya.

Organisme leptospira mungkin dapat ditemukan dari preparat irisan hati dan ginjal,

dengan pengecatan impregnasi perak (Subronto, 2003).

B. Patologi Klinis

Pada leptospirosis terjadi berbagai kelainan pada sel, jaringan dan organ. Pada liver

terjadi disfungsi hepatoseluler termasuk menurunnya produksi faktor pembekuan,

menurunnya produksi albumin, serta menurunnya esterifikasi kholesterol, terjadi

kholestasis intrahepatik serta hiperplasi dan hiperthropi sel Kupffer, serta apoptosis

hepatosit selama berlangsungnya infeksi. Manifestasi leptospirosis ikterik yang

Page 10: Blok 11 UP 5

disertai gagal ginjal dilaporkan pertama kali oleh Adolf Weil di Heidelberg 100 tahun

yang lalu (Anonim. 2011).

Kelainan pada ginjal terjadi akibat komplek imun serta efek toksik langsung dari

Leptospira yang merusak tubulus, vaskulitis, kerusakan endotel, terjadi hipoksemia,

nefritis interstisial, nekrosis tubuler akut. Nefritis dan nekrosis tubuler akut, keduanya

diakibatkan akibat migrasi spirochaeta kedalam ginjal serta deposisi antigen

Leptospira pada glomerolus dan tubulus yang mengakibatkan terjadinya gagal ginjal

dan kematian penderita (Anonim. 2011).

Pada paru terjadi kongesti pulmonum, perdarahan-perdarahan, infiltrasi monosit dan

neutrofil di rongga alveoler, dan Leptospira juga dapat ditemukan di dalam sel-sel

endotel septa interalveoler serta kapiler. Keruasakan kapiler pulmoner mendorong

terjadinya perdarahan di paru dan gagal nafas akut sebagai penyebab kematian

penderita leptospirosis berat. Pada jantung terjadi miokarditis interstisial dan arteritis

koroner (Anonim. 2011).

Gangguan pada susunan saraf pusat terutama terjadi pada minggu pertama infeksi. Dalam

masa tersebut Leptospira dapat ditemukan dalam cairan cerebrospinal, tetapi tidak

akan menimbulkan meningitis sepanjang cukup tersedia imunoglobulin. Manifestasi

gangguan pada sistem saraf adalah neuritis atau polineuritis, perubahan mental

termasuk perasaan bingung, delirium, depresi mental, maupun psikosis yang dapat

berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun atau lebih (Anonim. 2011).

Pada mata, manifestasinya berupa iritis, iridoksiklitis, dan uveitis kronis. Pada otot ,

terjadi perubahan vakuola-vakuola sitoplasma dan infiltrasi leukosit

polimorfonuklear. Pada vaskuler terjadi vaskulitis, jejas endotel kapiler. Pada eritrosit

dapat terjadi hemolisis. Manifestasi perdarahan dapat terjadi pada 33% kasus

leptospirosis. Pada otot kerangka terutama daerah betis terjadi nekrosis fokal, miositis

pada sel-sel otot yang disertai infiltrasi sel-sel histiosit, neutrofil dan sel plasma

(Anonim. 2011).

Pada fase imun infeksi Leptospira, terkait dengan respon imun diawali sewaktu sel B atau

sel T berikatan dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel B atau sel T sebagai

benda asing. Lipoprotein pada membran luar Leptospira merupakan protein

permukaan yang akan dikenali sebagai benda asing oleh sel B atau sel T. Karena

dianggap asing maka lipoprotein tersebut berperan sebagai antigen, dan bersifat

imunogenik sehingga dapat menstimulasi sel T dan sel B menjadi aktif, terjadi

multiplikasi dan berdeferensiasi lebih lanjut (Anonim. 2011).

Page 11: Blok 11 UP 5

Respon sel B terhadap lepoprotein pada protein membran luar Leptospira potensial

memicu keradangan. Sel plasma yang terdapat di dalam sirkulasi, limpa, segera

merespon terhadap lipoprotein Leptospira tersebut dengan menghasilkan antibodi atau

imunoglobulin yang kemudian berikatan dengan antigen tersebut dan terbentuk

kompleks antigen-antibodi (Anonim. 2011).

Meningkatnya aktivitas sel plasma selama berlangsungnya leptospirosis termasuk

meningkatnya aktifitas pembelahan secara ekstensif dan menghasilkan lebih dari 10

juta salinan antibodi dalam satu jam. Selama berlangsungnya infeksi Leptospira akan

terjadi respons imun humoral yang mempengaruhi ekspresi protein (Anonim. 2011).

Pada waktu leptospiremia sebagian besar Leptospira akan dimusnahkan oleh

imunoglobulin. Imunoglobulin akan menghancurkan Leptospira yang mereka ikat

melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung. Efek langsung terjadi sewaktu

pengikatan antigen ke bagian Fab antibodi mengakibatkan kompleks antigen-antibodi

terpresipitasi keluar sirkulasi atau mengalami aglutinasi bersama kompleks lain. Efek

tidak langsung terjadi bila bagian Fc diaktifkan. Hal ini merangsang reaksi

peradangan , termasuk mengaktifkan komplemen, peningkatan aktivitas makrofag,

dan fagositosis. Leptospira yang tinggal pada beberapa organ liver, limpa, ginjal dan

lain-lain menginduksi terjadinya berbagai keadaan patologis sehingga

memunculkansindrom klinis (Anonim. 2011).

IV. GEJALA KLINIS LEPTOSPIROSIS

Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi dari ringan sampai berat. Masa inkubasi

berkisar 1–2 minggu (2-20 hari).

Anicteric Leptospirosis, merupakan bentuk klinis yang ringan dengan gambaran seperti

influenza, demam, sakit kepala hebat, mual, muntah dan nyeri otot. Nyeri toto

terutama pada betis, punggung dan perut. Bentukan lain dapat berupa batuk dan nyeri

tenggorokan. Bentukan lain yang cukup sering adalah adanya demam disertai

kekaburan dari konjungtiva. Bentukan yang jarang seperti pembesaran kgb, ruam

pada kulit, pembesaran hati dan lien. Pada umumnya gejala akan hilang dalam 1

minggu (Subronto, 2003).

Leptospirosis Berat (Weil’s syndrome), merupakan bentuk berat dari leptospirosis dengan

karakteristik badan menjadi kuning, gangguan fungsi ginjal, perdarahan dari lubang

hidung. Mortalitas terjadi berkisar 5 – 15%. Gangguan organ terjadi setelah 4 – 9 hari

pasca infeksi. Berat ringannya kuning pada tubuh tidak sesuai dengan derajat

kerusakan pada hati. Kerusakan pada ginjal yang berat dapat mengakibatkan

Page 12: Blok 11 UP 5

penurunan dari perfusi ginjal dan menimbulkan pengeluaran air seni yang sedikit

bahkan tidak ada (Subronto, 2003).

Kerusakan pada paru-paru menyebabkan gangguan seperti batuk, sesak, nyeri dada, dan

bahkan batuk berdarah. Perdarahan sering tampak pada Weil’s syndrome seperti

perdarahan hidung, dan kulit. Pada kondisi berat dapat ditemukan kerusakan pada otot

gerak, jantung yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi jantung dan kematian

(Subronto, 2003).

Leptospirosis pada sapi dan domba:

Sapi hospes untuk L. borgpetersenii serovar hardjo dan bukti ada peningkatan, domba

juga merupakan hospes dari serovar ini. Leptospira interrogans serovar hardjo juga

berhospes pada ternak lainnya. Meskipun L. interrogans serovar Hardjo muncul

hanya menyebabkan kasus sporadis penyakit pada sapi, mungkin dia lebih ganas dari

L. borgpetersenii serovar Hardjo. Infeksi mungkin juga mengakibatkan aborsi dan

stillbirths. Jika manajemen praktek memungkinkan paparan infeksi dan selanjutnya

pengembangan kekebalan peternakan sebelum usia, masalah reproduksi mungkin

tidak berkembang. Agalactia disebabkan oleh leptospiral infeksi dapat

dikonfirmasikan dengan menunjukkan suatu peningkatan titer antibodi pada sampel

serum pasangan. Infeksi oleh serovar Hardjo pada domba, khususnya di kawanan

dataran rendah dikelola intensif, dapat menyebabkan aborsi dan agalactia.

Dihydrostreptomycin atau amoksisilin dapat digunakan untuk mengurangi atau

menghilangkan ekskresi urin dari organisme. Baik monovalen dan multivalent tidak

aktif vaksin yang tersedia secara komersial, mungkin tidak selalu efektif. Infeksi

serovarspomona, grippotyphosa, dan icterohaemorrhagiae dapat menyebabkan

penyakit serius, khususnya di betis dan domba. Infeksi biasanya disertai oleh pireksia,

haemoglobinuria, penyakit kuning dan anoreksia. Luas kerusakan ginjal dengan

uraemia resultan sering mendahului kematian. Vaksinasi digunakan untuk mengontrol

serovar Pomona yang merupakan penyebab aborsi sapi di beberapa negara (Quinn,

2002).

Leptospirosis pada kuda:

Meskipun bukti serologis infeksi leptospiral adalah umum pada kuda, penyakit klinis

jarang terjadi. Infeksi dengan serovar Bratislava, yang telah dikaitkan dengan aborsi

dan stillbirths pada kuda. Penyakit klinis yang paling sering mengakibatkan infeksi

insidental adalah serovar Pamona, meskipun serovar lainnya telah terlibat. Tanda-

tanda meliputi aborsi di kuda dan penyakit ginjal pada kuda muda. Sebuah immune-

Page 13: Blok 11 UP 5

mediated anterior uveitis (ophthalmia periodik, 'kebutaan bulan') mungkin merupakan

manifestasi dari leptospirosis kronis pada kuda. reaksi silag antara leptospiral antigen

dan protein dari kornea dan lensa menunjukkan bahwa mekanisme autoimun mungkin

terlibat. Vaksin Leptospiral saat ini tidak diizinkan untuk digunakan pada kuda

(Quinn, 2002).

Leptospirosis pada babi

Leptospirosis akut pada babi biasanya disebabkan oleh rodent-adapted serovar seperti

icterohaemorrhagiae dan copenhagenii. Kedua serovar ini menyebabkan masalah

serius, kadang fatal, penyakit pada babi muda dengan tanda-tanda mirip dengan

leptospirosis akut pada spesies lain. Di banyak bagian dunia, serovar pokok adalah

pomona. Babi terinfeksi subklinis pomona bisa terjangkit leptospira dari urin untuk

waktu yang lama. Infeksi dapat mengakibatkan kegagalan reproduksi termasuk aborsi

dan stillbirths. Babi juga berperan sebagai hospes dari serovar tarassovi

dan bratislava, yang juga dapat menyebabkan kegagalan reproduksi (Quinn, 2002).

Leptospirosis pada anjing dan kucing

serovar yang terkait dengan leptospirosis pada anjing adalah canicola dan

icterohaemorrhagiae. Penggunaan luas memasukkan vaksin serovar ini telah

mengakibatkan

serovars gripporyphosa dan pomona muncul sebagai patogen anjing yang penting

(Rentko et al, 1992.). Serovar canicola, yang berhospes pada anjing, menyebabkan

penyakit ginjal parah pada anjing. Pada hewan yang selamat dari fase akut, sindrom

uremik kronis selanjutnya bisa terjadi. Insidental infeksi pada anjing biasanya

disebabkan oleh icterohaemorrhagiae yang ditandai dengan perdarahan akut,

penyakit atau kegagalan hati dan ginjal subakut. Dalam infeksi insidental anjing selain

serovar icterohaemorrhagiae atau copenhagenii, tanda-tanda keterlibatan ginjal

biasanya mendominasi. Hal ini dianggap bahwa serovar bratislava, yang telah

dikaitkan dengan aborsi dan

infertilitas, menjadi disesuaikan dengan anjing yang dapat bertindak sebagai hospes.

Meskipun leptospirosis klinis jarang ditemukan pada kucing, infeksi oleh sejumah

serovars telah dilaporkan (Quinn, 2002).

IV. METODE DIAGNOSA LEPTOSPIROSIS

Deteksi dan identifikasi leptospira dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada

kultur. Darah, cairan cerebrospinal, urine, atau biopsi organ, yang tidak

terkontaminasi bakteri lain, diinkubasi pada medium khusus pada 27-300C selama tiga

Page 14: Blok 11 UP 5

sampai empat minggu. Pengecekan mikroskopik (medan gelap) dilakukan setiap

minggu untuk melihat jika ada proliferasi leptospira (Kayser, 2005).

Kultur: Dengan mengambil specimen dari darah atau CSS selama 10 hari pertama

perjalanan penyakit. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil

specimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urine diambil

setelah 2-4 minggu onset penyakit. Kadng-kadang kultur urin masih positif selama

memerapa bulan atau tahun setelah sakit. Untuk isolasi leptospira dari cairan atau

jaringan tubuh, digunakan medium Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris; atau

medium Fletcher dan medium Korthof. Spesimen dapat dikirim ke laboratorium untuk

dikultur , karena leptospirosis dapat hidup dalam heparin, EDTA atau sitrat sampai 11

hari. Pada specimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan

(Subronto, 2003).

Serologi: Uji serologi dapat dilgunakan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan

cepat, yaitu dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaktion (PCR), silver stain, atau

fluroscent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap (Subronto, 2003).

Metode yang dipilih untuk diagnosis laboratorik adalah assay antibody. Antibodi yang

diproduksi setelah minggu pertama infeksi akan terdeteksi menggunakan uji lisis-

aglutinasi kuantitatif (Kayser, 2005).

Prosedur Diagnostik

- Diagnosis leptospirosis pada hospes biasanya membutuhkan screening pada populasi

yang terkena.

- Tanda-tanda klinis dan sejarah exppsure terhadap urine terkontaminasi, mungkin

menjadi penyebab leptospirosis akut.

- Organisme mungkin bisa dideteksi pada urine segar dengan dark-field microscopy,

tetapi teknik ini relatif tidak sensitif.

- Leptospira dapat diisolasi dari darah sejak tujuh sampai sepuluh hari pertama infeksi

dan dari urine sekitar dua minggu setelah awal infeksi dengan kultur pada medium

cair atau dengan inokulasi pada hewan. Serovar yang pertumbuhannya lambat seperti

hardjo membutuhkan inkubasi selama enam bulan pada media cair pada suhu 300C.

Biasanya digunakan medium EMJH (Ellinghausen, McCullough, Johnson, and

Harris) yang berisi 1% bovine serum albumin dan Tween 80.

- Isolat diidentifikasi menggunakan profil DNA dan serologi.

Page 15: Blok 11 UP 5

- Prosedur fluorescent antibody sering digunakan untuk demonstrasi leptospira di

jaringan. Jaringan yang cocok misalnya ginjal, hati, dan paru-paru. Teknik impregnasi

perak juga dapat digunakan untuk demonstrasi leptospira.

- Hibiridisasi DNA, PCR, magnetic immunocapture PCR, dan immunomagnetic antigen

capture system juga telah dikembangkan untuk demonstrasi infeksi leptospiral di

jaringan dan urine.

V. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Pada hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan

perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan

perawatan. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin,

ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi

suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infuse (Eldredge, 2007).

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin Leptospira

untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus

bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan

vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang

beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L.

ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur

12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah

vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam

bulan (Eldredge, 2007).

Pada Manusia leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,

ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati

dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin (Nurheti, 2007).

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus

mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih

merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang

memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan

antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di

mana hewan berada (Nurheti, 2007)

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini.

Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis.Selain itu,

para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air.

Page 16: Blok 11 UP 5

Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari

lingkungan terutama sumber air (Dharmojono, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. http://www.jevuska.com/topic/patofisiologi+leptospirosis.html diakses

pada tanggal 4/5/2011

Dharmojono. 2002. Leptospirosis-Antthrax-Mulut dan Kuku-Sapi Gila, Waspadailah

Akibatnya! (edisi ke-1). Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Eldredge, Debra M. 2007. Dog owner’s Home Veterinary Handbook (edisi ke-4th).

Hoboken: Willey Publishing Inc.

Kayser, F., Bienz, K. A., Eckert, J., & Zinkernagel, R. (2005). Medical Microbiology.

New York: Thieme.

Nurheti. 2007. di dalam Agnes Heni Triyuliana (dalam bahasa Indonesia). Hidup Sehat

Bersama Hewan Kesayangan(edisi ke-1). Yogyakarta: Andi Offset.

Quinn, P. M. (2002). Veterinary Microbiology and Microbial Disease. London:

Blackwell Science.

Radostits, O. G. (2006). Veterinary Medicine 10th Edition. New York: Saunders Elsevier.

Subronto. (2003). Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) 1. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Posted 18th June 2011 by Fifififififiii

Blok 11 UP 7

Unit Pembelajaran 7

Learning Objectives:

I. Mengetahui Etiologi, Pathogenesis, Gejala Klinis, Perubahan Patologis, Diagnosa, serta

Pencegahan dan Pengobatan Rabies

Page 17: Blok 11 UP 5

II. Mengetahui Etiologi, Pathogenesis, Gejala Klinis, Perubahan Patologis, Diagnosa,

serta Pencegahan dan Pengobatan Distemper

III. Mengetahui Diferensial Diagnosa dari Rabies dan Distemper

Pembahasan Learning Objectives:

I. RABIES

A. Etiologi

Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Virus

rabies merupakan virus asam ribonukleat berantai tunggal, beramplop, berbentuk

peluru dengan diameter 75-80 nm termasuk anggota kelompok Rhabdovirus. Amplop

glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion.

Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus

rabies, membangkitkan antibodi neutralisasi dan antibodi penghambat hemaglutinasi,

dan merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibodi yang

mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya

bersifat protektif. Antibodi antirabies digunakan pada analisisis munofluororescent

diagnostik yang umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies

dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat antigenik dan

biologik. Variasi-variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi

antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan

dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang

progresif, (Elcamo, 1997).

Rhabdovirus merupakan partikel berbentuk batang atau peluru berdiameter 75 nm kali

panjang 180 nm. Partikel dikelilingi oleh selubung selaput dengan duri yang menonjol

yang panjangnya 10 nm, dan terdiri dari glikoprotein tunggal. Genom beruntai

tunggal, RNA negative-sense (12 kb; BM 4,6 x 106) yang berbentuk linear dan tidak

bersegmen. Sebuah virus rabies yang lengkap diluar inang (virion) mengandung

polimerase RNA. Komposisi dari virus rabies ini adalah RNA sebanyak 4%, protein

sebanyak 67%, lipid sebanyak 26%, dan karbohidrat sebanyak 3%. Rhabdovirus

melakukan replikasi dalam sitoplasma dan virion bertunas dari selaput plasma

(Elcamo, 1997).

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 560C waktu paruh kurang dari 1

menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 370C dapat bertahan beberapa jam.

Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi yodium. Virus rabies

Page 18: Blok 11 UP 5

dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies

merupakan genotipe 1, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat

lyssa-virus genotipe 5 dan 6 (Elcamo, 1997).

B. Patogenesis

Sebagian besar infeksi disebabkan oleh air liur yang menyerang otot ataupun membran

mukosa. Dengan mengikuti periode replikasi, kemungkinan ketika separuh dari masa

inkubasi, virus ini akan dialirkan secara sentripetal melalui nervus perifer dan syaraf

spinal menuju ke otak. Waktu interval antara inokulasi virus pada suatu tempat akan

digunakan oleh virus tersebut untuk menginfiltrasi serum hyperimmune pada tempat

tersebut. Virus ini biasanya dibawa dengan arah sentrifugal dari CNS dan mencapai

glandula salivarius melaui inervasi nervus ke daerah tersebut. Inilah yang

menyebabkan virus ini sering ditemukan pada glandula salivarius, bukannya di otak.

Distribusi lewat sirkulasi darah dapat terjadi namun jarang ditemukan. Walaupun

penyakit ini dapat berakibat fatal, namun kesembuhan tetap dapat terjadi pada

beberapa hewan dan manusia (Fenner, F.J., 1993).

Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui gigitan atau kadang-kadang cakaran hewan

penderita rabies atau jika air liur yang mengandung virus dari hewan penderita rabies

mengenai luka yang terbuka. Virus dapat masuk secara langsung ke dalam ujung saraf

yang ada di tempat gigitan, atau pada otot. Setelah itu masuk ujung syaraf tepi.

Genom virus selanjutnya berpindah secara sentripetal dalam sitoplasma dari akson

sistem syaraf tepi sampai mencapai sistem syaraf pusat, biasanya di sumsum tulang

belakang. Masuknya virus ke dalam sumsum tulang belakang dan kemudian otak

(khususnya sistem pinggang) berkaitan dengan gejala klinis tidak berfungsinya syaraf

(Fenner, F.J., 1993).

Biasanya, bersamaan dengan infeksi saraf pusat yang menyebabkan keberingasan, virion

juga dilepaskan oleh bagian puncak dari sel penghasil lendir pada kelenjar ludah dan

selanjutnya berada dalam konsentrasi tinggi pada air liur. Pada beberapa kasus, virus

dikeluarkan ke dalam air liur beberapa hari (terkadang 14 hari) sebelum timbulnya

gejala klinis pada kasus yang lain, atau virus mungkin tidak pernah ada dalam air liur,

bahkan sampai akhir stadium penyakit. Selama berlangsungnya rabies, respon imun

spesifik dan keradangan inang tidak banyak dirangsang, barangkali karena infeksinya

tidak merusak sel pada otot dan sistem syaraf, dan karena infeksinya sebagian besar

terpusat pada lingkungan sistem syaraf yang terpisah secara imunologik. Setelah mati,

kecuali untuk infiltrasi sedang dari sel radang mononuklear pada sistem syaraf, hanya

Page 19: Blok 11 UP 5

akan terdapat sedikit bukti histologi adanya respon inang terhadap infeksi.

Selanjutnya pada hewan yang mengalami infeksi secara percobaan, antibodi

penetralisasinya mencapai level yang bermakna hanya menjelang kematiannya, ketika

sudah terlambat untuk menolongnya, dan dapat membantu dalam immunopatologi

dari penyakit (Fenner, F.J., 1993).

C. Gejala klinis

Hewan peka yang menunjukkan tanda spesifik dengan sedikit variasi abnormal, yaitu

diantaranya karnivora, ruminansia, kelelawar, dan manusia. Gejala klinis, terutama

pada anjing, dapat dibedakan dalam 3 fase :

1. Prodormal phase

2. Excitative phase

3. Paralytic phase

Terminologi ‘furious form’ artinya hewan yang mengalami fase eksitasi pre-dominan,

dan ‘dumb’ atau ‘paralytic rabies’ artinya anjing yang mengalami fase eksitasi pendek

ataupun tidak sama sekali sehingga penyakit ini akan melanjut secara cepat menuju

fase paralisis. Pada kebanyakan hewan, tanda pertama adalah perubahan tingkah laku,

dimana kemungkinan hewan tidak dapat membedakan makanan yang akan dimakan,

terluka, terdapat benda asing pada mulut, keracunan, ataupun infeksi penyakit awal.

Perubahan temperatur tidak signifikan dengan ketidakmampuan menahan air liur.

Hewan umumnya akan berhenti makan dan minum lalu menyendiri. Seringkali,

ditemukan iritasi ataupun stimulasi pada traktus urogenital, yang ditandai dengan

seringnya urinasi, ereksi pada hewan jantan, dan meningkatnya libido. Setelah periode

prodormal selama 1-3 hari, hewan akan menampakkan gejala paralisis dan berubah

menjadi buas. Karnivora, babi, dan kuda akan menggigit sesamanya. Sapi akan

mendorong dan menendang benda-benda di sekitarnya. Penyakit ini akan melanjut

sangat cepat setelah melewati fase paralisis.

Bentuk Paralisis : Ditandai dengan paralisis awal dari tenggorokan dan musculus

masseter, biasanya diikuti dengan hipersalivasi dan ketidakmampuan untuk berjalan

secara seimbang. Anjing pada kondisi ini akan sering meletakkan kepalanya di lantai.

Seringkali pemilik akan memeriksa mulut anjing atau sapi miliknya dengan tangan

kosong, untuk memeriksa apakah ada benda asing. Pada saat inilah hewan akan mulai

menjadi buas dan menggigit. Paralisis akan menjalar secara cepat ke seluruh tubuh,

hewan akan mengalami koma, kemudian kematian akan terjadi setelah beberapa jam

kemudian.

Page 20: Blok 11 UP 5

Bentuk Buas : Rabies bentuk ini sudah klasik ditemukan dan dikenal sebagai ‘mad-dog

syndrome’ dimana hewan menjadi irrasional, buas serta agresif. Ekspresi wajah

menjadi tajam dan gelisah, dengan dilatasi pupil, dan penciuman yang tajam. Hewan

akan kehilangan konsentrasi dan lupa pada musuh alaminya. Disini tidak ada paralisis

selama fase eksitasi. Umumnya jarang ada anjing yang mampu melewati 10 hari

setelah munculnya gejala ini. Anjing dengan penyakit rabies bentuk ini akan

melarikan diri ke jalanan, dan menggigit hewan lain, manusia, dan benda-benda

lainnya. Mereka akan sulit membedakan antara feses, buah, batang, dan bebatuan.

Anjing rabies akan mengunyah kawat dan perisai kandang untuk mengasah gigi

mereka, dan akan mengikuti gerakan tangan di depan kandang mereka mencoba untuk

menggigit. Anjing kecil biasanya akan menjauhi kerumunan orang dan bermain

sendiri, tetapi jika dibelai akan menggigit pada akhirnya, dan berubah menjadi buas

beberapa jam kemudian. Selama penyakit ini berlanjut, hewan akan mengalami

inkoordinasi otot dan konvulsi. Kematian adalah hasil terakhir dari lanjutan paralisis.

Kucing domestik dapat dengan tiba-tiba menyerang, menggigit, dan mencakar dengan

buas. Rubah juga seringkali tiba-tiba menyerbu dengan jarak beberapa yard dari

rumah, menyerang anjing dan manusia. Tingkah laku irrasional bagi rubah untuk

menyerang landak. Penemuan bulu landak pada sekitar mulut rubah, pada beberapa

kasus, dapat meneguhkan diagnosa penyakit rabies. Rubah yang terinfeksi rabies akan

tertarik pada hewan ternak yang kebetulan lepas, dan kemudian akan menyerang

mereka di luar areal peternakan.

Rabies pada sapi umumnya diikuti oleh gejala yang sama, namun bentuk kebuasannya

akan lebih berbahaya, karena disamping menyerang mereka juga akan memburu dan

mengejar manusia ataupun hewan lain yang berada di sekitarnya. Kuda akan

memperlihatkan pengaruh yang lebih ekstrim, yaitu dengan berguling-guling di tanah

seperti kasus indigesti. Seperti spesies lainnya, mereka akan menggigit dan menginjak

dengan ganas, karena ukuran tubuh dan kekuatannya, menjadi tidak terkontrol dalam

beberapa jam. Seringkali mereka juga akan melukai dirinya sendiri. Kelelawar vampir

biasanya terbatas dan hanya ditemukan di sekitar Amerika Selatan, Trinidad, Amerika

Tengah, dan Mexico. Hewan ini akan terbang dan dapat tiba-tiba menyerang hewan

lain, kecuali untuk makan. Makanan asli mereka adalah darah segar. Walaupun yang

lebih disukai adalah hewan ternak, bukan berarti mereka tidak menyerang hewan lain,

termasuk manusia, dengan menggigit dan menghisap darah dari bekas luka gigitan

tersebut. Gejala klinis rabies mirip pada sebagian besar spesies, tetapi sangat

Page 21: Blok 11 UP 5

bervariasi antara individu. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa

inkubasinya biasanya antara 14 sampai 90 hari, tetapi dapat jauh lebih lama. Masa

inkubasi 2 tahun telah dilaporkan pada kucing, dan empat kasus pada manusia telah

diperkirakan di negara industri dengan masa inkubasi terbukti dari setidaknya 11

bulan sampai 6 tahun. Pada masing-masing kasus manusia itu, virusnya diketahui

merupakan genotip anjing dari negara berkembang (Fenner, F.J., 1993).

Virus rabies menginfeksi CNS sehingga mampu menyebabkan encephalopathy dan

kematian. Gejala klinis awalnya tidak spesifik, meliputi demam, sakit kepala, dan

tidak enak badan. Dan proses selanjutnya pasien akan mengalami insomnia,

kecemasan, kebingungan, paralisis ringan atau parsial, eksitasi, halusinasi, agitasi,

hipersalivasi, kesulitan menelan, dan hydrophobia (takut air). Kematian biasanya

terjadi beberapa hari setelah gejala klinis pertama terdeteksi. Terdapat fase prodomal

sebelum tampaknya penyakit klinis, yang seringkali tidak teramati pada hewan atau

hanya dapat disimpulkan dari adanya perubahan tingkah laku. Dikenal dua bentuk

klinis penyakit, yaitu: bentuk beringas (hewan menjadi gelisah) dan bentuk loyo atau

paralisis. Pada bentuk beringas, hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan seringkali

berbahaya karena mereka tidak lagi mempunyai rasa takut kepada manusia dan

menggigit segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Hewan ini seringkali tidak

mampu menelan air, yang menyebabkan penyakit ini disebut juga sebagai

“Hidrofobia” (takut air). Sering terjadi pengeluaran air liur secara berlebihan, respon

berlebihan terhadap sinar dan suara, dan hiperestesia. Dengan terjadinya encephalitis,

keganasan berubah menjadi kelumpuhan, dan hewan memperlihatkan gejala klinis

yang sama dengan yang dijumpai pada penyakit bentuk loyo. Pada akhirnya, sering

terjadi badan kejang-kejang, koma, dan terhentinya pernafasan, dengan kematian yang

terjadi 2–7 hari setelah dimulainya gejala klinis. Anjing, kucing dan kuda lebih

banyak menderita penyakit bentuk beringas daripada sapi atau ruminansia lainnya

maupun spesies hewan laboratorium (Fenner, F.J., 1993).

D. Perubahan Patologis, (Subronto, 2006).

1. Perubahan makroskopik , umumnya tidak ada, hanya ditemukan penyakit neurologik

dramatik

2. Perubahan histopatologi – akut sampai kronik polioencephalitis; peningkatan proses

keradangan non suppuratif pada CNS sebagai kemajuan diagnosa, banyak syaraf

dengan otak mengandung benda inklusi intrasitoplasmik klasik (Negri bodies).

E. Diagnosa

Page 22: Blok 11 UP 5

1. Fluorescent Antibody Technique, (Anonim, 2009):

Fluorescent Antibody Technique (FAT) untuk penggunaan didalam mikrobiologi telah

diperlihatkan pertama kali oleh Coons, at all pada tahun 1942. Sebelumnya telah

diperkenalkan penandaan protein antibodi dengan zat warna yang dapat

berfluoresensi. Fluoresensi merupakan pemancaran sinar oleh atom atau molekul

setelah terlebih dahulu disinari. Zat warna yang dapat befluoesensi disebut

fluorokrom. Pada dasarnya teknik fluoresen antibodi ini merupakan kombinasi cara-

cara imunologis dan pewarnaan. Adanya antigen akan diperlihatkan dengan

perantaraan antibodi yang telah disenyawakan dengan fluorkrom.

Prinsip: Antibodi yang telah ditandai dengan fluorokrom disebut “conjugate”. Conjugate

ini akan bereaksi dengan antigen spesifik dan dapat dilihat dibawah mikroskop

fluoresen. Prinsip dari uji ini adalah terbentuknya ikatan antara antigen (virus rabies)

dengan spesifik antibodi virus rabies yang telah dikonjugasi dengan zat fluorescen

sehingga tampak agregat yang berpendar hijau (fluorescensi) pada sampel yang

diamati dengan menggunakan mikroskop flurorescen.

2. Pada penderita yang mati, temuan secara mikroskopik benda inklusi ‘‘Negri bodies‘‘,

bersifat diagnostic, (Subronto, 2006).

3. Pemeriksaan akurat juga dapat dilakukan dengan PCR, (Subronto, 2006).

F. Pencegahan dan Pengobatan

Pemberian gizi yang baik dan benar, control terhadap adanya parasit (ekto dan endo) dan

vaksinasi yang teratur menurut prosedur (Nelson and Couto, 2003). Vaksinasi dengan

menggunakan vaksin aktif(hidup) dapat memberikan imunitas yang cukup dan

berdurasi kurang lebih 1 tahun dan untuk anjing dengan kondisi prima dapat berdurasi

beberapa tahun (2-3 tahun) (Dharmojono, 2001).

Jadwal Vaksinasi terhadap distemper anjing adalah sebagai berikut :

§ pada umur 6-8 minggu diberikan vaksin aktif kombinasi MV-CDV( Measle virus dan

Canine Distemper Virrus) atau vaksin CDV titer tinggi.

§ 2X lagi vaksin ulangan yang diberikan setelah 3-4 minggu kemudian.

§ Vaksinasi ulangan tahunan perlu dilakukan karena terjadi penurunan titer antibody.

Pemberian imunisasi pasif akan memanjang dan memperkuat keberadaan MA (Maternal

Antobodi). Imunisasi ini dapat diberikan pada anak anjing yang tidak mendapat

kolostrum susu induk atau yang mungkin sudah terkena CDV dan belum menujukan

gejala klinis (Dharmojono, 2001).

II. DISTEMPER

Page 23: Blok 11 UP 5

A. Etiologi

Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit tersebut

disebabkan oleh virus dalam genus Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae dan

mempunyai hubungan dekat dengan virus measles dan rinderpest. Virus distemper

dapat menyerang famili Canidae, Mustelidae, dan Procyonidae. Penyakit tersebut

telah dilaporkan kejadiannya pada mamalia air seperti anjing laut dan anjing liar di

Afrika. Walau pun kucing dan babi telah dapat diinfeksi secara eksperimental, hal

tersebut dianggap tidak penting dalam penyebaran distemper anjing. Virus distemper

tidak dapat bertahan lama di luar induk semang dan peka terhadap desinfektan seperti

senyawa fenol atau ammonium kuaterner (Erawan et all, 2009).

Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya antara 150-300 um

dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical symetryl) dan terbungkus

lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu

Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L) pada nukleocapsidnya, juga membran

protein (M) di sebelah dalam dan 2 protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di

sebelah luar. Hemaglutinasi protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada

virus morbili lainnya. Distemper pada anjing adalah merupakan ancaman serius,

mungkin merupakan ancaman utama pada anjing. Distemper adalah suatu penyakit

yang menular pada anjing, serigala, anjing hutan, rakun, cerpelai, dan sejenis musang

(Dharmojono, 2001).

Virus distemper termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus morbilivirus dan spesies

Canine Deistemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka

ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ºC dan dalam

beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak

infektivitas virus (Fenner dkk, 1993).

Canine distemper lebih sering menyerang pada anjing muda yang berumur 3-.9 bulan. Ini

biasa terjadi pada hewan di bawah tekanan atau anjing yang terisolasi dari anjing

lainnya. Penyakit distemper kira-kira 90% pada anjing berakibat fatal jika tidak ada

perawatan pada anjing yang menderita distemper tersebut. Jika ada anjing yang bisa

bertahan, maka banyak yang akan menderita kerusakan permanent pada sistem saraf

( otak dan tulang belakang), parsial atau total kelumpuhan sering terjadi, atau otot

/anggotagerak tidak dapat dikendalikan sehingga terdapat gangguan secara berkala

(Lane & Cooper, 2003).

B. Pathogenesis

Page 24: Blok 11 UP 5

Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag alat pernafasan.

Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah bening lokal dan

kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah bening. Dalam 3-6 hari

setelah infeksi virus distemper suhu badan akan meninggi dan interferon virus mulai

masuk ke dalam peredaran darah. Dalam minggu kedua dan ketiga pasca infeksi,

anjing mulai membentuk zat kebal baik humoral maupun seluler untuk merespon

infeksi dan jika mampu mengatasi virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa

menunjukkan gejala klinik. Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka

anjing tersebut akan memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono,

2001).

Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka akan diikuti

terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian limfosit dan

makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel dari alat

pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan syaraf pusat

(CNS) (Merck and Co, 1986).

Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut dan fatal secara jelas kelihatan merusak

CNS. Gejala-gejala CNS dapat timbul pada anjing yang sebelumnya tidak

memperlihatkan penyakit ini (Dharmojono, 2001).

C. Gejala Klinis

Masa inkubasi distemper 6-8 hari dengan gejala samar-samar dan baru jelas setelah 2-3

minggu. Kemudian terjadi demam yang intermitten. Saat awal kejadian diikuti

leukopenia dan limfopenia kemudian netrofilia. Gangguan respirasi segera terjadi

dengan pengeluaran leleran hidung kental, mukopurulen dan leleran air mata yang

lama-lama juga bersifat mukopurulen. Penderita tampak lesu, depresi, batuk-batuk,

anoreksia dan meungkin juga disertai diare dengan tinja yang berbau busuk. Telapak

kaki juga menjadi keras karena kurang cairan. Gejala syaraf berupa paralisis atau

paresis yang dimulai dari tubuh bagian belakang . Jika berjalan terlihat adanya

inkoordinasi kaki-kaki dan ataksia. Gerak menguyah yang semakin lama semakin

sering dan diikuti hipersalivasi. Penderita tidak mampu mengontrol miksturisi

(Subronto, 2006).

D. Perubahan Patologis

Kelainan ocular pada canine distemper meliputi lesio retinochoroidal terutama pada

bagian peripheral dan midperipheral nontapetal fundus. Neuritis pada optik dapat

menyebabkan gangguan pengelihatan. Lesio patologi-anatomi dari canine distemper

Page 25: Blok 11 UP 5

meliputi kongesti paru-paru dan konsolidasi akibat adanya pneumonia. Badan sel

bersifat eosinofilik bentuk bulat dan ovoid ditemukan pada sel epitel dari kulit,

bronchus, usus, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, adrenal, sistem saraf

pusat, limfonodus, dan limpa. Pada saat nekropsi, biasanya ditemukan limpa yang

membengkak. Nekropsi pada hewan pernah dilakukan dan ditemukan lesio hemoragi

parah pada jejunum dan colon disertai konsolidasi paru-paru. Evaluasi secara

histopatologi ditemukan reaksi inflamasi ringan sampai kronis pada usus halus

dimana terdapat hiperplasia dari epitel bagian basal sebagai proses regenerasi awal.

Pada vesica urinaria, epitel peralihan mengalami penebalan dan terdapat badan inklusi

eosinofilik.

Secara miroskopis, canine distemper virus ditandai dengan adanya badan inklusi

intranuklear dan intrasitoplasmik yang memiliki ukuran yang bervariasi dengan

bentuk bulat sampai ovoid. Badan inklusi ini sering ditemukan pada sel epitel kulit,

bronchus, gastrointestinal, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, dan

adrenal. Hal ini juga dapat ditemukan pada sistem saraf pusat dan sel

reticuloendotelial pada limpa dan limfonodus. Pada paru-paru, virus ini menginduksi

sel raksasa multinuklear di dalam alveolus dan epitel bronchus. Bronchial pneumonia

purulent dapat terjadi oleh serangan infeksi sekunder setelah terjadi pneumonia

interstitialis. Di dalam beberapa kasus didapatkan keadaan nekrosis dan involusi dari

jaringan limfatik. Hal ini juga dapat menyebabkan deplesi dari limfosit yang sudah

matang pada germinal center dari limpa (Wicaksono, 2009).

Lesio pada otak terjadi sebagai gangguan yang terjadi pada distemper dengan gejala saraf.

Pada kasus ini terdapat encephalitis purulent diffuse dengan badan inklusi yang

ditemukan pada sel glia dan histiosit. Tedapat degenerasi neuron, demyelinasi, gliosis,

dan perivascular cuffing. Meningitis nonsupuratif juga dapat terjadi. Encephalitis

meliputi bagian grey dan white matter. Grey matter terpengaruh jika terdapat

gangguan saraf yang terjadi secara akut (Wicaksono, 2009).

Encephalitis pada bagian white matter biasanya menyebabkan demyelinasi tanpa adanya

peradangan. Lesio pada bagian white matter merupakan akibat dari infeksi distemper

kronis. Lesio berbentuk multifokus berada pada organ otak, medulla spinalis, dan

traktus optikus. Pada cairan cerebrospinalis akan tejadi peningkatan protein dan bisa

terdapat atau tidak terdapat limphocytic monocytic pleiocytosis. Pada lima puluh

persen dari hewan yang terkena distemper, terdeteksi adanya titer antibodi pada

sistem saraf pusat (Wicaksono, 2009).

Page 26: Blok 11 UP 5

Lesio okular pada canine distemper meliputi demyelinasi dan peradangan nonsupuratif

pada optic radiation dan traktus optikus. Terdapat infiltrasi sel radang pada ciliary

body, degenerasi dari ganglion retina, edema retina, dan fokus-fokus bagian retina

yang terlepas (Wicaksono, 2009).

Gejala saraf disertai demam yang diikuti oleh gangguan respirasi, oculo-nasal discharge,

diare, dan atau hiperkeratosis bantalan kaki merupakan ciri-ciri yang mengarah pada

canine distemper, walaupun tidak ada gejala patognomonis dari penyakit ini

(Wicaksono, 2009).

Hasil nekropsi dapat menunjukkan gejala-gejala yang didiagnosa sebagai distemper pada

anjing. Hal ini dapat dilihat pada lesio paru-paru yang mengalami pneumonia

interstitialis dilanjutkan dengan pneumonia alveolaris sebagai akibat dari adanya

infeksi sekunder bakteri. Enteritis kattharalis et hemoragis yang parah juga terlihat

dan dapat diakibatkan oleh paramyxovirus penyebab distemper. Dengan kondisi

demikian, perjalanan virus menginfeksi tubuh sudah berlangsung sistemik sehingga

peradangan sampai ke sistem saraf pusat dimana sudah terjadi meningoencephalitis

yang sudah parah (Wicaksono, 2009).

Dengan menurunnya sistem kekebalan, infeksi sekunder dengan mudah dapat terjadi yang

menyebabkan peradangan pada bagian luar tubuh yaitu kulit sebagai pertahanan tubuh

pertama. Diawali dengan echymosa dan dilanjutkan dengan terbentuknya pustula pada

bagian tubuh yang jarang ditumbuhi rambut, dan jika berlangsung kronis

menyebabkan hiperkeratosis pada kulit tersebut. Peneguhan diagnosa distemper ini

juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara histopatologis (Wicaksono, 2009).

E. Diagnosa

Pada pemeriksaan postmortem diantaranya : tes imunofluoresensi, histopatologi, serta

isolasi virus dan PCR. Pada tes imunofloresensi atau imunositokhemistri, antigen

terhadap distemper yang dapat didemonstrasikan dari preparat apus bisa berasal dari

limfosit, epitel lambung, paru atau kandung kemih, otak kecil, dan batang otak.

Diagnosis berdasarkan histopatologi dengan menggunakan lesi yang terdapat pada

jaringan limfe dan CNS bersama adanya badan inklusi dalam CNS, paru, lambung,

epitel kandung kemih. Isolasi virus biasanya tidak dilakukan bila digunakan untuk

diagnosa secara rutin karena memerlukan waktu yang lama dan biayanya mahal.

Isolasi virus dengan melakukan kultur langsung dari jaringan otak, paru, ginjal atau

sel kandung kemih dari anjing penderita merupakan pendekatan terbaik. Inokulasi

Page 27: Blok 11 UP 5

pada kultur makrofag atau limfosit dengan suspensi paru, otak, dan jaringan limfatik

dapat pula dicoba (Dharmojono, 2001).

F. Pencegahan dan Pengobatan (Dihan, 2011)

1. Antibiotik

Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya infeksi sekunder.

Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik dengan broad spectrum.

2. Terapi cairan dan elektrolit

Untuk mengganti cairan yang hilang dan mengatasi dehidrasi akibat diare atau muntah.

3. Obat-obat sedativa dan anti konvulsi

Sedativa dan anti konvulsi di berikan bila anjing menunjukkan gejala sarafi.

4. Vaksinasi

Vaksin dengan vaksin hidup dapat memberikan imunitas yang cukup dan berdurasi lama

asalkan prosedur penggunaan tersebut dipatuhi,misalnya berapa kali harus diulang

sebelum vaksinasi booster tahunan.

5. Memberikan gizi yang baik agar nutrisi yang Diperlukan anjing dapat terpenuhi.

Dengan terpenuhinya nutrisi maka kondisi tubuh dapat terjaga dan tidak mudah terserang

penyakit.

6. Kontrol terhadap adanya endoparasit dan ektoparasit.

7. Menjaga kebersihan lingkunagan sekitar untuk menekan serendah mungkin penyebaran

virus.

III. DIFERENSIAL DIAGNOSA RABIES DAN DISTEMPER

A. Diferensial Diagnosa Rabies

Membuat diagnosa yang dapat diandalkan berdasarkan gejala klinis sangat susah untuk

dilakukan karena hampir tidak gejala patognomonis yang menciri terhadap Rabies.

Secara klinis Rabies bisa sangat susah dibedakan dengan keadaan penyakit yang

menyebabkan enchepalitis yang disebabkan oleh infeksi virus yang lain. Pada

manusia gejala Rabies juga bisa sangat susah dibedakan dengan Guillain-Bare

syndrome, poliomyelitis, tetanus, keracunan dan obat-obatan dan penyakit virus yang

menyebabkan echepalitis yang lainnya (Trimarchi and Smith, 2002).

Pada hewan penyakit yang berhubungan dengan SSP lainnya umumnya juga

menunjukkan gejala seperti pada Rabies. Pada kondisi lain seperi infestasi parasit dan

keracunan makanan juga akan menunjukkan perubahan tingkah laku yang mana

gejalanya menyerupai Rabies.

Beberapa penyakit yang lebih spesifik yang menyerupai Rabies adalah:

Page 28: Blok 11 UP 5

1. Canine Distemper

2. Infectious Canine Hepatitis

3. Ajueskzy Disease

4. Equine Viral enchephalomylitis

5. Equine Encephalosis

6. Penyakit-penyakit Bakterial dan Mikal yang berhubungan dengan SSP termasuk

Lysteriosis dan Cryptococcosis

7. Keracunan oleh logam berat, Chlorinate Hydrocarbon atau pestisida

8. Benda asing pada Oesopharynk atau Esofagus dan Perlukaan akibat trauma

9. Phycosis akut pada anjing dan kucing

B. Diferensial Diagnosa Distemper

Diferensial diagnosa dari distemper pada anjing yaitu rabies, pneumonia. Infeksi B.

bronchiseptica, idiopatik epilepsy , hipoglikemia, trauma CNS dan gagal ginjal.

Sedangkan menurut Tilley and Smith (2000) adalah kennel cough dapat meyebabkan

penyakit respirasi, gejala enteritis merupakan differesial diagnosa dari infeksi CPV

dan corona virus, infeksi bakteri, gastroenteritis dan penyakit radang bowel.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007.

http://homepage.usask.ca/~vim458/virology/studpages2007/Caroline_Emily/about2.

html (diakses pada tanggal 24/05/2011).

Anonim. 2009. Studi literatur: Diagnosa Penyakit Rabies dengan Menggunakan

Fluorescent Antibody Technique (FAT) http://duniaveteriner.com/2009/04/studi-

literatur-diagnosa-penyakit-rabies-dengan-menggunakan-fluorescent-antibody-

technique-fat/print (diakses pada tanggal 23/05/2011).

Dharmojono, H. 2001. Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I. Jakarta: Pustaka

Popular Obor.

Dihan, 2011. Canine distemper http://www.27januari.co.cc/2011/01/canine-

distemper.html (diakses tanggal 22/05/2011)

Elcamo, E. I. 1997. Fundamentals of Microbiology. New York: The Benjamin Cummings

Publishing Company.

Fenner, F. J., Gibbs, E. P., Murphy, F. A., Rott, R., Studdert, M., & White, D. O. 1993.

Virologi Veteriner. Semarang: IKIP Semarang Press.

Lane, D., & Cooper, B. 2003. Veterinary Nursing, 3rd.ed. Burlington: Butterworth

Heineman.

Page 29: Blok 11 UP 5

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Trimarchi, C.V., Smith, J.S., 2002. Diagnostic Evaluation. In: Jackson, A.C., Wunner,

W.H. (Eds.), RABIES. Elsevier Science (USA), London, UK, pp. 308-344.

Wicaksono, A. 2009. Distemper. http://www.vetsunu.blogspot.com/ (diakses pada tanggal

22/05/2011