LAPORAN PENELITIAN Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam...
i
LAPORAN PENELITIAN
Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia dan
Impikasinya dalam Penegakan Hukum
PENELITI :
DIAH RATNA SARI HARIYANTO
MAHASISWA :
1. Kadek Erlina Wijayanthi (1303005112)
2. Febripusoa Surya Candra (1303005116)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
BULAN JANUARI 2018
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNyalah
penelitian yang berjudul “Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia dan Impikasinya dalam Penegakan Hukum” dapat kami
selesaikan. Dalam penyusunan penlitian ini tentu banyak pihak yang membantu. Untuk itu
dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para wakil dekan, beserta staff di
lingkungan Fakultas Hukum UNUD
2. Ketua Unit Penelitian Pengabdian Fakultas Hukum Universitas Udayana
3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
4. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.
Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
penelitian ini. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum.
Denpasar, 23 Januari 2018
Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI
COVER
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii
RINGKASAN ........................................................................................................ ...... iii
PRAKATA ...................................................................................................... ................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................ .......... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ............................................................................ 6
1.4. Tujuan Penelitian. ........................................................................................ 7
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7
1.6. Urgensi ......................................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ ....... 9
2.1 Asas Hukum Pidana................................................................................. 9
2.2 Pembaharuan Hukum Pidana ................................................................... 10
2.3 Penegakan Hukum ........................................................................... 15
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ ..... 18
3.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 18
3.2 Jenis Pendekatan .................................................................................... 18
3.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................................ 20
3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................................................... 20
3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................................................. 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 12
4.1 Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
di Indonesia ...................................................................... 12
4.2 Peranan Asas-Asas Hukum Pidana Menciptakan Keadilan Dalam
Penegakan Hukum Pidana di Indonesia .......................................... 31
v
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
RINGKASAN
Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia dan
Impikasinya dalam Penegakan Hukum
KUHP yang berlaku sekarang sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Konsekuensi dari hal ini, maka semakin lamanya RUU KUHP dirampungkan
atau disahkan maka banyak permasalahan yang akan ditimbulkan. Asas hukum memiliki
peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum. Asas hukum juga menentukan arah
dalam penegakan hukum. Oleh sebab itu asas hukum yang terdapat dalam KUHP harus
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, sesuai dengan karakter, kepribadian, dan pandangan
hidup bangsa dengan kata lain juga harus sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji norma khususnya dalam kajian
pembaharuan hukum pidana. Asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Asas
hukum menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-
undangan. Asas hukum juga dapat membantu kita dalam memahami hukum suatu bangsa
karena terdapat point of value di dalamnya. Selain itu, asas hukum juga sangat penting
sebagai batu ujian terhadap hukum positif dan dapat memberikan norma kontrol terhadap
tindakan negara. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat diterapkan dan sesuai dengan
perasaan hukum masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang memuat asas-asas yang
sesuai dengan perasaan hukum masyarakat dan mampu memberikan keadilan bagi
mayarakat. Asas hukum memiliki peranan yang penting dalam penegakan hukum karena asas
hukum menjadi pedoman penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum, sehingga
asas hukum perlu dirumuskan dengan baik yang sesuai dengan perasaan hukum bangsa
Indonesia.
Kata kunci : urgensi, asas-asas hukum pidana, pembaharuan hukum pidana,
penegakan hukum
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum pidana dikaji dari fungsinya tentu memiliki peranan yang sangat penting di
dalam mengatur kehidupan masyarakat, untuk mencapai keamanan, ketentraman,
kesejahteraan, dan kebahagiaan di dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa, hukum pidana
memiliki arti yang penting dalam lingkup hukum publik. Sebagaimana yang telah kita
ketahui, secara yuridis hukum pidana (materiil) yang berlaku hingga saat kini adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrechts (W.v.S).
Dari segi historisnya, Mokhammad Najih menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sejak
kemerdekaannya pada pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memilih untuk menggunakan
undang-undang hukum pidana yang pernah diberlakukan pada masa kolonial, sebagaimana
dikukuhkan dalam UU No. 1/1946 yang mengukuhkan W.v.S menjadi KUHP induk dari
segala hukum pidana.1 Berdasarkan hal itu, dapat diketahui bahwa setelah Indonesia
menyatakan kemerdekaannya, untuk mengisi kekosongan hukum pidana, maka dengan dasar
Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 dengan menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia maka Wetboek van Strafrechts voor
Nederlandsch Indie (WvSNI) tetap diberlakukan. Berdasarkan hal tersebut juga dapat
diketahui bahwa, KUHP yang berlaku hingga kini adalah warisan kolonial yang tentu secara
substansi belum mencerminkan nilai-nilai, karakter, dan kepribadian Bangsa Indonesia,
sehingga banyak hal yang perlu dirubah sehingga mampu memberikan keadilan bagi bangsa
Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi, dan arus globalisasi mengharuskan
hukum pidana juga berkembang mengikuti perkembangan zaman dan perkembangan
masyarakat. Perkembangan ini juga berdampak terhadap bervariasinya dan berkembangnya
tindak pidana dari masa ke masa. Dalam penegakan hukum, hal ini juga harus diimbangi
dengan produk hukum yang progresif dan responsif. Mengingat bahwa hukum tidaklah statis,
demikian pula masyarakat yang terus berkembang dan dinamis. Oleh sebab itu, hukum
haruslah dinamis dengan melakukan perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan
zaman dan dinamika kehidupan masyarakat. Mengacu pada KUHP, KUHP yang berlaku saat
ini tentu juga perlu diperbaharui.
1Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana; Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam Cita
Negara Hukum, cetakan pertama, Setara Press, Malang, h. 42.
2
Memiliki KUHP nasional atau Hukum Pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional
tentu merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa, sejak
kemerdekaan hingga sampai saat ini keinginan mewujudkan sistem hukum nasional
merupakan agenda utama dalam pembanguan hukum nasional. Politik hukum pidana dalam
hal ini tentu memiliki andil dalam setiap proses pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Sangat besar harapan bangsa Indonesia untuk memiliki KUHP Indonesia yang mencerminkan
nilai-nilai, pandangan, konsep, ide, gagasan, cita-cita, dan ideologi bangsa Indonesia. Namun,
senyatanya hingga kini hal tersebut belum dapat terwujud, walaupun proses pembaharuannya
telah berjalan sudah sangat lama namun belum disahkan hingga saat ini.
Jika dikaji, naskah RUU KUHP memiliki sejarah riwayat yang sangat panjang. Barda
Nawawi Arief dalam Makalahnya yang berjudul “RUU Baru Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem Hukum Pidana Indonesia” yang disampaikan
pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di Surabaya 9-11 Maret 2015 menguraikan
riwayat singkat perkembangan RUU KUHP. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa,
embrio RUU KUHP ini sudah berumur sekitar 51 tahun, sejak tahun 1964 (konsep 1) sampai
konsep 2014/2015. RUU KUHP ini sudah berada dalam periode 13 Menteri Kehakiman,
yaitu Ismail Saleh (1983-1933), Oetojo Oesman (1993-1998), Muladi (1998-1999), Yusril
Ihza Mahendra (1999-2001), Baharudin Lopa (2001-2001), Marsilam Simanjuntak (2001),
Mohammad Mahfud MD (2001), Yusril Ihza Mahendra (2001-2004), Hamid Awaluddin
(2004-2007), Muhammad Andi Mattalatta (2007-2009), Patrialis Akbar (2009-2011), Amir
Syarifudin (2011-2014), dan Yasonna Hamonangan Laoly (2014-sekarang).2
Barda Nawawi Arief dalam makalahnya juga menyebutkan bahwa, pada tahun 1993,
konsep 1991/1992 (edisi revisi s.d Maret 1993), disampaikan ke Menkeh Ismail Saleh, tetapi
tidak pernah diteruskan ke DPR. RUU KUHP pertamakali masuk ke DPR sewaktu periode
Presiden SBY dengan Menkumhamnya Amir Syarifudin yang dimasukkan konsep RUU
KUHP 2012. Pada periode Presiden Jokowi, dengan Menkumhamnya Yasonna Laoly, RUU
KUHP 2012 dikembalikan dan dibahas ulang pada tanggal 1 s.d 6 Desember 2014 (yang
disebut sebagai RKUHP 2014/2015). Konsep RUU KUHP ini belum diajukan lagi ke DPR.3
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, konsep RUU KUHP 2015 memang telah ada
dan sedang berproses, namun belum rampung hingga saat ini.
2Barda Nawawi Arief I, 2015, RUU Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi, Mahupiki dan Fakultas Hukum Pelita Harapan
Surabaya, Surabaya, h. 2.
3Ibid, h. 12-13.
3
Pembaharuan hukum pidana khususnya mengenai hukum pidana materiil (substantif)
merupakan hal yang penting dan mendasar, karena KUHP sekarang tidak dapat lagi
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Barda Nawawi Arief menyatakan
bahwa, “Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk bidang hukum
pidana, merupakan masalah besar dalam agenda kebijakan/politik hukum di Indonesia.
Khususnya pembaharuan sistem hukum pidana nasional masih sangat memprihatinkan...”.4
Uraian ini menegaskan bahwa, pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional yang
berjalan sangat lamban ini mengarah pada anggapan bahwa, pembaharuan hukum pidana
Indonesia khususnya sistem hukum nasional yang berlandaskan aspek ke Indonesiaan
bukanlah hal yang mudah.
Perlu dipahami bahwa, menurut Barda Nawawi Arief, membangun atau melakukan
pembaharuan hukum (law reform, khususnya “penal reform”) pada hakikatnya adalah
“membangun/memperbaharui pokok-pokok pemikiran/konsep/ide dasarnya”, bukan sekedar
memperbaharui/mengganti perumusan pasal (undang-undang) secara tekstual. Oleh karena
itu, kajian atau diskusi tekstual mengenai konsep RUU KUHP harus disertai dengan diskusi
konseptual.5 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, pembaharuan hukum pidana
dilakukan secara total, bukan merupakan tambal sulam dengan hanya mengganti secara
tekstual (substansi) dari Undang-Undang. Secara total disini artinya yakni, bahwa yang
diperbaharui adalah konsepnya, ide-idenya, pokok pikirannya, gagasan, pandangan, nilai-
nilainya yang diarahkan pada karakter, kepribadian bangsa Indonesia dan tetap mengacu pada
Pancasila. Pembaharuan hukum dalam hal ini untuk mengefektifkan penegakan hukum maka
dapat dimaknai sebagai kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum.
Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa, makna dan hakikat reformasi atau
pembaharuan KUHP :
1. KUHP merupakan suatu sistem hukum, khususnya merupakan sistem hukum pidana
(penal system) atau sistem pemidanaan (sentecing system). Oleh karena itu
pembaharuan KUHP pada hakikatnya adalah pembaharuan sistem hukum
pidana/sistem pemidanaan.
2. KUHP Pada hakikatnya merupakan pembaharuan nilai budaya hukum/ide dasar.6
4Barda Nawawi Arief II, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
cetakan kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. V.
5Ibid, h. 1.
6Barda Nawawi Arief I, op.cit, h. 3.
4
Hal ini menunjukkan bahwa, pembaharuan hukum tidak hanya merupakan pembaharuan
secara substantif, tapi merupakan pembaharuan sistem hukum, yang juga meliputi
pembaharuan struktur hukum dan budaya hukum.
Secara sosiologis, mengingat pentingnya KUHP dalam penegakan hukum maka KUHP
harus segera diganti, RUU KUHP harus segera dirampungkan. Mengingat bahwa, KUHP
yang berlaku sekarang adalah merupakan produk hukum warisan zaman kolonial tentu sudah
tidak memadai lagi memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa
dalam penegakan hukum harusnya telah terjadi suatu pergeseran paradigma dari legalistik
formal kearah hukum yang progresif dan responsif untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri,
yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hal ini sebagaimana yang kemukakan
oleh Gustav Radbruch. Ahmad Rifai menyatakan bahwa :
... tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang kemukakan oleh Gustav Radbruch
sebagai 3 (tiga) nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum. Selanjutnya, Radbruch juga mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga
asas tersebut, dimana prioritas utama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan
terakhir kepastian hukum.7
Sesuai dari penggunaan asas prioritas tersebut dapat diketahui bahwa, keadilan tentu harus
diutamakan dalam hal ini.
Sesuai dengan realita hukum bahwa KUHP yang sekarang berlaku bukan berasal,
berakar atau bersumber dari nilai-nilai, pandangan, konsep, gagasan, ide dan kenyataan sosio-
politik, sosio-ekonomi dan sosiobudaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri,
maka banyak hal yang tidak sesuai lagi. Salah satu dinamika yang menarik bahwa
senyatanya, KUHP yang berlaku sekarang dianggap memuat konsep yang terlalu legalistik
dengan menjungjung tinggi asas legalitas menjadikan penegakan hukum terlalu, kaku, tidak
logis dan tidak mencerminkan keadilan.
Kasus yang terbaru adalah kasus pencurian kayu oleh Nenek Asyani, kasus pencurian
kayu yang dilakukan oleh seorang kakek yang bernama Harso Taruno (67 tahun) di
Gunungkidul Yogyakarta dan pencurian kayu oleh nenek Artija di Jember. Kasus pencurian
tiga buah kakao yang dilakukan oleh nenek Minah di Jawa Tengah, kasus pencurian sandal
jepit yang dilakukan oleh Aal di Palu, kasus pencurian dua buah semangka oleh Basar
Suyanto dan Kholil di Kediri, Kasus pencurian dua buah kapas yang dilakukan oleh Rusnoto;
14 tahun, Juwono; 16 tahun, Sri Suratmi; 25 tahun, dan Minase; 39 tahun di Jawa Timur,
Pencurian Enam Piring oleh nenek Rasminah di Serang, kasus pencurian bunga oleh Foni
7Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, cetakan kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 132.
5
Nubatonis (16 tahun) di Nusa Tenggara Timur, dan Pencurian merica oleh seorang kakek
berusia 66 tahun di Dusun Sengkang Desa Talle, Kecamatan Sinjai, merupakan beberapa
kasus yang menunjukkan penegakan hukum yang tidak mencerminkan keadilan. Kasus ini
menunjukkan penegakan hukum yang sangat ketat memberlakukan KUHP warisan zaman
kolonial yang menjauhi keadilan masyarakat.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan penyimpangan dalam penerapan/penegakan hukum.
Penyimpangan bahwa, keadilan dikesampingkan demi mewujudkan kepastian hukum atau
keadilan dikorbankan untuk kepastian hukum. Penyelesaian kasus-kasus yang menjadi
sorotan publik tersebut menunjukkan bahwa, hukum terlalu legalistik formal, kaku, tidak
logis dan tidak mencerminkan keadilan, khususnya bagi masyarakat kelas bawah (masyarakat
miskin). Proses hukum tersebut menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat, karena jika
penegak hukum kita berfikir progresif dengan mengutamakan keadilan maka seharusnya
kasus-kasus tersebut tidak sampai di tingkat pemeriksaan di pengadilan. Diskresi melalui
mediasi penal (restorative justice) perlu diterapkan untuk mewujudkan efisiensi dan
efektifitas penyelesaian kasus dalam konteks pencapaian hukum yang responsif.
Penegakan hukum dalam kasus-kasus yang tidak mencerminkan keadilan, sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya juga kian memperparah sikap pesimisme, sikap skeptis
masyarakat, dan menimbulkan kekecewaan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang
tidak mampu memberikan keadilan bagi masyarakat kelas bawah (orang/kelompok orang
miskin). Dalam penegakan hukum, seharusnya kelompok inilah yang harus diprioritaskan
mendapatkan perlindungan karena kedudukannya yang dalam hal ini sangat rentan
diperlakukan secara tidak adil dan penuh diskriminasi. Penerapan atau penegakan hukum
yang tidak mencerminkan keadilan dalam kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya
merupakan salah satu bentuk gagalnya pemenuhan keadilan di Indonesia.
Penegakan hukum di Indonesia masih seperti sebelah pisau yang tajam ke bawah dan
tumpul ke atas. Fenonema dalam fakta-fakta atau dass sollen inilah yang secara sosiologis
menunjukkan belum terciptanya keadilan bagi masyarakat miskin. Rasa keadilan belum
sepenuhnya tersentuh dikalangan masyarakat miskin. Kasus-kasus yang mencerminkan
penegakan hukum yang kaku dan legalistik formal ini, terlalu berlebihan jika sampai pada
proses pengadilan, karena kerugian yang ditimbulkan tidak besar jika dibandingkan kerugian
mental secara psikis yang harus dialami terlebih jika kasus-kasus ini melibatkan seorang anak
dan melibatkan orang yang sudah lanjut usia, yang harusnya mendapatkan perlindungan
khusus.
6
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa KUHP yang berlaku sekarang sudah tidak
memadai lagi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Konsekuensi dari hal ini, maka
semakin lamanya RUU KUHP dirampungkan atau disahkan maka banyak permasalahan yang
akan ditimbulkan. Semakin lamanya RUU KUHP dirampungkan atau disahkan maka
masyarakat akan semakin terjauh dari keadilan bangsa Indonesia. Selama KUHP warisan
Belanda belum diganti, selama itu pulalah hukum nasional kita tidak memiliki jati diri.
Hukum Pidana Nasional kita membutuhkan KUHP yang berkarakter, berkepribadian, dan
jiwa yang mendasarinya adalah Pancasila. Secara filosofis hal ini penting untuk dibangun,
salah satunya yakni gagasan tentang keadilan berdasarkan pancasila.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa, asas hukum memiliki peranan yang sangat
penting dalam penegakan hukum. Asas hukum juga menentukan arah dalam penegakan
hukum. Oleh sebab itu asas hukum yang terdapat dalam KUHP harus sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat, sesuai dengan karakter, kepribadian, dan pandangan hidup bangsa
dengan kata lain juga harus sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Oleh sebab itu, penelitian ini
juga bermanfaat untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa keadilan
berdasarkan pancasila harus ditegakkan demi terwujudnya hukum yang responsif dan sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal-hal seperti yang telah penulis
uraikan diatas, maka merupakan pendorong bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan
judul : “Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
dan Impikasinya dalam Penegakan Hukum”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, hal yang dapat menjadi Rumusan Masalah adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah urgensi asas-asas hukum pidana dan implikasinya dalam pembaharuan
hukum pidana di Indonesia ?
2. Bagaimanakah peranan asas-asas hukum pidana menciptakan keadilan dalam
penegakan hukum pidana di Indonesia?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara
pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai berikut :
1. Permasalahan pertama membahas mengenai urgensi asas-asas hukum pidana dan
implikasinya dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang akan menunjukkan
7
bahwa asas-asas hukum pidana sangat penting yang juga akan dikaji berdasarkan
pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
2. Permasalahan kedua membahas mengenai peranan asas-asas hukum pidana menciptakan
keadilan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. pembahasan akan diarahkan pada
penegakan hukum di Indonesia yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat,
sehingga diperlukan asas-asas hukum pidana dengan memperhatikan perasaan hukum
masyarakat.
1.4 Tujuan Penulisan
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai urgensi asas-asas hukum
pidana dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dan impikasinya dalam
penegakan hukum.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai urgensi asas-asas hukum
pidana dan implikasinya dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan asas-asas hukum pidana
menciptakan keadilan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu hukum dan dapat
memberikan inovasi baru dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pengkajian
urgensi asas-asas hukum pidana dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dan
impikasinya dalam penegakan hukum akan memberi manfaat pengetahuan mengenai
pentingnya sebuah asas hukum dengan karakter, kepribadian, nilai-nilai bangsa
Indonesia yang termuat dalam Pancasila.
1.5.2 Manfaat Praktis
Bermanfaat dalam prakteknya bagi legislatif atau perancang RUU KUHP, karena
setelah memahami pentingnya atau urgensi urgensi asas-asas hukum pidana dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia dan impikasinya dalam penegakan hukum maka
legislatif dapat membentuk dan memperbaharui asas-asas hukum yang sesuai dengan
8
kebutuhan masyarakat. Secara praktis hal ini juga bermanfaat bagi penegak hukum
untuk membuka atau memperbaharui paradigma yang legalistik formal kearah hukum
yang progresif dan responsif melalui penerapan asas-asas hukum yang tentunya mampu
mengakomodir nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Bermanfaat juga
bagi masyarakat untuk mencapai rasa keadilan masyarakat. Secara lebih luas, dengan
diaturnya asas-asas hukum yang ideal bagi bangsa Indonesia yang responisf dan
progresif dengan menjunjung tinggi keadilan maka pengakan hukum dengan KUHP
Indonesia tentu lebih optimal didalam penegakan hukum, penanggulangan hukum, dan
pencapaian tujuan negara.
1.6 Urgensi Penelitian
Penelitian ini penting untuk dilakukan dalam rangka menciptakan asas-asas hukum
pidana yang ideal di Indonesia, sehingga dapat memberikan keadilan bagi masyarakat.
Banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia yang
menimbulkan pesimisme, kekecewaan, sikap skeptis, dan apatis dari masyarakat. Hal ini
perlu ditindak lanjuti dengan upaya perbaikan, salah satunya melalui pengkajian asas-
asas hukum pidana yang ideal untuk dirumuskan dalam konteks pembaharuan hukum
pidana Indonesia dan penerapannya dalam penegakan hukum di Indonesia.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asas Hukum Pidana
Asas hukum memiliki posisi yang penting dalam sebuah undang-undang. Asas
hukum merupakan jiwa dari sebuah Peraturan-Perundang undangan sehingga sangat
menentukan dalam penegakan hukum nantinya. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa
asas hukum merupakan pikiran dasar yang memiliki sifat yang umum yang menjadi latar
belakang dari peraturan yang konkrit. Asas hukum terdapat di dalam dan dibelakang setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan ditemukan dalam sifat-sifat umum dalam peraturan kongkrit.
Asas hukum merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau
abstrak.8 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa asas hukum sangat berkaitan dengan
Peraturan Perundang-undangan dan putusan hakim.
Dalam kamus hukum dapat diketahui bahwa asas hukum adalah suatu pemikiran yang
dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum.9 J. J. H Bruggink dalam
terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa, “Asas hukum adalah kaidah yang memuat
ukuran (kriteria) nilai”.10 Lebih lanjut, J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha
menyatakan bahwa, gagasan tentang asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental dalam
suatu sistem hukum dapat kita temukan kembali dalam berbagai pandangan teoritisi hukum.
Paul Scholten misalnya menguraikan bahwa asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang
terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-
aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya. Berdasarkan definisi ini tampak dengan jelas peranan dari asas hukum
sebagai meta-kaidah berkenaan dengan kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku.11
J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha juga menyatakan bahwa, kita
memandang asas hukum sebagai sejenis meta kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku,
8Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Keempat, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I,), h. 34.
9M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, Reality Publisher,
Surabaya, h. 56.
10J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 123.
11Ibid, h. 121.
10
sementara itu, asas hukum juga dapat memenuhi fungsi yang sama seperti kaedah perilaku.
Meta kaidah ini memuat ukuran atau kriteria nilai. Fungsi asas hukum adalah merealisasikan
ukuran nilai itu sebanyak mungkin dalam kaidah-kaidah dari hukum positif dari
penerapannya. Namun, dalam mewujudkan ukuran nilai itu secara sepenuhnya sempurna
dalam suatu sistem hukum positif tidaklah mungkin.12
Selain J. J. H Bruggink dan Paul Scholten banyak para ahli hukum yang menyatakan
pendapatnya mengenai pengertian asas hukum, salah satunya yakni dari Sudikno
Mertokusomo. Sudikno Mertokusomo yang dikutip dari buku Yuliandri yang berjudul
Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik menyatakan bahwa :
Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan konkret yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan
hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dari peraturan
yang konkret tersebut. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum ini dalam
hukum positif.13
Mengenai hal ini, Yuliandri menyatakan bahwa, melalui pemahaman tentang asas hukum
dan norma hukum atau kaidah hukum, dapat dijelaskan bahwa asas hukum bukanlah
merupakan aturan yang bersifat konkret sebagaimana halnya norma atau kaidah hukum. Asas
hukum harus dapat memberikan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkret
dalam pembuatan undang-undang. Asas hukum dapat dijadikan pedoman dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.14
Asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman
yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan. Asas hukum memiliki peranan dalam
penegakan hukum, sehingga harus dirumuskan dengan baik. Hukum Pidana memiliki banyak
asas hukum, misalnya asas legalitas, asas berlakunya hukum pidana berdasarkan tempat dan
waktu, asas kesalahan, asas pertanggung-jawaban pidana, dan lain-lain.
2.2 Pembaharuan Hukum Pidana
Sebagaimana yang telah kita ketahui, secara yuridis hukum pidana (materiil) yang
berlaku hingga saat kini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek
van Strafrechts (W.v.S). Mokhammad Najih menyatakan bahwa, dari segi historisnya,
12Ibid, h. 122.
13Yuliandri, 2013, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik; Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, cetakan keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 20.
14Ibid.
11
Bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memilih untuk
menggunakan undang-undang hukum pidana yang pernah diberlakukan pada masa kolonial,
sebagaimana dikukuhkan dalam UU No. 1/1946 yang mengukuhkan W.v.S menjadi KUHP
induk dari segala hukum pidana.15
Memiliki KUHP nasional atau Hukum Pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional
tentu merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa, sejak
kemerdekaan hingga sampai saat ini keinginan mewujudkan sistem hukum nasional
merupakan agenda utama dalam pembanguan hukum nasional. Sangat besar harapan bangsa
Indonesia untuk memiliki KUHP Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai, pandangan,
konsep, ide, gagasan, cita-cita, dan ideologi bangsa Indonesia. Namun, senyatanya hingga
kini hal tersebut belum dapat terwujud, walaupun proses pembaharuannya telah berjalan
sudah sangat lama, namun belum disahkan hingga saat ini.
Jika dikaji, naskah RUU KUHP memiliki sejarah riwayat yang sangat panjang. Barda
Nawawi Arief dalam Makalahnya yang berjudul “RUU Baru Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem Hukum Pidana Indonesia” yang disampaikan
pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di Surabaya 9-11 Maret 2015 menguraikan
riwayat singkat perkembangan RUU KUHP. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa,
embrio RUU KUHP ini sudah berumur sekitar 51 tahun, sejak tahun 1964 (konsep 1) sampai
konsep 2014/2015. RUU KUHP ini sudah berada dalam periode 13 Menteri Kehakiman,
yaitu Ismail Saleh (1983-1933), Oetojo Oesman (1993-1998), Muladi (1998-1999), Yusril
Ihza Mahendra (1999-2001), Baharudin Lopa (2001-2001), Marsilam Simanjuntak (2001),
Mohammad Mahfud MD (2001), Yusril Ihza Mahendra (2001-2004), Hamid Awaluddin
(2004-2007), Muhammad Andi Mattalatta (2007-2009), Patrialis Akbar (2009-2011), Amir
Syarifudin (2011-2014), dan Yasonna Hamonangan Laoly (2014-sekarang).16
Barda Nawawi Arief dalam makalahnya juga menyebutkan bahwa, pada tahun 1993,
konsep 1991/1992 (edisi revisi s.d Maret 1993), disampaikan ke Menkeh Ismail Saleh, tetapi
tidak pernah diteruskan ke DPR. RUU KUHP pertamakali masuk ke DPR sewaktu periode
Presiden SBY dengan Menkumhamnya Amir Syarifudin yang dimasukkan konsep RUU
KUHP 2012. Pada periode Presiden Jokowi, dengan Menkumhamnya Yasonna Laoly, RUU
KUHP 2012 dikembalikan dan dibahas ulang pada tanggal 1 s.d 6 Desember 2014 (yang
disebut sebagai RKUHP 2014/2015).17 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa,
15Mokhammad Najih, op.cit, h. 42.
16Barda Nawawi Arief I, op.cit, h. 2.
17Barda Nawawi Arief I, op.cit, h. 12-13.
12
konsep RUU KUHP 2015 memang telah ada dan sedang berproses, namun belum rampung
hingga saat ini.
Pembaharuan hukum pidana materiil (substantif) merupakan hal yang penting dan
mendasar. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, “Pembaharuan dan pembangunan sistem
hukum nasional, termasuk bidang hukum pidana, merupakan masalah besar dalam agenda
kebijakan/politik hukum di Indonesia. Khususnya pembaharuan sistem hukum pidana
nasional masih sangat memprihatinkan...”.18 Uraian ini menegaskan bahwa, pembaharuan dan
pembangunan sistem hukum nasional yang berjalan sangat lamban ini mengarah pada
anggapan bahwa, pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya sistem hukum nasional
yang berlandaskan aspek ke Indonesiaan bukanlah hal yang mudah.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, pembaharuan hukum (law reform, khususnya
“penal reform”) pada hakikatnya adalah “membangun/memperbaharui pokok-pokok
pemikiran/konsep/ide dasarnya”, tidak hanya memperbaharui/mengganti perumusan pasal
(undang-undang) secara tekstual. Kajian tekstual tentang konsep RUU KUHP harus disertai
dengan diskusi konseptual.19 Pembaharuan hukum pidana dilakukan secara total, bukan
merupakan tambal sulam atau parsial dengan hanya mengganti/menyisipkan secara tekstual
(substansi) dari undang-undang. Secara total disini artinya yakni, yang diperbaharui adalah
konsepnya, ide-idenya, pokok pikirannya, gagasan, pandangan, nilai-nilainya yang diarahkan
pada karakter, kepribadian bangsa Indonesia dan tetap mengacu pada Pancasila.
Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa, makna dan hakikat reformasi atau
pembaharuan KUHP :
1. KUHP merupakan suatu sistem hukum, khususnya merupakan sistem hukum pidana
(penal system) atau sistem pemidanaan (sentecing system). Oleh karena itu,
pembaharuan KUHP pada hakikatnya adalah pembaharuan sistem hukum
pidana/sistem pemidanaan.
2. KUHP Pada hakikatnya merupakan pembaharuan nilai budaya hukum/ide dasar.20
Hal ini menunjukkan bahwa, pembaharuan hukum tidak hanya merupakan pembaharuan
secara substantif, tapi merupakan pembaharuan sistem hukum, yang juga meliputi
pembaharuan struktur hukum dan budaya hukum.
Konsep rancangan KUHP Baru menurut Barda Nawawi Arief:
18Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. v.
19Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 1
20Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 3.
13
Konsep rancangan KUHP Baru disusun dengan bertolak pada tiga
materi/substansi/masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu :
1) Masalah tindak pidana;
2) Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan
3) Masalah pidana dan pemidanaan.21
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana yang
kemudian menjadi fokus dalam Rancangan KUHP Indonesia, yaitu tindak pidana,
kesalahan/pertanggungjawaban pidana, dan pidana dan pemidanaan.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa dalam KUHP yang berlaku sekarang dpat
ditemukan bahwa tidak semua bangunan/konstruksi konsepsional sistem hukum pidana atau
ajaran hukum pidana umum yang berlaku dimasukkan/dirumuskan di dalam Bagian Umum
Buku I. Terdapat beberapa hal penting yang tidak dimasukkan atau dirumuskan secara
eksplisit di dalam Buku I KUHP, diantaranya adalah ketentuan mengenai tujuan dan
pedoman pemidanaan, pengertian atau hakikat tindak pidana, sifat melawan hukum (termasuk
asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum; “no liability without
unlawfullness”; asas ketiadaan sama sekali sifat melawan hukum secara materiel atau dikenal
dengan nama asas “afwezigheids van alle materiele wederrechtelijkheid-AVAW”-AVAS),
masalah kausalitas, masalah kesalahan atau pertanggung-jawaban pidana (termasuk asas tiada
pidana tanpa kesalahan;asas culpabilitas; “no liability without blameworthiness”;
afwezigheids van alle schould”-AVAS; pertanggungjawaban akibat/erfolgshaftung,
kesesatan/error, dan pertanggungjawaban korporasi.22 Hal inilah yang seharusnya perlu
dikaji karena penting untuk dirumskan dalam KUHP Indonesia dan menjadi agenda dalam
pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang menyangkut 3 masalah dasar dalam hukum
pidana yakni: tindak pidana, kesalahan, dan pidana.
Terkait dengan penelitian ini, hal baru dalam Rancangan KUHP salah satunya adalah
mengenai asas Pertanggungjawaban Pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, konsep
RUU KUHP memberi kemungkinan untuk menerapkan asas "pemberian
maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk pardon" atau''judicial pardon), hal ini
menjadikan konsep RUU KUHP tidak kaku dan bersifat absolut. Di dalam asas "Judicial
pardon" terkandung ide/pokok pemikiran :
- Mencegah/menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;
- menyediakan "klep/katup pengaman" ("veiligheidsklep'');
21Barda Nawawi Arief III, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, cetakan pertama, Semarang, h.75.
22Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 4.
14
- merupakan bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas (Judicial corrective to the
legality principle)
- Sebagai implementasi atau integrasi nilai atau paradigma "hikmah kebijaksanaan"
dalam Pancasila;
- Sebagai implementasi atau integrasi "tujuan pemidanaan" kedalam syarat pemidanaan
(karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim harus
mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak
hanya didasarkan pada adanya "tindak pidana" (asas legalitas) dan "kesalahan" tetapi
juga pada tujuan pemidanaan.23
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kewenangan hakim untuk memberi maaf
("rechterlijk pardon ") dapat berarti hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana tindakan
apapun.24
RUU KUHP juga merumuskan Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan.
RUU KUHP mengatur mengenai Tujuan Pemidanaan (Pasal 54 RUU KUHP) dan pedoman
pemidanaan (Pasal 55 RUU KUHP).
Pasal 54 RUU KUHP
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Pasal 55 RUU KUHP
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
23Barda Nawawi Arief III, loc.cit.
24Barda Nawawi Arief III, loc.cit.
15
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.
2.3 Penegakan Hukum
Menurut Djoko Prakoso penegakan hukum merupakan usaha untuk menciptakan tata
tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan
maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum,
dengan lain perkataan, baik secara preventif maupun represif.25 Satjipto Raharjdo
mengemukakan bahwa, “Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan”.26 Hal ini menunjukkan bahwa penegakan
hukum sangatlah penting sehingga diperlukan pedoman yang tepat untuk dapat memberikan
keadilan dan menjawab segala tuntutan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa, secara konsepsional a inti dan arti penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.27 Dalam upaya penegakan hukum pidana ini aparat penegak
hukum tentunya akan menemui hambatan-hambatan atau kendala-kendala. Beberapa pakar
atau ahli hukum telah mengutarakan pandangan-pandangannya mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto :
... masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut memiliki arti yang sentral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-
undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
25Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa Di Tengah- Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 1.
26Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, h.
24.
27Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 5.
16
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum. 28
Selain pendapat dari Soerjono Soekanto, juga perlu diperhatikan pendapat dari Lawrence
Meir Friedman.
Menurut pendapat L.M Friedman, “Hukum sebagai suatu sistem akan dapat berperan
dengan baik di dalam masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan di bidang penegakan hukum”.29 Lebih lanjut beliau
mengemukakan bahwa :
Sistem hukum tersusun dari subsistem hukum yang berupa :
1. Substansi hukum
2. Struktur hukum, dan
3. Budaya hukum
Ketiga unsur sistem hukum inilah yang nantinya akan sangat menentukan apakah suatu
sistem hukum dapat berjalan atau tidak. Substansi hukum biasanya terdiri dari peraturan
perundang-undangan. Sedang struktur hukum adalah aparat, sarana dan prasarana
hukum. Adapun budaya hukum adalah berupa perilaku dari para anggota masyarakat itu
sendiri.30
Dalam membahas permasalahan ini juga perlu diperhatikan mengenai pandangan
Friedman mengenai komponen-komponen system, yang dapat menunjukkan efektif tidaknya
berlakunya hukum dalam masyarakat. Komponen system ini terdiri atas :
Komponen Struktural, yaitu bagian yang bergerak di dalam mekanisme. Misalnya di
dalam lembaga peradilan strukturnya membedakan pengadilan umum, pengadilan
administrasi, pengadilan agama, dan pengadilan militer, dengan pembagian kompetensi
masing-masing. Komponen struktural ini diharapkan untuk melihat bagaimana hukum
itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
Komponen Substansi, yang termasuk dalam komponen ini adalah ketentuan-ketentuan
dan aturan-aturan hukum, yang tertulis dan tidak tertulis. Setiap keputusan adalah
produk substansi dari system hukum, misal setiap keputusan yang mengandung doktrin,
keputusan pengadilan, keputusan pembuat undang-undang, dan keputusan yang
dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan.
Komponen Kultur, yang terdiri dari nilai-nilai, sikap-sikap yang melekat dalam budaya
bangsa. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itulah yang dapat dipakai untuk
28Ibid, h. 8.
29Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana Khusus, Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta, h. 1.
30Ibid.
17
menjelaskan apakah atau mengapa orang menggunakan atau tidak menggunakan
proses-proses hukum untuk menyelesaikan sengketanya.31
Dari pendapat Lawrence Meir Friedman, Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa :
Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya
mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga
tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi
norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang
berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai
yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga
dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).32
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum harus diperhatikan sehingga penegakan
hukum dapat dilakukan dengan baik.
31Sidik Sunaryo, op.cit, h. 15.
32Soerjono Soekanto, op.cit, h. 59.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penulisan
3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
yang mengkaji mengenai “Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia dan Impikasinya dalam Penegakan Hukum”. Menurut Sudikno
Mertokusomo penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meneliti kaidah atau
norma.33 Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa penelitian hukum adalah proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi.34 Penelitian ini mengkaji mengenai norma
sehingga digunakan penelitian hukum normatif.
3.1.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini untuk kedalaman pengkajian dan sesuai dengan konteks
permasalahan atau isu yang dikaji, digunakan lima jenis pendekatan yakni pendekatan kasus
(the case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan
konseptual (conseptual approach), pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan
perbandingan (comparative approach).
3.1.2.1 Pendekatan kasus (the case approach).
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa pendekatan kasus dilakukan dengan
menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, khususnya dalam bagian ratio
decidendi atau reasoning putusan pengadilan yaitu pertimbangan pengadilan atau alasan-
alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai pada putusannya. Ratio decidendi atau
reasoning ini dapat menjadi referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu
hukum.35 Penulis mengkaji kasus-kasus yang terjadi di masyarakat dan kasus-kasus dalam
putusan pengadilan.
33Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h.37.
34Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.35.
35Ibid, h. 93-119.
19
3.1.2.2 Pendekatan perundang-undangan (the statute approach)
Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan perundang-undangan adalah
pendekatan yang menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan yakni pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi. Dalam pendekatan ini, peneliti perlu memahami hirarkhi
dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Peneliti tidak hanya melihat bentuk
peraturan, namun juga menelaah materi muatannya. Peneliti juga perlu mempelajari dasar
ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis dari undang-undang, dan ratio legis dari
ketentuan undang-undang.36 Penulis mengkaji semua perundang-undangan yang terkait
dengan permasalahan atau isu hukum yang ada, serta melakukan pengkajian mengenai dasar
ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis, dan ratio legis dari ketentuan undang-
undang yang terkait.
3.1.2.3 Pendekatan konseptual (conseptual approach)
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa pendekatan konseptual adalah
pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang
di dalam ilmu hukum. Pemahaman pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin menjadi
sandaran dalam membangun argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.37
Pendekatan ini digunakan untuk membantu penulis dalam penyusunan analisis dan
argumentasi.
3.1.2.4 Pendekatan sejarah (historical approach)
Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan sejarah dilakukan dengan menelaah
latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang
dihadapi.38 Aspek filosofis penting untuk diketahui dalam sebuah norma hukum, sehingga
digunakan pendekatan sejarah dalam penelitian ini.
3.1.2.5 Pendekatan perbandingan (comparative approach)
Menurut Peter Mahmud Marzuki studi perbandingan hukum merupakan kegiatan
membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu
tertentu dengan hukum pada waktu yang lain. Selain itu, juga membandingkan suatu putusan
36Ibid, h. 93-102.
37Ibid, h. 95.
38Ibid, h. 94.
20
pengadilan untuk masalah yang sama. Hal ini bermanfaat untuk penyingkapan latar belakang
terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih
yang selanjutnya dapat dijadikan rekomendasi dalam penyusunan atau perubahan peraturan
perundang-undangan.39 Penelitian ini melakukan studi perbandingan mengenai KUHP di
negara-negara lainnya, seperti di Inggris.
3.3 Sumber Bahan Hukum.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier/tertier. Bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a) Bahan hukum primer. Dalam penelitian ini dapat berupa bahan-bahan hukum yang
mengikat yang dalam penelitian ini terdiri dari peraturan dasar dan peraturan perundang-
undangan.
b) Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : pendapat para
pakar hukum (doktrin), buku-buku hukum (text book), dan artikel dari perkembangan
informasi internet.
c) Bahan hukum tersier/tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum
dan kamus bahasa Indonesia.
3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum primer yang terkait dengan penelitian ini dikumpulkan secara sistematis.
Bahan-bahan hukum sekunder yang terkait dalam penelitian ini dikumpulkan dan ditelusuri
dengan menggunakan metode bola salju (snow ball method). M. Hadin Muhjad dan Nunuk
Nuswardani menyatakan bahwa cara atau teknik “snow ball” dilakukan dalam pengumpulan
bahan hukum sekunder karena sangat minimnya referensi tentang hal yang dibahas. Dalam
hal menjaga kedalaman kajian dan tetap fokus pada permasalahan yang dikaji, cara atau
teknik “snow ball” disusun secara sistematik.40 Teknik ini dapat mempermudah penulis
dalam mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan.
39 Ibid, h. 132-h. 133.
40M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, cetakan
pertama, Genta Publising, Yogyakarta, h. 51.
21
3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Keseluruhan bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis bahan hukum berupa teknik deskripsi/deskriptif, teknik komparatif, teknik
evaluasi/evaluatif, teknik interpretasi, teknik konstruksi, dan teknik
argumentasi/argumentatif:
3.5.1 Teknik deskripsi/deskriptif.
Dalam teknik deskriptif peneliti memaparkan apa adanya tanpa disertai tanggapan
atau pendapat pribadi peneliti tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum.41
3.5.2 Teknik komparatif.
Teknik ini diperlukan untuk menganalisis bahan hukum sekunder yang didalamnya
terdapat berbagai pandangan sarjana hukum. Identifikasi berbagai pandangan juris atau ahli
hukum ini diperlukan untuk kemudian dilakukan kristalisasi untuk menghasilkan kebenaran
sementara atas argumentasi peneliti.42
3.5.3 Teknik evaluasi/evaluatif.
Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat ahli hukum yang pro dan kontra akan
dievaluasi dan hasil evaluasi kemungkinan bahwa peneliti menyetujui salah satunya dan
menolak yang lainnya atau peneliti tidak setuju terhadap keduanya.43 Hal ini tentu diperlukan
dalam menentukan pendapat atau pandangan ahli hukum yang dapat digunakan dalam
membahas permasalahan.
3.5.4 Teknik interpretasi
Menurut Sudikno Mertokusumo, “Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu
metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang mengenai teks undang-
undang agar ruang lingkup kaidah dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu”.44 Teknik
interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran gramatikal (tata bahasa),
penafsiran otentik, penafsiran sejarah, penafsiran sistematis/logis, penafsiran
teleologis/sosiologis, penafsiran komparatif/perbandingan, penafsiran antisipatif atau
futuristis, penafsiran restriktif, dan penafsiran ekstensif.
3.5.5 Teknik konstruksi.
41Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif; Dalam Justifikasi Teori Hukum, cetakan
pertama, Prenada Media Group, Jakarta, h. 152.
42Ibid, h. 153.
43Ibid h. 153-154.
44Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 169.
22
Dalam penelitian ini digunakan teknik konstruksi hukum berupa rechtverfijning atau
determinasi (penghalusan hukum). Menurut Pasek Diantha rechtverfijning atau determinasi
adalah menghaluskan atau mengkhususkan berlakunya peraturan perundang-undangan,
berkenaan dengan asas yang berlaku secara luas menjadi berlaku secara lebih sempit atau
khusus.45
3.5.6 Teknik argumentasi/argumentatif
Pasek Diantha menyatakan bahwa teknik argumentasi/argumentatif dilakukan pada
saat terakhir setelah dilakukannya teknis evaluasi terhadap argumen-argumen yang saling
berbeda. Inti dari argumentasi adalah penalaran atau reasoning atau penjelasan yang masuk
akal. Sebelum sampai pada tingkat nalar diupayakan terlebih dahulu membuat ulasan, telaah
kritis atas berbagai pandangan dalam bentuk komparasi untuk menggiring opini ke arah
terbangunnya nalar.46 Teknik ini dalam sebuah penelitian juga memiliki peranan yang penting
untuk membangun analisis berupa argumentasi yang baik (tepat/benar, logis).
45Pasek Diantha, op.cit, h. 154.
46Pasek Diantha, op.cit, h. 155.
23
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Urgensi Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia
Dilihat dari historisnya, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, penggunaan secara sadar
dan cukup konsisten baru dimulai pada tahun 1990-an, khususnya mulai tahun 1992. Mulai
pada tahun itu mulai dimasukkan asas secara konsisten sebagai komponen perundang-
undangan, yaitu, UU No. 13/1992 (Perkeretaapian), UU No. 14 /1992 (Lalu lintas jalan), UU
No. 15/1992 (Penerbangan), UU No. 21/1992 (Pelayaran), UU N0. 23/1992 (kesehatan), UU
No. 24/1992 (Penataan ruang), dan UU No. 25/1992 (Perkoperasian). Satjipto Rahardjo juga
menyatakan bahwa, hal tersebut memasukkan asas dalam perundang-undangan memang
dipujikan, disebabkan hukum itu bukan bangunan peraturan semata, melainkan juga
bangunan nilai-nilai. Oleh karena itu, sudah tepatnyalah apabila dalam peraturan hukum itu
ada bagian yang mampu untuk mengalirkan nilai-nilai tersebut, dan bagian itu adalah asas
hukum.47 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, secara normatif, dalam
perkembangannya, kini asas hukum dapat dijumpai dalam Undang-Undang dan secara
historis hal tersebut secara konsisten telah dilakukan sejak tahun 1992.
Asas hukum merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah Undang-undang.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, asas hukum menjadi unsur yang penting dan pokok
dari peraturan hukum. Barangkali tidak berlebihan dikatakan bahwa, asas hukum ini
merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Hal ini karena, ia merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa, peraturan-peraturan
hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut
landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau
merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tiak akan habis kekuatannya
dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada akan melahirkan
peraturan-peraturan selanjutnya. Oleh karena itu, Paton menyebutnya sebagai suatu sarana
yang membuat hukum itu hidup, tumbuh, dan berkembang dan juga ia juga menunjukkan
bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebutkan oleh
47Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, cetakan kedua, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta, 138.
24
karena asas megandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.48
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo juga menyatakan bahwa, karena asas hukum
mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan
hukum dengan cita-cita sosisal dari pandangan etis masyarakatnya. Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa melalui asas hukum ini, peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian
dari suatu tatanan etis. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang
bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Oleh karena itu,
untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada
peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas
hukumnya.49
Asas hukum juga dikatakan sebagai batu ujian terhadap hukum positif sebagaimana
yang dikemukakan oleh Peters, yang dikutip dari buku Komariah Emong Supardjaja dengan
judul “Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum pidana Indonesia” yang
menyatakan bahwa, asas-asas hukum suatu nilai otonom yang relatif, yang selalu harus
dikemukakan sebagai batu ujian terhadap hukum positif. Asas-asas hukum bukanlah sesuatu
yang akan dapat membendung kriminalitas secara supel dan diam-diam, tetapi justru asas-
asas hukum itu bertujuan memberikan norma kontrol terhadap tindakan negara.50
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa, asas-asas hukum sangatlah penting
dalam sebuah norma hukum dan juga dalam penegakan hukum. Asas hukum merupakan
cerminan nilai-nilai yang selanjutnya termuat dalam norma hukum yang sebagaimana
dinyatakan oleh J. J. H Bruggink bahwa asas hukum merupakan kaidah yang memuat ukuran
(kriteria) nilai. Sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum
adalah jantungnya peraturan hukum dan asas hukum juga dapat membantu kita dalam
memahami hukum suatu bangsa. Dapat dikatakan bahwa, terdapat suatu point of value yang
menunjukkan adanya sudut pandang suatu negara tercermin dalam hukum itu melalui asas-
asas hukumnya. Asas-asas hukum merupakan point of value yang menunjukkan karakter,
nilai-nilai falsafah suatu bangsa. Sebagaimana yang telah kita ketahui juga bahwa asas
hukum merupakan refleksi dari norma hukum. Peters juga menyatakan bahwa, asas hukum
juga sangat penting sebagai batu ujian terhadap hukum positif dan dapat memberikan norma
kontrol terhadap tindakan negara.
48Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, cetakan ketujuh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 45.
49Ibid, h. 46-47.
50Komariah Emong Supardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum pidana
Indonesia, cetakan pertama, Alumni, Bandung, h. 10.
25
Sebagaimana yang telah kita ketahui, asas hukum itu bersifat universal yang berarti
bahwa dalam keadaaan bagaimapun asas hukum tetap dihormati dan digunakan sebagai dasar
penyusunan norma suatu peraturan hukum. Asas hukum juga memiliki sifat kritis normatif
yang digunakan sebagai ukuran untuk menilai tentang sifat adil dan tidaknya suatu norma
(kritis) dan asas hukum memiliki fungsi mengatur kebijakan pemerintah dalam hukum pidana
(normatif). Asas hukum memuat nilai moral dan etik sehingga memiliki peran yang penting
didalam pembentukan suatu peraturan hukum atau memiliki kedudukan yang penting dalam
sebuah peraturan hukum. Asas hukum menunjukkan nilai-nilai yang ada di belakang suatu
peraturan hukum.
Asas hukum menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan
Perundang-undangan. Menjiwai dalam arti ini memuat makna yang sangat penting bahwa,
asas hukum yang dianut dalam sebuah undang-undang akan mencerminkan isi dari Undang-
undang tersebut. Dengan kata lain, asas hukum dapat mewakilkan ide-ide, konsep, gagasan,
pandangan serta jati diri dari sebuah peraturan perundangan-undangan. Asas hukum sangat
menentukan isi secara keseluruhan dari norma yang dibentuk, karena asas hukum akan
menentukan atau sejalan dengan konsep dasar dari aturan tersebut. Asas hukum yang baik,
yang kokoh dan dapat diterima oleh masyarakat hendaknya juga sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini juga berlaku di dalam KUHP ataupun di dalam RUU KUHP. Asas hukum
yang berlaku di dalam KUHP dan RUU KUHP sangat menentukan penegakan hukumnya dan
isi dari undang-udang tersebut.
Teguh Prasetyo menegaskan bahwa, hukum pidana mengenai berbagai asas-asas
hukum yang berlaku untuk keseluruhan perundang-undangan yang ada, kecuali hal-hal yang
diatur secara khusus di dalam Undang-undang tertentu (lex spesialis) seperti yang telah
disebutkan dalam Pasal 103 KUHP. Walaupun demikian, terdapat asas yang sangat penting
dan seyogyanya tidak boleh diingkari, karena asas tersebut merupakan tiang penyangga
hukum pidana.51 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, asas hukum memiliki peranan
yang sangat penting sebagai tiang penyangga dalam hukum pidana.
Jika ditelusuri dan dikaji asas-asas hukum pidana yang diatur dalam KUHP atau asas
hukum yang diterapkan di dalam KUHP (W.v.S) dapat terlihat dari pasal-pasal yang
tercantum pada Buku I KUHP yang mengatur mengenai Ketentuan Umum. Jika diklasifikasi
asas-asas hukum yang termuat dalam KUHP (W.v.S) diantaranya adalah :
1. Asas legalitas (asas legalitas formal)
2. Asas non retroaktif
51Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, cetakan kedua, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 37.
26
3. Asas teritorial
4. Asas personal (asas nasional aktif/asas kebangsaan)
5. Asas perlindungan (asas nasional pasif)
6. Asas universalitas
Dalam perkembangan hukum, perkembangan tindak pidana, perkembangan
masyarakat, dan perkembangan tuntutan pemenuhan rasa keadilan masyarakat tentu asas
hukum menjadi fokus utama dalam pembaharuan hukum pidana. Faktanya, walaupun asas
hukum sangat penting dalam sebuah norma hukum dan juga dalam penegakan hukum, namun
asas hukum kini tidak sakral lagi pemberlakuannya. Dengan kata lain, asas hukum juga dapat
berubah atau disempunakan melalui pembaharuan hukum pidana. Hal ini semata-mata untuk
memenuhi tujuan dari hukum itu sendiri yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum.
Hal ini sejalan dengan pendapat t’Hart yang dikutip dari buku Komariah Emong
Supardjaja dengan judul “Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum pidana
Indonesia” yang menyatakan bahwa, “...asas-asas hukum tidak mempunyai isi yang pasti dan
permanen; asas-asas itu juga tidak dapat dinilai lepas dari dimensi sejarah dan konteks
kemasyarakatan dimana hal tersebut termasuk”.52 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa,
pertumbuhan dan perkembangan hukum pidana seharusnya mengikuti dinamika
perkembangan masyarakat baik dalam tatanan pergaulan nasional maupun internasional serta
memperhatikan kearifan lokal/hukum adat. Hal ini, secara mutatis mutandis juga
mempengaruhi keberlakuan asas-asas hukum pidana.
Jika dikaji, RUU KUHP Indonesia telah berupaya untuk mengakomodir berbagai
perkembangan hukum, perkembangan tindak pidana, perkembangan masyarakat, dan
perkembangan tuntutan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. RUU KUHP telah berupaya
untuk membentuk sebuah ide, gagasan, konsep dasar, gagasan, padangan-pandangan
berdasarkan pada ideologi Pancasila yang akhirnya dirumuskan ke dalam sebuah asas hukum.
Jika dikaji, dapat ditemukan hal-hal yang baru didalam RUU KUHP. Terdapat asas-asas
hukum dalam RUU KUHP yang baru yang sangat diharapkan mampu menjadi pedoman dan
pijakan dalam penegakan hukum dan mampu mewakili dan memberikan warna baru dalam
KUHP Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Hal ini juga merupakan terobosan
sebagai langkah mencapai hukum yang progresif dan responsif.
Jika dikaji asas-asas yang baru yang termuat dalam RUU KUHP dan yang tidak termuat
dalam KUHP (W.v.S) Indonesia diantaranya adalah :
52Komariah Emong Supardjaja, op.cit, h. 8.
27
1. Asas Legalitas Materiil (RUU KUHP memperluas perumusan asas legalitas formal
dengan mengatur ketentuan mengenai asas legalitas materiil)
Asas legalitas dapat diihat sebagai asas tentang sumber hukum dan asas tentag ruang
berlakunya hukum pidana menurut waktu.53 Jika diklasifikasi, menurut Barda Nawawi
Arief, sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana tidak hanya didasarkan pada asas egalitas formal tapi juga didasarkan pada
asas legalitas materiel. Dengan kata lain, asas legalitas dapat dilihat dari segi formil dan
materielnya. Asas legalitas formal artinya asas legalitas yang berdasarkan Undang-
Undang. Sedangkan asas legalitas materiel adalah asas legalitas ini memberikan tempat
kepada hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis.54 Jika dikaji, rumusan asas
legalitas dalam KUHP (W.v.S) Indonesia yang berlaku saat ini hanya mengarah kepada
asas legalitas formal. Namun dalam perkembangannya yakni dalam pembaharuan RUU
KUHP, dalam rumusan asas legalitas dalam rancangan KUHP Indonesia telah
menunjukkan perubahan formulasi atau rumusan yang selain mencerminkan yang memuat
asas legalitas formil dan materiel.
Barda Nawawi Arief juga menegaskan bahwa, RUU KUHP memperluas
perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1) itu
tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup didalam masyarakat. Disamping hukum
yang tertulis (UU) sebagai kriteria atau patokan formal yang utama, konsep juga masih
memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup sebagai dasar
menetapkan patut dipidananya perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup didalam
masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingannya (persamaan) atau
tidak diatur dalam UU.55
Perlu diketahui juga bahwa, walaupun tidak diatur secara lengkap dan jelas
mengenai kriteria (rambu-rambu) sumber hukum asas legalitas materiel ini, namun dalam
RUU KUHP Pasal 2 ayat (2) telah memuat bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, hak
asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-
bangsa. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, “Sesuai dengan nilai-nilai nasional
(Pancasila), yaitu sesuai dengan nilai/paradigma moral religius, dengan nilai/ paradigma
53Barda Nawawi Arief IV, 2011, Perbandingan Hukum Pidana, cetakan kesembilan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 97.
54Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 12.
55Barda Nawawi Arief III, 2010, Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru, cetakan pertama, Kencana, Jakarta, h. 76.
28
kemanusiaan/humanis, dengan nilai/ paradigma kebangsaan, dengan nilai/paradigma
demokrasi (kerakyatan/hikmah kebijaksanaan), dan dengan nilai/ paradigma keadilan
sosial”.56 Pancasila memang merupakan landasan filosofis yang harus mendasari RUU
KUHP Indonesia.
Hal ini juga bertolak dari upaya pengimplementasian nilai-nilai Pancasila dalam
Rumusan konsep RUU KUHP. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Barda Nawawi
Arief bahwa, dalam penyusunan Konsep KUHP Baru tidak dapat dilepaskan dari
ide/kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai
nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan Hukum
Pidana Nasional seyogianya juga dilatarbelakangi dan bersumber/berorientasi pada ide-ide
dasar ("basic ideas") Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan
nilai/ide/paradigma moral religius (Ketuhanan), kemanusiaan (humanistik), kebangsaan,
demokrasi, dan keadilan sosial.57 Dapat dikatakan bahwa, asas legalitas materiil
merupakan salah satu wujud dari ide keseimbangan dalam pembaharuan hukum pidana.
2. Asas Retroaktif (Kajian Ulang terhadap masalah retroaktif)
KUHP (W.v.S) Indonesia menganut asas non retroaktif yang artinya peraturan pidana
tidak boleh berlaku surut (retroaktif) yang mengandung larangan retroaktif bagi peraturan
pidana, walaupun dimungkinkan berlaku surut jika ada perubahan dalam perundang-
undangan dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. RUU KUHP memuat kajian
ulang mengenai masalah retroaktif dengan memperluas asas ini. Atau dengan kata lain terjadi
perluasan asas retroaktif.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, bertolak dari ide keseimbangan. Konsep
juga dapat menerima ketentuan Psl. 1 Ayat (2) WvS/KUHP yang memberi kemungkinan
berlaku surutnya UU (retro aktif). Psl. I Ayat (2) ini dipandang sebagai "pasangan",
"pelengkap" dan "penyeimbang" dari asas "lex temporis delicti" atau asas "non retro aktif'.
Namun perumusan Psl. 1 Ayat (2) WvS dalam Konsep KUHP (mengalami
perubahan/perluasan. Menurut Konsep RUU KUHP, ide "retro aktif' dan asas "menerapkan
aturan yang lebih menguntungkan meringankan" dalam hal ada perubahan UU, tidak hanya
berlaku untuk tersangka/terdakwa sebelum keputusan hakim berkekuatan tetap, tetapi juga
berlaku ( diperluas) untuk terpidana atau setelah keputusan berkekuatan tetap. 58
56Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 13.
57Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 4.
58Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 14.
29
Dalam Rumusan RUU KUHP memuat ketentuan bahwa, dalam hal terdapat
perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan
perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama
berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat. Dalam hal setelah putusan pemidanaan
memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak
pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan
pemidanaan dihapuskan. Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan
hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut
peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut
disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.
3. Sifat melawan hukum formal dan materiil
Di dalam Buku I Bab II mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana RUU
KUHP memberikan definisi mengenai Tindak pidana yang diartikan sebagai perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dinyatakan
sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan
hukum, kecuali ada alasan pembenar.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa RUU KUHP memberikan definisi
mengenai tindak pidana yang intinya bahwa merupakan perbuatan yang melawan hukum baik
secara formal maupun materiel. Konsep berpandangan bahwa unsur sifat melawan hukum
merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam Tindak Pidana. RUU KUHP ini menegaskan
asas tindak pidana terhadap sifat melawan hukum khususnya memperluas mengenai sifat
melawan hukum materiel. Dengan demikian dalam konsep RUU KUHP ini tindak pidana
tersebut dikatakan merupakan tindak pidana jika telah melawan/bertentangan/melanggar
hukum tertulis (sifat melawan hukum formil) dan melawan/bertentangan/melanggar nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat/hukum tidak tertulis/hukum yang hidup (sifat melawan
hukum materiel).
4. Asas Kesalahan
RUU KUHP merumuskan asas kesalahan. Yang mengatur bahwa, tidak seorang pun
yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan. Kesalahan terdiri dari kemampuan
30
bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Barda Nawawi
Arief menyatakan bahwa, “Asas "tiada pidana tanpa kesalahan" (asas culpabilitas) yang
merupakan asas kemanusiaan, dirumuskan di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas
legalitas yang merupakan asas kemasyarakatan”.59 Dapat dikatakan bahwa, diatur secara
tegas asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam Buku I.
5. Asas Pertanggungjawaban pidana
Selain memasukkan pertanggungjawaban pidana perusahaan (korporasi), RUU KUHP
memuat asas strict liability dan vicarious liability. Berkaitan dengan pertanggung jawaban
koorporasi, subyek Hukum Pidana (orang dan korporasi), menapikan asas “universitas
delinquare non potest”. Mengenai asas pertangungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa, dalam masalah "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA", Konsep RUU
KUHP memberi kemungkinan untuk menerapkan asas. "strict liability", asas "vicarious
liability", dan asas "pemberian maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk pardon"
atau''judicial pardon), sehingga konsep tidak kaku dan bersifat absolut. Di dalam asas
"Judicial pardon" terkandung ide/pokok pemikiran :
- menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;
- menyediakan "klep/katup pengaman" ("veiligheidsklep'');
- bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas ("Judicial corrective to the legality
principle
- pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma "hikmah kebijaksanaan"
dalam Pancasila;
- pengimplementasian/pengintegrasian "tujuan pemidanaan" kedalam syarat
pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim harus
mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak
hanya didasarkan pada adanya "tindak pidana" (asas legalitas) dan "kesalahan" tetapi
juga pada tujuan pemidanaan.60
Dalam pertanggungjawaban pidana juga memuat mengenai kewenangan hakim untuk
memberi maaf. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa,
kewenangan hakim untuk memberi maaf ("rechterlijk pardon ") dengan tidak menjatuhkan
sanksi pidana tindakan apapun, diimbangi pula dengan adanya asas "culpa in causa" (atau
59Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 17.
60Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
31
asas "actio Iibera in causa") yang memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap
mempertanggung-jawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana,
jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan
penghapus pidana tersebut. Dengan demikian, kewenangan hakim untuk memaafkan (tidak
memidana) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan
penghapus pidana.61
6. Selain asas-asas tersebut, perlu diketahui bahwa dalam pemidanaan RUU KUHP telah
memuat mengenai tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, serta jenis pidana yang
berbeda yang tidak diatur sebelumnya dalam KUHP lama (W.v.S). Selain itu RUU juga
merumuskan konsep mengenai asas kausalitas.
Hal-hal tersebut merupakan beberapa perubahan mengenai asas hukum yang termuat
dalam RUU KUHP. Perubahan asas ini sangatlah penting yang nantinya akan digunakan
sebagai pedoman dalam penegakan hukum di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa, asas hukum
memili peranan yang sangat penting sebagai pedoman dan yang menjiwai peraturan
perundang-undangan. Untuk mencapai penegakan hukum yang responsif dan proresif,
pembaharuan hukum sangatlah diperlukan. Jika dikaji, ada beberapa urgensi dari
diperlukannya pembaharuan hukum pidana :
• Alasan Praktis bahasa asli KUHP adalah bahasa Belanda, tidak banyak penegak
hukum yang paham.
• Alasan Politis Indonesia adalah negara merdeka.
• Alasan Sosiologis Nilai-nilai yang melandasi KUHP berbeda dengan nilai-nilai
bangsa Indonesia.
• Alasan integratif menyesuaikan dengan perkembangan dunia.
4.2 Peranan Asas-Asas Hukum Pidana Menciptakan Keadilan Dalam Penegakan
Hukum Pidana di Indonesia
Keadilan merupakan salah satu pokok pembicaraan yang paling banyak dibicarakan sepanjang
perjalanan penegakan hukum di Indonesia. Keadilan juga merupakan salah satu tujuan dari hukum
yang sejak dahulu menjadi perdebatan, karena dianggap merupakan rumusan yang relatif, begitupula
dalam pemenuhannya. Kini, keadilan juga menjadi tuntutan yang besar dalam kehidupan hukum di
Indonesia. Adanya fakta proses peradilan yang menunjukkan ketidakadilan, oknum-oknum penegak
hukum yang tidak professional, tidak berintegritas, dan tidak mengatasnamakan moral dalam
61Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
32
pelaksanaan tugasnya, dan segala hal yang mencerminkan carut marutnya wajah peradilan kita, yang
belum mampu memberikan keadilan, tentu perlu dikaji.
Indonesia menganut prinsip negara hukum yang dinamis atau welfare state (negara
kesejahteraan), karena negara wajib menjamin kesejahteraan sosial atau kesejahteraan masyarakat.
Mengacu pada prinsip ini maka, dengan sendirinya tugas pemerintahan begitu luas. Pemerintahan
wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat, yang salah satunya di bidang hukum.62
Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya harus memberikan perlindungan hukum (iustitia
protectiva) bagi rakyatnya serta berkewajiban terhadap pemenuhan keadilan. Perlindungan hukum ini
dapat berbentuk jaminan atas penyelenggaraan proses hukum yang adil (due process of law) serta
penyelenggaraan peradilan yang dapat memenuhi rasa keadilan terutama bagi terutama bagi kalangan
atau kelompok orang miskin sebagai kalangan marginal. Pemerintah harus melindungi kelompok
yang lemah ini sebagai bentuk pelaksanaan tugas negara modern.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, keadilan merupakan salah satu tujuan hukum selain
kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya dalam pelaksanaannya hukum sebaiknya mampu
memenuhi dan mengakomodasaikan ketiga tujuan tersebut. Dalam hal ini, hukum juga harus bisa
mengakomodasikan ketiga nilai dasar tersebut, agar nantinya hukum efektif di masyarakat.
Ahmad Rifai menyatakan bahwa, tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Gustav Radbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Selanjutnya, Gustav Radbruch juga mengajarkan penggunaan
asas prioritas dari ketiga asas tersebut. Prioritas pertama akan selalu jatuh pada keadilan, lalu
kemanfaatan, dan yang terakhir adaah kepastian hukum.63 Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa,
jika dihadapkan pada sebuah kasus yang harus memilih yang mana yang diutamakan, maka keadilan
yang harus diutamakan, walaupun idealnya hukum harus memenuhi ketiga hal tersebut.
Darji Darmodiharjo dan Shidartha menyebutkan bahwa, tujuan hukum memang bukan hanya
keadilan, tetapi juga kemanfaatan dan kepastian hukum. Idealnya memang harus mengakomodasikan
ketiganya, Putusan hakim misalnya sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun
demikian, tetap ada yang berpendapat bahwa, diantara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan
merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat bahwa, keadilan adalah tujuan
hukum satu-satunya. Bisman Siregar (hakim di Indonesia) menyatakan bahwa, “Bila untuk
menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum
hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?.64
Pernyataan ini menunjukkan pentingnya sebuah keadilan dalam penegakan hukum.
62SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta, h. 52.
63Ahmad Rifai, op.cit, h. 132.
64Darji Darmodiharjo dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), cetakan kelima, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156.
33
Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan nilai-nilai dasar hukum yang penting
di dalam membangun hukum di Indonesia. Dalam pembentukan sebuah Peraturan Perundang-
undangan selain memuat nilai-nilai moral juga harus mencerminkan 3 nilai dasar tersebut, begitu pula
dalam penegakan hukumnya. Hukum harus mengakomodasikan ketiga hal tersebut secara
proposional, serasi, seimbang, dan selaras. Namun dalam prakteknya, penerapan atau penegakan
hukum di Indonesia masih sangat sulit untuk mengkombinasikan ketiga nilai-nilai dasar dari hukum
tersebut. Dalam prakteknya, keadilan kerap dikesampingkan demi mewujudkan kepastian hukum.
Banyak sekali terjadi kasus-kasus yang menunjukkan sebuah penegakan hukum yang sangat kaku,
legalitik formal dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Hal ini merupakan permasalahan yang akan
terus berlanjut jika masih berkembang paradigma bahwa kepastian hukum lebih penting dari keadilan.
Kasus pencurian kayu yang dilakukan oleh seorang kakek yang bernama Harso Taruno (67
tahun) di Gunungkidul Yogyakarta dan pencurian kayu oleh nenek Artija di Jember. Kasus pencurian
tiga buah kakao yang dilakukan oleh nenek Minah di Jawa Tengah, kasus pencurian sandal jepit yang
dilakukan oleh Aal di Palu, kasus pencurian dua buah semangka oleh Basar Suyanto dan Kholil di
Kediri, Kasus pencurian dua buah kapas yang dilakukan oleh Rusnoto; 14 tahun, Juwono; 16 tahun,
Sri Suratmi; 25 tahun, dan Minase; 39 tahun di Jawa Timur, Pencurian Enam Piring oleh nenek
Rasminah di Serang, kasus pencurian bunga oleh Foni Nubatonis (16 tahun) di Nusa Tenggara Timur,
dan Pencurian merica oleh seorang kakek berusia 66 tahun di Dusun Sengkang Desa Talle,
Kecamatan Sinjai, merupakan beberapa kasus yang menunjukkan penegakan hukum yang tidak
mencerminkan keadilan.
Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan, keadilan dikesampingkan demi mewujudkan
kepastian hukum atau keadilan dikorbankan untuk kepastian hukum. Penyelesaian kasus-
kasus yang menjadi sorotan publik tersebut menunjukkan bahwa, hukum terlalu legalistik
formal, kaku, tidak logis dan tidak mencerminkan keadilan, khususnya bagi masyarakat kelas
bawah (masyarakat miskin). Proses hukum tersebut menimbulkan kekecewaan bagi
masyarakat dan menunjukkan minimnya akses keadilan bagi orang atau kelompok orang
miskin ini.
Penegakan hukum dalam kasus-kasus yang tidak mencerminkan keadilan, sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya juga kian memperparah sikap pesimisme, sikap skeptis
masyarakat, dan menimbulkan kekecewaan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang
tidak mampu memberikan keadilan bagi masyarakat kelas bawah (orang/kelompok orang
miskin). Dalam penegakan hukum, seharusnya kelompok inilah yang harus diprioritaskan
mendapatkan perlindungan karena kedudukannya yang dalam hal ini sangat rentan
diperlakukan secara tidak adil dan penuh diskriminasi. Penerapan atau penegakan hukum
yang tidak mencerminkan keadilan dalam kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya
merupakan salah satu bentuk gagalnya pemenuhan keadilan di Indonesia.
34
Penegakan hukum di Indonesia masih seperti sebelah pisau yang tajam ke bawah dan
tumpul ke atas. Fenonema dalam fakta-fakta atau dass sollen inilah yang secara sosiologis
menunjukkan belum terciptanya keadilan bagi masyarakat miskin. Rasa keadilan belum
sepenuhnya tersentuh dikalangan masyarakat miskin.
Secara konsepsi, hal ini terkait dengan hukum positif yang ada di Indonesia, yang
merupakan produk hukum peninggalan Belanda (KUHP). Jika dikaji, KUHP memuat
rumusan-rumusan pasal yang mengandung asas-asas tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila
sebagai ideologi bangsa kita, sehingga berdampak pada penegakan hukum yang kaku atau
tidak fleksibel. Begitupula KUHAP sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia, yang
perlu dilakukan pembaharuan hukum untuk mengarah pada hukum yang komprehensif,
responsif, dan progres agar mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dikaji dari aspek yuridisnya, telah tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa, “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Negara hukum yang di dalamnya semua penggunaan kekuasaan harus selalu
ada landasan hukumnya dan berada dalam kerangka batas-batas yang ditetapkan oleh
hukum.65 Sifat negara hukum ini hanya dapat ditunjukkan jika alat-alat perlengkapannya
bertindak menurut peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga pemerintahan
yang berwenang dan sesuai dengan asas legalitas.66 Dengan demikian, dalam suatu negara
hukum setiap kegiatan peradilan dan juga penegakan hukum wajib tunduk pada aturan-aturan
hukum yang berlaku (ius constitutum) dan menjungjung tinggi asas legalitas.
Segala tindakan aparat penegak hukum harus berdasarkan pada hukum serta Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya juga harus bertindak sesuai dengan hukum atau Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya, kadang kala dapat terhambat karena
hal ini, dan juga dapat terhambat di dalam mengambil suatu keputusan atau dalam melakukan
tindakan yang tidak diatur oleh Peraturan Perundang-undangan.
Patut disadari bahwa, tidak ada Peraturan Perundang-undangan yang mampu mencakup
segala hal, oleh sebab itu, muncullah kewenangan diskresi yang dimiliki penegak hukum.
Pada dasarnya setiap aparat penegak hukum memang harus menjunjung tinggi asas legalitas,
namun dalam kondisi dan situasi tertentu, kewenangan diskresi ini sangat diperlukan.
Diskresi ini juga dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya
65Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama, CV. Mandar
Maju, Bandung, h. 76.
66Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, cetakan pertama, Paradigma,
Yogyakarta, h. 92.
35
(tindak pidana ringan yang dilakukan oleh orang/kelompok orang miskin), karena jika
penegak hukum kita berfikir progresif dengan mengutamakan keadilan maka seharusnya
kasus-kasus tersebut tidak sampai di tingkat pemeriksaan di pengadilan. Diskresi perlu
diterapkan untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas penyelesaian kasus dalam konteks
pencapaian hukum yang responsif. Sebagai bentuk konkrit, diskresi yang dapat dilakukan
adalah menerapkan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan musyawarah mufakat
dengan pendekatan asas kekeluargaan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi,
Dalam konteks bidang sistem peradilan pidana, moral dan etika menjadi sesuatu yang
sangat penting sebagai pedoman aspek perilaku para penegak hukum dalam melaksanakan
segala ketentuan dari hukum procedural yang berlaku.67 Dengan demikian, secara moral dan
etika seharusnya tidak terjadi penegakan hukum yang sedemikian kaku dan tidak
mencerminkan keadilan. Kasus-kasus yang mencerminkan penegakan hukum yang kaku dan
legalistik formal ini, terkesan terlalu berlebihan jika sampai pada proses pengadilan, karena
kerugian yang ditimbulkan tidak besar jika dibandingkan kerugian mental secara psikis yang
harus dialami terlebih kasus-kasus ini melibatkan seorang anak dan melibatkan orang yang
sudah lanjut usia, yang harusnya mendapatkan perlindungan khusus.
Secara kriminologi, hal ini juga terkait dengan labelling yang sangat merugikan masa
depan seorang anak. Kasus-kasus ini kian mendapat sorotan publik karena penerapan dan
penegakan hukum yang dinilai kurang tepat. Kasus-kasus ini tentu akan terus terjadi jika
penegak hukum kita tidak bisa berfikir secara progres demi keadilan masyarakat. Keadilan
berdasarkan pancasila nampaknya tidak lagi menjadi perhatian bagi penegak hukum kita
dalam kasus-kasus tersebut. Kasus-kasus ringan yang diadili sampai kengadilan sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya, yang pada umumnya adalah kasus pencurian ringan (tindak
pidana ringan) yang dilakukan oleh pelaku yang sudah lanjut usia dan dilakukan oleh seorang
anak seharusnya mendapat perlakuan khusus, dengan pertimbangan-pertimbangan moral
untuk memberikan keadilan tidak hanya bagi si pelaku tapi juga bagi masyarakat luas. Hal ini
bukan saja untuk kepentingan keadilan saja tapi juga bermanfaat bagi peradilan di Indonesia
untuk mewujudkan trilogi peradilan demi mencapai proses peradilan yang efektif dan efisien.
Jika dikaji, dapat dikatakan bahwa penerapan serta penegakan hukum dalam kasus ini kurang
tepat. Ada cara lainnya yang dapat digunakan untuk menegakkan hukum dalam kasus ini,
yakni dengan alternatif penyelesaian perkara pidana.
Dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan, seharusnya kasus ini tidak sampai
diproses dipengadilan. Seharusnya di kepolisian, ditingkat penyelidikan atau penyidikanlah
67Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan kedua, Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang, h. 4.
36
seorang polisi menggunakan kewenangan diskresi ini dengan pengesampingan perkara
melalui proses mediasi atau perdamaian. Dalam kasus-kasus ini, pelaku berstatus sebagai
orang yang sudah lanjut usia dan anak. Bukan berarti mereka tidak boleh ditindak secara
hukum jika melakukan tindak pidana, namun dalam kasus ini seharusnya ada kebijakan lain
yang bisa diambil oleh kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang terdepan dalam
menangani kasus ini. Seharusnya banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Karena diproses hingga ke pengadilan dan divonis bersalah, banyak dampak negatif
yang harus diterima oleh terdakwa. Vonis bersalah itu akan mempengaruhi psikologis
terdakwa, terutama seorang anak. Dampak yang akan dirasakan dalam waktu yang lama,
bahkan seumur hidup. Stigma sebagai pencuri akan terus melekat pada dirinya. Seharusnya
masalah ini tidak sampai ke pengadilan. Stigma sebagai pelaku pencurian ini tentu akan
menciderai psikologis sepanjang hidupnya. Ini tentu mengganggu kondisi kejiwaan dan
perkembangan masa depan seorang anak, jika pelakunya adalah seorang anak.
Kasus-kasus ini perlu dikaji untuk memperoleh solusi yang tepat dalam menghadapi
kasus yang serupa. Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa, secara konsepsi,
hal ini terkait dengan hukum positif yang ada di Indonesia, yang merupakan produk hukum
peninggalan Belanda (KUHP). Jika dikaji, KUHP memuat rumusan-rumusan pasal dan asas-
asas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa kita, sehingga
berdampak pada penegakan hukum yang kaku atau tidak fleksibel. Begitupula KUHAP
sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia, yang perlu dilakukan pembaharuan
hukum untuk mengarah pada hukum yang komprehensif, responsif, dan progres agar mampu
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, seharusnya diberlakukan Primary
Rules (Aturan Hukum Primer) dan Secondary Rules (Aturan Hukum Sekunder) yang sesuai
dengan idiologi bangsa kita. Jika dikaji dalam pembaharuan hukum KUHP di Indonesia, telah
ada upaya pembaharuan dalam hal ini dengan memasukkan rumusan-rumusan konsep dan
asas-asas yang berdasarkan nilai-nilai keadilan pancasila.
KUHP Indonesia menganut asas legalitas berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Di dalam
hukum pidana dikenal adanya asas afault (Asas ketiadaaan sama sekali sifat melawan hukum)
yang berarti bahwa, walaupun perbuatannya memenuhi undang-undang tapi pada hakikatnya
tidak ada unsur melawan hukumnya sama sekali itu tidak melawan hukum. Jika tidak ada
sifat melawan hukumnya maka tidak dipidana. Selain itu, terdapat asas ketiadaaan kesalahan
sama sekali yang tidak dikenakan pidana.
Dalam konsep KUHP, seharusnya ada Asas keseimbangan dalam KUHP, yang tidak
melihat hanya dari satu sisi dan menimbang tidak hanya dari satu sisi. Seharusnya penegak
37
hukum menimbang seluruhnya, tidak hanya menimbang perbuatannya tapi juga menimbang
orangnya. Tidak hanya menimbang unsur tindak pidananya secara formal tapi juga dilihat
secara materiil. Tidak hanya menilai atau menimbang hanya jika perbuatannya telah
memenuhi rumusan undang-undang, tetapi harus juga dilihat apakah delik atau bukan (asas
melawan hukum materiil). Dalam konsep KUHP, Asas melawan hukum materiil dalam Pasal
11 memberikan pengertian Tindak Pidana “tiada suatu perbuatan dikatakan tindak pidana
kecuali ditentukan oleh Undang-Undang”. Karena tidak dirumuskan mengenai tindak pidana
ini, maka terjadilah kekakuan dalam penegakan hukum di Indonesia. Perlu dirumuskan asas
yang mampu memenuhi keadilan masyarakat, dalam konteks pembaharuan hukum pidana
dikenal adanya asas legalitas materiil yang juga menghormati hukum adat.
Dalam kasus-kasus ini juga harus diterapkan Teori insignificant dan Asas iralevent
principle, yang berarti bahwa, “Suatu perbuatan walaupun perbuatan tersebut telah memenuhi
rumusan Undang-undang tetapi perbuatannya tersebut sebenarnya perbuatannya terlalu
sepele, maka itu bukan delik, maka tidak perlu dibawa kepengadilan”. Lalu dikenal juga Asas
the minimus, yang berarti bahwa, “jika perkara tersebut terlalu kecil tidak perlu dibawa
kehakim/pengadilan. Pengadilan/hakim hanya mengurusi perkara-perkara besar. Perkara
kecil seharusnya diselesaikan sendiri. Lewat perdamaian, dll. Contoh: mencuri karena lapar.
Hal-hal tersebut sering diabaikan karena penegakan hukum di Indonesia masih ada yang
mengarah pada legalitas formal.
Seharusnya digali kembali mengingat, budaya Indonesia terdapat budaya permaafan.
Harus digali dan diimplementasikan dalam sistem hukum kita. Bahkan di Belanda yang
mewarisi KUHP Indonesia telah ada asas permaafan. Pasal 9 KUHP Belanda (Pasal
permaafan hakim; hakim boleh memaafkan walaupun perbuatannya memenuhi rumusan
Undang-Undang). Bahkan ada pedoman, walaupun suatu delik diancam dengan penjara tapi
bisa dijatuhi denda saja.
Seharusnya hukum yang harus kita bentuk adalah model fleksibel, tidak kaku dengan
sistem hukum yang terbuka.Keadilan jika hanya berdasarkan UU akan terlalu kaku, benar
secara hukum tapi tidak benar secara dengan moral, tidak benar secara agama, tidak benar
secara hukum yang hidup dalam masyarakat. Seharusnya hukum itu harus memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Sehingga harus digali juga keadilan berlandaskan yuridis kultural bukan
hanya saja yuridis formal yang tidak menyentuh nilai-nilai keadilan. Perlu diingat bahwa,
sekecil apapun pidana yang dijatuhkan tapi jika dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan
tentu itu tidak tepat, sebaliknya seberat apapun hukuman yang dijatuhkan tapi sesuai dengan
rasa keadilan akan diterima oleh masyarakat.
38
Menurut Teori Etis yang dipelopori oleh Aristoteles, tujuan dari hukum adalah untuk
mewujudkan keadilan. Ada teori yang mengajarkan bahwa hukum semata-mata menghendaki
keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut disebut teori-teori yang ethis karena
menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita
mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.68 Aristoteles defined in Nicomachean Ethics
as giving one what is due to him, giving one what is his own.69 Selain pemikiran dari
Aristoteles, dalam hal ini dianggap perlu diuraikan pemikiran dari John Rawls.
Menurut John Rawls perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang
disebut dengan keadilan.70 John Rawls juga mengemukakan bahwa :
Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti
pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata belum
dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan
sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan,
hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat.71
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, faktor kelas sosial juga dapat mempengaruhi dan
menghalangi distribusi pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Menurut John Rawls, jika bidang utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat,
problem utama keadilan adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-
prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Prinsip-prinsip
keadilan sosial tersebut harus mendistribusikan prospek barang-barang pokok. Menurut John
Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,
kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan, selanjutnya, jika diterapkan pada
fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal :
1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-
institusi dan praktik-praktik institusional.
68L.J. van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ketigapuluhtiga, PT Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 12.
69Hari Cand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur (Malasya), International Law Book Services, h.
257.
70Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 161.
71Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 162.
39
2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan
kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur
dasar masyarakat tertentu.72
Prinsip-prinsip inilah yang sangat terkait dengan pemenuhan kadilan dalam kasus-kasus yang
pelakunya adalah orang/kelompok orang miskin sebagai kelompok minoritas/marginal.
Menurut John Rawls, terdapat dua prinsip keadilan (two principles of justice). John
Rawls menguraikan bahwa :
The first statement of the two principles reads as follows.
First : each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty
compatible with a similar liberty for other.
Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a)
reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b) attached to positions and
offices open to all.73
Berdasarkan pendapat ini dapat diketahui bahwa, ada dua prinsip keadilan yang dikemukan
oleh John Rawls. Prinsip pertama ditentukan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.
Prinsip kedua ditentukan bahwa, ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian
rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang, dan (b) semua
posisi jabatan terbuka bagi semua orang.
Prinsip-prinsip keadilan dari John Rawls :
1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty).
Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan
masyarakat.
2. Prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) dirumuskan dalam prinsip
ketidaksamaan yang menyatakan bahwa, situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus
diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan
masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas).74
Prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) dalam pelaksanaannya,
menunjukkan bahwa sesuai dengan prinsip ini, untuk mencapai keadilan maka perlu dibentuk
72Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 162-163.
73John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University Press,
Cambridge Massachusetts, h. 60.
74Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 165.
40
perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada orang atau kelompok orang
miskin yang sedang berperkara. Pembahasan ini juga dapat dikaitkan dengan teori keadilan
prosedural dari John Rawls (perfect procedural justice).Selain, juga menggunakan teori
keadilan substantif, distributif, protektif, dan vindikatif.
Mengacu pada pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang RI No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
menyatakan bahwa, “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila”. Terkait dengan keadilan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No.
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Peradilan dilakukan
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Selain itu
pada alinea ke empat pembukaan UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada pada sila-sila pancasila.
Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa, keadilan yang sesuai dengan rasa
keadilan bangsa Indonesia adalah keadilan pancasila yang mengacu pada sila kedua dan sila
ke lima pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, kedua sila tersebut juga terlefleksikan atau juga terkait
dengan sila-sila lainnya sehingga menjadi kesatuan yang untuh untuk dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Sehingga, keadilan pancasila mencakup semua sila tersebut yang
menunjukkan keselarasan, kesatuan dan keseimbangan :
1) Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Keadilan menurut tuntunan
Tuhan. Tuhan dalam semua agama menuntun untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan. Tuhan memerintahkan untuk berlaku benar dan adil; kearifan Tuhan; religius
knowlage).
2) Keadilan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Keadilan berdasarkan Persatuan Indonesia.
4) Keadilan berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan berdasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
41
Dengan demikian, bukan hanya berdasarkan keadilan menurut hukum/keadilan menurut
Undang-Undang (hukum yang berlaku) yang mengacu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP mengenai
asas legalitas, namun harus berdasarkan pada keadilan berdasarkan pancasila. Hukum jangan
hanya dipandang semata-mata Undang-Undang buatan manusia, namun disini juga terdapat
hukum buatan masyarakat, kearifan lokal, dan tuntunan Tuhan, yang diambil adalah idenya,
nilai-nilainya. Hal ini juga terkait dengan rechtidee dalam pancasila sebagai tuntunan.
Alternatif penyelesaian perkara pidana, salah satunya adalah “mediasi penal” yang tepat
diterapkan menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana ringan untuk mencapai keadilan
merupakan salah satu bentuk reformasi hukum untuk mencapai efektifitas dan efisiensi
penyelesaian kasus, oleh sebab itu sangat terkait dengan teori hukum progresif dari Satjipto
Rahardjo. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, “Progresif berasal dari kata progress yang
berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak
hukum itu sendiri.75 Hukum progresif merupakan paradigma baru yang hendak menjawab
permasalahan muktakhir yang tidak lagi dapat diselesaikan berdasarkan paradigma lama,
yakni paradigma positivisme.76
Secara singkat, asumsi dasar dari gagasan hukum progresif ini : Pertama, bahwa hukum
untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Kedua, hukum bukan institusi yang mutlak dan final,
melainkan dalam proses untuk terus menjadi, Ketiga, orientasi hukum progresif ini bertumpu
pada peraturan dan perilaku. Keempat, bahwa hukum progresif adalah tipe ilmu yang selalu
gelisah melakukan pencarian, pembebasan, dan pencerahan.77 Satjipto Rahardjo menyatakan
bahwa :
Polisi-polisi dilapangan melakukan diskresi, oleh karena apabila ketentuan yang
bersifat umum itu dipaksakan untuk diterapkan begitu saja terhadap kejadian yang
selalu unik, maka hukum berisiko untuk menimbulkan kegaduhan sosial. Maka
sesungguhnya di tangan-tangan perilaku polisi itulah hukum menemukan maknanya.
Tentu saja pembuat hukum tidak membuat kegaduhan tersebut, oleh sebab itulah
diperlukan diskresi.78
75Satjipto Rahardjo I, 2006, Membedah Hukum Progresif, cetakan pertama, PT Kompas Media Nusantara,
Jakarta, h. ix.
76Myrna A. Safitri, dkk, 2011, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif; Urgensi dan Kritik, cetakan
pertama, EpistemaHuMa, Jakarta, h. viii.
77Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, cetakan kedua, Gramata Publishing, Jakarta, h. 33-34.
78Satjipto Rahardjo II, 2010, Penegakan Hukum Progresif, cetakan pertama, PT Kompas Media Nusantara,
Jakarta, h. 11.
42
Hukum yang baik adalah hukum yang dapat diterapkan dan sesuai dengan perasaan
hukum masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang memuat asas-asas yang sesuai
dengan perasaan hukum masyarakat dan mampu memberikan keadilan bagi mayarakat. Asas
adalah jiwa dari sebuah Peraturan Perundang-undangan. Asas merupakan apa yang ada di
dalam dan dibelakang (latar belakang) Peraturan Perundang-undangan. Asas hukum pidana
perlu dirumuskan dengan berpedoman pada perasaan hukum bangsa Indonesia agar dapat
mencapai penegakan hukum yang mempu memberikan keadilan bagi masyarakat. Asas
hukum memiliki peranan yang penting dalam penegakan hukum karena asas hukum menjadi
pedoman penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum, sehingga asas hukum
perlu dirumuskan dengan baik.
43
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Asas hukum merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah Undang-undang, ia
merupakan unsur yang penting atau hal yang pokok dalam sebuah undang-undang.
Selain dalam sebuah norma, asas hukum juga penting dalam penegakan hukum karena
dapat menjadi pengarah dalam mencapai penegakan hukum yang baik. Asas hukum
merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Asas hukum menjadi landasan berpijak serta
pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan. Asas hukum juga dapat
membantu kita dalam memahami hukum suatu bangsa karena terdapat point of value di
dalamnya. Selain itu, asas hukum juga sangat penting sebagai batu ujian terhadap hukum
positif dan dapat memberikan norma kontrol terhadap tindakan negara.
2. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat diterapkan dan sesuai dengan perasaan
hukum masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang memuat asas-asas yang sesuai
dengan perasaan hukum masyarakat dan mampu memberikan keadilan bagi mayarakat.
Asas adalah jiwa dari sebuah Peraturan Perundang-undangan. Asas merupakan apa yang
ada di dalam dan dibelakang (latar belakang) Peraturan Perundang-undangan. Asas
hukum memiliki peranan yang penting dalam penegakan hukum karena asas hukum
menjadi pedoman penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum, sehingga
asas hukum perlu dirumuskan dengan baik.
5.1 Saran-Saran
1 Dalam pembaharuan hukum pidana, pembentukan asas sebaiknya selalu didasarkan pada
landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang kuat. Dalam hal ini harus senantiasa
mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Paradigma berpikir harus selalu mengarah pada
hukum yang progresif dan responsif karena paradigma yang legalistik formal tidak
mampu lagi mencapai rasa keadilan masyarakat. Dalam hal ini sangat diharapkan ada
terobosan-terobosan dalam hukum pidana demi mewujudkan tujuan dari hukum yakni
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Yang terpenting bahwa, RUU KUHP harus
segera dirampungkan dengan mengesampingkan berbagai kepentingan politik yang ada.
2 Asas hukum pidana perlu dirumuskan dengan berpedoman pada perasaan hukum bangsa
Indonesia agar dapat mencapai penegakan hukum yang mempu memberikan keadilan
bagi masyarakat.
44
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU-BUKU
Apeldoorn, L.J. van, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Semarang.
__________________, 2010, Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Kencana, Jakarta.
____________________, 2015, RUU Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi
Sistem Hukum Pidana Indonesia, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi, Mahupiki
dan Fakultas Hukum Pelita Harapan Surabaya, Surabaya.
_____________________, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______________________________, 2011, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Bruggink, J. J. H, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Darmodiharjo, Darji dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Diantha, Pasek, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif; Dalam Justifikasi Teori
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.
Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Jakarta.
Hatta, Moh., 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana Khusus,
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
Marbun, SF dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Marwan M., dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition,
Reality Publisher, Surabaya.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.
45
Mertokusumo, Sudikno, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
Muhjad M. Hadin, dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer,
Genta Publising, Yogyakarta.
Najih, Mokhammad, 2014, Politik Hukum Pidana; Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana
dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang.
Nasution, Bahder Johan, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju,
Bandung.
Prakoso, Djoko, 1985, Eksistensi Jaksa di Tengah- Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Prasetyo, Teguh, 2010, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta.
_______________, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT Kompas Media Nusantara,
Jakarta.
_______________, 2009, Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta.
_______________, 2010, Penegakan Hukum Progresif, PT Kompas Media Nusantara,
Jakarta.
______________, 2012, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University
Press, Cambridge Massachusetts.
Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta.
Safitri, Myrna A., dkk, 2011, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif; Urgensi dan Kritik,
EpistemaHuMa, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang.
Supardjaja, Komariah Emong, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum
pidana Indonesia, Alumni, Bandung.
46
Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta.
Yuliandri, 2013, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik;
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pancasila
KUHP
KUHAP
RUU KUHP 2012
RUU KUHAP 2012
47
BAB VI
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
1. Biaya
Rencana pembiayaan dari kegiatan penelitian ini dialokasikan untuk kegiatan-
kegiatan sebagai berikut:
No Uraian Kegiatan Biaya
(dalam rupiah)
1 Honorarium
Upah Anggota Lainnya 6 bulan x 2 x Rp.100.000
1.200.000
1.200.000
2 Bahan dan Peralatan Penelitian
Kertas HVS A4 80grm
Alat Tulis (Pulpen, Pensil, Map, Stabilo, Staples)
Flasdisk
CD RW
Tinta Printer Laser Jet
Foto Copy Dokumen
Sewa Internet 100 jam @ Rp. 3.000
600.000
225.000
200.000
25.000
250.000
1.000.000
300.000
2.600.000
3 Perjalanan
Transportasi
Konsumsi ke lapangan
700.000
300.000
1.000.000
4 Hasil Penelitian
Foto copy dan jilid laporan akhir (final)
3.000.000.00
1.000.000.00
893.000
200.000
Total Biaya 5.000.000
4.2. Jadwal Penelitian
Persiapan, pelaksanaan serta pelaporan hasil penelitian ini dilaksanakan selama 6
(satu) bulan, Tahun Anggaran 2016-2017, dengan sebaran waktu:
No Volume Kegiatan Waktu Pelaksanaan
2017 2018
02 03 04 0
5
06 07 08 09 10 11 12 01
1 Tahap persiapan
2 Pengumpulan data
3 Pengolahan Data
4 Penyusunan draft
laporan penelitian
5 Seminar/Konsultasi
6 Penyempurnaan
laporan penelitian
7 Pengadaan dan
penyerahan laporan
hasil penelitian
8 Evaluasi kegiatan
48
LAMPIRAN 1. JUSTIFIKASI ANGGARAN PENELITIAN
1. Honor
Honor Honor/
Bulan(Rp)
Waktu
(Jam/Bulan)
Honor
per tahun (Rp)
Anggota lainnya (mhs) 1 100.000 6 600.000
Anggota lainnya (mhs) 2 100.000 6 600.000
SUB TOTAL (Rp) 1.200.000
2. Peralatan Penunjang
Material Justifikasi
Pemakaian
Kuantitas Harga
Satuan
(Rp)
Harga Paralatan Penunjang
(1th)
Peralatan
Penunjang 3 (Sewa
Internet)
Pencarian
bahan
penelitian
100 jam 3.000 300.000
SUB TOTAL (Rp) 300.0000
3. Barang Habis Pakai
Material Justifikasi
Pemakaian
Kuantitas Harga
Satuan
(Rp)
Biaya per tahun (Rp)
Kertas A4 80 gram Pembuatan laporan 15 Rim 40.000 600.000
Pulpen Pembuatan laporan 5 buah 10.000 50.000
Pensil Pembuatan laporan 5 buah 5.000 25.000
Map Pembuatan laporan 20 3.000 20.000
Stabilo Pembuatan laporan 5 20.000 100.000
Stapler Pembuatan laporan 2 15.000 30.000
Tinta Laser Jet Mencetak laporan 5 50.000 250.000
Flasdisk Menyimpan data 2 100.000 200.000
Pengadaan Selama Penelitian 5000 lbr 200 1.000.000
49
dokumen (Foto
Copy)
CD RW Menyimpan data 5 buah 5000 25.000
SUB TOTAL (Rp) 2.300.000
4. Perjalanan
Material Justifikasi
Perjalanan
Kuantitas Harga
Satuan
(Rp)
Biaya per tahun (Rp)
Perjalanan
Pengurusan
Proposal
Denpasar 1 Kali 100.000 100.000
Perjalanan
penelitian
Denpasar 5 Kali 100.000 500.000
Perjalanan
Pelaporan 100%
Penelitian
Denpasar 1 Kali 100.000 100.000
Konsumsi ke
lapangan
Denpasar 6 kali 50.000 300.000
SUB TOTAL (Rp) 1.000.000
5. Lain-lain
Kegiatan Justifikasi Kuantitas Harga
Satuan (Rp)
Biaya per tahun (Rp)
Foto copy dan jilid
laporan akhir (final)
Laporan
akhir
5 @Foto copy
125.000
@jilid :
5x15.000 =
75.000
200.000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN DALAM 1
TAHUN (Rp)
5.000.0000
50
LAMPIRAN 2. DUKUNGAN SARANA DAN PRASARANA PENELITIAN
Sarana yang akan digunakan :
1. Kendaraan yang berfungsi yang digunakan oleh peneliti dalam kegiatan mencari data
kelapangan.
2. Ruang Kerja untuk tim peneliti.
LAMPIRAN 3. SUSUNAN ORGANISASI TIM PENELITI DAN PEMBAGIAN
TUGAS
No Nama/NIDN Instansi
Asal
Bidang
Ilmu
Alokasi
Waktu
(jam/bulan)
Uraian Tugas
1. Diah Ratna Sari
Hariyanto, SH., MH
Fakultas
Hukum
Unud
Hukum
Pidana
6 Menyusun Proposal dan
Mengkoordinasi
Pembagian Tugas &
Mengurus Administasi
Penelitian
2. Kadek Erlina
Wijayanthi
(1303005112)
Fakultas
Hukum
Unud
Hukum
Pidana
6 Pengumpul Data
Lapangan & Membuat
Laporan Penelitian
3. Febripusoa Surya
Candra
(1303005116)
Fakultas
Hukum
Unud
Hukum
Pidana
6 Pengumpul Data
Lapangan & Membuat
Laporan Penelitian
51
LAMPIRAN 4 BIODATA KETUA DAN ANGGOTA TIM PENELITI SERTA
MAHASISWA
CURRICULUM VITAE
IDENTITAS DIRI
Nama : Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H., M.H
NIP/NIK : -
Tempat dan Tanggal Lahir : Denpasar, 27 Januari 1988
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin
Agama : Islam
Golongan/Pangkat : -
Jabatan Fungsiobal Akademik : -
Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Alamat : Jln. P. Bali No.1 Denpasar 80114
Tlp/Fax : (0361) 222666/ Fax. 234888
Alamat Rumah : Jl. Tunggul Ametung x/25 Denpasar
Tlp./Fax : 082144094551
Alamat e-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun
Lulus
Jenjang Sekolah/Perguruan Tinggi Jurusan/ Bidang Studi
1994
2000
2003
2006
2010
TK
SD
SMP
SMA
S1
TK Swa Dharma Denpasar
Madrasah Ibtidaiyah Al-Miftah
Denpasar
SMP Negeri 5 Denpasar
3 Denpasar
SMA Negeri 7 Denpasar
Fakultas Hukum Program
Ekstensi UNUD Denpasar
-
-
-
IPA
Hukum Pidana
2014
S2 Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana UNUD Denpasar
Hukum & Sistem Peradilan
Pidana
PELATIHAN PROFESIONAL
Tahun Pelatihan Penyelenggara
2015
2015
Pelatihan Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi
Pelatihan Penulisan Hukum Ilmiah dan Populer
MAHUPIKI dengan
Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan
Surabaya
Unit Publikasi dan
Dokumentasi Fakultas
52
Hukum UNUD
2015
2015
2015
2016
2016
Pelatihan Problem Based Learning (PBL)
Workshop Klinik Hukum Fakultas Hukum UNUD
Sosialisasi Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi
LKBH FH UNUD
ToT of INCLE’s 2nd Conference about “Diversity of
Clinical Legal Education and the Road to Social
Justice”
Workshop Pengelolaan Keamanan Laut di Indonesia
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
melalui program Demand
Based E2J
Klinik Hukum FH UNUD
INCLE dan FH UNUD, S2
Ilmu Hukum UNUD, S2
Kenotariatan UNUD.
BAKAMLA RI
PENGALAMAN KERJA (JABATAN)
Tahun Institusi Jabatan
2014
2014
Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar
Fakultas Ekonomi Universitas
Mahasaraswati Denpasar
Dosen (honorer)
Dosen (honorer)
2015 Fakultas Hukum Universitas
Udayana
Dosen (kontrak)
PENGALAMAN MENGAJAR
Tahun Mata Kuliah Jenjang Institusi/Jurusan/Program
2014
2014
2014
2014
2015
2015
Eksaminasi Putusan
Pengadilan
Hukum Acara Peradilan
Militer
Hukum Acara
Peradilan Agama
Kewarganegaraan
Hukum Pidana
Klinik Hukum Pidana
S1
S1
S1
S1
S1
S1
Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar
Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar
Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar
Fakultas Ekonomi Universitas
Mahasaraswati Denpasar
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
53
2015
2015
2016
2016
2016
2016
2016
2016
Hukum Pidana Lanjutan
Tindak Pidana Tertentu
Dalam KUHP
Hukum Pidana
Klinik Hukum Pidana
Hukum Pidana Lanjutan
Tindak Pidana Tertentu
Dalam KUHP
Kriminologi
Tindak Pidana Khusus
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
Fakultas Hukum UNUD
PENGALAMAN MEMBIMBING MAHASISWA
Tahun Judul Kegiatan Penyelenggara
-
- -
PENGALAMAN PENELITIAN
Tahun Judul Penelitian Jabatan Sumber Dana
- - - -
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Tahun Judul Pengabdian Jabatan Sumber Dana
- - - -
KARYA TULIS ILMIAH
A. Buku/Bab/Jurnal
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2014 Jurnal : Bantuan Hukum Bagi Orang Atau
Kelompok Orang Miskin Dalam Perkara Pidana
Demi Terselenggaranya Proses Hukum yang Adil
di Denpasar
Program Magister
Program Studi Magister (S2)
Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
54
B. Makalah/Poster
Tahun Judul Penyelenggara
- - -
PENYAJI /PEMAKALAH
Tahun Judul Makalah Acara Penyelenggara
2015
2016
Penyalahgunaan Narkoba
Pengaturan dan
Penanggulangannya
“Pendidikan Hukum Klinis
Menunjang Terciptanya Keadilan
Sosial dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia (Melihat Sekilas
Perjalanan Klinik Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas
Udayana”
Pengabdian
Masyarakat FH
UNUD Desa
Tihingan Klungkung
INCLE’s 2nd
Conference
FH UNUD –BEM FH
UNUD
INCLE dan FH UNUD,
S2 Ilmu Hukum
UNUD, S2
Kenotariatan UNUD.
PESERTA KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM
Tahun Judul Kegiatan Penyelenggara
2007
2013
2014
2014
2014
2015
Debat publik dengan tema “Implikasi Sanksi
Adat Bali Dalam Konteks Penegakan HAM”.
In the International Seminar on Cybernotary Law
and ADR Program Studi Magister Ilmu Hukum
Unud
Seminar Akademik “Tekhnik Penulisan Jurnal
Internasional”
Kuliah Umum Dubes Gede Ngurah Swajaya,
HLF Indonesia For Strengthening ASEAN
“Gagasan Pembentukan Masyarakat Ekonomi
ASEAN dari Perspektif Kepentingan Indonesia”
Kuliah Umum “Pembaharuan Hukum Pidana”
PBHI-Bali
PPS Universitas Udayana
Program Doktor Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana
Fakultas Hukum UNUD
FH UNUD
Program Studi Doktor Ilmu
55
2015
2015
2015
2015
2015
2016
2016
2016
Seminar Percepat Pemberantasan Korupsi
FGD Dalam Rangka Inventarisasi Materi
Penyusunan RUU tentang Wawasan Nusantara
Keeping the faith : A study of Freedom of
Thought, conscience, and religion in ASEAN
Studium Generale, “Introduction to Media Law
International Seminar on “Recognition and
Protection of Local Communities Rights and
Traditional Knowledge
International Seminar, “Economic Approach to
Law in Toursm Industry”.
Seminar Bhakti Desa II 2016
Seminar Hukum Acara Perdata Dengan Tema,
“Membedah Mekanisme Gugatan Perwakilan
Kelompok (Class Action) Dalam Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup.
Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Kajian
kebijakan Kepariwisataan Daerah Bali Dalam
rangka Menuju Pariwisata Berkeadilan dan
Berkelanjutan
Hukum
Panitia Perancang Undang-
Undang Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia
dengan FH UNUD
Human Rights Resource
Centre
Faculty of Law, Master Of
Law And Doctoral of Law
Programs of The Universitas
Udayana
Magister of Law Program of
Udayana University-Charles
Darwin University Scchool of
Law, Master of Notary of
UNUD, and Doctorate of Law
Program of Udayana
University .
Master Programe in Law
UNUD, Faculty of Law
UNUD, and Metro Faculty of
Law Maastricht university,
The Netherlands in
Coorporation With Master
Program in Notary UNUD,
and Doctoral of Law
Programs of The Universitas
Udayana.
LPPM UNUD
FH UNUD – Udayana Moot
Court Community.
Sekretariat Jendral Dewan
Ketahanan Nasional dan
UNUD
KEGIATAN PROFESIONAL/PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Tahun Kegiatan
2014
Anggota panitia pelaksanaan akreditasi FH UNUD.
56
2015
2015
2015
2015
2016
2016
Anggota panitia Konferensi Nasional Hukum Perdata II : “Karekteristik
Hukum Perikatan Indonesia : Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan
Nasional”.
Anggota panitia penyelengaraan diskusi publik, “Masa Depan Pemberantasan
Korupsi Pasca Putusan Praperadilan Budi Gunawan” dan diseminasi hasil
eksaminasi publik terhadap Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.J kt.Sel.
Anggota panitia Seminar Percepat Pemberantasan Korupsi
Anggota Panitia Pekan Konstitusi
Anggota Panitia PKM
Anggota Panitia INCLE’s 2nd Conference
Denpasar, 22 Januari 2018
Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H., M.H