Laporan Tutorial

16

Click here to load reader

description

medicine

Transcript of Laporan Tutorial

Hirschprungs Disease

Hirschprungs Disease1. DefinisiKelainan kongenital dimana tidak dijumpai sel ganglion parasimpatis pleksus Auerbach (myentericus) dan pleksus Meissner (submukosa) pada dinding kolon. Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.2. KlasifikasiHirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak kolon yang terkena.Tipe Hirschsprung meliputi :a. Ultra short segment : Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rektumb. Short segment : Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari kolonc. Long segment : Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar kolond. Very long segment : Ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum dan kadang sebagian usus kecil.3. EtiologiDisebabkan karena kegagalan atau terhentinya migrasi sel-sel saraf parasimpatis myentericus kraniokaudal dari sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu ke lima sampai minggu ke dua belas kehamilan untuk membentuk sistem saraf usus. Aganglionik usus ini mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional.4. EpidemiologiInsiden 1 : 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Insiden terjadi 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak perempuan. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa decade ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan enterokolitis.5. Faktor Resiko Riwayat keluarga penyakit Hirschsprung Pasien Down Syndrome

6. PatofisiologiDasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.7. PatogenesisKelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal kolon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapt dibagian distal rektum.

8. Prinsip Diagnosisa. Periode NeonatalAda trias gejala klinis yang sering dijumpai : Pengeluaran mekonium yang terlambat (>24 jam pertama kelahiran) Muntah hijau Distensi abdomenMuntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.b. AnakPada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.9. Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan Radiologi Foto Polos AbdomenGambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar Barium EnemaPemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasib. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke daerah dilatasic. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi Foto Retensi BariumYakni pemeriksaan dengan foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces, dilakukan bila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.b. Biopsi RektalMerupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.c. Pemeriksaan Patologi AnatomiDidasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase. Disamping itu juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase.d. Manometri AnorektalSuatu pemeriksaan obyektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer.Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan.10. Tatalaksanaa. MedisDapat dilakukan tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa tubuh.b. BedahPenanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian bawah rektum. Dikenal beberapa prosedur operasi yaitu prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur Transanal Endorectal Pull-Through dan prosedur miomektomi anorektal.11. KomplikasiKomplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada penderita yang dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma, striktur, prolaps dan ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur dan retraksi setelah tindakan anastomosis dapat dicegah dengan cara pengamatan yang teliti pada keadaan vaskularisasi kolon yang akan dilakukan pull-through serta menjaga agar anastomosis usus tidak dalam keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat muncul terlambat antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat terjadi pada 50% kasus.

Volvulus1. DefinisiVolvulus adalah putaran atau rotasi aksial dari sebagian usus di sekitar mesentriumnya. Merupakan subtipe dari malrotasi, dimana ada bagian usus yang berotasi di satu titik fokus sepanjang mesentrium yang melekat ke saluran cerna, sehingga mengakibatkan obstruksi dan iskemik.2. Klasifikasi volvulus neonatorum volvulus usus halus volvulus sekum (cecal) volvulus sigmoid volvulus kolon transversal volvulus fleksura lienalis (paling langka) volvulus lambung3. EtiologiVolvulus terjadi sebagai komplikasi dari malrotasi usus yang terjadi saat masih dalam embriogenesis saluran cerna (kongenital). Bila terjadi pada neonatus, merupakan akibat dari isi usus yang abnormal (meconium) dan adhesi.4. EpidemiologiVolvulus akibat malrotasi dapat terjadi pada berbagai usia, tetapi 75% kasus terjadi pada bulan pertama kelahiran neonatus (terutama di minggu pertama).5. Faktor ResikoPada pasien dewasa, volvulus dapat terjadi bila seseorang sering mengalami konstipasi. Atau juga bias dikarenakan pertumbuhan usus yang berlebihan (terlalu panjang).6. PatogenesisPada awalnya, bayi terlihat normal selama beberapa waktu. Kemudian tiba-tiba terjadi muntah kehijauan mengandung empedu. Bila volvulus tidak mengalami regresi spontan, maka akan terjadi obstruksi vena terjadi akibat vena mesentrika superior terbungkus disekitar arteri mesentrika superior. Secara bertahap akan terjadi iskemik dan berujung nekrosis. Hal ini mengakibatkan distensi abdomen akibat penumpukan cairan di lumen usus. Jika kondisi terus memburuk, maka akan terjadi peritonitis dan syok hipovolemik.7. Prinsip DiagnosisVolvulus menyebabkan nyeri abdomen hebat dan kerusakan progresif pada dinding saluran cerna dengan akumulasi gas dan cairan pada usus yang obstruksi. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis, asidosis dan kematian jaringan. Hal ini disebut dengan closed loop of bowel. Gejala dan tanda yang timbul bergantung pada jenis volvulus yang terjadi. Volvulus cecal : nausea, vomit, konstipasi (tinja dan flatus) Volvulus sigmoid : nyeri abdomen dan konstipasi8. Pemeriksaan Penunjanga. Foto polos abdomenPada obstruksi komplit akan terlihat gambaran double bubble. Ini menunjukkan terjadinya distensi pada usus dengan satu titik fokus lilitan, sehingga gambarannya adalah dua gelembung besar yang berdekatan.b. FluoroskopiPemeriksaan ini digunakan untuk mengidentifikasi volvulus. Bila positif volvulus, maka akan ditemukan : Corkscrew sign Konfigurasi obstruksi ususc. USG Whirlpool sign searah jarum jam Pembuluh darah mesenterika superior yang abnormal Usus abnormald. CT ScanDilakukan pada pasien usia lanjut.9. TatalaksanaTatalaksana bedah segera (prosedur Ladd) dibutuhkan untuk menghindari terjadinya iskemik atau infark pada usus yang terpilin. Untuk volvulus sigmoid, dilakukan sigmoidoskopi. Bila mukosa sigmoid normal dan berwarna pink, maka tempatkan tabung rektal untuk dekompresi. Segera koreksi cairan tubuh, elektrolit, fungsi jantung, ginjal dan paru, dan dilakukan bedah definitive. Apabila pasien sudah mencapai tahap sepsis dan katastrofi abdomen, maka tindakan operasi dan reseksi langusng sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk volvulus anal dilakukan laparatomi.10. Komplikasi Strangulasi Gangren Perforasi Peritonitis fekal Volvulus rekurens

11. PrognosisPrognosis penyakit ditentukan berdasarkan stadium volvulus yang terjadi dan ada/tidaknya gejala sistemik seperti syok. Bila tak terjadi iskemik dan keadaan umum anak baik, maka prognosis juga baik, dengan angka mortalitas 3-9%.

Referensi :http://en.wikipedia.org/wiki/Volvulushttp://radiopaedia.org/articles/midgut-volvulushttp://referensikedokteran.blogspot.com/2010/08/referat-penyakit-hirschsprung.htmlhttps://dokterugm.wordpress.com/2010/04/27/megacolon-congenital-hirschprung-disease/

Luka Tajam1. DefinisiTrauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh.Trauma abdomen adalah kerusakan organ abdomen (lambung, usus halus, pankreas, kolon, hepar, limpa, ginjal) yang disebabkan oleh trauma tembus, biasanya tikaman atau tembakan; atau trauma tumpul akibat kecelakaan mobil, pukulan langsung atau jatuhTrauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis :a. Trauma penetrasi Trauma Tembak Trauma Tusuk b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul, 3 mekanisme utama Tenaga kompresi (hantaman) Tenaga deselerasi Tenaga akselerasiKeduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda.Trauma tajam adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).

2. Klasifikasia. Luka TembakMasuknya peluru yang memiliki energi tinggi sehingga menyebabkan trauma yang tidak terprediksi. Selain melukai organ abdomen juga dapat mengenai tulang dan trauma lainnya.b. Luka TusukMasuknya benda tajam menembus dinding abdomen. Trauma jenis ini umumnya organ yang terkena trauma dan polanya lebih bisa diprediksi.

3. EtiologiKecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga, terjatuh dari ketinggian, dan lain-lain. Trauma tembus merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.

4. Epidemiologia. Luka Tembak- Usus kecil (50%)- Usus besar (40%)- Hati (30%)- Struktur vaskular abdomen (25%)b. Luka Tusuk- Hati (40%)- Usus kecil (30%)- Diafragma (20%)- Usus besar (15%)

5. Patofisiologi & PatogenesisTrauma (kecelakaan) Penetrasi & Non-Penetrasi Terjadi perforasi lapisan abdomen (kontusio, laserasi, jejas, hematom) Menekan saraf peritonitis Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri Motilitas usus Disfungsi usus Resiko infeksi Refluks usus output cairan berlebihGangguan cairan Nutrisi kurang dari dan eloktrolit kebutuhan tubuh Kelemahan fisik Gangguan mobilitas fisik Manifestasi KlinisMenurut (Hudak & Gallo, 2001)1. Nyeri2. Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi3. Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumbe4. Mual dan muntah5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi

6. Prinsip Diagnosis & Pemeriksaan Penunjanga. Pengkajian Umum Trauma Abdomen Penanganan dari keadaan klien dengan trauma abdomen sebenarnya sama dengan prinsip penanganan kegawat daruratan, dimana yang pertama perlu dilakukan primary survey seperti berikut : A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervikal spine control) B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi control (ventilation control) C: Circulation dengan control perdarahan (bleeding control) D: Disability : status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, Respon Pupil) E: Exposure/environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermia Selain pengkajian di atas makanisme trauma juga perlu dikaji. Untuk trauma penetrasi, tanyakan jenis benda penyebab trauma, jarak korban dengan penyebab trauma, lama waktu trauma terjadi, jumlah tembakan atau tikaman, dan banyaknya perdarahan saat kejadian. b. Tes laboratorium Trauma Abdomen Tes laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap (Hb, Leukosit, Hematokrit, PT,APTT), panel kimia, panel pembekuan, tes fungsi hati dan lipase, serta tes urin (terutama pada wanita usia reproduksi). c. Radiography Trauama Abdomen Untuk ketepatan diagnosa perlu adanya pemeriksaan penunjang seperti radiologi (BNO/foto polos abdomen, servikal lateral, thoraks anteroposterior/AP dan pelvis) Diagnostic Peritoneal Lavage/DPL, USG, CT SCAN. Keuntungan dan kerugian masing-masing pemeriksaan 1. Diagnostic Peritoneal Lavage Indikasi : Menentukan adanya perdarahan bila tekanan darah menurun Keuntungan : Diagnosis cepat dan sensitif, akurasi 98% Kerugian : Invasif, gagal mengetahui cedera diafragma atau cedera retroperitoneum 2. USG Indikasi : Menentukan cairan bila TD menurun Keuntungan : Diagnosis cepat, tidak invasif dan dapat diulang, akurasi 86-97% Kerugian : Tergantung operator distorsi gas usus dan udara di bawah kulit. Gagal mengetahui cedera diafragma usus, pankreas 3. CT SCAN Indikasi : Menentukan organ cedera bila TD normal Keuntungan : Paling spesifik untuk cedera, akurasi 92-98% Kerugian : Membutuhkan biaya dan waktu yang lebih lama, tidak mengetahui cedera diafragma, usus dan pankreas.7. TatalaksanaHal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila pasien telah stabil baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri. Pipa lambung, selain untuk diagnostik, harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah. Sedangkan kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin.Peningkatan nyeri di daerah abdomen membutuhkan eksplorasi bedah. Luka tembus dapat mengakibatkan renjatan berat bila mengenai pembuluh darah besar atau hepar. Penetrasi ke limpa, pankreas, atau ginjal biasanya tidak mengakibatkan perdarahan masif kecuali bila ada pembuluh darah besar yang terkena. Perdarahan tersebut harus diatasi segera, sedangkan pasien yang tidak tertolong dengan resusitasi cairan harus menjalani pembedahan segera.Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen berbeda-beda. Namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani eksplorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil.Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum maka tindakan laparotomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan rektum, adanya udara bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24 sampai 48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotami.8. Komplikasi9. Prognosis10. Indikasi Rujukan