asas- asas kurikulum
-
Upload
d-fbuser-36724247 -
Category
Documents
-
view
30.296 -
download
2
Embed Size (px)
Transcript of asas- asas kurikulum

KATA PENGANTAR
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu
pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai
tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan
perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai
hasil yang maksimal.
Mengembangkan kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah dan
sederhana karena banyak sekali pertanyaan yang dapat dikemukakan untuk
dipertimbangkan. Misalnya: Apakah yang ingin dicapai? Manusia yang
bagaimana yang diharapkan akan dibentuk? Apakah yang diutamakan kebutuhan
sekarang atau masa mendatang? Apakah hakikat anak harus dipertimbangkan atau
diperlukan sebagai orang dewasa? Dan segudang pertanyaan lagi yang
kesemuanya menyangkut asas-asas yang mendasari setiap kurikulum, yaitu asas
filosotis, asas psikologis, asas sosiologis dan asas organisatoris.
Dengan kurikulum yang sesuai dan tepat, maka dapat diharapkan sasaran
dan tujuan pendidikan akan dapat tercapai secara maksimal.
Buku ini penting bagi para mahasiswa, para guru dan siapa saja yang
berminat dan berkecimpung di bidang pendidikan.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Bab 1 : Pengertian Dan Asas-Asas Kurikulum
Bab 2 : Asas-Asas Fisiologi
Bab 3 : Asas Psikologis Anak
Bab 4 : Asas Psikologis Anak
Bab 5 : Proses Perubahan Dan Perbaikan Kurikulum
Bab 6 : Kurikulum Dan Masyarakat
Bab 7 : Organisasi Kurikulum
Bab 8 : Menentukan Scope Dan Sequence Dalam Pembinaan Kurikulum
Bab 9 : Mengubah Kurikulum
Bab 10 : Penutup
Daftar Buku

BAB 1
PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS
KURIKULUM
Masa depan bangsa terletak dalam tangan generasi muda. Mutu bangsa di
kemudian hari bergantung pada pendidikan yang dikecap oleh anak-anak
sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang diterima di sekolah. Apa yang
akan dicapai di sekolah, ditentukan oleh kurikulum sekolah itu. Jadi barang siapa
yang menguasai kurikulum memegang nasib bangsa dan negara. Maka dapat
dipahami bahwa kurikulum sebagai alat yang begitu vital bagi perkembangan
bangsa dipegang oleh pemerintah suatu negara. Dapat pula dipahami betapa
pentingnya usaha mengembangkan kurikulum itu. Oleh sebab setiap guru
merupakan kunci utama dalam pelaksanaan kurikulum, maka ia harus pula
memahami seluk-beluk kurikulum. Hingga batas tertentu, dalam skala mikro, guru
juga seorang pengembang kurikulum bagi kelasnya.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN KURIKULUM
Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam
kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus
tahun 1856. Artinya pada waktu itu ialah: "1. a race course; a place for running; a
chariot. 2. a course in general; applied particulary to the course of study in a
university". Jadi dengan "kurikulum" dimaksud suatu jarak yang harus ditempuh
oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. "Kurikulum"
juga berarti "chariot," semacam kereta pacu pada zaman dulu, yakni suatu alat
yang membawa seorang dari "start" sampai "finish".
Di samping penggunaan "kurikulum" semula dalam bidang olah raga,
kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di
perguruan tinggi.

Dalam kasus Webster tahun 1955 "kurikulum diberi arti "'a. A course esp.
a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a
degree. b. The whole body of courses offered in an educational institution, or
departme.nt thereof, -. the usual sense." Di sini "kurikulum" khusus digunakan
dalam pendidikan dan pengajaran, yakni sejumlah mata pelajaran di sekolah atau
mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu
ijazah atau tingkat. "Kurikulum" juga berarti keseluruhan pelajaran yang disajikan
oleh suatu lembaga pendidikan.
Di Indonesia istilah "kurikulum" boleh dikatakan baru menjadi populer
sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang ,memperoleh
pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar
pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah "rencana pelajaran". Pada
hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran. Hilda Taba dalam
bukunya Curriculum Development, Theory and Practice mengartikan sebagai "a
plan for learning", yakni sesuatu yang direncanakan untuk pelajaran anak.
Dalam buku ini kami gunakan istilah "kurikulum," karena pengertian
kurikulum banyak mengalami perkembangan, berkat pemikiran yang banyak oleh
tokoh-tokoh pendidikan mengenai kurikulum, sehingga dapat meliputi hal-hal
yang tidak direncanakan, namun turut mengubah kelakuan anak didik. Kurikulum
juga bukan lagi sekedar sejumlah mata pelajaran , akan tetapi mendapat liputan
yang jauh lebih luas. Maka karena itu istilah "rencana pelajaran" rasanya
terlampau sempit dan terikat oleh pengertian tradisional, yang sangat terbatas pada
bahan pelajaran dalam buku pelajaran.
Dalam teori, tetapi juga dalam praktik, pengertian kurikulum yang lama
sudah banyak ditinggalkan. Para ahli pendidikan kebanyakan memberi arti dan isi
yang lebih luas daripada semula. Selain itu pengertiannya pun senantiasa dapat
berkembang dan mengalami perubahan. Perubahan itu antara lain terjadi karena
orang tak kunjung puas dengan hasil pendidikan sekolah dan selalu ingin
memperbaikinya. Memang tak mungkin disusun suatu kurikulum yang baik serta
mantap sepanjang zaman. Suatu kurikulum hanya mungkin baik untuk suatu
masyarakat tertentu pada masa tertentu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang mengubah masyarakat dan dengan sendirinya kurikulum pun tak
dapat tiada harus disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Di samping itu banyak timbul pendapat-pendapat baru tentang hakikat dan
perkembangan anak, caranya belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan,
dan lain-lain, yang memaksa diadakannya perubahan dalam kurikulum.
Pengembangan kurikulum adalah proses yang tak henti-hentinya, yang harus
dilakukan secara kontinu. Jika tidak, maka kurikulum menjadi usang atau
ketinggalan zaman. Makin cepat perubahan dalam masyarakat, makin sering
diperlukan penyesuaian kurikulum.
Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah. Praktek
pendidikan di sekolah senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori
kurikulum. Bukan sesuatu yang aneh, bila suatu teori kurikulum baru menjadi
kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian. Kelambanan ini terjadi antara
lain karena guru-guru banyak yang lebih ingin berpegang pada yang telah ada,
merasa lebih aman dengan praktik-praktik rutin dan tradisional daripada
mencobakan hal-hal baru, yang memerlukan pemikiran dan usaha yang lebih
banyak dan ada kalanya menuntut perubahan pada diri guru itu sendiri. Itu
sebabnya maka kurikulum masih banyak diartikan sebagai sejumlah mata
pelajaran yang harus disampaikan kepada anak.
BEBERAPA DEFINISI KURIKULUM
Seperti telah dikemukakan di atas, perubahan zaman menuntut kurikulum
baru dan sering juga pengertian baru mengenai makna kurikulum itu sendiri.
Perubahan zaman memberi tugas-tugas baru kepada sekolah, di antaranya tugas-
tugas yang sediakala dipikul oleh lembaga-lembaga lain seperti rumah tangga,
pemerintah, petugas agama, dan lain-lain. Misalnya, anak-anak gadis biasanya
belajar memasak, menjahit, mengurus rumah, dan pekerjaan lain dari ibunya.
Dunia modern sering mengharuskan ibu-ibu bekerja, dan tidak sempat lagi
mendidik anaknya dalam keterampilan rumah tangga. Maka tugas ibu itu
dipercayakan kepada sekolah dengan memberi pelajaran PKK. Ada pula ibu-ibu
yang tak puas dan merasa bosan hanya terikat oleh rutin rumah tangga dan ingin

menentukan karirnya sendiri. Demikian pula soal kesehatan jasmani anak,
keamanan lalu lintas, keterampilan vokasional, pendidikan seks, pencegahan
minum alkohol atau ganja, kepramukaan, pendidikan, agama, dan hal-hal lain
lambat laun digeser tanggung-jawab pendidikannya kepada sekolah. Dengan
demikian kurikulum sekolah tidak hanya meliputi mata pelajaran tradisional,
melainkan berbagai kegiatan lain yang bersifat edukatif, di dalam maupun di luar
sekolah.
Dengan bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam
definisi kurikulum, sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya
kurikulum itu. Akhirnya setiap pendidik, setiap guru harus menentukan sendiri
apakah kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang akan
mempengaruhi kegiatan belajar-mengajar dalam kelas maupun di luar kelas.
Di bawah ini kami berikan sejumlah definisi kurikulum menurut beberapa
ahli kurikulum.
1. J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning
for Better Teaching and Learning (1956) menjelaskan arti kurikulum sebagai
berikut. " The Curriculum is the sum total of school's efforts to influence
learning, whether in the clasroom, on the playground, or out of school." Jadi
segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam
ruangan kelas, di halaman sekolah atau di luar sekolah termasuk kurikulum.
Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra-kurikuler.
2. Harold B. Albertycs. dalam Reorganizing the High-School Curriculum (1965)
memandang kurikulum sebagai "all of the activities that are provided for
students by the school". Seperti halnya dengan definisi Saylor dan Alexander,
kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran, akan tetapi juga meliputi
kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan luar kelas, yang berada di bawah
tanggung jawab sekolah. Definisi melihat manfaat kegiatan dan pengalaman
siswa di luar mata pelajaran tradisional.

3. B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores memandang kurikulum
sebagai "a sequence of potential experiences set up in the school for the
purpose of disciplining children and youth in group ways of thinking and
acting". Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara
potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat
berpikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4. William B. Ragan, dalam buku Modern Elementary Curriculum (1966)
menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut: "The tendency in recent decades
has ben to use the term in a broader sense to refer to the whole life and
program of the school. The term is used ... to include all the experiences of
children for which the school accepts responsibility. It denotes the results of
efferorts on the part of the adults of the community, and the nation to bring to
the children the finest, most whole some influences that exist in the culture."
Ragan mengunakan kurikulum dalam arti yang luas, yang meliputi
seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak
di bawah tanggung-jawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan
pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan sosial
antara guru dan murid, metode mengajar, cara mengevaluasi termasuk
kurikulum.
5. J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School
lmprovemant (1973) juga menganut definisi kurikulum yang luas. Menurut
mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara
mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar,
bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural
mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
Ketiga aspek pokok, program, manusia dan fasilitas sangat erat hubungannya,
sehingga tak mungkin diadakan perbaikan kalau tidak diperhatikan ketiga-
tiganya.

6. Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam
bukunya Changing the Curriculum : a Social Process (1946) is
mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana
sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani
dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik dan
personalia (termasuk penjaga sekolah, pegawai administrasi dan orang lainnya
yang ada hubungannya dengan murid-murid ). Jadi kurikulum meliputi segala
pengalaman dan pengaruh yang bercorak pendidikan yang diperoleh anak di
sekolah. Definisi Miel tentang kurikulum sangat luas yang mencakup yang
meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap,
apresiasi, cita-cita serta norma-norma, melainkan juga pribadi guru, kepala
sekolah serta seluruh pegawai sekolah.
Langeveld seorang ahli pendidikan Belanda dalam bukunya Leerboek der
Pedagogische Psychologie membedakan apa yang disebutnya
opvoedingsmiddelen dan opvoedingsfaktoren Istilah pertama berarti alat-alat
pendidikan, yaitu segala sesuatu yang dengan sengaja dilakukan oleh sipendidik
terhadap anak-didik guna mempengaruhi kelakuannya, seperti menjelaskan,
menganjurkan, memuji, melarang atau menghukum. Istilah kedua berarti faktor-
faktor pendidikan, meliputi keadaan lingkungan pendidikan seperti kebersihan
ruangan, keramahan pendidik, jadi tidak merupakan tindakan yang disengaja. Kita
lihat bahwa Alice Miel mencakup kedua hal itu dalam pengertian kurikulumnya
yakni alat pendidikan dan faktor pendidikan.
Tak semua ahli kurikulum menganut pendirian yang begitu luas. Hilda Taba
berpendapat bahwa definisi yang terlampau luas mengaburkan pengertian kurikulum
sehingga menghalangi pemikiran dan pengolahan yang tajam tentang kurikulum. Jika
kurikulum dirumuskan sebagai "segala usaha yang dilakukan oleh sekolah untuk
memperoleh hasil yang diharapkan dalam situasi di dalam maupun di luar sekolah"
atau sebagai" sejumlah pengalaman yang potensial dapat diberikan oleh sekolah
dengan tujuan agar anak dan pemuda dibiasakan berpikir dan berbuat menurut
kelompok atau masyarakat tempat ia hidup", maka definisi yang luas itu
membuatnya tidak fungsional. Maka Hilda Taba memilih posisi yang tidak
terlampau luas dan tidak pula terlampau sempit, karena definisi yang sempit tidak lagi
diterima oleh sekolah modern.

Hilda Taba mengemukakan, bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum
merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berparsitipasi sebagai anggota
yang produktif dalam masyrakatnya. Tiap kurikulum, bagaimanapun polanya, selalu
mempunyai komponen-komponen tertentu, yakni pernyataan tentang tujuan dan
sasaran, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar
dan mengajar, dan akhirnya evaluasi hasil belajar. Perbedaan kurikulum terletak pada
penekanan pada unsur-unsur tertentu.
7. Edward A. Krug dalam The Secondary School Curriculum (1960)
menunjukkan pendirian yang terbatas tapi realistis tentang kurikulum.
Definisinya ialah "A Curriculum Consists of the means used to achieve or carry out
given purposes of schooling". Kurikulum dilihatnya sebagai cara-cara dan usaha
untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai
perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti
rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan lain-lain. Ia dengan sengaja
menggunakan istilah "schooling" untuk menjelaskan apa sebenarnya tugas
sekolah. Memborong segala tanggung jawab atas pendidikan anak akan
merupakan beban yang terlampau berat, sehingga tidak mungkin dilakukan
dengan baik.
Maka karena itu Krug membatasi kurikulum pada : 1. organized classroom
instruction, yaitu pengajaran di dalam kelas, 2. kegiatan-kegiatan tertentu di luar
pengajaran itu, seperti bimbingan dan penyuluhan, kegiatan pengabdian
masyarakat, pengalaman kerja yang bertalian dengan pelajaran, dan perkemahan
sekolah. Akan tetapi kegiatan-kegiatan akhir masih bersifat kontroversial.
Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna
mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya bersifat idea, suatu
cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan dibentuk. Kurikulum ini
lazim mengandung harapan-harapan yang sering berbunyi muluk-muluk.
Apa yang dapat diwujudkan dalam kenyataan disebut kurikulum yang real.
Karena tak segala sesuatu yang direncanakan dapat direalisasikan, maka
terdapatlah kesenjangan antara idea dan real curriculum.

Smith dan kawan-kawan memandang kurikulum sebagai rangkaian
pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak, jadi dapat disebut
potential curriculum. Namun apa yang benar-benar dapat diwujudkan pada anak
secara individual, misalnya bahan yang benar-benar diperolehnya, disebut actual
curriculum.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain,
sehingga kita peroleh penggolongan sebagai sebagai berikut :
1. Kurikulum dapat dilihat sabagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan
dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang misalnya berisi sejumlah
mata pelajaran yang harus diajarkan.
2. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan
oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa mengajarkan
berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala kegiatan yang
dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa misalnya perkumpulan
sekolah, pertandingan, pramuka, warung sekolah dan lain-lain.
3. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang
diharapkan akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang benar-benar
dipelajari.
4. Kurikulum sebagi pengalaman siswa. Ketiga pandangan diatas berkenaan
dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang
secara aktual menjadi kenyataan pada tiap siswa. Ada kemungkinan, bahwa
apa yang diwujudkan pada diri anak berbeda dengan apa yang diharapkan
menurut rencana.
Mengenai masalah kurikulum senantiasa terdapat pendirian yang berbeda-
beda, bahkan sering yang bertentangan. Ketidakpuasan dengan kurikulum yang
berlaku adalah sesuatu yang biasa dan memberi dorongan mencari kurikulum
baru. Akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim sering dilakukan dengan
mendiskreditkan kurikulum yang lama, pada hal kurikulum itu pun mengandung

kebaikan, sedangkan kurikulum pasti tidak akan sempurna dan akan tampil
kekurangannya setelah berjalan dalam beberapa waktu.
Dalam praktiknya biasanya tidak dapat pertentangan yang begitu tajam
seperti yang digambarkan dalam teorinya. Pada umumnya guru itu konservatif
dan cenderung berpegang pada cara-cara yang lama yang telah dikuasainya dan
menurut pengalamannya memberi hasil yang baik. Ia tidak mudah melepaskan
yang lama yang sudah terbukti kebaikannya, sebelum ia yakin bahwa yang baru
itu ternyata lebih baik lagi. Juga ada kemungkinan untuk mengawinkan yang baru
dengan yang lama. Maka karena itu jarang akan terdapat bahwa suatu teori
tentang kurikulam dilaksanakan secara murni. Selain itu berbagai jenis kurikulum
dapat hidup bersama tanpa menimbulkan konflik.
Adanya berbagai tafsiran tentang kurikulum tak perlu merisaukan, karena
justru dapat memberi dorongan untuk mengadakan inovasi mencari bentuk -
bentuk kurikulum baru. Pandangan yang berbeda-beda itu memberi dinamika
dalam pemikiran tentang kurikulum secara kontinu tanpa henti-hentinya.
Bila dalam buku ini kami uraikan kurikulum dalam bentuk murninya
menurut teori yang mendasarinya, jadi menonjolkannya dalam bentuk yang
ekstrim, perlu kita ketahui bahwa dalam praktik pendidikan sering terjadi
campuran atau adanya berbagai bentuk kurikulum yang hidup bersama secara
damai.
ASAS-ASAS KURIKULUM
Mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana
karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan yang dapat
diajukan untuk diperhitungkan. Misalnya : Apakah yang ingin dicapai, manusia
yang bagaimana yang diharapkan akan dibentuk? Apakah akan diutamakan
kebutuhan anak pada saat sekarang atau masa mendatang? Apakah hakikat anak
harus dipertimbangkan, ataukah ia diperlakukan sebagai orang dewasa? Apakah
kebutuhan anak itu? Apakah harus dipentingkan anak sebagai individu atau
sebagai anggota kelompok? Apakah yang harus dipentingkan, mengajarkan
kejujuran atau memberi pendidikan umum? Apakah pelajaran akan didasarkan

atas disiplin ilmu ataukah dipusatkan pada masalah sosial dan pribadi? Apakah
semua anak harus mengikuti pelajaran yang sama
taukah is diizinkan memilih pelajaran sesuai dengan minatnya? Apakah
seluruh kurikulum sama bagi semua sekolah secara uniform, atau diberi
kelonggaran untuk menyesuaikannya dengan keadaan daerah? Apakah hasil
belajar anak akan diuji secara uniform ataukah diserahkan pada penilaian guru
yang dapat mempelajari anak itu dalam segala aspek selama waktu yang panjang ?
Semua pertanyaan itu menyangkut asas-asas yang mendasari setiap
kurikulum, yakni :
1. Asas filosofis yang berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan
filsafat negara.
2. Asas psikologis yang memperhitungkan faktor anak dalam kurikulum yakni a.
psikologi anak, perkembangan anak, b. psikologi belajar, bagaimana proses
belajar anak.
3. Asas sosiologis, yaitu keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya,
kebudayaan manusia, hasil kerja manusia herupa pengetahuan, dan lain-lain.
4. Asas organisatoris yang mempertimbangkan bentuk dan organisasi bahan
pelajaran yang disajikan.
Walaupun dalam buku ini keempat asas itu akan dipaparkan lebih lanjut,
dirasa perlu memberikannya lebih dahulu secara singkat.
1. Asas Filosofis
Sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang "baik".
Apakah yang dimaksud dengan "balk" pada hakikatnya ditentukan oleh nilai-nilai,
cita-cita atau filsafat yang dianut negara, tapi juga guru, orang tua, masyarakat
bahkan dunia. Perbedaan filsafat dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan
dalam tujuan pendidikan, jadi juga bahan pelajaran yang disajikan, mungkin juga
cara mengajar dan menilainya. Pendidikan di negara otokratis akan berbeda
dengan negara yang demokratis, pendidikan di negara yang menganut agama
Budha akan berlainan denagan pendidikan di negara yang memeluk agama Islam

atau Kristen. Kurikulum tak dapat tiada mempunyai hubungan yang erat dengan
filsafat bangsa dan negara terutama dalam menentukan manusia yang dicita-
citakan sebagai tujuan yang harus dicapai melalui pendidikan formal.
2. Asas Psikologis
a. Psikologi anak
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan
situasi-situasi di mana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakatnya.
Selama berabad-abad anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada
orang dewasa dan karena itu mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan
perkembangannya. Baru setelah Rousseau anak itu dikenal sebagai anak, dan
dilakukan penelitian ilmiah untuk lebih mengenalnya, dan sejak permulaan abad
ke-20 anak kian mendapat perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan
kurikulum. Timbullah aliran yang disebut progresif, bahkan kurikulum yang
semata-mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak, yaitu "Child centered
curriculum". Kurikulum ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap kurikulum
yang ditentukan oleh orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan dan minat
anak. Tentu saja kurikulum yang begitu ekstrim mengutamakan salah satu dasar
akan mempunyai kekurangan-kekurangan. Namun gerakan ini tak dapat tiada
menarik perhatian para pendidik, khususnya para pengembang kurikulum, untuk
selalu menjadikan anak sebagai salah satu pokok pemikiran.
b. Psikologi belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan
bahwa anak-anak dapat dididik, dapat dipengaruhi kelakuannya. Anak-anak dapat
belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, dapat mengubah sikapnya, dapat
menerima norma-norma, dapat menguasai sejumlah keterampilan. Soal yang
penting ialah : bagaimanakah anak itu belajar? Kalau kita tahu betul, bagaimana
proses belajar itu berlangsung, dalam keadaan yang bagaimana belajar itu
memberi hasil yang sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan dan
dilaksanakan dengan cara yang seefektif-efektifnya.

Oleh sebab belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks,
maka timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu
sama lain. Penelitian dilakukan untuk lebih mendalam memahami proses belajar
ini, banyak di antaranya dengan melakukan eksperimen.
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa tiap teori itu mengandung
kebenaran, akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan proses
belajar itu, jadi yang mencakup segala gejala belajar, dari yang sederhana sampai
yang paling pelik.
Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar-mengajar. Dengan
demikian ada hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi belajar dan
psikologi anak. Karena hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadi
salah satu dasar kurikulum.
3. Asas Sosiologis
Anak tidak hidup sendiri terisolasi dari manusia lainnya, ia selalu hidup
dalam suatu masyarakat. Di situ ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus
dilakukannya dengan penuh tanggung-jawab, baik sebagai anak, maupun sebagai
orang dewasa kelak. Ia banyak menerima jasa dari masyarakat dan ia sebaliknya
harus menyumbangkan baktinya bagi kemajuan masyarakat. Tuntutan masyarakat
tak dapat diabaikannya.
Tiap masyarakat mempunyai norma-norma, adat kebiasaan yang tak dapat
tiada harus dikenal dan diwujudkan anak dalam pribadinya lalu dinyatakannya
dalam kelakuannya. Tiap masyarakat berlainan corak nilai-nilai yang dianutnya.
Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Perbedaan ini harus di-
pertimbangkan dalam kurikulum. Juga perubahan masyarakat akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pertimbangan
dalam kurikulum.
Oleh sebab masyarakat suatu faktor yang begitu penting dalam
pengembangan kurikulum, maka masyarakat dijadikan salah satu asas. Dalam hal
ini pun harus kita jaga, agar asas ini jangan terlampau mendominasi sehingga

timbul kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau "society-centered
curriculum".
4. Asas Organisatoris
Asas ini herkenaan dengan masalah, dalam bentuk yang bagaimana bahan
pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-
pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan,
misalnya dalam bentuk broad-field atau bidang studi seperti IPA, IPS, Bahasa,
dan lain-lain. Ataukah diusahakan hubungan secara lebih mendalam dengan
menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran, jadi dalam bentuk kurikulum
yang terpadu. Ilmu jiwa asosiasi yang berpendirian bahwa keseluruhan sama
dengan jumlah bagianbagiannya cenderung memilih kurikulum yang subject-
centered, atau yang berpusat pada mata pelajaran, yang dengan sendirinya akan
terpisah-pisah. Sebaliknya ilmu jiwa Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan,
karena keseluruhan itu bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan
masyarakat. Aliran psikologi ini lebih cenderung memilih kurikulum terpadu atau
integrated kurikulum.
Kembali perlu di ingatkan, bahwa tidak ada kurikulum yang baik dan tidak
baik. Setiap organisasi kurikulum mempunyai kebaikan akan tetapi tidak lepas
dari kektirangan ditinjau dari segi-segi tertentu. Selain itu, bermacam-macam
organisasi kurikulum dapat dijalankan secara bersama di satu sekolah, bahkan
yang satu dapat membantu atau melengkapi yang satu lagi.
Kurikulum yang bagaimana yang harus dipilih? Pertanyaan itu diajukan
karena macamnya kemungkinan. Dalam mengembangkan kurikulum harus
diadakan pilihan, jadi selalu hasil semacam kompromi antara anggota panitia
kurikulum. Sering dikatakan bahwa "curriculum is a matter of choice", kurikulurri
adalah soal pilihan. Dalam hal ini pilihan banyak bergantung pada pendirian atau
sikap seseorang tentang pendidikan. Pada umumnya dapat dibedakan dua
pendirian utama, yakni yang tradisional dan yang progresif.
KURIKULUM TRDISIONAL ATAU PROGRESIF

Kurikulum tradisional yang ingin mengawetkan yang lama tidak dengan
sendirinya buruk dan merugikan, oleh sebab apa yang diawetkan, selalu yang
baik, apakah itu nilai-nilai, barang seni, benda, dan sebagainya. Namun dalam
masa perubahan yang serba dinamis ini, menutup mata bagi perubahan akan
merugikan diri sendiri. Sebaliknya kurikulum modern - progresif juga tidak
dengan sendirinya baik dan luput dari, berbagai kekurangan.
Menjalankan kurikulum progresif akan banyak mendapat tentangan, antara
lain dari pihak guru yang terkenal karena sikap konservatifnya, juga orangitua
yang telah mengecap pendidikan tradisional dan merasakan manfaatnya. Kesulitan
yang dihadapi kurikulum progresif ialah, bahwa orang mengharapkan hasil-hasil
tradisional dari sekolah yang progresif. Sekolah progresif misalnya mementingkan
kemampuan memecahkan masalah dan menggunakan pengetahuan secara
fungsional untuk memecahkan masalah itu. Tidak diharapkan siswa mempunyai
pengetahuan yang uniform. Namun orang tua masih mengharapkan agar murid-
murid hafal akan nama-nama geografis, tahun-tahun dan tokoh-tokoh sejarah,
terampil dalam hitungan di luar kepala, dan lain-lain. Sekolah progresif harus
dinilai berdasarkan prinsip-prinsip sekolah itu. Kita inginkan agar anak-anak
kreatif, sanggup berpikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, kita
ingin agar anak sanggup mengadakan penelitian dan penemun, namun kita
mengadakan ujian nasional yang uniform yang tidak menghiraukan perbedaan
individual, dan terutama menonjolkan hafalan, tidak mengizinkan perbedaan
pendapat, menentukan lebih dahulu mana yang benar yang dicoba anak mencari
atau menerkanya bila menghadapi ujian bercorak objektif.
Di bawah ini kami cantumkan beberapa perbedaan antara pendirian
tradisional dan progresif.
Penganut kurikulum tradisional berpegang pada kurikulum yang
didasarkan atas subjek atau mata pelajaran, yang biasanya diberikan secara
terpisah-pisah. Bahan mata pelajaran diambil dari berbagai disiplin ilmu yang
dibina dan senantiasa dikembangkan para ilmuwan dan karena itu mendapat
penghargaan tinggi dari masyarakat. Kurikulum tradisional ini telah bertahan
selama beberapa abad dan diduga akan bertahan terus sepanjang masa. Dianggap

bahwa ilmu mempunyai nilai tersendiri dan karena itu dapat dipelajari demi ilmu
itu sendiri. Selain itu mempelajari ilmu akan mengembangkan kemampuan
intelektual anak.
Penganut kurikulum progresif atau modern tidak menolak ilmu, akan
tetapi tidak dipelajari demi ilmu sendiri, akan tetapi untuk digunakan dalam
memecahkan suatu masalah. Sambil memecahkan masalah siswa mengumpulkan
ilmu yang diperlukan. Mengumpulkan ilmu demi ilmu yang tidak fungsional
hanya membebani otak dengan hal-hal yang mubazir. Tujuan pendidikan bukan
hanya mengembangkan aspek intelektual saja melainkan keseluruhan pribadi anak
dalam segala aspek.
Dalam kurikulum tradisional diperlukan pengarahan, pengawasan, kontrol
dan disiplin yang ketat, agar siswa mempelajari bahan yang sama dan mencapai
tingkat penguasaan yang sama. Sebaliknya kurikulum yang progresif lebih banyak
memberi kebebasan kepada siswa untuk menentukan apa yang akan dipelajarinya,
sesuai dengan minat dan kesanggupannya dalam suasana yang mengizinkan
kebebasan.
Apa yang dipelajari dalam kurikulum tradisional dianggap akan berguna
kelak di kemudian hari anak, karena banyak pelajaran yang sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan kehidupan anak dalam masyarakat. Di lain pihak, kurikulum
progresif memilih masalahmasalah yang nyata dalam kehidupan anak dan
masyarakat.
Kurikulum tradisional menyamaratakan semua siswa baik mengenai
bahan, metode belajar-mengajar, maupun evaluasi. Kurikulum progresif
memperhatikan bahkan membantu perkembangan keunikan individu.
Kurikulum tradisional menerima kenyataan dalam masyarakat
sebagaimana adanya, sedangkan kurikulum progresif berusaha untuk mengubah
lingkungan untuk membentuk dunia yang lebih baik.
Kalau diteliti lebih lanjut dapat lagi kita temui perbedaan lain antara kedua
pendekatan dalam pengembangan kurikulum. Dapat kita katakan, bahwa
kurikulum progresif merupakan reaksi dalam berbagai bentuk terhadap

kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam kurikulum tradisional. Namun
betapapun kritik terhadap kurikulum tradisional, kurikulum ini tetap bertahan.
Juga kurikulum progresif tidak bebas dari kritik yang tajam dari berbagai
pihak. Yang paling berpengaruh ialah kritik bahwa kurikulum ini kurang
mengembangkan kemampuan intelektual anak, sehingga setelah peluncuran
Sputnik, aliran progresif mengalami pukulan hebat, dengan ditonjolkannya
kembali kurikulum yang berdasarkan disiplin ilmu, akan tetapi akibatnya ialah,
bahwa faktor anak kembali dianaktirikan.
KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM
Ralph W.Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and
Instruction (1949), salah satu buku yang paling berpengaruh dalam
pengembangan kurikulum, mengajukan 4 pertanyaan pokok, yakni :
1. Tujuan apa yang harus dicapai sekolah?
2. Bagaimanakah memilih bahan pelajaran guna mencapai tujuan itu?
3. Bagaimanakah bahan disajikan agar efektif diajarkan?
4. Bagaimanakah efektivitas belajar dapat dinilai?
Berdasarkan pertanyaan itu, maka diperoleh keempat komponen
kurikulum yakni, (1) tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) proses belajar-mengajar, (4)
evaluasi atau penilaian. Keempat komponen itu dapat kita gambarkan dalam
bagan sebagai berikut:
TUJUAN
EVALUASI BAHAN
PBM
Keempat komponen itu saling berhubungan. Setiap komponen bertalian
erat dengan ketiga komponen lainnya. Tujuan menentukan bahan apa yang akan
dipelajari, bagaimana proses belajarnya, dan apa yang harus dinilai. Demikian
pula penilaian dapat mempengaruhi komponen lainnya. Pada saat dipentingkan-

nya evaluasi dalam bentuk ujian, misalnya Ebtanas, UMPTN, maka timbul
kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai tujuan kurikulum, proses
belajar-mengajar cenderung mengutamakan latihan dan hafalan.
Bila salah satu komponen berubah, misalnya ditonjolkannya tujuan yang
baru, atau proses belajar-mengajar, misalnya metode baru, atau cara penilaian,
maka semua komponen lainnya turut mengalami perubahan. Kalau tujuannya
jelas, maka bahan pelajaran, PBM, maupun evaluasi pun lebih jelas.
Pola kurikulum yang dikemukakan oleh Tyler ini tampaknya sangat
sederhana, namun dalam kenyataannya lebih kompleks daripada yang diduga. Tak
mudah menentukan tujuan pendidikan atau pelajaran, tak mudah pula menentukan
bahan yang tepat guna mencapai tujuan itu, misalnya bahan untuk mendidik anak
agar menjadi manusia pembangun, jujur, kerja keras, dan sebagainya. Menentukan
PBM yang efektif tak kurang sulitnya, karena keberhaslannya baru diketahui
setelah dinilai.
Konsep tayle tentang komposisi kurikulum tentu mendapat kritik, namun
masih dipertimbangkan hingga sekarang.
RANGKUMAN
1. Kurikulum yang semula berarti jarak yang harus ditempuh, kemudian menjadi
sejumlah mata pelajaran yang harus dilalui untuk mendapat ijazah.
2. Para ahli kurikulum "modern" cenderung memberikan pengertian yang lebih
luas, sehingga meliputi kegiatan di luar kelas, bahkan juga mencakup segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi kelakuan siswa, termasuk kebersihan kelas,
pribadi guru, sikap petugas sekolah, dan lain-lain.
3. Kurikulum dapat dipandang dari berbagai segi, yakni, curriculum as a product,
as a program, as intended learnings, as the experiences of the learner. Dapat
pula kita memandangnya sebagai formal curriculum, ideal, real, actual
curriculum atau potential learning experiences.

4. Ada kebaikan dan kelemahan pengertian kurikulum yang terlampau luas atau
terlampau sempit. Hilda Taba memandang kurikulum sebagai "a plan for
learning".
5. Ada kecenderungan pengertian kurikulum meluas, karena banyak tugas yang
sedianya oleh rumah tangga dan lembaga informal lainnya dibebankan kepada
sekolah.
6. Kurikulum senantiasa harus diubah karena perubahan masyarakat akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan kurikulum berjalan
kontinu kalau tidak mau ketinggalan zaman.
7. Karena adanya macam-macam definisi kurikulum, tiap guru harus
menentukan tafsirannya sendiri. Pilihannya itu akan mempengaruhi
konsepsinya tentang tugasnya sebagai pendidik. Ia dapat menganut pendirian
yaang tradisional atau progresif.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Jelaskan perkembangan pengertian kurikulum.
2. Jelaskan arti kurikulum sebagai product, program, intended learnings, the
experiences of the learner. Juga pengertian kurikulum formal, real, ideal,
potential, actual.
3. Bandingkan berbagai definisi yang tercantum dalam pelajaran, antara lain
mengenai luas cakupannya.
4. Bagaimanakah pengertian kurikulum di sekolah kita?
5. Dikatakan, bahwa praktik kurikulum jauh ketinggalan bila dibandingkan
dengan teorinya. Jelaskan.
6. Sebutkan asas-asas kurikulum. Selidiki azas-azas itu pada kurikulum yang
berlaku di sekolah kita.
7. Menurut Saudara siapakah yang mengembangkan kurikulum? Apakah
orangtua, begitu juga murid harus turut dalam pengembangan kurikulum?
8. Bagaimana pendapat Saudara tentang guru sebagai pengembang kurikulum?
9. Di antara asas-asas kurikulum, asas manakah yang paling banyak mengalami
perubahan? Mana yang paling sedikit atau tidak berubah?
10. Perbedaan apakah yang mungkin timbul di antara anggota panitia
pengembangan kurikulum?

11. Bila dibandingkan kurikulum sebelum dan sesudah kita merdeka perbedaan
apakah kiranya yang kita dapati?
12. Jelaskan adanya hubungan yang erat di antara komponenkomponen
kurikulum. Jelaskan bahwa perubahan dalam satu komponen mempengaruhi
komponen lainnya.
13. Ada kurikulum yang tidak direncanakan, yakni "hidden curriculum" atau
kurikulum yang tersembunyi. Tahukah Saudara apa maksudnya dan memberi
beberapa contoh?

BAB 2ASAS-ASAS FILOSOFIS
Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil
keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Untuk tiap keputusan harus ada
dasarnya. Filsafat adalah cara berpikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai
akarnya tentang hakikat sesuatu.
Ada orang yang berpendapat bahwa guru tak perlu mempelajari filsafat,
karena sangat abstrak dan karena itu tak praktis dan tidak ada manfaatnya bagi
pekerjaannya. Pendirian itu terlampau picik, karena apa yang dilakukan guru
harus didasarkan pada apa yang dipercayai, diyakininya sebagai benar dan baik.
Filsafat itu antara lain menentukan kepercayaan kita tentang : apakah hakikat
manusia, khususnya hakikat anak dan sifat-sifatnya, apakah sumber kebenaran
dan nilai-nilai yang hendaknya menjadi pegangan hidup kita, tentang apakah yang
baik, apakah hidup yang baik, apakah yang sebaiknya diajarkan kepada anak-
didik, apakah peranan sekolah dalam masyarakat, apakah peranan guru dalam
proses belajar mengajar, dan lain-lain.
Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang
apa yang mereka junjung tinggi. Filsafat yang kabur akan menimbulkan
kurikulum yang tidak menentu arahnya. Kini terdapat berbagai aliran filsafat,
masing-masing dengan dasar pemikiran tersendiri. Di sini akan kami bicarakan
dengan singkat beberapa buah yakni :
1. Aliran Perennialisme
Aliran ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui
pengetahuan yang "abadi, universal dan absolut" atau "perennial" yang ditemukan
dan diciptakan para pemikir unggul sepanjang masa, yang dihimpun dalam "the
Great Books" atau "Buku Agung". Kebenaran dalam buku itu bertahan teguh
terhadap segala perubahan zaman.
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subject atau mata
pelajaran yang terpisah sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan

seperti IPA atau IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat
mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia,
biologi yang diajarkan, sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni
rupa, olah raga sebaiknya dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk
pelajaran yang sulit karena memerlukan inteligensi tinggi. Kurikulum ini memberi
persiapan yang sungguhsungguh bagi studi di perguruan tinggi.
2. Aliran Idealisme
Filsafat ini berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari "atas", dari dunia
supranatural dari Tuhan. Boleh dikatakan hampir semua agama menganut filsafat
idialisme. Kebenaran dipercayai datangnya dari Tuhan yang diterima melalui
wahyu. Kebenaran ini, termasuk dogma dan norma-normanya bersifat mutlak.
Apa yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup ialah memenuhi
kehendak Tuhan.
Filsafat ini umumnya diterapkan di sekolah yang berorientasi religius.
Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah dan
membaca Kitab Suci. Biasanya disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi
hukuman yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari sekolah. Namun
pendidikan intelektual juga sangat diutamakan dengan menentukan standar mutu
yang tinggi.
3. Aliran Realisme
Filsafat realisme mencari kebenaran di dunia ini sendiri. Melalui
pengamatan dan penelitian ilmiah dapat ditemukan hukumhukum alam. Mutu
kehidupan senatiasa dapat ditingkatkan melalui kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tujuan hidup ialah memperbaiki kehidupan melalui
penelitian ilmiah.
Sekolah yang beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah
mantap sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistemetis dalam
berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran. Di sekolah akan dimulai dengan teori-
teori dan prinsip-prinsip yang fundamental, kemudian praktik dan aplikasinya.

Karena mengutamakan pengetahuan yang esensial, maka pelajaran
"embel-embel" seperti keterampilan dan kesenian dianggap tidak perlu.
Kurikulum ini tidak memperhatikan minat anak, namun diharapkan agar
menaruh minat terhadap pelajaran akademis. Ia harus sungguh-sungguh
mempelajari buku-buku berbagai disiplin ilmu. Penguasaan ilmu yang banyak
berkat studi yang intensif adalah persiapan yang sebaik-baiknya bagi lanjutan
studi dan kehidupan dalam masyarakat. Dapat dibayangkan banyaknya murid
yang tidak mampu mengikuti studi akademis serupa ini.
4. Aliran Pragmatisme"
Aliran ini juga disebut aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan
berpendapat bahwa kebenaran adalah buatan manusia berdasarkan
pengalamannya. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran adalah tentatif dan dapat
berubah. Yang baik, ialah yang berakibat baik bagi masyarakat. Tujuan hidup
ialah mengabdi kepada masyarakat dengan peningkatan kesejahteraan manusia.
Tugas guru bukan mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan,
melainkan memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan
guna memecahkan masalah, atas dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat
di lakukan oleh anak sendiri, bukan karena "dipompakan ke dalam otaknya".
Yang penting ialah bukan "what to think" melainkan "how to think" yakni melalui
pemecahan masalah. Pengetahuan diperoleh bukan dengan mempelajari mata
pelajaran, melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan
masalah.
Aliran pragmatisme sering sejalan dengan aliran rekonstruksionisme yang
berpendirian bahwa sekolah harus berada pada garis depan pembangunan dan
perubahan masyarakat. Sekolah ini menjauhi indoktrinasi dan mengajak siswa
secara kritis menganalisis isu-isu sosial.
Dalam perencanaan kurikulum orangtua dan masyarakat sering dilibatkan
agar dapat memadukan sumber-sumber pendidikan formal dengan sumber sosial,

politik dan ekonomi guna memperbaiki ekonomi kondisi hidup manusia. Banyak
di antara penganut aliran ini memandang sekolah sebagai masyarakat kecil.
5. Aliran Eksistensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu sebagai faktor dalam menentukan apa
yang baik dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan
ditentukan masing-masing secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan
menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri,
merealisasikan diri.
Sekolah yang berdasarkan eksistensialisme mendidik anak agar is
menentukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas orang lain. Ia
hrus bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggungjawab.
Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-
lain dari pihak luar. Anak harus mencari identitasnya sendiri, menentukan
standardnya sendiri dan kurikulumnya sendiri. Dengan sendirinya mereka tidak
dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.
Dari segala mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang paling menarik
mereka Pendidikan moral tidak diajarkan kepada mereka, juga tidak ditetapkan
aturan-aturan yang harus mereka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat
non-directive, di mana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan
tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak.
Cicero memandang filsafat sebagai ilmu tentang hal-hal yang semuluk-
muluknya. Filsafat ialah "induk segala ilmu". Tujuan filsafat ialah membentuk
suatu pandangan yang sistematis tantang keseluruhan ilmu. Ini berarti bahwa
seorang ahli filsafat harus dapat mencernakannya dan mengasimilasikannya
berkat proses yang disebut berpikir. Pekerjaan ini sangat sulit dan tak mungkin
dilakukan oleh setiap orang biasa. Ilmu pengetahuan dewasa ini sangat luas dan
pelik dan tak mungkin lagi bagi seorang untuk menguasainya, bahkan satu cabang
disiplin ilmu sekalipun sulit dikuasai sepenuhnya. Dalam arti ini, tak mungkin
setiap orang mempunyai filsafat. Dan bila dikatakan bahwa tiap guru harus
mempunyai filsafat, maka kata itu digunakan dalam arti yang berlainan, yakni

sebagai "suatu sistem nilai-nilai", suatu pandangan hidup. Manusia telah
menemukan tenaga atom berkat kemajuan ilmu pengetahuan, akan tetapi bila
ditanya, untuk apakah tenaga itu digunakan, untuk perang yang dapat
menghancurkan umat manusia atau untuk peningkatan kehidupan manusia, maka
kita memasuki lapangan nilai-nilai atau filsafat. Ilmu menemukan pengetahuan
dan teknologi, akan tetapi penggunaannya ditentukan oleh filsafat atau nilai-nilai.
Kalau filsafat di tafsirkan sebagai sistem nila-nilai, apakah setiap orang
dapat mempunyai suatu filsafat sendiri? Filsafat dengan pengertian ini telah ada
sejak ada manusia di bumi ini, sejak Adam dan Hawa. Dalam arti ini filsafat
bukanlah sesuatu yang maha-sulit dan pelik, melainkan sesuatu yang biasa yang
dapat dimiliki setiap orang yang berpikir dan mencoba menafsirkan makna dan
nilai hidup bagi dirinya, dan mencari suatu sistem nilai-nilai yang menjadi
pegangannya dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya dan dengan
demikian memberi corak tertentu kepada kelakuannya. Filsafat ialah pendapat
yang sejujur-jujurnya tentang makna hidup baginya.
Walaupun tiap orang pernah berpikir tentang apa arti hidup ini baginya,
belum tentulis dikatakan mempunyai suatu filsafat hidup. Sering seorang kurang
sadar dan kurang jelas mengetahui nilai-nilai apa yang dianutnya. Pandangan
hidup kabur, tak konsisten, tak berakar prinsip-prinsip yang jelas. Kelakuannya
tidak menunjukkan corak tertentu.
Filsafat ialah sesuatu yang menunjukan suatu sistem, yang dapat
menentukan arah hidup dan serta menggambarkan nilai-nilai apa yang paling
dihargai dalam hidup seseorang. Filsafat serupa inilah yang harus dimiliki setiap
guru, setiap pendidik, agar dapat membantu anak membentuk pandangan hidup
yang sehat. Dalam filsafat gurulah terkandung gambaran tentang masyarakat yang
akan dibangun, manusia apakah yang harus dibentuk, kurikulum apakah yang
akan digunakan. Tujuan, metode, alat pendidikan, pandangan tentang anak,
ditentukan oleh filsafat yang dianutnya. Pendidikan yang diberikan berdasarkan
filsafat tidak merupakan rangkaian perbuatan mekanis yang lepas-lepas akan
tetapi merupakan suatu kebulatan mengarah kepada tujuan tertentu.

Sekolah tanpa filsafat laksana kapal tanpa kemudi. Filsafat yang berbeda
atau bertentangan di kalangan pendidik tak akan membawa bahtera pendidikan ke
arah tujuan tertentu.
Segala keputusan yang diambil mengenai pendidikan atau kurikulum, bila
ditelusuri secara lebih mendalam, mempunyai dasar filosofis. Sering filsafat yang
mendasarinya tidak dinyatakan secara eksplisit. Keputusan tentang PPSI, CBSA,
muatan lokal, pendidikan dasar 9 tahun, tentu ada dasar falsafahnya. Demikian
pula di dalam kelas, bila guru menghukum atau memuji anak, menjalankan
disiplin keras atau lunak, mendorong atau melarang anak menjadi penyanyi,
membolehkan anak-anak bekerja sama, menyuruh anak mencari data dari
lapangan, di belakang tindakan itu ada falsafahnya. Tentu diharapkan agar
tindakan itu mempunyai dasar filosofis yang konsisten.
APAKAH GUNA FILSAFAT PENDIDIKAN?
Pentingnya filsafat bagi pendidikan nyata bila kita ketahui besar
manfaatnya bagi kurikulum yakni :
1. Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing.
Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik
anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat
itu. Jadi filsafat menentukan tujuan pendidikan.
2. Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil
pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.
3. Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk
mencapai tujuan itu.
4. Filsafat memberi kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-
lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
5. Tujuan pendidikan memberi petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana
tujuan itu telah tercapai.
6. Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar mengajar, bila jelas
diketahui apa yang ingin dicapai.
FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA

Tujuan pendidikan, yang ingin dicapai dengan pendidikan ditentukan oleh
filsafat yang dianut oleh pemerintah, atau penguasa dalam suatu negara. Kalau
pemerintahan bertukar, dengan sendirinya tujuan pendidikan pun berubah sama
sekali.
Pemerintah Belanda yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad
menganut paham imperialisme dan kolonialisme yang bertujuan untuk
mempertahankan agar lebih lama dapat memperoleh keuntungan dari tanah
jajahannya antara lain dengan menghalangi, memperlambat, atau sangat
membatasi pendidikan bagi orang Indonesia. Kebanyakan anak yang bersekolah
hanya di sekolah desa yang boleh dikatakan tak mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pelajaran. Segelintir anak dibolehkan memasuki sekolah yang
berbahasa Belanda akan tetapi jalan ke sekolah lanjutan sangat dipersempit.
Bahasa Belanda digunakan untuk menahan orang lolos ke sekolah yang lebih
tinggi. Adanya sekolah lanjutan hanya karena keperluan mereka akan pegawai di
kantor pemerintah atau swasta. Kurikulum di sekolah yang berbahasa Belanda
sama dengan yang apa yang berlaku di negeri Belanda sendiri. Untung masih bisa
lolos beberapa anak Indonesia untuk mengecap pendidikan tinggi, antara lain
Soekarno, Hatta dan lain-lain yang berhasil menghentikan penjajahan dari bumi
Indonesia ini.
Jepang yang kemudian menduduki negara kita, segera menghapus segala
sisa-sisa pendidikan yang berbau Belanda. Bahasa Jepang di ajarkan sebagai
pengganti bahasa Belanda dan mujurnya bahasa Indonesia menjadi bahasa
pengantar di semua tingkatan sekolah. Latihan militer diberikan untuk membantu
mereka dalam mempertahankan jajahannya. Hormat terhadap kaisar Jepang di
tanamkan dalam upacara-upacara.
Kemerdekaan Indonesia yang kita rebut dari tangan penjajah, merombak
sistem pendidikan secara radikal dengan mendasarkannya atas filsafat bangsa kita,
yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan
Negara.
PANCASILA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN

Pancasila yang kita akui dan terima sebagai filsafat dan pandangan hidup
bangsa kita, yang dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dijadikan pula
filsafat pendidikan kita.
Seperti dinyatakan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1968, Pancasila
adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan negara kita. Di samping itu, bagi kita
Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Kesadaran dan cita-
cita moral Pancasila sudah berurat berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia,
yang
mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan, jika dapat
dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia secara
pribadi, dalam hubungan dengan alam, dalam hubungan manusia dengan
Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah, dan kebahagiaan rohaniah.
Seperti kita ketahui, Pancasila terdiri atas :
1. Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Walaupun Pancasila dirumuskan menjelang kemerdekaan kita, pada
hakikatnya ia telah hidup dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu kala dalam
moral, adat istiadat, dan kebiasaan bangsa kita. " Dengan adanya kemerdekaan
Indonesia, maka Pancasila itu bukanlah lahir, atau baru dijelmakan, tetapi sebe-
narnya, dengan adanya kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, Pancasila itu
bangkit kembali " ( M. Nasroen, dalam Pantjasila Pusaka Lama , 1954 )
Oleh sebab Pancasila diakui sebagai pandangan hidup bangsa, maka sudah
seharusnya prinsip-prinsip itu di sampaikan kepada generasi muda melalui
pendidikan dan pengajaran.

Dalam undang-undang tentang dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah, bab III, pasal 4, tercantum :
" Pendidikan dan pengajaran berdasarkan asas-asas yang termaktub dalam
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas
kebudayaan kebangsaan Indonesia" .
Asas-asas itu seyogianya diwujudkan dalam pendidikan di sekolah
maupun di luar rumah. Asas-asas yang masih bersifat umum itu masih perlu
diuraikan agar lebih jelas untuk dijadikan pedoman dalam pendidikan.
Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Agama sering merupakan pokok persengketaan antara manusia dengan
sesamanya, bahkan sejak berabad-abad hingga sekarang bangsa-bangsa
bersengketa karena perbedaan agama dan menimbulkan banyak penderitaan,
walaupun tiap agama pada prinsipnya tidak menganjurkan penganutnya untuk
menyakiti orang lain.
Perbedaan agama juga terdapat di Indonesia, namun senantiasa hidup
damai berdampingan. Perang agama seperti terdapat di benua lain tidak pernah
kita kenal di Tanah air kita. Bahkan saling membantu mendirikan mesjid atau
gereja oleh orang sekampung yang berbeda agama bisa terjadi. Agama tidak
menimbulkan keretakan dalam agama dan adat-istiadat.
Pancasila menjamin hak setiap warga Indonesia memuja Tuhan dan
memeluk agamanya masing-masing. Bahwa agama dipentingkan oleh pemerintah
nyata dengan diwajibkannya pelajaran agama di sekolah, dari SD sampai
Perguruan Tinggi. Sekolah berkewajiban membantu anak-anak hidup menurut
agamanya sambil memupuk rasa toleransi, pengertian dan rasa hormat terhadap
penganut agama lain.
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, yang juga dinamakan "Ekaprasetia
Pancakarsa", memberi petunjuk nyata dan jelas tentang wujud kelima sila dalam
Pancasila.

Mengenai sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa diberi uraian sebagai berikut :
(1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
(2) Hormat-menghormati dan bekerja-sama antara pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
(3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
(4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nasionalisme yang melewati batas, yakni " chauvinisme" dapat
mengandung bahaya, karena mendewakan negara sendiri sambil memandang
rendah terhadap bangsa-bangsa lain. Nasionalisme yang berlebihan sering
menimbulkan peperangan dan karena itu harus dibatasi. Kerja sama antar bangsa
menjadi syarat mutlak bila kita ingin mencegah pemusnahan umat manusia dari
permukaan bumi ini. Sila Kemanusiaan dalam Pancasila menghargai manusia dan
menghormati setiap bangsa. Atas dasar Kemanusiaan kita turut berusaha
memelihara perdamaian dunia.
Soal dunia adalah soal tiap negara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi menciutkan segala jarak dan membuat dunia ini relatif kecil, sehingga
apa yang terjadi di suatu negara mempengaruhi bagian-bagian lain di dunia.
Masalah ledakan penduduk, populasi udara dan lautan, percobaan bom atom,
menipisnya lapisan ozon, menjadi masalah bagi semua negara, termasuk kita di
Indonesia.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab diuraikan sebagai berikut :
(1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia.
(2) Saling mencintai sesama manusia.
(3) Mengembangkan sikap tenggang rasa.
(4) (Tak) semena-mena terhadap orang lain.

(5) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
(6) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(7) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(8) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia,
karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan
bangsa lain.
Sila Persatuan Indonesia
Sila ini merupakan dorongan yang kuat dalam membebaskan Tanah Air
kita dari belenggu penjajahan dan kolonialisme. Sila ini dianggap sangat penting
dalam menciptakan pendidikan nasional. Kesatuan Bangsa dan Negara merupakan
syarat mutlak dalam pembangunan negara kita. Telah sering kesatuan negara kita
diancam oleh perpecahan, namun tetap tegak teguh dengan perkasa. Sekolah
berkewajiban untuk memupuk rasa kebangsaan, rasa kesatuan dan persatuan
dalam hati sanubari tiap anak. Mereka harus dengan rasa bangga dapat
mengatakan ''Saya anak Indonesia" dari daerah mana pun mereka berasal.
Memupuk rasa persatuan sangat mutlak diperlukan, karena keadaan
geografis Indonesia, yang terdiri atas ribuan pulau, tersebar dalam jarak
seperdelapan khatulistiwa, dihuni oleh penduduk yang mempunyai ratusan macam
bahasa dan adat istiadat yang terbentuk selama berabad-abad dalam keadaan
isolasi alamiah. Terbentuknya kesatuan dan persatuan sungguh merupakan suatu
prestasi nasional yang luar biasa, bila kita pikirkan bahwa negara lain yang kecil
namun dilanda oleh perpecahan yang menjerumuskan penduduk ke dalam jurang
kesengsaraan. Kesatuan Indonesia dibantu oleh alat komunikasi yang kian
canggih dan mendekatkan apa yang semula jauh.
Kesatuan bukanlah tujuan akan tetapi suatu jalan atau alat untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap bangsa Indonesia.
Sila Persatuan Indonesia selanjutnya diuraikan sebagai berikut :

(1) Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
(2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
(3) Cinta Tanah Air dan Bangsa.
(4) Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
(5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka
Tunggal Ika.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan.
Kerakyatan atau demokrasi sering ditafsirkan sebagai hak setiap warga
negara untuk memilih pemerintahan sendiri. Dasar ini mengakui, bahwa manusia
mempunyai hak yang sama untuk menentukan politik negara. Negara itu bukan
untuk dinikmati oleh hanya segelintir manusia yang berkuasa politis atau ekono-
mis, melainkan untuk kepentingan seluruh rakyat. Keputusan diambil berdasarkan
musyawarah, dengan jalan perundingan oleh wakil-wakil yang dipilih rakyat dan
tidak didiktekan oleh pihak atasan. Agar rakyat dapat mengeluarkan pendapat
secara bertanggung jawab, perlulah pendidikan.
Demokrasi dikatakan mempunyai tiga prinsip utama, yakni:
(1) Rasa hormat terhadap pribadi dan harkat manusia.
(2) Kepercayaan, bahwa setiap manusia biasa mempunyai pikiran yang sehat dan
dapat berpikir inteligen.
(3) Kerelaan berbakti kepada kesejahteraan bersama.
Demokrasi menjamin hak setiap warga negara, tanpa menghiraukan
kesukuan, agama, jenis kelamin, atau kedudukan. Hal ini antara lain dinyatakan
dalam Undang-Undang Dasar yang menyatakan, bahwa "Tidak seorang pun boleh
diperbudak, diperulur, atau diperhamba"
Asas ini mempunyai pengaruh penting dalam pendidikan, antara lain
dalam huhungan orang tua atau guru terhadap anak. Anak pun manusia penuh dan
harus dihormati pendapatnya, harus diberi kesempatan mengeluarkan pendapatnya
secara bebas, diturutsertakan dalam diskusi dalam hal-hal yang menyangkut

dirinya. Sikap demokrasi menghapuskan sisa-sisa sikap feodalisme dan
kolonialisme yang bertindak otokratis dan otoriter. Dalam metode mengajar pun
lebih banyak diadakan diskusi dalam suasana bebas namun berdisiplin. Anak
wanita diberi kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan apa pun
sampai tingkat yang setinggi-tingginya.
Sila ini selanjutnya diuraikan sebagai berikut :
(1) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
(2) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Dengan itikad baik dan tanggung-jawab menerima dan melaksanakan.
(6) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
(7) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mempunyai hak yang sama dalam memilih wakil rakyat belum cukup.
Setiap orang ingin agar kebutuhannya sehari-hari dipenuhi, seperti makan yang
cukup, pakaian, kesempatan berekreasi, memiliki rumah sendiri, menyekolahkan
anak sampai tingkat yang setinggi-tingginya, mendapatkan pekerjaan, dan
menikmati hari tua yang tenang.
Rakyat.kita masih banyak tergolong miskin, walaupun negara kita terkenal
sebagai negara yang kaya raya. Kekayaan melimpah, ekspor kita meningkat
secara drastis, namun pembagiannya belum merata, sehingga jurang kaya-miskin
kian melebar. Sila keadilan sosial menuntut agar kekayaan dan kemakmuran itu

merata bagi segenap rakyat kita. Akan tetapi di samping itu kita tidak boleh
enggan menyingsing lengan dan bekerja keras. Anak-anak dididik agar
menghormati setiap pekerjaan yang jujur dan tidak memandang rendah terhadap
pekerjaan dengan tangan. Anak juga harus diajar hidup hemat dengan menabung
untuk hari depan.
Akhirnya sila diuraikan lagi sebagai berikut :
(1) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
(2) Bersikap adil.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4) Menghormati hak-hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
(6) Menjauhkan sikap pemerasan terhadap orang lain.
(7) Tidak bersikap boros.
(8) Tidak bergaya hidup mewah.
(9) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
(10) Suka bekerja keras.
(11) Menghargai hasil karya orang lain.
(12) Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Agar Pancasila daya yang dinamis yang mewarnai seluruh tindakan kita,
kita masing-masing harus merenungkan, memahami, menghayatinya dengan
berpegang pada "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila" atau " Eka
Prasetia Pancakarsa ".
TUJUAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Dalam Tap. MPR No.II / MPR / 1988 tentang GBHN tercantum :
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras,
bertanggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan nasional harus juga mampu menumbuhkan dan memperdalam
rasa cinta kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar
dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap
serta perilaku yang inovatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu
mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri
serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.
Dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (pasal 4), tertera :
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan yang berbudi luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan rohani dan jasmani, berkepribadian
yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara, dasar pendidikan
Nasional adalah Falsafah Negara Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Pasal 3 mengatakan:
(1) Tujuan pendidikan Nasional adalah membentuk manusia pembangunan yang
berpancasila dan membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya,
memiliki pengetahuan dan keterthripilan, dapat mengembangkan kreativitas
dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh
tenggang rasa dapat mengembangkan kecerdasän yang tinggi dan disertai
budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan sesama manusia
sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar
1945.
(2) Seluruh program pendidikan terutama Pendidikan Umum dan bidang
studi Ilmu Pengetahuan Sosial, harus berisikan Pendidikan Moral
Pancasila dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa nilai-nilai
1945 kepada Generasi Muda.

Tujuan Pendidikan Nasional yang sangat umum itu diuraikan lebih lanjut
dalam tujuan institusional yakni tujuan yang harus dicapai oleh suatu jenis
sekolah tertentu. Bagi SMA misalnya tujuan institusional umum ialah agar
lulusannya:
a. Menjamin warga negara yang baik sebagai manusia yang utuh sehat, kuat lahir
dan batin.
b. Menguasai hasil-hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari
pendidikan di Sekolah Menengah Umum tingkat Pertama.
c. Memiliki bekal untuk melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan yang lebih
tinggi dengan menempuh :
1. program umum yang sama bagi semua siswa.
2. program pilihan bagi mereka yang mempersiapkan dirinya untuk studi di
lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
d. memiliki bekál untuk terjun ke masyarakat dengan mengambil keterampilan
untuk bekerja yang dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan minatnya dan
kebutuhan masyarakat.
Tujuan khusus pendidikan SMA adalah agar lulusan :
a. Di bidang pengetahuan :
1. Memiliki pengetahuan tentang agama atau kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar kenegaraan dan Pemerintahan
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Memiliki pengetahuan yang fungsional tentang fakta dan kejadian penting
yang aktual, baik lokal, regional, nasional, maupun internasional.
4. Menguasai pengetahuan dasar dalam bidang matematika, ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa (khususnya
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) serta menguasai pengetahuan yang
cukup lanjut dalam satu atau beberapa dari bidang pengetahuan tersebut di
atas.
5. Memiliki pengetahuan tentang berbagai jenis dan jenjang pekerjaan yang
ada di masyrakat serta syarat-syaratnya.

6. Memiliki pengetahuan tentang berbagai unsur kebudayaan dan tradisi
nasional.
7. Memiliki pengetahuan dasar tentang kependudukan, kesejahteraan
keluarga, dan kesehatan.
b. Di bidang keterampilan :
1. Menguasai cara belajar yang baik.
2. Memiliki keterampilan memecahkan masalah dengan sistematis.
3. Mampu membawa/memahami isi bacaan yang agak lanjut dalam bahasa
Indonesia dan bacaan sederhana dalam bahasa Inggris yang berguna
baginya.
4. Memiliki keterampilan mengadakan komunikasi sosial dengan orang lain,
lisan maupun tulisan dan keterampilan mengekspresi diri sendiri, lisan
maupun tertulis.
5. Memiliki keterampilan olah raga dan kebiasaan olah raga.
6. Memiliki keterampilan sekurang-kurangnya dalam satu cabang kesenian.
7. Memiliki keterampilan dalam segi kesejahteraan keluarga dan segi
kesehatan.
8. Memiliki keterampilan dalam bidang administrasi dan kepemimpinan.
9. menguasai sekurang-kurangnya satu jenis keterampilan untuk bekerja
sesuai dengan minat dan kebutuhan lingkungan.
c. Di bidang nilai dan sikap :
1. Menerima dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menerima dan melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang dianutnya, serta menghormati dan
kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa yang dianut orang lain.
3. Mencintai sesama manusia, bangsa, dan lingkungan sekitarnya.
4. Memilki sikap demokratis dan tenggang rasa.
5. Memiliki rasa tanggung jawab dalam pekerjaan dan masyarakat.
6. Dapat mengapresiasi kebudayaan dan tradisi nasional.
7. Percaya pada diri sendiri dan bersikap makarya.
8. Memiliki minat dan sikap positif terhadap ilmu pengetahuan.

9. Memiliki kesadaran akan disiplin dan patuh pada peraturan yang berlaku,
bebas dan jujur.
10. Memiliki inisiatif, daya kreatif, sikap kritis, rasional dan obyektif dalam
memecahkan persoalan.
11. Memiliki sikap hemat dan produktif.
12. Memiliki minat dan sikap yang positif dalam konstruktif terhadap olah
raga dan hidup sehat.
13. Menghargai setiap jenis pekerjaan dan prestasi kerja di masyarakat tanpa
memandang tinggi rendahnya nilai sosial/ekonomi masing-masing jenis
pekerjaan tersebut dan berjiwa pengabdian kepada masyarakat.
14. Memiliki kesadaran menghargai waktu.
Demikianlah secara lengkap tujuan institusional yang harus diwujudkan
kepada murid-murid SMA. Tujuan itu pun masih bersifat umum dan perlu
diuraikan lagi menjadi tujuan yang terperinci yakni : Tujuan kurikuler yaitu tujuan
yang harus dicapai oleh suatu program bidang studi, dan tujuan instruksional,
yang harus dicapai oleh suatu pelajaran.
Tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia pembangunan
yang ber-Pancasila, yang kemudian diuraikan dalam sejumlah butir-butir sebagai
penjelasan makna tiap sila, diuraikan selanjutnya dalam tujuan-tujuan yang lebih
kongkrit berupa tujuan-tujuan institusional, antara lain yang harus dicapai oleh
tiap tingkatan dan jenis sekolah. Tujuan-tujuan ini pun masih terlampau umum
untuk dapat diwujudkan dalam situasi kelas. Karena itu tiap tujuan institusional
masih perlu diuraikan dalam tujuan tiap bidang studi yang mempunyai tujuan
yang lebih spesifik, namun masih perlu lagi diperinci dalam tujuan-tujuan yang
dapat direalisasikan dalam kelas, yang masih dapat bersifat umum, yang disebut
Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Di
bawah ini kami berikan beberapa contoh TIU dan TIK.
Contoh 1.
Bidang Studi : Ilmu pengetahuan sosial
Mata Pelajaran : Ekonomi dan koperasi

Topik : Produksi nasional dan pendapatan Nasional
Kelas : I (satu)
Semester : 1 (pertama)
Waktu : 3 x45 menit
Tujuan Instruksional
1. Tujuan Instruksional Umum
Agar siswa mengetahui serta memahami Produksi Nasional dan Pendapatan
Nasional.
2. Tujuan Instruksional Khusus
1.1. Agar siswa dapat menjelaskan perbedaan dan persamaan antara Produksi
Nasional dan Pendapat Nasional.
1.2. Agar siswa dapat menyebutkan unsur dari Produksi Nasional dan
Pendapatan Nasional.
1.3. Agar siswa dapat menghitung Pendapatan Nasional.
1.4. Agar siswa dapat menyebutkan kegunaan pengetahuan besarnya
Pendapatan Nasional.
1.5. Agar siswa dapat mengukur tingkat kemakmuran suatu negara.
1.6. Agar siswa dapat menyebutkan akibat dari Pendapatan Nasional yang
konstan dari tahun ke tahun.
(Dikutip dari: Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975. Pedoman
Pelaksanaan Kurikulum, uku : III. A. 2, Model Satuan Pelajaran, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976, h. 156).
Contoh 2.
Bidang Studi : IPA
Mata Pelajaran : Biologi

Topik : Konsep tentang hidup, teori-teori tentang asal-usukl
kehidupan.
Kelas : I (satu)
Semester : 1 (pertama)
Waktu : 6 jam Pelajaran
Jumlah jam pelajaran yang 6 jam itu dialokasikan sebagai berikut : 3 jam
untuk pendahuluan dan 2 jam untuk sub pokok bahasan :
1. Asal kehidupan
2. Ciri-ciri mahluk hidup
3. Pembedaan antara biotik dan abiotik; sedang I jam pelajaran untuk
mengadakan evaluasi pokok bahasan tersebut di atas.
Tujuan Instruksional Khusus
1. Dihadapkan pada sejumlah perubahan situasi, siswa dapat menyebutkan sifat-
sifat tertentu yang merupakan sifat khas dari mahluk hidup.
2. Dihadapkan kepada sejumlah pernyataan, siswa memilih pernyataan tertentu
yang dikemukakan oleh Teori Generatio Spontanea.
3. Dihadapkan kepada sejumlah usaha untuk perkembangan teori tentang asal-
usul kehidupan, siswa dapat memilih usaha tertentu yang dicapai oleh
percobaan Pasteur.
4. Dihadapkan kepada sifat-sifat zat, siswa dapat memilih zat tertentu menjadi
alasan mengapa Stenley Miller menggunakan campuran air, amoniak„ dan
metan dalam eksperimennya.
5. Dihadapkan kepada sejumlah perubahan teori-teori asal-usul kehidupan, siswa
dapat menyebutkan perubahan tertentu yang diakibatkan oleh percobaan
Stenley Miller.
6. Dihadapkan kepada sejumlah nama orang yang berjasa dalam asal-usul
kehidupan, siswa dapat menunjukkan dengan tepat hasil penemuan tertentu
dari orang tersebut.
7. Dihadapkan kepada sejumlah kegiatan hidup, siswa dapat menunjukan dengan
tepat proses proses yang terganggu akibat kegiatan hidup tertentu.
(Kurikulum SMA, pedoman Pelaksanaan, hlm. 184).

Dalam contoh-contoh di atas kita lihat usaha untuk menguraikan tujuan
instruksional umum menjadi sejumlah tujuan instruksional khusus yang
diharapkan dapat mencapai apa yang terkandung dalam tujuan instruksional
umum, atau dalam topik bahasan. Selanjutnya diharapkan, bahwa tujuan
instruksional umum ini merupakan bagian dari tujuan bidang studi yang memberi
sumbangan kepada tujuan yang lebih tinggi yaitu pembentukan manusia
pembangunan yang ber-Pancasila. Walupun jauh jarak antara tujuan instruksional
khusus dengan tujuan pendidikan nasional, namun diharapkan bahwa setiap
tujuan, betapapun spesifiknya selalu merupakan bagian dan sumbangan kepada
tercapainya tujuan pendidikan nasional itu. Tiap tujuan kegiatan mengajar-belajar
di sekolah memperoleh maknanya dalam rangka tujuan pendidikan nasional itu.
Kita lihat di sini dari suatu usaha untuk memperoleh tujuan yang spesifik,
yang dirumuskan sebagai tujuan instruksional khusus. Dasar pikiran ialah bahwa
makin spesifik tujuan itu makin jelas diketahui metode untuk mencapainya dan
makin mudah pula hasil belajar dinilai sebagai umpan-balik atau feedback untuk
membantu anak memperbaiki kekurangannya.
Dengan sendirinya semua tujuan yang lebih khusus bertalian erat dengan
tujuan yang lebih umum, bahkan merupakan analisis yang makin terinci dari
tujuan yang lebih umum. Semua tujuan-tujuan yang khusus merupakan usaha
kearah tercapainya tujuan umum yang akhirnya menuju kepada wujudnya tujuan
pendidikan nasional.
MENGKHUSUSKAN TUJUAN
Sejak semula para ahli kurikulum menyadari perlunya merinci tujuan yang
bersifat umum menjadi tujuan yang lebih khusus. Tujuan pendidikan nasional
dikhususkan menjadi tujuan institusional, yaitu tujuan tiap lembaga pendidikan
dari SD sampai Perguruan Tinggi. Tujuan pendidikan institusional yang masih
sangat umum ini masih perlu diuraikan menjadi tujuan kurikuler dan selanjutnya
dalam tujuan instruksional umum lazim dikenal sebagai TIU dan tujuan
instruksional khusus atau TIK.

Buku pedoman kurikulum yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menguraikan tujuan sampai tingkat TIU, sehingga guru mendapat
kesempatan untuk merumuskan TIK. Di sini kita harus hati-hati dan jangan
memandang TIK sebagai tujuan yang terpenting yang harus dicapai. Kita keliru
bila menganggap bahwa tujuan yang harus dikejar guru adalah TIK. Tujuan
pendidikan apa yang ditentukan sebagai tujuan pendidikan nasional. Jadi TIK
harus dipandang sebagai langkah untuk mencapai TIU, dan TIU suatu langkah
pula guna mencapai tujuan kurikuler dan seterusnya sehingga segala usaha
sekolah akhirnya bermuara pada tujuan pendidikan nasional.
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Institusional
Tujuan Kurikuler
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Untuk merumuskan TIK kita dapat memperhatikan beberapa petunjuk
yang diberikan Robert F. Mager dalam buku Preparing Instructional Objectives
Pertama : Rumuskan TIK dalam bentuk kelakuan siswa. Ia harus dapat
memperlihatkan penguasaannya dalam kelakuan atau perbuatan yang dapat kita
amati, yang "observable" tapi juga yang "measurable" atau dapat diukur
keberhasilanya. Untuk itu kita harus menggunakan kata kerja tertentu yang
memungkinkan kita mengamati keberhasilannya belajar. Misalnya kata kerja
seperti dapat mengatakan, menggambarkan, menguraikan, memperdengarkan,
menunjukkan, dan sebagainya. Kata kerja seperti memahami, memikirkan,
mengerti, merasakan, dan lain-lain tak dapat dilihat sebab terjadi dalam diri siswa.

Kedua : Rumuskan pula kondisi-kondisi di mana kelakuan itu akan nyata,
misalnya dengan menggunakan kalkulator, mesin tulis, atlas, kamus, dan
sebagainya.
Ketiga : Rumuskan pula secara spesifik kriteria tentang tingkat
keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan itu. Misalnya dapat menyebut 9 dari
sepuluh butir, mengetik satu halaman dalam waktu tertentu dengan sebanyak-
banyaknya 2 salah.
Merumuskan tujuan secara spesifik sangat banyak faedahnya. Guru tahu
dengan jelas tujuan apa yang harus dicapainya, ia dapat menentukan bahan apa
yang harus diberikannya, ia juga dapat memilih metode mengajar yang lebih tepat,
dan ia dapat mengetahui hasil belajar siswa. Di lain pihak siswa pun tahu apa yang
harus dikuasainya. Karena penilain dapat dilakukan dengan segera, guru dapat
memberi balikan guna membantu siswa mengadakan perbaikan.
Namun demikian banyak pula kelemahanya. TIK sering berupa fakta,
informasi, pengetahuan, yakni tujuan kognitif yang paling rendah menurut
taksonomi Bloom. Hasil belajar banyak merupakan hafalan, sehingga kemampuan
berpikir kurang dikembangkan. Selain itu apa yang dipelajari berupa pengetahuan
yang lepas. Uraian TIU menjadi TIK dapat memecah kebulatan bahan pelajaran,
sehingga terjadi atomosasi pengetahuan. Selain itu hal-hal yang bersifat kognitif
seperti sikap tidak observable dan measitreable, dan karena itu akan diabaikan.
TIK berupa fakta dan informasi tidak mempunyai nilai transfer artinya tidak dapat
digunakan menghadapi situasi-situasi yang belum pernah dipelajari. Sistem ujian
kita sangat menyuburkan TIK dan oleh sebab hasil belajar berdasarkan TIK dapat
diamati dan diukur maka TIK digunakan untuk mengetahui prestasi sekolah,
kegiatan guru. Dengan ini guru dan kepala sekolah dapat di minta
pertanggungjawaban (accountability).
PERUMUSAN TUJUAN MENURUT HILDA TABA

Hilda Taba dalam Curriculum Development memberikan petunjuk-
petunjuk yang berikut dalam merumuskan tujuan, sebagai berikut:
Rumusan tujuan harus meliputi :
1. proses mental, yaitu metode untuk melakukan sesuatu
2. produk, bahan yang bertalian dengan itu.
Contoh : `"Memperoleh keterampilan menggunakan peta (proses) untuk
mencari ibukota negara-negara di Amerika Selatan (produk)". Memiliki
kesanggupan untuk membedakan (proses) fakta dan opini" (produk).
Sering rumusan tujuan itu kurang lengkap dan hanya mengemukakan satu
aspek, misalnya " keterampilan mengguna-kan peta", atau " kesanggupan
berpikir kritis". Jadi dalam merumuskan tujuan hendaknya sekaligus kita
cakup "mental process" dan "product of learning". Sering dipersoalkan, yang
manakah lebih penting, proses atau produk belajar.
Tujuan yang hanya berisi produk, akan mengutamakan penguasaan fakta,
informasi, atau pengetahuan. Proses mental seperti kesanggupan menganalisis,
menafsirkan, membandingkan, memecahkan masalah, atau berpikir logis
diabaikan. Ujian termasuk Ebtanas, sebagian besar mengenai produk dan
sangat minimal mengenai proses. Membuat butir-butir ujian dalam bentuk test
objektif lebih sukar dan penilaiannya juga lebih sulit.
3. Tujuan yang kompleks harus lebih dispesifikkan, sehingga lebih jelas bentuk
kelakuan yang diharapkan. Misalnya, "mengapresiasi kesenian" yang
terlampau umum dapat lebih dikhususkan menjadi " mengapresiasi tari Bali".
4. Dalam merumuskan tujuan harus dinyatakan bentuk kelakuan yang
diharapkan dari kegiatan belajar itu. Mempelajari agama-agama lain tidak
dengan sendirinya memupuk sikap toleransi sebagai basil belajar sampingan
atau apa disebut "concomitant learning". Kita harus secara khusus menye-
butkan toleransi sebagai tujuan yang ingin kita capai dan memberikan
kegiatan-kegiatan belajar yang serasi untuk menimbulkan sikap itu.
5. Tujuan sering bersifat " development", yaitu tidak dapat dicapai sekaligus,
akan tetapi harus dikembangkan secara kontinu. Misalnya, " berpikir kritis"

atau " kesanggupan memecahkan masalah" memerlukan waktu yang lama agar
tercapai. Ada tujuan yang sangat spesifik yang dapat tercapai dalam waktu
singkat. Akan tetapi kita keliru bila kita anggap bahwa semua tujuan bersifat
terminal dan segera terpenuhi. Ada tujuan yang mungkin tidak tercapai selama
belajar di sekolah, bahkan ada pula yang tak dapat tercapai sepenuhnya selama
hidup, seperti kerelaan berkorban untuk sesama manusia, menyerahkan diri
sepenuhnya kepada kehendak Tuhan, demikian pula prinsip-prinsip ideal
lainnya.
6. Tujuan hendaknya realistis, dalam arti bahwa tujuan itu benar-benar dapat
dicapai anak pada tingkat dan usia tertentu, atau selama jam pelajaran, atau
selama belajar di sekolah itu. Tujuan yang sangat indah kedengaran, akan
tetapi tidak mungkin terwujudkan, sebaiknya jangan dijadikan tujuan
pelajaran. Karena itu kita harus tahu batas-batas kemampuan anak berdasarkan
studi tentang anak dan pengalaman. Adakalanya terlampau tinggi kita perk
irakan kesanggupan anak, akan tetapi sering pula terlampau rendah.
Adakalanya anak-anak telah pandai membaca sebelum masuk sekolah, akan
tetapi ia masih harus mengikuti pclajaran membaca permulaan, yang sangat
membosankannya.
7. Tujuan harus meliputi segala aspek perkembangan anak yang menjadi
tanggung jawab sekolah. Pada umumnya tujuan itu meliputi aspek kognitif,
nilai dan sikap serta keterampilan psikomotoris.
PENGKHUSUSAN TUJUAN MENURUT BENYAMIN BLOOM
Dalam perumusan tujuan, para penyusun kurikulum banyak memperoleh bantuan
dari buku Taxonomy of Educational Objectives (1956) oleh Benjamin Bloom,
cs,. Mereka membagi tujuan-tujuan pendidikan dalam tiga ranah (domain), dan
tiap ranah dirinci lagi dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik yang hierarkis.
A. Tujuan-tujuan Kognitif
Ranah kognitif atau cognitive domain meliputi segi intelektual dan proses
kognitif, yakni :

1. Mengetahui, yakni mempelajari dan mengingat fakta, kata-kata, istilah,
peristiwa, konsep, prinsip, aturan, kategori, metodologi, teori, dan sebagainya.
2. Memahami, yakni menafsirkan sesuatu, menterjemahkannya dalam bentuk
lain, menyatakannya dengan kata-kata sendiri, mengambil kesimpulan
berdasarkan apa yang diketahui, menduga akibat sesuatu berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki, dan sebagainya.
3. Menerapkan, yaitu menggunakan apa yang dipelajari dalam situasi baru,
mentransfer.
4. Menganalisis, yaitu menguraikan suatu keseluruhan dalam bagian-bagian
untuk melihat hakikat bagian-bagiannya serta hubungan antara bagian-bagian
itu.
5. Mensintesis, yaitu menggabungkan bagian-bagian dan secara kreatif
membentuk sesuatu yang baru.
6. Mengevaluasi, yakn menggunakan kriteria untuk menilai sesuatu.
B. Tujuan-tujuan Afektif
Ranah afektif atau, affective domain, berkenaan dengan kesadaran akan
sesuatu, perasaan, dan penilaian tentang sesuatu.
1. Memperhatikan, menunjukkan minat, sadar akan adanya suatu gejala, kondisi,
situasi, atau masalah tertentu, misalnya keindahan dalam musik gamelan, atau
arsitektur gedung lama. Ia menunjukkan kesediaannya untuk mendengarnya
atau melihatnya dan tidak mengelakkannya.
2. Merespons atau memberi reaksi terhadap gejala, situasi, atau kegiatan itu
sambil merasa kepuasan.
3. Menghargai, menerima suatu nilai, mengutamakannya, bahkan menaruh
komitmen terhadap nilai itu. Ia percaya akan kebaikan nilai itu dan rela untuk
mempertahankannya.
4. Mengorganisasi nilai dengan mengkonsepsualisasi dan mensistematisasinya
dalam pikirannya.
5. Mengkarakterisasi nilai-nilai, menginternalisasinya, menjadikannya bagian
dari pribadinya dan menerimanya sebagai falsafah hidupnya.

C. Tujuan-tujuan Psikomotor
Ranah psikomotor atau psycho-motor domain, meliputi tingkat kegiatan
yang berikut:
1. Melakukan gerakan fisik seperti berjalan, melompat, berlari, menarik,
mendorong, dan memanipulasi.
2. Menunjukan kemampuan perseptual secara visual, auditif, taktial, kinestetik,
serta mengkordinasi seluruhnya.
3. Memperlihatkan kemampuan fisik yang mengandung ketahanan kekutan,
kelenturan, kelincahan dan kecepatan bereaksi.
4. Melakukan gerakan yang terampil serta terkordinasi dalam permainan, olah
raga, dan kesenian.
5. Mengadakan komunikasi non-verbal, yakni dapat menyampaikan pesan
melalui gerak muka, gerakan tangan, penampilan, dan ekspresi kreatif seperti
tarian.
Buah pikiran Bloom cs menjadi populer setelah timbul aliran dalam
pendidikan ke arah pengkhususan tujuan, sehingga hasil belajar dapat diamati dan
diukur.
Ketiga ranah itu saling berhubungan sebagai aspek kelakuan manusia.
Pengetahuan selalu memerlukan keterampilan misalnya keterampilan membaca,
berpikir, dan lain-lain dan disamping itu juga minat dan penghargaan (afektif)
tentang apa yang dipelajari. Demikian pula apresiasi musik tak lepas dari
pengetahuan dan keterampilan berkenaan dengan musik. Dalam pengajaran ketiga
aspek itu perlu mendapat perhatian. Selain memberi pengetahuan tentang suatu
bidang studi sebaiknya juga dipupuk sikap positif terhadap bidang studi itu serta
keterampilan yang terkait. Sering ketiga ranah itu dipisah-pisahkan dalam
merumuskan tujuan instruksional khusus.
Rincian tiap ranah mempunyai hierarki. Misalnya dalam ranah koqnitif,
pemahaman lebih "tinggi" daripada pengetahuan penerapan, lebih tinggi dari pada
pemahaman, dan seterusnya. Demikian pula halnya dengan rincian ranah-ranah
lainnya .

BEBERAPA TUJUAN PENDIDIKAN LAINNYA
Pada tahun 1859 seorang yang bernamaa Herbert Spencer yang pada
dasarnya bukan pendidik dan juga tidak mengecap pendidikan formal secara
teratur jadi lebih merupakan otodidak, mengajukan pertanyaan yang sangat
penting, yang hingga sekarang masih harus dipertimbangkan oleh setiap
pengembangan kurikulum: " What knowledge is of most worth?". Pengetahuan
apa yang paling berharga? Apa yang harus diajarkan yang paling berharga bagi
kehidupan seseorang? Ia menganjurkan hal-hal yang berikut:
1. Self-preservation, hal-hal yang bertalian dengan usaha melangsungkan hidup,
seperti hidup sehat, mencegah penyakit, hidup teratur, melindungi diri
terhadap gangguan yang datang dari alam, dari manusia lainnya, dari berbagai
situasi hidup, dan lain-lain.
2. Securing the necessities of life, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
hidup dengan melakukan pekerjaan.
3. Rearing a family, mengurus dan memelihara rumah tangga, bertanggung
jawab atas pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
4. Maintaining proper social and political relationship yaitu memelihara
hubungan baik dengan masyarakat dan memenuhi kewajibannya terhadap
negara.
6. Enjoying leisure time yaitu memanfaatkan waktu senggang untuk
menikmatinya dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan.
Hal-hal yang dikemukakan Herbert Spencer ini kira-kira satu setengah
abad yang lalu, masih berlaku sampai sekarang dan sering dipertimbangkan dalam
pengembangan kurikulum. Di sini Herbert Spencer sangat mengutamakan
relevansi pendidikan. Banyak yang diajarkan di sekolah yang tidak jelas apa
kaitannya dengan kehidupan anak sehari-hari. Alasan memberinya ialah bahwa
pelajaran itu berguna kelak bila melanjutkan pelajaran.
Tujuan pendidikan yang juga cukup terkenal ialah The Seven Cardinal
Principles yaitu tujuh prinsip yang pokok, sebagai berikut :
1. Health (kesehatan),

2. Command of fundamental processes (penguasaan keterampilan fundamental
seperti membaca, menulis, berhitung).
3. Worthy home membership (menjadi anggota keluarga yang berharga).
4. Vocational efficiency (efisiensi dalam pekerjaan).
5. Citizenshop (kewarganegaraan).
6. Worthy use of leisure (penggunaan waktu senggang secara bermanfaat),
7. Satisfaction of relegious needs (pemuasan kebutuhan keagamaan) (1918).
Kita lihat banyak persamaannya dengan apa yang dianjurkan oleh Herbert
Spencer sebelumnya.
Selanjutnya akan kami berikan tujuan-tujuan pendidikan menurut
Educational Policies Commission (1938), yaitu :
1. Self-realization, perwujudan pribadi.
2. Human relationship, hubungan antar-manusia
3. Economic efficciency, efisiensi ekonomi.
4. Civic responsibility, tanggung jawab warga negara.
Setiap tujuan masih diuraikan lebih lanjut. Misalnya “economic
efficiency" dirinci sebagai berikut. Produsen yang terdidik merasakann kepuasan
atas pekerjaan yang baik, mengetahui syarat-syarat dan kesempatan kerja,
memilih jabatan yang tepat, mencapai kemajuan dalam jabatan yang dipilih,
memelihara dan mempertinggi tingkat efisiensi kerja, menghargai nilai sosial
pekerjaan. Sebagai konsumen yang terdidik is merencanakan ekonomi hidupnya
sendiri, membentuk norma-norma guna mengatur pengeluarannya, merupakan
pembeli yang tahu dan cakap, mengambil tindakan yang tepat untuk menjaga
kepentingannya.
Tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas hanya sekadar bahan
perbandingan dengan kurikulum kita.
RANGKUMAN

1. Filsafat ialah ilmu yang mencari kebenaran sampai akar- akarnya, jadi suatu
kegiatan intelektual. Dalam pengembangan kurikulum biasanya
dipandang sebagai sistem nilai-nilai.
2. Tujuan pendidikan ditentukan oleh filsafat suatu bangsa.
3. Walapun setiap orang mengenal nilai-nilai, agar dapat dikatakan is
mempunyai filsafat nilai-nilainya itu harus merupakan suatu sistem, jadi
konsisten dan saling berhubungan.
4. Dalam kurikulum sering tercantum tujuan-tujuan yang muluk-muluk tetapi
belum tentu dapat direalisasikan. Jadi keadaan sekolah tidak memberi
gambaran tentang keadaan yang sebenarnya.
5. Filsafat bangsa dan negara dengan sendirinya menjadi tujuan pendidikan
nasional serta harus pula menjadi filsafat para pengembang kurikulum
dan juga guru dalam pelaksanaannya.
6. Filsafat pendidikan harus menjadi "way of life" yang diterapkan dalam
lingkungan sekolah.
7. Tujuan pendidikan nasional sangat umum dan masih perlu diuraikan
menjadi tujuan institusional, kurikuler, tujuan instruksional umum
dan khusus.
8. Tujuan pendidikan kita didasarkan atas Pancasila, UUD 1945, dan
GBHN. Setiap guru harus mempunyai gambaran yang jelas tentang
dasar-dasar pendidikan nasional itu, agar semua pelajaran diarahkan
guna membentuk manusia yang dicita-citakan.
9. Untuk membentuk manusia seutuhnya harus diperhatikan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor dalam segala tingkatannya.
10. Benjamin Bloom membantu dalam merumuskan tujuan yang lebih
spesifik dalam ketiga ranah.
11. Hilda Taba mempersyaratkan agar dalam rumusan tujuan tercakup
proses dan produk.
12. Herbert Spencer menganjurkan tujuan-tujuan yang relevan dengan
kehidupan manusia sehari-hari. Buah pikirannya itu masih berpengaruh

sampai sekarang.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apakah pengertian Saudara tentang filsafat?
2. Apakah menurut Saudara setiap orang mempunyai filsafat? Coba
selidiki pada orang-orang di sekitar Saudara apakah mereka dapat
dikatakan mempunyai suatu filsafat?
3. Norma-norma biasanya diperoleh dari berbagai sumber, seperti agama,
falsafah negara, adat-istiadat, pengalaman pribadi, dan lain-lain. Coba
tuliskan norma-norma yang Saudara junjung tinggi. Diskusikan
dengan teman.
4. Apakah guna filsafat bagi pendidikan. Tunjukkan bagaimana filsafat itu
diterapkan dalam kurikulum kita.
5. Tunjukkan perbedaan kurikulum berhubungan dengan peredaan filsafat
pendidikan sebelum dan sesudah kemerdekaan.
6. Bagaimana gambaran Saudara tentang manusia yang demokratis?
Apakah sifat-sifat itu telah nyata di sekolah? Masih adakah pengaruh
feodalisme dalam masyarakat kita?
7. Bagaimana pendapat Saudara tentang tujuan-tujuan yang dikemukakan
Herbert Spencer, the Seven Cardinal Principles, dan Educational
Policies Commission? Adakah yang dapat atau tidak dapat Saudara
terima? Apa alasan Saudara.
8. Bagaimanakah pandangan Saudara tentang manusia Pancasila?
Apakah telah melihatnya dalam kenyataan?
9. Diskusikan tujuan pendidikan nasional dalam Kurikulum SMA.
10. Bandingkan tujuan institusional bagi SD, SMP, dan SMA. Perhatikan
persamaan dan perbedaannya. Selidiki hingga mana tujuan-tujuan itu
telah di liputi oleh bidang studi yang diberikan di berbagai tingkatan sekolah.

11. Hingga manakah TIK harus dikhususkan, misalnya " agar anak dapat
mengatakan beberapa tugas wall kota, agar anak dapat menyebut nama wall
kota, agar anak mengenal gambar wali kota, agar anak dapat men gatakan usia
wali kota, agar anak dapat mengatakan alamat wall kota. Apakah pengkhu-
susan TIK tidak dapat berlebihan?
12. Apakah kebaikan dan kelemahan TIK? Manakah lebih pen- ting, TIK atau
TIU? Bagaimana hubungan timbal balik antara TIK dan TIU?
13. Berikan sejumlah petunjuk tentang perumusan TIK.
14. Bagaimana syarat yang diajukan Hilda Taba dalam merumuskan tujuan
pelajaran. Beri pendapat Saudara.
15. Pilih satu TIU, lalu rumuskan TIK-nya. Minta teman lain juga melakukannya.
Diskusikan.
16. Selidiki tujuan-tujuan pelajaran, lalu tinjau dari segi taksonomi Bloom, baik
mengenai ranahnya maupun tentang tingkatannya.
17. Bagaimanakah dapat Saudara ketahui ada tidaknya kesamaan antara tujuan
guru dan tujuan siswa. Diskusikan bila ada persamaan dan perbedaannya.

BAB 3
ASAS PSIKOLOGIS KURIKULUM
DAN PSIKOLOGIS BELAJAR
PENDAHULUAN
Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum pengetahuan tentang
psikologi anak dan bagaimana anak belajar, sangat diperlukan, antara lain dalam
1. seleksi dan organisasi bahan pelajaran,
2. menentukan kegiatan belajar yang paling serasi,
3. merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai.
Apa yang akan dipelajari memerlukan pengenalan perkembangan anak,
akan tetapi bagaimana anak belajar membutuhkan pengetahuan tentang berbagai
teori belajar. Walaupun telah banyak diketahui tentang belajar, namun masih
banyak yang belum diketahui, masih belum jelas betul secara terinci apa yang
harus dilakukan agar anak belajar. Hal ini antara lain disebabkan penelitian dan
eksperimen tentang belajar yang dilakukan dalam laboratorium yang terbatas
jumlah variabelnya, yang sering dilakukan terhadap binatang, jadi jauh berbeda
dengan situasi belajar di dalam kelas. Selain itu yang diselidiki kebanyakan ialah
belajar pada tingkatan mental rendah, sedangkan belajar pada tingkatan mental
tinggi masih memerlukan penelitian yang lebih banyak.
Belajar itu ternyata sangat kompleks. Apa yang dipelajari bermacam-
macam. Ada bedanya belajar fakta atau informasi, lain belajar memecahkan
masalah, lain pula mempelajari nilai-nilai. Tak ada satu teori belajar yang dapat
mencakup segala macam jenis belajar. Banyak macam teori belajar seperti teori
ilmu jiwa atau daya atau mental disiplin, teori S-R yang behavioristik, teori
Gestalt atau teori lapangan, dan lain-lain dan belum ada teori belajar yang dapat
mempertemukannya.
Guru-guru sering tidak menyadari asas teori belajar yang digunakannya.
PPSI menggunakan teori belajar yang berbeda dengan pendekatan proses. Guru

mengajar menurut apa yang diperkirakannya akan memberi hasil yang baik dan
ini sering dilakukan dengan menggunakan berbagai teori belajar.
Dalam bab ini akan kita bicarakan teori belajar menurut ilmu jiwa daya
(mental disipline), teori asosiasi (S-R), conditioning, teori Gestalt, teori lapangan,
dan pendapat berbagai tokoh psikologi seperti Gagne, Bandura, dan Bruner.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN BELAJAR
Apakah sebenarnya belajar itu, belum diketahui sepenuhnya, sama dengan
proses psikis lainnya. Bermacam-macam teori mencoba menjelaskannya ditinjau
dari segi tertentu, dengan dasar filosofis yang berbeda tentang hakikat manusia.
Suatu teori belajar ialah suatu pandangan terpadu yang sistematis tentang cara
manusia berinteraksi dengan lingkungan sehingga terjadi suatu perubahan
kelakuan. Tiap guru mengajar dapat diketahui teori yang mendasarinya, walaupun
guru itu sendiri kurang atau tidak menyadarinya. Mengenal teori kiranya dapat
membantu guru memahami atas dasar apa ia melakukannya.
Sejak ada manusia di dunia ini ia belajar dan ada yang mengajarnya. Tiap
orang tua mendidik anaknya, mengajarnya berbagai pengetahuan, keterampilan,
norma-norma, dan sebagainya. Rasanya semua lancar walaupun tak seorang pun
memikirkan atau menghiraukan ada tidaknya dasar teorinya belajar dan mengajar
dan semua belajar secara wajar. Namun orang mendirikan sekolah belajar itu
dijadikan masalah, dan ternyata sangat kompleks dan pelik. Apa yang dipelajari di
sekolah berbeda sekali di rumah atau di ladang.
Definisi belajar berbeda menurut teori yang dianut. Secara tradisional
belajar dianggap sebagai menambah pengetahuan. Yang diutamakan ialah aspek
intelektual. Anak-anak disuruh mempelajari berbagai macam mata pelajaran yang
memberinya berbagai pengetahuan yang menjadi miliknya, kebanyakan dengan
menghafalnya.
Pendapat lain yang lebih populer ialah memandang belajar sebagai
perubahan kelakuan, suatu "change of behavior". Suatu definisi yang sering
dikutip ialah yang diberikan oleh Ernest R. Hilgard, sebagai berikut :

Learning is the process, by which an activity originates or is changed
through training procedures (Whether in the laboratory on in the natural
environment) as distinguishe from changes by factors not atributable to training.
Seorang belajar bila ia ingin melakukan suatu kegiatan sehingga
kelakuannya berubah. Ia dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat
dilakukannya. Ia menghadapi situasi dengan cara lain. Kelakuan harus kita
pandang dalam arti yang luas yang meliputi pengamatan, pengenalan, perbuatan,
keterampilan, minat, penghargaan, sikap, dan lain-lain. Jadi belajar tidak hanya
mengenai bidang intelektual saja, akan tetapi seluruh pribadi anak, kognitif,
efektif, maupun psikomotor. Bila• guru mengajar matematika, sejarah, biologi,
dan lain-lain. Ia hendaknya jangan merasa puas bila pengetahuan anak bertambah,
akan tetapi juga agar anak mempunyai sikap anak yang positif dan menyukai mata
pelajaran itu. Perubahan karena mabuk atau keletihan bukan hasil belajar karena
tidak diperoleh melalui kegiatan belajar. Demikian pula kemampuan binatang
karena pertumbuhan instink, seperti membuat sarang, bukan hasil belajar.
Bila kita terima belajar sebagai perubahan kelakuan, maka pendidik
menghadapi tiga soal :
1. Ia harus mengetahui kelakuan apa yang diharapkan dari anak. Hal ini
berkenaan dengan tujuan yang akhirnya ditentukan oleh falsafah pendidikan.
2. Ia mengetahui hingga manakah taraf perkembangan anak, agar bahan
pelajaran dapat dikuasai anak.
3. Ia harus tahu bagaimana anak belajar, bagaimana guru mengajarkannya,
kondisi apa yang harus dipenuhi agar terjacti proses belajar yang berlfasil.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, kita akan lebih lanjut
membicarakan beberapa teori belajar yang banyak diterapkan dalam proses
belajar-mengajar.
TEORI ILMU JIWA DAYA ATAU MENTAL DISIPLIN
Teori pelajar yang paling tua ini beranggapan, bahwa "otak" atau mental
manusia terdiri atas sejumlah "faculties" atau daya- day a. Tiap daya mempunyai
fungsi tertentu, maka ada daya-ingat, daya-pikir, daya tanggap, daya-fantasi, dan

lain-lain. Tujuan pendidikan ialah memperkuat daya-daya itu dan ini dilakukan
dengan latihan untuk mendisiplinnya. Daya-ingat misalnya dapat dilatih dengan
menghafal nama-nama kota, nama pahlawan, tahun-tahun sejarah, kata-kata asing,
bahkan juga kata atau suku-kata yang tidak mengandung arti. Daya-pikir dilatih
dengan menghadapkan anak dengan berbagai soal, makin sulit makin baik, karena
nilai latihnya makin tinggi. Mata pelajaran yang dianggap paling ampuh untuk
mendisplin daya-pikir ialah matematika, dahulu juga bahasa Latin yang cukup
pelik. Seperti pada daya-ingat, juga pada daya-pikir ini tak dihiraukan apa yang
dipelajari, bukan penguasaan bahan yang dipentingkan. Itu semua boleh
dilupakan. Akan tetapi yang tinggal ialah daya-ingat, daya-pikir. Daya-pikir yang
telah terlatih akan dapat digunakan untuk memikirkan apa saja. Siswa yang telah
terlatih daya-pikirnya melalui matematika akan mudah melanjutkan pelajarannya
untuk menjadi ahli hukum, insinyur, akuntan, ahli manajemen, apa saja. Jadi
melatih daya-daya mental itu banyak persamaannya dengan melatih otot. Otot
terlatih dapat mengerjakan apa saja. Demikian pula "otak" yang sudah diasah
sampai tajam dapat "menyayat" segala masalah. Ini berarti bahwa transfer
menurut teori ini bersifat mutlak. Daya yang terlatih dapat digunakan untuk apa
saja. Kesanggupan berpikir yang terlatih dianggap dengan sendirinya dapat
dipakai, dapat dipindahkan atau ditransfer dalam bidang-bidang lain dalam
kehidupan. Di sini yang diutamakan bukan penguasaan bahan, peningkatan
kemampuan berbagai daya mental itu. Teori ini lazim juga disebut teori mental
disiplin, juga teori berdasarkan "faculty psychology".
Teori "mental disipline" ini sekarang tidak dapat diterima oleh kebanyakan
ahli psikologi dan pendidik profesional. Penelitian eksperimental membuktikan,
bahwa daya ingatan tidak bertambah meningkat kemampuannya dengan
menghafal sajak-sajak. Demikian pula latihan mental dengan matematika tidak
dengan sendirinya meningkatkan kemampuan belajar politik atau bahasa.
Walaupun telah dianggap tak berlaku lagi, namun di sekolah teori ini masih
dianut. Ada pula sejumlah ilmuwan, pendidik, dan orang tua merasa yakin akan
nilai fisika, matematika untuk meningkatkan kemampuan anak berpikir.

Teori ini didasarkan atas anggapan, bahwa manusia terdiri atas dua bagian,
yakni bagian rohaniah (dalam istilah psikologi ini "mind") dan bagian jasmaniah
(substance, matter, body). Substansi fisik ada persamaannya dengan benda lain
seperti batu, gunung, binatang, tanaman, mempunyai ukuran panjang, lebar, berat.
Akan tetapi "mind" tidak mempunyai ukuran namun sesuatu yang nyata ada.
Kepercayaan akan dualisme pada manusia, jiwa- raga, rohaniah-jasmaniah, masih
banyak dianut. Lokasi "mind" tak dapat ditentukan dengan pasti, namun dianggap
dalam "otak" yang dianggap alat untuk berbagai kegiatan mental.
Untuk mendidik anak, perlu "mind"nya dikembangkan dan ini dilakukan
dengan latihan. Dianggap makin keras latihannya, makin berkembang "mind" itu.
Salah satu fungsi mental ialah berpikir yang dapat dikembangkan dengan bahan
pelajaran seperti matematika, karena sulitnya. Tujuan latihan ini yang utama
bukan untuk menguasai bahan matematika. Yang paling berharga ialah latihan
yang diberikan pelajaran itu. Bahannya dapat dilupakan, akan tetapi kemampuan
berpikir itu sebagai akibat latihan itulah yang penting, karena kemampuan ini
akan memungkinkan anak memikirkan segala hal lain. "Mind substance"
dianggap sama dengan otot, yang dapat dilatih menjadi kuat dan dapat digunakan
untuk berbagai pekerjaan. Makin keras latihan, makin kuat otot itu.
Salah satu pendirian dalam aliran ini ialah faculty psychology, yang
menganggap bahwa "mind" itu terdiri atas sejumlah bagian atau "faculty", yang
masing-masing mempunyai fungsi atau daya tertentu. Yang utama ialah daya-
pengenalan, perasaan dan kemauan. Daya pengenalan terbagi dalam daya
persepsi, imajinasi, ingatan, dan berpikir atau penalaran. Daya-pikir memberi
kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah untuk mengambil keputusan.
Daya-kemauan juga dianggap sangat penting. Tanpa kemauan yang baik, manusia
tidak dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya dalam tnasyarakat. Kalau
manusia dianggap tidak intrinsik jahat sejak lahir, maka perlulah dilatih kemauan
anak kearah yang baik. Kemauan yang baik dapat menaklukkan hawa nafsu jahat
dan memberi kekuatan untuk memilih dan melakukan yang baik. Kemauan adalah
kunci keberhasilan. Seperti halnya dengan latihan otot, kemauan juga harus diheri
latihan keras dengan memberi pekerjaan yang herat, sulit dan membosankan.

Kalau perlu guru tak perlu segan memberi kecaman, celaan, hukuman, bahkan
menggunakan camhuk untuk memaksa anak menyelesaikan pekerjaannya.
Pendidikan serupa ini tidak menghiraukan keinginan atau minat anak, juga tidak
memperhitungkan tingkat perkembangan anak.
Pendirian "mental disipline" ini banyak mendapat kritik dan dibantah
kebenarannya secara ilmiah. Thorndike dan Woodworth melakukan berbagai
eksperimen untuk menguji kebenaran teori ini dan memperoleh kesimpulan,
bahwa teori ini tak dapat dipertahankan secara ilmiah. Latihan daya mental dalam
suatu bidang tidak dengan sendirinya meningkatkan kemampuan dalam bidang
lain. Melatih kebersihan dalam bidang tertentu, misalnya pakaian, tidak dengan
sendirinya mempengaruhi kebersihan tulisan anak. Demikian pula dibuktikannya
bahwa peningkatan kemampuan mental umum hanya sedikit akibat pelajaran di
sekolah. Peneliti lain membuktikan bahwa dalam peningkatan kemampuan mental
tidak ada kelebihan satu mata pelajaran dibanding dengan pelajaran lain,
misalnya, matematika tidak lebih unggul dalam melatih anak berpikir dibanding
dengan sejarah atau ilmu bumi. Anak yang pintar sering mengambil matematika
di mana ia dapat menunjukkan kepintarannya dan ia akan banyak memperoleh
manfaat dari pelajaran itu. Akan tetapi anak yang tidak pintar, tidak akan banyak
mendapat keuntungan dari pelajaran itu.
Sekolah yang menjalankan teori mental disipline ini cenderung disebut
sebagai sekolah yang baik, karena mengutamakan pelajaran yang sulit seperti
matematika dan fisika, akan tetapi dapat disangsikan kebenarannya, karena
banyak anak yang tak tahan akan keluar atau dikeluarkan dari sekolah, sehingga
yang tinggal hanya anak yang pandai. Jadi sekolah itu baik bukan karena
keunggulan pengajaran dalam matematika, fisika, kimia, dan lain- lain, melainkan
karena keunggulan siswa yang masih bertahan.
Kini teori mental disipline ini sudah tidak diterima lagi di kalangan
kebanyakan ahli psikologi. Namun masih ada lagi ilmuwan, orangtua dan guru
yang yakin akan kebaikan latihan mental ini dan mempraktikkannya di sekolah
maupun dalam lingkungan keluarga. Dari segi penelitian ilmiah telah dibuktikan
bahwa latihan daya-daya mental tidak otomatis dapat ditransferkan dalam bidang-

bidang lain. Transfer memang ada, tetapi bukan dengan cara mendisiplin daya
mental.
ILMU JIWA ASOSIASI, TEORI S-R
Dari semua teori belajar lainnya, barangkali teori inilah yang paling
banyak diterapkan di sekolah. Bila sekolah dipandang sebagai tempat memperoleh
pengetahuan, maka metode yang paling ampuh ialah metode S-R yaitu
menghubungkan stimulus dan respon. Dengan stimulus dimaksud rangsangan dari
dalam, tapi kebanyakan dari luar, berupa pertanyaan, soal, situasi atau keada- an
yang dihadapi. Bila guru mengajarkan hitungan 2 + 3 = (Stimulus) maka
diharapkan jawaban 5 (Respons). Demikian pula "ibu kota Kolumbia" (Stimulus)
ialah "Bogota" (Respons). Demikianlah banyak pengetahuan yang dapat dikuasai
anak melalui S-R. Mereka yang menghadapi ujian Ebtanas atau UMPTN dan lain-
lain, juga yang menghadapi kuis "Cepat Tepat" menggunakan teori S-R ini.
Dengan mengadakan hubungan antara S-R siswa memberi jawaban yang cepat
dan tepat bila menghadapi tes.
Teori ini mulai bangkit setelah karya J.B. Watson (1878- 1958) bapak aliran
Behaviorisme dan Throndike, aliran Connectionisme, yang pada dasarnya
termasuk behaviorisme. Tokoh- tokoh lain dalan aliran behaviorisme ini antara
lain Albert Bandura, Robert M. Gagne, Robert Glasser, B. F. Skinner, yang
mementingkan behavior atau kelakuan yang dapat diamati. Itu sebabnya maka
aliran ini dapat mengadakan eksperimen untuk membuktikan kebenaran teorinya.
Hal-hal yang terjadi dalam din i manusia, yang tidak dapat dilihat dan diabaikan.
Ide asosiasi telah terdapat pada John Locke dan Herbart akan tetapi baru
kemudian teori ini didukung oleh penelitian ilmiah.
Tokoh yang sangat mempengaruhi aliran ini ialah Ivan P. Pavlov (1849-
1936). Dalam eksperimennya i6 memberi makanan kapada anjing dan pada saat
yang sama ia membunyikan lonceng. Dengan pembedahan ia dapat mengukur air
liur yang dikeluarkan anjing itu sewaktu melihat makanan. Setelah beberapa kali
ini dilakukan, lonceng dibunyikan tanpa diberi makanan, namun demikian air liur
anjing keluar juga. Bahwa air liur keluar bila disodorkan makanan pada anjing

yang lapar, sesuatu yang wajar. Hal itu tidak akan terjadi bila lonceng dibunyikan.
Akan tetapi dalam kondisi seperti di atas, yakni membunyikan lonceng bersamaan
dengan makanan, sifat bunyi lonceng itu berubah menjadi stimulus yang telah
dikondisi, atau conditioned stimulus, dan respon yang diberikan menjadi
conditioned response. Apa yang terjadi dapat kita gambarkan sebagai berikut
makanan (S) …………………………… air liur keluar (R)
lonceng berbunyi (S) ……….tidak terjadi apa-apa
makanan (S) ……. air liur (R)
bunyi lonceng
bunyi lonceng (CS) …………….. air liur (CR)
Di sini terjadi suatu proses belajar-mengajar. Anjing dapat diajar
mengeluarkan air liur dengan cara mengkondisi, atau conditioning. Cara belajar
ini banyak terdapat dalam kehidupan sehari- hari. Lampu lalu lintas merah - mobil
berhenti, lonceng sekolah berbunyi anak berkumpul, kita pulang dari sekolah -
ingin segera makan, jam menunjuk pukul delapan - anak kecil tidur.
Tokoh yang banyak pengaruhnya terhadap pengajaran di sekolah ialah
Edward L. Thorndike, yang menganut aliran connectionisme, yaitu hubungan
antara dua hal yang dikenal sebagai S-R bond. Ia melakukan penelitian dan
percobaan dengan binatang, dan berkat penelitian yang banyak itu yang jauh
melebihi jumlah percobaan oleh Pavlov, ia menemukan sejumlah "hukum
belajar", antara lain
1. The Law of Exercise or Repetition. Makin sering S-R dilatih makin lama
hubungan itu bertahan, jadi latihan memperkmat hubungan S-R.
2. The Law of Effect. Hubungan S-R dipererat bila disertai rasa senang.
Masih ada lagi sejumlah hukum belajar lainnya, akan tetapi yang tersebut di
atas kiranya yang paling berguna bagi prose belajar.
Dalam proses belajar itu kita lihat pentingnya ulangan, disertai pujian untuk
membangkitkan semangat anak belajar. Mendapat pujian, merasa sukses, memberi

dorongan belajar. Proses belajar rasanya mekanistis yang diatur oleh guru. Tak
ada tempat untuk "insight" atau tujuan yang bermakna. Manusia dipandang
sebagai kumpulan S-R. Makin banyak S-R dimilikinya, makin mampu ia
menghadapi berbagai situasi dalam hidupnya.
Dari pihak penganut behaviorisme lainnya ia mendapat kritik karena rasa
puas, rasa senang bukan kelakuan yang "observable" dan "measurable".
Apa yang dilakukan Pavlov disebut "classical conditioning ", mungkin
inilah bentuk conditioning yang paling tua. Conditioning oleh Thorndike disebut
"instrumental conditioning" karena S-R yang berhasil disertai oleh pujian sebagai
upah atau reinforcement. Memberikan respons yang tepat merupakan instrumental
untuk memperoleh pujian.
Seorang behavioris lain yang juga sangat berpengaruh ialah B.F. Skinner.
Ialah yang pertama membuat belajar berprograma dan mesin belajar. Pengaruhnya
sangat besar dalam perkembangan teknologi pendidikan dan di Indonesia PPSI,
prosedur pengembangan sistem instruksional. Alirannnya dikenal sebagai
"operant conditioning" yang sangat efektif melatih binatang dan juga bagi anak-
anak. Ia memandang guru sebagai arsitek dan pembangun kelakuan siswa.
Baginya psikologi adalah ilmu atau science kelakuan yang dapat diamati dan
banyak kelakuan yang terlihat. Belajar ialah perubahan kelakuan atau kemungkin-
an kelakuan dan ini tercapai melalui "operant conditioning"
"Operant conditioning" adalah proses belajar yang mengusahakan
mempertinggi kemungkinan timbulnya kelakuan tertentu. Dalam "operant
conditioning" organisme, termasuk manusia, harus melakukan sesuatu. Semua
kelakuan manusia adalah hasil "operant conditioning" atau "operant
reinforcement". Seorang berbuat sesuatu, karena diberi reinforcement. Misalkan
seekor anjing mengangkat kaki depannya dan sesaat kemudian diberi makanan
(menjadi reinforcement) maka timbul kemungkinan ia akan melakukannya kelak.
Apa sebab anjing itu mengangkat kaki tak dapat dipastikan sebelumnya. Akan
tetapi sewaktu kita bersiul, atau bertepuk tangan atau batuk, dan pada salah satu
stimulus itu anjing itu mengangkat kaki depannya seakan-akan memberi salam,

maka kesempatan itu digunakan untuk memantapkannya dengan memberi
"reinforcement".
Jadi "reinforcement" tidak serentak dengan Respon, akan tetapi sesudahnya.
Mula-mula organisme, dalam hal ini anjing, membuat Respon yang diinginkan,
lalu diberi "reinforcement" berupa "upah atau "reward". "Reward" ini
"mereinforce" Respon, yang menyebabkan akan besar kemungkinan timbulnya
Respon ini. Respons itu menjadi alat atau instrumental guna memperoleh
Reinforcement itu. Apa yang dilakukan anjing itu disebut operan karena
beroperasi terhadap lingkungan dan menimbulkan konsekuensi tertentu, dalam hal
ini mendapat upah. Maka karena itu aliran Skinner ini disebut aliran "operant
conditioning" yaitu mengkondisi operant, juga dapat disebut "reinforcement
conditioning" atau mengkondisi "reinforcement".
Tujuan dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Tiap bagian, tiap
langkah dapat dicapai melalui "operant conditioning".
Skinner sangat berhasil dalam melatih binatang. Melalui langkah-langkah ia
dapat melatih binatang sampai tercapai kelakuan yang diinginkan. Bila dalam
langkah-langkah itu timbul yang tidak sesuai maka diabaikan saja, akan tetapi bila
timbul kelakuan yang cocok, maka dimantapkan dengan "reinforcement". Dengan
"operant conditioning" ini Skinner dapat membentuk kelakuan. Katanya "operant
conditioning shapes behavior as the sculptor shapes a lump of clay", "operant
conditioning" membentuk kelakuan seperti pematung membentuk segumpal tanah
liat.
Manusia, menurut pendapatnya adalah mesin, sekalipun sangat kompleks,
dan tak mungkin dapat diciptakan manusia - kecuali dengan cara biologis. Akhir-
akhir ini mesin makin merupakan manusia dan dibentuk sesuai dengan manusia,
akan tetapi di lain pihak manusia ternyata lebih merupakan mesin, misalnya otak
dibandingkan komputer yang berisi modul.
Demikian pula kelakuan manusia dapat dikendalikan sehingga melakukan
apa yang telah dicondition.

Mengenai pelajaran disekolah, Skinner melihat bahwa guru mengajar sangat
tidak efisien dan efektif. Bila binatang dapat dilatih dengan cara ilmiah apa sebab
cara itu tak dapat dimanfaatkan bagi pengajaran di sekolah. Maka ia menciptakan
belajar berprogamma. Bahan pelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang
dilatih langkah demi langkah dengan memberikan reinforcement langsung setelah
setelah tiap respons. Anak dapat melakukannya menurut kecepatan masing-
masing. Kritik Skinner tentang pengajaran di sekolah antara lain bahwa pelajaran
tidak disukai, jarak antara kelakuan dan reinforcement terlampau jauh, tidak ada
langkah-langkah yang sistematis menuju tujuan, dan reinforcement terlampau
langka.
Teori Skinner ini sesuai dengan teknologi pendidikan, belajar kompetensi,
dan akuntabilitas pendidikan.
TEORI GESTALT
Dasar pokok aliran psikologi ini pertama kalinya dirumuskan Max
Wertheimer pada tahun 1912 yang berbunyi, " keseluruhan lebih dari jumlah
bagian-bagiannya." Kelebihan itu terjadi karena manusia cenderung melihat suatu
pola, organisasi, integrasi atau konfigurasi dalam apa yang dilihatnya. Konfigurasi
yang membentuk kebulatan keseluruhan itu disebut dalam bahasa Jerman Gestalt,
suatu istilah yang sukar diterjemahkan dan karena itu dipertahankan dalam semua
bahasa. Demikianlah lahir teori Gestalt, juga disebut teori organismik, dan teori
psikologi lapangan (field psychology).
Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka dalam buku " The Mentality of Apes"
(1925) dalam eksperimen menguji hipotesis Thorndike tentang "Trial-and-error",
yaitu bahwa dalam memecahkan suatu masalah, individu atau binatang akan
melakukan perbuatan-perbuatan secara acakan dan akhirnya secara kebetulan
akan dapat memecahkannya. Dalam percobaan dengan simpanse ternyata, bahwa
binatang itu memecahkan masalah secara tiba- tiba, karena, menurut Kohler, ia
mendapat "insight", pemecahan dalam hubungan unsur-unsur situasi itu.
Salah satu anggapan psikologi behaviorisma yang paling merusak ialah
bahwa dalam belajar, individu itu pasif, ia menerima stimulus dan memberi

respons secara sereotip dan otomatis. Stimulus dianggap sebab dan respons
dianggap sebagai akibat. Manusia seperti mesin yang sangat baik desainnya yang
dapat dikendalikan. Siswa dapat dikendalikan oleh guru dengan bahan yang
dipilih pengembang kurikulum. Manusia dapat dikondisi menurut kemauan
penguasa atau masyarakat.
Kunci dalam psikologi Gestalt, ialah "insight". Belajar ialah
mengembangkan insight pada anak dengan melihat hubungan antara unsur-unsur
situasi problematis dan dengan demikian melihat makna baru dalam situasi itu.
Belajar bukan sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan,
mengadakan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifat kreatif, jadi jauh
berbeda dengan psikologi behavioristik yang memandang belajar sebagai
mekanistik dan deterministik.
"Insight" ialah mula-mula adanya perasaan, "hunches" petunjuk yang samar-
samar tentang adanya pola, hubungan antara unsur-unsur suatu masalah, pada
suatu saat tiba-tiba menjadi terang. Bagaimana timbulnya " insight tak selalu, dan
sering dapat diverbalisasikan, dinyatakan dengan kata-kata, karena terjadinya
dalam lompatan pikiran dan intuisi. Simpanse memperoleh "insight" dan tentu tak
dapat membahasakannya. "Insight" adalah jawaban atau hipotesis sementara, yang
mungkin benar atau tidak. Kebenarannya masih perlu diuji.
Guru tak dapat memberi " insight", walaupun dapat membantu, murid
sendirilah yang harus menemukannya sendiri menurut pikirannya sendiri, menurut
makna yang dilihatnya dalam situasi itu. "Insight" belum berarti memahami suatu
masalah sepenuhnya, akan tetapi hingga batas tertentu. “Insight" juga belum dapat
digeneralisasi. Untuk itu jumlahnya harus cukup banyak dengan pengalaman yang
kaya. Generalisasi yang diperoleh sering dirumuskan dalam bentuk " Jika maka
Bila tercapai generalisasi maka dapat digunakan atau ditransfer dalam situasi lain
yang pada prinsipnya menunjukkan persamaan. Namun transfer tidak dengan
sendirinya akan terjadi, walaupun prinsip itu telah dipahami sepenuhnya. Seorang
sarjana dapat bersifat ilmiah dalam bidangnya, misalnya fisika, akan tetapi dalam
bidang sosial yang tidak bertindak ilmiah, bahkan percaya akan mistik dan
superstisi. Atau ia tidak mengenal situasi dalam hubungannya dengan prinsip itu,

atau ia tak mau, atau tak sanggup menerapkannya, misalnya ia tahu harus
berkorban untuk sesama manusia, namun ia lebih memperhatikan kepentingannya
sendiri.
Transfer dapat terjadi bila terbuka kesempatan untuk menerapkannya dalam
situasi yang dilihatnya sebagai kesempatan dan ada hasrat untuk
menggunakannya.
Membantu siswa memperoleh generalisasi dapat dilakukan dengan tiga cara.
Pertama: Guru merumuskannya, menjelaskannya dan kemudian menyuruh siswa
menerapkannya. Kedua : Guru memberi latar belakang secukupnya, dan segera
bila siswa merasakan ia memahaminya, ia disuruh mengaplikasikannya. Ketiga :
Guru memberi latar belakangnya, siswa disuruh menemukan generalisasinya, lalu
merumuskannya. Ternyata, bahwa metode kedua lebih efektif dalam transfer.
Kurt Lewin (1890-1947), juga penganut teori keseluruhan, adalah pionir
psikologi lapangan atau field psychology. Untuk memahami seseorang, kita harus
mengetahui segala sesuatu tentang dirinya, buah pikirannya, prinsip-prinsipnya,
konsep diri dan apa saja yang dapat mengidentifikasi dirinya. Dengan lapangan
psikologis dimaksud situasi psikologis di mana ia berada. Psikologi ini disebut
juga psikologi lapangan kognitif. Kognitif berasal dari " cognoscere" (Latin)
artinya mengenal tentang bagaimana cara orang memahami dirinya dan
lingkungannya, dan bagaimana ia menggunakan kognisinya dalam tindakannnya
terhadap lingkungan atau "life-space"nya dengan segala faktor yang terdapat
didalamnya.
Menurut teori lapangan, belajar adalah proses interaksional, dalam mana
individu memperoleh "insight" baru atau modifikasi yang lama. Belajar ialah
modifikasi life-space, yang meliputi tujuan seseorang, hal-hal yang ingin
dielakkannya, halangan antara dirinya dengan tujuan, jalan yang mungkin
ditempuhnya dan sebagainya. Bagi guru, makin dikenalnya life-space siswa,
makin dapat ia meramalkan kelakuan siswa itu dan dengan demikian makin dapat
ia memberi bantuan.

John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismik atau
teori lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada
dasarnya tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkan
proses induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis,
dan menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam
pemikiran reflektif tidak digunakan laboratorium sehingga dapat digunakan dalam
pemecahan segala macam masalah termasuk masalah sosial. Langkah-langkah
dalam pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal :
1. Mengenal dan merumuskan masalah. Masalah timbul bila terdapat perbedaan
atau pertentangan antara tujuan-tujuan, antara data, dan sebagainya.
2. Merumuskan hipotesis itu, yaitu kemungkinan jawaban dalam bentuk
generalisasi yang ditemukan sendiri, yang harus diuji kebenarannya. Pada
dasarnya, semua generalisasi merupakan hipotesis yang senantiasa perlu diuji
kebenarannya. Hipotesis itu berkisar antara dugaan berdasarkan informasi
minimal sampai prinsip atau hukum dengan verifikasi yang tinggi tarafaya.
3. Menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau
pengetahuan.
4. Mentes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis
berdasarkan data atau pengalaman.
5. Mengambil kesimpulan, yakni menerima hipotesis, menolaknya,
memodifikasinya, atau menyatakan bahwa berdasarkan data yang ada belum
dapat diambil kesimpulan.
Prinsip-prinsip belajar menurut teori Gestalt.
1. Belajar itu berdasarkan keseluruhan
Keseluruhan lebih dari jumlah-jumlah bagian. Bagian-bagian hanya
mengandung arti dalam hubungannya dengan keseluruhan. Mengubah bagian
akan mengubah juga keseluruhannya. Sebuah kalimat lebih berarti daripada
jumlah kata-kata atau hurufnya.
Kata-kata dalam kalimat dapat dipahami dalam hubungannya dalam kalimat
itu. Mengubah atau menghilangkan suatu kata akan mengubah arti seluruh kalimat
itu. Kalimat itu sendiri baru diketahui artinya dalam hubungannya dengan

keseluruhan karangan atau cerita. Musik yang dimainkan oleh suatu orkes berbeda
sekali dengan jumlah lagu-lagu yang dimainkan .oleh setiap pemain satu per satu.
Bagian-bagian hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan.
Fakta-fakta yang lepas tidak mengandung arti dan karena itu mudah dilupakan.
Menghapal peristiwa-peristiwa atau tahun-tahun dalam sejarah atau nama-nama
dan hasil bumi dalam mata pelajaran IPS tak berapa faedahnya, bila kita tidak
memahami hubungannya dengan keseluruhan yang lebih luas.
Demikian pula pendidik-pendidik modern berpendapat bahwa mata
pelajaran-mata pelajaran yang lepas-lepas kurang manfaatnya sebab tidak
berdasarkan atas keseluruhan ini. Itu sebabnya maka orang berusaha untuk
mengadakan hubungan antara berbagai mata pelajaran yang disebut korelasi
antara mata pelajaran, malahan dapat juga meniadakan segala batas-batas antara
mata pelajaran- mata pelajaran dengan meng-integrasi-kannya.
Yang diberikan ialah masalah atau pokok yang luas yang harus dpecahkan
oleh anak-anak. Dalam menyelesaikannya mungkin sekali anak-anak mempelajari
hal-hal berkenaan dengan sejarah, ilmu hayat, kesenian dan sebagainya, akan
tetapi apa saja yang dipelajari, tidak merupakan fakta-fakta terlepas, melainkan
senantiasa sebagai bagian dalam hubungan yang lebih luas. Pengajaran serupa ini
lazim disebut pengajaran "unit" atau pengajaran proyek. Prinsip keseluruhan ini
ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kurikulum, baik
mengenai isinya maupun mengenai organisasinya.
2. Anak yang belajar merapakan keseluruhan
Sekolah yang tradisional bertujuan : menyampaikan kultur atau kebudayaan
kepada murid-murid dengan jalan menumpukan sejumlah pengetahuan ke dalam
ingatan anak dengan harapan, bahwa ia akan menggunakannya kelak bila ia telah
dewasa Pengajaran serupa ini sering disebut intelektualistis, sebab dititik-beratkan
pada pendidikan intelek atau dalam kebanyakan hal sebenarnya pada pendidikan
ingatan saja. Tetapi anak itu tidak hanya mempunyai intelek saja, ia seorang
pribadi, suatu keseluruhan yang menghadapi situasi-situasi bukan hanya secara
intelektual, melainkan juga secara emosional, sosial, dan jasmaniah. Bila Icita

mengajarkan IPS misalnya, kita dapat berusaha, sehingga anak itu mengerti akan
bahan pelajaran itu. Akan tetapi di samping.itu murid itu mungkin juga belajar
benci akan gurunya atail kepada pelajaran itu atau kepada segala sesuatu yang
berbau pelajaran sekolah. Mengenai pendidikan intelektual mungkin kita
mencapai hasil yang baik, akan tetapi dalam pendidikan emosinya kita gagal.
Sebab itu, dalam pengajaran modern, orang bukan hanya mengajarkan
berbagai mata pelajaran, akan tetapi mengutamakan tujuan mendidik si anak,
membentuk seluruh pribadinya anak seutuhnya.
Dalam pada itu, anak itu tidak hanya dipandang sebagai murid sekolah saja;
pribadi anak tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya di luar sekolah, di rumah,
dan di lingkungan sekitarnya. Suasana sekolah sedapat-dapatnya diselaraskan
dengan suasana rumah. Sekolah hendaknya dijadikan bukan hanya tempat anak
mempelajari berbagai-bagai ilmu, akan tetapi juga tempat mereka hidup dan
belajar hidup. Kurikulum di sekolah disesuaikan dengan apa yang diperlukan anak
bagi kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian dicegah adanya jurang yang
sering terdapat antara sekolah dengan kehidupan di luar sekolah untuk mencapai
integrasi pribadi murid.
3. Belajar berkat "insight"
Teori asosiasi mementingkan ulangan dan pembiasaan dalam proses belajar.
Belajar serupa ini bersifat mekanis. Teori organisme. memandang "insight",
pemahaman atau tilikan sebagai syarat mutlak dalam hal belajar. Dengan "insight"
dimaksud suatu saat dalam proses belajar, sewaktu seseorang melihat atau
mendapat pengertian tentang seluk-beluk sesuatu, atau melihat hubungan tertentu
antara unsur-unsur dalam suatu situasi yang mengandung suatu problema atau
kepelikan. Dalam percobaan oleh Kohler dengan simpansi, binatang itu berhasil
menyambungkan dua kerat bambu untuk meraih pisang yang diletakkan di luar
kandangnya. Pada saat kera itu melihat hubungan antara unsur-unsur dalam situasi
yang problematis itu, (yakni antara unsur-unsur bambu, dirinya, jeruji, pisang) ia
memperoleh "insight" atau suatu "Aha Erlebnis".

Hal yang demikian terjadi juga pada manusia yang menghadapi situasi yang
mengandung kesulitan dan sering secara tiba-tiba memahami seluk-beluk situasi
itu, setelah ia mendapat "insight". Pemahaman tidak diperoleh semata-mata
dengan jalan mengulangulangi dan latihan-latihan seperti pada teori asosiasi. Apa
sebenarnya "insight" ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya.
Bagi pembinaan kurikulum, prinsip "insight" ini berarti bahwa anak-anak
harus dihadapkan kepada masalah-masalah, dalam bentuk proyek atau unit yang
mengandung problema-problema yang harus dipecahkan.
4. Belajar berdasarkan pengalaman
Belajar memberi hasil yang sebaiknya-baiknya bila didasarkan pada
pengalaman. Pengalaman ialah suatu interaksi, yakni aksi dan reaksi, antara
individu dengan lingkungan. Individu menjalani pengaruh lingkungan, jadi ada
aksi dari lingkungan terhadap individu, akan tetapi sebaliknya individu juga
bereaksi terhadap pengaruh lingkungan itu. la berbuat sesuatu, yakni memper-
timbangkan, mengolah, memikirkan pengaruh lingkungan itu. Bila seorang anak
kena api, maka hal itu suatu kejadian atau peristiwa dan belum merupakan suatu
pengalaman. Kejadian itu akan menjadi pengalaman, apabila anak itu
mengolahnya, menghubungkannya dengan pengalaman yang sudah,
mentafsirkannya, dan mengambil kesimpulan, bahwa api itu sesuatu yang
berbahaya yang dapat menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat menentukan
sikapnya dan dapat menjaga diri terhadap api kelak. Berkat pengalaman itu ia
belajar, kelakuannya berubah, artinyä bahwa ia bertindak lebih efektif dan serasi
dalam menghadapi situasi-situasi hidupnya.
Anak itu mula-mula akan memandang api sebagai sesuatu yang berbahaya,
akan tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman lain ternyata bahwa api itu tidak
selalu berbahaya, akan tetapi banyak sekali manfaatnya dan memberi kesenangan
kepada manusia. Pengalaman pertama rupanya tidak benar seluruhnya dan .karena
itu harus dirombak, direorganisasi atau disusun kembali. Belajar ialah reorganisasi
pengalaman-pengalaman yang lampau yang ternyata tidak Iengkap, tidak
sempurna. Oleh sebab tidak ada pengetahuan dan pengalaman kita yang

sempurna, kita harus senantiasa mereorganisasi pengalaman kita selama kita
hidup.
Pendapat lama dan teori-teori yang lampau sering harus disempurnakan atau
diganti dengan yang baru ternyata lebih balk daripada yang sudah-sudah. Manusia
senantiasa membuat penemuan baru dan mereorganisasi pengetahuan yang lama
dan dengan demikian memperluas kebudayaan dunia. Manusia terus belajar dan
tak akan kunjung selesai meningkatkan pengetahuannya.
Belajar itu baru timbul bila seseorang menemui suatu situasi baru, suatu
soal, kesulitan atau problema. Dalam menghadapinya ia akan menggunakan
segala pengalamannya yang sudah-sudah. Jika dengan pengalaman-pengalaman
itu ia sanggup mengatasinya, tidak akan timbul proses belajar. Ia sekedar
menggunakan pengalaman yang lampau itu. Tetapi bila ternyata bahwa penga
lamannya yang ada tidak cukup untuk mengatasinya, ia akar, mengalami semacam
frustrasi. keseimbangannya terganggu, lalu ia mencoba mencari jalan untuk
memecahkan soal itu. Di antara percobaaan itu ada yang tak berhasil, itu
dikesampingkannya. Percobaan itu dilanjutkannya jadi proses belajar berlangsung
tertr sarapai kesulitan itu diatasinya.
Di sini pun kita lihat, seperti dianjurkan oleh penganut-penganut prinsip-
prinsip belajar yang telah tersebut di atas betapa perlunya diusahakan, agar
kurikulum itu berupa problema-problema yang dihadapkan kepada anak-anak
untuk dipecahkannya agar ia belajar.
5. Belajar ialah suatu proses perkembangan
Manusia ialah suatu organisme yang tumbuh dan berkembang menurut cara-
cara tertentu. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu yang kita kehendaki.
Anak-anak baru dapat mempelajarinya dan mencernakannya, bila ia telah matang
untuk bahan pelajaran itu. Kita ketahui, bahwa kepada anak-anak kelas satu SD
belum dapat diberikan teori-teori tentang listrik atau tata negara, karena mereka
belum matang untuk itu.
Kesiapan anak untuk mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh
kematangan atau taraf pertumbuhan batiniah, tetapi juga dipengaruhi oleh

lingkungan, yakni oleh pengalaman-pengalaman yang telah diperoleh anak itu.
Misalnya kesiapan untuk membaca akan lebih cepat terdapat pada anak-anak yang
telah berkenalan dengan buku-buku bergambar di rumah atau yang sering
dibacakan cerita-cerita dari buku oleh ibu bapaknya, sebelum ia menginjak
sekolah, daripada anak-anak yang tidak pernah memperoleh pengalaman-
pengalaman dengan buku. Jadi tak perlu kita hanya menunggu-nunggu saja. Kita
dapat menciptakan situasi- situasi dan lingkungan bagi anak yang dapat
mempercepat atau membangkitkan kesiapannya untuk mempelajari sesuatu.
Dalam hal ini tak semua anak sama. Anak-anak berbeda pengalaman dan
kematangannya, sekalipun umurnya sama. Perbedaan individual ialah suatu
prinsip yang harus dipikirkan dalam pembinaan kurikulum. Memaksakan semua
anak mempelajari bahan yang sama tidak dapat dipertahankan. Karena itu
kurikulum harus disusun sedemikian, sehingga sedapat mungkin dapat
disesuaikan dengan perbedaan individual, baik mengenai kuantitas maupun
kualitasnya. Anak yang pandai harus diberi kemungkinan menyelesaikan lebih
banyak pelajaran daripada anak yang kurang pandai dan anak-anak harus dapat
mengembangkan bakatnya dalam berbagai lapangan.
6. Belajar ialah proses yang kontinu
Anak-anak tidak hanya belajar di sekolah, akan tetapi juga di luar sekolah.
Mereka memperoleh juga pengalaman-pengalaman berkat radio, surat kabar,
majalah, pergaulan di rumah, perkumpulan pemuda, kepanduan, bioskop,
permainan, dan sebagainya. Malahan kerapkali hal-hal yang dipelajari dengan tak
sengaja di luar sekolah dan sebelum bersekolah lebih mendalam lagi, oleh sebab
tujuan- tujuan yang mereka kejar di situ lebih menarik, lebih memuaskan, lebih
menyenangkan dan sesuai dengan kebutuhannya daripada tujuan-tujuan yang
ditentukan dan sering dipaksakan oleh sekolah. Lagi pula di luar mereka banyak
memperoleh pengalaman- pengalaman langsung atau first-hand experiences.
Mereka tidak bicara tentang padi, ikan, layang-layang dan sebagainya, akan
tetapi mereka turut memotong padi, mereka menangkap ikan di sungai, mereka
membuat dan bermain layang- layang dan sebagainya. Di sekolah mereka
kebanyakan membaca dan mendengarkan saja. Kurikulum yang modern

menyesuaikan pelajaran sekolah dengan kehidupan, permainan, kesukaan, dan
minat anak di luar sekolah. Apa yang dahulu dianggap sebagai aktivitas
extrakurikuler, yakni aktivitas anak di luar pelajaran seperti perkumpulan sekolah,
hobby anak-anak, kepanduan dan lain-lain, dimasukkan oleh sekolah ke dalam
kurikulum, jadi menjadi tanggung jawab sekolah.
Kontinuitas juga diusahakan dengan meniadakan tinggal kelas. Anak yang
tinggal kelas tidak kontinu pelajarannya oleh sebab ia harus mengulangi bahan
yang sama selama satu tahun. Kurikulum hendaknya disusun sedemikian,
sehingga tiap anak terus maju sesuai dengan kecepatannya masing-masing.
Kontinuitas harus pula ada dalam pelajaran sekolah rendah, menengah, dan
tinggi. Seperti anak main dari kelas yang satu ke kelas berikutnya, demikian pula
anak itu harus pula maju dari sekolah rendah ke sekolah menengah dan
seterusnya. Pertanyaan timbul, apakah Sekolah Dasar harus terpisah benar-benar
dari SMP dan sekolah ini harus terpisah pula dari SMA ? Apakah tidak dapat
disatukan sekolah-sekolah itu seluruhnya menjadi sekolah dari kelas 1 sarnpai
kelas 12 ?
Kontinuitas akan terganggu pula apabila pelajaran di sekolah berlainan atau
bertentangan dengan norma-norma yang diajarkan di rumah. Maka timbullah
konflik dalam diri si murid. Ia harus berpegang pada dua macam norma. Apa yang
dipelajarinya di sekolah tidak dapat dilangsungkan dan dipraktikkan di rumah. ltu
sebabnya sekolah harus mengenal keadaan, kebiasaan, adat-istiadat di rumah
anak. Sekolah harus bekerja sama dengan rumah dan badan-badan lain dalam
masyarakat sehingga sêmuanya turut serta membantu perkembangan anak yang
harmonis.
Sekolah modern mengajak orang tua agar turut serta dalam menentukan
kurikulum. Dari orang tua sungguh dapat diterima saran-saran yang baik sekali
untuk dipertimbangkan oleh staf guru-guru agar dimasukkan ke dalam kurikulum.
Sering pula orang tua diminta bantuannya untuk turut melaksanakan kurikulum.
7. Belajar lebih berhasil bila dihuhungkan dengan minat keinginan dan tujuan
anak.

Hal ini tercapai apabila pelajaran itu langsung berhubungan dengan apa
yang diperlukan murid-murid dalam kehidupannya sehari-hari atau apabila
mereka tahu dan menerima tujuannya. Seorang murid yang berbakat dan ingin
menjadi penyanyi akan giat mempelajari teori musik, oleh sebab sesuai dengan
tujuannya, sekalipun teori musik itu sendiri kurang menarik. Akan tetapi dalam
hubungannya dengan cita-cita anak itu, usaha itu mengandung arti baginya. Ia
memahami tujuan pelajaran itu, ia yakin akan ada faedahnya bagi kehidupannya
dan karena itu ia giat belajar. Dikatakan bahwa anak itu didorong oleh motivasi
yang intrinsik, sebab ia ingin mencapai tujuan yang terkandung dalam pelajaran
itu sendiri.
Kita dapat mengajarkan kepada anak-anak hal-hal tentang bermacam-
macam penyakit yang kemudian ditanyakan pada ulangan. Tujuan anak ialah
mencapai angka yang baik. Atau barangkali ia belajar karena takut kepada guru,
takut tinggal kelas, atau ingin menyenangkan hati orang tuanya. Anak seperti ini
didorong oleh motivasi yang ekstrinsik sebab ia mengejar tujuan, yang sebenarnya
letak di luar pelajaran itu. Lain halnya kalau di suatu daerah berjangkit penyakit,
lalu anak-anak belajar betul-betul untuk mengetahui seluk-beluk penyakit itu agar
dapat menjaga diri terhadap penyakit itu. Motivasi yang intrinsik ini tentu lebih
baik hasilnya. Di sekolah yang menginsafi hal ini, kurikulum sedapat mungkin
disesuaikan dengan minat kebutuhan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh
anak-anak.
Pelajaran diberikan dalam bentuk unit atau proyek yang berkenaan dengan
masalah-masalah yang dihadapi oleh anak-anak. Proyek itu dibicarakan dan
dirundingkan bersama oleh guru dan murid-murid agar mereka lebih jelas
memahami tujuan dan faedahnya. Di sini anak-anak turut serta menentukan
kurikulum.
Kurikulum di sekolah yang tradisional sepenuhnya ditetapkan oleh pihak
atasan. Murid-murid tidak diajak berunding dan mereka harus menerimanya,
kerap kali tanpa melihat faedah yang langsung bertalian dengan tujuan dan
minatnya. Di sini kebanyakan digunakan motivasi ekstrinsik; anak-anak dipaksa

belajar dengan macam-macam hukuman dan pujian dengan angka-angka dan
ujian-ujian.
Kalau di atas dikatakan, bahwa anak-anak diajak turut berunding, bahwa
kurikulum disesuaikan dengan minat dan tujuan anak, ini sekali-kali tidak berarti
bahwa seluruh kurikulum semata-mata ditentukan oleh keinginan anak saja. Cara
ini memang pernah diadakan pada sekolah progresif yang child-centered, atau
berpusat pada keinginan anak melulu dan mengalami kesulitan-kesulitan. Ada hal-
hal yang mungk in kurang disukai oleh anak-anak namun hams mereka pelajari
karena tuntutan masyarakat. Anak-anak tidak mengenal tujuan pendidikan dan
karena itu tidak mungk in mengetahui apakah yang juga perlu bagi mereka.
Memperturut keinginan anak saja tidak menjamin usaha yang efektif ke arah
tujuan pendidikan. Akan tetapi ini tidak berarti pula bahwa keinginan dan
kebutuhan anak harus diabaikan begitu saja. Membina kurikulum yang baik ialah
suatu hasil usaha bersama antara pihak atasan dengan guru-guru, murid-murid
orang tua serta badan-badan lain dalam masyarakat.
Di sini akan kami berikan lagi beberapa teori belajar yang terkenal, yang
turut mempengaruhi kurikulum dan proses belajar mengajar, antara lain apersepsi
Herbart, belajar sosial Bandura, konseptualisme Bruner, dan konsis belajar Gagne.
TEORI APERSEPSI HERBART
J.F. Herbart (1776-1841) pengganti filsuf Jerman terkenal Immanuel Kant
tahun 1841, dapat dipandang sebagai tokoh pertama psikologi belajar modern
yang menyimpang dari teori ilmu jiwa daya. Pengaruh Herbart dalam abad dua
puluh sangat besar. Buah pikirannya mendominasi pendidikan guru dan
pendidikan umumnya di Amerika Serikat dan bagian lain dunia ini dan hingga
sekarang idenya masih banyak digunakan, walaupun tidak di bawah namanya.
Secara teoretis namanya telah lenyap dari dunia psikologi dewasa ini, namun
dalam praktik apa yang dikemukakannya masih berlaku.
Herbart terkenal karena konsep appersepsi yang dikemukakannya.
Apersepsi ialah proses asosiasi antara ide atau Vorstellung yang baru dengan yang
lama yang tersimpan dalam bawah sadar individu. Setiap ada masuk persepsi baru

maka ia disambut oleh yang lama. Ide yang lama berlomba kekuatan untuk
memasuki alam sadar untuk menyambut ide baru. Bila seorang melihat kapal
terbang misalnya, maka mungkin akan timbul ide burung, atau perjalanan yang
pernah diIakukan ke luar negeri, atau kemajuan teknologi, entah yang mana
bergantung pada kekuatan ide yang disimpan atau bahan persepsi yang tersedia.
Persepsi atau pengamatan diperoleh dari lingkungan melalui alat-dria. Melalui
asosiasi diperoleh ide yang sederhana, yang menjadi lebih kompleks melalui
asosiasi selanjutnya. Penggabungan ide-ide dapat dibandingkan dengan proses
kimiawi atau "mental chemistry".
Sebelumnya, John Locke (1632-1704) telah mengemukakan teori "tabula
rasa" yang mengatakan bahwa "otak" (mind) manusia semulanya waktu lahir,
masih kosong seperti papan tulis bersih. Akan tetapi perangsang, pengalaman dari
luar, mengisi mind itu. Apa saja yang diketahui manusia datangnya dari luar diri
orang itu. Dalam "otak" itu terjadi hubungan atau asosiasi antara ide-ide.
Masalah asosiasi telah dikemukakan Aristoteles pada abad ke-4 SM.
Dikatakannya bahwa asosiasi cenderung terjadi antara hal-hal yang tampil
bersamaan (kontiguitas), yang datang berurutan (suksesi), yang mempunyai
persamaan anti (similaritas) dan yang berlawanan (kontras).
Menurut Locke ide-ide itu pasif. Herbart sebaliknya, berpendapat bahwa
ide-ide itu aktif, dinamis, mempunyai kekuatan untuk bergabung, jadi berlomba
untuk bergabung dengan ide baru yang masuk. Akan tetapi manusia itu sendiri
pasif, dan hanya merupakan wadah tempat asosiasi itu berlangsung. Jadi "mind"
itu adalah isinya. Ide mempunyai kekuatan bergabung atau menolak bergabung,
ada afinitas menarik atau menolak, misalnya "murid" dan "guru" akan saling
menarik, akan tetapi "murid" dan "ramalan cuaca" mungkin tidak.
Bagi Herbart semua persepsi pada hakikatnya apersepsi, oleh setiap persepsi
cenderung akan bergabung dengan bahan yang telah ada. Tanpa pengalaman yang
ada, suatu pengamatan atau ide tak ada artinya dan tak akan diperdulikan.
Sebaliknya ide yang telah tersimpan, akan tetapi tak mempunyai kesempatan
bergabung lambat laun akan lenyap dengan sendirinya.

Herbart percaya, bahwa ide yang baik akan menghasilkan kemauan yang
baik dan perbuatan yang baik. Jadi kemauan bergantung pada pikiran. Tugas guru
ialah memberikan buah pikiran yang baik agar anak berbuat yang baik. Tujuan
pendidikan, menurut Herbart ialah mendidik anak menjadi manusia yang bermoral
baik. Seni mengajar ialah menyajikan buah pikiran yang dapat digunakan siswa
sepanjang hidupnya. Guru dapat dipandang sebagai "arsitek" dan pembangunan
"mind" dan demikian pula watak siswa.
Minat sangat dipentingkan, pelajaran harus dibuat menarik dan ini tercapai
dengan metode mengajar yang baik, didukung oleh bahan apersepsi yang banyak.
Apa yang disebut apersepsi, sekarang diberi nama "entry behavior".
Walaupun teori Herbart ini menunjukkan kelemahan karena terlampau
menonjolkan peranan guru, banyak pula sumbangannya kepada pendidikan, antara
lain :
- Ia telah mengecam teori ilmu-jiwa daya.
- Ia menekankan pendekatan psikologis dalam belajar-mengajar dan
mengemukakan metode mengajar yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Pendidikan guru menjadi usaha yang penting.
- Ia mengemukakan pentingnya minat siswa dalam proses belajar.
- Ia juga membuka jalan untuk mengadakan penelitian dan eksperimen ilmiah
mengenai proses belajar-mengajar.
Metode mengajar yang dikemukakan oleh Herbart dan kawan-kawan yaitu
kelima langkah itu, sudah cukup terkenal, yakni :
1. Persiapan. Guru mengingatkan siswa tentang pengalaman atau pelajaran yang
lampau agar ide-ide yang relevan timbul dalam kesadaran siswa.
2. Penyajian. Guru menyajikan fakta baru, mungkin melalui demontrasi tentang
pokok yang dibicarakan.
3. Berbandingan dan abstraksi. Jika guru melakukan kedua langkah di atas
dengan baik, siswa akan melihat kesamaan ide yang baru dengan yang telah
diketahui, maka terjadi asosiasi antara yang baru dengan yang lama. Dengan
abstraksi dimaksud melihat unsur-unsur persamaan.

4. Generalisasi. Pada langkah ini siswa mencoba memberi nama kepada kedua
pasangan fakta atau ide sebagai suatu prinsip.
5. Aplikasi. Prinsip yang baru ditemukan itu diterapkan untuk menjelaskan fakta
lain untuk memecahkan soal lain. Guru dapat meminta siswa untuk
menjelaskan gejala, fakta, atau masalah lain.
Walaupun metode ini telah kolot, belum banyak guru yang menerapkannya
sepenuhnya. Sering guru hanya menjelaskan sesuatu, kadang-kadang ada yang
membangkitkan pengetahuan yang relevan yang telah dimiliki siswa, atau dengan
istilah sekarang, mengadakan pre-test. Tak banyak pula guru yang memberi ke-
sempatan kepada siswa untuk merumuskan generalisasi dalam bentuk suatu
prinsip dan seterusnya menyuruh siswa untuk menerapkannya dalam situasi lain.
Jika pendidikan kita masih berpusat pada guru, maka metode Herbart masih dapat
membantu guru.
PSIKOLOGI KOGNITIF JEROME BRUNER
Jerome Bruner (1915- ) menjadi sangat terkenal dalam dunia pendidikan,
setelah Sputnik, sewaktu Amerika Serikat mencari kurikulum baru untuk
mengejar ketinggalan dalam pendidikan dibanding dengan Uni Sovyet. Bruner
mengumpulkan ilmuwan yang paling terkemuka yang bersama dengan ahli
pendidikan menyusun buku pelajaran baru dengan proses belajar-mengajar yang
baru pula.
Ada dua prinsip penting yang dikemukakan dalam tulisannya, yakni
1. perolehan pengetahuan adalah proses aktif.
2. individu secara aktif merekonstruksi pengalamannya dengan menghubungkan
pengetahuan baru dengan "internal modal" atau struktur kognitif yang telah
dimilikinya.
Dalam proses belajar, anak itu partisipan aktif, ia memilih dan
mentransformasi informasi. Tiap orang membentuk suatu model berstruktur
tentang dunia. Ia melihat dunia dengan caranya sendiri. Model itu
memungkinkannya untuk meramalkan, menginterpolasi, mengekstrapolasi.
Dengan intrapolasi dimaksud mengubah pandangan dengan mengaplikasi

pengetahuan baru. Ekstrapolasi ialah mengangkat informasi pada taraf yang
melebihi taraf sekadar informasi.
Menurut Bruner, kita melihat dunia ini bukan seperti melihatnya pada
cermin, akan tetapi sebagai konstruk atau model dengan mengorganisasi informasi
dalam bentuk yang lebih umum, sehingga dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Model itu bukan sekadar kumpulan informasi, akan tetapi jauh melebihinya.
Adanya model itu timbul karena adanya kemampuan manusia untuk
mendiskriminasi, melihat persamaan dan membentuk konsep atau kategori.
Belajar ialah memperoleh informasi, yang bersamaan atau yang
bertentangan dengan yang ada, mentransformasinya, yaitu memanipulasinya
dengan intrapolasi dan ekstrapolasi, agar sesuai dengan tugas yang dihadapi, dan
mengecek keserasiannya dengan tugas. Untuk ini diperlukan pertimbangan dan
penilaian.
Pendekatan Bruner disebutnya "konseptualisme instrumental" berdasarkan
dua segi proses kognitif, yakni .
1. manusia mengkonstruksi model pada dirinya tentang dunia realitas, dan ia
mengenal dunia berdasarkan model itu.
2. model itu semula diadopsi, diterima dari kebudayaannya, kemudian
mengadopsi, menyesuaikannya bagi keperluan dirinya. Persepsi pada
hakikatnya proses konstruktif, mengkategorisasi informasi atau mengangkat
informasi pada taraf kategori. Karena itu manusia tidak pasif, juga tidak
reaktif, melainkan aktif.
Perkembangan menurut Bruner melalui tiga fase, yakni fase "enactive,
iconic, dan symbolic". Anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser
ke depan atau ke belakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan
berat temannya bermain), ini fase "enactive". Kemudian pada fase "iconic", ia
menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan, dan akhirnya ia menggu-
nakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan. Ini fase "symbolic".

Menurut Bruner, sekolah didirikan masyarakat sebagai alat untuk
meningkatkan kemampuan intelektual anak. Bagaimanakah pendidikan
melakukan tugas itu ?
1. Menerjemahkan teori menjadi struktur yang dapat dipahami anak melalui
dialog antara guru dan anak.
2. Mengembangkan rasa kepercayaan pada siswa akan kemampuannya
memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan mentalnya.
3. Membimbing siswa agar ia sendiri dapat mempelajari berbagai macam bahan
pelajaran atau memecahkan masalah yang dirumuskannya sendiri.
4. Menggunakan kemampuan mentalnya secara ekonomis dengan mencari
relevansi dan memahami struktur bahan yang dipelajarinya.
5. Memupuk kejujuran intelektual.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan ialah mempelajari disiplin ilmu.
Walaupun isinya berguna, namun yang lebih penting ialah mempelajari cara
berpikir dalam disiplin ilmu itu, cara ilmu itu memecahkan masalah.
Mengenai proses belajar-mengajar Bruner memberikan beberapa petunjuk :
1. Memberi pengalaman agar siswa belajar bagaimana cara belajar, bagaimana
cara memecahkan masalah.
2. Menstruktur pengetahuan, mengusahakan agar siswa memahami struktur
pelajaran. Memahami berarti dapat menghubungkannya dengan berbagai hal
lain. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu, namun kita dapat menga-
jarkan prinsip-prinsipnya yang pokok, yang disebut strukturnya.
3. Urutan penyajian bahan dapat dilakukan dari yang sederhana sampai yang
lebih abstrak. Tiap pengetahuan dapat disajikan dalam bentuk yang sederhana
yang dapat dipahami anak pada tingkat usianya. Kepada anak dapat diajarkan
tentang komputer, statistik, dalam bentuk yang benar dan jujur, misalnya
dengan taraf enactive, kemudian iconic, dan akhirnya symbolic.
Suatu konsep, prinsip, atau masalah pokok tidak dapat dipahami segera,
bahkan ada yang tidak kunjung dipahami sepenuhnya, akan tetapi berangsur-
angsur makin dipahami. Bahan serupa itu dapat diajarkan di SD, SMP, SMA,
bahkan selanjutnya di Perguruan Tinggi. Kurikulum yang membicarakan

pokok yang sama pada tingkatan yang senantiasa bertambah tinggi, disebut
kurikulum spiral. Pancasila misalnya, dapat dibicarakan pada berbagai tingkat
pendidikan. Keuntungan kurikulum spiral ialah bahwa bahan dapat diajarkan
lebih awal dan dengan demikian mempercepat kesiapan atau "readiness" tanpa
menunggunya secara pasif. Itu sebabnya, Bruner tidak merasa terikat oleh
perkembangan menurut fase perkembangan seperti dikemukakan oleh Piaget.
Pengaruhnya sangat besar bagi pengembangan kurikulum dengan memberikan
sejumlah mata pelajaran jauh lebih awal daripada sediakala.
4. Motivasi belajar. Bruner menganjurkan untuk mengurangi motivasi ekstrinsik,
sering berupa pujian, hadiah, angka baik, dan lain-lain dan mengutamakan
motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik ialah bila siswa menguasai pelajaran,
sanggup memecahkan masalah yang sulit, menaruh minat, merasa turut
terlibat, merasa diri kompeten. Keberhasilan dan kegagalan bertalian dengan
tugas dapat menjadi motivasi intrinsik. Keberhasilan tak perlu lagi diberi
hadiah atau pujian, ada kemungkinan siswa belajar untuk memperolehnya.
Hadiah yang paling berharga terdapat dalam keberhasilan melakukan tugas.
Kegagalan dapat menjadi motivasi intrinsik bila menjadi cambuk untuk
mengeluarkan usaha yang lebih banyak. Akan tetapi kegagalan yang disertai
hukuman akan merusak.
5. Pemecahan masalah dilakukan dengan merumuskan hipotesis yang dicek
kebenarannya berdasarkan data yang relevan. Pemecahan masalah dapat juga
tercapai dengan menggunakan intuisi, yaitu proses berpikir yang tidak dapat
diverbalisasi. Diharapkan siswa dididik agar dapat menemukan jawaban atas
masalah dengan usaha sendiri. Apa yang ditemukan sendiri lebih mantap dan
mempunyai nilai transfer tinggi.
PRINSIP-PRINSIP UMUM
Walaupun belum ada satu teori belajar yang berlaku bagi semua jenis
belajar, menurut Hilgard, telah ada sejumlah prinsip yang umum dapat diakui
kebenarannya.

1. Ada perbedaan individual mengenai kesanggupan belajar. Apa yang dapat
dipahami oleh anak pandai, belum dapat dipahami oleh anak yang kurang
pandai.
2. Motivasi mempertinggi hasil belajar.
3. Motivasi yang berlebih-lebihan dapat menimbulkan gangguan emosional.dan
mengurangi efektivitas belajar.
4. Pada umumnya hadiah, pujian, dan sukses lebih menggiatkan orang belajar
daripada hukuman, celaan, dan kegagalan.
5. Motivasi intrinsik memberi hasil yang lebih baik daripada tnotivasi ekstrinsik.
6. Kegagalan dalam belajar sebaiknya diatasi dengan adanya keberhasilan pada
masa yang lampau.
7. Tujuan hendaknya realistis, jangan terlampau tinggi atau rendah agar
menimbulkan kegiatan belajar yang tinggi.
8. Hubungan tidak baik dengan guru dapat menghalangi prestasi belajar yang
tinggi.
9. Hasil belajar yang sebaik-baiknya dicapai bila murid turut akttf mengolah dan
mencernakan bahan pelajaran dan tidak sekedar mendengarkan saja.
10. Bahan dan tugas yang bermakna bagi murid lebih diterima dan dipelajari
murid daripada bahan dan tugas yang tak dipahami maksudnya.
11. Untuk menguasai sesuatu sepenuhnya, misalnya memainkan lagu pada piano,
diperlukan latihan yang banyak sehingga tercapai "overlearning".
12. Keterangan tentang hasil yang baik atau kesalahan yang dibuat, membantu
murid belajar.
13. Transfer hal yang dipelajari kepada situasi atau problema baru, akan lebih
terjamin bila murid itu sendiri menemukan hubungan antara kedua hal itu dan
selama belajar mendapat kesempatan menerapkannya dalam berbagai macam
situasi.
14. Ulangan sebaiknya dilakukan secara berkala agar lebih lama dapat diingat.
PENGARUH TEORI BELAJAR TERHADAP KURIKULUM
Teori ilmu jiwa daya bertujuan mencapai mental disiplin, yakni melatih
daya mental terutama daya pikir. Tujuan ini sangat sempit. Bahan pelajaran dapat
uniform bagi anak. Bahan pelajaran yang melatih daya pikir menduduki tempat

yang penting. Dalam penentuan bahan, faktor anak tak berapa dihiraukan. Bahan
itu disusun menurut urutan yang logis sesuai dengan sistematik mata pelajaran itu,
jadi biasanya dimulai dengan definisi atau klasifikasi ilmiah baru kemudian
obyek-obyek atau contoh-contoh yang konkrit.
Teori asosiasi mengutamakan bahan pelajaran yang spesifik, yang terdiri
atas sejumlah S-R dan dikuasai melalui penyajian yang cermat, hafalan, dan
ulangan. Yang disajikan adalah unsur-unsur yang atomistis, bukan ide-ide yang
prinsipiil. Penyajian hal-hal yang spesifik dengan cara yang sangat teliti itu
tampak dalam pengajaran berprograma (programmed instruction) dan "teaching
machines". Juga "job analysis" seperti dilakukan untuk pertama kalinya oleh
Charters didasarkan atas teori itu.
Teori Gestalt atau field theory mempunyai tujuan yang luas, yakni bukan
hanya memberikan pengetahuan tapi juga proses menghadapi dan memecahkan
masalah, pengembangan pribadi, dan sikap terhadap dunia. Dalam menentukan
bahan pelajaran dipertimbangkan minat dan perkembangan anak, lingkungan
masyarakat anak dan bahan dari berbagai matapelajaran. Kurikulum meliputi
perkembangan sosial, emosional, dan intelektual. Organisasi bahan pelajaran dan
metode mengajar mengutamakan hubungan dan integrasi serta pemahaman.
Fakta-fakta atau informasi spesifik diperlukan untuk memperoleh pemahaman itu.
Berbeda dengan teori asosiasi, yang banyak memberi peranan "pasif" kepada
anak, teori Gestalt ini memandang belajar sebagai proses yang memerlukan
aktivitas anak. Karena itu digunakan metode problem-solving dan inquiry-
approach. Anak sendiri harus menemukan jawaban masalah, dengan bimbingan
serta bantuan guru sejauh diperlukan.
TEORI BELAJAR DAN ILMU MENGAJAR
Mengenai proses belajar itu seridiri kita hadapi berbagai-bagai kesulitan.
Banyak macam-macam teori tentang belajar yang di- pakai secara campur-aduk
dalam praktek. Teori belajar menurut "mental discipline" atau ilmu jiwa daya
digunakan bersama dengan teori belajar menurut teori stimulus dan response serta
teori conditioning. Lagi pula banyak jenis-jenis belajar, seperti belajar ketrampilan
motoris, mengingat fakta-fakta dan informasi, ketrampilan intelektual seperti

membentuk konsep, belajar menurut "inquiry approach" memecahkan masalah,
dan belajar sikap, emosi, nilai-nilai, hubungan sosial, dan sebagainya. Karena itu
tidak ada satu teori umum sebagai pegangan untuk segala jenis belajar itu.
Kebanyakan teori itu tidak didukung oleh eksperimen-eksperimen.
Penelitian hanya dilakukan mengenai bentuk belajar yang sederhana dengan
binatang. Kita dapat menyaksikan apakah hasil penelitian itu berlaku pula bagi
manusia dalam belajar halhal yang jauh lebih kompleks. Penelitian mengenai
belajar dalam situasi belajar dalam kelas bersifat penelitian jangka pendek, bukan
mengenai hal-hal jangka panjang. Variabel dalam situasi belajar dalam kelas tidak
dapat dikuasai sepenuhnya karena banyaknya variabel itu. Lingkungan tempat
anak belajar perlu pula diperhatikan, karena anak itu senantiasa merupakan
organisme dalam lingkungan yang turut mempengaruhinya dalam belajar.
Lagi pula arti istilah-istilah dan pengertian pokok dalam berbagai teori
belajar sebenarnya masih kabur, misalnya "insight" dalam teori Gestalt,
"reinforcement" "trial-and-error" dan pengaruh pujian dan hukuman dalam belajar
menurut teori asosiasi.
Pada umumnya dapat kita katakan bahwa teori asosiasi lebih serasi untuk
mempelajari hal-hal yang sederhana, akan tetapi kurang sesuai untuk soal-soal
yang memerlukan proses mental yang kompleks seperti berpikir atau memecahkan
suatu masalah dan untuk mempelajari sikap, minat, atau emosi. Akan tetapi cara
belajar menurut teori ini lebih mudah dikuasai, hasilnya segera dapat diketahui
dan dinilai. Bahkan untuk belajar serupa ini Thorndike telah merumuskan
sejumlah "laws of learning", misalnya bahwa hubungan S-R bertambah erat bila
sering diulangi, bila hubungan itu disertai rasa senang atau puas, dan sebagainya.
Di lain pihak teori Gestalt atau field theory lebih sesuai untuk mempelajari
hal-hal yang kompleks, yang mengandung masalah. Akan tetapi kelemahannya
ialah, bahwa teori ini terlampau banyak variabelnya, terlampau kompleks dan
tidak dapat dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang
cepat dan cermat. Hanya petunjuk-petunjuk umum yang dapat diberikan.

Oleh sebab belum ditemukan teori belajar yang pasti, maka sebenarnya
belum dapat disusun suatu ilmu mengajar atau "science of teaching" yang dapat
meramalkan dengan pasti hasil suatu kegiatan mengajar.
RANGKUMAN
1. Belajar pada umumnya diartikan sebagai perubahan dalam kelakuan seseorang
sebagai akibat pengaruh usaha pendidikan.
2. Ada berbagai-bagai teori belajar yang masing-masing mempunyai kebaikan
dan kekurangan. Adanya kekurangan suatu teori belajar tidak berarti kita harus
mengabaikan seluruhnya.
3. Beberapa teori belajar yang terkenal ialah teori belajar menurut ilmu jiwa
daya, teori asosiasi (termasuk conditioning), dan teori organismic (Gestalt atau
Field theory).
4. Tiap teori belajar mempunyai anggapan tertentu mengenai transfer belajar.
5. Teori asosiasi dike mbangkann oleh Skinner dalam "belajar berprograma" dan
"teaching machines".
6. Teori Gestalt mengutamakan prinsip keseluruhan, "insight" masalah, tujuan,
pengalaman, minat.
7. Walaupun teori belajar berbeda-beda, namun ada prinsip-prinsip yang pada
umumnya dapat diterima.
8. Teori belajar yang dianut berpengaruh terhadap kurikulum yang dibina. Teori
ilmu jiwa daya mengutamakan latihan mental yang diperoleh melalui bahan
pelajaran, teori asosiasi mengutamakan penguasaan bahan pelajaran sendiri,
sedangkan teori Gestalt mementingkan perkembangan pribadi anak dalam
usahan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalam hidupnya.
9. Teori belajar juga mempengaruhi proses dan kegiatan mengajar-belajar.
Namun mengajar belum didukung oleh psikologi belajar yang diperkuat oleh
eksperimentasi. Karena belajar dalam kelas banyak variabel yang tidak dapat
dikuasai, maka percobaan kebanyakan dapat dilakukan tentang belajar
menurut asosiasi.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apakah yang dimaksud dengan belajar ? Berikan beberapa definisi.

2. Bagaimanakah teori belajar menurut ilmu jiwa daya ?
3. Apakah pengaruh teori belajar itu terhadap kurikulum ?
4. Bagaimana belajar itu menurut teori asosiasi ?
5. Apakah pengaruhnya terhadap kurikulum ?
6. Bagaimana pendirian teori Gestalt atau "organismic" tentang belajar.
7. Apakah pengaruh teori belajar terakhir ini terhadap kurikulum ?
8. Bagaimanakah pendapat teori-teori belajar itu tentang transfer?
9. Dan i ketiga teori yang dibicarakan teori manakah menurut pendapat saudara
paling besar pengaruhnya terhadap kurikulum kita sekarang ? Berikan alasan-
alasan saudara ?
10. Dalam praktek pengajaran suatu teori dapat melengkapi yang satu lagi.
Benarkah pendapat ini ?
11. Sebutkan beberapa prinsip yang secara umum dapat diterima oleh semua teori.
12. Apakah orang yang mempelajari matematika akan lebih sanggup berpikir
logis-sistematis daripada orang yang tidak mempelajarinya ?
13. Apakah ahli matematika dengan sendirinya sanggup me- mecahkan masalah-
masalah politik, sosial, dan ekonomi ?
14. Coba cari alasan-alasan untuk mengatakan bahwa dalam matapelajaran sosial
anak-anak juga dapat dididik berpikir.
15. Cari bukti-bukti bahwa anak-anak pra-sekolah juga dapat berpikir.
16. Apa sebab belajar menurut teori asosiasi masih sangat banyak diterapkan ?
Apakah pengaruh ujian, test masuk, dan sebagainya ?
17. Bagaimanakah pendapat J. Piaget tentang perkembangan kesanggupan
berpikir pada anak?
18. Selidiki soal belajar di luar sekolah ? Apakah belajar di luar sekolah itu
kurang pentingnya ?

BAB 4
ASAS PSIKOLOGIS ANAK
PENDAHULUAN
Fungsi sekolah ialah (1) menyampaikan kebudayaan kepada generasi muda
demi kelanjutan bangsa dan negara, (2) memberi sumbangan kepada perhaikan
dan pembangunan masyarakat, dan (3) mengembangkan pribadi anak seutuhnya.
Untuk melakukan tugas itu dengan baik, khususnya fungsi ketiga, harus
diperhitungkan anak sebagai faktor penting dalam pengembangan kurikulum.
Pada umumnya faktor anak masih belum mcndapat perhatian yang
selayaknya. Salah satu sebabnya ialah bahwa bahan pelajaran terlampau
diutarnakan, dengan mengharuskan anak menyesuaikan diri dengan bahan itu
dengan segala kesulitannya. Namun "apa" yang diajarkan erat kaitannya dengan
pertanyaan kepada "siapa" diajarkan, untuk lebih mengetahui "bagaimana"
mengajarkannya.
Ada masanya dahulu anak disamakan .dengan orang dewasa dalam
miniatur. Anak dituntut berkelakuan seperti orang dewasa, ia dinilai menurut
ukuran orang dewasa, bahkan dalam pakaian pun ia mengikuti orang dewasa.
Tokoh pertama yang membuka mata dunia untuk melihat dan
memperlakukan anak sebagai anak, bahwa anak itu lain daripada orang dewasa,
namun manusia penuh sebagai individu, ialah J.J. Rousseau (1712-1778). Dalam
bukunya yang terkenal Etnile ia menguraikan fase-fase perkembangan anak, dari
kecil sampai dewasa, perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang menuntut
perlakuan sesuai dengan sifat perkembangannya.
Rousseau antara lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang datang dari
Tuhan adalah baik, akan tetapi dapat menjadi rusak dalam tangan manusia yang
telah dipengaruhi kebudayaan. Ia menganjurkan agar anak diberi kesempatan
untuk berkembang menurut kodrat alam masing-masing. Ki Hajar Dewantara me-
nyatakan sebagai Tut wuri handayani.

Banyak tokoh-tokoh pendidikan yang membaca buku karangan Rousseau
sangat terpengaruh, seperti J.H. Pestalozzi (1746 - 1826), F. Froebel (1776 -
1841), Maria Montessori ( ), dan banyak tokoh lain seperti Ki Hajar Dewantara,
juga John Dewey.
Ada mengatakan, bahwa perubahan yang paling besar dalam pendidikan
dalam abad ke-20 ini ialah menonjolnya kedudukan peranan anak dalam
kurikulum. John Dewey memandangnya sebagai "suatu revolusi" yang
menjadikan anak sebagai pusat pendidikan, seperti perubahan yang dicetuskan
Cpernicus yang menjadi matahari dan bukan bumi sebagai pusat jagat raya. Bila
selama ini anak harus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ditentukan oleh
orang dewasa, kini kurikulumlah yang harus disesuaikan dengan kebutuhan,
minat, dan taraf perkembangan anak. Sekarang tak mungkin lagi kurikulum
dikembangkan tanpa memperhitungkan anak dan perkembangannya.
PERKEMBANGAN ANAK
Perkembangan anak - fisik, emosional, sosial, dan mental- intelektual -
faktor yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam pengembangan
kurikulum. Banyak peneliti yang telah mempelajari anak secara ilmiah, ada yang
mengadakan studi cross- sectional, yakni mempelajari sejumlah besar anak pada
usia tertentu, ada pula studi longitudinal, yang mengikuti perkembangan anak
selama bertahun-tahun, bahkan sampai dewasa. Penelitian perkembangan anak
Indonesia masih menunggu ilmuwan yang berminat.
Berdasarkan berbagai penelitian itu, maka diperoleh sejumlah antara lain :
- Anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, ada masa bayi, masa kanak-
kanak permulaan, masa kanak-kanak lanjutan, masa transesensi menjelang
adolesensi. Pada tiap taraf anak menunjukkan sifat-sifat dan kebutuhan
tertentu. Antara tahap-tahap itu sehenarnya tidak ada batas tertentu yang tegas,
karena perkembangan itu berjalan secara berangsur-angsur.
- Kecepatan perkembangan itu tidak merata. Ada saat-saat cepat atau akselerasi,
ada masa tenang seakan-akan tidak ada perubahan yang disebut "plateau" atau
dataran, ada pula saat yang lambat perkembangannya atau retardasi.

Terdapat hubungan antara perkembangan aspek satu dengan satu lagi.
Perkembangan fisik yang cepat mempengaruhi aspek sosial dan emosional.
Karena cepat perkembangannya, ia lebih besar dan tinggi daripada teman
sekelasnya dan ini dapat mengganggu hubungannya dengan murid-murid lain.
Juga dapat timbul rasa ketegangan dan kegelisahan. Selain itu dapat timbul
minat, sikap dan masalah-masalah baru. Pelajarannya pun mungkin
terpengaruh. Banyak kesulitan yang dihadapi anak karena perkembangan fisik
yang tidak normal.
- Ada perbedaan pola perkembangan antara anak-anak. Ada anak yang pada
awalnya lamban belajar, atau tak dapat mengikuti pelajaran, akan tetapi pada
usia yang lebih lanjut seakan-akan mekar dan menunjukkan prestasi yang luar
biasa. Hal ini bertalian dengan soal kematangan. Ada saatnya anak belum
dapat mempelajari sesuatu, misalnya membaca permulaan, karena belum siap,
belum matang, akan tetapi setelah tercapai kematangan, maka ia cepat dan
mudah menguasainya. Memaksa anak mempelajari sesuatu sebelum saat
kematangan hanya menimbulkan frustrasi yang menyulitkan hidup anak serta
menimbulkan rasa benci terhadap sekolah selain memberi konsep-diri rendah
pada anak.
Karena ada perbedaan pola perkembangan anak, maka kurikulum harus
memperhatikan perbedaan individual itu. Kurikulum kebanyakan didasarkan
atas asumsi bahwa perkembangan anak semuanya sama. Maka ditentukan ba-
han pelajaran yang sama, digunakan metode yang sama dalam proses belajar-
mengajar. Mengizinkan variasi dalam pelajaraan berhubung dengan perbedaan
individual akan sangat menguntungkan bagi anak. Banyak macam usaha untuk
memperhatikan perbedaan individual pada anak. Akan tetapi pelaksanaannya
memerlukan guru yang lebih kompeten daripada mengajar bahan yang
uniform dalam segala aspeknya.
- Adanya pola umum dalam perkembangan anak memungkinkan
pengembangan kurikulum untuk memperkirakan bahan apa yang akan sesuai
kepada kelompok umur tertentu.
Mengenai perkembangan anak dipersoalkan, apakah perbedaan pada anak
disebabkan oleh faktor genetis atau pembawaan, atau faktor lingkungan. Apakah

misalnya kematangan membaca dapat dipengaruhi oleh keluarga yang
menyediakan bacaan, majalah, gambar-gambar, TV, dan lain-lain, ataukah kita
harus menunggu secara pasif sampai saat kematangan itu tiba dengan sendirinya'?
Apakah I.Q. anak konstan, ataukah dapat ditekan atau ditingkatkan melalui mutu
lingkungan? Ternyata lingkungan dapat mempengaruhinya. Anak-anak dari
lingkungan sosial-ekonomi yang haik lebih mengikuti pelajaran daripada anak-
anak dari rumah tangga miskin.
Pengetahuan tentang perkembangan anak, masih kurang jelas penerapannya dalam
kurikulum, walaupun selalu menjadi pokok pertimbangan. Salah satu sebabnya
ialah, bahwa penelitian sering hanya meliputi salah satu aspek, misalnya aspek
jasmani, aspek inteligensi, dan lain-lain. Kesulitan bagi pengembang kurikulum
ialah melihat perkembangan anak sebagai keseluruhan yang bulat.
ANAK SEBAGAI KESELURUHAN
Sekolah tradisional terutama bertugas menyampaikan sejumlah pengetahuan
melalui berbagai mata pelajaran. Pendidikan serupa ini mengutamakan aspek
intelektual Orangtua mengirimkan anaknya ke sekolah agar menjadi pandai dalam
arti mengumpulkan pengetahuan yang banyak. Juga anak giat belajar demi ilmu
yang akan diperolehnya. Dengan ilmu yang banyak lebih terjamin masa depannya
untuk melanjutkan pelajarannya yang hanya dimungkinkan bila lulus dalam ujian
yang justru menguji pengetahuannya. Aspek kepribadian lainnya tidak mendapat
pertimbangan.
Karena aspek intelektual diutamakan, maka segi pendidikan lainnya
cenderung diabaikan, seperti kepandaiannya bergaul, minatnya terhadap kesenian
atau olahraga. Lambat laun konsep tentang pendidikan mengalami perubahan dan
sekolah modern menaruh perhatian kepada perkembangan seluruh pribadi anak,
baik mengenai segi jasmani, emosi, sosial maupun intelektual. Anak dinilai bukan
hanya berdasarkan prestasi intelektualnya, akan tetapi dalam segala segi
kepribadiannya secara komprehensif. Sebenarnya pribadi anak selalu merupakan
suatu kebulatan dan tak dapat dipisah-pisah dalam bagian-bagian yang lepas-
lepas. Anak yang terganggu kesehatannya, sakit, lapar atau lelah, anak yang
mengalami kesulitan emosional karena frustrasi, anak yang terisolasi dalam kelas

tanpa teman, anak yang merasa dibenci oleh guru, dengan atau tanpa alasan, anak
yang merasa dirinya rendah karena konsep-diri yang rendah, anak-anak serupa itu
akan terganggu dalam pelajarannya .
Anak menerima pelajaran bukan hanya dengan "kepalanya", akan tetapi
juga dengan "hatinya" . Guru sebagai pelaksana kurikulum hendaknya jangan
melihat dirinya hanya sebagai pengajar yang menyampaikan bahan pelajaran, ia
juga pendidik yang berusaha mengembangkan segala potensi anak agar menjadi
manusia seutuhnya. Guru harus pandai, harus banyak tahu, harus menguasai
disiplin ilmu, itu benar dan sangat diinginkan, akan tetapi ia juga pendidik dan
tugas ini memerlukan kompetensi dan pribadi yang jauh lebih luas daripada
sekadar pengetahuan.
ANAK SEBAGAI PRIBADI TERSENDIRI
Tak ada dua orang yang sama dalam segala hal di dunia ini. Selalu terdapat
perbedaan antara dua individu karena pengaruh pembawaan dan lingkungan. Dari
segi pembawaan hanya anak kembar identik yang sama, akan tetapi bila mereka
ditempatkan dalam lingkungan yang jauh berbeda, maka akan tampak berbagai
perbedaan di antara mereka.
Anak-anak saling berbeda, jasmaniah, rohaniah, emosional, dan sosial.
Mereka juga berbeda dalam segi inteligensi, tinggi dan berat badan, tekanan
darah, minat stabilitas emosional, kesehatan, kecepatan bereaksi, kecepatan
membaca, keterampilan berhitung, latar belakang, sosial-ekonomi, pendidikan di
ramah, kesukuan, agama, keterampilan motoris, cita-cita dan dalam banyak hal
lain, sehingga tak mungkin dua orang sama. Ada pula perbedaan jenis kelamin
yang perlu mendapat perhatian agar mereka dapat melakukan tugasnya sesuai
dengan tuntutan masyarakat. Usia anak-anakpun ada perbedaannya walaupun
duduk di kelas yang sama. Bila Saudara memperhatikan suatu kelas, atau
mengamati sekelompok anak bermain, dalam waktu lima menit Saudara akan
melihat berbagai perbedaan antara anak-anak.
Juga pada diri anak sendiri terdapat perbedaan dalam perkembangannya
dalam berbagai bidang. Anak berbakat mungkin cepat perkembangan

intelektualnya akan tetapi ketinggalan dalam aspek sosial emosionalnya. Anak
yang cepat berkembang secara fisik, mungkin sulit mengikuti pelajaran akademis
Kepandaian anak dalam suatu bidang studi mungkin berbeda dengan penguasaan
bidang lain.
Apakah sekolah harus berusaha melenyapkan perbedaan individual itu atau
setidaknya memperkecilnya? Di sekolah tradisional, dalam pendidikan masal
umumnya, perbedaan individual kurang dapat diperhatikan, malah sering tidak
diacuhkan. Kurikulum uniform, pelajaran sama bagi semua, metode belajar-
mengajar juga sama demikian juga penilaiannya. Pada jam yang sama semua anak
melakukan pekerjaan yang sama membuat hitungan yang sama, menulis kalimat
yang sama, menggambar barang yang sama. Pelajaran diresapi oleh
keserbasamaan. Pada saat tertentu semua akan dihadapkan kepada ujian akhir
yang sama pula yang dapat dinilai dengan menggunakan komputer untuk memberi
cara penilaian yang sama. Tampaknya pendidikan demikian berusaha menempa
anak-anak yang pada hakikatnya serba-ragam menjadi manusia yang serba-sama.
Kurikulum yang ditentukan oleh pihak atasan uniform bagi jenis pendidikan
yang sama. Untuk lebih menjamin kesamaan, maka tujuan diuraikan sampai taraf
spesifik termasuk bahan pelajaran yang terkait dan juga proses belajar-mengajar
dan buku pelajarannya. Dengan sendirinya guru sebagai pelaksana kurikulum
akan patuh berpegang pada ketentuan itu. Apakah masih ada kemungkinan bagi
guru memandang dirinya sebagai pengembang kurikulum dalam arti mikro untuk
menyesuaikan pelajaran dengan perbcdaan anak dan keadaan lingkungan sekolah?
juga di tingkat Perguruan Tinggi terdapat gejala yang sama dengan menentukan
mata kuliah untuk tiap jurusan, sering tanpa kesempatan untuk mengadakan
pilihan.
Dari segi hakikat individu yang berbeda-beda, memaksa pelajar mengikuti
pelajaran yang sama akan merugikannya. Ada kurikulum yang fleksibel yang
memungkinkan siswa mengadakan pilihan. Ada sistem semester pada hakikatnya
bertujuan memberi pilihan itu, dan walaupun pelajaran yang diikuti berbeda-beda,
jumlah kredit akan menentukan apakah telah dipenuhi syarat untuk lulus. Dengan
sistem kredit, mahasiswa tidak terbatas lagi perkuliahannya pada apa yang

disediakannya dalam satu jurusan, akan tetapi semua mata kuliah di universitas
terbuka baginya. Dengan demikian universitas akan sungguh-sungguh menjadi
universitas dan bukan kumpulan fakultas atau jurusan.
Memperhatikan perbedaan individual tidak berarti bahwa semua pelajaran
harus berbeda. Ada hal-hal yang termasuk pengetahuan umum yang harus dimiliki
oleh setiap siswa yang diharapkan dari setiap warga negara. la harus mengenal
falsafah negara, harus menguasai bahasa nasional, sejarah, bangsa mempunyai
badan yang sehat, dan sebagainya. Akan di samping itu ia hendaknya dapat
menikmati pendidikan sesuai dengan bakat dan minatnya.
Perbedaan individual sangat besar nilainya. Kemajuan-kemajuan dalam
banyak lapangan hidup justru diperoleh berkat orang-orang yang mempunyai
pendirian, kemampuan dan pikiran yang orisinal, yang lain daripada yang lain.
Inisiatif orang-orang yang mencari jalan-jalan baru sering membawa kemakmuran
dan kemudahan bagi umat manusia, walaupun mereka pada awalnya mendapat
kecaman, tantangan, bahkan celaan. Kreativitas dan inisiatif ini sering dibunuh
atau tidak dipupuk di sekolah tradisional. Ini berarti kerugian besar bagi bangsa
dan negara, karena dengan demikian banyak bakat disia-siakan. Pendapat modern
menginginkan program sekolah yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya
bagi perkembangan bakat anak. Kurikulum yang uniform pasti tidak akan
memenuhi keinginan itu.
Tiap anak berbeda dengan anak lain. Untuk mendapat gambaran yang lebih
jelas tentang perbedaan itu dalam pengajaran, perlu kita perhatikan hal-hal
berikut:
a. Walaupun tiap anak unik, persamaan antara manusia lebih besar daripada
perbedaannya.
b. Namun demikian perbedaan itu lebih besar daripada uang diduga si pendidik.
c. Perbedaan itu sebagian besar bersifat kuantitatif, bukan kualitatif, misalnya,
semua anak mempunyai inteligensi, akan tetapi tarafnya berbeda-beda, ada
yang tinggi, ada yang rendah.
d. Kesanggupan yang luar biasa pada umumnya bukanlah akibat kompensasi,
yakni ditimbulkan oleh kekurangan di bidang lain. Kelemahan di bidang

tertentu, tidak dengan sendirinya membangkitkan kesanggupan istimewa di
bidang lain.
e. Perbedaan individual tidak hanya dalam bidang inteligensi, akan tetapi juga
dalam bidang emosional, sosial, fisik, sikap, dan lain-lain yang harus
dipertimbangkan dalam pendidikan.
f. Sifat-sifat seseorang harus ditinjau dalam rangka keseluruhan pribadinya.
Menyesuaikan kurikulum dan pengajaran dengan perbedaan individual
adalah usaha yang memerlukan pemikiran, kreativitas, pengertian, serta hasrat
untuk memberikan yang sebaik-baiknya kepada tiap anak. Selain itu perlu usaha
untuk mengenal anak secara individual.
KEBUTUHAN ANAK
Kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan anak. Ada kurikulum yang
secara ekstrem mendasarkan kurikulum semata-mata pada kebutuhan anak, yang
disehut child-cebtered curriculum. Ditinjau dari segi pshikologis-didaktis banyak
kebaikannya. Pelajaran didasarkan atas minat anak, anak turut serta merencanakan
apa yang ingin dipelajarinya. Akan tetapi banyak pula kelemahannya, antara lain:
a. Anak-anak sering tidak mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkannya.
b. Pelajaran tidak dapat lebih dahulu direncanakan guru, karena baru lahir dalam
rundingan dengan anak. Tiap tahun pelajaran berlainan karena anaknya
berganti. Jadi tidak ada pegangan bagi guru dan murid tentang pelajaran yang
akan datang. Tidak ada pula kontinuitas dalam pelajaran dari tahun ke tahun.
c. Memperturutkan anak belum menjamin kesesuaiannya dengan tujuan
pendidikan.
d. Sebenarnya tak ada pelajaran yang sepenuhnya individual, sebab selalu
berlangsung dalam konteks sosial. Anak berada dalam masyarakat dan apa
yang dipelajari harus juga memenuhi tuntutan masyarakat.
Karena keberatan-keberatan itu kurikulum serupa itu hanya dilakukan pada
sekolah-sekolah eksperimen. Namun demikian eksperimen itu besar pengaruhnya
terhadap kurikulum selanjutnya. Bermacam-macam cara yang dijalankan untuk
memperhatikan perbedaan individual dalam proses belajar-mengajar.

Kebutuhan anak dapat digolongkan dengan berbagai cara. Salah satu cara
ialah membaginya atas : kebutuhan jasmani, kebutuhan pribadi, dan sosial.
KEBUTUHAN JASMANIAH
Setiap anak ingin bergerak dan menggunakan badannya. Anak-anak suka
berlari-lari melompat-lompat, memanjat-manjat dan melakukan aktivitas-aktivitas
jasmaniah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan memberikan pendidikan jasmani.
Dalam arti modern pendidikan jasmani bertujuan mendidik manusia, yakni
mewujudkan tujuan pendidikan dengan menggunakan kejasmanian sebagai titik
bertolak, akan tetapi tujuan khusus yaitu membentuk manusia yang sehat dan kuat
merupakan aspek yang penting pula. Bangsa kita pada umumnya belum cukup
sehat dan kuat menurut normanorma tertentu.
Di samping pendidikan jasmani harus diusahakan adanya keseimbangan
antara bekerja dengan istirahat, harus diperhatikan agar anak-anak cukup tidur,
cukup bermain serta mendapat makanan yang sehat.
Kesehatan dan pertumbuhan jasmani hendaknya senantiasa di bawah asuhan
dokter dan juru rawat sekolah.
KEBUTUHAN PRIBADI
Anak-anak mempunyai dorongan untuk memuaskan keinginan untuk
mengetahui sesuatu, untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan jalan
bahasa, pekerjaan, lukisan, seni, suara, atau gerak. Mereka ingin menguasai suatu
keterampilan, ingin merasai kepuasan atas hasil atau sukses yang mereka capai.
Mereka ingin dipuji atas usaha mereka, sekalipun hasil mereka itu jauh di bawah
norma-norma orang dewasa. Setiap anak ingin diakui dan dihormati sebagai
individu yang mempunyai tempat dan hak dalam masyarakat sekolah, rumah
tangga, dan dunia sekitarnya. Anak-anak ingin mempunyai harga diri dan ,harkat
sebagai manusia. Anak-anak ingin ingin aktif. Dorongan ini mudah kita lihat pada
setiap anak. Di sekolah dorongan ini sering dikekang dan ditekan agar murid-
murid tidak melanggar disiplin yang tegang yang menginginkan, agar anak diam
duduk diam di bangku sambil mendengarkan ucapan-ucapan guru dan ia dituduh
anak nakal bila ditunjukkannya keaktifannya.

Sekolah zaman sekarang berusaha memenuhi kebutuhankebutuhan itu
dengan memberi anak-anak kebebasan bergerak, bekerja, mengadakan percobaan-
percobaan dan melakukan tugas-tugas lain, asal saja jangan menganggu orang
lain. Kebebasannya dibatasi oleh hak-hak orang lain yang juga merupakan haknya
sendiri. kelas itu dijadikan semacam laboratorium atau ruang kerja di tempat
anak-anak belajar dalam suasana yang lebih leluasa.
KEBUTUHAN SOSIAL
Tak mungkin manusia itu hidup lepas dari masyarakat. Seorang bayi tidak
akan mungkin hidup serta mengembangkan pembawaannya tanpa bantuan orang
tuanya dan banyak orang lain yang tak terhitung jumlahnya. Setiap manusia harus
hidup dalam hubungan yang erat dengan orang lain untuk mencapai
kebahagiaannya. Mencari hubungan dengan orang lain ialah dorongan yang wajar
pada tiap anak.
Membimbing anak agar ia menjadi mahluk sosial ialah suatu fungsi sekolah
yang amat penting. Bila ini kita akui, maka kita menyangsikan manfaat cara yang
dipakai sekolah yang memaksa murid-murid duduk diam, melarang mereka
membicarakan pelajaran serta bantu-membantu dalam memecahkan suatu soal. Di
sekolah lebih diutamakan persaingan daripada gotong-royong.
Kurikulum modern memberi murid-murid lebih banyak kebebasan bekerja
sama dalam kelompok untuk melakukan tugas-tugas. Murid-murid diajak
berunding untuk menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah-
langkah untuk mencapai tujuan itu. Dalam hal ini pendapat setiap anak dihargai
dan dipertimbangkan. Dengan demikian sekolah dijadikan suatu masyarakat
tempat murid-murid mempraktikkan hak dan kewajihan anggota-anggota
masyarakat yang demokratis. Human relationship atau hubungan antar-manusia
hendaknya lebih dipentingkan di sekolah. Dari penyelidikan-penyelidikan ternyata
bahwa kebahagiaan seseorang dalam kehidupan dan jabatannya bukanlah
ditentukan oleh pengetahuan intelektualnya, melainkan terutama oleh
kesanggupannya untuk bergaul dan bekerja sama dengan orang lain.

Seperti dikatakan di atas, ada bermacam-macam cara untuk membagi
kebutuhan anak. Saudara dapat mempelajarinya lebih lanjut dalam buku-buku
tentang psikologi anak.
KEBUTUHAN MENURUT BEBERAPA TOKOH
Salah satu daftar kebutuhan manusia yang pokok yang cukup terkenal ialah
yang dihasilkan oleh Abraham Maslow atas dasar penelitian yang luas dan
mendalam, yakni kebutuhan akan:
1. survival, kebutuhan fisiologis, untuk hidup, survival.
2. security, atau rasa aman
3. love and belonging, kebutuhan akan cinta-kasih
4. self-esteem, kebutuhan akan harga-diri
5. self-actualization, kebutuhan untuk merealisasikan kepribadian yang penuh.
Agar dapat merealisasikan diri, agar dapat mengembangkan potensi yang
dimiliki sepenuhnya, harus dipenuhi segala kebutuhan yang dibawanya, oleh
sebab kebutuhan itu bersifat hierarkis. Tak dapat anak merasa aman, bila ia
merasa kelaparan, tak mungkin mempunyai harga-diri bila tidak dicintai, tidak
merasa aman dan mendapat kecukupan dalam keperluan makanan, pakaian, dan
lain- lain.
Kebutuhan yang tertinggi yang harus dicapai ialah self- realization, yakni
menemukan identitasnya, siapa dia, apa yang diinginkannya, akan menjadi apa ia.
Agar ini tercapai ia harus dibantu untuk mengetahui apa yang dapat dilakukannya
dan diberi kesempatan untuk agar ia berhasil melakukannya dengan baik. Rasa
berhasil, sukses dalam pekerjaan dan pelajaran, termasuk pelajaran sekolah,
membantu anak ke arah self-actualization. Dalam kurikulum perlu diusahakan
keseimbangan antara kebutuhan institusional dan kebutuhan pribadi anak.
Lingkungan, termasuk guru dan orangtua, dapat membantu, dapat pula
menghalangi anak mentiju self-realization.
Louis Raths mengembangkan teorinya tentang kebutuhan pokok yang
menunjukkan sejumlah persamaan dengan Maslow. Ia membedakan delapan
macam kebutuhan, yakni:

1. The need for love and affection (cinta kasih)
2. The need for achievement (Keberhasilan)
3. The need for belonging (diterima dalam kelompok)
4. The need for self-respect (harga-diri)
5. The need to be free from deep feelings of guilt (bebas dari rasa berdosa yang
mendalam)
6. The need to be free from deep feelings of fear (bebas dari rasa takut yang
mendalam)
7. The need for economic security (rasa aman dalam keuangan, dan lain-lain)
8. The need for understanding of self (pengenalan diri).
Menurut Raths guru dapat mempelajari cara-cara memenuhi kebutuhan itu
dalam rangka pelajaran di sekolah. Guru dapat mengidentifikasi kelakuan anak
yang tak-sosial, walaupun ia bukan ahli psikologi atau psikiatri. Tujuan Raths
ialah agar guru herusaha menciptakan lingkungan belajar yang memberi rasaaman
kepada anak-anak. Ia meminta perhatian guru yang lebih banyak terhadap
kebutuhan emosional anak dengan keyakinan, bahwa bila kebutuhan ini dipenuhi,
maka anak akan lebih berhasil melakukan tugas-tugas sekolah lainnya.
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN MENURUT EARL KELLEY
Earl Kelley mengemukakan pendirian bahwa kepribadian seluruhnya atau
hampir seluruhnya dibina dalam hubungan atau interaksi dengan manusia lainnya,
jadi dalam hubungan sosial seorang bayi telah memiliki perlengkapan untuk
berkembang, akan tetapi ia tidak akan dapat mengembangkan dirinya bila tidak
dalam kehadiran orang lain: Anak-anak perlu senantiasa meng adakan interaksi
positif dengan anak-anak maupun orang dewasa, sehingga memiliki kepribadian
yang dapat berfungsi sepenuhnya, "a fully functioning self". Int dapat dilakukan
dalam kegiatan belajar dan kegiatan lainnya di sekolah. Menurut Earl Kelley
pribadi yang berfungsi penuh, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
- Ia berpikir baik tentang dirinya, demikian pula tentang orang lain serta
mengetahui bahwa orang lain penting baginya.

- Ia melihat dirinya sebagai pribadi yang senantiasa dalam proses
perkembangan secara dinamis, dan dalam penycmpurnaan diri melihat nilai
membuat kesalahan.
- Ia melihat pentingnya manusia baginya, mengembangkan dan menghormati
nilai-nilai kemanusiaan. Ia tahu, tak ada jalan dalam hidupnya selain
berpegang pada nilai-nilai.
- Oleh sebab hidup ini senantiasa berubah dan berkembang, ia akan senantiasa
kreatif dalam peranannya.
Guru-guru dapat menggunakan prinsip-prinsip di atas sebagai pegangan
untuk mencapai tujuan kurikulum di sekolah. Mengembangkan kepribadian anak
juga akan membantunya mencapai tujuan-tujuan lain.
DEVELOPMENTAL TASKS
Seperti kami katakan, kebutuhan anak ditinjau dari segi psiko-biologis, tak
perlu bertentangan dengan kebutuhannya ditinjau dari segi masyarakat.
Berbarengan dengan pertumbuhan anak, masyarakat mempunyai tuntutan tentang
kelakuannya. Tiap individu mempunyai tugas-tugas tertentu, yang diharapkan
masyarakat dapat dan harus dilaksanakannya. Sewaktu masih bayi ibu mengganti
bajunya, akan pada usia tertentu ibu mengharapkan ia dapat melakukannya
sendiri. Makin tambah usianya, makin banyak hal-hal yang diharapkan orang tua
dan masyarakat umum daripadanya.
Gejala ini dituangkan Erikson dan yang lebih terkenal R. J. Havighurst
dalam konsep developmental tasks yakni tugas-tugas yang harus dipenuhi oleh
seseorang, sesuai dengan taraf perkembangannya. Ini diharapkan, bahkan dituntut
oleh lingkungannya. Bila ia dapat memenuhinya, ia akan merasa senang, dan ia
akan berhasil melakukan tugas-tugas selanjutnya. Akan tetapi bila ia tidak dapat
memenuhinya ia akan mendapat celaan dan kecaman, maka ia tidak merasa
bahagia dan tidak akan sanggup melakukan tugas berikutnya dengan berhasil
baik.
Developmental tasks ini meningkat dengan bertambah usianya, dari anak
sekolah, pemuda, dan seterusnya. Developmental tasks ini tak ada akhirnya,

dihadapi oleh anak, pemuda, orang dewasa, masa tua, masa pensiun, sampai akhir
hayat.
Developmental tasks berbeda menurut kebudayaan tempat anak itu hidup,
misalnya berbeda di berbagai daerah di Tanah Air kita, berbeda dengan negara
lain.
Adanya developmental tasks ini memberi gambaran lain tentang kebutuhan
anak. Dalam arti psikologis kebutuhan itu bersifat individual, sedangkan dari segi
"developmental tasks" mengandung aspek sosial. Ditinjau dari segi ini kurikulum
yang "child-centered" yang ekstrim tak dapat dipertahankan.
Implikasi "developmental tasks" bagi kurikulum ialah, bahwa kurikulum
yang didasarkan atas konsep itu akan mempertemukan kebutuhan perkembangan
fisik, sosial, motivasi, emosi, dan lain-lain secara terpadu. Selanjutnya dapat
memperjelas tujuan pendidikan dan saat yang lebih tepat untuk mengajarkannya.
Sukses dalam "developmental tasks" memberi pengaruh positif terhadap prestasi
sekolah. Selanjutnya kami berikan "developmental tasks" bagi anak sekolah dan
pemuda.
Kita harus menyelidiki hingga manakah pokok-pokok yang di atas
merupakan masalah-masalah bagi anak-anak Indonesia. Penelitian serupa ini perlu
diadakan, kalau kita ingin membantu murid-murid memecahkan kesukaran
pribadinya dengan membicarakannya di sekolah. Dengan memasukkannya ke
dalam kurikulum, kita memberikan bimbingan kepada anak untuk menyesuaikan
diri dengan dunia dan dengan dirinya sendiri yang sedang mengalami persoalan
itu.
Seperti telah dikatakan, kebutuhan anak, ditinjau dari psikobiologis tidak
perlu bertentangan dengan kebutuhannya ditinjau dari sudut masyarakat. Salah
satu usaha untuk mempertemukan kedua aspek itu dilakukan oleh R.J. Havighurst
yang menggunakan pengertian "developmental tasks" yakni tugas-tugas yang tak
dapat tiada harus dipenuhi oleh setiap anak sesuai dengan setiap taraf
perkembangannya yang dituntut oleh lingkungan atau masyarakat. Memenuhi
tugas itu berarti kebahagiaan dan sukses dalam melakukan tugas-tugas berikutnya.

Kegagalan memenuhinya berarti kesusahan bagi individu, celaan oleh masyarakat
dan kesulitan untuk tugas-tugas selanjutnya.
Developmental tasks" untuk anak-anak ialah :
1. Mempelajari kecekatan jasmani yang perlu untuk permainan-permainan biasa.
2. Membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sebagai organisme yang hidup.
3. Belajar bergaul dengan teman-temannya sebaya.
4. Mempelajari peranan sosial sebagai anak laki-laki atau perempuan.
5. Memperoleh kecakapan-kecakapan fundamental dalam membaca, menulis,
dan berhitung.
6. Membentuk pengertian-pengertian yang perlu untuk kehidupan sehari-hari.
7. Membentuk kata-hati, kesusilaan, dan skala norma-norma.
8. Mencapai kemerdekaan pribadi.
9. Memupuk sikap terhadap golongan dan lembaga-lembaga sosial.
"Developmental tasks" bagi pemuda menurut Havighurst sebagai berikut :
1. Mencapai hubungan sosial yang lebih memuaskan dan lebih matang dengan
anggota jenis kelamin lain.
2. Menerima dan mempelajari tugas atau peranan menurut jenis kelamin masing-
masing sesuai dengan norma-norma masyarakat. Anak gadis menerima dan
mempelajari tugasnya wanita dan anak laki-laki sebagai bakal bapak yang
akan bertanggung jawab atas rumah tangganya.
3. Menerima baik keadaan badannya dan menggunakannya dengan efektif.
Pemuda-pemuda ada yang bercita-cita mempunyai tampan seperti bintang film
akan tetapi keadaan jasmaninya mungkin kurang sesuai dengan idamannya itu.
Tugasnya ialah menerima bentuk badannya itu sebagaimana adanya dan
menggunakan sebaik-baiknya.
4. Memperoleh kemerdekaan emosional lepas dari kebergantungannya dari orang
tua dan orang dewasa lain, membebaskan dirinya dari sifat-sifat yang
kekanak-kanakan. Tugas ini harus telah dimulai sejak kecil. Tugas ini sering
dipersulit oleh adat istiadat, sikap orang tua, dan faktor-faktor lain.

5. Memperoleh kemerdekaan ekonomi. tugas ini terutama berlaku bagi anak pria
akan tetapi berangsur-angsur bertambah penting bagi anak-anak wanita.
6. Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu jabatan. Jabatan itu penting
dalam masyarakat dan menjamin kemerdekaan ekonomi serta memberi
kedudukan sosial.
7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan rumah tangga.
Tujuannya ialah memperoleh sikap yang positif terhadap kehidupan keluarga
dan pendidikan anak-anak.
8. Memperoleh kecakapan dan pengertian yang diperlukan untuk menjadi warga
negara yang baik, yakni pengertian tentang undang-undang pemerintah,
ekonomi, politik, lembaga-lembaga sosial, dan lain-lain.
9. Memupuk kelakuan yang secara sosial dapat dipertanggung jawabkan, yakni
dengan turut serta dalam kehidupan masyarakat dan negara sebagai orang
dewasa dan memperhitungkan norma-norma masyarakat dan kelakuannya.
10. Memperoleh sejumlah norma sebagai pegangan untuk kelakuannya yang
digunakannya sebagai pandangan hidup untuk memahami kedudukannya di
dunia ini serta hubungannya dengan manusia lain.
"Developmental tasks" yang dikemukakan oleh Havighurst harus pula kita
selidiki kebenarannya bagi anak-anak Indonesia dan menyesuaikannya dengan
keadaan yang dihadapi oleh pemuda-pemuda dalam masyarakat kita.
Tugas-tugas yang dihadapi mereka ditentukan oleh pertumbuhan psiko-
biologis yang mungkin mempunyai dasar persamaan bagi seluruh pemuda di
seluruh dunia, tetapi juga menunjukkan perbedaan karena tuntutan masyarakat
yang berlainan di berbagai tempat.
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Seorang ahli psikologi Swiss, Jean Piaget selama 40 tahun mengadakan
penelitian tentang perkembangan intelektual atau proses berpikir anak, dari bayi
sampai masa pemuda. Ia antara lain menemukan bahwa anak-anak pada mulanya
masih berpikir

menurut apa yang dilihatnya, misalnya bahwa gelas yang lebih tinggi lebih
banyak isinya daripada gelas yang pendek, walaupun sebenarnya isinya sarna,
karena isi gelas tinggi dipindahkan ke dalam gelas pendek. Anak-anak haru dapat
memusatkan perhatiannya kepada satu variabel. Ia belum dapat melihat hubungan
antara dua variabel, tinggi dan lebar gelas, yang diperhatikannya hanya tingginya.
la juga belum dapat memahami bahwa satu objek dapat mempunyai lebih dari satu
ciri yang dapat dimasukkan dalam klasifikasi yang berbeda-beda, misalnya bahwa
seorang dapat tinggal sekaligus di Bandung dan di Jawa.
Akan tetapi proses berpikir anak berkembang terus berkat bertambahnya
pengalaman daan pengetahuannya. Pada usia sekitar 7 tahun telah tampak
pemikiran logis pada anak. Ia telah dapat melihat hubungan antara bagian dengan
keseluruhan, juga dapat melihat analogi. Akan tetapi pada fase pertama
pemikirannya terutama mengenai data yang konkrit. Kegiatan mentalnya ditu-
jukannya kepada objek dan kejadian yang kongkret yang langsung di hadapannya.
Pada fase berikut, sekitar usia 12 tahun ia mulai herpikir secara abstrak
dengan menggunakan generalisasi dan konsep-konsep.
Perkembangan intelektual menurut Piaget dalam garis besarnya adalah
sebagai berikut :
1. Fuse senso-motoris (bayi - 2 tahun)
- gerak refleks, koordinasi tangan - mulut, koordinasi tangan - mata,
koordinasi pengamatan alat - dria (sensory) dan gerakan (motoris),
mencari benda yang diambil dari penglihatannya, mengadakan berbagai
usaha untuk mencapai tujuan.
2. Fase pra-operasional (2 - 7 tahun)
- masalah dipecahkan dengan memikirkannya, perkembangan bahasa dan
persepsi yang cepat (2 - 4 tahun), pikiran dan bahasa bersifat ego-sentris,
subjektif, hanya dari pandangannya sendiri, orientasi menurut bagaimana
ia melihat sesuatu, mengetahui tangan kanannya, akan tetapi bukan tangan
kanan orang yang menghadapinya, pandangan animistis, memandang
benda mati seperti makhluk hidup, misalnya matahari tidur, mengacaukan
khayal dan kenyataan.

3. Fase operasional konkrit (7 - 11 tahun)
- memahami reversibilitas, misalnya volume air tetap, walaupun bentuk
bejana berbeda; mulai dapat berpikir mengenai masalah konkrit, berpikir
sambil memanipulasi benda; masih belum dapat memecahkan masalah
verbal yang agak kompleks.
4. Fase operasi formal (11 - 15 tahun)
- semua jenis masalah logis, termasuk mengemukakan dan menguji
hipotesis dapat dipecahkan; telah dapat menganalisis validitas cara-cara
berpikir; pemikiran formal masih egosentris dalam arti masih ada
kesukaran untuk menyesuaikan yang ideal dengan kenyataan.
Dengan operasi mental dimaksud mengoperasionalkan pikiran, atau pendek
kata berpikir. Adanya pembagian dalam fase-fase tidak berarti bahwa ada batas
yang tegas antara fase-fase itu. Perkembangan intelektual berjalan secara kontinu.
Faktor-faktor yang dapat membantu perkembangan intelektual antara lain :
a. kematangan, terutama pertumbuhan, namun dapat dipengaruhi.
b. pengalaman, pengaruh lingkungan.
c. transmisi sosial, apa yang diperolehnya dari lingkungan kebudayaannya,
namun perlu diolah secara mental.
d. keseimbangan, artinya bahwa bila dihadapkan dengan masalah akan
mengalami gangguan keseimbangan dan tidak akan puas sebelum masalah
dipecahkan untuk mengembalikan keseimbangannya pada taraf yang lebih
tinggi. Jika ia menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan struktur
mentalnya, ia harus mengadaptasikannya dengan membentuk struktur mental
yang lebih tinggi. Setelah itu dapat mengasimilasi hal-hal yang tercakup oleh
struktur mentalnya. Proses adaptasi dan asimilasi berjalan terus demikian
mengembangkan kemampuan intelektualnya.
PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL
Dalam garis besarnya perkembangan emosional bergerak dari kedudukaan
kebergantungan ke taraf ketidak-bergantungan atau kemandirian, dan dari
perhatian untuk diri-sendiri ke orientasi kepada orang lain.

Pada mulanya anak sangat bergantung terutama kepada orang tuanya,
khususnya ibunya, oleh sebab ia masih serba-lemah, serba tak tahu. Untuk segala
kebutuhannya ia memerlukan bantuan lingkungannya. Dengan berkembangnya
dalam bidang fisik, intelektual, dengan bertambahnya pengalamannya, lambat
laun ia lebih mampu mengurus diri sendiri. Dan akhirnya, menjelang kedewasaan
dalam banyak hal ia telah mandiri dan tak lagi banyak bergantung kepada orang
tua sampai ia dewasa dengan kemandirian penuh.
Dalam perkembangan sosialnya, ia mula-mula hanya menaruh perhatian
kepada kepentingan dan perasaannya saja. Pada usia sekolah dan sepanjang di SD,
ia berangsur-angsur menaruh perhatian kepada orang lain. Ia dapat mengikat tali
persahabatan dengan teman lain, ia mulai dapat mempengaruhi kelakuan orang
lain dan senantiasa memperluas lingkaran pesahabatannya. Perhatiannya masih
banyak terhadap orang-orang yang dekat padanya dalam keluarga.
Lambat laun, menjelang dan selama masa pubertas, ikatannya dengan teman
sebaya bertambah erat, bahkan pengaruh teman melebihi pengaruh orangtua, yang
makin merosot. Anak itu, yang mencari identitasnya sendiri serta kemandirian
mulai berkonflik dengan orangtua, apalagi bila orangtua ingin memperlakukannya
seperti sediakala. Pada scat inilah terjadi krisis identitas. Ia mulai bertanya, "Siapa
saya?" Siapa dia, bagaimana konsep dirinya banyak diperolehnya dari feedback
atau reaksi orang lain terhadap kelakuannya.
Ia selanjutnya berkembang sebagai anggota masyarakat yang lebih luas,
seperti anggota masyarakat negara dan dunia.
Ia juga harus mengembangkan diri dalam hubungannya dengan anggota
jenis kelamin lain, mengembangkan kemampuan untuk mengadakan hubungan
intim dan akrab dengan seseorang sebagai persiapan untuk membentuk rumah
tangga sendiri.
Kurikulum sekolah hendaknya membantu anak dalam transisi sosial untuk
melepaskan diri dari ikatan keluarga dan pengaruh temah sebaya, untuk mencari
identitasnya sendiri serta kemandirian yang diperlukan bagi setiap orang yang
dewasa.

Perkembangan moral
Tokoh yang paling terkenal yang telah ineneliti perkembangan moral anak
ialah Lawrence Kohlberg. la memilih 50 orang, berusia antara 10-28 tahun, lalu
mewawancarai mereka tiap tiga tahun selama 18 tahun. Dalam wawancara itu
anak itu dihadapkan kepada situasi yang mengandung dilemma moral yang
metnberi kemungkinan macam-macam jawaban. Peneliti ingin mengetahui apa
alasan atau sebab anak memilih jawaban tertentu. Berdasarkan penelitian ternyata
bahwa perkembangan moral anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut urutan
tertentu. Tak mungkin seorang melompati salah satu tahap.
Kohlberg menemukan enam tingkatan dalam perkembangan moral yakni
tingkatan pra-konvensional, konvensional, pascakonvensional dan masing-masing
tingkatan terbagi dalam dua bagian.
Tingkatan pra-konvensional
Pada tingkatan ini anak telah dapat merenspons terhadap aturan dan akan
tetapi baik dan buruk diukur dari konsekuensi fisiknya berupa hukuman atau
ganjaran dan pujian yang ditentukan oleh orang yang memegang otoritas.
1. Orientasi hukuman dan kepatuhan
Sesuatu dianggap baik bergantung pada hukuman atau akibat fisik baginya
yang menyakitkan atau menyenangkan. Hukuman harus dihindari dengan
menunjukkan kepatuhan. Kepatuhan baik, karena tidak menimbulkan konsekuensi
fisik yang merugikan.
2. Orientasi instrumental
Tindakan baik bila memberi kepuasan bagi diri atau juga bagi orang lain.
Bahkan kita berbuat baik agar orang lain baik pula kepada kita. Berhuat baik
merupakan instrumen atau alat untuk menerima kebaikan dari orang lain. Kita
menolong orang lain agar ia kelak akan menolong kita.
Tingkatan konvensional
Pada tahap ini anak ingin memelihara hubungan baik dengan orang lain,
keluarga, masyarakat, negara, menurut apa yang diharapkan, tanpa mementingkan
konsekuensinya. Apa yang diharapkan oleh orang yang dianggap sebagai sesuatu

yang berharga. Karena itu ia ingin menyesuaikan diri dengan harapanharapan itu
dengan menunjukkan kesetiaannya kepada ketentuan-ketentuan demi ketertiban
masyarakat.
3. Orientasi kerukunan antar individu
Kelakuan yang baik ialah yang menyenangkan orang lain, yang dilakukan
dengan itikad baik. Ia berkelakuan baik bukan untuk memperoleh keuntungan
bagi dirinya akan tetapi karena kebaikan itu diharapkan oleh masyarakat
daripadanya.
4. Orientasi hukum dan aturan
Kelakuan yang baik ialah mematuhi dan menghormati aturan, undang-
undang dan hukum yang telah ditentukan oleh yang yang berkuasa demi
ketertiban masyarakat. Mematuhi peraturan adalah kewajiban baginya.
Tingkatan pasca-konvensional atau tingkat otonom, tingkat berprinsip.
Pada tingkatan ini individu merumuskan nilai-nilai atau prinsip-prinsip
moralnya atas pemikiran kritis serta mendalam.
5. Orientasi kontrak-sosial legalistik
Suatu tindakan dianggap baik sesuai dengan hak individu atas pemikiran
yang luas serta mendalam serta diterima baik oleh seluruh masyarakat. Bila ada
kesepakatan masyarakat mengenai prinsip tertentu, maka secara legal undang-
undang dapat diubah berdasarkan pertimbangan rasional demi kepentingan
masyarakat.
6. Orientasi prinsip etis yang universal
Tindakan dianggap benar bila dilakukan berdasarkan keputusan hati-nurani
atau kata-hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang universal seperti keadilan
sosial, kesamaan hak manusia, dan harkat manusia sebagai individu.
Tidak semua orang akan dapat mencapai tingkat moral tertinggi ini.
Kebanyakan orang hanya dapat mencapai tingkat keempat.

Secara sederhana tingkat perkembangan moral (Kohlberg) dapat
digambarkan sebagai berikut :
1. Mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman.
2. Sesuaikan diri agar memperoleh pujian atau ganjaran dan agar kebaikan itu
mendapat balasan.
3. Sesuaikan diri agar mengelakkan kecaman atau kebencian orang.
4. Sesuaikan diri untuk mencegah tindakan dari orang yang berkuasa.
5. Seuaikan diri agar mendapat penghargaan dari orang yang memandangnya
dari segi kepentingan umum.
6. Sesuaikan diri agar jangan mengutuk diri sendiri. (Shaver, J.P dan Strong, W.
h.149)
Ada berbagai cara untuk mempelajari anak, antara lain :
a) mengamati dalam berbagai situasi dan lingkungan, bukan saja dalam situasi
kelas melainkan juga sewaktu bermain-main, berkaryawisata, bersandiwara
dan lain-lain, bukan di sekolah saja, melainkan juga di luar sekolah.
b) mengadakan percakapan dengan anak, dengan orang tuanya dan dengan
orang-orang lain yang ada hubungannya dengan anak itu.
c) menggunakan test dan angket. Pada masa yang akan datang diharapkan akan
ada bermacam-macam test untuk mengenal inteligensi anak Indonesia dan
segi-segi kepribadian lainnya.
d) mempelajari anak dalam hubunganya dengan anak-anak lain dengan metode
sosiometri.
e) mengadakan catatan berkala atau anecdotal record mengenai kelakuan anak itu
dalam situasi-situasi tertentu.
f) menyelidiki hasil-hasil pekerjaan anak.
g) menyuruh anak membuat huku harian.
h) mengumpulkan segala keterangan mengenai anak itu dalam bentuk
"cumulative record" yakni pengumpulan segala keterangan mengenai anak itu,
yang dimulai pada saat ia masuk ke Taman Kanak-kanak dan terus-menerus
ditambah dari tahun ke tahun dan "menyertai" anak ke sekolah mana saja pun
ia pindah.

i) mengadakan penyelidikan yang mendalam mengenai riwayat hidup dan
kelakuan anak (case study), biasanya mengenai anak yang sukar dididik.
j) mempelajari buku-buku tentang anak-anak.
RANGKUMAN
1. Pandangan tentang anak berubah secara radikal oleh Jean Jacques Rousseau.
Sejak itu anak menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam kurikulum.
Banyak tokoh pendidikan yang dipengaruhi olehnya.
2. Pendidikan harmonis mencakup perkembangan kognitif, afektif dan
psikomotor, atau perkembangan intelektual, emosional, social dan fisik.
3. Anak merupakan keseluruhan dan bereaksi sebagai keseluruhan terhadap
lingkungannya.
4. Tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain daripada yang lain.
Kurikulum hendaknya memperhitungkan keunikan anak agar ia sedapat
mungkin dapat berkembang sesuai dengan bakatnya.
5. Walaupun tiap anak berbeda dengan anak lain, banyak pula persamaan antara
mereka. Maka sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua.
6. Kurikulum yang semata-mata didasarkan atas kebutuhan dan minat anak yakni
child-centered curriculum dikatakan ekstrem karena anak selalu berada dalam
masyarakatnya dan tak dapatmelepaskan diri dari tuntutan masyarakat.
7. Kebutuhan anak dapat ditinjau dari segi anak dan dari segi masyarakat. Kedua
segi ini harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum.
8. Abraham Maslow, Louis Raths, Earl Kelly mempunyai pandangan tertentu
tentang kebutuhan anak.
9. Robert Havighurst mempertemukan perkembangan individu dengan tuntutan
atau harapan masyarakat dalam konsep " developmental tasks".
10. Jean Piaget mengadakan studi yang mendalam tentang perkembangan
intelektual anak. Ia membedakan fase sensomotoris, fase pra-operasional., fase
operasional kongkret, dan fase operasional formal.
11. Lawrence Kohlberg menggunakan pola Piaget untuk mempelajari
perkembangan moral pada anak.
12. Ada berbagai cara bagi guru untuk mempelajari anak.

PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Perhatikan sekelompok anak bermain atau berkumpul. Catat perbedaan-
perbedaan yang Saudara observasi.
2. Apakah jasa Rousseau bagi pendidikan. Bandingkan pendapat Rousseau
dengan semboyan pendidikan kita "Tut Wuri Handayani".
3. Pilih salah satu anak yang tinggal dekat Saudara.
4. Apa tafsiran Saudara bahwa anak itu suatu keseluruhan. Adakah bukti
Saudara.
5. Selidiki hingga mana perbedaan individual diperhatikan di sekolah kita. Cuba
pikirkan apa sebab demikian halnya.
6. Andaikata Saudara ingin memperhatikan perbedaan individual bagaimanakah
dapat melakukannya dalam pelajaran yang Saudara berikan. Kesulitan apakah
Saudara hadapi?
7. Bandingkan kebutuhan anak menurut Abraham Maslow dengan apa yang
dikemukakan Raths, dan Kelly. Adakah persamaan antara ketiga pendapat itu?
yang manakah yang paling menarik bagi Saudara? Alasannya ?.
8. Bila diperhatikan kebutuhan anak yang disebut oleh Maslow, Ratsh dan Kelly,
yang manakah yang Saudara rasa perlu diberi perhatian dalam pendidikan
kita?
9. Yang manakah di antara "The Ten Imperative Needs" yang menarik bagi
Saudara yang menurut pendapat Saudara perlu dipertimbangkan dalam
kurikulum kita?
10. Sesuaikah kebutuhan pemuda seperti dikemukakan Donald Doane dengan
kebutuhan pemuda kita?
11. Bandingkan "developmental tasks" di desa dan di kota. Adakah
perbedaannya? Dalam hal apa, dan apa sebabnya?
12. Adakah Saudara lihat perbedaan "developmental tasks" dahulu dan sekarang?
Apa sebab terjadi perubahan itu?
13. Coba terapkan beberapa cara guru untuk mengenal anak.

BAB 5 PROSES PERUBAHAN DAN PERBAIKAN
KURIKULUM
MAKNA PERUBAHAN KURIKULUM
Bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat hertanya dalam arti
apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau
dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses belajar-mengajar.
Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat
dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya saling berkaitan.
Kurikulum dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama
jangka waktu tertentu dan perlu direvisi secara berkala agar tetap relevan dengan
perkembangan zaman. Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang
dalam kenyataan terjadi dengan murid dalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak
mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun rincinya direncanakan, karena
dala:n interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang
tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya
merjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat
dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-
cita, nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak-didiknya. Kurikulum ini
sangat erat hubungariya dengan kepribadian guru.
Kurikulum yang formal, mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih
terbatas daripada kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil,bukan sekadar buku
pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami ailak dalam kelas, ruang olah
raga, warung sekolah, tempat bermain, karyawisata, dan banyak kegiatan lainnya,
pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah
kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih
pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum di sini berarti
mengubah semua yang terlibat di dalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala
sekolah, penilik sekolah, juga orang tua dan masyarakat umumnya yang ber-
kepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan, bahwa
perubahan kurikulum adalah perubahan social, curriculum change is social
change.

PERUBAHAN DAN PERBAIKAN
Perubahan tak selalu sama dengan perbaikan, akan tetapi perbaikan selalu
mengandung perubahan. Perbaikan berarti meningkatkan nilai atau mutu.
Perubahan adalah pergeseran posisi, kedudukan atau keadaan yang mungkin
membawa perbaikan, akan tetapi dapat juga memperburuk keadaan. Anak yang
mula-mula tak mengenal ganja, dapat berubah menjadi anak yang mengenalnya
lalu terlibat dalam kejahatan. Perubahan di sini tidak membawa perbaikan. Namun
demikian sering diadakan perubahan dengan maksud terjadinya perbaikan.
Perbaikan selalu dikaitkan dengan penilaian. Perbaikan diadakan untuk
meningkatkan nilai, dan untuk mengetahuinya digunakan kriteria tertentu.
Perbedaan kriteria akan memberi perbedaan pendapat tentang baik-buruknya
perubahan itu. Perubahan, sekalipun memberi perbaikan dalam segala hal bagi
semua orang. Dalam bidang kurikulum kita lihat betapa banyaknya ide dan usaha
perbaikan kurikulum yang dicetuskan oleh berbagai tokoh pendidikan yang
terkenal. Macam-macam kurikulum telah diciptakan dan banyak di antaranya
telah dijalankan. Apa yang mula-mula diharapkan, akhirnya ternyata
menimbulkan masalah lain, sehingga kurikulum itu ditinggalkan atau diubah. Ada
masanya pelajaran akademis yang diutamakan, kemudian tampil anak sebagai
pusat kurikulum, sesudah itu yang dipentingkan ialah masyarakat, akan tetapi
timbul pula perhatian baru terhadap pengetahuan akademis. Namun demikian,
dalam sejarah pendidikan, tak pernah sesuatu kembali dalam bentuk aslinya.
Biasanya yang lama itu timbul dalam bentuk yang agak lain, pada taraf yang lebih
tinggi. Misalnya, bila dalam pelajaran akademis diutamakan hafalan fakta dan
informasi, kemudian diutamakan prinsip-prinsip utama. Bila pada ketika
kurikulum sepenuhnya dipusatkan pada anak, kemudian disadari bahwa tak dapat
anak hidup di luar masyarakat. Disadari bahwa dalam kurikulum tak dapat
diutamakan hanya satu aspek saja, akan tetapi semua aspek : anak, masyarakat,
maupun pengetahuan secara berimbang.
BAGAIMANA TERJADINYA PERUBAHAN
Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni fase
inisiasi, yaitu taraf permulaan ide perubahan itu dilancarkan, dengan menjelaskan

sifatnya, tujuan, dan luas perubahan yang ingin dicapai, fase legitimasi, saatnya
orang menerima ide itu dan fase kongruensi, saat orang mengadopsinya, me-
nyamakan pendapat sehingga selaras dengan pikiran para pencetus, sehingga tidak
terdapat perbedaan nilai lagi antara penerima dan pencetus perubahan.
Untuk mencapai kesamaan pendapat, berbagai cara yang dapat digunakan,
misalnya motivasi intrinsik dengan janji kenaikan gaji atau pangkat, memperoleh
kredit, dapat juga, paksaan keras atau halus, dengan menggunakan otoritas atau
indoktrinasi. Dapat juga dengan membangkitkan motivasi intrinsik dengan
menjalankan sikap ramah, akrab, penuh kesabaran dan pengertian, mengajak turut
berpatisipasi, mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan
bersama. Perubahan akan lebih berhasil, bila dari pihak guru dirasakan
kekurangan dalam keadaan, sehingga timbul hasrat untuk memperbaikinya demi
kepentingan bersama. Perubahan yang terjadi atas paksaan dari pihak atasan,
biasanya tidak dapat bertahan lama, segera luntur dan hanya diikuti secara formal
dan lahiriah. Menjadikan perubahan sebagai masalah, melibatkan semua yang
terlibat dalam perumusan masalah, pengumpulan data, menguji alternatif, dan
selanjutnya mengambil kesimpulan berdasarkan percobaan, dianggap akan lebih
mantap dan meresap dalam hati guru. Akan tetapi karena prosedur ini makan
waktu dan tenaga yang banyak, dan selain itu diinginkan perubahan yang uniform
di semua sekolah, maka sering dijalankan cara otoriter, indoktrinatif, tanpa
mengakui kemampuan guru untuk berpikir sendiri dan hanya diharuskan
menerima saja. Cara ini efisien, namun dalam jangka panjang tidak efektif. Dan
bila ada perubahan atau perbaikan baru, yang lama ditinggalkan saja tanpa
membekas.
PERUBAHAN GURU
Perubahan kurikulum tak akan dapat dilaksanakan tanpa perubahan pada
guru sendiri. Seperti manusia lainnya, guru juga sering tidak mudah berubah,
karena telah biasa dengan cara-cara yang lama. Setiap perubahan akan dapat
mengganggu ketenteramannya. Guru cenderung bersifat konservatif, sebab
tugasnya terutama untuk melestarikan kebudayaan dengan menyampaikannya
kepada generasi muda.

Namun apabila ia merasa ketidakpuasan dengan keadaan, maka ia mencari
cara baru untuk mengatasi kekurangan yang dirasakannya pada dirinya dan dalam
situasi pendidikan. Pada saat itu ia terbuka bagi perubahan. Bila ia memperoleh
informasi melalui ceramah atau bacaan, maka ia dapat memperoleh pandangan
baru tentang pendidikan. Ia melihat situasi dengan mata lain. Timbul padanya
kebutuhan dan motivasi untuk menerima perubahan yang dapat memberi
perbaikan. Seorang yang ingin melancarkan perubahan, harus berusaha
menimbulkan kebutuhan itu pada guru-guru. Selain itu ia jangan bertindak
sebagai orang yang serba tahu yang akan mengubah kelakuan guru. Hendaknya ia
sebanyak mungkin melibatkan guru dalam proses perubahan itu. Ia dapat bersama
guru merumuskan masalah yang dihadapi yang akan dipecahkan bersama,
mencari hipotesis atau alternatif, mengumpulkan data, mengambil keputusan,
menguji-cobakannya dan mengevaluasinya. Perubahan hendaknya disertai
pengalaman yang kongkret. Dalam proses itu hendaknya selalu diusahakan
komunikasi terbuka, sehingga guru-guru bebas mengemukakan pendapatnya.
Walaupun petugas itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, hendaknya ia
hati-hati menggunakan kekuasaan dan kewibawaannya.
Ia juga menentukan bagaimana memandang guru, apakah sebagai orang
yang kurang terdidik yang memerlukan latihan, atau makhluk psikologis yang
dapat dibujuk, atau sebagai makhluk ekonomis yang harus diberi insentif, uang,
atau sebagai pegawai yang dapat dipaksa agar patuh, ataukah sebagai seorang
profesional yang bertanggung jawab atas mutu profesinya, atau sebagai makhluk
rasional yang dapat diajak berpikir dalam memecahkan masalah bersama. Sikap
petugas pembaharu banyak berpengaruh atas kemantapan perubahan yang
diinginkan.
Guru adalah tokoh utama dalam kelasnya. Ia akan menentang perubahan
yang akan mengurangi kedudukannya. Metode yang meniadakan peranan guru
dan terutama didasarkan atas bahan yang telah tersusun, tidak akan diterima guru
dengan senang hati. Juga perubahan yang meminta pengorbanan tenaga, waktu,
dan pikiran akan menemui pertentangan. Ia hendaknya diakui sebagai manusia.

Orang yang berperan sebagai pengubah kurikulum harus dapat bekerja-
sama, harus dapat mempengaruhi orang dan memberi inspirasi. Ia harus
mempunyai sensitivitas sosial, terbuka bagi pikiran orang lain dan terbuka bagi
perubahan. Akan tetapi ia harus seorang profesional, namun rendah hati dan tidak
memamerkan pengetahuannya.
MENGUBAH LEMBAGA ATAU ORGANISASI
Mengubah lembaga atau organisasi menghadapi kesulitan lain. Tiap
organisasi mempunyai struktur sosial tertentu. Tiap orang mempunyai status
tertentu dan menjalanakan peranan tertentu yang memberinya harga diri atau
kekuasaan. Mengadakan dalam struktur itu dapat mengancam kedudukan
seseorang. Sering pula organisasi itu mempunyai hierarki yang ketat, mengikuti
prosedur yang tetap. Untuk mengadakan perubahan, harus diketahui dan
dipertimbangkan keadaan yang ada.
Menurut para ahli dalam "social engineering" dalam usaha mengadakan
perubahan dapat dilalui empat Iangkah, yakni 1, menganalisis situasi, 2.
menentukan perubahan yang perlu diadakan, 3. mengadakan perubahan itu, dan 4.
memantapkan perubahan itu.
Sikap orang terhadap perubahan berbeda-beda. Ada yang bersedia
menerimanya, ada yang menentangnya terang-terangan atau diam-diam, ada pula
yang acuh-tak-acuh. Ada yang ikut-ikutan tanpa komitmen, ada yang ikut sekadar
mengamankan diri karena takut bila ia mendapat tindakan. Hendaknya dicegah
timbulnya popularisasi, yaitu dua pihak yang bertentangan. Perubahan hanya
dapat berhasil bila semua bekerja-sama. Diusahakan mengenal daya-daya yang
membantu dan menghalangi perubahan itu dan diadakan usaha untuk memperkuat
daya-daya yang menyokong sambil melemahkan, melumpuhkan bahkan meniada-
kan daya-daya yang menghambat. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan dan
kepekaan sosial.
Semua harus menyadari adanya masalah yang dihadapi serta kemungkinan
untuk mengadakan perubahan. Diusahakan agar semua menaruh minat terhadap
usaha itu. Diberi waktu untuk membicarakan dan memikirkan makna perubahan

itu bagi lembaga atau organisasi dan dengan percobaan itu bagi lembaga atau
organisasi dan dengan percobaan mempraktikkannya memperIihatkan manfaat
perubahan itu. Bila timbul keyakinan akan kebaikan perubahan itu, maka besar
harapan akan diterima dan digunakan untuk masa selanjutnya.
KELAMBANAN PERUBAHAN DALAM PENDIDIKAN
Dibandingkan dengan bidang pertanian, perubahan dalam pendidikan
berjalan dengan lamban sekali. Praktik-praktik yang telah dijalankan ratusan
tahun yang lalu masih berlaku, sedangkan cara-cara yang baru sangat sukar
diterima dan membudaya. Dapat disebut beberapa sebab kelambanan itu. Pertama,
pendidikan, termasuk kurikulum belum cukup mempunyai dasar ilmiah. Belum
dapat diramalkan dengan pasti apa yang akan terjadi bila dijalankan metode
tertentu. Terlampau banyak variabel yang mempengaruhi hasil suatu tindakan
pendidikan. Setiap metode, demikian pula tiap kurikulum, betapapun banyak
kebaikannya, mempunyai sejumlah kelemahan. Kedua, pendidikan, termasuk
kurikulum, tidak mempunyai petugas tertentu, yang bersedia memberi bantuan
kapan saja diperlukan, seperti halnya dalam bidang pertanian yang menyediakan
petugas lapangan. Juga Kanwil tidak menyediakan petugas yang bersedia
dipanggil kapan saja guru atau sekolah memerlukan bantuannya guna mengatasi
kesulitan yang dihadapi berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum. Ketiga, guru
atau siapa saja yang mengadakan perbaikan, tidak mendapat insentif dan hanya
menerima penghargaan finansial berupa gaji seperti guru lain yang hanya
mengikuti tradisi. Keempat, kebanyakan guru mempertahankan cara-cara lama
yang telah teruji dan telah dikenalnya dengan baik dan dijalankan secara rutin.
Kelima, kurikulum yang uniform menghambat ruang gerak guru untuk
mengadakan perubahan dan menimbulkan kesan, seakanakan tiap penyimpangan
dari apa yang telah ditentukan dalam pedoman kurikulum akan dianggap sebagai
pelanggaran. Akan tetapi seperti telah dikemukakan di atas, betapapun rincinya
kurikulum ditentukan oleh pusat, selalu cukup banyak kesempatan bagi guru
untuk berperan sebagai pengembang kurikulum. Tentu saja diharapkan agar guru-
guru lebih banyak diberi peluang untuk mencari cara-cara baru atau lebih
menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan murid dan lingkungan. Pengawasan
yang terlampau ketat dari atasan akan menghambat berkembangnya inisiatif dan

kreativitas guru dan merendahkannya menjadi sekadar tukang yang banyak
bekerja secara otomatis dan rutin, padahal mengajar itu selalu merupakan
"adventure" penuh rahasia yang menarik untuk dipikirkan.
TINGKAT PERUBAHAN
Peruhahan kurikulum dapat kecil dan sangat terbatas, dapat pula luas dan
mendasar. Perubahan itu dapat berupa : I . substitusi, 2. alterasi, 3. variasi, 4.
restrukturiSasi, dan 5. orientasi baru.
Substitusi dapat berupa mengganti buku pelajaran, misalnya IPS dengan
buku karangan orang lain yang dianggap lebih baik. Jadi di sini perubahan itu
sangat kecil hanya mengganti atau menukar buku pelajaran. Alterasi juga berarti
perubahan, dalam hal ini misalnya menambah atau mengurangi jam pelajaran
untuk bidang studi tertentu, yang dapat mempengaruhi jam pelajaran bidang studi
lain.. Perubahan ini lebih sulit diadakan dibanding dengan substitusi, karena perlu
diyakini apa sebab perlu jam pelajaran ditambah, sedangkan di pihak lain
dikurangi waktunya. Dengan variasi dimaksud menerima metode yang berhasil di
sekolah lain untuk dijalankan di sekolah sendiri, dengan meniadakan yang lama.
Perubahan serupa ini memerlukan perubahan pada guru yang harus mempelajari
dan menguasai cara baru itu. Perubahan ini lebih sulit lagi dibandingkan dengan
perubahan sebelumnya. Lebih banyak risikonya ialah restrukturisasi, misalnya
menjalankan team teaching, yang memberi peranan baru kepada guru dan
memerlukan tenaga dan fasilitas baru. Dan akhirnya, perubahan yang paling besar
risikonya ialah bila dituntut orientasi nilai-nilai baru, misalnya peralihan dari
kurikulum . yang "subject-centered" menjadi "unit approach", atau kurikulum
yang berpusat pada pengetahuan akademis menjadi kurikulum yang berpusat pada
anak atau macam-macam pendekatan lain dalam kurikulum.
STUDI TENTANG KEBERHASILAN PERUBAHAN KURIKULUM
Othanel Smith dan D. Orlosky mempelajari berbagai perubahan dan
pembaruan kurikulum dalam 80 tahun akhir-akhir ini di Amerika Serikat, yakni
yang terjadi sebelum dan sesudah 1950. Keberhasilan perubahan atau pembaruan
mereka beda penilaian 1 sampai 4. Nilai 1 berarti bahwa ide pembaruan itu tidak
dilaksanakan di sekolah dan sukar dicari realisasinya di sekolah. Nilai 2 artinya,

bahwa perubahan itu tidak diterima secara meluas, namun mempunyai pengaruh
terhadap pendidikan. Nilai 3 artinya perubahan dan nilai 4 menunjukkan bahwa
perubahan itu telah berhasil memasuki semua sekolah, jadi telah membudaya.
Ternyata bahwa kurikulum seperti Core curriculum, Creative education,
Thirty school experiment, hanya berupa ide akan tetapi tidak ada perwujudannya
di sekolah. Juga Activitiy Curriculum, Community school, Sex education dan
Unit method kurang mendapat "pasaran". Sebaliknya Driver education, Elective
System, Environmental education, Safety education dan Vocational and technical
education pada umumnya diterima baik oleh kebanyakan sekolah.
Apa sebab ada yang diterima sedangkan ada pula yang kebanyakan ditolak?
Ternyata menambah atau mengurangi mata pelajaran lebih mudah diterima
daripada reorganisasi seluruh kurikulum. Misalnya Driver education,
Environmental education, Vocational and technical education dapat diterima
dengan mudah, sedangkan Thirty school experiment yang mengharuskan perom-
bakan kurikulum secara menyeluruh hanya tinggal cita-cita yang tak berwujud.
Merombak kurikulum mengandung banyak risiko tanpa jaminan akan berhasil
baik.
Perubahan tidak akan diterima atau bertahan lama, bila kurang dukungan
dari masyarakat, seperti halnya dengan Sex education, atau mendapat tantangan
dari pihak guru, karena mengurangi .atau menghilangkan kekuasaan guru, atau
mengubah peranannya. Atau, bila terlampau banyak tuntutan, pikiran, tenaga,
waktu dan pengorbanan dari pihak guru, seperti Activity curriculum, Community
school, Creative education atau Core curriculum.
Selain itu, perubahan kurikulum hendaknya menyesuaikan diri dengan
"kebudayaan" guru, yaitu cara mereka lazimnya berpikir dan berbuat, selain
dengan kebudayaan masyarakat. Penelitian dan perkembangan ternyata tidak
efektif dalam perubahan kurikulum. Perubahan harus responsif terhadap kebu-
tuhan dan kemampuan guru.
Dalam perubahan kurikulum kepala sekolah memainkan peranan yang
sangat penting, karena dialah yang mempunyai kekuasaan dan kewibawaan dan

kepemimpinan untuk melancarkan, melanjutkan, dan memantapkan perubahan.
Juga bahan pelajaran seperti paket pelajaran, pusat alat instruksional dapat mem-
beri sumbangan dalam perubahan kurikulum. Selain itu penataran atau mengikuti
kuliah di perguruan tinggi untuk mengikuti perkembangan pengetahuan dalam
disiplin tertentu, demikian juga inservice education dan pengembangan staf, dapat
memberi bantuan masing-masing dalam perubahan kurikulum.
BEBERAPA PETUNJUK TENTANG PROSES PERUBAHAN
KURIKULUM
Di bawah ini diberi sejumlah saran-saran singkat tentang Iangkah-langkah
dalam proses mengubah kurikulum :
1. Pupuklah suasana dan kondisi kerja yang serasi. Suasana kerja harus memberi
kesempatan bagi peserta untuk mengeluarkan buah pikirannya secara bebas.
Saran-saran mereka harus diperhatikan. Mereka harus diikutsertakan dalam
merumuskan dan memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Keberhasilan perubahan bergantung pada kualitas dan kuantitas para peserta.
Ada kalanya diperlukan bantuan dari orang lain, misalnya dari Kanwil atau
Perguruan Tinggi Perlu disediakan sumber dan bahan yang diperlukan. Hen-
daknya dijauhi hal-hal yang dapat mengganggu.
2. Berikan waktu yang cukup, jangan terlampau cepat, jangan pula terlampau
lambat. Mendesak agar cepat bekerja akan cepat menghasilkan pekerjaan yang
tergesa-gesa dan tidak cermat. Pelaksanaan perubahan memerlukan waktu.
Ada kalanya untuk suatu program, misalnya perbaikan pengajaran bahasa,
diperlukan waktu 3-4 tahun.
3. Tentukan kegiatan yang sesuai, misalnya ada yang lebih serasi bila dilakukan
oleh panitia, kelompok studi, workshop, konperensi, seminar, dapat pula
mengadakan wawancara, observasi, demonstrasi, atau menggunakan alat-alat
seperti tape-recorder, TV, dan lain-lain.
4. Tentukan prosedur penilaian dalam tiap usaha perubahan. Evaluasi dimaksud
untuk memperoleh gambaran tentang taraf tercapainya tujuan. Setelah
dirumuskan tujuan perubahan, harus segera ditentukan cara menilai hingga
mana tercapainya tujuan itu. Baru kemudian ditentukan kegiatan-kegiatan
untuk mencapai tujuan itu.

PROSES PERBAIKAN KURIKULUM
Seperti telah dikemukakan, kurikulum bermacam-macam tafsirannya. Pada
satu pihak, kurikulum dipandang sebagai buku pedoman dan wewenang untuk
mengembangkannya ialah pusat, kementerian Depdikbud. Yang dihasilkan ialah
suatu kurikulum nasional yang menentukan garis-garis besar apa yang harus di-
ajarkan kepada murid-murid. Di pihak lain, kurikulum dapat ditafsirkan sebagai
segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan sekolah yang mempengaruhi
perubahan kelakuan para siswa dengan berpedoman pada kurikulum yang
ditentukan oleh Pemerintah. Dalam arti terakhir ini, perbaikan kurikulum terutama
tergantung pada guru. Dialah menentukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
kelasnya. Dalam posisi itu boleh dikatakan ialah pengembang kurikulum, dan ada
tidaknya perbaikan pengajaran dalam kelasnya bergantung pada ada tidaknya
usaha guru.
Tak semua guru sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum,
karena ia memandang dirinya sekadar sebagai pelaksana kurikulum, yang
berusaha jangan menyimpang sedikit pun dari ketentuan dari atasan. Apa yang
ditentukan oleh atasanya sebenarnya masih jauh dari lengkap. Yang diberikan
terutama garis-garis besarnya, dan kalaupun dirincikan, mustahil meliputi
kegiatan guru-siswa sampai hal yang sekecil-kecilnya. Kurikulum sekolah kita,
menentukan hanya sampai tujuan instruksional umum, TIU. Yang merumuskan
TIK-nya ialah guru. Bahan pelajaran juga hanya pokok-pokoknya, masih banyak
yang harus dilengkapi guru. Demikian pula, metode yang dianjurkan sangat
terbatas dan tidak spesifik. Banyak lagi kesempatan bagi guru untuk secara kreatif
memilih dari sejumlah besar metode, strategi, atau model mengajar yang tersedia.
Penilaian formatif dan sumatif untuk pelajaran yang diajarkan guru, sepenuhnya
dalam tangan guru. Ia tidak terikat pada test tertulis, akan tetapi dapat men-
jalankan penilaian yang lebih komprehensif yang meliputi aspek emosional,
moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. Ia dapat menilai kemampuan
kognitif pada tingkat mental yang jauh lebih tinggi daripada yang dapat diukur
dengan Ebtanas. Dialah yang dapat menilai aspek-aspek kepribadian anak. Ialah
yang berada dalam posisi strategis untuk mengenal perkembangan anak, fisik,
mental, etis, estetis, sosilal, dan lain-lain.

Antara kurikulum nasional yang dijadikan pedoman sampai perubahan
kelakuan anak, masih terdapat jarak yang cukup luas, yang memerlukan
pemikiran, kreativitas, dan kegiatan guru. Dalam hal inilah ia harus sadar akan
fungsinya sebagai pengembang kurikulum. Fungsi ini tentu harus lebih disadari
kepala sekolah yang bertanggung-jawab atas pendidikan di seluruh sekolahnya
dan seyogianya berusaha sedapat mungkin mengadakan perbaikan kurikulum
sekolahnya Tiap sekolah berbeda dengan sekolah lain, walaupun berada di kota
yang sama,apalagi sekolah di daerah lain yang berbeda sifat geografi dan sosial-
ekonominya. Dan tiap guru berbeda pribadinya dengan guru lain. Juga muridnya
menunjukkan ciri-ciri khas yang mungkin bertukar dari tahun ke tahun.
Pada umumnya guru kita masih belum menyadari peranannya sebagai
pengembang kurikulum. Kurikulum kita uniform di samping usaha untuk sedapat
mungkin mengatur apa yang harus dilakukan oleh guru sampai yang sekecil-
kecilnya. Meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam
pendekatan. Pertama, menyusun paket pelajaran sedemikian rupa, sehingga guru
hanya berperan untuk mengatur distribusi bahan itu menurut kecepatan anak.
Pelajaran itu dapat berupa modul atau pelajaran berprograma. Pendekatan kedua
ialah meningkatkan mutu guru sehingga mampu menjalankan bahkan
memperbaikinya bila ada kelemahannya. Pendekatan pertama sangat mahal selain
banyak kekurangannya. Pendekatan kedua memerlukan guru yang profesional,
berkompetensi tinggi, guru yang berjiwa dinamis dan terbuka bagi pembaruan.
Pendekatan ini pun tak mudah dijalankan karena menuntut kualitas guru yang
tinggi yang masih belum terpenuhi pada saat ini.
Kurikulum yang uniform dapat menjadi alasan bagi guru untuk menjauhi
inisiatif perbaikan dan hanya menunggu instruksi dari pihak atasan. Sebaliknya
atasan yang tidak merangsang guru untuk bersifat dinamis dan memberi
kesempatan serta dorongan untuk mencobakan perbaikan atas pemikiran sendiri
dan tidak turut serta dalam usaha perbaikan dan penyesuaian dengan keadaan
setempat, cenderung mematikan kreativitas guru.
Kurikulum tak kunjung sempurna dan senantiasa dapat diperbaiki. Bahan
segera usang karena kemajuan zaman, pelajaran harus memperhatikan perbedaan

individu dan mencari relevansi dengan kebutuhan setempat, dan sebagainya. Bila
kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah, kita harus memperhatikan sejumlah
dasar-dasar pertimbangan, agar usaha itu berhasil baik, antara lain :
Mengetahui tujuan perbaikan
Mengenal situasi sekolah
Mengetahui kebutuhan siswa dan guru
Mengenal masalah yang dihadapi sekolah
Mengenal kompetensi guru
Mengetahui gejala sosial
Mengetahui perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
Mengetahui Tujuan Perbaikan.
Langkah pertama ialah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya ingin
dicapai, bagaimana cara mencapainya, bagaimana melaksanakannya, apakah perlu
dicari proses belajar-mengajar baru, sumber belajar apa yang diperlukan,
bagaimana mengorganisasi bahan itu, bagaimana menilainya, bagaimana me-
manfaatkan balikannya. Ada kemungkinan, tujuannya harus diperjelas atau
diubah, demikian pula desain perbaikan atau implementasinya dan metode
penilaiannya. Jadi perbaikan kurikulum tak kunjung berakhir dan bergerak terus.
Kurikulum bukan benda mati akan tetapi sesuatu yang hidup mengikuti
perkembangan zaman.
Mengenal Keadaan Sekolah.
Sering guru-guru tidak mengenal betul situasi sekolah yang sebenarnya,
misalnya kurang mengenal potensi guru, sumber belajar yang tersedia di sekolah
atau lingkungan, kurang mengenal keadaan masyarakat lingkungan, tidak
mengenal sejarah perkembangan sekolah atau memahami kurikulum sekolah
sebagai keseluruhan serta hubungannya dengan instansi lain, atau bantuan yang
dapat diperoleh, misalnya dari staf perguruan tinggi, termasuk IKIP.
Mempelajari Kebutuhan Murid Dan Guru.
Agar ada dorongan untuk memperbaiki kurikulum harus disadari adanya
kesenjangan antara keadaan yang nyata dengan apa yang diharapkan oleh
kurikulum resmi atau apa yang diinginkan siswa dan guru. Mengetahui kebutuhan

itu merupakan titik tolak bagi usaha perbaikan. Tujuan pendidikan seperti
diharapkan Pemerintah dapat memberi dorongan untuk mengadakan perubahan
dalam keadaan sekarang yang dirasa tidak memuaskan. Untuk melaksanakan
perbaikan itu perlu diadakan studi yang lebih luas guna memperoleh data lain
yang dirasa perlu. Data tentang siswa, keadaan siswa secara keseluruhan, macam-
macam golongan etnis, jumlah penerimaan, lulusan dan putus sekolah, hasil
belajar, perkembangan fisik, sosial, moral, intelektual, keadaan rumah tangga,
kebudayaan masyarakat anak, nilai-nilai dan harapan masa depan, cara murid
belajar, konsep-diri anak, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, relevansi
kurikulum, dan sebagainya. Dalam semua hal itu mungkin terdapat kekurangan-
kekurangan yang perlu mendapat perhatian.
Untuk memperoleh data dapat digunakan test tertutup dan terbuka,
wawancara, angket, sosiometri, analisis pekerjaan murid, observasi, dan lain-lain.
Juga dapat diadakan brainstorming dengan guru, orangtua atau murid untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan dalam pendidikan di sekolah. Untuk
mengetahui kebutuhan mana yang dirasa paling penting untuk diatasi, dapat
diminta guru mengadakan ranking untuk kemudian didiskusikan selanjutnya dan
memilih yang dirasa paling urgen. Suatu masalah ialah, apakah guru-guru
memang ingin mengadakan perbaikan yang dianjurkan, bagaimanakah
menyisipkan perbaikan itu kedalam kurikulum resmi, apakah perbaikan itu
sungguh-sungguh mengenai inti persoalan ataukah hanya menyinggung gejalanya.
Mengenal Masalah Yang Dihadapi Sekolah.
Sebaliknya yang dijadikan fokus perbaikan ialah masalah-masalah yang
dihadapi guru dalam pekerjaannya sehari-hari, yang sering berkenaan dengan
metode mengajar, memperhatikan perbedaan individual, memilih bahan pelajaran
yang lebih serasi, organisasi kelas, fasilitas yang membantu proses belajar-menga-
jar, cara meningkatkan motivasi siswa belajar, dan lain-lain. Masalah juga dapat
berasal dari murid, orangtua, masyarakat atau pemerintah.
Masalah yang dipilih hendaknya jangan terlampau luas sehingga sukar
dikendalikan. Sebaliknya jangan pula terlampau sempit sehingga tak bermakna.

Masalah yang dianjurkan oleh pihak luar, mungkin tidak dirasa relevan, tidak
prakis oleh guru dan tidak akan mendapat dukungan.
Jika telah ditentukan dan disetujui masalah perbaikan yang akan dikerjakan,
masalah itu dapat diperlukan sebagai cara pemecahan masalah pada umumnya,
yakni merumuskan masalahnya, menentukan hipotesis, mengumpulkan data,
mencobakannya apakah benar hipotesis itu, mengambil kesimpulan,
mengimplementasikannya, menilai untuk mcmperoleh balikan, mengadakan pe-
rubahan, dan seterusnya sampai tercapai hasil yang memuaskan.
Mengenal Kompetensi Guru.
Untuk memperbaiki kurikulum perlu diketahui kompetensi guru sebagai
partisipan dalam pengembangannya, pengetahuan mereka tentang seluk-beluk
kurikulum, bahan pelajaran, proses mengajar-belajar, psikologi anak, sosiologi,
dan sebagainya, selain kompetensi umum, seperti kemampuan membuat
perencanaan, kemampuan untuk mencetuskan ide-ide baru, kemampuan mem-
pertemukan pandangan yang bertentangan, serta memupuk suasana yang
menyenangkan, kemampuan bekerja-sama untuk menghasilkan pekerjaan yang
bermutu, kemampuan untuk mengarahkan dan mengkoordinasi, kemampuan
menganalisis situasi dan menafsirkan perbuatan, kemampuan memilih dari
sejumlah alternatif, kemampuan mengadakaan eksperimen dan penelitian,
kemampuan untuk menanyakan pertanyaan yang relevan, kemampuan
menyatakan pikiran secara lisan dan tulisan, serta menggunakan alat, seperti
komputer.
Mengenal Gejala Sosial.
Perbaikan kurikulum dapat berasal dari desakan dari dalam dunia
pendidikan, maupun dari luarnya. Dari dalam pendidikan dorongan ke arah
perbaikan dapat bersumber dari guru, kepala sekolah, murid, dapat juga dari
penilik sekolah atau dari kementerian. Tiap guru mengalami hal-hal yang tidak
memuaskan yang perlu diperbaikinya. Murid-murid pun mempunyai sejumlah
keluhan tentang kekurangan yang dirasakannya tentang sekolah. Kepala sekolah
sudah sewajarnya mencita-citakan sekolah yang baik. Pemilik sekolah dalam
kunjungannya tentu akan memberi sejumlah saran ke arah perbaikan kurikulum.

Juga dari pihak luar datang usul-usul perbaikan sekolah, karena tiap
orangtua mengharapkan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anaknya. Orangtua
pada umumnya belum menyadari sepenuhnya peran mereka dalam perbaikan
sekolah. Namun suara masyarakat tentang pendidikan sering dicetuskan melalui
koran dan mass media lainnya. Perguruan tinggi juga dapat menunjukkan
keluhannya tentang mutu lulusan SMA dan konsumer para lulusan lembaga
pendidikan merasakan kekurangan dalam tenaga kerja.
Tak semua keluhan itu dapat dipenuhi. Lagi pula keluhan itu perlu
dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh sebab tidak tiap keluhan
mempunyai dasar yang kuat yang didukung oleh fakta. Namun adanya keluhan itu
seharusnya mendorong para pendidik untuk menilai diri sendiri dan berusaha
memperbaikinya. Hingga kini, pada umumnya para pendidik, khususnya guru-
guru belum berani mengambil inisiatif mengadakan perbaikan sendiri, lalu
membiarkan keadaan berlangsung, sampai pada suatu saat lahir kurikulum baru,
yang belum tentu memberi perbaikan. Kurikulum yang barn sama sekali
cenderung melenyapkan segala kebaikan kurikulum yang lampau. Bila kurikulum
diperbaiki secara kontinu, tak perlu diambil risiko besar untuk mengadakan
pembaruan total yang dapat menimbulkan goncangan besar di kalangan guru-
guru. Kurikulum yang baik tidak diperoleh sekaligus dengan adanya kurikulum
yang baru sama sekali. Kurikulum harus dibangun terus menerus, sedikit demi
sedikit yang lazim disebut sebagai "broken front". Tak dapat kurikulum serentak
diperbaiki dalam segala "front". Misalnya, guru suatu bidang studi yang dinamis
dapat memperbaiki pengajaran hidang studinya, yang mungkin tidak dilakukan
guru bidang studi lainnya. Demikian juga suatu sekolah yang "favorit" karena
mutunya, dapat lebih meningkatkannya lagi, tanpa menunggu kemajuan sekolah
lain yang ketinggalan. Masing-masing sekolah dapat berusaha mencapai
"excellence", keunggulan dan tiap guru dapat mengusahakan tercapainya mutu
yang senantiasa meningkat. Perlombaan sehat antara sekolah dalam peningkatan
mutu hendaknya jangan dihalangi. Sekolah yang ketinggalan dalam hal tertentu
dapat belajar dari sekolah yang telah maju. Kurikulum yang uniform mengenal
standard minimal tidak menghambat mencapai mutu yang setinggi-tingginya.

Mengetahui Aliran-aliran Dalam Pengembangan Kurikulum.
Kurikulum adalah bidang yang subur bagi penelitian. Banyak buku dan
karangan terbit berkenaan dengan studi tentang kurikulum. Berbagai aliran timbul
untuk mencari alternatif baru sebagai reaksi terhadap praktik kurikulum yang
berlaku sekarang. Tiap aliran mengandung hal-hal yang positif yang dapat
memperluas pandangan guru tentang kurikulum yang dapat mendorongnya untuk
menerapkannya sejauh itu mungkin. Ide-ide baru dapat menjadi pokok diskusi di
kalangan guru, asal diadakan waktu khusus oleh kepala sekolah untuk
membicarakan kurikulum sekolah secara berkala.
Tak semua aliran baru dalam kurikulum dapat diterapkan. Banyak di
antaranya yang hanya berupa ide saja tanpa direalisasikan. Namun ada saja
kemungkinan mengambil aspek-aspek tertentu yang dapat memberikan perbaikan
dalam rangka kurikulum yang berlaku. Biasanya guru tidak berpegang secara
ketat pada satu pola kurikulum tertentu. Biasanya ia bersifat eklektik, memilih apa
yang dirasanya bermanfaat bagi tujuan tertentu. Ia dapat pada suatu saat
menggunakan teori belajar S-R mematuhi PPSI dan sesaat lagi menerapkan
pendekatan proses yang berdasarkan teori belajar Gestalt. Maka karena itu guru
dapat membukakan diri terhadap berbagai aliran dalam pengembangan kurikulum.
LANGKAH-LANGKAH DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM DI
SEKOLAH
Agar usaha perbaikan kurikulum di sekolah dapat berhasil baik hendaknya
diperhatikan langkah-langkah yang berikut :
- Adakan penilaian umum tentang sekolah, dalam hal apa sekolah itu lebih baik
atau lebih rendah mutunya daripada sekolah lain, adanya diskrepansi antara
kenyataan dengan apa yang diharapkan berbagai pihak, sumber-sumber yang
tersedia atau tidak tersedia, dan lain-lain.
- Selidiki berbagai kebutuhan, antara lain kebutuhan siswa, kebutuhan guru, dan
kebutuhan akan perubahan dan perbaikan.
- Mengidentifikasi masalah serta merumuskannya, yang timbul berdasarkan
studi tentang berbagai kebutuhan yang tersebut di atas lalu memilih salah satu
yang dianggap paling mendesak.

- Mengajukan saran perbaikan, sebaiknya dalam bentuk tertulis, yang dapat
didiskusikan bersama, apakah sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku,
menilai maknanya bagi perbaikan sekolah dan menjelaskan makna serta im-
plikasinya.
- Menyiapkan desain perencanaannya yang mencakup tujuan, cara
mengevaluasi, menentukan bahan pelajaran, metode penyampaiannya,
percobaan, penilaian, balikan, perbaikan, pelaksanaan, dan seterusnya.
- Memilih anggota panitia, sedapat mungkin sesuai dengan kompetensi masing-
masing.
- Mengawasi pekerjaan panitia, biasanya oleh kepala sekolah.
- Melaksanakan hasil panitia oleh guru dalam kelas. Oleh sebab pekerjaan ini
tidak mudah, kepala sekolah hendaknya senantiasa menyatakan
penghargaannya atas pekerjaan semua yang terlibat dalam usaha perbaikan ini.
- Menerapkan cara-cara evaluasi, apakah yang direncanakan itu dapat
direalisasikan. Apa yang indah di atas kertas, belum tentu dapat diwujudkan.
- Memantapkan perbaikan, bila ternyata usaha itu berhasil baik dan dijadikan
pedoman selanjutnya.
Pada taraf permulaan hendaknya diambil suatu proyek yang sederhana, yang
besar harapannya dapat dilaksanakan dengan baik. Ketidakberhasilan akan
menimbulkan kekecewaan dan keengganan untuk mengadakan perbaikan di masa
mendatang. Perlu pula memilih orang-orang yang benar-benar bermotivasi untuk
mengadakan perbaikan dan mempunyai kompetensi yang memadai. Perlu pula
ditentukan batas waktu perencanaan dan pelaksanaan proyek ini. Perbaikan
kurikulum memerlukan waktu lama sebelum membudaya, kadang-kadang 2
sampai 5 tahun, bergantung pada luas perbaikan yang akan diadakan. Jadi jangan
didesak melakukannya dengan tergesa-gesa. Ada perbaikan kurikulum yang
fundamental yang makan waktu puluhan tahun. Sering kurikulum yang dijalankan
masih mirip dengan yang terdapat puluhan bahkan ratusan tahun yang silam.
Perubahan kurikulum senantiasa melibatkan perubahan manusia yang
melaksanakannya. Agar kurikulum berubah demi perbaikan, guru sendiri harus
berubah atau diizinkan, bahkan didorong untuk berubah.

PESERTA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
Siapakah yang diikut-sertakan dalam pengembangan kurikulum merupakan
suatu masalah. Apakah hanya pejabat Depdikbud ataukah masih diperlukan
peserta lain? Setelah Jeomr Bruner yang mengutamakan struktur disiplin ilmu,
para ahli disiplin ilmu dari universitas banyak dilibatkan dalam pengembangan
kurikulum, oleh dianggap kurikulum adalah terutama menyampaikan ilmu
pengetahuan. Di belakangnya terkandung asumsi bahwa kurikulum menyusun
suatu dokumen yang menjadi pegangan apa yang harus dipelajari siswa. Akan
tetapi kurikulum yang sesungguhnya ialah apa yang terjadi dalam kelas dalam
interaksi siswa dengan guru dan siswa lainnya dan dengan lingkungan. Dalam
kelas, kurikulum adalah benda hidup yang dinamis, bukan hanya sekumpulan
halaman cetakan belaka. Dalam kelas kurikulum resmi itu memperoleh bentuk
yang tersendiri bila diterjemahkan dalam interaksi hidup antara guru dan siswa.
Untuk melaksanakan kurikulum itu dan juga dalam usaha untuk mengubahnya
agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak dalam masyarakat tertentu
diperlukan peserta lain. Dalam proses perbaikan kurikulum seperti ini diperlukan
partisipasi dari semua yang tiap hari terlibat dalam kurikulum yakni guru, murid,
kepala sekolah dan pemilik sekolah dari Kanwil. Bila pendidikan mendapat
sorotan dan kritik, merekalah yang pertama-tama yang harus berusaha
mengadakan perbaikan. Dalam arti yang luas, banyak lagi yang turut terlibat
dalam mutu kurikulum, seperti Pemerintah, perguruan tinggi, khususnya IKIP,
orangtua, para ahli kurikulum dan berbagai lapisan masyarakat umumnya, seperti
golongan agama, industri, politik, dan lain-lain.
Dalam garis besarnya kita dapat membaginya dalam dua golongan, yaitu
daya-daya dari dalam sekolah dan dari luar sekolah. Kritik dan saran dari pihak
luar biasanya bersifat umum, sedangkan sekolah harus menerjemahkannya dalam
kegiatan yang lebih spesifik dan operasional. Yang memegang peranan dalam
proses perbaikan kurikulum ialah guru oleh sebab dialah yang paling
bertanggung-jawab atas mutu pendidikan anak-didiknya. Guru menghadapi
kesulitan tersendiri, oleh sebab pada hakikatnya ia bekerja dalam dunia
terisolisasi. Apa yang dikerjakan dalam kelasnya tertutup bagi dunia luar. Jarang
sekali pelajarannya dihadiri oleh orang luar, sehingga ia tidak memperoleh input

tentang proses belajar-mengajar dalam kelasnya. Ia cenderung masuk
cengkeraman rutin, mengulangi caranya mengajar dari tahun ke tahun sampai
akhir jabatannya. Pengalamannya selama puluhan tahun dapat merupakan
pengalaman yang sama diulangi puluhan kali dan tidak tumbuh dalam profesinya.
Ia hanya dapat berkembang, bila ia membiasakan diri (1) berunding dan bertukar
pikiran dengan siswa, terbuka bagi pendapat mereka, (2) belajar terus dengan
membaca literatur profesional, (3) bertukar pikiran dan pengalaman dengan teman
guru-guru lainnya atau dengan kepala sekolah. Sikap keterbukaan ini
memungkinkannya belajar dari murid, dari buku dan dari orang lain.
Pertumbuhannya ini dapat dibantu, bila sekolah secara berkala mengadakan rapat
khusus untuk membicarakan hal-hal berkenaan dengan kurikulum serta
perbaikannya. Sebagian dari waktu libur sekolah dapat dimanfaatkan untuk
membicarakan kekurangan-kekurangan dalam penyelenggaraan kurikulum dan
secara bersama mencari usaha perbaikan. Hasil pembicaraan akan diterapkan
dalam kelas masing-masing lalu didiskusikan kemudian untuk menilai
pengalaman guru masing-masing. Dengan demikian guru-guru lebih memahami
seluk-beluk kurikulum dan menyadari peranannya sebagai pengembang
kurikulum, atau pelaksana kurikulum yang kreatif evaluatif. Mereka akan lebih
memahami bahwa gurulah unsur utama dalam kurikulum.
Pada saat ini guru belum menganggap dirinya seorang yang boleh bicara,
bahkan yang mempunyai keahlian dalam bidang kurikulum, khususnya dalam hal
kurikulum kelas atau bidang studinya. la menganggap dirinya hanya sebagai
pelaksana, ibarat tukang yang harus melaksanakan pekerjaan menurut instruksi.
Jadi ia hanya terlibat dalam praktik, tanpa memikirkan dan merenungkan apa yang
dilakukannya. Semboyan "learning by doing" mempunyai satu syarat. Orang tidak
belajar dengan sekadar berbuat; melakukan pekerjaan berkali-kali tidak memberi
pelajaran. Berbuat hanya menghasilkan pelajaran, bila direnungkan apa yang
dilakukan dan meningkatkannya pada taraf yang lebih abstrak, konseptual, dan
teoritis. Perkembangan profesional guru juga terhambat karena tidak adanya
perkumpulan profesional hagi berbagai golongan guru, seperti guru SD, SMP,
SMA, dan lain-lain., juga perkumpulan guru dalam bidang studi tertentu yang
tidak terbatas pada tingkatan sekolah. Adanya perkumpulan profesional dengan

terbitannya dapat merangsang guru untuk senantiasa melihat profesinya sebagai
masalah yang secara kontinu mendorongnya untuk berpikir tentang kurikulum dan
dengan demikian mempercepat perbaikan dan modernisasi pendidikan kita.
PARTISIPASI GURU
Tiap guru mempunyai reaksi individual terhadap perbaikan kurikulum. Pada
umumnya guru akan bersifat kritis dan menilainya, apakah perbaikan itu hanya
bersifat teori, apakah dapat dilakukan dalam kelasnya, atau menganggap bahwa
cara yang lama lebih bermanfaat dan yang baru terlampau banyak menuntut waktu
dan tenaga. Jika ia menyaksikan pelaksanaan, atau mengalami sendiri
kegunaannya, maka ia akan lebih mudah menerimanyl karena instruksi atau
paksaan, maka perbaikan itu tidak akan lama bertahan.
Dalam usaha untuk mengadakan perubahan kurikulum, hendaknya diselidiki
sikap dan reaksi guru terhadap perubahan itu dan mempertimbangkannya.
Perubahan harus diterima dengan rasa komitmen agar berhasil baik. Guru
mempunyai pandangan sendiri tentang kurikulum dan keberhasilan perubahan
bergantung pada kesesuaiannya dengan nilai-nilai guru dan taraf partisipasinya
dalam perubahan itu.
PARTISIPASI MURID
Pada umumnya kita belum mempertimbangkan peranan siswa dalam
pengembangan kurikulum dan mereka memang tidak mempunyai kompetensi
dalam bidang itu. Namun pada tingkat kegiatan kelas, bila guru bertanya,
bagaimana pendapatnya tentang , pelajaran, apa yang ingin dipelajarinya tentang
suatu topik, atau bila guru mengajak siswa turut-serta dalam perencanaan suatu
kegiatan belajar, pada pokoknya mereka sudah dilibatkan dalam kurikulum. Di
sekolah progresif kepada murid diberikan peranan yang lebih besar lagi tentang
apa yang mereka harapkan dari pelajaran. Partisipasi murid sama sekali tidak
berarti bahwa keinginan mereka harus diperturut akan tetapi pandangan mereka
dapat dimanfaatkan, sekalipun keputusan selalu di tangan guru. Memaksakan
kurikulum yang tidak mereka sukai, yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan
mereka, akan menimbulkan rasa benci bahkan protes, sekalipun tersembunyi

terhadap pelajaran dan sekolah yang mereka nyatakan dalam perbuatan yang tidak
diinginkan.
PARTISIPASI KEPALA SEKOLAH
Kepala sekolah mempunyai kedudukan strategis dalam perbaikan kurikulum
dan berbeda di garis depan perubahan kurikulum. Sebagai pemimpin profesional
ia menerjemahkan perubahan masyarakat dan kebudayaan ke dalam kurikulum.
Perubahan dalam sikap pemuda-pemudi akibat dinamika masyarakat tidak dapat
diabaikannya. Ialah tokoh utama yang mendorong guru agar senantiasa mencari
perbaikan dan mengembangkan diri. la sendiri harus mempunyai latar belakang
yang mendalarn tentang teori dan praktik kurikulum. Perubahan kurikulum hanya
akan berjalan dengan dukungan dan dorongan kepala sekolah. ia dapat mem-
bangkitkan atau mematikan perubahan kurikulum di sekolahnya.
Masih ada lagi golongan lain yang dapat membantu perbaikan kurikulum
antara lain para inspeksi di Kanwil dan juga para orangtua dan tokoh-tokoh
masyarakat. Walaupun banyak orang yang dapat memberi sumbangan kepada
perbaikan kurikulum, hendaknya kepala sekolah dan guru-guru selalu rnemegang
peranan utama untuk menerima, mempertimbangkan, dan memutuskan apa yang
akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kepala sekolah dan stafnya tak dapat
tiada harus bekerja dalam kerangka patokan yang ditetapkan oleh Depdikbud.
KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN
Telah banyak diadakan penelitian untuk mengetahui apakah sebenarnya
kepemimpinan itu, namun tidak ada yang dapat memberi jawaban yang
memuaskan. Rupanya kepemimpinan itu lebih kompleks daripada yang diduga
semula dan timbul beberapa teori tentang hakikat kepemimpinan ini.
Ada kalanya dianggap bahwa seorang lahir sebagai pemimpin jadi bukan
karena pengalaman. Pemimpin dianggap sebagai orang yang jauh lebih banyak
tahu dan lebih kompeten daripada pengikutnya. Pemimpin ialah orang yang
menentukan sedangkan yang lain harus mematuhinya. Anggapan demikian
menganut konsep yang otokratis tentang kepemimpinan. Dalam organisasi yang
demokratis pemimpin dianggap sebagai orang yang dapat membantu anggota lain

untuk mengidentifikasi tujuan yang bermakna bagi kelompok dan membantu
dalam mencapai tujuan itu. Sebagai pembantu, kepemimpinan dianggap sebagai
layanan kepada kelompok. Apa yang dilakukan pemimpin sama pentingnya
dengan bagaimana caranya melakukannya.
Berbagai teori telah dipikirkan untuk menjelaskan hakikat kepemimpinan,
akan tetapi tak ada yang dapat menjelaskan semua gejala kepemimpinan itu
dengan memuaskan.
Salah satu teori memandang kepemimpinan sebagai orang yang memiliki
sejumlah sifat yang membuatnya seorang pemimpin, antara lain empat yaitu
identifikasi dengan kebutuhan orang lain, kemampuan menyesuaikan diri dengan
norma kelompok, kesediaan memberi bantuan, pengendalian emosi, inteligensi
tinggi : sosial, verbal maupun akademis, berminat untuk memimpin, bersemangat.
Daftar ini rasanya masih dapat diperluas, menurut pengalaman dan pendapat
seseorang. Kita tidak tahu yang mana di antara sifat-sifat itu yang paling penting.
Ada pula yang memandang kepemimpinan sebagai sesuatu yang dibagi
bersama antara anggota kelompok guna mencapai tujuan-tujuan yang ditentukan
bersama. Pemimpin ditunjuk oleh kelompok untuk tujuan tertentu untuk jangka
waktu yang tertentu, karena dialah yang dianggap paling kompeten untuk tugas
itu. Jadi kepemimpinan bergantung pada tugas yang dihadapi.
Teori ketiga ialah memandang kepemimpinan sebagai fungsi suatu situasi.
Dalam segala situasi tertentu tampil pemimpin tertentu. Situasi itu membutuhkan
seorang pemimpin yang dianggap mampu mengatasi masalah yang ditimbulkan
situasi itu secara efektif. Jadi pemimpin yang cocok untuk suatu situasi tidak akan
cocok untuk situasi lain, dan seorang tidak akan menjadi pemimpin yang efektif
dalam segala situasi.
Ketiga teori itu ada kebenarannya, namun tidak dapat berlaku dalam segala
situasi kepemimpinan. Mungkin kepemimpinan bertalian dengan faktor-faktor
pribadi, sikap dan kebutuhan "pengikut" atau anggota kelompok pada saat
tertentu, timbul dalam situasi tertentu, bangkit dalam struktur suatu kelompok.
Kepemimpinan mungkin fungsi interaksi antara berbagai variabel itu yang

membuka kesempatan timbulnya pemimpin yang sentral tanpa menghalangi orang
lain untuk menjalankan kepemimpinan bersama. dalam berbagai situasi pada
waktu-waktu tertentu.
Pemimpin tidak memiliki sejumlah ciri yang sama, namun selalu
menunjukkan kualitas tinggi dalam hal tertentu. Kepemimpinan berbeda menurut
sifat lingkungan, sifat tugas, distribusi kekuasaan, dan prioritas tujuan.
Efektivitas kepemimpian antara lain bergantung pada kualitas hubungan
antara pemimpin dan anggota kelompok, adanya saling percaya, saling
menghormati, kekompakan, semangat atau moral tinggi, pemanfatan buah pikiran
anggota.
Dalam kepemimpinan dapat dibedakan dua corak, yaitu yang berorientasi
pada tugas, dan yang berorientasi pada hubungan manusiawi. Yang berorientasi
pada tugas ingin agar pekerjaan selesai, mengutamakan hasil dengan menentukan
standar, menetapkan waktu penyelesaian pekerjaan, mengeritik pekerjaan yang
tak bermutu, mendorong anggota bekerja dengan tenaga penuh agar mencapai
kemajuan.
Di lain pihak, kepemimpinan yang mengutamakan hubungan manusiawi,
berusaha agar ia disenangi, memelihara hubungan antar manusia yang baik,
memupuk rasa hormat-menghormati, percaya-mempercayai, berusaha agar
pekerjaan menyenangkan, bersedia mendengarkan buah pikiran orang, namun
tidak memberi hasil seperti kepemimpinan yang berorientasi pada tugas.
Masalahnya ialah bagaimana mempertemukan kedua pendekatan itu, yaitu
menjadi pemimpin yang disukai dan mencapai hasil yang diinginkan, atau
menjadi pemimpin yang tidak hanya disenangi akan tetapi juga berhasil dan
efektif.
Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dapat menyeleweng menjadi
kepemimpinan yang otokratis yang dapat bersifat paternalistik, demokratis semu,
menggunakan ancaman atau rasa takut.

Kepemimpinan sering memerlukan otoritas atau kekuasaan. Tanggung
jawab tanpa diberi kekuasaan tertentu cenderung tidak memberi hasil. Dalam
perubahan kurikulum pemilik sekolah, kepala sekolah atau guru harus diberi
kekuasaan atau wewenang agar dapat menjalankan tanggung jawabnya untuk
membuat rencana guna perbaikan.
Kepemimpinan juga ditentukan oleh pandangan pemimpin terhadap
manusia. Ia dapat memandang manusia sebagai makhluk yang pada hakikatnya
baik dan dapat diberi kepercayaan akan berkembang dan melakukan tugasnya
dengan baik. Sebaliknya ia dapat memandang manusia yang pada hakikatnya
buruk, egoistis dan kerena itu perlu dididik, diorientasi kearah perbaikan. Dapat
pula manusia dipandang netral, tidak baik atau buruk akan tetapi mempunyai
kebebasan untuk memilih dan memerlukan kesempatan dan hantuan
menggunakan kehebasannya untuk memilih yang baik.
STRATEGI KEPEMIMPINAN DALAM PERUBAHAN KURIKULUM
Dengan strategi dimaksud rencana serangkaian usaha untuk mencapai
tujuan, dalam hal ini perubahan atau perbaikan kurikulum. Untuk mengubah
kurikulum dapat diikuti strategi yang berikut :
1. Mengubah seluruh sistem pendidikan yang hanya dapat dilakukan oleh
pusat yakni Depdikbud karena mempunyai wewenang penuh untuk mengadakan
perubahan kurikulum secara total. Perubahan ini menyeluruh dan dijalankan
secara uniform di seluruh negara. Usaha besar-hesaran ini hanya dapat dikordinasi
oleh pusat dengan memberikan pernyataan kebijaksanaan, petunjuk-petunjuk
pelaksanaan dan hukum pedoman. Strategi ini sangat ekonomis mengenai waktu
dan tenaga bila mengadakan perubahan kurikulum secara uniform dan
menyeluruh.
Dianggap bahwa di kantor pusat telah dihimpun personalia profesional yang
paling unggul yang diberi fasilitas yang seluas-luasnya untuk merencanakan
perubahan kurikulum itu sebaik-baiknya.
Ada sejumlah kelemahan yang terdapat dalam pendekatan ini. Memusatkan
perubahan kurikulum di kantor pusat tidak cukup melibatkan semua pakar

kurikulum profesional yang tersebar di seluruh negara. Cara ini cenderung bersifat
birokratis yang dikatakan menyusun kurikulum "di belakang meja tulis" oleh
tokoh-tokoh yang tidak atau kurang menceburkan diri dalam praktik sekolah yang
sebenarnya. Bila semua perubahan kurikulum hanya datang dari pusat, dalam
jangka panjang ini dapat mengekang dan membatasi perbaikan kurikulum secara
kreatif oleh guru-guru di seluruh negara. Memperbaiki kurikulum berarti hanya
menerima kebijaksanaan orang-orang yang secara resmi diberi status sebagai pe-
mimpin urusan kurikulum.
2. Mengubah kurikulum tingkat lokal.
Kurikulum yang nyata, yang riil, hanya terdapat di mana guru dan murid
berada, yakni di sekolah dan dalam kelas. Di sinilah dihadapi masalah kurikulum
yang sesungguhnya. Dalam kelas kurikulum menjadi hidup, bukan hanya secarik
kertas. Dalam menghadapi anak, mau tak mau setiap guru akan menghadapi
masalah yang harus diatasinya. Dalam pelaksanaan kurikulum dalam kelas
terhadap murid yang berbeda-beda, tak dapat tiada guru harus mengadakan
penyesuaian. Bagaimanapun ketatnya perincian kurikulum, guru selalu mendapat
kesempatan untuk mencobakan pikirannya sendiri. Pedoman kurikulum hanya
dapat dijiwai oleh guru dan pribadi guru terjalin erat dengan cara ia melaksanakan
kurikulum itu. Kelaslah yang menjadi garis depan perubahan dan perbaikan
kurikulum.
Di bawah pimpinan kepala sekolah dapat diadakan rapat seluruh staf, atau
setiap tingkatan atau bidang studi. Rapat-rapat mengenai perbaikan kurikulum
sebaiknya dilakukan secara kontinu oleh sebab tujuannya tidak diperoleh
sekaligus. Perbaikan yang sesungguhnya akan terjadi bila guru sendiri menyadari
kekurangannya, ada kalanya atas pemikirannya sendiri, atau interaksinya dengan
siswa dan dalam diskusi dengan teman guru lainnya. Usaha perbaikan yang
dijalankan oleh guru-guru memerlukan kordinasi kepala sekolah.
Perubahan kurikulum di sekolah tidak berarti bahwa sekolah itu menyendiri
dan melepaskan diri dari kurikulum resmi. Sekolah itu tetap bergerak dalam
rangka kurikulum resmi yang berlaku akan tetapi berusaha untuk

menyesuaikannya dengan kebutuhan anak dan lingkungannya serta berusaha
untuk meningkatkannya. Ada menyebutnya "kurikulum plus". Kurikulum resmi
hanya memberikan kurikulum minimal yang diharapkan harus dicapai oleh
segenap siswa di seluruh Indonesia. Sama sekali tidak dilarang memberi bahan
yang lebih mendalam dan luas bagi anak-anak yang berbakat. Adanya perbedaan
antara apa yang diajarkan di suatu sekolah tidak perlu mempersulit anak pindah
sekolah, selama sekolah itu mengajarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip atau
struktur ilmu, sedangkan isinya secara detail tidak esensial.
3. Memberikan pendidikan in-service dan pengembangan staf.
Dianggap bahwa kurikulum sekolah akan mengalami perbaikan jika mutu
guru ditingkatkan. In-service training dianggap lebih formal, dengan rencana yang
lebih ketat dan diselenggarakan atas instruksi pihak atasan. Pengembangan staf
atau staff development lebih tak-formaal, lebih bebas disesuaikan dengan
kebutuhan guru. Guru misalnya dapat disuruh mengobservasi dan menilai dirinya
mengajar yang telah divideo-tape. Apa yang dipelajari dalam inservice dan
pengembangan staf hendaknya dipraktikkan.
4. Supervisi.
Dahulu pemilik sekolah mengunjungi sekolah untuk mengadakan inspeksi
dan memberi penilaian terhadap guru dan sekolah. Kedatangannya dipandang
sebagai hari mendung penuh rasa takut yang dihadapi guru dengan segala macam
tipu muslihat. Kini pengertian supervisi sudah berubah. Tujuannya ialah
membantu guru mengadakan perbaikan dalam pengajaran. Supervisi adalah
memberi pelayanan kepada guru untuk memperoleh proses belajar-mengajar yang
lebih efektif. Bila dirasa perlu penilik sekolah dapat memberikan demonstrasi
bagaimana melaksanakan suatu metode baru. Seorang pemilik sekolah harus
senantiasa mempelajari perkembangan kurikulum dan metode mengajar modern
dan dapat pula menerapkannya. Ialah sebenarnya menjadi hulubalang dalam
modernisasi pendidikan.
5. Reorganisasi sekolah.

Reorganisasi diadakan bila sekolah itu ingin merombak seluruh cara
mendidik di sekolah itu dengan menerima cara yang baru sama sekali. Hal ini
antara lain dapat terjadi bila sekolah itu akan menjalankan misalnya team
teaching, non-grading, metode unit, open school, dan lain-lain yang memerlukan
perubahan dalam semua aspek pengajaran, seperti bentuk ruangan, fasilitas,
penjadwalan, tugas guru, kegiatan siswa, administrasi, dan sebagainya. Hal serupa
ini akan jarang terdapat di negara kita dewasa ini, kecuali bila diadakan
eksperimen dengan metode baru, misalnya pengajaran modul.
6. Eksperimentasi dan penelitian.
Negara kita tidak tertutup bagi macam-macam pembaruan dalam
pendidikan. Kemajuan komunikasi dan transpor membuka pendidikan kita bagi
berbagai pengaruh di bagian lain dunia ini. Ciri kemajuan ialah perubahan dan
perbaikan, juga dalam bidang pendidikan di sekolah. Penelitian atau research
pendidikan belum cukup dilakukan di negara kita ini. Biasanya penelitian tidak
langsung dapat ditetapkan dan melalui fase yang lama sebelum diterima secara
umum.
Yang lebih mungkin dilaksanakan ialah eksperimentasi, yakni mencobakan
metode atau bahan baru. Pada dasarnya setiap kurikulum baru harus diujicobakan
lebih dahulu sebelum disebarkan di semua sekolah. Risiko pembaruan kurikulum
tanpa ujicoba sangat besar, dapat menghamburkan biaya dan tenaga yang banyak,
tanpa jaminan bahwa pembaruan itu akan membawa perbaikan.
Percobaan metode baru dilakukan secara berkala, antara lain sekolah
pembangunan yang kemudian menjadi PPSI cukup dikenal, sayang tidak berbekas
selanjutnya. Demikian pula CBSA dan "muatan lokal" diujicobakan selain
percobaan lainnya.
Secara kecil-kecilan yang tidak sistematis, sebenarnya tiap guru pernah
mengadakan eksperimentasi. Bila misalnya ada murid yang suka ribut dalam
kelas, guru menempatkannya di bangku paling depan, dengan hipotesis, bahwa
dengan pengawasan yang lebih ketat murid itu akan berubah kelakuannya. Ada
guru yang menganjurkan anak yang ketinggalan agar belajar bersama dengan

murid yang pandai, atau guru memberi tanggungiawab kepada murid yang nakal.
Bila diselidiki boleh dikatakan bahwa tiap guru pernah melakukan percobaan
kecil-kecilan seperti ini, bila ia menghadapi suatu kesulitan dan mencari jalan
untuk mengatasinya.
Penelitian adalah cara yang secara sistematis mengikuti langkah-langkah
tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Biasanya guru jarang melakukannya.
Yang banyak dilakukan guru ialah percobaan kecil-kecilan yang kurang
sistematis bila is menyadari adanya masalah yang dihadapinya dan berniat untuk
mengatasinya. Masalah akan timbul, bila guru itu mengadakan evaluasi tentang
pekerjaannya sendiri, dan selain itu peka terhadap kritik dari dunia luar, melihat
kekurangan pendidikan berdasarkan Ebtanas atau evaluasi lainnya, dan umumnya
bila merasa kurang puas dengan apa yang dilakukannya.
Perbaikan kurikulum pada hakikatnya terjadi dalam kelas dan dalam hal ini
guru memegang peranan yang paling utama. Maka guru harus lebih menyadari
peranannya sebagai pengembang kurikulum.

BAB 6KURIKULUM DAN MASYARAKAT
PENDIDIKAN DAN KEHIDUPAN
Pada zaman dahulu, waktu manusia masih hidup dalam rombongan-
rombongan masyarakat kecil, terpencil dan sederhana, pendidikan anak-anak
untuk kehidupannya dalam masyarakat itu diselenggarakan di luar sekolah, tanpa
sekolah. Segala sesuatu yang perlu bagi pendidikannya, diperoleh anak dari
orang-orang di lingkungannya tanpa pendidikan formal di sekolah. Anak-anak
meniru dan mengikuti kelakuan dan pekerjaan orang dewasa, sehingga mereka
pandai mengolah tanah, menanam padi, memancing ikan atau berburu. Dengan
jalan demikian mereka dapat mengurus diri sendiri dan mencari nafkahnya dalam
masyarakat itu. Di samping itu ia mempelajari adat istiadat yang turun temurun
dari nenek moyangnya, sehingga ia dapat mengatur kelakuannya sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di lingkungannya itu. Demikianlah anak-anak
memperoleh pendidikan yang lengkap serta fungsional dalam masyarakat yang
statis itu.
Akan tetapi pendidikan itu tidak serasi lagi apabila terjadi perubahan-
perubahan dalam masyarakat, yang menuntut syarat-syarat yang lebih tinggi dan
lebih berat dari tiap warga negara. Anak-anak harus memiliki bermacam-macam
ketrampilan dan sejumlah besar pengetahuan agar hidupnya terjamin. Orang tua
pada umumnya tidak mampu lagi memberikan pendidikan yang layak untuk
mempersiapkan anak-anak untuk memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh
masyarakat. Yang mendidik anak-anak ialah orang-orang yang mendapat latihan
khusus untuk tugas itu. Makin maju masyarakat, makin banyak yang harus
diperoleh anak-anak, makin banyak mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak-
anak dan karena itu bertambah lamalah mereka harus bersekolah.
Perubahan dalam masyarakat, terutama akhir-akhir ini sangat cepatnya,
sehingga sering sekolah tidak sanggup mengikuti jejak kemajuan masyarakat.
Akibatnya: sekolah bertambah lama bertambah jauh ketinggalan dan dicap
konservatif, tradisional. Sekolah tidak dapat bergerak secepat masyarakat, dan

sering sekolah berpegang teguh pada mata pelajaran yang dahulu memang fungsi-
onal, akan tetapi dalam masa modern ini sudah tidak lagi memenuhi tuntutan
zaman. Timbullah kecaman bahwa sekolah itu kolot, mengasingkan diri dari
masyarakat dan karena itu tidak mampu dan serasi lagi untuk mempersiapkan
anak-anak bagi kehidupan mereka dalam dunia modem ini. Kritik serupa ini akan
selalu timbul dan mengharuskan sekolah untuk meninjau kurikulumnya kembali
agar lebih relevan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
MASYARAKAT KITA DEWASA INI
Mendidik anak dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat
tempat ia hidup. Karena itu setiap pembina kurikulum harus senantiasa
mempelajari keadaan, perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat.
Salah satu ciri masyarakat ialah perubahannya yang cepat akibat
perkembangan ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam teknologi, yang sering
tidak dapat kita ramalkan akibatnya. Produksi mobil yang berjumlah ratusan juta
menimbulkan masalah jalan raya, keamanan, kecelakaan, kejahatan, mobilitas,
dan sebagainya yang banyak merepotkan karena kita tidak sanggup mengatasinya
pada waktunya.
Perubahan-perubahan yang hebat dan cepat dalam masyarakat memberikan
tugas yang lebih luas dan lebih berat kepada sekolah. Sekolah yang tradisional,
yang hanya menoleh ke belakang pasti tidak dapat memberikan pendidikan yang
relevan. Bagaimana menghadapi perubahan ini bukan sesuatu yang gampang.
Anak-anak yang kini memasuki SD akan menghadapi dunia yang sangat berbeda
dengan masyarakat 15 atau 20 tahun lagi bila ia menyelesaikan studinya di
universitas. Segala sesuatu mudah menjadi usang, karena cepatnya segala sesuatu
berubah. Seorang pengarang bernama Norman Cousins menulis buku "Modern
Man is Obsolete" untuk memberi peringatan bahwa kita akan segera terbelakang
bila kita tidak senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial, politik,
ekonomi.
Perkembangan ini menyebabkan lenyapnya jenis pekerjaan tertentu dan
timbulnya berbagai macam pekerjaan lain. Pekerjaan kasar semakin lama semakin

berkurang, sedangkan pekerjaan baru memerlukan pendidikan yang lebih lama.
Fleksibilitas untuk mempelajari pekerjaan barn perlu dalam zaman modem ini.
Anak-anak harus belajar berpikir sendiri untuk menghadapi berbagai persoalan
baru dan jangan hanya disuruh menghafal jawaban atas pertanyaan yang telah
usang. Perubahan masyarakat mengharuskan kurikulum senantiasa ditinjau
kembali. Kurikulum yang baik pada suatu saat, sudah tidak lagi sesuai dalam
keadaan yang berubah.
Kemajuan teknologi memperbesar kebergantungan manusia pada manusia
yang lainnya. Tidak ada lagi zaman sekarang yang dapat memenuhi keperluan
keluarganya. Di kota manusia menjadi semata-mata konsumtif. Makanan,
minuman, pakaian, pembuangan sampah, rekreasi, dan seribu satu macam
kebutuhan lainya hanya diperolehnya berkat jasa orang lain. Pemogokan buruh
lapangan terbang, pengangkut sampah, pegawai pos, dan sebagainya akan sangat
mengganggu kehidupan masyarakat Maka perlulah anak-anak dididik untuk
menghargai jasa orang lain dan memberikan jasanya kepada masyarakat.
Juga negara makin lama makin bergantung pada negara-negara lain. Maka
pentinglah anak-anak juga dididik dalam hubungan manusia dengan dunia
internasional. Permusuhan dan peperangan dapat menimbulkan bahaya
kemusnahan umat manusia karena tidak berhasil memupuk kerja sama antar
bangsa-bangsa.
Peranan keluarga berubah bila dibandingkan dengan dahulu. Keluarga
masih merupakan lembaga yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pribadi anak. Kurangnya rasa kasih sayang orang tua dapat
menimbulkan sikap agresif atau kelainan lain dalam watak seseorang.
Akan tetapi keluarga sudah banyak melepaskan fungsinya yang dahulu.
Rekreasi yang dulu berpusat dalam keluarga kini sudah berpindah ke hioskop,
lapangan olah raga atau pusat rekreasi lainnya. Anak tidak lagi mempelajari suatu
pekerjaan dari ayahnya, akan tetapi ia memperolehnya dari sekolah kejuruan.
Seorang gadis tidak lagi belajar menjahit dan ibunya, ia mengikuti suatu kursus.

Banyak fungsi keluarga sudah harus dibebankan kepada sekolah. Ada
pendidik yang mengeluh bahwa kurikulum sekolah terlampau berat bebannya, dan
menginginkan agar tugas sekolah dibatasi pada pendidikan akadeinis, sedangkan
kesehatan misalnya diserahkan kepada dokter. Namun anak itu merupakan suatu
keseluruhan dan mau tak mau sekolah harus pula memperhatikan segala aspek
perkembangan anak. Maka karena itu di sekolah-sekolah yang maju juga
disediakan fasilitas untuk kesehatan, pemeriksaan gigi, makan siang, bimbingan
penyuluhan, dan sebagainya.
Masalah lain yang dihadapi dalam masyarakat ialah pertambahan penduduk
yang cepat. Sekalipun dengan giat diusahakan keluarga berencana, namun
penduduk Indonesia bertambah sekitar 3 juta tiap tahun atau satu orang tiap 7,5
detik. Eksplosi penduduk itu dengan sendirinya mempengaruhi soal persediaan
makanan, air bersih, perumahan, transport, rumah sakit, keamanan, pendeknya
semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. .Hanya menambah fasilitas
pendidikan serta tenaga pengajar untuk pertambahan penduduk 3 juta tiap tahun ia
sudah merupakan pekerjaan raksasa, apalagi menjalankan kewajiban belajar bagi
semua anak berusia 7-12 tahun yang berjumlah sekitar 25 juta orang. Anak-anak
berusia 13-18 tahun jumlahnya sekitar 17 juta pada tahun 1974 hanya 4 juta yang
bersekolah sedangkan yang belajar di universitas hanya sekitar seperempat juta
atau 2,5% dari pemuda berusia 18-28 tahun.
Jumlah anak yang putus sekolah juga sangat mengkhawatirkan. Sekitar 63%
dan anak-anak yang memasuki SD tidak dapat menyelesaikannya. Dalam zaman
modern dengan teknologi yang maju masyarakat kita memerlukan rakyat yang
terdidik. Kalau negara yang maju sudah sekurang-kurangnya memberikan pen-
didikan menengah atas, dan bahkan berusaha memberikan pedidikan tinggi
kepada semua warga-negaranya, maka dalam perjuangan hidup, bangsa yang
rendah pendidikannya pasti akan menderita kerugian.
Maka perlulah kurikulum sekolah ditinjau kembali dengan tujuan agar
hendaknya kurikulum itu jangan menjadi sebab maka demikian banyaknya anak
yang putus sekolah.

Kemajuan teknolologi dalam bentuk alat transpor memungkinkan manusia
bepindah tempat dari pulau ke pulau, dari desa ke kota. Urbanisasi merupakan
gejala yang umum di seluruh dunia dengan segala problema yang berkaitan
dengan itu. Perpindahan penduduk melenyapkan isolasi suku-bangsa. Pendidikan
untuk memupuk saling pengertian antar suku bangsa yang beraneka ragam dengan
menghilangkan prasangka atau buruk sangka perlu mendapat perhatian untuk
memperkuat rasa kesatuan bangsa kita.
Tidak setiap kemajuan dalam ilmu pengetahuan teknologi membawa
keuntungan dan kebahagiaan bagi umat manusia, bahkan sering justru membawa
masalah-masalah yang lebih pelik lagi. Demikian pula tidak tiap perubahan atau
pembaharuan berarti kemajuan. Hanya sering kita terlambat mengenal akibat-
akibat perkembangan itu. Maka perlu pulalah anak-anak diajak menilai secara
kritis perubahan-perubahan dalam masyarakat sekitarnya dan dalam dunia
umumnya.
Di atas telah dikemukakan beberapa masalah bertalian dengan masyarakat.
Masih banyak lagi masalah lain, dan tiap masalah menimbulkan masalah-masalah
baru.
Sekolah tak dapat tiada hams memperhatikannya bila kita ingin mendidik
anak yang serasi untuk masyarakat sekarang. Bagaimana mempertimbangkannya
dalam kurikulum adalah tugas yang terusmenerus akan dihadapi oleh guru,
pendidik, dan pembina kurikulum.
FUNGSI SEKOLAH DAN KURIKULUM
Kurikulum sekolah banyak ditentukan oleh tanggapan orang tentang apakah
sebenarnya fungsi sekolah bagi masyarakat. Tidak mudah memperoleh pendapat
yang sama mengenai tugas sekolah.
Pada satu pihak kita lihat sekolah itu sebagai lembaga yang harus
mengawetkan kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang dengan
menyampaikan kepada generasi muda. Akan tetapi tidak ada kepastian apakah
dari kebudayaan itu yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum. Apakah
kebudayaan daerah, adat istiadat, kesenian daerah harus disampaikan kepada

semua anak di daerah itu, bahkan kepada anak-anak di luar daerah itu? Apakah
kebudayaan lama itu masih sesuai dengan keadaan sekarang? Apakah kebudayaan
itu tak dapat menghalangi kemajuan dan perkembangan rasa nasional yang kuat?
Haruskah kepada anak-anak diajarkan apa yang dipelajari orang tua mereka
dahulu? Bahwa sekolah hams menyampaikan unsur-unsur yang baik dan
berfaedah tak dapat disangkal, namun bahan apa yang harus dipilih masih dapat
menjadi persoalan.
Di lain pihak ada anggapan bahwa fungsi sekolah adalah memajukan
masyarakat dan bertindak sebagai "agent of change". Banyak yang pernah
diharapkan dari sekolah. Ada masanya dengan pengajaran dapat dilenyapkan
kemiskinan, kemelaratan, kejahatan dan macam-macam penyakit masyarakat
lainnya.
John Dewey memandang sekolah sebagai alat yang paling efektif untuk
merekonstruksi dan memperbaiki masyarakat melalui pendidikan individu.
Sekolah percobaan yang didirikannya merupakan masyarakat kecil tempat anak-
anak belajar dengan melakukan berbagai kegiatan yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari.
G.S. Counts mempunyai pendirian yang lebih jauh lagi. Ia tidak hanya
mengharapkan bahwa pendidikan harus membawa perubahan dalam masyarakat
akan tetapi mengubah tata-sosial, dan mengatur perubahan sosial.
Juga B. Othanel Smith bicara tentang pendidikan sebagai management and
control of social change and as social engineering, and of educators as statesmen.
Ia mengatakan bahwa kita telah cukup memiliki pengetahuan tentang "social
engineering" dan dapat memanfaatkannya untuk menguasai dan mengatur per-
kembangan masyarakat. Kalau kita tidak rnengendalikannya, maka perkembangan
masyarakat karena kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan akan menghancurkan
umat manusia sendiri. Ia menganjurkan, agar kebudayaan yang diwariskan harus
senantiasa ditinjau secara kritis dari segi keadaan dan problema zaman sekarang.
Tak semua orang akan dapat menerima fungsi sekolah yang demikian,
apalagi dalam masyarakat yang kompleks sekarang ini. Para ahli sosiologi

berpendapat bahwa sekolah sebagai lembaga yang didirikan oleh masyarakat,
hanya dapat mencapai tujuan menurut norma-norma ynag ada dalam masyarakat
itu. Maka tidaklah rnungkin sekolah itu mendahului peruhahan dalam masyarakat,
akan tetapi hanya dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan
masyarakat. jadi fungsi sekolah selalu konservatif. Kurikulum sekolah selalu
ditentukan oleh rnasyarakat dan kebudayaannya tempat sekolah itu berada.
Namun kita jangan meremehkan peranan sekolah dalam perubahan
masyarakat, sekalipun tidak pula terlampau membesar-besarkannya.
Fungsi lain yang telah dikemukakan oleh John Dewey ialah fungsi sekolah
untuk mengembangkan individu. sekolah yang ekstrim dalam hal ini adalah
sekolah yang child-centered. Akan tetapi tidak ada sekolah yang mengabaikan
fungsi ini dengan berusaha merealisasikan potensi-potensi yang ada pada anak
secara optimal. Dalam undang-undang dasar kita juga dikemukakan agar setiap
anak dapat dikembangkan sesuai dengan bakat masingmasing.
Dengan mengemukakan berhagai fungsi sekolah itu jangan kita anggap
bahwa fungsi yang satu bertentangan dengan yang lain. Kita jangan membuat
kesalahan memandang sekolah masyarakat sebagai lawan sekolah yang berpusat
pada anak, atau kebutuhan masyarakat sebagai lawan kebutuhan individu.
Mengembangkan masyarakat hanya mungkin dengan mengembangkan
individu. Demikian pula perkembangan dan kemajuan individu juga berarti
kemajuan bagi masyarakat. Maka dalam pembinaan kurikulum tak mungkin
kebutuhan individu dipisahkan dari kebutuhan masyarakat.
KONSERVATISME SEKOLAH.
Pada hakekatnya sekolah itu tak dapat tiada hares bersifat konservatif, bila
kita berpendirian, bahwa tugas sekolah ialah menyampaikan kultur atau
kebudayaan kepada anak-anak. Kebudayaan ialah hasil pengalaman manusia pada
masa yang lampau. Dari warisan itu dipilih hal-hal yang dianggap perlu bagi
pendidikan anak-anak yang di sajikan dalam bentuk mata pelajaran.

Kebudayaan, hasil pengalaman manusia yang lampau, memang sangat
banyak mengandung hal-hal yang sangat berguna bagi kehidupan sekarang.
Manusia tidak hidup dalam suatu vocuum, suatu kekosongan, ia hasil masa
lampau dan menuju kemasa yang akan datang. Kebudayaan disampaikan kepada
anak-anak karena dianggap betul-betul berfaedah dan mengandung arti bagi masa
kini dan masa depan.
Sekolah ialah suatu lembaga sosial untuk mewujudkan tujuantujuan sosial.
Sekolah didirikan oleh masyarakat untuk anak-anak agar mereka
mempertahankan, memelihara, dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat itu.
Sekolah ialah alas utama yang digunakan masyarakat agar generasi muda
menerima cara-cara hidup yang dianggap baik oleh masyarakat itu. Dengan me-
nyampaikan kebudayaan itu tercapailah kesamaan norma, sikap, nilai-nilai pada
semua warga negara. Itu sebabnya maka pada suatu pihak sekolah itu harus
konservatif. Akan tetapi ini hanya salah satu aspek dari tugasnya. Kalau sekolah
hanya berpegang pada tugas ini saja, maka mungkin sekalilah sekolah itu
ketinggalan zaman. Di samping peranan konservatif sekolah mempunyai juga
peranan evaluatif dan kreatif
Dengan peranan evaluatif dimaksud, bahwa anak-anak tidak hanya
menerima begitu saja apa yang mereka peroleh dari generasi yang lama. Mereka
hendaknya diberi kesempatan untuk menilainya secara kritis berhubung dengan
dinamika masyarakat. Kadang-kadang perlu meninjau kembali kesesuaian nilai-
nilai yang lama dalam keadaan yang baru. Ini tidak berarti bahwa segala yang
lama itu tidak berguna, atau segala yang baru itu baik. Akan tetapi kalau yang
lama itu ternyata tidak sesuai lagi, maka haruslah dicari jalan-jalan baru. Di
sinilah hendaknya sekolah memberi kesempatan kepada murid-murid yang
berbakat untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk kepentingan masyarakat
seluruhnya. Ini tidak berarti, bahwa murid akan menciptakannya selama
bersekolah, akan tetapi sekolah jangan mematikan inisiatif dan kreati ,itas murid-
murid. Inilah peranan kreatif dari sekolah.
Faktor lain yang menyebabkan sekolah itu konservatif terletak dalam diri
manusia sendiri. Manusia mempunyai sifat konservatif dalam arti cenderung

untuk mempertahankan yang ada. Manusia sukar menyimpang dari kebiasaan atau
adat istiadat. Ia lamban dan enggan berubah, malahan sering menentang
perubahan, kalau yang lama itu memuaskannya. Ia lebih senang mengikuti jejak-
jejak tradisi, karena perubahan dan pembaruan meminta tenaga dan pikiran.
Demikian pula halnya di sekolah. Sekali suatu mata pelajaran dimasukkan
ke sekolah, sukar mengubah atau mengeluarkannya walaupun tidak cocok lagi
dengan perkembangan masyarakat. Dan guru sulit melepaskan diri dari cara-cara
ia dahulu diajar dan dari jenis-jenis mata pelajaran yang diperolehnya waktu ia
masih murid. Itulah salah satu sebab, maka kurikulum yang baru sukar meng-
gantikan kurikulum yang tradisional yang telah berpuluh-puluh tahun lamanya
diikuti oleh guru-guru. Karena itu pembaruan pengajaran harus dimulai dalam diri
guru sendiri. Tanpa perubahan pada diri guru, segala usaha ke arah pembaruan
akan menemui kegagalan. Bahwa sifat inertia atau kelambanan itu banyak ter-
dapat justru di kalangan guru, terbukti dari kenyataan, bahwa desakan untuk
pembaruan pendidikan kebanyakan datang dari tokoh-tokoh yang asalnya bekerja
di luar lapangan persekolahan seperti Rousseau, Decroly, Montessori, Herbert
Spencer, dan lain- lain.
Sifat konservatisme ini ada juga faedahnya. Karena sifat ini, maka orang
berhati-hati menerima pembaharuan-pembaharuan yang belum diuji dan
dicobakan lebih dahulu dengan hasil yang memuaskan. Pembaruan yang tergesa-
gesa dicegah dengan adanya sifat konservatisme ini sebagai faktor pengontrol.
Hanya saja sifat ini hendaknya jangan terlalu berkuasa, sehingga pintu sekolah
tertutup rapi untuk segala sesuatu yang berbau pembaruan pendidikan.
KURIKULUM DAN MASYARAKAT YANG DINAMIS
Masyarakat senantiasa berubah dan terus-menerus akan berubah.
Masyarakat kita sekarang jauh berlainan daripada masyarakat nenek moyang kita
dan berlainan pula dengan masyarakat yang akan dihadapi oleh anak cucu kita
pada masa mendatang. Ilmu pengetahuan dan teknologi ialah daya-daya yang
sangat mempercepat perubahan dalam masyarakat, sehingga merupakan suatu
revolusi. Perubahan teknologi dalam beberapa tahun akhir-akhir ini saja lebih
hebat dan lebih banyak daripada yang pernah dialami nenek kita sepanjang

hidupnya. Segala perubahan itu sedikit banyak mempengaruhi cara hidup dan cara
berpikir manusia: Karena kemajuan clalam lapangan pengangkutan dan
perhubungan, dunia ini telah menjadi suatu kesatuan. Tak ada lagi daerah atau
negara yang terpencil. Segala sesuatu yang penting yang terjadi di suatu daerah,
segera diketahui di semua pelosok di dunia. Ketegangan di suatu negara, apakah
itu Zaire, Laos atau Timur Tengah, menimbulkan ketegangan pula di seluruh
dunia. Dunia ini rasanya bertambah kecil. Pendapatan-pendapatan baru segera
tersebar di seluruh dunia dan mempengaruhi hidup manusia seperti listrik, radio,
TV, kapal terbang, makanan kaleng, telepon, dan sebagainya.
Di samping membawa kebahagiaan, kemajuan ilmu pengetahun dan teknik
banyak juga mengandung bahaya apabila disalah gunakan. Bahaya kehancuran
dengan born atom memberi tugas baru kepada umat manusia, untuk bekerjasama
agar dapat hidup damai berdampingan di dunia ini. Sekolah tidak dapat menutup
mata untuk masalah-masalah internasional seperti polusi, eksplosi penduduk, dan
sebagainya yang juga mengenai diri setiap orang. Sekolah hendaknya turut serta
memberi sumbangan ke arah terciptanya dunia yang bahagia dan aman bagi
seluruh umat manusia.
Masyarakat kita sekarang ini sangat dinamis dan senantiasa akan berubah.
Berdasarkan kenyataan ini, dapatkah dipertahankan kurikulum yang statis, kolot,
dan membatu? Misalnya rencana pelajaran yang bercorak kolonial tidak dapat
dipertahankan dalam negara yang telah merdeka. Bila diterima sebagai prinsip,
bahwa sekolah harus mendidik untuk kehidupan, bahwa sekolah harus
mempersiapkan anak-anak untuk masyarakat, maka kurikulum seharusnya
disesuaikan dengan gerak-gerik dan perubahanperubahan masyarakat itu. Isi
kurikulum harus senantiasa dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat.
Karena kurikulum harus dinamis dan ini hanya mungkin dengan bentuk
kurikulum yang fleksibel, yakni yang dapat diubah menurut kebutuhan dan
keadaan. Dengan demikian kurikulum itu cukup elastis, sehingga senantiasa
terbuka untuk memberikan hahan pelajaran yang penting dan perlu bagi murid-
murid pada saat dan tempat tertentu. Karena kurikulum tidak dapat ditentukan
secara mutlak dan uniform untuk semua sekolah dalam bentuk suatu rencana
pelajaran terurai yang harus diikuti oleh guru hingga detail yang sekecil-kecilnya.

Kurikulum yang uniform mematikan inisiatif guru, mengekang
kebebasannya dan menutup kemungkinan untuk menyesuaikan kurikulum dengan
keadaan masyarakat dan kebutuhan murid-murid setempat. Kurikulum yang
uniform juga bertentangan dengan prinsip untuk menyesuaikan pelajaran dengan
perbedaan inidividual. Keadaan dan kebutuhan yang serba ragam di berbagai
daerah di Tanah Air kita memerlukan kurikulum yang fleksibel, sehingga
keperluan-keperluan masyarakat itu dapat dimasukkan ke dalam kurikulum
sekolah. Hanya dengan jalan demikian sekolah dapat memberikan pendidikan
yang fungsional, sehingga anak-anak benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi
masalah-masalah di dalam masyarakat tempat is hidup.
SEKOLAII MASYARAKAT
Menurut Olsen*) perkembangan persekolahan di Amerika Serikat melalui tiga
fase.
1. Sekolah akademis atau Sekolah Tradisional.
Sekolah ini bersifat "book-centered" atau berpusat pada buku pelajaran.
Kurikulum bersifat subject-sentered yang memberikan pengetahuan yang logic
sistematis. Anak-anak dalam kelas kebanyakan duduk di bangku sambil
menghafal, mendengarkan atau melamun. Pendidikan ini kurang
memperhatikan perbedaan individual, minat dan kebutuhan anak-anak.
Pelajaran-pelajaran terlepas dari kehidupan masyarakat. Hubungan dengan
lingkungan sangat sedikit. Walaupun disebut tradisional, sistem ini masih
sangat umum terdapat di sekolah-sekolah kita.
2. Sekolah progresif
Sekolah ini bersifat child-centered. Kurikulum didasarkan atas minat dan
kebutuhan anak-anak dan pemuda, sedangkan kebutuhan mereka sebagai orang
dewasa dalam masyarakat sering diabaikan. Di sekolah ini disiplin lebih lunak,
anak-anak diberi lebih banyak kebebasan; rundingan antara guru dengan murid
sangat diutamakan dalam merencanakan apa yang akan dipelajari di sekolah.
Walaupun sekolah yang semata-mata child-centered boleh dikatakan tidak ada
lagi, prinsip-prinsip aliran ini sangat berharga bagi perbaikan pengajaran.

3. Sekolah masyarakat atau community school.
Sekolah ini bersifat life-centered. Yang menjadi pokok pelajaran ialah
kebutuhan manusia, masalah-masalah dan proses-proses sosial dengan tujuan
untuk memperbaiki kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang
sebagai laboratorium tempat anak belajar, menyelidiki dan turut serta dalam
usaha-usaha masyarakat yang mengandung unsur pendidikan. Sekolah ini
menurut sertakan orang banyak dalam proses pendidikan untuk mempelajari
problema-problema sosial. Sekolah ini merupakan pusat masyarakat untuk
melakukan pertemuanpertemuan, upacara-upacara dan usaha-usaha lain.
Dengan jalan demikian terbukalah pintu antara sekolah dengan masyarakat,
sehingga sekolah dapat memasuki masyarakat dan masyarakat dapat memasuki
sekolah.
CIRI-CIRI SEKOLAH MASYARAKAT *)
Menurut Olsen ciri-ciri Community School ialah sebagai berikut:
1. Sekolah itu memperbaiki mutu kehidupan setempat pada saat sekarang
Berkat sekolah maka orang dalam masyarakat menjadi manusia yang lebih
baik, jasmaniah, emosional, sosial, material. Hubungan antar-suku bertambah
erat, kejahatan pemuda, penyakit menular berkurang dengan adanya usaha
sekolah kearah itu. Sekolah ini mendidik anak-anak menjadi manusia yang
lebih baik dalam dunia yang lebih baik.
2. Sekolah itu menggunakan masyarakat sebagai laboratorium tempat belajar.
Belajar tidak hanya terbatas antara empat dinding kelas. Kalau kita ingin
memupuk pengertian, minat, dan ketrampilan yang penting guna perbaikan
kehidupan masyarakat, talc dapat tiada anak-anak harus diberi kesempatan
sebanyak-banyaknya untuk mempelajari masyarakat berkat pengalaman
langsung. Buku-buku dan bacaan-bacaan lain memang penting juga, akan
tetapi tidak memadai. Sekolah membuka pintu untuk mengadakan hubungan

timbal balik dengan masyarakat. Orang-orang diundang ke sekolah untuk
memberi keterangan-keterangan mengenai bidang keahliannya. Murid-murid
pergi ke luar melakukan karyawisata untuk menyelidiki usaha pertanian,
perindustrian, perumahan, dan sebagainya. Di samping bukubuku, sekolah
masyarakat menggunakan lingkungan sebagai sumber pelajaran yang sangat
penting.
3. Gedung sekolah itu menjadi pusat kegiatan masyarakat.
Sekolah itu tidak hanya untuk kepentingan anak-anak melainkan juga untuk
orang dewasa. Gedung sekolah dapat digunakan untuk pertemuan dan rapat-
rapat, untuk perayaanperayaan dalam lingkungan itu. Pemberantasan buta
huruf, kursus-kursus untuk wanita, pertandingan-pertandingan olahraga dan
lain-lain dapat dilakukan di sekolah, karena sekolah itu kepunyaan bersama
seluruh masyarakat.
4. Sekolah itu mendasarkan kurikulum pada proses-proses dan problema-
problema kehidupan dalam masyarakat.
Inti kurikulum terdiri atas kebutuhan manusia dalam masyarakat sekarang dan
masa depan, seperti soal mencari nafkah, kewajiban warganegara, menjaga
kesehatan, memperbaiki kehidupan kekeluargaan, bergaul dengan orang-orang
lain, dan sebagainya. Dengan jalan demikian terdapat hubungan erat antara
pelajaran di sekolah dengan tuntutan-tuntutan kehidupan masyarakat yang
mengandung arti bagi murid dan karena itu lebih merangsang kegiatan anak-
anak untuk belajar.
5. Sekolah itu menurut sertakan orang tua dalam urusan-urusan sekolah.
Sekolah bukan hanya urusan guru, akan tetapi juga termasuk tanggung jawab
seluruh masyarakat. Orang tua, dalam bentuk POMG atau sejenis turut
membantu sekolah, bukan hanya dalam bidang material, tetapi juga dalam
lapangan pendidikan. Mengenai hal-hal tertentu sering diadakan perundingan
antara guru dengan orang tua dan pemimpin-pemimpin dalam masyarakat guna
perbaikan sekolah.
6. Sekolah itu turut mengkoordinasikan masyarakat.

Untuk memperbaiki taraf kehidupan dalam suatu masyarakat segala lembaga-
lembaga dan badan-badan dalam masyarakat itu harus bekerjasama, seperti
dalam hal pemeliharaan kebersihan dan kesehatan, penyelenggaraan rekreasi,
memberantas prasangka dan takhayul, dan lain-lain. Dalam hal ini sekolah
dapat menjalankan peranan yang penting dengan bekerjasama atau
menggembleng semua tenaga yang terdapat di lingkungan itu.
7. Sekolah itu dapat melaksanakan dan menyebarkan filsafat negara dalam
segala hubungan antar-manusia.
Sekolah itu suatu lembaga yang tidak hanya memberi penjelasan saja tentang
filsafat negara, melainkan juga mempraktekkannya di sekolah itu sendiri dan
dalam hubungannya dengan masyarakat.
MASYARAKAT SEBAGAI SUMBER PELAJARAN
Pengajaran mencapai hasil sebaik-baiknya, apabila didasarkan atas interaksi
antara murid-murid dengan sekitarnya. Apa yang dipelajari anak hendaknya hal-
hal yang juga terdapat dalam masyarakat dan karena itu berguna bagi hidup anak
sehari-hari. Bila masalah-masalah yang dihadapinya dalam hidupnya di luar
sekolah dijadikan pokok-pokok untuk dipelajari di sekolah, maka ia lebih paham
akan masalah-masalah itu dan lebih sanggup mengatasinya, seperti:
Bagaimanakah cara-cara bergaul yang baik? Bagaimanakah sikap pemuda
terhadap orang tua, terhadap adat, bioskop, bacaan cabul, propaganda, perbedaan
agama, dan suku bangsa? Apakah yang harus dilakukan dalam waktu senggang?
Bagaimanakah pemuda-pemudi harus menjaga diri dalam masa modern ini?
Bagaimanakah harus menghadapi pengaruh kebudayaan asing? Apakah
kekurangan-kekurangan di kampung atau kota yang perlu diperbaiki? Banyak lagi
masalah-masalah lain yang dapat dijadikan bahan pelajaran selama kurikulum itu
bersifat fleksibel. Hal yang demikian boleh dikatakan tidak mungkin, kalau
kurikulum itu uniform dan statis. Kurikulum ialah sesuatu yang hidup, yang
dinamis, yang mengikuti - dan bila mungkin - turut menentukan atau
membimbing perkembangan masyarakat di lingkungan sekolah itu. Karena itu
kurikulum tidak boleh lepas dari masyarakat. Oleh sebab masyarakat di berbagai
tempat di Tanah Air kita berbeda-beda, maka sekolah-sekolah setempat

hendaknya diberikan kebebasan hingga batas-batas tertentu, untuk menentukan
kurikulum sendiri dengan menyesuaikannya dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat itu. Untuk itu harus diselidiki keadaan masyarakat. Antara lain dapat
diselidiki:
1. Keadaan fisis lingkungan, yang mempengaruhi corak kehidupan dan
kebudayaan masyarakat itu, yaitu:
a) Iklim suatu daerah. Mata pencaharian ditentukan oleh suhu, hujan dan
angin, tetapi juga aspek-aspek lain daripada kehidupan atau masyarakat.
b) Luas daerah. Kehidupan kampung kecil berlainan dengan kota besar,
demikian pula suasana kekeluargaannya.
c) Topografi daerah. Apakah daerah itu letak di pegunungan atau dekat
pantai, apakah pulau terpencil atau jauh di pedalaman ataukah daerah itu
banyak hubungannya dengan dunia luar. Topografi turut menentukan
matapencarian, adat istiadat dan lain-lain.
d) Keadaan tanah. Tanah kering atau banyak air, tanah gersang atau subur
berpengaruh sekali terhadap kehidupan masyarakat.
e) Kekayaan alam. Kehidupan dan corak masyarakat turut ditentukan oleh
kekayaan alam berupa hutan, barang tambang, danau-danau, dan
sebagainya.
2. Penduduk. Selain dan kekayaan geografis daerah, harus juga dipelajari hal-hal
tentang manusia yang menghuninya. Antara lain dapat dipelajari:
a) Jumlahnya. Kampung kecil berbeda masyarakatnya dengan kota besar.
Kota menjadi besar karena faktor-faktor tertentu.
b) Mata pencarian. Apakah yang dilakukan orang untuk mencari nafkahnya.
Bagaimanakah tingkat kehidupan orang di lingkungan itu? Usaha apakah
yang dapat dijalankan untuk mempertinggi taraf kehidupan itu? Siapa-
siapakah yang kaya dan siapakah yang lemah ekonominya.
c) Susunan penduduk. Bagaimanakah perbandingan jumlah penduduk dari
berbagai golongan? Bagaimanakah kedudukan tiap golongan?
d) Pendidikan. Berapa banyakkah yang buta huruf, tamatan SD, SL dan
Perguruan Tinggi? Berapa banyakkah yang tidak melanjutkan
pelajarannya? Banyakkah anak-anak yang tidak bersekolah?

3. Organisasi-organisasi masyarakat. Manusia dalam masyarakat tidak hidup
sendiri-sendiri, melainkan membentuk kelompok, badan-badan atau organisasi
yang mempunyai tujuan tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan dan
problema-problema tiap-tiap kelompok.
Antara lain dapat dipelajari:
Organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan seperti perkumpulan
dagang, politik, olah raga, kepanduan, organisasi wanita, pemuda, buruh, dan
sebagainya. Lembaga-lembaga seperti keluarga, sekolah, pemerintah.
Badan yang terpenting dalam pendidikan anak ialah rumah tangga. Di
situlah anak itu mula-mula mempelajari bahasa. Di situlah ia mempelajari
hubungan-hubungan sosial serta menerima norma-norma tentang yang buruk dan
yang baik. Pengaruh rumah tangga tidak terhenti, walaupun anak itu telah
bersekolah. Setiap anak telah memperoleh sejumlah pendidikan dan pengalaman-
pengalaman tertentu sebelum ia menduduki bangku sekolah. Pendidikan di
sekolah tak mungkin dilakukan dengan baik, tanpa kerjasama yang erat dengan
orang tua.
Selain dari rumah tangga juga dari badan-badan lain diperlukan bantuan,
seperti dari badan-badan pemerintahan, kepolisian, jawatan pertanian, organisasi
keagamaan, badan-badan rekreasi, perkumpulan-perkumpulan pemuda,
pemimpin-pemimpin perusahaan, dan lain-lain.
Yang bertanggung jawab atas pendidikan anak bukan hanya guru-guru dan
orang tua, melainkan seluruh masyarakat. Toko buku yang dengan diam-diam
menjual bacaan cabul, bioskop yang membolehkan anak-anak di bawah umur
menonton film yang tak sesuai dengan usianya, pemerintahan kota yang tidak
menyediakan lapangan olah raga tetapi menggunakannya untuk mendirikan
gedung-gedung, mereka semua tidak luput dari tanggung jawab itu.
Itu sebabnya harus ada kerjasama yang erat antara badan-badan masyarakat,
supaya di luar sekolah dan rumah tangga, anak-anak senantiasa mendapat
pengaruh yang sebaik-baiknya. Itu pula sebabnya maka ada sekolah yang turut

mencampuri perkumpulanperkumpulan dan usaha-usaha pemuda dan anak-anak
di luar sekolah dan memandangnya sebagat bagian daripada kurikulum.
Garis-garis besar yang diberikan di atas memberikan gambaran sepintas
lalu, bahwa masyarakat atau lingkungan sungguh-sungguh merupakan sumber
bahan pelajaran yang sangat kaya dan luas, yang tidak dapat diabaikan begitu saja,
lalu berpegang saja pada suatu buku pelajaran.
Agar lingkungan dapat menjadi sumber dan laboratorium pelajaran, guru
sendiri harus lebih dahulu menyelidiki lingkungan sekolah. Kalau guru itu betul-
betul melakukannya, ia akan terperanjat, betapa banyaknya yang dapat dijadikan
pelajaran dalam radius 1 km. saja sekeliling sekolahnya. Yang dapat diselidiki
ialah hal-hal mengenai pertanian, industri, perniagaan, rekreasi, transport, lalu
lintas, lembaga-lembaga pendidikan, gedung-gedung perumahan, tumbuh-
tumbuhan, binatang, juga kebutuhan-kebutuhan masyarakat, kebaikan dan
kekurangan-kekurangan, norma-norma, takhyul, adat istiadat, peraturan-peraturan,
sejarah, kesehatan, pemerintahan, kesenian, kehidupan keluarga, kepolisian,
kegiatan pemuda, wanita, dan lain-lain. Sungguh banyak bahan dari masyarakat
yang dapat dijadikan pelajaran bagi murid-murid.
CARA-CARA MENGGUNAKAN MASYARAKAT DALAM PELAJARAN
a. Karyawisata atau field trip.
Murid-murid dapat kita bawa ke luar kelas untuk mempelajari berbagai-
bagai hal. Karyawisata selalu .mempunyai tujuan belajar, jadi berbeda dengan
piknik atau bertamasya untuk menikmati keindahan alam atau untuk gerak badan.
Karyawisata mungkin hanya memakan waktu beberapa menit saja, kalau anak-
anak pergi ke luar kelas untuk melihat burung yang hinggap di atap sekolah atau
memakan beberapa jam atau beberapa minggu kalau harus pergi ke tempat yang
jauh, malahan juga beberapa bulan, kalau
murid membuat perjalanan keliling dunia, andaikan ada uang untuk itu. Seperti
telah kita bicarakan di atas, banyak yang dapat dipelajari anak-anak dengan
karyawisata seperti ke sawah, kebun, pabrik, kantor pos, gedung arca, taman
bunga, jalan raya, lapangan terbang, dan sebagainya.

Sering karyawisata hanya dapat dilakukan dengan bantuan masyarakat.
Yang empunya pabrik, direktur rumah sakit, inspektur polisi, dan sebagainya
harus mempunyai pengertian tentang makna karyawisata hagi pendidikan dan
memberikan bantuan dan kesempatan sepenuhnya kepada murid-murid untuk
meninjau tempat-tempat itu. Dengan demikian mereka turut serta menjadikan
masyarakat suatu laboratorium tempat anak-anak mengadakan penyelidikan dan
belajar. Di sini tidak dibicarakan lebih lanjut cara-cara menyelenggarakan
karyawisata agar berhasil baik.
b. Menggunakan orang sebagai sumber.
Dalam tiap masyarakat betapapun kecilnya, terdapat orang-orang yang
mempunyai pengalaman, kecakapan, atau pengetahuan yang khusus mengenai
satu lapangan. Petani banyak pengetahuannya tentang menanam dan memelihara
padi, tukang kayu dapat berbicara tentang pembuatan rumah. Demikian pula
dokter, saudagar, tukang becak, pembesar dalam pemerintahan, polisi, tentara,
bidan, pendeta, haji, wartawan, pemain bola, dan lain-lain masing-masing dapat
mempunyai pengetahuan dan keahlian yang khusus yang dapat digunakan oleh
sekolah. Mereka dapat diundang ke sekolah untuk memberi keterangan-
keterangan mengenai suatu pokok yang sedang dipelajari oleh anak-anak. Seorang
pengurus PMI berbicara tentang usaha-usaha yang dijalankan untuk meringankan
penderitaan umat manusia, tukang becak dapat menceritakan pahit getir dan
kegembiraan penghidupannya, seorang camat dapat menjelaskan hal berhubungan
dengan urusan kampung, seorang inspektur polisi memberi penerangan betapa
perlunya orang taat kepada peraturan-peraturan
lintas, seorang Arab atau India memberikan penjelasan tentang negaranya masing-
masing dan seterusnya. Contoh-contoh dapat kita tambah lagi, sumber ini sangat
luas dan kaya. Akan tetapi sayang ssekali, sumber ini masih belum cukup
dimanfaatkan untuk memperkaya kurikulum di sekolah.
c. Pengabdian masyarakat.
Dari murid diharapkan, agar mereka tidak hanya memperhatikan dan
mempelajari apa yang ada dan yang terjadi dalam masyarakat. Mereka tidak boleh
menjadi penonton saja, akan tetapi dalam pelbagai hal mereka dapat turut serta

dalam usaha-usaha masyarakat. Malahan ada kalanya sekolah menjadi pendorong
dan turut aktif memperbaiki keadaan masyarakat. Terutama di daerah-daerah yang
terbelakang, sekolah dapat memelopori masyarakat ke arah perbaikan dan
pembaharuan. Misalnya murid-murid dapat turut membersihkan dan
memperindah kampung, memberantas tikus dan nyamuk, membuat kakus,
menanam buah-buahan, sayur-sayuran atau bunga-bungaan yang baru.
Pengalaman serupa ini memberi pelajaran kepada murid-murid, bahwa mereka
dapat membantu masyarakat dan dapat mengubah dan memperbaiki keadaan
sekitarnya. Dengan turut serta dalam usaha-usaha perbaikan masyarakat anak-
anak mendapat pengertian yang lebih mendalam tentang masyarakat itu.
d. Pengalaman kerja dalam masyarakat.
Cara lain untuk memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan pendidikan
para pemuda ialah memberi kepada mereka pengalaman-pengalaman bekerja di
samping pelajaran di sekolah. Pada suatu masa setiap orang harus menjabat suatu
pekerjaan untuk mencari nafkahnya. Besar faedahnya, kalau pemuda-pemuda
diberi kesempatan untuk mengenal pekerjaan di berbagai perusahaan, pabrik-
pabrik, dan kantor-kantor, di bawah pimpinan orang yang kompeten. Tujuannya
ialah menambah pengertian pemuda-pemuda tentang pekerjaan dan memupuk
sikap yang sehat terhadap dunia pekerjaan. Pekerjaan yang dipelajari anak
hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minatnya.
CARA MEMANFAATKAN MASYARAKAT
Untuk menjadikan suatu sekolah life-centered, tak dapat tiada harus
diselidiki sumber-sumber pelajaran apakah yang terdapat dalam masyarakat itu,
apakah yang dapat disumbangkan oleh masyarakat itu untuk pendidikan anak-
anak. Di samping buku-buku pelajaran, masyarakat memberi bahan pelajaran
yang penting sekali. Bagaimanakah cara-cara mengumpulkan bahan-bahan itu?
a. Guru-guru bersama-sama berusaha menyelidiki masyarakat itu dan
mengumpulkan hal-hal yang kiranya dapat memperkaya kurikulum sekolah itu.
Masyarakat itu dibagi atas beberapa aspek seperti: keadaan alam, sejarah,
penduduk, transpor dan perhubungan, kehidupan kekeluargaan, industri dan
jabatan-jabatan, kesehatan, pendidikan, agama, rekreasi, pemerintahan, dan seba-

gainya. Guru-guru masing-masing menyelidiki hal-hal manakah dalam
masyarakat itu yang dapat dipelajari berkenaan dengan tiap kategori. Bahan-bahan
mengenai tiap kategori dimasukkan ke dalam map tersendiri dan dapat senantiasa
diperlengkap.
b. Kepada orang tua murid dan kepada orang-orang lain dapat dikirimkan daftar
pertanyaan dalam bidang manakah mereka dapat bertindak sebagai manusia
sumber, atau mempunyai barang-barang atau alat-alat yang kiranya dapat
dipergunakan untuk pendidikan anak-anak. Diminta pula keterangan waktu mana
ia dapat datang ke sekolah, atau apabila ia dapat menerima murid, berapa jumlah
murid yang dapat datang, dan sebagainya. Dapat juga ditanyakan hal-hal apa yang
diketahuinya yang dapat membantu memperkaya pendidikan anak-anak.
c. Dapat juga dikirim daftar pertanyaan kepada perusahaan-perusahaan, apakah
mereka bersedia menerima murid-murid berkunjung ke sana dengan tujuan
pendidikan. Diminta keterangan anak-anak berusia berapakah mereka bersedia
menerimanya, berapa jumlah murid yang baik berkunjung ke sana, pada hari-hari
apa dan pukul berapa.
Segala keterangan mengenai masyarakat yang dapat memberi bahan untuk
pelajaran hendaknya disusun secara sistematis, sebaiknya dengan menggunakan
sistem kartu. Bahan ini senantiasa dapat diperluas. Pada kartu itu harus pula
dicatat keterangan-keterangan mengenai pokok itu, misalnya setelah mengadakan
field- trip atau setelah mengundang seorang manusia sumber ke sekolah. Juga
harus diadakan administrasi yang cermat, supaya misalnya suatu perusahaan tidak
terlampau sering dikunjungi, sehingga mengganggu pekerjaan mereka, sedangkan
perusahaan-perusahaan lain hampir tak pernah dijadikan obyek pelajaran.
Guru maupun masyarakat harus menyadari, bahwa pengalaman-pengalaman
yang terpimpin yang diperoleh murid-murid dalam masyarakat merupakan bagian
yang hakiki dan pendidikan modern yang efektif. Untuk itu harus ada kerjasama
yang erat antara sekolah dengan masyarakat demi kepentingan sang anak. Orang
tua dapat diturut sertakan dalam usaha-usaha sekolah sebagai anggota POMG,

atau badan sejenis, sebagai manusia sumber, sebagai anggota panitia, antara lain
dalam pembinaan kurikulum.
Akan tetapi bukan hanya masyarakat dapat membantu sekolah, sekolah pun
dapat berjasa kepada masyarakat. Sekolah dapat dijadikan tempat untuk
mengadakan rapat-rapat, untuk pertunjukan-pertunjukan, pameran, kursus-kursus.
Sekolah dapat menyediakan perpustakaan dan alat-alat sekolah untuk digunakan
oleh masyarakat. Dengan jalan demikian sekolah menjadi pusat masyarakat.
RANGKUMAN
1. Dalam masyarakat yang sederhana anak-anak banyak mempelajari hal-hal
yang diperlukannya sebagai orang dewasa dalam masyarakat itu sendiri secara
informal.
2. Dalam masa modern tugas pendidikan untuk mempersiapkan anak agar dapat
berdiri sendiri, dibebankan kepada sekolah.
3. Masyarakat modern cepat berubah, sehingga banyak hal segera menjadi usang.
Pembaharuan kurikulum harus dilakukan secara kontinu.
4. Kurikulum bergantung pada fungsi sekolah dalam masyarakat, yakni apakah
untuk mengawetkan kehudayaan dengan menyampaikannya kepada generasi
muda, mengubah masyarakat, ataukah mengembangkan individu. Ketiga
fungsi itu sebenarnya tak perlu dipertentangkan, akan tetapi dapat
dipertemukan. Namun selalu akan ada perbedaan tekanan.
5. Sekolah masyarakat sangat mengutamakan faktor masyarakat dalam
kurikulumnya.
6. Sekolah tak boleh berdiri terpisah dari masyarakat. Berbagai cara dapat
dilakukan untuk membawa sekolah ke masyarakat dan scbaliknya.
7. Masyarakat merupakan sumber yang kaya bagi pengajaran di sekolah.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Bandingkan pendidikan anak di desa dan di kota.
2. Masalah-masalah pokok apakah yang dihadapi umat manusia pada saat ini?
Hingga manakah masalah-masalah itu dimasukkan ke dalam kurikulum?
3. Sekolah itu konservatif. Apa sebab sekolah harus konservatif?

4. Menurut pendapat saudara, dapatkah sekolah mengubah masyarakat?
Dapatkah sekolah mendahului perkembangan masyarakat atau hanya
mengikuti perkembangan masyarakat?
5. Perbedaan apakah yang tampak bagi saudara dalam pendidikan sewaktu
saudara masih kecil dengan pendidikan dewasa ini? Dapatkah saudara
sebutkan sebab-sebab perubahan itu?
6. Dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah
kehidupan masyarakat. Dapatkah saudara menunjukkan contoh-contoh
berdasarkan observasi dan pengalaman sendiri? Apakah implikasinya bagi
kurikulum?
7. Peranan keluarga modern sudah berlainan dengan zaman dahulu, satu-dua
generasi yang lalu. Peranan apakah yang tak dapat dilakukan lagi oleh
keluarga yang dibebankan kepada sekolah?
8. Bagaimana pandangan John Dewey tentang fungsi sekolah?
9. Apa dimaksud dengan "social engineering"?
10. Bandingkan kurikulum SD pada zaman penjajahan Belanda dengan kurikulum
sekarang. Can perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh perubahan
masyarakat.
11. Sebutkan ciri-ciri sekolah masyarakat. Apa sebab ide sekolah masyarakat
demikian tidak dijadikan pola sekolah kita sekarang? Adakah keberatan-
keberatannya?
12. Coba selidiki lingkungan sekolah dengan radius 1 km. sumber-sumber
pelajaran apa yang terdapat di situ?
13. Bagaimanakah cara-cara memanfaatkan masyarakat dan lingkungan untuk
kepentingan masyarakat? Apa sebab sumber yang kaya ini kurang digarap
oleh sekolah-sekolah kita?
14. Menurut penilaian saudara, apakah sekolah kita telah cukup disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat, atau dengan kata lain apakah kurikulum telah
relevan dengan kebutuhan masyarakat? Jelaskan dengan contoh-contoh.
15. Relevansi kurikulum dengan kebutuhan masyarakat harus senantiasa ditinjau
kembali. Apa sebabnya?

16. Diskusikan apakah di daerah pertanian pelajaran bertani selalu relevan bagi
semua murid.
17. Diskusikan apakah orang tua baik diturut sertakan dalam urusan sekolah
termasuk kurikulumnya.

BAB 7
ORGANISASI KURIKULUM
Organisasi kurikulum yaknii pola atau bentuk bahan pelajaran disusun dan
dismapaikan kepada murid-murid, merupakan suatu dasar yang penting sekali
dalam pembinaan kurikulum dan bertalian erat dengan tujuan program pendidikan
yang hendak dicapai, karena bentuk kurikulum turut menentukan bahan pelajaran,
urutannya dan cara menyajikan kepada murid-murid. Tujuan-tujuan yang dicapai
dengan kurikulum berdasarkan mata pelajaran yang terpisah-pisah. Demikian pula
berlainan cara penyampaiannya dan isi pelajarannya. Tujuan-tujuan pendidikan
yang mengenai seluruh pribadi anak dihalang-halangi oleh kurikulum yang
disusun untuk memupuk segi intelektual. Tentu saja subject-curriculum dapat juga
membentuk segi-segi lain dari pribadi anak, akan tetapi organisasi kurikulum
tertentu sangat mempengaruhi bentuk-bentuk pengalaman apakah yang akan
disajikan kepada anak-anak. Kurikulum berdasarkan proyek atau unit dengan
sendirinya misalnya menyuruh anak-anak menyelidiki sendiri, mengadakan
karyawisata, mengadakan interview, menggunakan berbagai-bagai sumber, dan
sebagainya dan tidak terikat pada satu buku pelajaran tertentu. Selain itu
organisasi kurikulum menentukan juga peranan guru dan murid dalam pembinaan
kurikulum.
JENIS-JENIS KURIKULUM
Kurikulum bermacam-macam bentuknya. Bentuk yang paling dikenal dan
sangat meluas pemakaiannya ialah subject curriculum. Subject berarti mata
pelajaran. Subject jangan dikacaukan dengan subject matter, yang berarti bahan
pelajaran. Setiap kurikulum, juga integrated curriculum mempunyai subject
matter, yaitu mempunyai bahan pelajaran tertentu. Jadi subject curriculum berarti
kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran, disebut juga subject-
centered curriculum yang artinya kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran.
Karena mata pelajaran itu pada umumnya diajarkan secara terpisah-pisah, maka
disebut juga separate subject-curriculum.

Kurikulum ini banyak mempunyai ciri-ciri yang menguntungkan, namun
juga banyak mempunyai kelemahan. Karena kelemahan itu banyak timbul kritik
dari para ahli kurikulum yang menganjurkan bentuk kurikulum lain.
Maka timbullah berbagai bentuk kurikulum lain yang dianggap sebagai
reaksi terhadap subject curriculum itu. Mereka yang menganggap bahwa subject
curriculum memberi pengetahuan yang lepas-lepas, atomistis, atau fragmentaris
menganjurkan kurikulum yang integrated atau dipadukan, yang tidak mengenal
batas-batas antara mata pelajaran. Para ahli yang mengecam subject curriculum
karena dalam proses belajar anak itu hanya pasif, menganjurkan suatu bentuk
kurikulum yang lebih mengaktifkan anak-anak dalam proses belajar, yang mereka
sebut activity curriculum. Ada pula yang menganggap bahwa subject curriculum
terlampau mengutamakan pengalaman umat manusia yang lampau, yakni
kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang, yang dituangkan dalam bentuk
mata pelajaran, sehingga pengetahuan anak menjadi verbalistis. Mereka ini
menginginkan kurikulum yang didasarkan atas pengalaman langsung agar
pelajaran lebih bermanfaat. Kurikulum yang mereka anjurkan disebut experience
curriculum.
Demikian pula subject curriculum dikecam karena kurang memberi
pelajaran yang bertalian dengan kehidupan anak seharihari dalam lingkungan
masyarakatnya. Mereka ini menganjurkan life curriculum. Ada pula yang
berusaha mencakup segala kebaikan bentuk kurikulum yang mengadakan reaksi
terhadap subject curriculum, yakni core curriculum.
Kita akan bicarakan berbagai bentuk kurikulum itu. Perlu kami berikan
peringatan yang berikut. Setiap kurikulum mempunyai ciri-ciri yang baik, akan
tetapi juga mempunyai kelemahan-kelemahan, ditinjau dari segi tertentu. Kritik-
kritik terhadap bentuk kurikulum tertentu adalah kritik-kritik yang diajukan oleh
orang-orang yang tidak menyetujui bentuk kurikulum tersebut. Kita harus
meninjau kecaman itu secara kritis. Orang yang menganjurkan sesuatu yang baru,
biasanya berusaha memberi kecaman yang tajam untuk mendiskreditkannya. Ada
kalanya kecaman itu obyektif, akan tetapi kadang-kadang agak dilebih-lebihkan.

Selanjutnya perlu kita perhatikan, bahwa pertentangan yang tajam itu
biasanya terdapat pada taraf teoretis. Dalam praktik tidak tampak pertentangan
serupa itu.
Juga harus kita ketahui bahwa berbagai bentuk kurikulum yang `baru' itu
jarang terdapat dalam kenyataan dalam bentuknya yang murni. Ada kalanya
bentuk kurikulum itu hanya terdapat dalam teori raja. Namun berbagai bentuk
kurikulum ada pengaruhnya terhadap pemikiran tentang kurikulum dan sering
pula dalam pelaksanaannya. Demikian pula subject curriculum tidak selalu tampil
dalam bentuknya yang buruk. Kurikulum ini dapat dimodifikasi, diperkaya, dan
disesuaikan dengan pemikiran-pemikiran baru tentang kurikulum. Selanjutnya
akan kita bicarakan berbagai bentuk atau organisasi kurikulum.
I. SEPARATE-SUBJECT CURRICULUM
Kurikulum ini disebut demikian, oleh sebab segala bahan pelajaran
disajikan dalam subject atau mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang satu lepas
dari yang lain. Organisasi subject curriculum dianggap berasal dari zaman Yunani
kuno. Orang Yunani telah mengajarkan berbagai bidang studi seperti
kesusasteraan, matematika, filsafat dan ilmu pengetahuan ditambah dengan musik
dan atletik. Orang Romawi menerimanya dari orang Yunani sambil mengadakan
perobahan. Mereka mengadakan dua kategori utama yakni trivium (gramatika,
retorika, dan logika) dan quadrivium (arithmetika, geometri, astronomi, dan
musik), yang kemudian dikenel sebagai " the seven liberal arts " yang
memberikan pendidikan umum.
Pada abad pertengahan tujuan pendidikan menjadi praktis dan vokasional.
Di universitas misalnya dipelajari tiga bidang utama, yakni teologi, kedokteran,
dan hukum. Tidak jelas apa yang terjadi dengan " the seven liberal arts " itu. Yang
diketahui ialah bahwa bahasa Latin menjadi matapelajaran yang sangat penting.
Baru pada abad ke-19 mulai berkembang matapelajaran-matapelajaran
dengan pesatnya. Setiap mata pelajaran harus lebih (lulu berjuang sebelum diakaui
dan diterima sebagai mata pelajaran di sekolah seperti bahasa ibu, bahasa asing,
fisika, biologi, dan sebagainya. Juga timbul berbagai matapelajaran yang dianggap

nonakademis seperti tata buku, pekerjaan tangan, pertanian, pendidikan jasmani,
pendidikan kesejahteraan keluarga, dan sebagainya. Kini terdapat ratusan mata
pelajaran di sekolah maupun universitas. Inilah jenis kurikulum yang umumnya
terdapat di kebanyakan negara, juga di Indonesia, baik di SD maupun di Sekolah
Menengah sampai Universitas.
Apakah sebenarnya subject atau mata pelajaran itu? Subject itu ialah hasil
pengalaman umat manusia sepanjang masa, atau kebudayaan dan pengetahuan
yang dikumpulkan oleh umat manusia sejak dulu kala. Bahan ini lalu disusun
secara logis dan sistematis, disederhanakan dan disajikan kepada anak-anak di
sekolah sebagai mata pelajaran setelah disesuaikan dengan usia dan kematangan
murid-murid. Untuk itu bahan pelajaran dibagi-bagi untuk tiap-tiap kelas. Batas-
batas bahan pelajaran itu dihormati benar dan biasanya tidak dilampaui. Dikelas I
SD dahulu anak-anak berhitung dengan bilangan 1 sampai 20. Kalau ia
menghadapi soal-soal di atas 20, biasanya ia harus menunggu pemecahannya
sampai ia naik kelas 2. Jadi dalam mata pelajaran itu sendiri terdapat batas-batas
yang memisahkan bahan pelajaran untuk tiap kelas, seakan-akan terbagi atas
petak-petak. Batas-batas terdapat pula antar mata pelajaran yang satu dengan yang
satu lagi. Tiap mata pelajaran diberikan tersendiri lepas dari mata pelajaran lain
pada jam pelajaran tertentu. Biasanya sejarah diberikan terpisah dari ilmu bumi,
walaupun kedua mata pelajaran itu erat hubungannya.
Dengan demikian sukarlah terdapat suatu kebulatan dalam pengetahuan
anak-anak. Mereka sering hanya menumpukkan bermacam-macam pengetahuan.
Tentu ini juga disebabkan oleh metode mengajarnya.
Jelaslah bahwa pada pokoknya kurikulum serupa ini berdasarkan ilmu jiwa
assosiasi yang mengharapkan timbulnya pribadi yang bulat sebagai hasil jumlah
pengetahuan yang diperoleh anak.
Dengan suatu kurikulum, sekolah memberikan kepada anak-anak
pengalaman-pengalaman untuk mengembangkan pribadinya sesuai dengan tujuan
pendidikan. Anak-anak (dan manusia umumnya) belajar berkat pengalaman.
Sebelum anak bersekolah, telah banyak sekali ia belajar dan pengalaman dalam

kehidupannya sehari-hari. Hasil pelajaran serupa itu dianggap permanen dan tidak
dilupakan. Karena itu sekolah modern menggunakan pengalaman-pengalaman
anak itu sendiri sebagai bahan pelajaran. Yang dipelajari ialah hal-hal yang
berhubungan langsung dengan kehidupan anak. Dalam subject curriculum anak-
anak dipaksakan mempelajari pengalaman umat manusia yang lampau, yang tidak
selalu bertalian erat dengan pengalaman anak itu sendiri. Oleh sebab itu banyak
yang tidak dapat diselami oleh anak itu sendiri, lalu dihafal untuk diingat dan
kemudian dilupakan. Kurikulum yang subject-centered ini terutama ditujukan
kepada pembentukan intelektual dan kurang mengutamakan pembentukan pribadi
anak sebagai keseluruhan.
Kurikulum serupa ini biasanya ditentukan terlebih dahulu oleh ahli-ahli atau
para pembina pendidikan. Hal ini mungkin, oleh sebab luas atau scope bahan
pelajaran dapat ditentukan. Biasanya yang menentukannya ialah suatu panitia
yang terdiri atas tokoh-tokoh dan ahli-ahli pendidikan lain dan para ahli dalam
disiplin tertentu. Mereka inilah menetapkan apakah diperlukan anak-anak kelak
dalam kehidupannya dalam masyarakat. Jadi dalam kurikulum ini sudah lebih
dahulu ditentukan pengalaman-pengalaman apakah yang akan diterima anak
selama ia bersekolah. Oleh sebab bahan pelajaran itu biasanya telah ditetapkan
oleh buku, maka besarlah pengaruh buku pelajaran. Bahkan sering kurikulum itu
semata-mata ditentukan oleh buku pelajaran itu, sehingga tujuan pendidikan
menyempit menjadi menguasai sejumlah pengetahuan yang tercantum dalam
buku. Tentu saja guru yang baik tidak akan sudi diperhamba oleh buku dan
mencari berbagai jalan untuk memperkaya kurikulum itu dan menyesuaikan
sedapat mungkin dengan kebutuhan anak-anak setempat.
Oleh karena pengetahuan yang harus dikuasai anak tertentu banyaknya,
maka kurikulum ini mudah dijadikan uniform atau seragam di seluruh negara,
dengan maksud agar pendidikan di mana saja sama tarafnya. Untuk memperkuat
keseragaman itu diberikan pula rencana pelajaran terurai yang menentukan dalam
garis-garis kecil apa yang harus disajikan kepada murid-murid setiap minggu,
setiap jam. Kurikulum yang seragam ini memudahkan anak-anak pindah sekolah.
Pada akhir sekolah dapat diadakan ujian negara yang uniform pula. Keseragaman

bahan pelajaran yang diberikan kepada semua anak dalam suatu kelas
menimbulkan kesalahan didaktis untuk menyamaratakan semua murid, yang
pandai, maupun yang kurang pandai. Untuk mencari jalan tengah biasanya guru
menyesuaikan pelajaran dengan anak-anak yang " sedang " kepandaiannya. Tentu
saja cara ini tidak memuaskan bagi anak-anak yang pandai karena pelajaran itu
dianggapnya terlampau mudah dan tidak merangsangnya untuk mengeluarkan
segenap tenaga dan pikirannya. Sebaliknya bagi anak yang kurang pandai,
pelajaran itu terlampau cepat dan ia makin lama makin jauh ketinggalan.
Menyesuaikan pelajaran dengan kebutuhan minat, kesanggupan, dan pengalaman
anak secara individual merupakan suatu hal yang sukar dan karena itu tidak sering
dilakukan dalam kurikulum yang berdasarkan susunan mata pelajaran yang
terpisah-pisah ini. Kurikulum yang berpusatkan mata pelajaran ini masih sangat
banyak dipakai, karena banyak mengandung hal yang menguntungkan.
MANFAAT SEPARATE-SUBJECT CURRICULUM
1. Bahan pelajaran dapat disajikan secara logis dan sciternuas.
Menurut pengertiannya subject itu ialah hasil pengalaman umat manusia
pada masa yang lampau yang tersusun logis sistematis. Tiap mata pelajaran
mengandung sistematik tertentu. Berhitung dimulai dengan bilangan-bilangan
kecil dan kemudian meningkat kepada bilangan-bilangan besar. Ilmu pasti mulai
dengan pengertian-pengertian dasar, kemudian diberikan bentuk-bentuk yang
lebih kompleks. Geografi dimulai dengan daerah yang dekat, kemudian
dibicarakan daerah-daerah yang makin jauh. Sejarah disusun dari masa purba
sampai kepada zaman sekarang. Demikian dapat kita lihat, bahwa setiap mata
pelajaran atau disiplin mempunyai sistematik tertentu. Dengan mengikuti
sistematik itu anak-anak juga terlatih berpikir menurut struktur disiplin, misalnya
dengan mempelajari matematik, anak dapat berpikir secara matematis, dan
sebagainya. Logika dan sistematik setiap cabang berpikir secara matematis, dan
sebagainya. Logika dan sistematik setiap cabang pengetahuan ini tidak akan dapat
ditemukan anak itu sendiri. Oleh sebab itu jalan yang efisien ialah memberikan
saja kepada anak-anak ilmu pengetahuan itu dalam susunan yang logis seperti
telah dipikirkan oleh ahli-ahli.

Diharapkan pula agar pengetahuan, pengertian, kecakapan-kecakapan yang
diperoleh anak-anak dalam mata pelajaran itu dapat juga digunakannya dalam
kehidupannya sehari-hari.
2. Organisasi kurikulum ini sederhana, mudah direncanakan dan dilaksanakan.
Dari segala macam kurikulum, kurikulum inilah yang paling mudah
disusun, direorganisasi, ditambah, atau dikurangi. Masalah scope dan sequence
tidak berapa menimbulkan kesulitan. Scope terutama soal menentukan jumlah dan
jenis mata pelajaran yang harus disajikan oleh sekolah. Sequence adalah soal
menentukan urutan mata pelajaran yang harus diberikan dalam tiap kelas.
Dalam menentukan kurikulum ini banyak pula bantuan diperoleh dan buku-
buku pelajaran yang telah diakui baik, sehingga lebih memudahkan luas (scope)
dan urutan (sequence) bahan pelajaran di tiap kelas.
Melaksanakan kurikulum ini pun tidak menimbulkan kesulitan. Guru-guru
pada umumnya dapat berpegang pada buku pelajaran yang telah ditentukan, yang
diajarkannya bab demi bab. Apa yang akan diajarkan sudah ditentukan lebih
dahulu, sehingga guru dapat menyesuaikan jumlah waktu dengan jumlah bahan
pelajaran yang harus diberikan setiap kali. Lagi pula guru-guru terutama di SM
telah terlatih dalam matapelajaran-matapelajaran tertentu.
3. Kurikulum ini mudah dinilai.
Kurikulum ini terutama bertujuan menyampaikan sejumlah pengetahuan,
pengertian, dan kecakapan-kecakapan tertentu yang mudah dinilai dengan ujian
atau tes. Ada kalanya bahan pelajaran ditentukan dengan menetapkan buku-buku
pelajaran yang harus dikuasai untuk suatu daerah, malahan untuk seluruh negara,
sehingga dapat diadakan ujian umum yang uniform di seluruh negara.
4. Kurikulum ini juga dipakai di pendidikan tinggi.
SD masih dianggap oleh kebanyakan orang sebagai persiapan untuk SM dan
SM sebagai sekolah persiapan untuk Pendidikan Tinggi. Boleh dikatakan, pada
saat ini setiap perguruan tinggi menggunakan organisasi kurikulum yang bersifat
mata pelajaran yang terpisah-pisah. Oleh sebab itu maka SM pun cenderung
mempunyai organisasi kurikulum yang sama, demikian pula SD.

Kebanyakan orang tua menginginkan agar anak-anaknya kelak melanjutkan
pelajarannya di fakultas. Karena itu kurikulum yang berbentuk subject diterima
baik dan dipertahankan di SD dan SM.
5. Kurikulum ini telah dipakai berabad-ubad lamanya dan sudah menjadi
tradisi.
Kurikulum ini telah digunakan dan diterima baik oleh generasi-generasi
yang lalu, sehingga mendapat dukungan dari orang tua dan para pengajar. Sukar
orang menerima perubahan dalam organisasi kurikulum yang telah bertahan
begitu lama. Orang tua yang mengitimkan anak-anaknya ke sekolah menganggap
sewajarnya, bahwa anak itu mempelajari bermacam-macam mata pelajaran seperti
yang mereka pelajari.
6. Kurikulum ini lebih memudahkan guru.
Kebanyakan guru SL mendapat didikan untuk mengajarkan mata pelajaran
tertentu di SMP dan SMA. Dengan sendirinya mereka lebih senang bekerja di
sekolah yang mempunyai kurikulum yang sesuai dengan pendidikannya di IKIP.
Mereka merasa aman dan tenteram dalam organisasi kurikulum yang subject-
centered ini. Lagi pula, kalau mereka telah mengajar selama beberapa tahun dan
telah menguasai bahan pelajaran (atau buku pelajaran) sepenuhnya, pekerjaan
selanjutnya merupakan rutin yang tidak lagi meminta usaha dan jerih payah. Tiap
tahun ia mengulang-ulangi pelajaran tanpa membutuhkan banyak pikiran dan
kreativitas seperti halnya dalam pengajaran proyek atau unit. Terlebih-lebih
apabila guru itu harus mengajar pagi sore, maka kurikulum ini sesuai benar
dengan kemampuan guru.
7. Kurikulum ini mudah diubah.
Segala perubahan atau perbaikan kurikulum kita hingga saat ini senantiasa
didasarkan pada organisasi berbentuk subject. Perubahan atau perbaikan
kurikulum dicapai dengan menambah atau mengurangi jumlah, isi atau jenis mata
pelajaran sesuai dengan permintaan zaman. Kalau dirasa perlu anak-anak
mengetahui tentang lalu lintas, mengetik, kewargaan negara, pendidikan
kependudukan, dan lain-lain, maka mata pelajaran itu mudah ditambahkan.
Demikian pula mata pelajaran yang dirasa tidak sesuai lagi, dapat ditiadakan.

8. Organisasi kurikulum yang sistematis seperti yang dimiliki oleh subject-
curriculum esensial untuk menafsirkan pengalaman. Organisasi serupa ini sangat
menghemat waktu dan tenaga dan memberi kemungkinan mempelajari sesuatu
dalam waktu singkat apa yang ditemukan dengan susah payah oleh para sarjana
pada masa lampau.
BERATAN-KEBERATAN TERHADAP SEPARATE-SUBJECT
IRRICULUM
Walaupun kurikulum ini masih sangat umum dipakai di mana-mana karena
banyak mengandung kebaikan-kebaikan, namun banyak pula kelemahan-
kelemahannya dititik dari sudut pendidikan modern. Keberatan-keberatan yang
sering diajukan tentu saja bertalian erat dengan pandangan seseorang mengenai
pendidikan dan pengajaran. Kelemahan-kelemahan kurikulum ini ialah:
1. Kurikulum ini memberikan matapelajaran yang lepas-lepas, yang tidak
berhubungan satu dengan yang lain.
Salah satu keberatan yang paling serius ialah bahwa kurikulum ini membagi
pengalaman dan pelajaran anak atas bagian-bagian yang lepas-lepas, secara
fragmentaris yang sebenarnya tak ada dalam dunia kenyataan. Apabila seorang
menghadapi suatu situasi kehidupan, ia mencoba mengatasinya dengan
menggunakan segala pengalaman dan pengetahuannya yang ada padanya
berkenaan dengan situasi itu, tanpa mengindahkan batas-batas pengetahuan seperti
diadakan oleh kurikulum ini. Mata pelajaran yang terpisah-pisah yang dijadikan
pengalaman anak bertentangan dengan dunia kenyataan.
Kurikulum berbentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah tidak mendidik
anak-anak menghadapi situasi-situasi dalam kehidupannya. Matapelajaran-
matapelajaran memberikan kepada anak-anak pengetahuan yang lepas-lepas. Hal
ini diperkuat lagi apabila tiap mata pelajaran diberikan oleh guru yang berlainan
seperti halnya di Sekolah Menengah tanpa mengetahui apa yang diberikan pada
pelajaran lain.

Organisasi kurikulum ini tidak mendorong guru-guru mengadakan integrasi
dalam berbagai mata pelajaran. Bila kita perhatikan Rencana Pelajaran untuk
Sekolah Rakyat yang diterbitkan oleh KPPK. Yogyakarta 1950 misalnya untuk
Ilmu Hayat di kelas V, nyatalah, bahwa Ilmu Hewan, Ilmu Tumbuh-tumbuhan
dan Tubuh Manusia - Kesehatan boleh dikatakan tidak ada hubungannya. Padahal
sudah sewajarnya ada hubungan antara matapelajaran-matapelajaran itu.
Sebagai contoh di sini kami kutip bahan pelajaran Ilmu Hayat untuk kelas
V.
a. Ilmu Tumbuh-tumbuhan:
Cempaka kuning, mangga, ketela pohon (singkong), jagung, teh; ubi jalar,
tebu, padi, cengkeh, turi, petai, bunga matahari, puspaindra (bunga tasbih),
cosmea, vinka, dan sebagainya.
b. Ilmu Hewan:
Cecak, kodok, ular, babi, keong, kelelawar, buaya, lipan (kelabang), labah-
labah, ikan, kupu-kupu, badak, rusa, burung hantu, kumbang, dan sebagainya.
c. Tubuh Manusia - Kesehatan:
Dari hal rangka, daging, makanan, bernafas, peredaran darah, urat saraf, kulit,
lidah, hidung, mata, telinga, pengeluaran kotoran, beberapa penyakit.
Kalau guru (dan pengarang buku pelajaran) berpegang pada daftar yang di
atas, maka pada minggu pertama anak-anak akan mempelajari "Cempaka Kuning"
dalam pelajaran Ilmu Tumbuh-tumbuhan, "Cecak" dalam Ilmu Hewan dan "Dari
hal rangka" dalam pelajaran Tubuh Manusia. Jelaslah, bahwa ketiga pokok itu
tidak ada pertaliannya. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, dan anak-anak
disuruh mengumpulkan sejumlah pengetahuan yang lepas-lepas. Inilah salah satu
kelemahan yang paling besar dari kurikulum yang subject-centered ini.
Dalam kurikulum 1975 yang menggunakan broadfield atau bidang studi
seperti IPA, IPS, matematika, dan sebagainya. Integrasi telah dicapai dalam
matapelajaran yang saling berkaitan.

2. Kurikulum ini tidak memperhatikan masalah-masalah sosial yang dihadapi
anak-anak dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam praktik, kurikulum ini bertujuan menyampaikan sejumlah
pengetahuan yang terdapat dalam buku-buku pelajaran yang ditentukan. Sering
kali bahan pelajaran itu tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah yang
dihadapi anak-anak dalam kehidupannya.
Anggapan, ialah bahwa anak-anak telah terlatih dalarn memecahkan
masalah-masalah pelajaran di sekolah, dan karena itu dapat juga memecahkan
soal-soal yang dihadapinya dalam kehidupanya. Tentu saja perlu sekali bagi setiap
orang untuk memiliki pengetahuan. Akan tetapi anak-anak juga harus diberi
pengalaman untuk menggunakan pengetahuan itu secara fungsional dalam
kehidupannya. Untuk itu ia harus diberi kesempatan di sekolah untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalarn kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pelajaran di sekolah dihubungkan dengan pengalaman langsung
anak-anak itu. Pelajaran serupa itu lebih mengandung arti bagi anak-anak dan
karena itu lebih menarik dan berrnanfaat. Tak jarang anak-anak lebih tahu tentang
perang Napoleon daripada tentang perkembangan daerahnya sendiri, atau anak-
anak lebih mengetahui tentang susunan urat saraf cacing tanah daripada tentang
cara menjaga kesehatannya sendiri. Oleh sebab bahan pelajaran terutama
didasarkan atas buku pelajaran, maka banyak masalah yang dihadapi anak dalam
hidupnya tidak mendapat tempat dalam kurikulum. Kepada anak-anak jarang
diajarkan tentang cara bergaul cara menggunakan waktu senggang, tentang
memahami dirt sendiri terutama bagi pemuda, tentang jabatan-jabatan dalam
masyarakat, tentang kehidupan keluarga, dan sebagainya. Tentu saja, guru yang
merasakan kekurangan kurikulum ini, dapat menutupi kekurangan ini sedapat
mungkin.
3. Kurikulum ini menyampaikan pengalaman umat manusia yang lampau dalam
bentuk yang sistematis dan logis. Sesuatu yang logis tidak selalu psikologis
ditinjau dari segi minat dan perkembangan anak.
Berhubung dengan apa yang diketahui mengenai pertumbuhan dan
perkembangan anak dan mengenai psikologi belajar, maka kurikulum ini banyak

mengandung kekurangan ditinjau dari sudut psikologis. Hal ini lebih-lebih berlaku
bagi anak-anak di SD oleh sebab mereka terutama menambah pêngetahuannya
berdasarkan pengalaman-pengalaman langsung yang mengandung arti baginya,
karena bertalian erat dengan kehidupannya dan kebutuhannya sehari-hari.
Anak-anak kecil sukar melihat tujuan mata pelajaran yang terpisah-pisah
itu. Mereka mempelajarinya atau pada umumnya menghafalnya untuk mendapat
angka yang baik, atau menghindarkan kecaman dan hukuman dari guru dan orang
tua, jadi dengan motivasi yang ekstrinsik. Oleh sebab mereka tidak melihat makna
pelajaran, hasil pelajaran itu dangkal dan verbalistic dan sebagian besar segera
pula dilupakan. Verbalisme ini juga timbul oleh sebab mata pelajaran itu tidak
berurat berakar dalam pengalaman anak itu sendiri. Dalam hal ini pun guru yang
baik dapat berusaha untuk menghubungkan mata pelajaran dengan pengalaman
anak.
Murid-murid SM lebih sanggup melihat tujuan mata pelajaran. Mereka tahu
bahwa mata pelajaran itu berguna baginya, kalau ia melanjutkan pelajarannya di
universitas dan ada pula kemungkinan mempunyai minat yang khusus untuk
memperdalam pengetahuannya dalam suatu mata pelajaran tertentu.
4. Tujuan kurikulum ini terlampau terbatas.
Kurikulum ini mengabaikan atau kurang memperhatikan pertumbuhan
jasmaniah, perkembangan sosial dan emosional, karena terutama memusatkan
tujuannya pada perkembangan intelektual. Tentu saja perkembangan intelektual
tujuan yang penting bagi sekolah, akan tetapi konsepsi modern tentang pendidikan
juga menekankan perkembangan aspek-aspek lain dari pribadi anak. Malahan ada
ahli-ahli mental hygiene yang mengemukakan bahwa kurikulum ini dapat
merusak pribadi anak-anak karena mereka dihadapkan kepada situasi-situasi yang
tidak mengandung arti baginya sehingga mereka menghadapi frustrasi yang
mengganggu kesejahteraan rohaninya. Atau mereka meninggalkan sekolah,
karena pelajaran tak sesuai dengan mentalnya dengan kemungkinan besar anak-
anak itu menjadi nakal.

Tentu saja guru yang baik dapat juga memperhatikan perkembangan segi-
segi pribadi anak sebagai keseluruhan dan tidak hanya mementingkan segi
intelektual saja.
Guru yang mengajarkan geografi dapat menyampaikan nilai-nilai sosial,
emosional, estetis dan sebagainya kepada anak-anak. Guru yang baik mengetahui,
bahwa setiap pengajaran harus bersifat mendidik. Akan tetapi karena organisasi
kurikulum bersifat subject- centered, maka dalam praktik banyak guru terutama
mementingkan aspek intelektual saja.
5. Kurikulum ini kurang mengembangkan kemampuan berpikir.
Demokrasi dalam rangka Pancasila sebaiknya dipupuk dengan memberi
kesempatan kepada murid-murid untuk menyelidik, berpikir, berbuat, bekerja
sendiri, baik secara perorangan, maupun secara kelompok. Demokrasi
menginginkan warganegara-warganegara yang dapat mengambil keputusan atas
tanggungjawab sendiri. Perbuatannya tidak ditentukan semata-mata oleh orang
lain. Ia mengumpulkan keterangan-keterangan dan fakta-fakta untuk memecahkan
masalah-masalah. Ia tidak begitu saja menerima baik apa yang dikatakan orang
lain, akan tetapi memikirkannya secara kritis.
Kurikulum ini mengutamakan penguasaan pengetahuan dengan jalan
ulangan dan hafalan, dan kurang mengajak anak-anak berpikir sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan dan soal-soal yang mereka hadapi telah mempunyai
jawab-jawab tertentu, sehingga tidak ada kebebasan menemukan jawaban sendiri.
Anak-anak biasanya menerima segala sesuatu atas otoritas guru atau buku
pelajaran.
Selain dari itu bahan pelajaran biasanya lebih dahulu ditetapkan secara
"otoktratis" oleh pihak atasan. Anak-anak tidak diturut sertakan dalam
merencanakan dan membicarakan apa yang akan dipelajari seperti halnya dalam
pengajaran unit.

Walaupun dalam kurikulum ini ada juga yang merangsang anak-anak
berpikir sendiri secara kritis dan dalam batas-batas yang sangat terbatas turut
merencanakan bahan. pelajaran, tetapi organisasi kurikulum ini pada hakekatnya
tidak merangsang kegiatan-kegiatan serupa itu.
6. Kurikulum ini cenderung menjadi stasis dan ketinggalan zaman.
Bahan pelajaran dalam kurikulum ini terutama didasarkan pada pengetahuan
yang telah tercantum dalam buku. Adakalanya suatu buku digunakan dari tahun
ke tahun tanpa peruhahan dan penyesuaian dengan keadaan masyarakat yang
dinamis yang terus-menerus berkembang dengan pesatnya. Itu sebabnya maka
pelajaran di sekolah sering ketinggalan zaman. Apa yang benar pada suatu saat
mungkin tidak sesuai lagi pada zaman yang berikutnya. Dalam pengajaran proyek
anak-anak menghadapi masalah-masalah yang aktual dengan menggunakan bahan
dari sumber-sumber yang up-to- date. Pada zaman atom dan satelit ini murid-
murid masih mempelajari pemadam api yang tidak terpakai lagi, karena
berpegang pada kurikulum yang subject-centered.
Tak semua keberatan terhadap subject curriculum dapat diterima begitu saja.
Fragmentasi, pengajaran sedikit demi sedikit tak dapat dielakkan karena tak
mungkin dipelajari segala sesuatu sekaligus. Walaupun mata pelajaran diberikan
secara terpisah-pisah integrasi akan terjadi juga dalam diri setiap orang. Juga tak
dapat diterima bahwa subject curriculum tidak mendidik anak-anak berpikir.
Bahkan diharapkan agar anak dapat berpikir menurut struktural suatu disiplin,
menurut cara berpikir sarjana dalam bidang ilmu tertentu. Kalaupun anak disuruh
menghafal dan menumpukkan sejumlah pengetahuan yang lepas-lepas, maka itu
bukan salah bentuk organisasi kurikulum, melainkan salah metode mengajarnya.
Juga untuk mata pelajaran dapat dipupuk minat, dan makin banyak pengetahuan
anak tentang suatu mata pelajaran makin besar pula minatnya untuk
mempelajarinya lebih lanjut. Juga tak perlu kurikulum yang subject centered
menjadi terbelakang asal guru senantiasa memperluas ilmunya sesuai dengan
perkembangan disiplin itu.
Separate subject curriculum banyak diserang dari berbagai pihak. Akan
tetapi sekalipun tidak ada tokoh atau aliran tertentu yang mempertahankannya,

namun bentuk kurikulum ini masih hidup dengan subur di mana-mana di dunia.
Hal ini tak perlu mengherankan, karena kebaikannya, sedangkan alternatif yang
diberikan, seperti misalnya integrated curriculum sangat banyak menimbulkan
kesulitan dalam penerapannya oleh guru dalam kelas.
Setelah diluncurkannya Sputnik oleh Rusia, maka timbul kritik yang pedas
dan tajam terhadap integrated curriculum sambil menonjolkan pengajaran mata
pelajaran atau disiplin-disiplin ilmu. Para ahli giat mempelajari stuktur setiap
disiplin. Diinginkan agar anak didik menurut struktur disiplin itu, sehingga dalam
pelajaran sejarah ia belajar berpikir seperti ahli sejarah, dalam pelajaran
matematika is belajar berpikir secara matematis. Jutaan dollar dikeluarkan kepada
sarjana-sarjana dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pendidik untuk
menghasilkan buku pelajaran menurut disiplin ilmu itu.
Akan tetapi dalam bidang kurikulum tak akan kunjung tercapai sesuatu yang
sempurna. Senantiasa kita lihat pendapat-pendapat yang bertentangan, yang ingin
saling menghancurkan. Karena setiap bentuk kurikulum mempunyai kebaikan dan
kelemahan, maka memilih suatu bentuk yang ekstrim dengan sendirinya
mengabaikan kebaikan kurikulum yang ditentang itu .
Maka karena itu hams kita elakkan cara berpikir ekstrim dan sepihak
mengenai aliran-aliran dalam kurikulum. Tak ada kurikulum yang hanya
mengutamakan masyarakat dengan mengabaikan sama sekali kepentingan anak.
Demikian pula kurikulum yang semata-mata memberikan mata pelajaran yang
terpisah-pisah. Setiap guru yang baik dengan sendirinya akan mengadakan
korelasi dengan mata pelajaran lain yang dianggapnya perlu untuk memperdalam
pengertian anak.
Sikap yang ekstrem menyebabkan kritik yang sering berlebih-lebihan. Kita
harus mencoba melihatnya dalam proporsi yang sebenarnya.
II. CORRELATED CURRICULUM
Para pendidik yang melihat kelemahan-kelemahan separate-subject
curriculum dan merasa tidak puas dengan kurikulum itu berikhtiar mencari jalan
untuk memberikan kepada murid pengalaman-pengalaman yang ada

hubungannya. Ada yang menghubungkan mata pelajaran yang satu dengan yang
lain dengan memelihara identitas mata pelajaran, ada pula yang menyatu padukan
mata pelajaran dengan menghilangkan identitas mata pelajaran dalam bidang studi
tertentu.
Korelasi dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara :
a. Antara dua mata pelajaran diadakan hubungan secara insidental, yakni kalau
kebetulan ada pertaliannya dengan mata pelajaran lain. Misalnya pada
pelajaran geografi dapat disinggung soal sejarah, ilmu hewan, dan sebagainya.
b. Hubungan yang Iebih erat terdapat, apabila suatu pokok atau masalah tertentu
diperbincangkan dalam berbagai-bagai mata pelajaran, misalnya soal sawah
dibicarakan dalam pelajaran geografi, ilmu tumbuh-tumbuhan, pekerjaan
tangan, menggambar, bernyanyi, dan sebagainya. Setiap mata pelajaran
diberikan pada jam-jam tertentu, jadi berdiri sendiri, akan tetapi memberi
sumbangan masing-masing untuk menyoroti masalah yang dihadapi.
c. Dapat pula beberapa mata pelajaran disatukan, di-fusi-kan dengan
menghilangkan batas masing-masing, misalnya sejarah, ekonomi, sosiologi,
antropologi, geografi, kewargaan negara menjadi IPS atau Ilmu Pengetahuan
Sosial. Demikian pula ilmu alam, kimia, biologi, disatukan menjadi IPA atau
Ilmu Pengetahuan Alam. Dalam pelajaran bahasa dimasukkan bagian-bagian
seperti membaca, mengarang, ejaan, tata bahasa, kesusasteraan, bercakap-
cakap dan lain-lain. Paduan atau fusi antara beberapa mata pelajaran itu
disebut "broad-field". Broad-field lain ialah matematika yang menyatukan
ilmu ukur, aljabar, dan berhitung. Kesenian melingkapi seni suara, seni lukis,
seni pahat, seni tari, drama dan sebagian dari pendidikan jasmani. Broad-field
itu sendiri merupakan kesatuan yang tidak terbagi-bagi atas bagian-bagian.
Walaupun telah tercapai perpaduan yang erat antara beberapa mata pelajaran,
dasarnya sebenamya masih bersifat subject curriculum, hanya jumlah
pelajaran sangat dikurangi. Jadi broad-field dapat dianggap sebagai modifikasi
subject curriculum yang tradisional.

Biasanya pokok yang dibicarakan berupa problema-problema. Buku ilmu
pengetahuan sosial yang dikarang oleh Lavone A. Hanna berjudul: "Facing Life's
Problems" isinya :
Problem - Solving
Part I. Making the Most of Our Lives
Understanding Ourselves
Making and Keeping Friends
Establishing a Sucessful Marriage
Getting Along with People Who Differ
Acquiring an Education
Using Our Leisure Time
Developing a Philosophy of Life.
Part II. Becoming Economically Independent
Choosing an Occupation
Becoming .a Wise Consumer
Using Our Resources Wisely
Understanding Our Economic Relations.
Part III. Assuming Citizenship Responsiblities
Participating in Local Community Affairs
Understanding the Functions of Government
Maintaining Our Civil Liberties.
Part IV. Understanding Our World
Democrary Challenges Totalitarianism
Our World Is Interdependent
War Is Not Inevitable.
Buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD kelas IV yang
diterbitkan oleh Departemen P dan K, berisi
1. Lingkungan Alamiah
- Mengendalikan banjir
2. Tata Pemerintahan Daerah

- Bapak Gubernur meninjau desa
- Pemilihan umum
3. Pendidikan
- Semua orang belajar
- Pengalaman sekolah dr. Herman
4. Perhubungan
- Kendaraan dulu dan sekarang, pengangkutan penumpang dan barang
- Jarak yang kian pendek
5. Peninggalan Sejarah
- Mengunjungi Candi Borobudur
- Berziarah ke makam Ibu Kartini
6. Hidup bermasyarakat
- Bermain sepak bola
- Pramuka berkemah
Dalam pelajaran ilmu pengetahuan sosial ini masalah yang di atas
dibicarakan dengan menggunakan bahan dari sejarah, geografi, ekonomi, dan lain-
lain.
BEBERAPA KEUNTUNGAN BROAD FIELD CURRICULUM
1. Korelasi memajukan Integrasi pengetahuan pada murid-murid. Mereka
mendapat informasi mengenai suatu pokok tertentu tidak secara terpisah-pisah
dalam berbagai matapelajaran pada waktu yang berbeda-beda, akan tetapi
dalam satu pelajaran, di mana pokok itu disoroti dari berbagai disiplin mata
pelajaran terentu. Dengan demikian pengetahuan mereka tidak lepas-lepas,
melainkan bertautan, berpadu.
2. Minat murid bertambah apabila ia melihat hubungan antara matapelajaran-
matapelajaran.
3. Pengertian murid-murid tentang sesuatu lebih mendalam, bila didapat
penjelasan dari berbagai matapelajaran.
4. Korelasi memberikan pengertian yang lebih luas karena diperoleh pandangan
dari berbagai-bagai sudut dan tidak hanya dari satu mata pelajaran saja.

5. Korelasi memungkinkan murid-murid menggunakan pengetahuannya lebih
fungsional. Mereka mendapat kesempatan menggunakan pengetahuan dari
berbagai matapelajaran guna memecahkan suatu masalah.
6. Korelasi antara mata pelajaran lebih mengutamakan pengertian dan prinsip-
prinsip daripada pengetahuan dan penguasaan fakta-fakta.
KEKURANGAN-KEKURANGAN KURIKULUM INI
Seperti telah dikatakan, correlated curriculum ialah suatu modifikasi subject
curriculum dan karena itu juga hingga batasbatas tertentu mempunyai kelemahan-
kelemahannya. Kurikulum ia memang memberikan pengetahuan yang lebih bulat
daripada separate-subject curriculum. Akan tetapi orang-orang yang progresif
maupun yang tradisional mempunyai keberatan-keberatan terhadap kurikulum ini.
1. Kurikulum ini pada hakikatnya kurikulum yang subject- centered dan tidak
menggunakan bahan yang Iangsung berhubungan dengan kebutuhan dan
minat anak-anak serta dengan masalah-masalah yang hangat yang dihadapi
murid-murid dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Broad-field tidak memberi pengetahuan yang sistematis serta mendalam
mengenai berbagai mata pelajaran. Pengetahuan yang diperoleh tentang suatu
disiplin sewaktu membicarakan bermacam-macam pokok, tidak berhubungan
erat satu sama "dengan" lain, sehingga tidak merupakan suatu keseluruhan
yang tersusun logic dan sistematis. Pengetahuan anak tentang mata pelajaran
itu bersifat umum dan dangkal dan hanya dapat dipandang sebagai pengantar
ke dalam berbagai mata pelajaran, akan tetapi tidak mencukupi sebagai
persiapan untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi.
3. Guru sering tidak menguasai pendekatan inter-disipliner. Jika spesialisasinya
geografi, ia akan mengutamakan geografi dan menjadikan sejarah,
kewarganegaraan atau ekonomi sebagai pelajaran pembantu.
III. INTEGRATED CURRICULUM
Integrasi berasal dari kata "integer" yang berarti unit. Dengan integrasi
dimaksud perpaduan, koordinasi, harmoni, kebulatan keseluruhan.
Integrated curriculum meniadakan batas-batas antara berbagai-bagai mata
pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan.

Yang penting bukan hanya bentuk kurikulum ini, akan tetapi juga tujuannya.
Dengan kebulatan bahan pelajaran diharapkan kita membentuk anak-anak menjadi
pribadi yang integrated, yakni manusia yang sesuai atau selaras hidupnya dengan
sekitarnya. Orang yang "integrated" hidup dan harmoni dengan lingkungannya.
Kelakuannya harmonis dan ia tidak senantiasa terbentur pada situasi-situasi yang
dihadapinya dalam hidupnya. Apa yang diajarkan sekolah disesuaikan dengan
kehidupan anak di luar sekolah. Pelajaran membantu anak dalam menghadapi
masalahmasalah kehidupan di luar sekolah.
Di sekolah ia belajar bekerja sama dan bergaul dengan murid-murid lain
dengan tujuan agar ia pandai bergaul dan bekerjasama dengan orang-orang lain di
luar sekolah. Integrasi sosial ini lebih diutamakan dalam integrated curriculum
daripada dalam curriculum yang subject centered. Menilik tujuannya kurikulum
ini juga dapat disebut "integrating" curriculum, karena bermaksud untuk
mengintegrasikan pribadi anak.
Integrated curiculum dilaksanakan melalui pengajaran unit. Menurut
Caswell unit ialah 'a series of related activities engaged in by children in the
process of realizing a dominating purpose which is compatible with the aims of
education". Suatu unit mempunyai tujuan yang bermakna bagi anak yang biasnaya
dituangkan dalam bentuk masalah. Untuk memecahkan masalah itu anak-anak
melakukan serangkaian kegiatan yang saling herkaitan. Menghadapkan anak
kepada masalah berarti merangsangnya untuk berpikir dan ia merasa tidak akan
merasa puas dan tenang sebelum memecahkan masalah itu.
Dalam pengajaran unit dengan sengaja anak-anak dididik untuk berpikir
secara ilmiah menurut langkah-langkah yang disebut Dewey "the method of
intelligence."
(1) Seorang berpikir bila ia menghadapi masalah. Masalah itu harus dirumuskan
setajam-tajamnya dan sering pula menganalisanya dalam sejumlah sub-
masalah.
(2) Ia memikirkan hipotesis-hipotesis, yaitu cara-cara yang mungkin memberi
jawaban atau penyelesaian masalah itu. Hipotesis-hipotesis itu harus lagi
dicobakan untuk membuktikan benar tidaknya.

(3) Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis itu ia perlu mengumpulkan
keterangan atau data sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara dan dari
berbagai sumber sesuai dengan sifat masalah itu.
(4) Dengan keterangan-keterangan yang diperoleh itu ia menguji kebenaran
hipotesis-hipotesis. Setiap hipotesa dianggap scbagai suatu kemungkinan
jawaban yang harus disangsikan, sampai kebenarannya dibuktikan
berdasarkan data. Ada kemungkinan di antara hipotesa itu ada yang benar.
Maka masalah itu terpecahkan. Akan tetapi mungkin juga tak satupun yang
ternyata benar, dan masalah itu tetap tidak terpecahkan. Maka harus dicari di
mana kekurangannya. Mungkin masalah itu kurang tepat rumusannya, atau
masih harus dicari hipotesis-hipotesis lain, atau mungkin tidak cukup
keterangan yang diperlukan untuk memecahkan masalah itu. Ada kalanya
langkah ini meminta waktu dan tenaga yang banyak, bergantung pada sifat
masalahnya. Mungkin suatu masalah baru dapat dipecahkan setelah puluhan
tahun, atau hingga sekarang masih belum terpecahkan.
(5) Jika diperoleh jawaban berdasarkan pemikiran yang dibenarkan oleh bukti-
bukti yang faktual, maka kesempatan itu dapat dijadikan pegangan bagi
perbuatan atau tindakan kita. Maka kita bertindak secara rasional.
Kalau kita menjalankan integrated curriculum, jelaslah bahwa yang
diutamakan ialah berpikir sendiri atas fakta-fakta yang dicari sendiri dan bukan
menghafal fakta-fakta belaka.
Unit dan ciri-cirinya.
Sekolah-sekolah yang " progresif " berangsur-angsur meninggalkan kurikulum
yang subject-centered, karena dianggap tidak menghasilkan pribadi yang
harmonis. Karena itu pelajaran disusun sebagai keseluruhan yang luas yang
disebut "broad unit". Unit ini mengandung suatu soal atau masalah yang dipelajari
anak selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
Ciri-ciri unit:
1. Unit merupakan suatu keseluruhan yang bulat.
Menurut definisinya unit itu merupakan suatu keseluruhan bahan pelajaran.
Faktor yang menyatukan ialah masalah atau problema yang terkandung dalam

pokok yang akan diselidiki oleh murid-murid. Guru harus menjaga agar pelajaran
tidak menyimpang dari pokok itu. Segala sesuatu yang dilakukan oleh murid-
murid harus senantiasa bertalian erat dengan pokok tersebut dan merupakan
sumbangan guna mencapai tujuan unit itu.
2. Unit menerobos batas-batas mata pelajaran.
Unit tidak terbatas pada suatu atau beberapa mata pelajaran, melainkan
menggunakan segala macam bahan untuk memecahkan soal-soal yang terkandung
dalam unit itu. Batas-batas antara mata pelajaran sebenarnya diadakan oleh
sarjana-sarjana dalam usaha mereka untuk menyusun ilmu pengetahuan. Dalam
kehidupan sehari-hari tak terdapat batas-batas itu. Oleh karena itu dalam suatu
unit murid-murid menggunakan berhitung, sejarah, geografi, ilmu alam, musik,
menggambar, bahasa, dan sebagainya, pendek kata apa saja asal memberikan
bahan dan keterangan untuk memahami pokok yang dipelajari itu. Jadi masalah
itu dipecahkan secara interdisipliner. Bahan-bahan dicari dari pelbagai sumber
seperti:
a. dari lingkungan sekitar: toko, arca, kebun binatang, kantor pos, taman-taman,
lapangan terbang, sawah, stasion, dan sebagainya.
b. dari orang-orang yang dapat memberikan keterangan: tukang kayu, tukang
becak, kepala kantor, saudagar, dan sebagainya.
c. dari alat-alat peraga: globe, peta, daftar-daftar, gambar, jika mungkin film,
radio, dan sebagainya.
d. dari bacaan: buku, majalah, surat kabar, ensiklopedi, dan sebagainya.
3. Unit didasarkan atas kebutuhan anak.
Kebutuhan itu bersifat pribadi dan social. Ada kebutuhan anak yang timbul
berkenaan dengan pertumbuhan jasmaniah dan perkembangan rohaniah. Di
samping itu ada pula kebutuhan yang ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaan
tempat ia hidup. Dalam merancang unit, guru harus mengenal keadaan sosial-
ekonomi anak-anak. Ia hendaknya menganalisis kebutuhan mereka sebagai per-
orangan dan sebagai kelompok. Dengan demikian guru lebih mengetahui dalam
hal manakah mereka perlu dibantu agar lebih sanggup menghadapi masalah-
masalah dalam kehidupan sehari-hari. Bila murid melihat faedah dan tujuan

pekerjaan dan pelajaran, maka minat akan bertambah dan pelajaran akan lebih
besar hasilnya.
4. Unit didasarkan pada pendapat-pendapat modern mengenai cara belajar.
Belajar menurut cara unit sesuai dengan teori-teori yang pada saatnya
modern tentang belajar, yakni berdasarkan minat dan kebutuhan anak. Masalah-
masalah yang terkandung dalam unit itu mempunyai arti baginya dan karena itu
mereka dirangsang untuk menelaah dan memecahkan soal itu. Bila murid-murid
yakin akan kebaikan, faedah, dan tujuan pelajaran bagi dirinya, maka tidaklah
perlu dipakai paksaan dan desakan dari luar berupakan hukuman, pujian, angka-
angka atau ancaman.
Apa yang dipelajari dalam unit merupakan keseluruhan, yang saling
bertalian erat dan karena itu lebih dipahami.
Unit senantiasa dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman anak. Anak-
anak diberi kesempatan sebanyak-banyaknya untuk menghayati, mengadakan
penyelidikan dan percobaan, mengumpulkan bahan dari berbagai-bagai sumber,
merumuskan dan menganalisis problema-problems, mencari sendiri jawaban atas
masalah-masalah lalu mengambil kesimpulan yang dijadikannya dasar
perbuatannya. Dengan sendirinya verbalisme dicegah.
Mengenai kebutuhan, minat, kematangan, dan kesanggupan anak prinsip
individualistis lebih mudah dilaksanakan dalam pengajaran unit.
5. Unit memerlukan waktu yang panjang.
Dalam organisasi kurikulum yang tradisional anak-anak menerima
bermacam-macam pelajaran yang tak berhubungan satu dengan yang lain masing-
masing pada jam-jam tertentu. Untuk suatu unit diperlukan beberapa jam sehari,
kalau perlu malahan sepanjang hari. Kegiatan-kegiatan dalam unit banyak
memerlukan waktu seperti untuk berkaryawisata, mengumpulkan bahan dari
berbagai-bagai sumber, mengadakan percobaan-percobaan, membuat gambar atau
konstruksi, bekerja sama dalam kelompok, dan sebagainya.

Waktu yang cukup banyak diperlukan benar, bila kita ingin memperdalam
pengertian dalam suatu hal. Pendirian ialah, bahwa lebih baik diberikan waktu
secukupnya untuk mempelajari suatu hal secara mendalam dari pada mempelajari
bermacam-macam hal secara mendangkal yang segera dilupakan pula. Itu
sebabnya maka suatu unit memakan waktu beberapa minggu, dan bila perlu
beberapa bulan.
6. Unit itu life-centered.
Dalam unit digunakan setiap kesempatan untuk menghubungkan pelajaran
di sekolah dengan kehidupan sehari-hari, dengan pengalaman-pengalaman anak.
Tentu saja masalah-masalah itu disesuaikan dengan kematangan anak dan
kesanggupannya untuk memahaminya.
Masyarakat dijadikan laboratorium tempat anak mengadakan penyelidikan
dan mengumpulkan bahan-bahan yang tak dapat diperoleh dari buku-buku
pelajaran.
7. Unit menggunakan dorongan-dorongan yang sewajarnya pada anak-anak.
Dalam unit anak-anak diberi kesempatan untuk berbuat, membentuk,
bergerak, menyatakan perasaan dan pikirannya dengan bebas dengan perantaraan
bahasa, musik, lukisan, bekerja dalam kelompok, menyelidiki hal-hal yang sesuai
dengan dorongan yang wajar, sehingga mereka belajar dengan gembira dan penuh
minat. Kelas yang diselenggarakan secara ini, berlainan sekali suasananya dengan
kelas yang pasif, di mana anak-anak duduk diam sambil mendengarkan saja, tanpa
kegairahan.
8. Dalam unit anak-anak dihadapkan kepada situasi-situasi yang mengandung
problema.
Dalam unit anak-anak harus memecahkan masalah-masalah dengan
menggunakan metode ilmiah seperti telah diuraikan di atas, yakni merumuskan
masalah, menganalisisnya, mencari hipotesis-hipotesis kemudian mengumpulkan
keterangan dari buku-buku, pengamatan sendiri atau dari percobaan-percobaan,
mengujui hipotesis-hipotesis dengan menggunakan bahan-bahan yang
diperolehnya, mengambil kesimpulan dan akhirnya bertindak atau berbuat atas

hasil yang diperolehnya. Salah satu tugas sekolah yang penting sekali bukanlah
menyampaikan sejumlah pengetahuan yang harus dihafalnya, melainkan
membantu anak-anak untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya
secara ilmiah. Problem solving menurut scientific method merupakan suatu unsur
yang utama dalam pengajaran unit.
9. Unit dengan sengaja memajukan perkembangan sosial pada anak-anak.
Dalam unit anak-anak mendapat banyak kesempatan untuk bekerjasama
dalam kelompok, misalnya dalam diskusi, membuat rencana, mengumpulkan
bahan, berdramatisasi, dan sebagainya. Mereka belajar menerima dan memberi
kecaman dalam suasan hormat-menghormati, memikul tanggung jawab, dan
harga-menghargai sumbangan masing-masing. Dalam kelompok anak itu merasa
dirinya sebagai anggota yang dihargai dan disukai.
10. Unit direncanakan bersama oleh guru dengan murid.
Guru-guru yang terlalu progresid berpendapat, bahwa di sekolah modern
seharusnya anak-anaklah yang menentukan apa yang harus dipelajari. Bukankah
mereka lebih tahu apa yang menarik minat mereka dan apa yang mereka
butuhkan? Akan tetapi kita jangan lupa, bahwa anak-anak sendiri kerap kali tidak
tahu apa yang sebenarnya perlu bagi mereka. Mereka harus mendapat bimbingan
dari guru yang lebih berpengalaman daripada mereka.
Guru yang tradisional berpendapat, bahwa guru sendirilah yang harus
menetapkan segala sesuatu yang akan diajarkan dalam unit
itu. Guru merencanakan dan menyodorkan rencana itu kepada murid-muridnya.
Murid hanya menerima apa yang telah ditentukan oleh guru.
Dalam pengajaran unit biasanya terdapat kerja sama antara guru dengan
murid dalam menentukan pokok untuk unit itu. Mereka berunding untuk
menentukan rencana pekerjaan berhubung dengan unit itu. Tentu saja pokok
untuk itu senantiasa harus sesuai dengan tujuan pendidikan. Sering pula orang tua
diminta bantuannya dalam menentukan pokok-pokok yang dipandang penting
bagi anak-anak dan bantuan mereka diharapkan pula dalam melaksanakan unit itu.

KEBERATAN TERHADAP INTEGRATED CURRICULUM
1. Guru-guru tidak dididik untuk menjalankan kurikulum seperti ini.
Kurikulum sekolah guru dewasa ini kebanyakan didasarkan atas mata
pelajaraan yang terpisah-pisah, jadi bercorak separate subject atau berdasarkan
broad field (IPS, IPA, Matematika, Bahasa Indonesia), sesuai dengan kurikulum
yang terdapat pada SD dan SM. Memasukkan kurikulum yang baru akan
menimbulkan kesukaran bagi murid-murid dan guru.
2. Kurikulum ini dianggap tidak mempunyai organisasi yang logissistematis.
Karena bahan pelajaran tidak ditetapkan lebih dahulu, akan tetapi
direncanakan dengan mengadakan rundingan dengan murid-murid, maka tidak
akan terdapat di dalamnya susunan yang logis sistematis. Malahan besar
bahayanya anak-anak mendapat bahan yang sama pada kelas lain.
3. Kurikulum ini memberatkan tugas guru.
Bahan pelajaran mungkin sekali tiap tahun berlainan dengan tahun yang
sudah-sudah, baik mengenai pokok-pokok yang dibicarakan, maupun mengenai
isinya. Tiap tahun guru itu boleh dikatakan menghadapi bahan yang barn, dan
karena itu memerlukan lebih banyak inisiatif dan usaha dari guru. Hal ini
merupakan suatu keberatan bagi guru yang lebih suka bekerja menurut rutin
dengan mengikuti buku pelajaran tertentu untuk tiap matapelajaran.
4. Kurikulum ini tidak memungkinkan ujian umum.
Oleh sebab bahan pelajaran boleh dikatakan berlainan setiap tahun, dan
tentu pula berbeda sekali di berbagai sekolah, maka pengetahuan anak-anak pada
waktu tamat tidak sama pula. Kurikulum ini tidak mengharapkan pengetahuan
yang sama untuk semua murid, malahan sedapat mungkin menyesuaikan pelajaran
dengan bakat dan kesanggupan tiap anak dengan keadaan lingkungan anak itu.
Karena itu kurikulum ini tidak menginginkan ujian yang uniform di seluruh
negara atau daerah.
Perbedaan bahan pelajaran di berbagai sekolah di berbagai tempat dianggap
pula suatu keberatan bagi anak-anak yang pindah ke sekolah lain.

5. Anak-anak dianggap tidak sanggup menentukan kurikulum.
Dalam organisasi kurikulum ini anak-anak turut serta diajak berunding
untuk menentukan hal-hal yang akan dipelajari. Orang beranggapan, bahwa
murid-murid terlampau muda dan karena itu tak sanggup dan tak cukup
berpengalaman untuk menentukan apa yang perlu bagi pendidikan mereka. Oleh
sebab itu pihak atasan, orang dewasalah yang selayaknya menetapkan sepenuhnya
apa yang harus diajarkan.
6. Alat-alat sangat kurang untuk menjalankan kurikulum
Untuk melaksanakan kurikulum ini diperlukan ruangan-ruangan dan alat-
alat yang khusus. Setidak-tidaknya harus ada perpustakaan yang agak lengkap
sebagai suatu sumber yang penting guna mengadakan penyelidikan-penyelidikan
oleh anak-anak. Gedung-gedung sekolah kita sekarang masih terikat pada filsafat
pendidikan yang tradisional. Lagi pula tiap kelas penuh sesak dengan murid-
murid, sehingga kurikulum modern tak dapat dijalankan dengan efektif.
JAWABAN INTEGRATED CURRICULUM ATAS KEBERATAN-
KEBERATAN YANG DIAJUKAN
Semua keberatan yang di atas ada mengandung kebenaran. Menjalankan
sesuatu yang baru tidak mudah, apalagi kalau yang lama itu didukung oleh tradisi
yang berabad-abad. Mengenai keberatan-keberatan itu kami ingin mengajukan
beberapa catatan.
ad. I. Semua pembaruan harus mulai pada diri guru, pada diri sang pendidik.
Syarat pertama bagi pembaruan ialah, bahwa guru itu harus mengubah
dirinya, dan ini harus dimulai pada pendidikan guru. Itu sebabnya maka
pendidikan guru merupakan faktor yang penting dalam pembaruan
pendidikan, oleh sebab guru itu cenderung mengajar seperti ia sendiri
dahulu diajar.
ad.2. Memang dalam kurikulum ini bahan pelajaran tidak tersusun secara logis-
sistematis seperti yang lazim terdapat dalam suatu buku pelajaran.
Kurikulum ini tidak berpegang pada satu buku, akan tetapi menggunakan
segala macam sumber. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa organisasi

sama sekali tidak ada. Biasanya sekolah telah mempunyai suatu kerangka
yang berisi bidang-bidang yang kirangnya dapat dijadikan pokok pelajaran.
Dalam kerangka itu banyak kebebasan bergerak bagi guru dan murid untuk
memilih pokok-pokok yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Jadi
kurikulum ini lebih fleksibel. Untuk mencegah berulangnya suatu pokok,
guru harus mencatat apa-apa yang telah dibicarakan untuk diketahui oleh
guru- guru lain.
ad.3. Guru yang dinamis, yang ingin terus berkembang dan turut mengikuti aliran
zaman, yang ingin menyesuaikan pelajaran dengan keadaan masyarakat
anak, justru akan berikhtiar, agar ia jangan dikuasai oleh pekerjaan rutin
yang membosankan.
ad.4. Banyak orang di kalangan pendidikan yang mengakui, bahwa ujian itu
merupakan suatu "penyakit" yang sering menghalang-halangi pembaharuan
dalam pendidikan. Untuk memenuhi tuntutan ujian, maka anak-anak dilatih
menghafal sejumlah pengetahuan yang diharapkan akan "keluar" dalam
ujian. Ujian yang uniform ini seakan-akan tidak memungkinkan guru
menyesuaikan pelajaran dengan kebutuhan individu serta keadaan
masyarakat setempat. Ujian yang uniform ini memang merupakan suatu
halangan ke arah pembaruan. Akan tetapi janganlah ujian itu dipakai
sebagai alasan untuk membenarkan din tidak menjalankan inisiatif ke arah
perbaikan pendidikan. Ada tidaknya ujian, bagi guru yang dinamis tetap ada
kesempatan untuk mengadakan pembaruan.
ad.5. Penentuan bahan pelajaran tidak semata-mata diserahkan kepada kehendak
murid-murid. Dalam kurikulum yang "child- centered", yaitu yang berpusat
pada anak, anak-anaklah yang menentukannya, akan tetapi praktik serupa
ini sudah ditinggalkan. Dalam menentukan bahan pelajaran peranan guru
tetap penting. Dialah yang tahu tujuan pendidikan dan nilai suatu pelajaran
untuk mencapai tujuan itu. Dalam rangka tujuan pendidikan itu, anak-anak
diturut-sertakan memilih dan merencanakan, dengan maksud agar anak-anak
menerima dan memahami makna serta tujuan pokok itu.

ad.6. Tanpa alat-alat tak dapat dijalankan kurikulum apa pun dengan efektif. Kita
tahu manfaat alat-alat pelajaran modem seperti film, tape recorder, radio,
televisi, dan sebagainya. Alatalat itu belum dimiliki oleh sekolah-sekolah
kita. Gedung sekolah kita belum memenuhi syarat-syarat pendidikan
modem
Akan tetapi kekurangan-kekurangan itu tak perlu menghalangi pembaruan.
Banyak alat pelajaran yang dapat dibuat sendiri tanpa menelan biaya yang banyak
antara lain garnbar-gambar dun rnajalah, alat-alat pengukur dan botol, peta timbul.
Lingkungan merupakan sumber pelajaran yang tak ternilai harganya.
Perpustakaan dapat dibentuk lambat laun. Kalau kurikulum ini dijalankan, dengan
sendirinya akan tampil pengarang-pengarang buku yang sesuai dengan keperluan
pengajaran unit, sehingga perpustakaan anak-anak bertambah lengkap.
MANFAAT KURIKULUM UNIT
1. Segala sesuatu yang dipelajari dalam unit bertalian erat. Anak-anak tidak lagi
mempelajari fakta-fakta lepas yang segera dilupakan, karena tidak digunakan
secara fungsional untuk memecahkan masalah-masalah yang mengandung arti
bagi murid. Untuk memecahkan suatu pokok digunakan bahan dan semua
mata pelajaran. Sebenarnya tidak mungkin diajarkan sejarah dengan baik
tanpa ilmu bumi. Dalam ilmu bumi sering diperlukan ilmu alam, ilmu hayat,
dan mata pelajaran lain. Mengadakan batas-batas yang tegas antara berbagai
mata pelajaran sering merugikan pembentukan pengertian yang luas serta
mendalam.
2. Kurikulum ini sesuai dengan pendapat-pendapat modern tentang belajar.
Murid-murid dihadapkan kepada masalah, yang benarbenar berarti bagi
kehidupan mereka, jadi bertalian erat dengan pengalaman mereka. Mereka
memecahkannya dengan pikiran dan penyelidikan sendiri, jadi anak-anak aktif
dengan bermacammacam cara dan tidak pasif menerima apa yang disajikan
oleh guru untuk dihafal.
3. Kurikulum ini memungkinkan hubungan yang erat antara sekolah dengan
masyarakat. Masyarakat dijadikan laboratorium tempat anak-anak

mengumpulkan bahan untuk menyelidiki suatu problema. Masyarakat dapat
diturut sertakan dalam usaha-usaha sekolah.
4. Kurikulum ini sesuai dengan paham demokrasi. Murid-murid dirangsang
untuk berpikir sendiri, bekerja sendiri, memikul tanggung jawab, bekerja sama
dalam kelompok. Mereka diajak turut serta berunding dan merancangkan
pelajaran. Mereka tidak hanya menerima saja apa yang dikatakan guru atau
yang tercantum dalam buku, melainkan dengan kritis membandingkan
keterangan-keterangan dari berbagai sumber.
5. Kurikulum ini mudah disesuaikan dengan minat, kesanggupan dan
kematangan murid, sebagai kelompok maupun sebagai individu.
Menentukan pokok untuk unit.
Dalam menentukan, pokok manakah yang hendaknya dipilih untuk suatu
unit senantiasa harus dipikirkan, bahwa kita harus bekerja dalam rangka tujuan
sekolah. Di samping itu kita harus memperhatikan kebutuhan anak dalam
lingkungan itu. Pokok-pokok untuk unit mungkin sekali berlainan di berbagai
sekolah. Malahan di suatu sekolah pun mungkin pokok untuk unit berbeda dan
tahun ke tahun.
Untuk menentukan, pokok-pokok manakah yang sebaiknya dijadikan unit
yang akan dipelajari anak-anak, kita dapat memajukan pertanyaan-pertanyaan
yang berikut:
1. Apakah pokok itu dibangkitkan oleh minat, kebutuhan dan, pengalaman
murid-murid dalam kelas itu? Bila ternyata tidak atau kurang ada minat yang
khusus untuk pokok itu, sedangkan guru merasa pentingnya pokok itu bagi
perkembangan murid-murid, ia dapat berikhtiar untuk membangkitkan minat
itu.
2. Apakah bahan pelajaran itu sesuai dengan taraf kematangan murid?
a. Inikah saat yang sebaik-baiknya bagi murid-murid untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya dari pokok yang akan dipelajari itu,
ataukah lebih baik pelajaran itu diundurkan saja dulu?

b. Apakah bahan pelajaran itu tidak melampaui batas kesanggupan anak dan
lagi pula cukup merangsang mereka untuk mempelajarinya dengan
segenap tenaga?
c. Apakah pokok lain pada saat ini barangkali lebih berfaedah dan
mengandung arti bagi murid-murid, namun tidak kurang nilainya bagi
perkembangan anak?
d. Telah adakah pengalaman-pengalaman pada murid yang dapat digunakan
sebagai landasan bagi pelajaran baru ini?
3. Cukupkah kesempatan dalam pelajaran ini untuk merangsang murid-murid
berpikir dan berbuat sebanyak mungkin?
a. Apakah bahan pelajaran itu akan menimbulkan situasi-situasi di mana
murid-murid harus merencanakan, berdiskusi, merumuskan masalah,
menganalisnya, mengumpulkan bahan dari berbagai sumber, bekerja sama
berpikir untuk memecahkan problema?
b. Apakah bahan pelajaran itu mengandung masalah-masalah sosial yang
penting artinya bagi kehidupan anak-anak sehari-hari?
c. Apakah bahan pelajaran itu menjamin bertambah luasnya pengetahuan
murid-murid yang berguna untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hidup yang
kian hari kian meningkat?
d. Apakah bahan pelajaran itu herisi buah pikiran dan soal-soal yang dapat
menimbulkan diskusi yang akan memperluas alam pikiran dan pandangan
anak?
e. Apakah bahan pelajaran itu cukup memberi kesempatan untuk
mengeluarkan dan menyatakan perasaan dalam berbagai-hagai bentuk?
4. Dapatkah disediakan hal-hal yang berikut untuk melaksanakan unit itu:
a. buku-buku, majalah, gambar, dan alat-alat pelajaran
b. kesempatan berkaryawisata
c. pengalaman-pengalamaan langsung berhubung dengan unit
d. bahan-bahan untuk bermacam-macam bentuk ekspresi.
Dua pendapat.
Pokok-pokok apakah yang harus dipilih untuk dipelajari anak-anak dalam
bentuk unit? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang utama. Yang pertama ialah

berdasarkan kurikulum itu pada "social functions", yakni lapangan-lapangan
hidup sebagai pusat perhuatan-perbuatan manusia. Stratemeyer menyebutnya
"persistent life situations", yakni situasi-situasi atau masalah-masalah hidup yang
terus menerus dihadapi manusia, jadi yang bersifat universal bagi semua
kebudayaan di dunia ini pada yang lampau maupun masa sekarang maupun masa
mendatang.
Pendapat kedua ialah mengambil pokok-pokok unit dari kebutuhan anak-
anak, dari problema-problema yang dihadapi anakanak dalam hidupnya.
A. UNIT BERDASARKAN "SOCIAL FUNCTIONS"
Dasar pikiran di sini ialah, bahwa pelajaran harus berdasarkan aktivitas
dalam masyarakat dan kebudayaannya. Tujuan pendidikan yang utama ialah
membantu anak-anak memperoleh kehidupan yang baik dalam lingkungan
sosialnya. Karena kurikulum harus memberikan pelajaran, yang mempunyai arti
dan nilai kehidupannya sehari-hari sehingga ia kelak dapat menyesuaikan diri
dengan efektif sebagai orang dewasa.
Untuk mengetahui, social functions apakah yang terdapat dalam hidup
manusia, banyak digunakan sosiologi dan antropologi kebudayaan.
Baik kelompok yang primitif maupun yang modern dianalisis untuk
menyelidiki social functions apakah kiranya yang terdapat dalam kehidupan
manusia.
Sebenarnya jalan pikiran itu bukan sesuatu yang baru. Herbert Spencer pada
tahun 1859 telah mengemukakannya sebagai tujuan pendidikan, yakni aktivitas-
aktivitas yang berkenaan dengan:
1. Self-preservation.
2. Securing necessaries of life.
3. Rearing and disciplining of offspring.
4. Maintenance of proper social and political relations.
5. Miscellaneous activities which make up the leasure part of life, devoted to the
gratification of the tastes and feelings.

Orang yang pertama-tama menjadikan social functions sebagai dasar
kurikulum ialah H.L. Caswell. la mengemukakan social functions yang berikut:
1. Protection and conservation of life, property, and natural resources.
2. Productions of goods and services and distribution of the returns of
production.
3. Comsumption of goods and services.
4. Communication and transportation of goods and people.
5. Recreation.
6. Expression of aesthetic impulses.
7. Expression of religious impulses.
8. Education.
9. Extension of freedom.
10. Integration of the individual.
11. Exploration.
Salah satu usaha lain untuk menggolongkan lapangan-lapangan hidup ini
ialah Stratemeyer, Forkner dan Mc. Kim.
Mereka menyebutnya "persistent life situations". Dalam garis besarnya
mereka memperoleh lapangan-lapangan sebagai berikut:
I. Situations calling for growth in individual capacities.
a. Health.
1. Satisfying physiological needs.
2. Satisfying emotional and social needs.
3. Avoiding and caring for illness and injury.
b. Intellectual power.
1. Making ideas clear.
2. Understanding the ideas others.
3. Dealing with quantitive relationships.
4. Using effective methods of work.
c. Responsibility for moral choices
1. Determining the nature and extent of individual freedom.
2. Determining responsibility to self and others.

d. Aesthetic expression and appreciation.
1. Finding sources of aesthetic satisfactions in oneself.
2. Achieving aesthetic satisfactions through the environment.
II. Situations calling for growth in social participation.
a. Person to person relationships.
1. Establishing effective social relations with others.
2. Establishing effective working relations with others,
b. Group membership.
1. Deciding when to join a group.
2. Participating as a group member.
3. Taking leadership responsibilities.
c. Intergroup relationships.
1. Working with racial and religious groups.
2. Working with socio-economic groups.
3. Dealing with groups organized for specific action
III. Situations calling for growth in ability to deal with environmentaal
factors and forces.
a. Natural phenomena.
1. Dealing with physical phenomena.
2. Dealing with plant, animal, and insect life.
3. Using physical and chemical forces.
b. Technological resources.
1. Using technological resources.
2. Contributing to technological advance.
c. Economic-social-political structures and forces.
1. Earning a living.
2. Securing goods and services.
3. Providing for social welfare.
4. Molding public opinion.
5. Participating in local and national government.*)
Keuntungan kurikulum berdasarkan lapangan hidup.

1. Dalam kurikulum ini terdapat hubungan erat antara pelajaran dengan
kehidupan sehari-hari. Kurikulum ini dengan sengaja berusaha mengatasi
jurang antara pelajaran sekolah dengan apa yang diperlukan dalam kehidupan.
Dalam subject curriculum anak-anak sukar melihat hubungan itu.
2. Kurikulum berdasarkan social functions atau lapangan hidup memberikan
kepada anak hal-hal yang diperlukannya untuk menghadapi situasi-situasi
hidupnya sebagai warga negara. Kurikulum ini lebih bermanfaat dan
mengandung arti bagi murid-murid. Sebenarnya ini telah tersimpul dalam
nomor 1, akan tetapi perlu juga disebut. Tujuan kurikulum ini lebih mudah
dipahami oleh murid-murid, karena untuk melaksanakannya mereka
menggunakan pengalaman-pengalaman langsung. Mereka banyak
mengumpulkan keterangan-keterangan dari masyarakat serta lingkungan
sendiri dengan mengadakan karyawisata dan penyelidikan-penyelidikan lain.
Dengan demikian mereka lebih mudah melihat manfaat dan makna pelajaran
itu bagi dirinya.
3. Kurikulum ini sesuai dengan tugas sekolah, yakni mempersiapkan murid
untuk kehidupan dalam masyarakat. Dengan mempelajari lapangan-lapangan
hidup diharapkan anak-anak juga lebih sanggup menyesuaikan diri dengan
situasi-situasi hidup.
4. Kurikulum ini menyajikan bahan pelajaran yang bulat. Pelajaran di sekolah
yang diberikan herpusatkan unit ini bertalian erat, tidak lepas-lepas seperti
halnya dalam separate-subject curriculum.
Keberatan-keberatan terhadap kurikulum ini.
1. Kurikulum ini membagi kehidupan dalam bagian-bagian. Kehidupan
sebenarnya merupakan suatu keseluruhan dan tidak merupakan sepuluh atau
sebelas lapangan kehidupan. Batas-batas itu tidak ada dalam kehidupan. Ada
bahayanya, lapangan-lapangan hidup menjadi matapelajaran-matapelajaran
tersendiri sehingga menjadi semacam subject curriculum yang justru hendak
diberantas oleh kurikulum ini.
2. Kurikulum ini sulit dijalankan. Guru-guru tidak mendapat latihan untuk
menjalankan kurikulum serupa ini. Juga buku-buku dan alat-alat pelajaran lain
menimbulkan kesukaran-kesukaran.

3. Kurikulum ini tidak memberikan pengetahuan, yang tersusun logis sistematis.
Kurikulum ini terutama memberikan bahan yang sesuai dengan keadaan
masyarakat pada masa sekarang dan kurang menyampaikan pengetahuan yang
sistematis seperti yang diperoleh dengan mempelajari subjects atau mata
pelajaran.
B. UNIT BERDASARKAN KEBUTUHAN MURID
Dasar pikiran kurikulum ini ialah memberikan pelajaran kepada anak-anak
yang timbul dari kebutuhan anak-anak. Sesuatu dipelajari sebaik-baiknya kalau
hal itu memuaskan kebutuhan kita. Tujuannya ialah agar anak-anak belajar
memecahkan masalah-masalah yang bertalian dengan kebutuhannya dalam
kehidupannya sehari-hari. Bedanya dengan kurikulum berdasarkan social
functions ialah, bahwa dalam social functions diutamakan pendidikan anak-anak
untuk menghadapi situasi-situasi hidup dengan efektif sebagai warga negara yang
dewasa, sedangkan kurikulum yang berpusat pada kebutuhan murid
mementingkan masalah-masalah yang dihadapi anak pada saat ini. Tentu saja
sukar diadakan batas yang tegas. Apa yang penting bagi waktu sekarang mungkin
sekali berharga juga untuk masa depan. Kebutuhan anak pada setiap saat tidak
lepas dari social functions atau lapangan-lapangan hidup, yakni selalu terdapat di
dalam lapangan-lapangan hidup itu. Lagi pula boleh dikatakan tidak ada lagi
sekolah yang semata-mata mendasarkan kurikulum pada kebutuhan anak tanpa
memperhatikan manfaatnya bagi kehidupan anak di dalam masyarakat.
Kebutuhan-kebutuhan anak dapat dibagi sebagai berikut:
1. Kehidupan pribadi.
a. Kebutuhan akan kesehatan pribadi.
b. Kebutuhan akan harga-diri.
c. Kebutuhan akan pandangan dunia dan filsafat hidup.
d. Kebutuhan akan pelbagai minat pribadi.
e. Kebutuhan akan kepuasan estetis.
2. Hubungan sosial yang dekat.
a. Kebutuhan akan hubungan yang lebih matang dengan anggota rumah
tangga dan dengan orang dewasa di luar keluarga.

b. Kebutuhan akan hubungan baik yang lebih matang dengan teman jenis
kelamin yang sama dan yang berlainan.
3. Hubungan sosial-kewarganegaraan.
a. Kebutuhan untuk turut serta bertanggung jawab dalam aktivitas-aktivitas
yang penting.
b. Kebutuhan untuk mendapat penghargaan sosial.
4. Hubungan ekonomi.
a. Kebutuhan untuk merasa kemajuan ke arah status orang dewasa.
b. Kebutuhan untuk mendapat bimbingan dalam memilih jabatan dan
mendapat persiapan untuk suatu pekerjaan.
c. Kebutuhan untuk memilih dan menggunakan barang-barang dan jasa-jasa
dengan bijaksana.
d. Kebutuhan untuk dapat bertindak efektif guna memecahkan masalah-
masalah ekonomi.*)
Apakah kebaikan kurikulum ini?
Kurikulum ini mengandung kebaikan-kebaikan seperti terdapat pada
pengajaran unit umumnya.
Walaupun demikian baik kami sebut beberapa buah:
1. Kurikulum ini menjamin integrasi bahan pelajaran, jadi tidak terdiri atas mata
pelajaran yang lepas-lepas, yang tidak saling berhubungan.
2. Kurikulum ini menyajikan bahan pelajaran yang bertalian erat dengan
pengalaman anak dalam hidupnya. Apa yang dipelajari dapat digunakan
secara fungsional dalam menghadapi situasi dan masalah-masalah hidup anak
itu.
3. Kurikulum ini dapat dipertanggungjawabkan secara psikologis. Karena
program sekolah sesuai dengan minat dan kebutuhan anak mereka didorong
oleh motivasi intrinsik untuk mempelajarinya. Anak-anak tahu akan tujuan,
makna dan manfaat pelajaran itu, karena itu ia rela mengeluarkan segenap
tenaga kepada pelajaran ini.
4. Kurikulum ini membentuk pribadi anak. Yang diutamakan bukan hanya
pembentukan intelektual, melainkan seluruh pribadi anak. Selain pengetahuan,
kurikulum ini juga memupuk sikap, norma, penghargaan, dan sebagainya.

5. Kurikulum ini tertuju kepada perkembangan anak. Yang diutamakan ialah
justru hal-hal yang membantu perkembangan anak. Titik berat diletakkan pada
anak dan bukan pada bahan pelajaran. Dalam kurikulum ini diberi perhatian
sepenuhnya kepada perkembangan anak sebagai keseluruhan, yakni
jasmaniah, emosional, sosial, dan juga intelektual.
6. Kurikulum ini berdasarkan pendirian "mental hygiene" atau kesejahteraan
rohani, karena membantu anak-anak mengatasi problema-problema yang
dihadapinya dalam kehidupan. Dalam kurikulum tidak dipaksakan anak-anak
mempelajari yang tidak dipahaminya maknanya, sehingga dapat dicegah
frustrasi dan kegagalan.
KEBERATAN-KEBERATAN TERHADAP KURIKULUM INI
1. Kurikulum ini tidak memberikan pengetahuan yang logis sistematis seperti
yang diperoleh murid-murid dengan mempelajari berbagai mata pelajaran
yang terpisah-pisah.
2. Dengan kurikulum ini tak dapat ditentukan lebih dahulu bahan pelajaran untuk
tiap kelas karena kebutuhan dan problema anak tak sama dan tahun ke tahun.
Dalam kurikulum ini diperlukan administrasi yang teliti yang mencatat apa-
apa yang telah dipelajari oleh anak-anak. Kesukaran juga dialami anak-anak
yang pindah sekolah.
3. Kurikulum ini sukar untuk dijalankan, karena guru-guru tidak dipersiapkan
untuk kurikulum serupa ini. Lagi pula masyarakat pun rasanya tak akan
mudah menerima kurikulum ini.
4. Kurikulum ini kurang mementingkan masa lampau dan masa depan, karena
terutama membicarakan masalah-masalah yang dihadapi anak-anak pada masa
sekarang.
5. Kurikulum yang terlampau mengutamakan kebutuhan anak, mengabaikan
tugas sosialnya. Sekolah-sekolah yang child-centered yang terlampau
progresif sangat mengutamakan anak itu sendiri, dengan melupakan, bahwa

anak-anak harus juga mengenal masyarakat dan harus hidup dalam hubungan
sosial dalam masyarakat itu.
6. Sukar untuk menentukan, apakah sebenarnya kebutuhan anak-anak. Anak-
anak sering tidak mengetahui apa yang perlu bagi mereka dalam hidupnya.
Sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang anak belum tentu merupakan
kebutuhan bagi seluruh kelas. Guru dapat menentukan kebutuhan itu dengan
mempelajari buku-buku tentang pertumbuhan dan kebutuhan anak, akan tetapi
belum tentu pilihan guru itu betul-betul dirasakan anak-anak sebagai
kebutuhannya.
LANGKAH-LANGKAH DALAM MELAKSANAKAN SUATU UNIT
Biasanya suatu unit dilakukan menurut fase-fase yang berikut:
a. Memilih suatu pokok.
Pokok untuk suatu unit mungkin timbul atas anjuran guru kepada murid-
murid untuk memilih salah satu dari beberapa pokok yang dianggap penting oleh
guru dan juga dipandang murid-murid sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi
mereka.
Pokok untuk unit dapat juga diperoleh dengan menyuruh anak-anak
menuliskan masalah-masalah yang mereka anggap sangat penting baginya.
Kemudian pokok-pokok itu disusun menurut kategori-kategori tertentu, sehingga
diperoleh beberapa pokok yang meliputi seluruh problema-problema yang
dikemukakaan oleh murid-murid. Kemudian diadakan kriteria-kriteria untuk unit
yang dipakai sebagai pegangan agar dapat dilakukan pilihan yang bijaksana. Di
sini pun anak-anak diberi kesempatan memilih pokok apakah yang paling
berharga bagi mereka dan pokok-pokok yang mereka usulkan. Diusahakan agar
semua anak akhirnya menerima baik hasil pilihan kelas itu.
Selanjutnya suatu pokok dapat juga diperoleh berhubung dengan suatu
peristiwa yang aktual dan penting.
b. Merencanakannya.
Dalam fase ini murid menganalisis pokok itu lebih lanjut, sehingga
diperoleh problema-problema yang lebih spesifik. Mereka menentukan tujuan-

tujuan dan faedah apakah yang dapat diberikan oleh unit itu. Setelah diperoleh
sejumlah topik, maka murid-murid dibagi atas kelompok-kelompok. Sedapat
mungkin setiap murid menerima suatu topik yang sesuai dengan kesanggupan dan
minatnya. Setiap kelompok menentukan ketua dan penulis.
c. Mengerjakan unit.
Setelah diketahui dengan jelas problema yang mereka hadapi dan tujuan-
tujuan apa yang dapat dicapai dengan unit itu, maka kelompok-kelompok mulai
mengumpulkan bahan dari perpustakaan, majalah, surat kabar. Kadang-kadang
perlu diadakan wawancara, penyelidikan atau percobaan-percohaan, bila
diperlukan untuk memecahkan masalah kelompok masing-masing.
d. Mengakhiri unit.
Unit itu diakhiri dengan berbagai cara, misalnya dengan memberi laporan
lisan, laporan tertulis, panel disscussion, sandiwara, pameran, dann lain-lain. Fase
ini juga disebut fase kulminasi, yakni puncak unit, dimana murid-murid
memperlihatkan hasil-hasil yang mereka capai selama mengerjakan unit.
e. Menilai unit.
Dalam fase ini diselidiki apakah unit itu benar-benar memberi manfaat
kepada setiap peserta, apakah mereka betul-betul belajar, yakni mengalami
perubahan kelakuan berkat unit itu. Apakah tujuan-tujuan semula betul-betul
tercapai dalam unit.
Tujuan-tujuan itu tidak hanya berupa pengetahuan yang bertambah, atau
mencapai meliputi juga segi-segi lain dari pada pribadi anak-anak.
Selanjutnya murid-murid mengemukakan kekurangan-kekurangan dan
kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan unit untuk dipertimbangkan dalam
melakukan unit yang lain pada hari kemudian.
f. Menuju unit-unit baru.
Dan unit ini mungkin sekali timbul problema-problema baru yang dapat
dijadikan pokok untuk unit-unit baru yang akan dikerjakan oleh anak-anak
selanjutnya.

HUBUNGAN ANTAR KETIGA JENIS KURIKULUM
Ketiga macam kurikulum itu tak usah dipandang bertentangan yang satu
dengan yang lain. Yang satu dapat membantu yang lain. Kita dapat memberikan
unit dan di samping itu matapelajaran-matapelajaran yang khusus yang
tradisional.
Untuk permulaan, tidak diharapkan seluruh kurikulum diberikan dalam
bentuk unit. Sebaiknya kita masih mengajarkan subjects dan disamping itu
memberikan dua atau tiga kali seminggu pelajaran dalam bentuk unit. Dalam pada
itu tentu sangat menguntungkan apabila untuk mata pelajaran biasa diambil bahan
yang berhubungan dengan unit itu. Pengajaran unit dapat dan perlu pula dibantu
oleh subjects. Apabila dalam unit itu timbul soal-soal yang bersifat matematis,
sudah sewajarnya mata pelajaran ilmu pasti digunakan untuk memecahkan
problema. Demikianlah setiap matapelajaran dapat memberikan sumbangannya
untuk menyelesaikan suatu unit. Dengan menerima pengajaran unit, tidak perlu
semua mata pelajaran dihapuskan. Hal ini malahan akan merugikan.
Sebaliknya mata pelajaran biasa juga mungkin sekali memperoleh manfaat
dari pengajaran unit, oleh sebab dalam unit itu murid-murid banyak mendapat hal-
hal yang bertalian dengan berbagai mata pelajaran dalam situasi yang bermakna.
Mereka lebih fasih berbicara, lebih lancar mengarang laporan, lebih sanggup
menggunakan pengetahuan dari geografi, sejarah, ilmu hayat secara fungsional,
lebih jelas menyadari arti ilmu pasti dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pengajaran
unit tidak merugikan, malahan sangat menguntungkan mata pelajaran biasa.
Apa yang dikatakan mengenai separate subjects juga berlaku bagi broad-
fields yakni paduan antara beberapa matapelajaran seperti IPS, IPA, Bahasa,
Matematika, dan Kesenian. Ketiga macam kurikulum dapat berjalan
berdampingan dan bantu-membantu.
Untuk memperlihatkan hubungan antara ketiga jenis kurikulum itu kami
berikan bagan berikut.
Dalam bagan ini dirangkumkan ketiga jenis organisasi kurikulum itu.
Gambar panah dalam bagan itu menunjukkan inter-relasi antara jenis-jenis

kurikulum itu. Pada unit kita lihat kebulatan bahan pelajaran tanpa batas-batas
antara macam-macam mata pelajaran. Broad fields kita lihat sebagai paduan
antara beberapa mata pelajaran. Pada bagan ini kita lihat pula bahwa subjects
maupun broad-fields dapat membantu pengajaran unit, tetapi sehaliknya
pengajaran unit juga menambah penguasaan anak mengenai subjects ataupun
broad-fields.
ACTIVITY CURRICULUM
"Activity curriculum" juga disebut "experience curriculum", atau proyek.
Bentuk kurikulum ini terkenal oleh Laboratory School yang didirikan oleh John
Dewey di University of Chicago, 1896, Meriam's Laboratory School di University
of Missouri, 1904 dan oleh Ellsworth Colling yang mengadakan percobaan
dengan "project curriculum" sebagai penerapan buah pikiran W.H. Kilpatrick
dengan brosurnya "The Project Method", 1918.
Di sekolah percobaan J. Dewey anak-anak tidak mempelajari mata pelajaran
yang konvensional. Kegiatan mereka berpusat pada pekerjaan memasak, menjahit
dan bertukang kayu. Melalui kegiatan ini mereka mengenal hubungan manusia
yang fundamental dengan dunia seperti kegiatan manusia memperoleh makanan,
perlindungan, dan pakaian serta norma-norma hidup. Mereka mengadakan ke-
giatan intelektual maupun manual. Dalam pada itu mereka belajar merencanakan
dan mengadakan percobaan. Pelajaran dasar seperti membaca, menulis, dan
berhitung timbul karena kebutuhan akibat kegiatan-kegiatan itu.

Di sekolah percobaan Meriam juga tidak diajarkan mata pelajaran yang
konvensional. Kegiatan dibagi dalam empat golongan yakni : observasi,
permainan, bercerita, dan pekerjaan tangan. Observasi misalnya meliputi
pengamatan kehidupan tanaman, binatang, manusia, bumi, langit, pabrik dan
berbagai pekerjaan. Permainan terdiri atas permainan dengan alam, listrik, mesin,
air, udara dan sebagainya. Bercerita antara lain meliputi membaca,
dramatisasi,bernyanyi, dan sebagainya. Pekerjaan tangan menggunakan bahan
kertas, tali, benang, tekstil, rafia, kayu, logam dan sebagainya. Meriam berusaha
agar sekolah merupakan bagian dan kehidupan masyarakat.
Activity curriculum baru mulai diterapkan secara lebih luas setelah buku
W.H Kilpatrick, " The Project Method", 1918. Ide itu telah mulai diterapkan oleh
E. Collings pada tahun 1917, jadi sebelum buku itu diterbitkan. Kegiatan-kegiatan
di sekolahnya banyak mirip dengan Meriam yakni (1) proyek mainan yang terdiri
atas kegiatan kelompok seperti permainan, tarian rakyat, dramatisasi, dan
kumpulan social, (2) proyek ekskursi atau karyawisata yang mempelajari
masalah-masalah yang berhubungan dengan lingkungan dan kehidupan manusia,
(3) proyek cerita yang bertujuan menikmati cerita dalam berbagai bentuk-lisan,
nyanyian, gambar, piringan hitam, atau piano (4) proyek tangan yang bertujuan
menyatakan buah pikiran dalam bentuk yang kongkrit seperti menyiapkan
minuman, menanam buah-buahan, dan sebagainya.
Activity curriculum tidak pernah mendapat popularitas seperti subjects
curriculum dan di sekolah menengah tidak pernah mendapat kedudukan yang
kokoh.
Dasar pikiran activity curriculum adalah sebagai berikut : Orang hanya
belajar berkat pengalaman. Belajar atau perubahan kelakuan hanya terjadi, bila
bertalian dengan suatu tujuan yang bermakna bagi individu, dengan kebutuhan
atau minatnya. Belajar hanya terjadi dalam proses interaksi yang aktif. Berpikir
hanya dapat dikembangakan dengan berpikir untuk memecahkan suatu masalah,
atau memecahkan suatu kesulitan. Kegiatan utama dalam activity curriculum ialah
kegiatan yang digunakan dalam metode problem-solving, yaitu masalah-masalah
yang ditentukan sendiri oleh anak-anak. Dalam memecahkan masalah itu

diperoleh pengetahuan dari berbagai disiplin dalam bentuk yang terintegrasi.
Kegiatan anak didorong oleh motivasi intristik. Karena kurikulum ini diutamakan
situasi yang riil serta minat yang spontan, maka tidak dapat diadakan perencanaan
terlebih dahulu. Rencana timbul dengan berkembangnya minat dan buah pikiran
anak. Jam pelajaran yang ketat tidak ada. Dalam bentuk yang ekstrem disiplin
diserahkan kepada kemampuan anak untuk mengatur diri sendiri dan campur
tangan orang dewasa hendaknya dihindarkan. Dalam activity curriculum juga
menonjol kegiatan lahiriah seperti menggambar, membangun, bersandiwara, dan
sebagainya.
Dalam perkembangan kurikulum ini selanjutnya pengalaman langsung dan
minat yang spontan lebih-lebih digunakan sebagai bantuan dalam proses belajar
dan bukan sebagai pokok untuk menyusun unit. Minat anak lebih banyak
ditentukan berdasarkan studi, pengalaman atau penelitian.
Yang dianggap menarik minat anak kelas rendah ialah kegiatan-kegiatan
yang berkenaan dengan:
- kehidupan dalam rumah tangga
- alam sekitar
- lingkungan masyarakat yang dekat
- makanan, produksi, dan distribusinya
- transpor dan komunikasi
- kehidupan orang dahulu kala
- kehidupan orang di negara lain
- kehidupan sosial
Kurikulum ini memerlukan guru yang mempunyai pendidikan umum yang
luas, yang mendapat latihan yang mendalam tentang perkembangan anak serta
bimbingan dan penyuluhan, dan menguasai metode pengajaran proyek. Juga
diperlukan gedung, lapangan bermain dan ruang kelas yang besar serta fleksibel
yang memungkinkan berbagai ragam kegiatan. Selanjutnya harus ada alat-alat dan
bahan yang diperlukan oleh anak sesuai dengan minatnya.
Sebagai kesimpulan kami cantumkan beberapa ciri activity curriculum:

1. Kurikulum ini ditentukan programnya oleh minat dan tujuan anak.
2. Sambil melakukan kegiatan-kegiatan untuk memecahkan suatu masalah anak-
anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan.
3. Kurikulum ini tidak direncanakan lebih dahulu. Rencana itu berkembang
sambil menjalankan kegiatan. Perencanaan dilakukan bersama oleh murid dan
guru.
4. Metode utama yang digunakan ialah metode pemecahan masalah. Yang
dipentingkan bukan hanya hasilnya, melainkan juga proses untuk
memecahkan masalah itu.
Core Curriculum.
Dengan core curriculum dimaksud bagian dari seluruh program pendidikan
yang dianggap penting, fundamental dan esensial yang hams diberikan kepada
setiap murid agar ia menjadi warganegara yang berharga, berguna, serta efektif.
Jadi core curriculum mempunyai arti yang sama dengan pendidikan umum. Atas
dasar itu maka H. Alberty berpendirian bahwa setiap bentuk pendidikan umum
dapat dipandang sebagai core curriculum atau kurikulum inti, apakah disajikan
sebagai matapelajaran yang terpisah-pisah, dikorelasikan, ataupun dalam bentuk
broad unit atau unifield courses. Jadi setiap program pendidikan umum, sekalipun
berupakan daftar matapelajaran wajib menurut pandangan ini harus dianggap
sebagai core curriculum.
Namun banyak ahli kurikulum lain yang merasa perlu untuk membedakan
'core' dengan pendidikan umum. Mereka memandang core curriculum sebagai
kurikulum yang mempunyai cara atau metode tertentu dalam penyajiannya,
sekalipun core curriculum itu juga mengenai pendidikan umum. Jadi dapat
dikatakan bahwa setiap core curriculum termasuk pendidikan umum, akan tetapi
tidak setiap program pendidikan umum berbentuk core curriculum.
Menurut B.O. Smith dkk. core program ini merupakan suatu reaksi terhadap
kurikulum yang terdiri atas mata pelajaran yang terpisah-pisah untuk memperoleh
lebih banyak integrasi dalam pelajaran. Akan tetapi di samping itu kurikulum ini
juga bermaksud untuk memenuhi kebutuhan siswa, memberikan aktivitas yang
lebih banyak dalam proses belajar dan mengadakan hubungan yang lebih erat

antara pelajaran di sekolah dengan kehidupan dalam masyarakat. Maka kurikulum
ini mempunyai tujuan yang agak luas yang meliputi ide-ide yang terdapat dalam
berbagai bentuk kurikulum lainnya yang menyimpang dari subject curriculum.
Ciri-ciri Core Curriculum.
Kurikulum itu mengadakan integrasi dalam bahan pelajaran. Ini dilakukan
dengan menggabungkan atau mengkorelasikan beberapa matapelajaran seperti
ilmu pengetahuan sosial dan bahasa. Akan tetapi banyak pula disajikan dalam
bentuk broad unit.
Sebagai pokok untuk unit dapat digunakan topik-topik dad social functions,
atau masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan atau yang bertalian
dengan minat dan kebutuhan pemuda.
Dengan demikian maka diperoleh beberapa macam program untuk core
curriculum, yakni:
(1) paduan heberapa mata pelajaran, sering antara IPS dan Bahasa Inggris. Pokok-
pokok yang dapat dibicarakan antara lain:
- Negara kita
- Negara-negara lain
- Dunia lama dan dunia barn
- Masa kolonial
Atau dalam bentuk masalah atau pertanyaan:
- Bagaimanakah suatu bangsa dapat meningkatkan mutu penghidupan?
- Bagaimanakah dapat kita hadapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
perkembangan teknologi?
(2) Mengambil pokok-pokok dari "Social functions" atau "major areas of living",
seperti:
- Pengawetan sumber alarn
- Matapencarian
- Pandangan kita terhadap dunia
- Mencegah kecelakaan dan penyakit
- Dunia kita yang kian menciut
- Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap kehidupan kita.

(3) Mengambil pokok dari Masalah-masalah kehidupan seperti :
- masalah pekerjaan
- masalah kewargaan negara
- masalah kehidupan rumah tangga
- masalah waktu senggang
(4) Memilih topik berhubungan dengan minat murid:
- masalah pergaulan
- masalah hubungan dengan anggota jenis kelamin lain
- masalah agama dan kepercayaan.
Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated
curriculum. Metode yang diutamakan ialah problem solving. Murid-murid
didorong untuk berpikir kritis dan menggunakan ketrampilan intelektual lainnya
menghadapi masalah-masalah yang bermakna bagi mereka.
Seperti unit lainnya dalam memecahkan pelajaran dimanfaatkan bahan dari
semua mata pelajaran yang diperlukan, karena suatu unit menerobos batas-batas
mata pelajaran. Kegiatan belajar lebih banyak ragamnya jika dibandingkan
dengan subject curriculum.
Kurikulum inti ini mengadakan hubungan yang lebih erat antara pelajaran
dengan kehidupan sehari-hari serta dengan minat dan kebutuhan pemuda.
Metode mengajar lebih fleksibel. Merencanakan bersama dan kerja
kelompok dalam kegiatan belajar banyak dilakukan.
Perbedaan individual diperhatikan dan bimbingan merupakan unsur yang
esensial dalam kurikulum inti ini.
Keberatan-keberatan terhadap core curriculum.
Core curriculum ini mendapat kritik seperti yang diajukan terhadap
pengajaran unit pada umumnya. Salah satu keberatan yang paling dirasakan ialah
bahwa kurikulum tidak berhasil memberikan pengetahuan yang sistematis, seperti
juga dikemukakan terhadap tiap bentuk kurikulum yang menyimpang dari bentuk
subject curriculum. Hal ini disebabkan oleh kegagalan menyusun suatu disain

yang menjamin bahan pelajaran yang sistematis. Kurikulum ini hanya
memberikan kesatuan waktu belajar yang lebih panjang, misalnya dua jam
pelajaran berturut-turut akan tetapi bahan pelajaran sendiri dalam praktik sering
tidak memberikan bahan yang diintegrasikan akan tetapi bahan dari sejumlah
mata pelajaran secara terpisah. Kerap kali satu di antaranya yang paling menonjol,
biasanya yang paling dikuasai oleh guru. Karena guru-guru pada SM pada
umumnya mengadakan spesialisasi tertentu, maka mereka tidak menguasai cara
mengajar secara inter-disipliner. Dan memang pendekatan secara inter-disipliner
belum cukup berkembang untuk diterapkan di sekolah. Itu sebabnya mengajarkan
program yang integrated sangat sukar. Sekalipun digunakan team teaching masih
belum terjamin tercapainya integrasi bahan pelajaran, jika guru-guru masih
berpegang pada disiplin masing-masing. Untuk itu diperlukan orientasi barn.
Sebelum ini tercapai maka pelaksanaan core curriculum biasanya hanya berbentuk
kombinasi beberapa mata pelajaran yang seharusnya harus dipadukan oleh
"integrating ideas".
Kesulitan yang dihadapi dalam penerapan kurikulum ini ialah soal guru
yang tidak kompeten. Kurikulum serupa ini memerlukan guru yang mempunyai
pendidikan umum yang luas, sedangkan guru-guru SM mengkhususkan studinya
pada bidang tertentu.
Kesulitan juga timbul karena kurikulum inti ini belum mempunyai buku
pedoman yang memuaskan, sehingga masih banyak yang diserahkan kepada
pemikiran guru masing-masing.
Tentu saja kurikulum yang berbeda dengan subject curriculum akan
mengalami kesulitan dalam lanjutannya ke perguruan tinggi yang dalam
persyaratan masuk dan kurikulumnya masih berpegang pada kurikulum yang
berpusat pada mata pelajaran.
RANGKUMAN
1. Organisasi kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutannya, dan cara
menyajikannya.

2. Bentuk kurikulum yang lebih "tua" dari yang lain ialah subject curriculum
yang berpusat pada mata pelajaran yang tersendiri-sendiri.
3. Sebagai reaksi terhadap apa yang dianggap kekurangan-kekurangan kurikulum
ini timbul organisasi kurikulum yang lain seperti correlated curriculum dan
integrated curriculum. Integrated curriculum dapat berbentuk activity
curriculum, project curriculum atau experience curriculum, life curriculum,
atau core curriculum.
4. Subject curriculum telah ada sejak zaman Yunani yang dilanjutkan oleh orang
Rumawi dalam bentuk trivium (gramatika, retorikam dan logika) dan
quadrivium (arithmatika, geometri, astronomi, dan musik), keduanya dikenal
sebagai "the Seven Liberal Arts".
5. Pada abad pertengahan timbul mata pelajaran yang vokasional (teologi,
kedokteran, hukum) dan kini telah terdapat ratusan macam mata pelajaran,
termasuk yang dianggap non-akademis.
6. Subject sebenarnya pengalaman umat manusia yang disusun secara logis
sistematis.
7. Setiap bentuk kurikulum mempunyai kebaikan dan kekurangan. Kekurangan-
kekurangan suatu kurikulum sering ditonjolkan oleh para penentangnya
ditinjau dari segi pendirian masing-masing.
8. Walaupun subject curriculum banyak dikecam, dan boleh dikatakan hampir
tak ada yang memperjuangkannya, namun bentuk kurikulum masih sangat
populer di mana-mana di dunia, terutama di Perguruan Tinggi.
9. Bentuk kurikulum yang lebih baru, yang juga banyak keuntungannya dan
mempunyai ciri-ciri yang dapat mengatasi kelemahan subject curriculum,
namun tidak mendapat popularitas yang luas, antara lain, karena tidak dapat
memberikan pengetahuan yang sistematis yang masih merupakan syarat bagi
universitas dan karena guru tidak dipersiapkan untuk itu.
10. Metode yang diutamakan dalam integrated curriculum ialah metode "problem
solving" atau metode ilmiah dengan menghadapkan siswa kepada masalah-
masalah yang bermakna baginya.

11. Menjalankan integrated curriculum tidak berarti menyampingkan subject sama
sekali, melainkan memanfaatkannya secara fungsional dalam pemecahan
masalah.
12. Subject curriculum dapat mengatasi kelemahannya dengan memanfaatkan
kebaikan-kebaikan bentuk kurikulum lainnya.
13. Core curriculum selalu mengenai pendidikan umum, walaupun tidak setiap
bentuk pendidikan umum dapat diterima sebagai core curriculum. Core
curriculum lebih mirip kepada kurikulum yang mengusahakan integrasi serta
menyesuaikan bahan pelajaran dengan kebutuhan murid atau masyarakat.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apakah beda subject curriculum dengan integrated curriculum?
2. Banyak timbul reaksi terhadap subject curriculum karena kelemahan-
kelemahannya. Sebutkan kekurangan-kekurangan subject curriculum.
3. Dapatkah saudara menerima semua kecaman itu? Tinjau kecaman itu secara
kritis.
4. Apakah beda subject dan subject matter? Adakah subject matter pada
integrated curriculum?
5. Ada mengatakan bahwa trivium mirip dengan jurusan Sosial, Budaya,
sedangkan quadrivium dengan Pasti-Alam. Bagaimana pendapat saudara?
6. Apa sebab subject curriculum tetap bertahan dan terus populer, sekalipun
banyak dikecam?
7. Apakah prinsip-prinsip integrated curriculum? Apa sebab kurikulum ini tidak
meluas, sekalipun banyak mengandung kebaikan?
8. Bagaimanakah langkah-langkah menjalankan suatu broad unit atau pengajaran
unit?
9. Pilih suatu topik dan coba kembangkan menjadi suatu resource unit.
10. Apa dimaksud dengan "social functions" atau pusat-pusat kegiatan manusia?
Sebutkan social functions itu.
11. Apa dimaksud dengan "persistent life situations". Sebutkan.
12. Hingga manakah ada persamaan antara tujuan pendidikan menurut Herbert
Spencer dengan "social functions"?

13. Correlated curriculum menjadi lebih populer dan juga telah menjadi kenyataan
dalam Kurikulum SD dan SM 1975. Jelaskan prinsip-prinsip yang
mendasarinya.
14. Apakah kekurangan-kekurangan correlated curriculum? Bagaimana saran
saudara untuk mengatasinya
15. Sebutkan beberapa tokoh memelopori activity, curriculum atau experience
curriculum. Sebutkan ciri-cirinya.
16. Apakah persamaan dan perbedaan antara Kurikulum Laboratory School
(Dewey), Meriam's Laboratory School, dan proyek (E. Collings).
17. Apakah dimaksud dengan core curriculum. Apa sebab pendapat H. Alberty
tentang core curriculum tidak dapat diterima pihak tertentu?
18. Adakah persamaan antara core curriculum dan activity curriculum?
19. Adakah diskusi antara orang yang menyetujui subject curriculum dengan
orang yang pro integrated curriculum.
20. Bagaimanakah saudara dapat memanfaatkan bentuk kurikulum yang
integrated untuk memperbaiki subject curriculum?

BAB 8
MENENTUKAN SCOPE DAN SEQUENCE DALAM
PEMBINAAN KURIKULUM
PELAJARAN
Menentukan scope, yakni apa yang harus diajarkan merupakan suatu
masalah yang makin lama makin bertambah sulit. Sebabnya ialah:
1) bahan pelajaran cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahun. Tak
ada lagi manusia yang mungkin menguasai seluruh pengetahuan yang ada
sekarang. Spesialisasi dalam pendidikan makin meluas dan tiap spesialisasi
memerlukan bahan pelajaran tambahan. Di samping itu waktu belajar terbatas,
demikian pula kemampuan anak untuk menguasai bahan pelajaran. Maka
perlulah diadakan pilihan tentang apa yang perlu diajarkan.
2) belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga
belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh
semua.
3) Mata pelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan-tujuan
yang baru seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami lingkungan sosial,
memahami dunia internasional dan sebagainya yang dianggap perlu
dimasukkan dalam kurikulum. Sering mata pelajaran baru ditambahkan
sedangkan mata pelajaran lama bercokol terus, sehingga beban belajar bagi
anak bertambah berat. Menambah mata pelajaran dalam masa belajar yang
sama sering berarti makin dangkalnya pengetahuan anak tentang aneka ragam
bidang. Mata pelajaran yang sebenarnya telah usang dipertahankan karena
"vested interest" golongan-golongan tertentu. Demikian pula penambahan
mata pelajaran sering terjadi oleh tekanan golongan tertentu, bukan atas
pertimbangan rasional yang obyektif.
BAHAN PELAJARAN
Bahan pelajaran atau subject matter terdiri atas pengetahuan, nilai-nilai, dan
ketrampilan. Sawah bukan bahan pelajaran akan tetapi yang menjadi bahan

pelajaran ialah pengetahuan tentang sawah itu. Bahan pelajaran adalah sebagian
dari kebudayaan.
Pengetahuan manusia disusun oleh para ahli dalam sejumlah kategori yang
disebut disiplin ilmu. Penyusunan ini dilakukan secara rasional, logis, sistematis
sehingga menjadi suatu sistem yang bulat. Tiap disiplin mempunyai bahan atau isi
tertentu berupa fakta, data, konsep, dan prinsip, akan tetapi juga cara berpikir atau
disiplin berpikir tertentu, yakni cara mengajukan pertanyaan dalam mengadakan
penelitian untuk menghasilkan pengetehuan baru. Misalnya cara berpikir
matematis berbeda dengan cara berpikir historis atau ekonomis.
Disiplin ilmu banyak digunakan sebagai dasar penyusunan kurikulum yang
berbentuk mata pelajaran seperti fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
Kurikulum serupa ini dikatakan mempunyai organisasi yang logis. Bahan
pelajaran disajikan dalam urutan yang logis, misalnya dalam biologi dimulai
dengan binatang yang bersel satu, kemudian bersel banyak dan selanjutnya
meningkat kepada binatang yang berangsur-angsur lebih kompleks strukturnya.
Kurikulum yang logis ini sering tidak ada kaitannya dengan pengalaman anak
dalam hidupnya, sehingga apa yang dipelajari anak sering hanya hafalan kata-kata
tanpa makna dan karena itu tidak memperkaya pribadinya.
Kurikulum yang dianggap lebih bermakna ialah bila bahan pelajaran
dihubungkan atau didasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupannya sehari-
hari, misalnya bila dibicarakan masalah yang nyata seperti soal kesehatan,
kecelakaan lalu-lintas, dan sebagainya. Topik ini dapat diajarkan dengan
menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu seperti biologi, fisika, kimia,
matematika, geografi, dan sebagainya. Dalam hal ini pengetahuan dan disiplin
ilmu itu dipakai secara fungsional untuk memahami suatu masalah. Karena ilmu
itu digunakan secara bermakna, lebih banyak harapan bahan itu akan dipahami
dan diingat. Setelah anak mencapai tingkat perkembangan tertentu, maka mereka
dapat mempelajari disiplin ilmu itu sebagai mata pelajaran. Organisasi bahan
serupa ini disebut psikologis, karena memperhitungkan minat dan tingkat
perkembangan jiwa anak. Perlu dikemukakan, bahwa organisasi yang psikologis
tidak dengan sendirinya bersifat tak-logis.

Yang dijadikan bahan kurikulum bukan hanya isi disiplin ilmu berupa
pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus dengan sengaja
diajarkan proses berpikir kritis, proses penemuan, proses pemecahan masalah, dan
sebagainya. Aspek proses ini masih kurang mendapat perhatian.
Bahan pelajaran yang dituangkan dalam sejumlah besar mata pelajaran
demikian banyaknya sehingga tak mungkin seseorang dapat mempelajari
keseluruhannya selama hidupnya. Ada mata pelajaran yang dianggap perlu
dipelajari oleh semua warga negara seperti membaca, menulis dan berhitung, yang
sudah dapat dilakukan pada tingkat SD. Selanjutnya masih ada mata pelajaran
yang diwajibkan bagi semua siswa seperti bahasa nasional, pendidikan
kewarganegaraan, sejarah nasional, dan lain-lain. Mata pelajaran ini termasuk
pendidikan umum. Tujuannya ialah agar semua warga negara mempunyai dasar
pemikiran yang sama untuk menjamin keutuhan negara.
Pengetahuan umum juga diartikan sebagai pendidikan yang luas, yang
memberitahukan pengetahuan yang banyak tentang segala macam hal, sehingga ia
dapat berkomunikasi dengan manusia di mana saja di dunia, dapat bertukar
pikiran dengan "the worldwide community of civilized human beings". Menyusun
kurikulum untuk pendidikan umum serupa ini jauh lebih sulit karena sukarnya
mengadakan pilihan dari bahan yang terhingga banyaknya.
Selain pendidikan yang bersifat umum kurikulum juga menyediakan
pelajaran yang membarikan pendidikan khusus yang tidak diharuskan bagi semua
pelajar akan tetapi hanya diikuti siswa yang memilihnya. Pendidikan khusus ini
dapat misalnya mengenai pendidikan kejuruan atau vokasional, dapat pula
memberi pendalaman dalam bidang studi tertentu.
Dalam menyusun kurikulum harus pula dipertimbangkan soal luas dan
kedalaman bahan mata pelajaran. Biasanya makin luas bahan pelajaran makin
kurang mendalam pengetahuan yang diperoleh dalam jangka waktu yang sama.
Ada bahan pelajaran yang umum, yakni hal-hal yang hams dimiliki oleh
semua warga negara, misalnya yang mengenai pemerintahan, norma-norma dalam
kelakuan yang baik, dan sebagainya. Ada pula bahan pelajaran yang khusus, yaitu

diperlukan untuk kepentingan tertentu, misalnya bersipat vokasional, yang hanya
diperlukan oleh orang-orang tertentu.
Dapat pula bahan pelajaran itu dibagi dalam bagian yang deskriptif, yakni
yang mengenai fakta-fakta dan prinsip-prinsip, dan yang normatif, yaitu bertalian
dengan norma-norma, peraturan, moral, estetika, dan nilai-nilai.
Subject matter atau bahan mata pelajaran, dipilih dari persediaan yang
sangat luas yang dapat disajikan kepada anak-anak untuk dipelajari. Pilihan itu
harus dilakukan karena luasnya bahan yang ada, sedangkan apa yang dapat
dipelajari dalam jangka waktu tertentu yang sangat terbatas. Maka perlulah
diadakan kriteria agar memilih bahan itu dapat dilakukan secara lebih rasional.
KRITERIA PENENTUAN BAHAN PELAJARAN
Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran.
Kesulitannya ialah bahwa setiap kriterium mempunyai kelemahannya. Kriteria itu
ialah :
1. Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Setiap
penyusunaan kurikulum dimulai dengan merumuskan tujuan, yang umum
sampai yang khusus. Setelah itu baru ditentukan bahan pelajaran yang
dianggap paling serasi untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Untuk tujuan-tujuan
yang khusus lebih mudah ditentukan bahan pelajarannya dan dapat segera
dinilai keserasiannya. Untuk tujuan-tujuan yang umum keadaannya lebih
sukar. Lagi pula belum ada alai yang dapat mengukur hasil-hasil pendidikan,
apalagi yang mengenai kepribadian seseorang, secara ilmiah.
2. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan generasi
yang lampau. Salah satu fungsi pendidikan ialah menyampaikan kebudayaan
bangsa kepada generasi muda. Banyak di antaranya yang sangat bernilai.
Namun belum tentu apa yang berguna pada masa yang lampau masih berguna
pada zaman sekarang atau untuk masa mendatang. Karena perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan perubahan yang cepat dalam
segala aspek hidup sehingga pengetahuan, norma-norma, dan keterampilan
masa lalu harus senantiasa disesuaikan dengan keadaan baru agar jangan
menjadi usang.

3. Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin.
Penguasaan disiplin diperlukan sebagai prasyarat untuk melanjutkan pelajaran
sampai perguruan tinggi. Karena kebanyakan anak demikian pula orang tua
mengharapkan, agar anak itu memasuki perguruan tinggi maka pengaruh
perguruan tinggi terhadap SM bahkan SD sangat besar. Ada yang mengatakan
bahwa pada hakikatnya perguruan tinggi menguasai seluruh sistem pendidikan
dan SD - SM merupakan perguruan tinggi dalam embrio. Usaha-usaha
perubahan dan pembaharuan kurikulum ke arah penyesuaiannya dengan
kebutuhan anak pemuda sering mengalami kesulitan atau kegagalan, karena
dianggap kurang sesuai dengan syarat-syarat masuk ke perguruan tinggi.
Kurikulum yang terlampau mementingkan bahan pelajaran disiplin tertentu
dianggap kurang memenuhi kebutuhan pemuda dan kurang memperhatikan
kebutuhan sosial dalam masyarakat modern yang dinamis.
4. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam
hidupnya. Herbert Spencer pada tahun 1859 mengajukan pertanyaan: '"What
knowledge is of most worth". Pengetahuan apa yang paling besar manfaatnya,
yang paling berguna bagi manusia dalam kehidupannya sehari-hari?
Dasar pikiran di sini ialah, bahwa sekolah yang didirikan oleh masyarakat,
harus memberikan pendidikan dalam bidang-bidang yang diperlukan oleh
anak-anak dalam kehidupan mereka dalam masyarakat. Jadi pendidikan harus
relevan dengan kebutuhaan masyarakat.
Franklin Bobhitt menganalisis kegiatan-kegiatan orang dewasa dalam
masyarakat dengan maksud agar kegiatan-kegiatan itulah diajarkan kepada
anak-anak agar menjadi warga masyarakat yang serasi.
Keberatan yang diajukan terhadap pendirian itu ialah, bahwa apa yang baik
dilakukan untuk zaman sekarang belum tentu baik pula untuk masa depan.
Mengharuskan anak-anak meniru perbuatan generasi tua, berarti
mempertahankan keadaan sekarang, sedangkan keadaan senantiasa berubah.
Lagi pula, karena yang dipakai sebagai ukuran kelakuan orang dewasa, maka
kebutuhan dan sifat perkembangan anak kurang mendapat perhatian utama.
Akhirnya apa yang dilakukan orang dewasa belum tentu sesuai dengan apa
yang seharusnya mereka lakukan.

5. Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.
Seperti telah pernah kami kemukakan dengan kebutuhan anak dapat dimaksud
(a) kebutuhan menurut tafsiran, orang dewasa, misalnya bahwa setiap anak
harus belajar menulis, membaca, sejarah, dan sebagainya, atau (b) kebutuhan
berdasarkan perkembangan anak, apa yang benar-benar dirasakan perlu.
Memperturutkan salah satu di antaranya rnembawa kepincangan. Apa yang
dibutuhkan oleh anak menurut pendapatnya tidak selalu baik, sehingga perlu
dipilih berdasarkan antara lain kepentingannya ditinjau dan segi sosial. Lagi pula
banyak hal-hal yang penting sekali bagi anak, yang tidak dengan sendirinya
dirasakannya sebagai kebutuhan. Tentu saja kebutuhan dan minat anak dapat
diperluas, sehingga meliputi hal-hal yang semula tidak menarik minatnya.
Di lain pihak, bila kebutuhan dan minat anak diabaikan, maka kita
menyalahi prinsip-prinsip proses belajar.
Dalam memilih bahan pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda Taba
yakni bahwa untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya
memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau
pengalaman belajar. Tujuan pendidikan merupakan pengetahuan dapat dicapai
dengan menentukan bahan pelajaran, akan tetapi keterampilan mental seperti
berpikir kritis, demikian pula sikap dan norma-norma hanya dapat dipelajari
melalui pengalaman-pengalaman untuk menerapkannya.
Ia berpendirian bahwa bahan pelajaran tidak boleh dipisahkan dari
pengalaman belajar. Karena itu lebih baik pelajaran dipusatkan pada sejumlah
pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan keterampilan mental, daripada
berusaha meliputi sejumlah bahan yang luas yang hanya dihafal secara
mendangkal, tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental itu. Ketrampilan
mental itu dapat ditransfer dalam situasi-situasi lain yang memerlukan
ketrampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah-masalah
dengan menggunakan metode penemuan (discovery). Juga dianjurkannya ialah
agar bahan pelajaran hendaknya fundamental yang dapat mengembangkan
kesanggupan berpikir secara konsepsional.

Dalam penentuan bahan pelajaran para penyusun kurikulum dipengaruhi
oleh aliran yang dianutnya. Mereka yang mengutamakan subject curriculum akan
mementingkan bahan yang terkandung dalam disiplin. Penganut aliran "progresif '
akan menentukan bahan pelajaran terutama berdasarkan minat anak atau pemuda.
Mereka yang mengutamakan fungsi sosial sekolah mengambil aspek-aspek
kehidupan sosial sebagai dasar untuk menentukan bahan pelajaran. Seperti telah
pernah kami utarakan, setiap pendirian yang ekstrim mempunyai kelemahan.
Dalam pembinaan kurikulum hendaknya kita perhatikan semua faktor yang turut
mempengaruhinya, yaitu faktor anak, masyarakat, maupun disiplin ilmu
pengetahuan. Dalam kenyataan hal ini tidak mudah melakukannya, oleh sebab
manusia senantiasa berpijak pada dasar-dasar tertentu. Mereka yang yakin pada
kebaikan "activity curriculum" tentu akan bertolak dari prinsip-prinsip yang
berbeda dengan penganut "subject curriculum", sekalipun kedua pendirian itu
dapat dipertemukan hingga batas-batas tertentu.
PROSEDUR MENENTUKAN BAHAN PELAJARAN
Berbagai cara dapat diikuti untuk menentukan bahan pelajaran. Cara yang
dipilih banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang
menentukan kurikulum. Jika mereka berpendirian bahwa sekolah harus
menyampaikan kebudayaan masa lampau yang diwariskan oleh nenek moyang,
maka mereka akan mencari unsur-unsur dari kebudayaan itu yang dianggap
penting bagi perkembangan anak-anak. Jika mereka menganggap, bahwa sekolah
harus mempersiapkan anak, agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan
dalam masyarakat, maka bahan yang penting ialah kegiatan-kegiatan yang
dilakukan orang dewasa dalam kehidupannya. Bahan pelajaran akan berbeda pula
bila yang diutamakan ialah perkembangan mental atau intelek, atau pembangunan
masyarakat barn.
Jadi serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan yang ingin
dicapai. Di bawah ini kami berikan beberapa prosedur yang diikuti dalam
penentuan bahan pelajaran.
Prosedur penentuan bahan pelajaran.
1. Prosedur menerima otoritas para ahli.

Bahan pelajaran ditentukan berdasarkan pendapat seseorang atau suatu
kelompok, yang dianggap mempunyai otoritas, kemampuan, dan keahlian. Lebih
dahulu dirumuskan tujuan pendidikan agar dapat ditentukan bahan pelajaran yang
kirangnya paling serasi untuk mencapainya. Tujuan pendidikan dapat diselidiki
berdasarkan undang-undang dan dokumen-dokumen resmi, dapat juga
berdasarkan studi tentang sosiologi, politik, sejarah dan sebagainya. Kemudian
diadakan diskusi untuk merumuskan dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan itu.
Menentukan bahan pelajaran yang serasi berhubung dengan tujuan itu tidak
mudah, karena tidak ada jaminan apakah dan hinggga manakah bahan itu
sungguh-sungguh membawa anak kepada tujuan itu. Suing para penyusun
kurikulum itu dipengaruhi oleh tradisi, prasangka atau keinginan pribadi.
Dalam praktik sering yang menentukan bahan pelajaran ialah pengarang
buku pelajaran. Tentu saja pengarang itu menggunakan berbagai sumber dalam
penulisan itu. Ia akan mempelajari kurikulum yang diakui, hasil-hasil lokakarya
atau konferensi, hasil penelitian tentang perkembangan anak, perbendaharaan kata
anak, psikologi belajar, metode mengajar, dan sebagainya. Ada kalanya buku
pelajaran disusun oleh panitia penulisan buku. Buku ini dapat disebarluaskan
secara nasional. Untuk menjamin mutu buku itu, sering diikutsertkan para ahli
dalam cahang ilmu pengetahuan tertentu dan ahli pendidikan.
Prosedur ini banyak diikuti, karena banyak keuntungannya. Buku pelajaran
mempunyai scope dan sequence tertentu, jadi telah jelas apa yang hams diajarkan
dan bagaimana urutannya. Ini memberikan rasa tenteram kepada guru karena ia
tak perlu lagi mencari-cari. Akan tetapi prosedur ini juga tidak membangkitkan
kreativitas guru.
2. Prosedur eksperimental.
Bahan pelajaran dapat ditentukan secara eksperimental dengan mengadakan
penelitian hingga manakah bahan itu memang serasi untuk mencapai sasarannya.
Biasanya metode ini digunakan untuk menyelidiki keserasian bahan yang khusus
untuk tujuan yang spesifik, agar dapat dikuasai faktor-faktor yang mempengaruhi,
agar keilmiahannya dapat dipertahankan. Misalnya dapat diselidiki cerita-cerita
apakah yang paling disukai anak-anak pada usia tertentu. Kalau percobaan ini

dilakukan pada sejumlah besar anak, maka ada pegangan yang lebih kokoh dalam
pemilihan cerita yang sesuai dengan keinginan anak, daripada hanya bergantung
pada pendapat guru atau pengarang.
Untuk tujuan-tujuan yang lebih umum, metode ini kurang sesuai, karena
sulitnya menguasai semua faktor, termasuk pribadi guru dan pengalaman anak.
Juga perlu dipikirkan, hingga manakah hasil penelitian sekarang berlaku untuk
masa datang, karena misalnya selera anak terhadap cerita-cerita tertentu dapat
berubah karena perkembangan zaman.
3. Prosedur ilmiah atau analitis.
Bahan pelajaran dapat ditentukan dengan menganalisis situasi-situasi di
mana bahan pelajaran itu diperlukan. Dapat dianalisis kegiatan manusia dewasa
dalam kehidupannya sehari-hari seperti yang dilakukan oleh Franklin Bobbitt,
dapat pula dianalisis berbagai jabatan, misalnya jabatan jururawat, guru
penerbang, sekretaresse, dan sebagainya seperti yang mula-mula dilakukan oleh
Charters. Dengan mengetahui kegiatan, ketrampilan, sikap, pengetahuan dan
kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu dengan
baik, dapat pula ditentukan bahan pelajaran yang serasi untuk itu.
Analisis pekerjaan atau kegiatan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain mengadakan wawancara tentang segala macam tugas seorang pekerja,
melakukan pekerjaan itu sendiri, atau mengobservasi pekerja melakukan
tugasnya. Analisis ini akan menghasilkan daftar sejumlah kegiatan yang dapat
disusun menurut pentingnyaa dan frekuensinya.
Analisis memecahkan keseluruhan tugas dalam kegiatan-kegiatan yang
lebih terinci, sehingga identitas keseluruhan lenyap. Yang dianalisis ialah keadaan
sekarang yang tidak menunjukkan keadaan seharusnya. Namun metode analisis
ini sangat berfaedah untuk menentukan bahan pelajaran bagi tugas dan jabatan
yang jelas dan terbatas unsur-unsurnya.
4. Prosedur konsensus.
Cara keempat ialah memperoleh konsensus dengan meminta pendapat
orang-orang yang dianggap berwewenang, antara lain ahli-ahli dalam bidang studi

tertentu, tokoh-tokoh masyarakat, perusahaan, dan sebagainya. Pendapat-pendapat
itu dapat dikumpulkan dengan daftar pertanyaan yang kemudian ditabulasi dan
diinterpretasi.
Metode ini mudah dilaksanakan, namun konsensus berdasarkan tabulasi dan
suara terbanyak belum menjamin keserasian bahan pelajaran. Ada pula
kemungkinan bahwa pendapat orang yang ditanyai itu dipengaruhi oleh
prasangka, tradisi, keinginan pribadi atau faktor-faktor subyektif lainnya. Sesudah
ditabulasi tidak lagi diadakan diskusi antara mereka yang mengisi daftar
pertanyaan itu dan interpretasinya terserah pada para pengolahnya.
5. Prosedur-prosedur lainnya.
Prosedur-prosedur lain yakni (a) social functions procedure, (b) persistent
life situation procedure dan (c) adolescent needs or problems procedure,
menentukan bahan pelajaran menurut prinsip-prinsip utama yang mendasari
kurikulum itu.
(a) Prosedur fungsi-fungsi sosial.
Seperti telah dibicarakan sebelumnya dengan "social functions" atau "major
areas of living": dimaksud pusat-pusat kegiatan manusia dalam masyarakat.
Dengan mempelajari pusat-pusat kegiatan manusia ini anak-anak diharapkan
mengenal kehidupan dan masalah-masalah masyarakat dewasa ini. Fungsi-fungsi
sosial itu seperti: perlindungan dan pengawetan hidup, milik, dan suber alam,
produksi, konsumsi, komonikasi dan transpor, dan sebagainya adalah pokok-
pokok sebagai pegangan untuk menentukan kegiatan-kegiatan belajar. Pokok-
pokok ini sangat umum dan masih perlu diuraikan lebih lanjut oleh para pendidik
secara lokal, agar pelajaran itu sesuai dengan keadaan setempat. Program ini
fleksibel dan mungkin sekali mengalami perubahan dari tahun ke tahun apalagi
karena dalam pelaksanaannya diadakan perencanaan bersama dengan murid
seperti lazimnya dilakukan dalam pengajaran broad unit.
Kurikulum ini mengutamakan aspek sosial dan tidak begitu menonjolkan
soal kebutuhan dan minat pelajar, sekalipun tidak mengabaikannya.

(b) Prosedur "persisten life situations".
Prosedur ini memperhatikan kebutuhan, masalah, dan minat anak dan
pemuda menurut taraf perkembangan dalam dunia yang kompleks dan dinamis
ini. Masalah-masalah pokok yang dihadapi itu "persistent" yakni senantiasa pada
hakikatnya sama, dulu, sekarang maupun di masa mendatang di mana saja di
dunia ini, akan tetapi situasinya berbeda-beda dan berubah-ubah. Dengan
mengikuti kurikulum ini murid-murid dipersiapkan untuk menghadapi masalah-
masalah itu dalam hidupnya di masyarakat.
Stratemeyer cs menganalisis situasi-situasi itu sejauh mungkin, namun para
pendidik masih harus mengadakan perencanaan yang lebih terperinci dan
kongkret untuk dilaksanakan dalam kelas. Tentu saja kurikulum serupa ini
fleksibel dan bahan pelajaran harus disesuaikan setiap kali dengan perubahan-
perubahan yang terjadi di dunia maupun setempat. Jadi cara menentukan scope
atau ruang lingkup pelajaran banyak persamaannya dengan prosedur fungsi-fungsi
sosial. Seperti halnya dengan kurikulum fungsi-fungsi sosial kurikulum ini pun
dapat memanfaatkan bahan dari berbagai disiplin atau mata pelajaran, sejauh
bahan itu diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Ada
kemungkinan pengetahuan murid tentang berbagai subject atau mata pelajaran
bahkan lebih luas lagi daripada yang diperoleh melalui kurikulum yang subject-
centered hanya tidak dalam susunan logis sistematis yang lazim.
(c) Prosedur kebutuhan atau masalah pemuda.
Prosedur ini bertitik tolak dan kebutuhan pemuda atau masalah-masalah
yang mereka hadapi. Oleh sebab kebutuhan atau masalah itu selalu timbul dalam
lingkungan masyarakat tempat mereka hidup maka dengan sendirinya masalah-
masalah masyarakat juga mendapat perhatian.
Prosedur ini diterapkan dalam "the Eight Year Study" (1932-40) yang
mengadakan percobaan dengan kurikulum ini di 30 sekolah menengah di Amerika
Serikat. Waktu itu ide ini sangat progresif. Percobaan ini merupakan suatu sukses,
akan tetapi karena pecahnya Perang Dunia II hasilnya tidak mendanqt cambutan
selayaknya.

Untuk menentukan bahan pelajaran diselidiki buku-buku psikologi,
diadakan questionnaires, checklist, observasi dan sebagainya. Ross Mooney
mengumpulkan 132 masalah pemuda yang digolongkannya dalam 11 bidang,
yakni: (1) Kesehatan dan perkembangan jasmani, (2) Keuangan, kondisi hidup
dan pekerjaan, (3) Kegiatan sosial dan rekreasi, (4) Berpacaran, seks dan
perkawinan, (5) Hubungan sosial-psikologis (6) Hubungan pribadi-psikologis, (7)
Moral dan agama, (8) Rumah tangga dan keluarga, (9) Masa depan: Pekerjaan dan
pendidikan, (10) Penyesuaian dengan pelajaran sekolah, (11) Kurikulum dan
pengajaran.
Di samping klasifikasi Ross Mooney ini ada lagi cara penggolongan lain. Ini
bergantung pada bahan yang diterima dari orang-orang yang diminta pendapatnya
dan cara menggolongkannya.
Setiap bidang dapat lagi diuraikan lebih lanjut. Dan seperti halnya dengan
prosedur fungsi-fungsi sosial dan "persistent life situation" guru-guru setempat
harus lagi merencanakan bersama, sering dengan murid, juga dengan orang tua,
untuk menyesuaikan kurikulum itu dengan kebutuhan dan masalah pemuda di
sekolah itu. Perubahan senantiasa ada dari tahun ke tahun seperti halnya dengan
kurikulum yang fleksibel lainnya yang berusaha menyesuaikannya dengan
tuntutan murid dan masyarakat.
Untuk membantu guru-guru dalam perencanaan broad unit maka dapat
disusun suatu, resource unit. Resource unit ini merupakan suatu sumber yang
dapat membantu guru untuk merencanakan, mengembangkan, dan menilai suatu
unit. Resource unit menguraikan secara komprehensif dan sistematis tujuan, ruang
lingkup bahan pelajaran berupa konsep-konsep, pokok-pokok, masalah-masalah,
dan sebagainya, berbagai-bagai saran tentang kegiatan-kegiatan mengajar-belajar,
daftar buku, dan alat-alat pengajaran serta cara-cara mengevaluasi unit itu.
MENENTUKAN SEQUENCE DALAM KURIKULUM
"Scope" mengenai apa yang akan diajarkan, yaitu ruang lingkup atau luas
bahan pelajaran, jenis dan bentuk pengalaman-pengalaman belajar, pada berbagai
tingkat perkembangan anak guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Dengan "sequence" (baca: si-kuens) dimaksud urutan pengalaman belajar
itu diberikan. Sering ini diartikan sebagai kapan pengalaman belajar atau bahan
pelajaran itu harus diberikan, atau disempitkan menjadi di kelas berapa bahan
pelajaran tertentu harus diajarkan.
Scope dan sequence erat hubungannya dalam penyusunan kurikulum, oleh
sebab tiap bahan harus diberikan pada waktu yang setepat-tepatnya. Akan tetapi
waktu yang tepat itu tidak selalu mudah ditentukan. Sering ini dilakukan
berdasarkan tradisi. Pembanian pendidikan dapat mengubah kebiasaan lama dan
masalah urutan atau sequence turut mengalami perubahan.
Pada zaman sebelum perang dunia II dirasakan sudah tepat mengajarkan
hitungan dari 1 - 20 di kelas SD, 1- 100 di kelas II, sedangkan pecahan baru boleh
dibicarakan di kelas III. Aljabar dan ilmu ukur baru boleh diajarkan di kelas I
SMA, Ilmu Bumi dimulai di kelas III, ilmu alam baru diajarkan di kelas V, Ilmu
Bumi dunia diberikan di kelas VI, membicarakannya sebelumnya dianggap me-
langgar peraturan dan dirasa terlampau sulit bagi anak karena tidak sesuai dengan
perkembangan dan kemampuannya.
Urutan itu rupanya tidak seketat yang diduga dan mengalami perubahan
total akhir-akhir ini. Matematika modern yang diajarkan di kelas I SD sudah
memberikan aljabar dan ilmu ukur, padahal matematika dianggap suatu disiplin
yang tersusun paling logis dan sistematis mengenai urutannya. Ilmu alam atau
fisika, kini dalam bentuk ilmu pengetahuan alam sudah diberikan sejak kelas I
SD, bahkan tidak ada keberatan untuk mengajarkan di Taman Kanak-kanak.
J. Bruner mengatakan bahwa prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat
diajarkan kepada setiap orang pada setiap usaha dalam suatu bentuk tertentu oleh
sebab ide-ide pokok yang mendasari setiap ilmu sebenarnya sederhana.
Juga J. Piaget membuktikan bahwa anak-anak lebih cepat dapat berpikir
secara formal daripada yang diduga semula. Dahulu orang menyangka bahwa
anak-anak belum dapat berpikir logis. Itu sebab mereka disuruh menghafal.
Berpikir dengan konsep-konsep dianggap baru dapat dilakukan pada usia yang
lebih lanjut yaitu pada tingkat sekolah lanjutan. Menurut J. Piaget anak umur

tujuh tahun sudah dapat berpikir formal dan logis, jadi dapat dikembangkan
dengan bahan pelajaran yang sesuai. Tidak mengembangkan kemampuan berpikir
ini akan berarti merugikan anak.
Pendapat Bruner dan Piaget yang makin banyak diakui oleh para pendidik
dan pembina kurikulum tak dapat tiada akan mempengaruhi sequence atau urutan
bahan pelajaran.
Dua pendekatan.
Dalam penentuan urutan bahan pelajaran dapat diikuti dua macam
pendekatan. Yang pertama ialah lebih dahulu menentukan bahan pelajaran untuk
kelas-kelas tertentu. Kemudian diusahakan dengan berbagai cara agar anak dapat
mencernakan bahan pelajaran itu. Diselidiki kesulitan-kesulitan yang dihadapi
anak, diciptakan alat-alat peraga dan diterapkan metode mengajar-belajar yang
serasi untuk membantu anak mempelajari bahan pelajaran itu. Jadi dalam
pendekatan ini yang dipentingkan ialah bahan pelajaran dan anak harus
menyesuaikan diri dengan bahan pelajaran untuk kelasnya.
Pendekatan kedua ialah menyesuaikan bahan pelajaran dengan taraf
perkembangan anak. Untuk itu perlu diselidiki tingkat pengetahuan dan
kemampuan anak agar dapat ditentukan bahan yang sesuai.
Beberapa kesulitan yang dihadapi ialah bahwa kemampuan anak-anak
sangat berbeda walaupun usia mereka sama, dalam segala ciri-ciri yang dapat
diukur.
Dianggap bahwa bahan pelajaran mempunyai struktur tertentu yang harus
diikuti untuk mempelajarinya. Struktur disiplin itulah yang menentukan urutan
bahan pelajaran dan demikian pula langkah-langkah dalam proses belajar.
Ternyata bahwa bahan disiplin dapat disusun dengan berbagai cara, jadi
mempunyai tidak hanya satu macam struktur. Dengan demikian urutan bahan
pelajaran tidak semantap yang diduga semula.
Faktor-faktor dalam penempatan bahan pelajaran.

Dalam menentukan kapan atau di kelas berapa bahan pelajaran sebaiknya
diajarkan biasanya orang berpegang pada sejumlah faktor. Seperti telah
dikemukakan tidak ada patokan yang pasti mengenai sequence ini, namun dalam
penyusunan kurikulum tak dapat tiada harus kita putuskan kapan sesuatu harus
diajarkan. Faktor-faktor itu ialah antara lain:
1. Taraf kesulitan bahan pelajaran.
Pada umumnya bahan yang mudah dan sederhana lebih dahulu diberikan
daripada yang sukar dan kompleks. Anak-anak mulai diajarkan bilangan kecil
sebelum angka-angka yang besar. Mereka lebih dahulu mempelajari lingkungan
dekat yang dikenalnya secara langsung baru kemudian daerah yang jauh letaknya.
Lagu kanak-kanak jauh lebih sederhana daripada lagu-lagu untuk orang yang
lebih lanjut usianya.
Tak selalu mudah menentukan yang manakah yang mudah dan yang sukar.
Membaca permulaan dengan huruf ternyata lebih sukar daripada memulainya
dengan kata-kata.
Namun bahan pelajaran memang mempunyai tingkat-tingkat kesukaran.
Kalimat panjang lebih sukar daripada kalimat pendek. Menghitung sejumlah
benda lebih mudah daripada menghitung daya tahan suatu jembatan. Makin
banyak unsur yang terlibat dalam suatu masalah, makin kompleks problema itu
makin tinggi taraf kesulitannya. Karena kenyataan itu maka dalam penempatan
bahan pelajaran perlu dipertimbangkan taraf kesulitannya.
2. Apersepsi atau pengalaman lampau.
Sesuatu yang baru hanya dapat dipahami berdasarkan pengetahuan atau
pengalaman yang telah dimiliki. Karena itu diusahakan adanya kontinuitas dalam
bahan pelajaran. Pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk memahami
pelajaran yang baru.
Dalam sejarah salah satu cara ialah memberikannya mulai dan zaman purba
kala dan berangsur-angsur maju sampai zaman sekarang. Hal ini juga kita dapat
dalam pelajaran lain. Pada suatu ketika kemampuan berhitung dianggap syarat

untuk aljabar. Matematika, fisika, biologi dianggap prasyarat untuk fakultas
kedokteran.
Prinsip apersepsi atau 'entry behavior" ini bertahan erat dengan prinsip
kesukaran. Dianggap bahwa kontinuitas akan tercapai bila kita mulai dengan yang
dianggap mudah untuk kemudian meningkat kepada yang lebih sulit. Dalam
pengajaran berprograma suatu pelajaran dipecah-pecah menjadi bagian-bagian
kecil yang mudah dipelajari. Bagian-bagian ini merupakan langkah-langkah
menuju kepada penguasaan pelajaran.
3. Kematangan anak.
Kematangan diakibatkan oleh perkembangan intern, pertumbuhan syarat
atau fisiologis dan dianggap tak dapat dipengaruhi banyak oleh faktor-faktor luar.
Pada suatu ketika anak mulai belajar berbicara atau berjalan. Sebelum waktu itu
usaha mempercepatnya akan gagal.
Akan tetapi setelah masa kematangan itu anak mulai belajar. Proses belajar dapat
banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar.
Pada umumnya soal kematangan ini hanya diketahui berkenaan dengan
anak-anak kecil. Mengenai kematangan anak untuk mempelajari kewargaan
negara, ilmu ukur ruang, psikologi, filsafaat, dan sebagainya tak banyak yang kita
ketahui. Dalam teori sering kita katakan bahwa bahan pelajaran harus disesuaikan
dengan kematangan anak, tanpa sebenarnya mengetahuinya dengan jelas.
4. Usia mental anak.
Demikian pula kita menginginkan agar bahan pelajaran harus sesuai dengan
usia mental anak. Kita ketahui bahwa anak-anak berlainan kemampuan
mentalnya. Memberikan bahan yang sama kepada anak yang tinggi dan rendah
inteligensinya pasti merugikan anak. Berbagai usaha dijalankan untuk memenuhi
tuntutan perbedaan individual ini, sehingga bahan pelajaran diberikan menurut
sequence yang sesuai dengan kesanggupan anak.
5. Minat anak.
Minat anak menjadi faktor utama dalam pcnentuan bahan dan urutannya di
sekolah yang "child centered". Minat anak dapat berubah-ubah. Ada minat yang

timbul karena perkembangan anak, misalnya minat untuk alam sekitar, untuk
keadaan sosial, untuk agama dan ide-ide filosofis atau untuk pergaulan dengan
anggota jenis kelamin lain. Ada pula minat yang dipengaruhi oleh lingkungan,
seperti minat untuk radio, motor, naik gunung dan sebagainya.
Dalam penempatan bahan pelajaran minat anak sudah sewajarnya perlu
diperhatikan, apalagi minat yang timbul sebagai akibat perkembangan anak. Ini
banyak sedikit dapat diperhitungkan lebih dahulu.
Untuk hal-hal lain selalu dapat diusahakan dengan metode mengajar yang
baik untuk membangkitkan minat anak. Minat dapat timbul berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran-pelajaran lampau.
SEQUENCE PROSES BELAJAR
Masalah urutan atau sequence sering hanya dihubungkan dengan soal
penempatan bahan pelajaran, yakni menentukan kapan bahan itu harus diajarkan.
Maka diberilah pedoman seperti dari yang mudah kepada yang sulit, yang dekat
kepada yang jauh yang sederhana kepada yang kompleks, dari bagian kepada
keseluruhan atau sebaliknya.
Akan tetapi menurut Hilda Taba kita jangan lupakan urutan dalam proses
belajar. Kurikulum biasanya hanya menentukan urutan bahan pelajaran,
sedangkan soal urutan proses belajar diserahkan kepada guru.
Urutan proses belajar antara lain mengenai langkah-langkah untuk
mengembangkan konsep-konsep, sikap dan kesanggupan berpikir. Petunjuk "dari
kongkret kepada yang abstrak" kurang memadai. Kita tak tahu misalnya berapa
hal yang kongkrit harus diberikan agar anak dapat menangkap pengertian yang
abstrak.
Juga belum cukup pengetahuan kita bagaimana langkah-langkah atau urutan
untuk memahami suatu konsep atau berpikir kritis dan kreatif. Kita tahu bahwa
cara-cara membentuk konsep berbeda-beda, tergantung pada konsep yang akan
diajarkan. Misalnya konsep "perang kemerdekaan" dan "pemuaian logam" tidak
sama cara mengembangkannya. "Pemuaian logam" dapat diberikan konsepnya

dengan metode demonstrasi. Pengertian perang kemerdekaan memerlukan cara
yang berbeda sekali.
Menurut Hilda Taba, bukan hanya urutan mengenai bahan pelajaran saja
yang penting, melainkan juga urutan dalam proses belajar atau pengalaman-
pengalamaan belajar.
RANGKUMAN
1. Dengan scope dimaksud luas atau ruang lingkup bahan pelajaran.
2. Kesulitan dalam menentukan scope ialah (1) sangat cepat bertambahnya
pengetahuan, (2) tidak adanya kriteria yang pasti tentang bahan pelajaran yang
harus diberikan, (3) tidak memadainya mata pelajaran tradisional.
3. Sering matapelajaraan baru, sedangkan matapelajaran yang ada bercokol terus.
4. Dalam menentukan bahan pelajaran harus diadakan pilihan, atau seleksi,
karena luasnya bahan yang tersedia dan terbatasnya waktu belajar serta
kemampuan anak.
5. Kriteria dalam penentuan bahan ialah (1) tujuan, (2) nilai sebagai warisan, (3)
penguasaan disiplin, (4) nilainya bagi kehidupan dalam masyarakat (5)
kebutuhan dan minat anak.
6. Bahan pelajaran hendaknya jangan hanya meliputi pengetahuan melainkan
juga keterampilan mental.
7. Aliran yang dianut oleh pembina kurikulum merupakan suatu faktor dalam
penentuan bahan pelajaran.
Beberapa prosedur penentuan bahan pelajaran ialah (1) menerima otoritas para
ahli, (2) eksperimen (3) analisis kegiatan, (4) konsensus, (5) fungsi social, (6)
persistent life situations, (7) kebutuhan pemuda.
8. Menentukan scope kurikulum yang subject centered lebih mudah daripada
yang integrated. Yang terakhir ini lebih fleksibel.
9. Dengan "sequence" dalam pembinaan kurikulum dimaksud urutan
pengalaman belajar, yakni apabila bahan itu harus diajarkan.
10. Penempatan bahan pelajaran berupa matapelajaran sudah jauh berbeda dengan
sebelum Perang Dunia II. Matematika yang dulu diajarkan di SMP, kini sudah
mulai diberikan di kelas I SD.

11. Menurut J. Bruner prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada
setiap anak pada setiap usia dalam suatu bentuk tertentu. Pendapat ini dapat
menimbulkan perobahan besar mengenai penempatan mata pelajaran.
12. J. Piaget berpendapat berdasarkan penelitiannya bahwa anak berusia tujuh
tahun telah dapat berpikir logis dan formal.
13. Dalam penentuan sequence dapat diikuti dua pendekatan yaitu (1)
menyesuaikan bahan dengan anak, atau (2) menyesuaikan anak dengan bahan.
14. Faktor-faktor dalam penentuan "sequence" ialah (1) taraf kesulitan bahan
pelajaran (2) apersepsi atau pengalaman yang telah ada, (3) kematangan anak,
(4) usia mental anak (5) minat anak.
15. Sequence tidak hanya mengenai bahan pelajaran tetapi juga dalam proses
belajar, yaitu langkah-langkah untuk mengembangkan konsep-konsep, sikap,
kesanggupan berpikir.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apa yang dimaksud dengan scope dan sequence?
2. Kesulitan apakah dihadapi dalam menentukan scope?
3. Apa sebab lebih mudah menambahkan matapelajaran baru daripada
mengurangi yang ada?
4. Apakah yang termasuk subject matter atau bahan pelajaran?
5. Sebutkan berapa kriteria untuk menentukan bahan pelajaran.
6. Sekalipun telah diketahui tujuan pelajaran, apa sebab masih sulit untuk
menentukan bahan pelajaran yang serasi?
7. Coba sebutkan suatu tujuan. Tentukan bahan yang saudara anggap serasi
untuk mencapai tujuan itu.
8. Apakah kelemahan bahan pelajaran yang merupakan warisan dari generasi
lampau?
9. Pada hakekatnya perguruan tinggilah yang menentukan kurikulum SMA
bahkan SD. Berikan komentar saudara.
10. Apakah dasar Herbert Spencer menentukan bahan pelajaran?
11. Bagaimanakah cara Franklin Bobbitt menentukan scope kurikulum?
12. Kelemahan apakah terdapat dalam prosedur yang diikuti oleh Franklin
Bobbitt?

13. Apakah kelemahan scope kurikulum yang ditentukan herdasarkan minat dan
kebutuhan anak?
14. Scope tidak hanya meliputi materi tetapi juga proses belajar. Apa maksudnya?
Yang manakah yang lebih penting menurut pendapat saudara?
15. Dalam penentuan bahan pelajaran aliran yang dianut sangat berpengaruh.
Berikan penjelasan dan contoh-contoh.
16. Sebutkan prosedur-prosedur untuk menentukan scope kurikulum. Beri
penjelasan tentang tiap prosedur.
17. Tinjau setiap prosedur. Cari segi kebaikan dan kekurangannya.
18. Apakah keberatan jika buku pelajaran menentukan scope kurikulum? Adakah
keuntungan dan kebaikannya?
19. Apakah kurikulum 1975 disusun berdasarkan eksperimen? Prosedur apakah
yang digunakan?
20. Dari berbagai macam prosedur itu, yang manakah paling menarik bagi
saudara? Berikan alasan.
21. Berikaan contoh-contoh bahwa sequence mengalami perubahan besar.
22. Bagaimanakah pendapat Bruner dan Piaget, yang mempengaruhi soal
sequence dalam kurikulum.
23. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi sequence bahan pelajaran.
Jelaskan setiap faktor dan bicarakan baik buruknya.
24. Apa yang dimaksud dengan sequence proses belajar, yang perlu diperhatikan
di samping sequence bahan pelajaran sendiri?

BAB 9MENGUBAH KURIKULUM
SEBAB-SEBAB KURIKULUM DIUBAH
Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat
berubah secara fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah
menjadi negara yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus
mengalami perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran.
Misalnya pada tahun 30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan
kurikulum adalah pada anak, sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered
curriculum sebagai reaksi terhadap subject-centered curriculum yang dianggap
terlalu bersifat adult dan society-centered. Pada tahun 40-an, sebagai akibat
perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum menjadi lebih
society-centered. Pada tahun 50-an dan 60-an, sebagai akibat Sputnik yang
menyadarkan Amerika Serikat akan ketinggalan dalam ilmu pengetahuan, para
pendidik lebih cenderung kepada kurikulum yang discipline-centered, yang mirip
kepada subject-centered curriculum. Tampaknya seakan-akan orang kembali lagi
kepada titik tolak semula. Akan tetapi lebih tepat, bila kita katakan, bahwa
perkembangan kurikulum seperti spiral, tidak sebagai lingkaran, jadi kita tidak
kembali kepada yang lama, tetapi pada suatu titik di atas yang lama.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru
mengenai proses belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti
activity atau experience curriculum, programmed instruction, pengajaran modul,
dan sebagainya.
Perubahan dalam masyarakat, eksplosi ilmu pengetahuan, dan lain-lain
mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu
menyebabkan kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini
akan senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum, betapapun relevannya pada suatu
saat.

Maka karena itu perubahan kurikulum merupakan hal biasa. Malahan
mempertahankan kurikulum yang ada akan merugikar anak-anak dan dengan
demikian fungsi kurikulum itu sendiri. Biasanya perubahan satu asas akan
memerlukan perubahan keseluruhan kurikulum itu.
PERUBAHAN ATAU PERBAIKAN KURIKULUM
Perbaikan kurikulum biasanya hanya mengenai satu atau beberapa aspek
dari kurikulum, misalnya metode mengajar, alat peraga, buku pelajaran dengan
tetap menggunakan kurikulum yang berlaku.
Perubahan kurikulum mengenai perubahan dasar-dasarnya, baik mengenai
tujuan maupun alat-alat atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah
kurikulum sering berarti turut mengubah manusia, yaitu guru, pembina
pendidikan dan merek-mereka yang mengasuh pendidikan. Itu sebab perubahan
kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial, suatu social change. Perubahan
kurikulum, juga disebut pembaruan atau inovasi kurikulum, tentu saja dimaksud
untuk mencapai perbaikan, sekalipun perubahan itu tidak dengan sendirinya
membawa perbaikan. Perbaikan yang diperoleh mungkin membawa hasil
sampingan yang kurang baik menurut penilaian pihak tertentu.
PENILAIAN KURIKULUM
Sebelum mengubah kurikulum hendaknya diadakan penilaian tentang
kurikulum yang sedang dijalankan. Penilaian juga perlu untuk mengetahui hingga
manakah kurikulum mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan seperti yang
tercantum dalam kurikulum itu. Penilaian kurikulum tidak mudah. Baik tidaknya
suatu kurikulum pada hakekatnya dapat dinilai dan hasilnya, yakni dari
kedudukan, kehidupan, atau prestasi pada lulusannya. Bila lulusannya menduduki
tempat yang penting dalam pemerintahan, perusahaan, dan masyarakat, maka
lembaga pendidikan itu mendapat nama baik dan kurikulumnya dianggap efektif.
Namun kita dapat menyangsikan kebenaran anggapan itu, karena yang diandalkan
hanya mereka yang sangat menonjol prestasinya, sedangkan mereka yang tidak
menduduki tempat yang berarti dalam masyarakat, bahkan yang gagal, tidak
mendapat perhatian. Penilaian itu terlampau kasar dan tidak didasarkan atas
penelitian yang sistematis. Dan kita dapat bertanya, apakah masalah itu dapat di-

selidiki sepenuhnya, karena banyaknya faktor lain di luar mata pelajaran yang
turut mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang.
Kalau kita menilai kurikulum, kita harus menilai komponen-komponennya
yaitu (1) tujuan kurikulum, (2) pengalaman-pengalaman belajar untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan murid, (3) organisasi
pengalaman belajar itu, urutan pengalaman itu, hubungannya dengan pengalaman
lain, (4) caracara mengevaluasi hasil belajar murid.
Jadi penilaian kurikulum harus dimulai dengan hakikat dan tujuan
kurikulum. Kurikulum adalah alat untuk mengubah kelakuan anak-didik.
Efektivitas kurikulum berwujud dalam perubahan pengetahuan sikap dan
keterampilan murid. Tentu saja, tanpa pendidikan formal, setiap anak akan
menjalani perubahan menuju ke kedewasaan. Akan tetapi tanpa pendidikan
sekolah, perubahan-perubahan tertentu yang diinginkan tidak akan terjadi.
Kurikulum sekolah bukan satu-satunya alat untuk mengubah kelakuan
manusia. Dengan adanya kurikulum juga kita belum dapat meramalkan, apakah
akan tercapai hasil yang diharapkan. Kita belum memiliki suatu teori belajar yang
menjamin akan tercapainya tujuan yang ditentukan dengan kegiatan mengajar-
belajar tertentu. Dengan psikologi sosial juga tidak dapat kita ramalkan kelakuan
dan prestasi seseorang dalam jangka panjang kelak dalam masyarakat. Hasil
angka-angka ujian akhir, misalnya tidak dapat dijadikan patokan untuk
meramalkan masa depan seorang lulusan.
Untuk menilai suatu kurikulurn perlu tujuan itu jelas dirumuskan. Ada yang
menginginkan, agar tujuan itu spesifik, dalam bentuk kelakuan yang dapat dilihat
dan diukur. Bloom memberikan suatu pegangan tentang cara melakukannya.
Dengan rumusan tujuan yang spesifik, penilaian dapat dilakukan dengan lebih
cermat. Namun apakah dengan taksonomi Bloom itu dapat misalnya dihasilkan
manusia Pancasila yang sejati, masih dapat diragukan.
Demikian pula dapat diragukan hasil semua mata pelajaran, apakah dapat
mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam kurikulum itu. Apakah dengan
pelajaran civics atau IPS terbentuk warga negara yang taat kepada undang-undang

dan peraturan negara serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat? Apakah
matematika menghasilkan manusia yang lebih sanggup herpikir logic sistematis,
pelajaran agama membentuk manusia yang lebih taat kepada perintah Tuhan, dan
sebagainya? Sanggupkah kurikulum mencapai tujuan-tujuan menurut apa yang
tercantum dalam kurikulum itu? Ataukah tujuan itu hanya muluk-muluk
tampaknya dan hanya merupakan impian yang tak akan dapat diwujudkan?
Apakah kurikulum hanya mempunyai pengaruh yang terbatas dengan mengakui
bahwa watak atau pribadi seseorang banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar
kurikulum?
Berdasarkan penelitian. Havighurst menemukan, bahwa nilai-nilai atau
norma-norma seseorang kebanyakan diperolehnya dari keluarga, khususnya dari
ibunya. Maka kita dapat bertanya apakah mata pelajaran sejarah atau IPS sanggup
mernupuk norma-norma yang berkenan dengan toleransi, perdamaian dunia,
persaudaraan bangsa-bangsa dan sebagainya.
Penelitian tentang hasil kurikulum atau suatu mata pelajaran sangat sulit.
Hasil kurikulum diperoleh melalui interaksi antara anak dengan kurikulum. Olch
sebab tiap anak mempunyai kepribadian yang berbeda-beda, maka hasilnya pun
akan berlainan pula. Tiap murid memperoleh hal yang berbeda dari kurikulum
yang sama.
Tidak selalu jelas, apakah sebenarnya tujuan kurikulum suatu lembaga
pendidikan. Biasanya tertampau banyak yang diharapkan dan kurikulum itu yang
tidak dapat dipenuhi, suatu yang sebenarnya di luar kesanggupan, atau tidak
termasuk tujuannya yang utama. Misalnya biologi dianggap dapat menimbulkan
keharuan akan kebesaran Tuhan. Namun soal keTuhanan tak dapat dipakai
sebagai alat untuk menilai keberhasilan pelajaran biologi. Soal keTuhanan
sebenarnya lebih merupakan tugas pelajaran agama.
Banyak kesulitan yang dihadapi untuk menilai suatu kurikulum secara
ilmiah. Alat-alat untuk menilainya pun tak tersedia. Maka sering suatu kurikulum
diubah, bukan berdasarkan penilaian atas hasil kurikulum itu, akan tetapi atas
pengaruh berbagai hal lain.

Sering suatu kurikulum sudah diubah sebelum dinilai hasilnya. Kurikulum
baru biasanya dimasukkan sambil mengeritik kurikulum lama, seakan-akan yang
lama itu tidak mengandung kebaikan-kebaikan, yang dengan sendirinya akan turut
terbuang. Maka sebaiknya setiap perubahan kurikulum sekaligus juga merupakan
perbaikan kurikulum secara menyeluruh.
KESULITAN-KESULITAN DALAM PERUBAHAN KURIKULUM
Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaruan.
Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar sekitar 75 tahun
sebelum dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah.
Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif dan guru termasuk
golongan itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara
rutin. Ada kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan.
Mengadakan pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak.
Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan
tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau
wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan
administratif. Guru itu hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.
Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang
mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaruan yang
telah dimulainya itu.
Dalam pembaruan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru
lebih "mudah" daripada menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah
dilaksanakan sebagai percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam
penyebarluasannya, oleh sebab harus melibatkan banyak orang dan mungkin
memerlukan perubahan struktur organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Pembaharuan kurikulum sering pula memerlukan biaya yang lebih banyak
untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan haru, yang tidak selalu dapat dipenuhi.
Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang
pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang baru

sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap pembaharuan kurikulum
adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar mode yang
timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.
PROSEDUR PEMBARUAN KURIKULUM
Pada pokoknya ada dua prosedur utama untuk mengubah kurikulum yaitu
apa yang disebut "administrative approach" yaitu yang direncanakan oleh pihak
atasan untuk kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai
kepada guru-guru, jadi 'from the top down", dari atas ke bawah, atas inisiatif para
administrator.
Yang kedua ialah "grass roots approach", yaitu yang dimulai dari "akar"
"from the bottom up" atau dari bawah, yakni dari pihak guru atau sekolah secara
individual dengan harapan agar meluas ke sekolah-sekolah lain.
Prosedur manakah yang dilaksanakan banyak bergantung pada sistem
pendidikan serta organisasi dan struktur organisasinya. Di negara-negara yang
mempunyai pemerintah pusat yang memegang kekuasaan yang kuat, yang diikuti
biasanya pendekatan administratif. Di kebanyakan negara cara inilah yang
dilakukan, termasuk Indonesia. Ada juga negara, antara lain Inggris yang mem-
berikan wewenang penuh kepada kepala sekolah beserta stafnya untuk
menentukan kurikulum sekolah. Dalam hal ini pembaharuan kurikulum diadakan
atas inisiatif kepala sekolah dan guru-gurunya. Setiap pendekatan mempunyai
kebaikan dan kekurangannya.
Pendekatan administratif banyak menggunakan panitia-panitia untuk
merencanakan kurikulum baru, menyusun buku pelajaran, menyebarluaskannya,
dan sebagainya. Partisipasi diusahakan seluas mungkin agar tercapai konsensus
dan keterlibatan pribadi dan instansi dalam usaha pembaruan kurikulum. Para ahli
pendidikan dan ahli dalam berbagai bidang studi atau disiplin dari perguruan
tinggi diminta bantuannya untuk menghasilkan kurikulurn yang sebaik-baiknya.
Berbagai konsultan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang diperlukan. Peranan
konsultan hukanlah sebagai "agent of change" akan tetapi sebagai manusia
sumber. Lokakarya, kelompok studi banyak dilakukan untuk membicarakan dan
menghasilkan kurikulum barn itu. Penataran merupakan syarat mutlak untuk

memberikan ketrampilan kepada guru dalam pelaksanaannya. Seluruh aparat
administrasi pendidikan dikerahkan untuk mengkomunikasikan pembaruan ini
kepada guru-guru dan segenap lapisan masyarakat. Peraturan-peraturan resmi di
keluarkan untuk menjamin terlaksananya kurikulum baru itu. Jadi dalam
pendekatan administratif ini dapat dikerahkan sejumlah besar ahli dan tenaga
edukatif maupun administratif, dengan cara yang terkoordinasi dan terorganisasi.
Untuk usaha yang luas ini dapat disediakan biaya yang diperlukan, yang biasanya
cukup besar jumlahnya.
Pembaruan kurikulum serupa ini dapat dilakukan serentak dan uniform di
seluruh negara dengan melibatkan seluruh aparat kementerian pendidikan. Usaha
pemerintah ini biasanya tidak menemukan tentangan dari pihak guru yang sudah
biaya menerima dan melaksanakan instruksi dan perintah dari atasannya.
Kerja kelompok sangat esensial dalam pengembangan kurikulum.
Kerjasama dan partisipasi semua unsur diperlukan untuk mencapai produktivitas
dan efektivitas optimal. Kerja kelompok memperluas keterlibatan dan komitmen
dalam kurikulum baru. Kerja kelompok merupakan tempat yang subur untuk
berpikir, melahirkan ide-ide baru, dan membicarakan setiap buah pikiran secara
kritis. Setiap peserta dapat melengkapi buah pikiran peserta lainnya menurut
keahlian masing-masing.
Akan tetapi kerja kelompok dapat juga merupakan penghamburan waktu
jika komponen-komponennya tidak dipilih dengan rasional. Anggota kelompok
hendaknya dipilih berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan kedudukan atau
pangkat.
Kerja kelompok memerlukan kepemimpinan yang paham akan proses
dinamika kelompok dan mampu mendorong kelompok ke arah produktivitas
dengan memadukan segala keahlian dalam kelompok itu.
Walaupun pendekatan administratif mempunyai banyak kebaikan, namun
ditinjau dari segi tertentu mempunyai juga kelemahan. Antara lain dikemukakan
bahwa cara ini otoriter dan kurang demokratis dan merupakan keputusan atasan
yang hams dilaksanakan oleh guru-guru. Guru sendiri kurang dilibatkan dalam

permulaan dan perencanaannya. Karena itu guru-guru kurang berusaha untuk
mendalaminya dan karena kurang memahaminya akan mudah kembali kepada
praktik-praktik yang lama. Maka pembaruan itu menjadi semu belaka dan akan
mengalami kegagalan. Tanpa perubahan pada guru tak akan terjadi perubahan
dalam kurikulum. Pembaharuan yang tidak tumbuh dan berakar dalam pribadi
guru dan hanya melaksanakannya atas dasar kepatuhan akan perintah, akan gagal
dan lenyap jika pengawasan tidak senantiasa diperketat.
Perubahan kurikulum dengan pendekatan "grass roots approach" mulai dari
sekolah secara sendiri-sendiri. Kepala sekolah serta guru menginginkan suatu
perubahan, karena melihat kekurangan-kekurangan dalam kurikulum yang
berlaku. Mereka tertarik oleh ide-ide barn mengenai kurikulum dan bersedia
untuk menerapkannya di sekolah mereka untuk meningkatkan mutu pelajaran.
Semua gum turut berpartisipasi dalam segala aspek pembinaan kurikulum baru.
Dengan demikian mereka terlibat secara pribadi. Mereka berusaha mengatasi
kesulitan sendiri.
Dalam usaha itu mereka dapat meminta bantuan orang tua, tokoh-tokoh di
sekitar, akan tetapi juga dari pihak atasan merupakan bahan, konsultan, bimbingan
dan mungkin juga biaya.
Kurikulum yang mereka susun relevan dengan keadaan riil yang mereka
hadapi, jadi tidak dibuat "di belakang meja tulis" seperti sering terjadi dalam
pendekatan administratif. Mereka bersama menyusun satuan-satuan pelajaran,
kemudian dicobakan sendiri, dinilai untuk diperbaiki.
Di Inggris, usaha ini didukung oleh "Teachers' Centres" yang dihentuk
secara lokal sebagai tempat guru-guru bertemu dan berdiskusi tentang
pembaharuan pendidikan. Ke tempat itu juga datang para pembina pendidikan,
staf pengajar perguruan tinggi, kadangkadang juga pengusaha dan para konsumen
lulusan sekolah.
Inisiatif dan kepemimpinan pembaharuan kurikulum terletak dalam tangan
guru setempat. Tentu saja guru setempat juga mempertimbangkan berbagai faktor

lainnya seperti peraturan yang berlaku, syarat masuk perguruan tinggi, keinginan
pemerintah dan sebagainya.
Pembaruan kurikulum oleh guru untuk kepentingan anak di sekolah dalam
lingkungan tertentu yang mempunyai kebutuhan tersendiri akan lebih mantap.
Guru-guru mendapat tanggungjawab penuh atas mutu pendidikan yang
merupakan dorongan untuk menjadi kreatif, untuk senantiasa memperhatikan
perkembangan mengenai pembinaan kurikulum.
Kelemahan pendekatan ini ialah bahwa usaha-usaha ini bersifat lokal, tidak
mempunyai koordinasi dan organisasi sehingga tidak dapat disebarkan secara
nasional. Pembaruan bergantung kebanyakan kepada kepala sekolah, yang
mungkin otoriter dan kurang terbuka bagi pembaruan, tetapi juga pada
kemampuan dan kesediaan guru. Mungkin juga perubahan hanya mengenai aspek-
aspek tertentu dari kurikulum dan tidak menyeluruh. Perubahan sektoral akhirnya
akan mengalami kesukaran yang tak dapat diatasi oleh sekolah itu sendiri.
Pembaruan kurikulum adalah usaha yang luas dan kompleks yang memerlukan
pemikiran dan partisipasi dari semua pihak. Sekolah tidak mampu untuk
memperoleh bantuan ini dengan tenaga sendiri. Mungkin pula pembaruan
kurikulum menyangkut peraturan-peraturan pemerintah pusat dan daerah yang
hanya dapat diuhah bila usaha pembaruan bersifat nasional.
Jadi kedua pendekatan itu masing-masing mempunyai kebaikan dan
kekurangannya. Kita tak perlu memandangnya sebagai dua cara yang
bertentangan. Dalam pendekatan administratif dapat diusahakan partisipasi guru-
guru, misalnya dengan menurut sertakan mereka dalam mencobakan kurikulum
baru, meminta pendapat dan penilaian mereka sebagai umpan balik serta
memberikan kebebasan untuk menyesuaikannya dengan keadaan setempat.
Perubahan kurikulum pada hakekatnya berarti mengubah manusia dan
lembaga-lembaga. Menentang perubahan adalah sesuatu yang normal. Namun
menggunakan kekuasaan untuk memaksakan perubahan hanya melahirkan
kepatuhan semu akan tetapi menimbulkan penentangan batin yang akhirnya
menggagalkan usaha perubahan itu. Perencanaan perubahan kurikulum harus me-

rupakan dialog antara "atasan" dan "bawahan" dalam suasana sating menghargai
pendapat. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang wajar karena perubahan yang
terus-menerus dalam masyarakat dan kehidupan.
Demikian pula pendekatan perubahan dari bawah dapat dibantu oleh
pemerintah dengan mempublikasikan usaha-usaha pembaharuan di sekolah-
sekolah agar secara umum dapat dikenal dan ditiru, sehingga pembaruan itu lebih
terarah dan menyeluruh.
Beberapa cara praktis.
Berbagai jalan praktis ditempuh untuk mengadakan pembaharuan
kurikulum.
1. Pilot project.
Dalam rangka suatu pilot project seorang guru dapat mengadakan percobaan
dengan suatu kurikulum baru dalam suatu bidang studi tertentu. Karena percobaan
ini terbatas, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaiannya relatif mudah diatur.
Andaikan pilot project ini berhasil, masih banyak kesukaran untuk menyebar-
luaskannya, karena menghadapi situasi yang berbeda dan mendapat hambatan dari
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2. Membina kader.
Dapat dididik sejumlah kader yang menguasai seluk-beluk pembaharuan
kurikulum yang ditempatkan di berbagai sekolah untuk mengadakan
pembaharuan-pembaharuan. Kader ini merupakan agen-agen pembaharuan,
pemimpin-pemimpin yang kompeten dan mereka dapat memberi hasil yang baik.
Kelemahannya ialah bahwa ada kemungkinan mereka dianggap sebagai
orang luar yang diberi bayaran khusus untuk mengadakan, bahkan memaksakan
perubahan tanpa meminta keinginan guru-guru di sekolah itu. Jika timbul reaksi
yang negatif dari pihak guru, maka kader ini akan mengalami banyak kesukaran.
3. Memanfaatkan guru.

Guru dan sekolah yang telah menjalankan kurikulum baru, dapat diminta
bekerja pada sekolah yang belum melakukannya, sehingga dapat disaksikan
bagaimana pelaksanaan pembaharuan itu.
Pelaksanaan ini akan menghadapi kesulitan administratif dalam penempatan
guru di sekolah lain untuk beberapa waktu. Sekolah yang terpencil akan
mengalami kesukaran khusus dalam hal ini.
4. Menyediakan alat pengajaran.
Memberikan laboratorium fisika atau laboratorium bahasa akan mendorong
guru untuk menggunakan metode-metode dan bahan pelajaran baru. Akan tetapi
ada kalanya tenaga pengajar tidak sanggup memanfaatkannya.
5. Memperbarui buku pelajaran.
Buku pelajaran memegang peranan yang penting dalam setiap kurikulum,
juga dalam melancarkan kurikulum yang baru. Buku pelajaran baru dapat
memberikan bahan baru dan juga metode mengajar serta proses belajar yang baru.
Akan tetapi guru-guru sendiri harus mempunyai kesanggupan untuk
menggunakannya.
6. Kerjasama antara sekolah dan universitas.
Universitas yang senantiasa berada di garis depan kemajuan dalam
penelitian dan ilmu pengetahuan dapat membantu sekolah-sekolah untuk
menyesuaikan kurikulum dengan ide-ide baru tentang pendidikan dan
perkembangan baru dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dapat diusahakan
secara teratur pertemuan-pertemuan antara dosen perguruan tinggi dengan guru-
guru bidang studi di SM untuk keperluan itu.
Universitas dapat pula menyediakan ahli dalam berbagai aspek kurikulum
yang bertindak sebagai konsultan, sedangkan sekolah atau guru dapat memberikan
bahan tentang keadaan yang riil mengenai murid, dan sekolah, sehingga
kurikulum tidak merupakan hasil "di belakang meja tulis".
7. Pembaruan kurikulum pendidikan guru.
Kurikulum pendidikan guru tak dapat tiada harus disesuaikan dengan
perubahan kurikulum di SD - SM, bahkan sebenarnya harus mendahuluinya.

Pendidikan guru dalam pembaruan akan lebih efektif daripada penataran. Guru-
guru yang sejak mulanya terdidik dalam pelaksanaan kurikulum baru akan lebih
menjamin keherhasilan pembaruan itu. Namun penataran akan tetap diperlukan,
karena pada suatu ketika setiap kurikulum akan memerlukan pembaruan.
8. Mendemonstrasikan suatu pembaruan.
Suatu kelompok kecil, dengan persetujuan kepala sekolah, mengadakan
pembaruan satu mata pelajaran atau lebih dalam satu dua kelas. Mereka
mencobakan suatu unit pelajaran dan setelah ternyata berhasil,
mendemonstrasikannya kepada guru-guru lain. Harapan ialah agar pembaruan ini
diterima baik dan disebarluaskan. Kelompok kecil itu dapat memperoleh bantuan
dan kepala sekolah atau atasan. Namun, sering timbul tentangan dan guru-guru
yang tidak terlibat dalam usaha ini.
9. Memulai dari satuan pelajaran.
Hilda Taba menganjurkan agar pembaruan dimulai dengan satuan pelajaran
yang dapat diterapkan dalam kelas. Pada permulaan ini merupakan percobaan.
Umpan balik digunakan untuk menyempurnakan satuan pelajaran itu.
Perubahan tak mungkin dilakukan dalam seluruh program sekolah, jadi
harus mulai dengan bagian yang kecil dan terbatas. Dari satuan pelajaran yang
eksperimenal ini kemudian dikembangkan suatu kerangka yang lebih luas,
berdasarkan prinsip-prinsip, dasar-dasar teoretis, cara menentukan bahan,
mengevaluasi, dan sebagainya.
Pelaksanaan satuan pelajaran merupakan pelajaran dan latihan bagi guru.
Lamanya latihan itu bergantung pada bcsarnya perbedaan antara cara lama dan
baru. Perubahan kurikulum mengharuskan guru berubah pula. Demikian pula
hams dikembangkan administrasi yang sesuai dengan perubahan kurikulum itu.
Perubahan kurikulum yang berarti mengubah guru, cara belajar murid,
administrasi sekolah, sikap orang tua, dan sebagainya memakan waktu yang lama,
sering bertahun-tahun.

POLA KURIKULUM
Dalam perubahan kurikulum, demikian pula dalam pembinaan setiap
kurikulum, kita hendaknya bekerja dalam suatu kerangka atau pola yang terdiri
atas komponen-komponen kurikulum itu. Suatu pola yang sederhana adalah
sebagai berikut:
gambar
Bagan 1.
Setiap kurikulum mempunyai keempat komponen utama itu yakni: (1)
tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan itu, (3)
pengetahuan, yaitu isi atau bahan pelajaran yang diperoleh dan digunakan dalam
proses belajar, (4) penilaian atau evaluasi hasil belajar, untuk mengetahui hingga
mana tujuan itu tercapai.
Keempat komponen itu saling berhubungan. Tujuan menentukan
pengalaman belajar apa yang diperlukan dan pengetahuan yang harus dipilih yang
dapat membawa pelajar kepada tujuan yang ditentukan. Bahan pelajaran
ditentukan oleh tujuan. Jadi lebih dahulu harus dirumuskan tujuan, barulah
kemudian bahan pelajaran dan kegiatan belajar, bukan sebaliknya. Acap kali
dalam pembinaan kurikulum lebih dahulu ditentukan bahan pelajaran yang
disusun menurut buku pelajaran tertentu, barulah dirumuskan tujuan sesuai
dengan bahan itu. Tujuan juga menentukan penilaian, apa yang dinilai dan
bagaimana cara menilainya. Menilai sikap tak sama caranya dengan menilai
keterampilan atau pengetahuan. Yang dinilai bukan hanya tujuan, melainkan juga
pengetahuan dan kegiatan atau proses belajar, seperti tampak pada diagram itu.
Jika tujuan tidak tcrcapai, mungkin kesalahannya terletak pada komponen
pengetahuan, proses belajar, atau pada tujuan itu sendiri.

Pola kurikulum yang jelas menunjukkan hubungan antara unsur-unsur
kurikulum. Dengan adanya pola itu dapat dijaga keseimbangan antara unsur-
unsurnya. Experience atau activity curriculum misalnya terlampau mengutamakan
kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang mementingkan unsur pengetahuan,
sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang me-
mentingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Banyak kurikulum kurang menaruh
perhatian kepada tujuan dan penilaian.
Setiap komponen dapat diolah lebih lanjut misalnya: (Perhatikan, bahwa
bagan 2, 3, 4, dan 5 adalah komponen-komponen yang tampak pada bagan 1,
yang diuraikan lebih lanjut).
Dalam bagan 2 kita lihat sumber-sumber tujuan. Di sini pun dapat kita
usahakan adanya keseimbangan, agar kurikulum itu tidak berat sebelah, yakni
child-centered atau pupil-centered, society-centered, atau subject-centered. Ketiga
sumber itu harus dipertimbangkan dalam kurikulum. Demikian pula tujuannya
harus mengandung aspek kognitif, afektif, dan psikomotor untuk memberikan
pendidikan yang harmonis.
gambar
Bagan 2
Selanjutnya komponen pengetahuan dapat diperlengkapi sebagai berikut

gambar
Bagan 3
Pengetahuan atau bahan pelajaran diambil dan berbagai disiplin. Karena
banyaknya ilmu yang telah terkumpul yang tak mungkin diajarkan seluruhnya,
haruslah diadakan seleksi atau pilihan yang akan disajikan dalam bentuk atau
organisasi tertentu, bergantung pada bentuk kurikulum yang dijalankan. Pada saat
sekarang diutamakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip daripada hanya faktor-
faktor. Konsep-konsep inilah yang dianggap memberikan struktur pengetahuan,
the structure of knowledge. Dengan memahami struktur atau konsep dapat
dipahami gejala-gejala spesifik lainnya, dan dapat dilihat hubungan antara fakta-
fakta. Konsep-konsep bersifat abstrak dan karena itu memungkinkan pemahaman
akan sejumlah besar informasi atau fakta yang spesifik. Informasi atau fakta-fakta
yang ,lepas-lepas mudah dilupakan. Lagi pula pengetahuan serupa itu lekas
menjadi usang sedangkan prinsip dan konsep, sekali dipahami,lebih mantap, tidak
lekas out-dated, dan dapat digunakan untuk mentafsirkan informasi baru.
Selanjutnya harus ditentukan scope dan sequence bahan pelajaran, untuk
mencegah 'gaps" dan "overlappings". Agar bahan itu jangan lepas-lepas,
diusahakan adanya integrasi, dengan korelasi, pengajaran unit, broad field, dan
sebagainya. Sekalipun pelajar itu sendiri akan selalu berusaha mengadakan
integrasi dalam pengetahuan yang diperolehnya, pembina kurikulum hendaknya
juga berusaha mengadakan integrasi dalam bahan pelajaran yang disajikan.

gambar
Bagan 4
Pengalaman atau kegiatan belajar adalah usaha yang dijalankan, agar tujuan
yang ditentukan dicapai dengan menggunakan pengetahuan yang sangat
kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagai-bagai faktor seperti metode mengajar,
kesulitan isi pelajaran, taraf kematangan, kesanggupan dan perkembangan anak,
hubungan antara guru dan murid, penggunaan berbagai sumber dan alat pelajaran
di dalam maupun di luar sekolah, perbedaan individual, dan sebagainya. Proses
belajar tak kurang pentingnya daripada hasil belajar. Proses belajar yang baik
memungkinkan tercapainya hasil belajar lebih tinggi.
Evaluasi diperlukan untuk mengadakan perbaikan dalam kurikulum.
Evaluasi bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuan tidak tercapai,
maka perlu dicari di mana letak kekurangannya melalui evaluasi. Penilaian
kurikulum harus berjalan terus. Tak ada kurikulum nasional yang sesuai bagi
semua daerah, dan karena itu perlu disesuaikan dengan keadaan setempat.
Mengumpulkan informasi
sebagai umpan balik
untuk memperbaiki kurikulum
gambar

Bagan 5
ARAH PERKEMBANGAN PEMBARUAN KURIKULUM
Perubahan kurikulum sering merupakan reaksi terhadap kurikulum yang
berlaku, sehingga tampaknya kurikulum baru seakan-akan kembali kepada bentuk
yang lama. Hal serupa ini akan terjadi bila kurikulum baru hanya melihat
kelemahan dan kekurangan kurikulum yang lama ditinjau dari pandangannya
sendiri, tanpa secara obyektif mengakui kebaikan-kebaikannya. Pentingnya inte-
grasi pengetahuan dan pengalaman anak menjadi dasar untuk menjalankan
kurikulum yang dipadukan atau yang diintegrasikan dengan melancarkan
kecaman yang tajam terhadap subject atau dicipline-oriented curriculum. Kritik-
kritik yang dikemukakan biasanya terlampau dilebih-lebihkan, seperti biasa
dilakukan untuk memenangkan perjuangan. Kurikulum yang integrated sangat
memerlukan bahan dari subjects dan bahan pelajaran subject curriculum dapat
diintegrasikan. Jadi pertentangan antara berbagai bentuk kurikulum tak setajam
yang digambarkan oleh para penganutnya.
Dalam pembaruan kurikulum di masa mendatang diharapkan:
- pembinaan kurikulum yang berdasarkan pandangan yang menyeluruh yang
meliputi asas-asas kurikulum yang berfokus pada anak, masyarakat, dan
disiplin.
- menyusun kurikulum yang diselidiki kebaikannya melalui eksperimen,
- menyusun kurikulum yang memperhatikan semua anak, yang normal, maupun
yang berbakat tinggi dan rendah, jadi yang memungkinkan setiap anak maju
menurut kecepatan masing-masing.
- memperbaharui kurikulum secara integral dari SD - SM sampai Perguruan
Tinggi.
- menyusun kurikulum yang lebih mengutamakan inguiry approach daripada
hafalan dan penguasaan sejumlah pengetahuan.
- menyusun kurikulum yang menggairahlcan anak untuk belajar.
- menyusun kurikulum yang tidak membagi-bagi sekolah dalam kelas-kelas,
akan tetapi menghilangkan batas-batas antara kelas.

- menyusun kurikulum yang tidak terikat pada jadwal pelajaran yang ketat, akan
tetapi lebih mendorong murid-murid untuk belajar sendiri berdasarkan tugas-
tugas.
menyusun kurikulum yang mengubah peranan guru dari pengajar selama jam
sekolah menjadi pembimbing dalam proses belajar, peneliti, perencana, dan
pengembang kurikulum.
RANGKUMAN
1. Kurikulum berubah jika satu atau beberapa asas kurikulum berubah.
Perubahan salah satu asas dapat membawa perubahan dalam keseluruhannya.
2. Menilai kurikulum dalam keseluruhannya sangat kompleks karena banyak
faktor yang mempengaruhi anak.
3. Untuk menilai kurikulum harus dinilai komponen-komponennya yaitu (1)
tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) pengalaman dan kegiatan belajar, (4)
organisasi kurikulum, (5) cara-cara evaluasi hasil belajar.
4. Tidak ada satu cara yang pasti untuk menjamin keserasian bahan pelajaran
guna mencapai tujuan tertentu.
5. Tujuan mata pelajaran yang terlampau luas sukar dinilai.
6. Mengubah kurikulum banyak menemui rintangan karena melibatkan banyak
manusia yang terikat oleh tradisi dan juga mempunyai "vested interest".
Dikatakan bahwa perubahaan kurikulum berarti perubahan sosial.
7. Pada umumnya ada dua prosedur utama dalam perubahan kurikulum, yaitu
apa yang disebut ''administrative approach" dan "grass roots approach".
8. Tiap pendekatan mempunyai kebaikan clan kekurangannya. Administrative
approach didukung oleh seluruh aparatur pendidikan, biaya yang cukup,
mengerahkan setiap tenaga ahli yang diperlukan, dan sebagainya. Dalam
"grass roots approach" tidak ada koordinasi, karena bersifat tersendiri-
tersendiri.
9. Beberapa cara yang khusus dalam perubahan kurikulum secara praktis ialah,
(1) pilot project, (2) mernbina kader (3) memanfaatkan guru yang telah
menguasai cara baru, (4) menyelialcan alat pengajaran, (5) memperbarui buku
pelajaran, (6) kerjasama antara sekolah dan universitas, (7) pembaharuan kuri-

kulum pendidikan guru, (8) mendemonstrasikan suatu pembaharuan, (9)
memulai pembaruan dengan satuan pelajaran.
10. Setiap kurikulum mempunyai keempat komponen yang berikut: (1) tujuan, (2)
pengetahuan, (3) kegiatan atau pengalaman belajar, (4) penilaian. Keempat
komponen itu saling berhubungan.
11. Perubahan kurikulum sering merupakan suatu reaksi terhadap kurikulum yang
ada.
12. Dalam pembaharuan kurikulum hendaknya sedapat-dapatnya dimanfaatkan
kebaikan-kebaikan bentuk-bentuk kurikulum lainnya.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Sebutkan alasan-alasan pada umumnya maka suatu kurikulum perlu
diperbarui.
2. Dapatkah Saudara sebut alasan-alasan untuk menggantikan kurikulum 1968
dengan kurikulum SD 1975?
3. Sebutkan berapa bentuk kurikulum yang dapat dipandang sebagai reaksi
terhadap subject curriculum?
4. Adakah titik-titik pertemuan antara berbagai bentuk kurikulum itu?
5. Apakah perbedaan antara perubahan, pembaruan, inovasi, dan perbaikan
kurikulum?
6. Bagaimanakah cara menilai kurikulum? Kesulitan apakah yang dihadapi?
7. Tinjau tujuan-tujuan kurikulum 1975, SD, SMP maupun SMA. Adakah di
antaranya yang saudara anggap terlampau idealistic yang tidak akan tercapai?
8. Tinjau tujuan-tujuan beberapa mata pelajaran. Adakah di antaranya yang
saudara anggap kurang relevan dengan tujuan matapelajaran yang sebenarnya?
9. Kesulitan-kesulitan apakah yang dihadapi dengan perubahan kurikulum?
Kesulitan manakah menurut pendapat saudara yang sulit diatasi? Usaha
apakah saudara sarankan untuk mengatasinya?
10. Berikan contoh-contoh tentang usaha pembaharuan yang lenyap karena
pencetusnya meninggal dunia. Apa sebab demikian halnya?
11. Bandingkan prosedur administratif dan "grass roots approach" dalam
pembaruan kurikulum.
12. Bagaimanakah prosedur pembaruan kurikulum di Indonesia?

13. Bagaimanakah saran saudara agar dapat memanfaatkan kedua macam
pendekatan itu.
14. Apa dimaksud dengan "curriculum change is social change?"
15. Usaha-usaha praktis apakah yang dapat dijalankan untuk memasukkan
pembaruan dalam kurikulum? Usaha manakah yang rasanya paling efektif di
Indonesia, menurut pendapat saudara?
16. Peranan apakah yang dapat dipegang IKIP dalam usaha pembaruan
kurikulum?
17. Menurut pendapat saudara, apakah Universitas mendukung atau menghambat
usaha pembaruan kurikulum? Jelaskan alasan saudara.
18. Susun suatu pola kurikulum yang lengkap dengan gunakan bagan 1 sampai
dengan 5.
19. Jelaskan bahwa semua komponen kurikulum saling berhubungan dan saling
mempengaruhi.
20. Dalam buku ini tercantum arah perkembangan kurikulum. Hingga manakah
saudara dapat menerimanya.

BAB 10 PENUTUP
Dalam bab-bab yang lalu telah kita perbincangkan beberapa asas dalam
pembinaan kurikulum. Kita lihat bahwa kurikulum dalam praktik pengajaran di
sekolah-sekolah sering masih jauh ketinggalan jikalau dibandingkan dengan teori-
teori yang ada mengenai kurikulum. Sebenarnya teori-teori itu telah dilaksanakan
pada sekolah-sekolah modern di luar negeri. Juga di Indonesia perubahan-
perubahan telah dijalankan, walaupun jalannya lambat dan berangsur-angsur
seperti yang lazim terdapat dalam setiap perkembangan kurikulum. Kita tidak
mengharapkan perubahan yang revolusioner, akan tetapi yang berangsur-angsur,
melalui eksperimentasi dengan metode-metode modern pada sekolah-sekolah
percobaan.
Sebenarnya kita tidak perlu menunggu perintah dari atasan. Seperti kita
ketahui perubahan kurikulum mulai dengan perubahan guru itu sendiri. Perbaikan
kurikulum dengan sendirinya akan diperoleh, jikalau guru mempunyai konsepsi
Baru tentang kurikulum. Oleh sebab kurikulum itu sangat banyak aspek-aspeknya,
kita dapat mengadakan perbaikan dalam berbagai aspek, asal saja kita tidak
berpegang dengan gigih kepada tradisi dan rutin yang kolot.
Dalam bab penutup ini kami ingin mengemukakan beherapa aspek
kurikulum, supaya kita dapat mengadakan perbaikan. Kami percaya saudara juga
dapat mencari aspek-aspek lain jikalau saudara telaah buku ini dengan teliti. Inilah
beherapa saran:
1. Kurikulum itu hendaknya disusun sedemikian, sehingga ada pertalian yang
erat antara matapelajaran-matapelajaran. Kalau kita mengajar di SD misalnya,
janganlah kita ikuti setiap buku menurut urutan bab di dalam buku itu. Kalau kita
mengajarkan ilmu bumi misalnya dan di situ dibicarakan hal-hal tentang rawa-
rawa, kita dapat memilih pelajaran tentang malaria dari buku ilmu hayat, atau
tentang buaya, dan untuk ilmu tumbuh-tumbuhan pohon bakau atau nipah.

Di sekolah menengah cara ini lebih sulit diadakan, karena setiap mata
pelajaran diberikan oleh guru yang berlainan. Akan tetapi apabila ada rundingan
antara guru-guru yang mempunyai pengertian akan prinsip korelasi, maka untuk
beberapa pelajaran hal ini dapat dilakukan. ini berarti, bahwa senantiasa harus ada
curriculum planning di sekolah itu.
Sebaiknya dicoba pula memberikan pelajaran "unit" secara okasional
dengan kerja sama antara beberapa orang guru.
2. Kurikulum itu harus "fleksibel", artinya dapat diubah, bila keadaan
memerlukan. Kalau kita akui bahwa anak-anak di suatu kelas setiap tahun
berbeda, dan keadaan masyarakat pun senantiasa berubah, tak dapat tiada
kurikulum itu harus fleksibel, agar kita jangan ketinggalan zaman. Ini tidak
berarti, bahwa setiap sekolah bebas sepenuhnya melakukan sekehendak hatinya.
Dalam tujuan dan garis-garis besarnya, harus ada persamaan dalam kurikulum,
akan tetapi dalam pelaksanaan dan bahannya harus diberi kebebasan untuk
menyesuaikannya dengan kebutuhan anak dan masyarakat.
3. Kurikulum untuk tiap sekolah hendaknya disusun bersama oleh para guru.
Walaupun rencana pelajaran ditetapkan oleh pihak atasan, hendaknya diberi
kebebasan kepada guru-guru untuk menelaahnya, mengubahnya dan
menyesuaikannya dengan keperluan anak kelas itu. Dalam pelajaran ilmu hayat
misalnya, ada binatang-binatang yang tercantum dalam rencana pelajaran, tetapi
tidak terdapat di suatu daerah, sedangkan binatang yang penting di daerah itu
tidak disebutkan. Dalam hal ini guru-gum hendaknya bebas mengubah rencana
pelajaran itu. Wewenang itu akan mendorong para guru untuk lebih banyak
memikirkan soal kurikulum sebagai keseluruhan dan bukan hanya tentang
pelajarannya sendiri. Dengan jalan demikian dapat dicapai kebulatan yang lebih
besar antara berbagai-bagai mata pelajaran seperti di SM.
4. Di sekolah modern anak-anak juga diajak turut serta menentukan apa yang
ingiri mereka pelajari. Tentu saja anak-anak tidak diberikan kebebasan
sepenuhnya, karena mereka kurang atau tidak mengetahui tujuan pendidikan.
Akan tetapi hingga batas-batas tertentu, menurut kemampuan anak-anak
rundingan tentang apa yang akan dipelajari memang dapat dilakukan bukan hanya

dalam "unit" akan tetapi dalam tiap pelajaran. Mengajak anak turut serta dalam
menentukan bahan pelajaran dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang
berikut:
Pertama: Bahan pelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan, minat dan
kesanggupan anak. Dalam rundingan itu anak-anak mengemukakan hal-hal yang
ingin dipelajarinya.
Kedua: Karena pertukaran pikiran maka anak-anak mendapat gambaran
yang lebih jelas tentang masalah yang dihadapi, mereka lebih memahami dan
menginsafi makna pelajaran itu baginya.
Lagi pula rundingan itu mempererat hubungan antara guru dengan murid,
serta antara murid dengan murid. Anak-anak mempelajari prosedur-prosedur
demokratis; kita mengajak anak turut berpikir dan memupuk keberanian untuk
mengeluarkan buah pikirannya.
5. Kurikulum hendaknya sedapat-dapatnya meliputi segala pengalaman anak di
bawah pimpinan sekolah. Menurut pendapat modern, kurikulum tidak hanya
terdiri atas mata pelajaran yang diberikan di dalam kelas, melainkan juga segala
kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur pendidikan seperti kepanduan,
sandiwara, perkumpulan sekolah, macam-macam bentuk rekreasi, hobby, olah-
raga, dan sebagainya. Itu sebabnya kegiatan-kegiatan itu harus dicampuri oleh
guru-guru, malahan memasukkan ke dalam kurikulum, artinya menggunakannya
sebagai alat pendidikan.
6. Kurikulum hendaknya dipusatkan pada masalah-masalah sosial dan pribadi
yang penting artinya bagi anak dalam kehidupannya sehari-hari. Sekolah
berkewajiban membantu anak, agar ia lebih mampu menghadapi situasi-situasi
dalam hidupnya. Sekolah berdiri di tengah-tengah masyarakat dan sudah
selayaknya sekolah mendidik anak-anak mengenal masyarakat dan menunjukkan
baktinya kepada masyarakat itu.
7. Kurikulum harus dipakai untuk mewujudkan cita-cita nasional sesuai dengan
filsafat negara. Sekolah turut bertanggung jawab untuk membentuk masyarakat

Indonesia yang bersatu yang sanggup menempatkan kepentingan negara di atas
kepentingan diri sendiri, golongan atau daerah. Di sekolah anak-anak mendapat
kesempatan untuk bergaul dengan anak-anak lain yang berbeda agama dan suku
bangsanya. Mereka harus mengenal dan menghormati suku bangsa lain serta adat
istiadatnya dan menginsyafi, bahwa suku-suku bangsa lain pun termasuk
bangsanya sendiri. Banyak prasangka hams diatasi untuk menghargai orang-orang
lain yang berbeda dari kita.
Sekolah ialah tempat utama untuk mewujudkan Pancasila sebagai "way of
life" bangsa dan dengan demikian turut serta dalam "nation building", dalam
membentuk manusia Indonesia. Tugas ini jangan hanya dilaksanakan sambil lalu
saja, dalam kesibukan sekolah mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi
ujian.
8. Kurikulum harus memberikan pengalaman kepada anak-anak berupa pokok-
pokok yang luas dan berarti bagi mereka dan karena itu mendorong mereka
melakukan bermacam-macam akti vitasaktivitas seperti berbagai bentuk ekspresi,
mengadakan percobaan-percobaan, penyelidikan, karyawisata, mengarang,
membentuk, bertukang dan sebagainya. Untuk pelajaran serupa ini tidak diadakan
batas-batas antara matapelajaran-matapelajaran.
9. Kurikulum harus diorganisasikan sedemikian, sehingga anakanak
mempelajari teknik belajar, cara kerja yang efektif dan cara-cara menyelidiki dan
memecahkan masalah-masalah.
10. Kurikulum hendaknya membuka kesempatan kepada setiap anak untuk
memperluas minatnya dan mengembangkan bakatnya masing-masing. Mengenai
hal-hal yang harus diketahui oleh semua anak sebagai warga negara dapat
diusahakan semacam uniformitas, akan tetapi di samping itu harus diberikan
kesempatan yang luas bagi perkembangan bakat-bakatnya istimewa. Bakat anak-
anak adalah harta negara yang paling berharga. Mengabaikan kepentingan anak--
anak yang berbakat di sekolah-sekolah kita, yang memberi pendidikan yang
ditujukan kepada kepentingan anak-anak yang sedang, merupakan kerugian bagi

negara. Perbedaan individual ialah suatu prinsip yang masih belum dilaksanakan
dengan serius dalam kurikulum kita.
KURIKUI,UM YANG KOLOT DAN MODERN
Pembinaan kurikulum ialah usaha yang dinamis yang tak boleh berhenti
jikalau kita ingin mengikuti perkembangan zaman. Oleh sebab zaman cepat
berubah, maka setiap kurikulum mengalami bahaya untuk menjadi kolot. Juga
kurikulum kita banyak mengandung unsur-unsur yang tradisional yang tidak
sesuai lagi dengan asas-asas kurikulum modern. Untuk menegaskan dalam
bidang-bidang mana antara lain dapat diadakan perubahan, maka di bawah ini
kami membandingkannya dalam bentuk bagan.
Tabel
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Kalau saudara renungkan kurikulum yang berlaku sekarang di sekolah kita,
tentu akan saudara lihat banyak kekurangan ditinjau dan sudut asas-asas
kurikulum modern. Kekurangan-kekurangan apakah yang menurut saudara
memerlukan perbaikan?.
2. Perbaikan-perbaikan apakah saudara anjurkan mengenai:
a. pendidikan guru.
b. nasib guru.
c. gedung sekolah.
d. peranan orang tua.
e. metode mengajar.
f. hubungan gum dengan murid
3. Apakah modernisasi kurikulum sebaiknya dilakukan serempak di seluruh
negara atau dimulai pada sekolah-sekolah tertentu sebagai percobaan dengan
pimpinan ahli-ahli didik?
4. Apakah ujian merupakan penghalang utama dalam pembaruan pendidikan?

5. Apakah ada kemungkinan dalam vak saudara untuk turut mengajak anak
merundingkan bahan yang akan dipelajari?
6. Nilai-nilai pendidikan apakah yang terkandung bagi murid-murid dalam
menyelenggarakan sandiwara sekolah?
7. Tinjau perbandingan antara sekolah "kolot" dengan yang "modern" dan
berikan pendapat saudara mengenai tiap hal.

DAFTAR BUKU
Alberty, Harold B., dan Elsie J. Alberty, Reorganizing the High- School Curriculum, The Macmillan Company, New York, 1965.
Alcorn, Marvin D. and James M. Linley, Issues in Curriculum Development, World Book Company, New York, 1959.
Beswick, Norman, Resource-based Learning, Heinemann Educational Book Ltd., London, 1977.
Bruner, Jerome The Process of Education, Harvard University Press, 1960.
Burr, James B., Lowry W. Harding and Leland Jacobs, Student Teaching in the Elementary School, Appleton-Century-Crofts, Inc., New York, 1950.
Caswell, Hollis L. and A. Wellesley Foshay, Education in the Elementary School, American Book Company, New York, 1950.
Dewey, John, The Child and the Curriculum and The School and Society, Phoenix Books, The University of Chicago Press, 1963.
Doll, Ronald C., Curriculum Improvement, Allyn and Bacon Inc., Boston, 1974.
Eggleston, John, The Sociology of the School Curriculum, Routledge and Kegan Paul, London, 1977.
Eisner, Elliot W., and Elizabeth Vallance, Conflicting Conceptions of Curriculum, McCutchen Publishing Corporation, The University of Chicago Press, Chicago, 1974.
Cagne, Robert M., and Leslie J. Briggs, Principles of Instructional Design, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York, 1974
, The Conditions of Learning, Holt, Rinehart and Winston, New York,
1970.
Gwynn, J. Minor, Curriculum Principles and Social Trends, The Macmillan Co., New York, 1960.
Hamilton, David, Curriculum Evaluation, Open Books, London, 1976.
Hanna, Lavone A., Gladys L. Potter and Neva Hagaman, Unit Teaching in the Elementary School, Appelton-Century Company,1947.
Hass, Glen, Kimball Wiles and Joseph Bondi, Readings in Curriculum, Allyn and Bacon, Inc., Boston, 1970.

Hilderth, Gertrude, Child Growth Through Education, The Roland press
Company, 1947.
Hilgard, Ernest R., Theories of Learning, Appelton-Century-Crofts, Inc., New
York, 1948.
Kelly, Albert V., The Curriculum, Harper and Row Ltd., New York, 1977.
Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Dasar Pendidikan dan Pengajaran, NV Harian Masa, Jakarta 1945.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1975.
Krug, Edward A., Curriculum Planning, Harper and Brothers, New York, 1957.
, The Secondary School Curriculum, Harper and Row, New York, 1960.
Leonard, J. Paul, Developing the Secondary School Curriculum, Rinehart and Company, New York, 1953.
Lewy, Arieh (ed), Handbook of Curriculum Evaluation, Unesco, Longman, Inc., New York, 1977.
MacDonald, Barry and Rob Walker, Changing the Curriculum, Open Books,
London, 1976.
Michaelis. John U., Social Studies for Children in a Democracy, D. Appleton-Century Company, New York, 1956.
Miel, Alice, Changing the Curriculum: a Sosial Process, D. Appleton-Century Company, New York, 1946.
Morrish, Ivor, Aspects of Curriculum Change, George Allen and Unwin Ltd.,
London, 1976.
Nasroen M., Pancasila Pusaka Lama, Penerbit Endang, Jakarta 1954.
N.E.A. Educational Policies Commission, The Purposes of Education in American Democracy, National Education Association, Washington, D.C., 1938.
Nicholls, Audrey and S. Howard Nichols, Developing a Curriculum, a Practical Guide, George Allen and Unwin Ltd., London, 1972.
Olson, E.G School and Community, Prentice Hall, Inc., New York, 1954.

Otto, Henry J., Principles of Elementary Education, Rinehart and Company, Inc., New York, 1955.
Piaget, Jean, Psychology and Epistemology, Towards a Theory of Knowledge, Penguin University Books, Middlesex, 1970.
Progressive Education Association, Commission on Secondary School Curriculum, Science in General Education, Appelton-Century, Crofts, New York, 1938.
Ragan William, B., Modern Elementary Curriculum, The Dryden