Laporan Praktikumf Farkindas p3

19
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan / atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau cairan tubuh lainnya). Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi perolehan kembali (recovery), presisi dan akurasi. Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau lebih), kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10% (Pasha dkk, 1986). Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan: 1. Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaan. 2. Kecepatan obat diabsorbsi. 3. Masa kerja obat berada di dalam cairan biologik atau jaringan, bila dihubungkan dengan respon pasien. 4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi/efek toksik. Penentuan ketersediaan hayati kebanyakan hanya untuk bentuk sediaan obat seperti tablet dan kapsul yang digunakan peroral untuk memperoleh efek sistematik. Hal ini bukan berarti ketersediaan hayati tidak ada dalam bentuk sediaan

description

laporan praktikum farmakokinetika

Transcript of Laporan Praktikumf Farkindas p3

1. PENDAHULUAN

0. Latar Belakang Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan / atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau cairan tubuh lainnya). Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi perolehan kembali (recovery), presisi dan akurasi. Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau lebih), kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10% (Pasha dkk, 1986).Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:1. Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaan.2. Kecepatan obat diabsorbsi.3. Masa kerja obat berada di dalam cairan biologik atau jaringan, bila dihubungkan dengan respon pasien.4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi/efek toksik.

Penentuan ketersediaan hayati kebanyakan hanya untuk bentuk sediaan obat seperti tablet dan kapsul yang digunakan peroral untuk memperoleh efek sistematik. Hal ini bukan berarti ketersediaan hayati tidak ada dalam bentuk sediaan obat yang lain selain bentuk padat/penggunaan bentuk obat melalui rute lain selain melalui mulut (Anief, 1995).Pada pengukuran konsentrasi obat dalam serum, suatu konsentrasi tunggal dari obat dalam serum dapat tidak menghasilkan informasi yang berguna kecuali jika faktor-faktor lain dipertimbangkan, sebagai contoh, aturan dosis obat yang meliputi besaran dan jarak pemberian dosis, rute pemberian obat, serta waktu pengambilan cuplikan (puncak, palung, atau keadaan tunak) hendaknya diketahui.Mengkin ada ketervatasan dalam hal jumlah cuplikan darah yang dapat diambil, keseluruhan volume darah yang diperlukan untuk penetapan kadar, dan waktu untuk melakukan analisis obat, pengukuran konsentrasi serum hendaknya juga mempertimbangkan biaya penetapan kadar, resiko, dan ketidaksenangan penderita, dan kegunaan informasi yang diperoleh.Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam serum hendaknya telah sahih, berkenaan dengan hal-hal berikut seperti spesifitas, linieritas, kepekaan, ketepatan, ketelitian, dan stabilitas (Sahrgel, 1985).Untuk menganalisis darah total, komponen sel darah harus dilisis demikian sehingga kandungannya bercampur merata dengan sonikator atau ditentukan dalam jangka waktu tertentu lalu disonikasi. Plasma berbeda dengan serum, serum adalah plasma yang fibrinogennya telah dihilangkan dengan proses penjendalan, sedangkan plasma diperoleh dengan menambahkan suatu pencegah penjendalan ke dalam darah. Bila darah tidak diberi antikoagulan terjadilah penjendalan dan bila contoh seperti dipusingkan maka beningannya adalah serum (James, 1991).Penilaian ketersediaan hayati dapat dilakukan dengan metode menggunakan data darah, data urin, dan data farmakologis atau klinis, namun lazimnya dipergunakan data darah atau data urin untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasinya. Jika cara dan validitas belum diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif (Syukri, 2002).0. Dasar Teori Parameter farmakokinetika suatu obat diperoleh dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin. Metodeanalisis penetapan kadar obat yang digunakan dalam penelitianfarmakokinetika harus memenuhi beberapa prasyarat agar nilai nilai parameter kinetika obat dapat dipercaya, yaitu:1.Selektif atau spesifik 2.Sensitif atau peka3.Teliti dan tepat4.Cepat

1. Selektif atau spesifik Selektivitas metode menempati prioritas pertama karena bentuk obat yang ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah bentuk tak berubah ataumetabolitnya. Artinya metode analisis yang digunakan harus memilikispesifitas yang tinggi terhadap salah satu bentuk obat yang akan ditetapkantersebut.(Smith dan Stewart, 1981).Bahkan lebih memperluas lagi pengertian selektivitas metode ini,yakni kemampuan suatu metode penetapan kadar untuk membedakan suatuobat dari metabolitnya, obat lain, dan kandungan endogen cuplikan hayati.Pemilihan metode yang memiliki selektifitas tinggi ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Karena hal ini erat sekali kaitannya dengan rumusmatematik yang diterapkan dalam menghitung parameter farmakokinetik.Rumus matematik yang diturunkan berdasarkan data pengukuran kadar obattak berubah dalam cuplikan hayati tertentu, bebeda dengan yang diturunkandari data kadar metabolitnya.2. Sensitif atau pekaSensitivitas metode analisis yang digunakan berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Dalam penelitian farmakokinetika, pemilihan metode analisis juga tergantung padatingkat sensitivitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapatdipahami mengingat dalam menghitung parameter farmakokinetika suatuobat, diperlukan sederetan data kadar obat dari waktu ke waktu, atau datadari kadar tertinggi sampai kadar terendah dalam cuplikan hayati yangdigunakan. Misalnya kita akan menghitung harga AUC maka kitamemerlukan data kadar obat dari waktu nol sampai tak terhingga. Karenaitu, metode analisis yang dipilih harus dapat meliput kadar obat tertinggisampai terendah yang ada di dalam badan.3. Teliti dan tepat Ketelitian (accuracy) dan ketepatan ( precision) perlu pula dipetimbangkan dalam memilih metode analisis penetapan kadar. Ketelitianditunjukan oleh kemampuan metode memberikan hasil pengukuran sedekatmungkin dengan nilai sesungguhnya (true value). Ini dapat diketahui dariharga perolehan kembali (recovery) yang dinyatakan sebagai% error (hargasesungguhnya dikurangi harga uji dibagi harga sesungguhnya, dikali 100%). Nilai perolehan kembali yang dipersyaratkan adalah 75-90%. Perolehankembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis PK / Recovery = (kadar terukur)/(kadar yang diketahui) 100 %

Ketepatan menunjukan kedekatan hasil pengukuran berulang padacuplikan hayati yang sama. Yang berarti dalam satu seri pengukuran,mempunyai selisih yang sangat kecil antara satu nilai dengan nilai yanglain . Ini dapat diketahui dari harga replikasinya yang dinyatakan sebagaikoefisien variansi 4. CepatCepat juga merupakan syarat yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode analisis penetapan kadar. Hal ini berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis dalam satu macam penelitian farmakokinetika (180-600 penetapan kadar).Prasyarat prasyarat yang diuraikan di atas, sebaiknya benar-benar dipertimbangkan dalam pemilihan metode analisis penetapan kadar dalam penelitian farmakokinetika. Karena kesahihan hasil pengukuran parameter farmakokinetika sangat bergantung pada kesahihan hasil penetapankadarnya dalam cuplikan hayati yang ditentukan. Dengan demikian, pemahaman terhadapnya, akan sangat membantu dalam mencapai kesahihan hasil pengukuran farmakokinetika seperti yang diharapkan.Dalam percobaan ini akan dilakukan langkah langkah yang perludikerjakan untuk optimasi analisis, yang meliputi:1.Penentuan waktu jangka larutan obat yang memberi resapantetap (khusus untuk reaksi warna)2.Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikanresapan maksimum atau penetapan eksitasi atau emisi3.Pembuatan kurva baku4.Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dankesalahan sistematik

Ada 3 macam kesalahan yang dapat dilakukan selama praktikum :1.Kesalahan gamblang ( gross eror )Kesalahan gamblang merupakan kesalahan yang sudah jelas karenamelibatkan kesalahan yang besar, akibatnaya, kita harus memutuskanuntuk mengabaikan percobaan yang telah kita lakukan dan memuainyadari awal lagi secara menyeluruh. (Gandjar, Rohman, 2010). Contoh :kesalahan gamblang adalah sampel cuplikan hayati tumpah, pengambilankadar obat salah, dan lain lain.2.Kesalahan acak (random error )Kesalahan acak atau disebut juga kesalahan yang tidak tergantung(indeterminate error ) merupakan kesalahan yang nilainya tidak dapatdiramalakan dan tidak ada aturan yang mengaturnya, serta nilainya berfluktuasi. Kesalahan acak merupakan jenis kesalahan yang selaluterjadi sebagai akibat adanaya sedikit variasi yang tidak dapat dikontroldalam pelaksanaan prosedur. Kesalahan acak dapat digambarkan sebagaikurva normal (Gaussian curve) (Gandjar, Rohman, 2010)Dari kurva, dapat dikemukakan :1.Kesalahan yang kecil lebih sering terjadi2.Kesalahan yang besar dapat dikatakan jarang terjadi3.Besarnya kesalahan positif dan negatif sama.

3.Kesalahan sistematis (systematic error )Sementara itu, kesalahan sistematik merupakan kesalahan yang mempunyai nilai definitif (nilai tertentu). Hasil percobaan dapat mengarah ke arah yang lebih kecil atau arah yang lebih besar dari rata-rata .Kesalahan sistematis bersifat konstan dan berhubungan dengan ketelitian(akurasi). Kesalahan jenis ini mengakibatkan penyimpangan tertentu dari mean. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesalahan sistematik,antara lain :1.Kesalahan personil dan operasi2.Kesalahan alat dan bahan3.Kesalahan metode

Adanya kesalahan sistematik, kadang kadang menyebabkan rata-rata yang didapat menyimpang agak besar dari nilai sebenarnya. Walaupunkesalahan ini tidak mungkin dihindari secara mutlak, tetapi dengan caratertentu dapat diperkecil sehingga hasil yang diperoleh tidak terlalumenyimpang dari nilai sebenarnya . (Gandjar, Rohman, 2010).Cuplikan hayati yang sering diambil dalam uji farmakologi,farmakokinetika, dan toksikologi, meliputi darah, urin dan berbagai organtubuh seperti lambung, usus, hati, limfa, pankreas, ginjal, usus, uterus,ovarium, testis, jantung, paru, tiroid, dan otak . (Nurrochmad, dkk, 2011).Cuplikan hayati yang paling sering dipergunakan di dalam penelitian farmakokinetika adalah darah atau urin. Jika mungkin, penetapan kadar obat tak berubah pada cuplikan darahlah yang menjadi pilihan pertama. Pertama, karena darah merupakan tempat yang palingcepat dicapai obat dan paling logis bagi penetapan kadar obat didalam badan. Paling logis karena darahlah yang mengambil obat dari tempatabsorpsi, mendistribusikan ke jaringan sasaran, serta menghantarkan keorgan eliminasi. Kedua, bagi kebanyakan obat, bentuk obat tak berubahmerupakan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologik. Karenanya, penetapan kadar pada cuplikan darah akan memberikan suatu indikasilangsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi. Jika tidak ada metode penetapan kadar obat dalam darah yang tersedia, atau jika level darah pada pemberian dosis normal, sangat rendah untuk dapat ditetapkan dengantepat, maka penetapan kadar obat pada cuplikan urin merupakanalternatifnya. Sebenarnya penggunaan cuplikan urin dapat lebih baik dari pada darah, terutama jika obat diekskresikan kedalam urin secarasempurna dalam bentuk tak berubah. Karena selain data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di dalam badan, juga karena variabilitas clearance renal dapat diabaikan. Keterbatasan penggunaan cuplikan urindi antaranya karena sulitnya pengosongan kandung kencing, kemungkinanterjadinya dekomposisi obat selama penyimpanan, dan kemungkinanterhidrolisnya konyugat metabolit yang tidak stabil di dalam urin, sehinggadapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk tak berubah yang dieksresikan pada waktu tak terhingga. Akibatnya dapat terjadi kesalahan penafsiran terhadap harga ketersediaan hayati obat yang diteliti (Donatus,2000).0. Tujuan Memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati.

1. Alat dan BahanAlat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain; Labu takar 250 ml, pipet volumetrik, pipet ukur, tabung reaksi/flakon, spektrofotometer dan kuvet, skaple/ silet, alat pemusing/ sentrifuge, vortex, stopwacth.Bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain; Asam trikloasetat (TCR 20%), Natrium nitrit 0,1%, Amonium Sulfat 0,5%, N(1-Naftil) etiledimin 0,1%, sulfametoksazol, Antiokogulan, Darah (tikus).

1. Prosedur Kerja1. Prosedur penetapan Kadar bratton-marshall1. Pembuatan Larutan stok SulfametoksasolSulfametoksasol

1. Di Timbang secukupnya1. Dilarutkan dalam NaOH 1 N1. Diencerkan dengan aquadest ad 100 mL1. Hingga diperoleh kadar sulfametoksasol: 25, 50, 100, 200 dan 400 g/mLHasil

1. Pembuatan kurva baku internalDarah tikus 250 L

1. Diberi koagulan1. Ditambah 250 L larutan stok sulfametoksasol sehingga kadarnya 0, 25, 50,100, 200 dan 400 g/mL darah1. Di homogenkan1. Ditambah 2,0 mL TCA 5% dengan vortexing.Hasil

1. Pemrosesan sampel darah intivoDarah 250 L mengandung anti koagulan

1. Ditambah 250 L aquadest1. Dicampur homogen1. Ditambah 2,0 mL TCA 5% dengan vortexingHasil

1. Dicampuran pada butir 2 dan 3 dipusingkan (5 menit, 2500rpm)

1. Diambil bening (1,50 mL) dan diencerkan dengan aquadest 2 mL.

1. Ditambahkan larutan NaNO, (0,1 mL, 0,1%)

1. Didiamkan 3 menit

1. Ditambah larutan amonium sulfamat (0,2 mL; 0,5%)

1. Didiamkan 3 menit

1. Ditambahkan larutan amonium sulfamat (0,2 mL; 0,5%)

1. Didiamkan 2 menit.

1. Ditambahkan larutan N (1- naftil) entilendiamin (0,2 mL; 0,1)

1. Dicampurkan dan didiamkan 5 menit di tempat gelap

1. Dipindahkan larutan ke dalam kuvet

1. Dibaca intensitas warna pada spektrofotometer 545nm terhadap blanko darah sebagai kontrol yang telah diproses dengan cara yang sama.Hasil

1. Mencari waktu larutan sulfametoksasol dengan memberikan resapan tetap.Larutan sulfametoksasol kadar 100 dan 400

1. Diukur resapannya pada gelombang 545 nm tiap 5 menit seama minimal 1 jam.1. Dibuat kurva resapan lawan waktu pada kertas grafik numerik1. Ditetapkan resapan tetap.Hasil

1. Menetapkan panjang gelombang larutan sulfametoksasol dengan resapan maksimum. Intensitas warna larutan obat (100 dan 400 g/mL) diukur resapannya dari 500 s/d 580 nm.

1. Membuat kurva baku sulfametoksasolLarutan sulfametoksasol 25 s/d 400 g/mL

1. Diukur resapannya dengan panjang maksimum.1. Dibuatkan kurva antara resapan lawan kadar masing-masing1. Dibuat persamaan kwadrat terkecil Y= ax + bHasil

1. Hasil Percobaan

KlpkKadar (mcg/ml)absorbansiKadar terukur (mcg/ml)% recoveryKesalahan sistematik (%)Standar deviasi dan kesalahan acak

12000,218780390-290200 mcg/mlSD = 324,162Rata-rata = 480,2Kesalahan acak = 67,498 %

4000,273935233-133

6000,242847141-41

8000,205743928

10000,1225095149400 mcg/mlSD = 471,727Rata-rata = 728,8Kesalahan acak = 64,726 %

22000,154600300-200

4000,105461,9115-15

6000,065349,358,241,8

8000,098442,255,244,8600 mcg/mlSD =466,74Rata-rata = 630,05Kesalahan acak = 74,07 %

10000,053315,531,568,5

3200-0,05122,511,2588,75

4000,029233,858,4541,55

600-0,06149,324,8875,12800 mcg/mlSD = 388,691Rata-rata =348,205Kesalahan acak = 111,63%

800-0,064-14,08-1,76101,76

1000-0,087-78,87-7,887107,887

42000,125518,3259,15-159,15

4000,3971284,5321,125-221,1251000 mcg/mlSD = 283,3Rata-rata = 216,10Kesalahan acak = 131,33 %

6000,3581174,6195,77-95,77

8000,161619,777,4622,54

10000,084402,840,2859,72

1. Pembahasan

Pengambilan darah pada tikus dapat dilakukan pada lokasi tertentu dari tubuh, yaitu :a. Vena lateral dari ekorb. Bagian ventral arteri ekorc. Sinus orbitalis matad. Vena saphena (kaki)e. Anterior vena cavaf. Langsung dari jantung.Pengambilan darah pada lokasi sinus orbitalis mata dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pertama, pegang tikus sesuai cara pengambilan darah yang benar. Kemudian ambil pipa kapiler dan siapkan tabung penampung darah berheparin atau non heparin, tusukkan kapiler perlahan-lahan pada vena optalmikus yang terdapat di sudut mata. Putar kapiler perlahan lahan sampai darah keluar dan tampung darah yang keluar pada tabung. Setelah volume darah dianggap cukup, cabut pipa kapiler dan bersihkan sisa darah yang terdapat di mata dengan kapas steril.Sulfametoxazol merupakan suatu derivat dari sulfisoxazol yang memiliki daya absorpsi dan ekskresi yang lebih lambat. Sulfametoxazol mempunyai waktu paruh selama 8,6 jam. Dapat diabsorpsi dengan hampir sempurna, yaitu sebesar 95%. Konsentrasi maksimal dalam plasma akan tercapai 4 jam setelah pemberian. Pada waktu 24 jam setalah pemberian, 25-50% berada dalam dan setelah 78 jam, 85% akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh/aktif. Sulfametoxazol bersifat tidak larut dalam air, tetapi dapat larut dalam NaOH encer. Berdasarkan sifat kelarutannya, maka larutan obat ini dibuat dengan cara melarutkan terlebih dahulu sulfametoxazol dalam NaOH dan kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest (Mutschler, 1999).Kadar sulfametoksazol pada cairan biologis tikus diuji menggunakan metode Bratton-Marshall. Reaksi diazotasi Bratton-Marshll telah digunakan secara umum untukpenetapan kadar senyawa senyawa yang mengandung gugus amina aromatis seperti sulfadiazin, metode Bratton-Marshall sampai saat ini ddan paling baik untuk menentukan senyawa turunan sulfonamid seperti sulfametoksazol. Prinsipnya membentukreaks kopling yang kemudian diamati pada panjang gelombang maksimum. Karena pada panjang gelombang maksimum ini kepekaandan ketelitian tinggi (underwood, 1980).Tahapan reaksi kimia yang terjadi pada metode Bratton Marshall :1. Pembentukan senyawa diazo

2. MenghilangkankelebihanNaNO

3. Pembentukan zat warna azo

(Siswadono, 2000).

Reaksi tersebut berlangsung pada suasana asam, oleh karena itu pada percobaan ditambah TCA. Selain untuk merubah larutan menjadi asam TCA juga berfungsi mengendapkan protein. Setelah pemberian TCA, kemudian dilakukan vortex untuk meng-homogenkan campuran dan disentrifugasi untuk menyempurnakan pengendapan. Endapan akan terpisah pada bagian bawah dan pada supernatan terdapat cairan bening yaitu plasma darah. Kemudian supernatannya diambil tanpa endapannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengambil obat yang bebas dari protein plasma. Setelah pengambilan supernatan. kemudian supernatan ditambah NaNO2 0,1% untuk reaksi diazotasi, yaitu pembentukan garam diazonium yang sangat reaktif. Setelah itu lalu ditambahkan N-1-naftil etilen diamin (NED) sehingga terbentuk senyawa kopling yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih panjang sehingga bisa dibaca serapannya pada : 550nm. Agar pembentukan warna lebih sempurna dibiarkan di tempat gelap karena dengan adanya cahaya dapat memutus ikatan konjugasinya sehingga ikatannya menjadi lebih pendek dan tidak dapat dideteksi dengan UV-Vis (Imuno Argo, 1989).Reaksi kopling ini ditandai dengan terbentuknya larutan yang berwana ungu (lembayung). Mekanisme yang terjadi

(Siswandono, 2000).

1. Kesimpulan

1. Daftar PustakaDonatus, Drs., Apt. 1989.Analisis Farmakokinetika, Bagian I.Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.Gandjar, G.I dan Rohman, A. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:Pustaka BelajarImuno Argo, D., 1989. Analisis Farmakokinetika, Bagian I. Yogyakarta: UGM press.

Mutschler, Ernst., 1999. Dinamika Obat, edisi ke lima. Bandung: Penerbit ITB.Nurrochmad, A., Sari, I.P., Murwanti, R., Sardjiman, Candraningrum, T., Afritasari, D., Martina, D., dan Siahaan, I.W. 2012. Hepatoprotective Effect of Gamavuton-0 Against D-Galactosamine/Lipopolysaccharide- Induced Fulminant Hepatic Failure. Majalah Farmasi Indonesia. Vol 23. No.1 : hal. 18-26.Siswandono, Bambang Sukarjo. 2000. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press.Smith, R.V. and Stewart, J.T., 1981, Textbook of Biopharmaceutic Analysis, a description of methods for the determination of drugs in biologic fluids, Lea Febiger, Philadelphia.