ASas-Asas Hukum Pidana Indo
Transcript of ASas-Asas Hukum Pidana Indo
BAB I
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
1.1 Arti Kata Hukum Pidana
Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana”
berarti hal yang ”dipidanakan” yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan
kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang
tidak sehari-hari dilimpahkan.
1.2 Penggolongan Hukum Pidana
Ternyata ada perbedaan pula antara ”hukum perdata” (privaatrecht) dan
”hukum publik” (publick recht), sedangkan hukum pidasna (strafrech) masuk
golongan hukum publik.
Hukum perdata ini juga dinamakan hukum sipil sebagai terjemahan belaka
dari ”burgerlijk recht” dari bahasa Belanda.
1.3 Pembedaan Hukum Publik dari Hukum Perdata
Dalam dunia ilmu pengetahuan hukum kiranya tiada seorangpun yang
mengatakan bahwa ada perpisahan antara hukum publik dan hukum perdata
sedemikian rupa, sehingga pada segala hubungan-hubungan yang berada di
masyarakat selalu dapat dikatakan, bahwa hubungan-hubungan itu masuk golongan
hukum publik atau golongan hukum perdata. Banyak hubungan hukum itu masuk
1
golongan hukum perdata. Selaku contoh dapat ditunjuk pada hukum perburuhan yang
mengatur hubungan-hukum antara buruh dan majikan, dan pada hukum ekonomi
pada umumnya.
Ini memang selayaknya. Pada pokoknya semua hukum mengatur tingkah laku
dalam masyarakat untuk keselamatan masyarakat, sedangkan masyarakat itu terdiri
dari manusia. Maka kepentingan masyarakatlah yang selalu menjadi faktor dalam
segala peraturan hukum.
Hanya saja dalam suatu hubungan hukum tertentu keadaannya adalah
sedemikian rupa, bahwa titik berat berada pada kepentingan satu orang menusia,
sedasngkan pada hubungan hukum lain yang keadaannya manusia yang merupakan
suatu kumpulan, yang kepentingannya nampak lain daripada kepentingan suatu orang
manusia yang tertentu.
Sudah barang tentu dalam keadaan yang tersebut pertama itu, lebih terserah
kepada kemauan seorang manusia yang tertentu itu untuk menetapkan, apakah suatu
hak dalam hubunga-hubungan harus dilaksanakan atau tidak. Sedangkan dalam
keadaan yang tersebut kedua tadi, harus dinyatakan kepada kumpulan orang-orang
manusia atau kepada wakilnya tentang ya atau tidaknya dilaksanakan hak-hak yang
ada pada hubungan-hukum itu. Disinilah letak perbedaan yang nampak antara yang
sejak dahulu kala dinamakan hukum publik dan hukum perdata.
2
1.4 Ujud Hukum Pidana
Hukum publik terbagi ke dalam tiga golongan hukum, yaitu ke-1 hukum tata
negara, ke-2 hukum tata usaha negara, dan ke-3 hukum pidana, sehingga dengan
hukum perdata ada empat golongan hukum.
Hukum pidana yang tergambar ini dapat terwujud tiga macam, yaitu ke-1
secara dikumpulkan dalam satu Kitab Kodifikasi (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau Wetboek van Strafrecth, atau code penal atau straf gezetsbuch), ke-2
secara tesebar dalam pelbagai undang-undang tentang hal-hal tertentu, yang dalam
bagian penghabisan memuat ancaman hukuman pidanan atas pelanggaran beberapa
pasl dari undang-undang itu, dan ke-3 secara ancaman hukuman pidana ”kosong”
(blanco strafbepaling) yaitu penentuan hukuman pidana pelanggaran suatu jenis
larangan yang mungkin sudah ada atau yang masih akan diadakan dalam undang-
undang lain.
1.5 Isi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab ini terdiri dari tiga buku. Buku I memuat ”ketentuan-ketentuan umum”
(Algmene Leerstukken). Yaitu ketentuan-ketentuan untuk semua tindakan-tindakan
(perbuatna yang pembuatnya dapat dikenakan hukuman pidana, strafbare feiten), baik
yang disebutkan dalam buku II dan buku III maupun yang disebutkan dalam undang-
undang lain.
3
1.6 Hukum Adat Kebiasaan (Gewoonterecht)
Maka tidaklah ada hukum adat-kebiasaan atau gewoonteerecht dalam
rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut pasal 1 KUHP, tetapi sekitarnya di
desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan
yang berdasar atas adat-kebiasaan dan yang secara kongkret mungkin sekali
berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.
Menurut Prof. Mr. W.F.C. Van Hattum dalam bukunya Hand en leerboek van
het Nederlandsche Strafrech jilid I halaman 46/47, sekarang merata diinsafi
(algemene ingezien) di Benua Eropa, di mana seperti di Indonesia dianut sistem
hukum tertulis bagi hukum pidana, ada pengaruh penting dari adat-kebiasaan dalam
melaksanakan hukum pidana.
Di Inggris dan Amerika Serikat adat kebiasaan ini secara resmi merupakan
sumber bagain besar dari hukum, termasuk hukum pidana dengan berlakunya apa
yang dinamakan ”Comon Law” yan terutama tercermin dalam putusan-putusan
pengadilan yang harus diperhatikan oleh hakim-hakim dalam memutuskan perkara-
perakara baru kemudian. Hukum semacam ini juga dinamakan ”case-law” yaitu
hukum yang perumusannnya didasarkan pada apa yang nampak dalam peristiwa-
peristiwa tertentu.
4
BAB II
SIFAT HUKUM PIDANA
2.1 Dua Unsur Pokok Hukum Pidana
Diatas sudah disingguh adanya dua unsur pokok dari hukum pidana, yaitu ke-
1 adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan (kaidah), ke-2 adanya sanksi
(sanctie) atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukuman pidana.
Norma-norma ini ada di salah satu dari bidang-bidang hukum lain, yaitu
bidang hukum tata negara (staatsrecht), bidang hukum tata usaha negara
(administratief recht) dan bidang hukum perdata (privaatrecht atau bugerlijjk recht).
2.2 Hubungan Dengan Hukum Publik
Seyogyanya pendapat dari para sarjana hukum itu merata, bahwa hukum
pidana termasuk ke dalam golongan hukum publik.
Juga menurut ukuran yang dipergunakan, hukukm pidana dapat dinyatakan
merupakan hukum publik. Ukuran seperti di atas telah saya terangkan, yaitu bahwa
hubungan hukum yang teratur dalam hukum pidana, adalah sedemikian rupa, bahwa
titik berat berada tidak pada kepentingan seorang individu, melainkan pada
kepentingan orang-orang banyak, yang juga dapat dinamakan ”kepentingan umum”.
Hanya sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat
diajukan dimuka pengadilan atas pengaduan (klacht) dari oknum yang diganggu
5
kepentingannya, seperti misalnya tindak pidana ”penghinaan” atau ”perzinaan” dan
sebagainya.
2.3 Sifat Perbuatan Melanggar Hukum
Hukum adalah serangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-
orang sebagai anggota-anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari
hukum ialah mengadakan keselamatna, kebahagiaan, dan tata tertib di dalam
masyarakat.
2.4 Kapan Harus Ada Sanksi Pidana
Dari uraian di atas sudah dapat disimpulkan, bahwa norma-norma atau
kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus
pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi. Begitu pula norma-norma
dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata.
Hanya apabila administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai
tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana
sebagai senjata pamungkas (terakhir) atau ultimatum remedium.
2.5 Tujuan Hukum Pidana
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa menurut hemat saya, tujuan dari
hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadailan.
Di antara para sarjana hukum diutarkan, bahwa tujuan hukum pidana ialah :
6
a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara
menakut-nakuti orang banyak (generate preventive) maupun secara menakut-
nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar di kemudian hari
tidak melakukan kejahatan lagi
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka
melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnnya, sehingga
bermanfaat bagi masyarakat.
7
BAB III
TEORI-TEORI HUKUM PIDANA
(Strafrecht-theorien)
3.1 Teori Absolut atau Mutlak
Menurut teori-teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,
tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seorang mendapat pidana oleh karena telah
melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa pun yang mungkin timbul dari
dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan apa dengan demikian masyarakat mungkin
akan dirugikan.
3.4 Teori-Teori Relatif atau Nisbi
Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan
suatu pidana. Untuk ini tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus
dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si
penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga pada masa
depan.
Maka harus ada tujuan lebih dari daripada hanya menjatuhkan pidana saja.
Dengan demikian teori-teori ini juga dinamakan teori-teori ”tujuan”. Tujuan ini
pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudiah hari, kejahatan yang
telah dilakukan itu, tidak terulang lagi.
8
3.5 Konsekuensi dari Teori-Teori Relatif
Kalau menurut teori ”relatif” atau teori-teori ”tujuan” ini menjatuhkannya
pidana digantungkan kepada kemanfaatannya bagi masyarakat, maka ada
konsekuensinya sebagai berikut :
Untuk mencapai tujuan ”prevensi” atau ”memperbaiki si penjahat” tidak
hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif
dianggap baik, bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana.
9
BAB IV
UJUD PERUNDANG-UNDANGAN DALAM HUKUM PIDANA
4.1 Kejahatan (Misdrijf) dan Pelanggaran (Overtreding)
Penggolongan tindak-tindak pidana yang terang dan tegas dengan beberapa
konsekuensi diadakan dalam perundang-undangan di Indonesia, ialah penggolongan
kejahatan dan pelanggaran, atau dalam bahasa Belanda misdrijven en overtredingen.
Penggolongan ini pertama-tama terlihat dalam kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau KUHP yang terdiri dari tiga buku. Buk I memuat penentuan-penentuan
umum. Buku II memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk golongan
kejahatan atau misdjriven. Buku III memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang
masuk golongan ”pelanggaran” atau overtredingen.
Kesimpulan ini dapat saya setujui dan memang sesuai denagn kenyataan,
bahwa ada beberapa prinsip termuat dalam buku I KUHP yang hanya berlaku bagi
”kejahatan” dan tidak bagi ”pelanggaran” atau berlaku secara berlainan, seperti
misalnya :
1. Perbuatan percobaan (poging) dan membantu untuk pelanggaran pada umumnya
tidak merupakan tindak pidana
2. Tenggang waktu untuk daluwarsa (verjaring) bagi ”kejahatan” adalah lebih
panjang dari pada bagi ”pelanggaran”
3. Kemungkinan keharusan adanya pengaduan (klacht) untuk penuntutan di muka
hakim, hanya ada terhadap beberapa ”kejahatan” tidak ada terhadap pelanggaran
10
4. Peraturan tentang gabungan tindak pidana (samenloop) adalah berlainan bagi
kejahatan dan pelanggaran
Dengan demikian penggolongan kejahatan terhadap pelanggaran ini penting
dengan adanya konsekuensi tersebut diatas. Maka dalam tiap ketentuan hukum pidana
dalam undang-undang di luar KUHP harus ditentukan, apa tindak pidana yang
bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran.
Kesimpulan ini dapat saya setujui dan memang sesuai dengan kenyataan,
bahwa ada beberapa prinsip termuat dalam Buku I KUHP yang hanya berlaku bagi
”kejahatan” dan tidak bagi ”pelanggaran” atau berlaku secara berlainan, seperti
misalnya :
a. Perbuatan percobaan (poging) dan membantu untuk pelanggaran pada umumnya
tidak merupakan tindak pidana
b. Tenggang waktu untuk daluwarsa (verjaring) bagi kejahatan adalah lebih panjang
dari pada bagi pelanggaran
c. Kemungkinan keharusan adanya pengaduan (klacht) untuk penuntutan di muka
hakim, hanya ada terhadap beberapa “kejahatan” tidak ada terhadap pelanggaran
d. Peraturan tentang gabungan tindak pidana adalah berlainan bagi kejahatan dan
pelanggaran
11
4.4 Kejahatan Ringan (Lichte Misdrjiven)
Dalam KUHP ada beberapa kejahatan mengenai harta benda, apabila kerugian
yang diakibatkan tidak melebihi dua puluh rupiah, dinamakan “kejahatan ringan” dan
hanya diancam dengan hukuman seberat-beratnya hukuman penjara selama tiga
bulan.
12
BAB V
LUAS-RUANG HUKUM PIDANA
Penentuan syarat perundang-undangan ini ada hubungan dengan kenyataan,
bahwa sanksi pidana pada sifatnya lebih keras dari pada sanksi perdata atau sanksi
administrasi, dan merupakan ultimatum remedium atau senjata pamungkas (terakhir)
untuk menegakkan tata hukum.
5.1 Kapasitas Hukum (Rechts-Zekerheid)
Biasanya larangan berlaku surut bagi hukum pidana dikatakan menegakkan
kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya harus tahu, bahwa perbuatan yang
ia lakukan merupakan tindak pidana atau tidak.
Bagi saya larangan berlaku surat ini memenuhi rasa keadilan, seusai dengan
sikap saya pada umumnya terhadap hukum.
5.2 Prinsip Teritorialitas
Prinsip ini menganggap hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah
Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. Ini ditegaskan dalam
pasal 2 KUHAP yang menyatakan, bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah
Indonesia.
13
5.3 Prinsip Teritorialitas
Prinsip ini menganggap hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah
Republik Indonesia, siapa pun yang melakukan tindak pidana. Ini ditegaskan dalam
pasal 2 KUHP yang menyatakan, bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah
negara di Indonesia.
14
BAB VI
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
6.1 Subjek Tindak Pidana
Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah
seorang manusia sebagai oknum.
Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam
KUHP, yang memaparkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu,
juga terlihat pada ujud hukuman / pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP,
yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.
6.2 Perbuatan Dari Tindak Pidana
Ujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat pada perumusan tindak
pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana.
Sebaliknya perumusan secara ”material” memuat penyebutan suatu akibat
yang disebabkan oleh perbuatannya, seperti misalnya tindak pidana, membunuh yang
dalam pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai mengakibatkan matinya orang lain.
6.3 Kesalahan Pelaku Tindak Pidana
Maka harus ada unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana. Kesalahan ini
berupa dua macam, yaitu kesatu : kesengajaan (opzet), dan kedua : kurang hati-hati
(culpa).
15
6.4 Kesalahan Pelaku Tindak Pidana
Sekarang, tiba waktunya unutk membahas suatu unsur yang menghubungkan
si pelaku dengan ketiga unsur tadi, yaitu perbuatan, akibat, dan sifat melanggar
hukum atau wederrechtelijkheid tadi.
6.5 Kesengajaan (opzet)
Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu ke-1;
perbuatan yang dilarang, ke-2 akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan
itu, dan ke-3 bahwa perbuatan itu melanggar hukum.
16
BAB VII
ALASAN-ALASAN MENGHILANGKAN SIFAT TINDAK PIDANA
(Straf-Uitsluiting-Gronden)
7.1 Dua Macam Alasan Menghilangkan Sifat Tindak Pidana
Satu dari dua macam alasan menghilangkan sifat tindak pidana adalah
menghilangkan sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid atau
onrechtmatigheid ini, yaitu :
a. Keperluan membela diri atau noodweer (pasal 49 ayat 1 KUHAP);
b. Adanya suatu peraturan undang-undang yang pelaksanaannya justru berupa
perbuatan yang bersangkutan (pasal 50 : uitvoering van een wettelijk voorschrift)
c. Apabila perbuatan yang bersangkutan itu dilakukan untuk melaksanakan suatu
perintah jabatan, yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (pasal 51
ayat 1 : uitvoering van bevoegdelijk gegevan ambtelijk bevel).
Macam kedua dari alasan-alasan menghilangan sifat tindak pidana adalah demikian,
bahwa semua unsur pidana, termasuk unsur sifat melanggar hukum atau
wederrechtelijkheid, tetap ada, tetapi ada hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku
toh tidak dapat dipertanggungjawabkan.
17
Fait d’Excuse atau Hal Memaafkan Si Pelaku
a. Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menyatakan, tidak dapat dihukum seorang yang
perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada orang itu berdasar
kurang bertumbuhnya atau ada gangguan penyakit pada daya berpikir seorang
pelaku itu.
b. Pasal 45 KUHP yang menyatakan, tidak dapat dihukum seorang yang untuk
melakukan perbuatan yang bersangkutan, didorong oleh suatu paksaan yang tidak
dapat dicegah
c. Pasal 49 ayat 2 KUHP yang menyatakan, tidak dapat dihukum seorang yang
melanggar batas membela diri disebabkan oleh suatu perasaan yang goyang
sebagai akibat serangan terhadap dirinya.
d. Pasal 51 ayat 2 KUHP yang menyatakan, bahwa suatu perintah jabatan yang tidak
sah tidak menghilangkan sifat tindak pidana, kecuali apabila si pelaku sebagai
orang bawahan secara jujur mengira, bahwa si pemberi perintah berwenang untuk
itu, dan lagi perbuatan yang bersangkutan berada dalam lingkungan pekerjaan
seorang bawahan tadi.
7.2 Hal Memaksa (Overmacht)
Mirip dengan hal keperluan membela diri dan hal pelampauan batas keperluan
membela diri, adalah hal ”keadaan memaksa” atau overmacht dari pasal 45 KUHAP
yang berbunyi ”tidaklah dihukum seorang yang melakukan perbuatan, yang didorong
oleh hal memaksa.
18
7.3 Paksa Mutlak (Absoluti Dwang, Vis Absoluta)
Paksaan dapat bersifat mutlak (absolut) yaitu suatu paksaan yang tidak
mungkin dapat ditentang. Misalnya seorang A yang sepuluh kali lebih kuat dari pada
B, memegang tangan si B dan memukulkan tangan si B kepada si C. Ini adalah
paksan mutlak yang bersifat fisik.
7.4 Paksaan Tak Mutlak atau Relatif (Vis Compulsiva)
Ini selalu bersifat psikis, bukan fisik, dan inilah yang dimaksudkan oleh pasal
48 KUHP dengan hal memaksa atau overmacht.
19
BAB VIII
PERCOBAAN
(Poging)
8.1 Pengertian Dalam Hukum Pidana
Pasal 53 KUHP berbunyi sebagai berikut :
1. Percobaan akan melakukan suatu kejahatan, dikenakan hukuman pidana, apabila
kehendak si pelaku sudah nampak dengan permulaan pelaksanaan, dan
pelaksanaan ini tidak selesai hanya sebagai akibat dari hal-hal yang tidak
tergantung dari kemauan si pelaku.
2. Maksimum hukuman-hukuman pokok (hoofdstraffen) pada kejahatan yang
bersangkutan dikurangi dengan sepertiga.
3. Apabila suatu kejahatan dapat dikenakan hukuman mati atau hukuman penjara
seumur hidup, maka maksimum hukuman menjadi hukuman penjara selama-
lamanya lima belas tahun
4. Hukuman-hukuman tambahan (bijkomende straffen) bagi ”percobaan kejahatan”
adalah sama dengan kejahatan yang selesai diperbuat.
20
8.2 Alasan Mempidana Percobaan
Teori-teori subjektif, yang mendasarkan semua tindak pidana pada tabiat si
pelaku, menganggap tabiat si pelaku ini sudah menjelma dalam percobaan melakukan
tindak pidana, maka pantaslah percobaan ini sudah dapat dikenakan hukuman pidana.
Teori-teori objektif yang mendasarkan semua tindak pidana pada sifat
membahayakan bagi kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, menganggap suatu
percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana sudah mulai membahayakan
kepentingan-kepentingan itu, maka pantaslah percobaan dapat dikenakan hukuman
pidana.
8.3 Kehendak Melakukan Tindak Pidana
Diatas telah dikemukakan, bahwa pasal 53 KUHP menentukan syarat-syarat
untuk mengenakan hukuman pidana pada percobaan tindak pidana. Syarat pertama
ialah kehendak (voornemen) melakukan tindak pidana.
21
BAB IX
PESERTAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(Deelneming)
9.1 Rumusan Perundang-Undangan
Rumusan ini terlihat pada pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berbunyi :
Pasal 55
1. Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum
2. Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke 2) hanya perbuatan-perbuatan
yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibat-akibatnya dapat
diperhatikan.
Pasal 56
Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum :
a. Yang melakukan perbuatan
b. Yang menyuruh melakukan perbuatan
c. Yang turut melakukan perbuatan
d. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan
e. Yang membantu perbuatan
22
9.2 Menyuruh Melakukan Perbuatan (Doen Plegen)
Ujud pesertaan (deelneming) yang pertama-tama disebutkan oleh pasal 55
ialah : menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen). Ini terjadi apabila seorang lain
menyuruh si pelaku melakukan perbuatan, yang biasanya merupakan tindak pidana,
tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku itu tidak dapat dikenakan hukuman pidana.
Jadi si pelaku (dader) itu seolah-olah menjadi alat belaka (instrument) yang
dikendalikan oleh si penyuruh. Si pelaku semacam ini dalam ilmu pengetahuan
hukum dinamakan manus ministra (tangan yang dikuasai), dan si penyuruh
dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).
9.3 Menyuruh Melakukan diluar adanya alasan mengilangkan sifat tindak
pidana
Adanya kalanya seorang pelaku disuruh oleh orang lain tanpa paksaan dan
tanpa perintah jabatan, untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak merupakan
tindak pidana, oleh karena pada si pelaku tidak ada salah suatu unsur dari tindak
pidana tertentu, sedangkan unsur itu ada pada si penyuruh.
9.4 Membantu Melakukan Tindak Pidana (Medeplichtigheid)
Kalau istilkah ”turu melakukan” oleh KUHP tidak dijelaskan artinya,
sebaiknya istilah ”membantu melakukan” dijelaskan secara tegas dalam pasal 56
KUHP. Di situ diadakan dua golongan ”membantu melakukan” yaitu kesatu
perbuatan bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan, dan kedua perbuatan bantuan
23
sebelum pelaku utama bertindak, dan bantuan itu dilakukan dengan cara memberi
kesempatan, sarana, atau keterangan.
9.5 Membujuk Melakukan Tindak Pidana (Uitlokking)
Di atas sudah pernah saya katakan, bahwa tidak semua pembujukan untuk
melakukan tindak pidana dikenakan hukuman, melainkan hanya pembujukan dnegna
cara-cara yang disebutkan dalam pasal 55 ayat 1 nomor 2. Mula-mula yang
disebutkan hanya pemberian kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat,
paksaan, ancaman, atau penipuan. Kemudian cara-cara ini ditambah dengan memberi
kesempatan, sarana, atau keterangan.
9.6 Perbedaan dengan Menyuruh Melakukan (Doen Plegen)
Diatas, dalam bab mengenai menyuruh melakukan, sudah saya utarakan,
bahwa perbedaan antara pembujukan dan penyuruhan ini ialah, bahwa orang yang
dibujuk dapat dikenakan hukuman, sedangkan orang yang disuruh, justru tidak.
Tegasnya, apabila dalam hal pembujukan, orang yang dibujuk, oleh suatu
sebab tertentu, pada akhirnya tidak dapat dikenakan hukuman, maka si pembujuk
hanya dapat dihukum apabila dapat dinamakan ”penyuruh”.
Menurut Hazewinkel-Suringa (halaman 257) ada berlainan pendapat dalam
hal seorang pembujuk mengira, bahwa orang yang dibujuk itu dapat dikenakan
hukuman tetapi sebenarnya tidak.
24
9.7 Kesengajaan Dalam Membujuk
Dalam pasal 55 ayat 1 No. 2 adalah terang, bahwa pembujukan ini harus
dilakukan dengan sengaja, tetapi ini tidak berarti, bahwa hal kesengajaaan ini harus
meliputi semua bagian dari tindak pidana. Maka mungkinlah orang dengan sengaja
membujuk suatu tindak pidana yang berunsur culpa.
25
BAB X
GABUNGAN TINDAK-TINDAK PIDANA
(Samenloop van Strafbare Feiten)
Ada tiga macam gabungan tindak-tindak pidana, yaitu :
a. Seorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana, yang dalam
ilmu pengetahuan hukum dinamakan ”gabungan berupa satu perbuatan” diatur
dalam pasal 63 KUHP
b. Seorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak
pidana, tetapi dengan adanya hubungan antara satu sama yang lain, dianggap
sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan, diatur dalam pasal 64 KUHP
c. Seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan satu sama lain,
dan masing-masing merupakan tindak pidana; hal tersebut dalam ilmu
pengetahuan hukum dinamakan gabungan beberapa perbuatan diatur dalam pasal
65 dan 66 KUHP
Dari ketiga macam gabungan ini, yang benar-benar merupakan gabungan ialah
yang tersebut yaitu beberapa perbuatan digabungkan menjadi satu, maka juga
dinamakan concursus realis, sedasngkan gabungan sub a dinamakan concurcus idealis
oleh karena sebenarnya tidak ada hal-hal yang digabungkan, melainkan ada satu
perbuatan yang memencarkan sayapnya kepada beberapa pasal ketentuan hukum
pidana.
26
10.1 Gabungan Beberapa Perbuatan (Meerdaadcshe Samenloop)
Misalnya ada seorang pada suatu hari melakukan pencurian, beberapa hari
atau beberapa bulan kemudian melakukan penipuan, beberapa bulan lagi melakukan
pembunuhan.
Kalau baru kemudian lagi orang itu ditangkap dan diajukan di muka
pengadilan, maka mungkin sudah nampak, bahwa orang itu melakukan tiga tindak
pidana berturut-turut.
Dalam hal ini pasal 65 KUHP berlaku oleh karena ada beberapa perbuatan
yang masing-masing berdiri sendiri dan masing-masing merupakan tindak pidana
”kejahatan” (bukan ”pelanggaran”), dan lagi hukuman pokok yang diancamkan pada
ketiga macam tindak pidana itu sama jenisnya yaitu hukuman penjara yang
maksimumnya mengenai pencurian lima tahun, mengenai penipuan empat tahun dan
mengenai pembunuhan lima belas tahun (pasal 338 KUHP).
Menurut pasal 65 ayat 1 oleh pengadilan harus dijatuhkan satu hukuman saja,
tidak tiga, dan ayat 2 menentukan, bahwa maksimumnya tidak boleh melebihi
maksimum yang terberat dengan ditambah dengan sepertiga, jadi kini tidak boleh
lebih dari satu dan sepertiga kali 15 tahun menjadi 20 tahun.
27
10.2 Hukuman-Hukuman Tambahan
Mengenai hukuman-hukuman tambahan pasal 68 menentukan sebagai berikut :
Ke-1 : pencabutan hak-hak yang sama dijadikan satu hukuman, yang lamanya
melebihi pendeknya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun; apabila sebagai
hukuman pokok hanya dijatuhkan hukuman denda, maka lamanya pencabutan hak itu
harus minimum dua tahun dan maksimum lima tahun.
Ke-2 : pencabutan pelbagai hak harus dijatuhkan untuk maing-masing tindak
pidana tanpa dikurangi;
Ke-3 : perampasan barang-barang tertentu, seperti halnya dengan hukuman
kurungan sebagai gantinya hukuman perampasan, harus dijatuhkan untuk tiap-tiap
tindak pidana masing-masing tanpa dikurangi.
10.3 Gabungan Kejahatan dan Pelanggaran
Menurut pasal 70 ayat 1 KUHP, apabila beberapa tindak pidana tergabung
mengenai pelanggaran atau kejahatan bersama-sama pelanggaran, maka untuk tiap
tindak pidana pelanggaran dijatuhkan hukuman tanpa pengurangan.
Ayat 2 dari pasal ini menentukan, bahwa mengenai pelanggaran jumlah
lamanya hukuman kurungan sebagai hukuman pokok dan sebagai hukuman pengganti
tidak boleh melebihi satu tahun empat bulan, dan jumlah lamanya kurungan sebagai
hukuman pengganti tidak boleh lebih dari delapan bulan.
28
10.4 Kejahatan Ringan (Lichte Misdrijen)
Pada tahun 1934 ditambahkan pasal 70 bis yang menentukan, bahwa dalam
melaksanakan pasal-pasal 65, 66 dan 70 tadi harus dianggap sebagai pelanggaran
beberapa kejahatan ringan, yaitu yang termuat dalam pasal 302 tentang penganiayaan
ringan terhadap hewan, pasal 352 tentang penganiayaan rinigan terhadap manusia,
pasal 364 tentang pencurian ringan, paal 373 tentang penggelapan ringan, pasal 379
tentang penipuan ringan, dan paal 482 mengenai perusakan barang secara ringan,
dengan pengertian bahwa sepanjang dijatuhkan hukuman penjara, jumlah lamanya
tidak boleh melebihi delapan bulan.
10.5 Perbedaan Dari Recidive
Nada peraturan tersebut tentang gabungan beberapa perbuatan adalah agak
mengurangi hukuman. Sebaiknya, apabila seorang sudah dijatuhi hukuman perihal
suatu kejahatan, dan kemudian, setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu
kejahatan lagi, maka kini ada apa yang dinamakan recidive, yang berakibat, bahwa
hukuman yang akan dijatuhkan kemudian malahan diperberat, yaitu dapat melebihi
hukuman maksimum.
Perbedaan ini dapat dimengerti oleh karena seorang recidivist dapat dikatakan
tidak kapok meskipun sudah dijatuhi hukuman, maka ternyata ancaman maksimum
hukuman kurang berat baginya.
29
10.6 Gabungan Berupa Satu Perbuatan (Eendaadsche Samenloop)
Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yng menentukan apabila suatu perbuatan
meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana, maka hanya satu pasal
dilakukan; jika hukumannya berlainan, paal yang memuat hukuman yang terberat.
Ayat 2 mengemukakan suatu kekecualiaan, yaitu apabila pasal dengan
hukuman lebih ringan merupakan suatu ketentuan hukum khusus, sedangkan pasal
dengan hukuman lebih berat merupakan suatu ketentuan umum. Dalam hal ini, selalu
ketentuan khusus yang dilakukan. Ini menurut ajaran lex specialis derogat legi
generali.
10.7 Arti ”Satu Perbuatan”
Dalam hal ini terjadi suatu perubahan pendapat bagi Hoge Raad Belanda yang
sangat penting, yaitu sejak tahun 1932.
Dulu ”kata perbuatan” dari pasal 63 diartikan sebagai suatu kejadian, yang
terlepas dari perumusan suatu pasal ketentuan hukum pidana. Misalnya :
a. Seorang dengan tembakan satu kali mengakibatkan matinya dua orang sekaligus
b. Seorang naik sepeda di jalan raya tanpa bel dan tanpa tanda telah membayar pajak
c. Seorang sopir mengendarai mobil di jalan raya tanpa surat tanda nomor kendaraan
dari mobilnya, membahayakan lalu lintas secara jalan amat cepat, dan menabrak
orang lain yang sebagai akibatnya kemudian meninggal dunia.
30
BAB XI
PENUNDAAN HAK MENUNTUT HUKUMAN
11.1 Absolut Klachtdelict (Mutlak)
Istilah ini dipakai untuk kejahatan-kejahatan yang selalu penuntutannya
tertunda sampai adanya suatu pengaduan, seperti misalnya berzinah, yaitu bersetubuh
dengan orang lain dari pada suami atau istirinya (pasal 284), melarikan orang
perempuan (pasal 332, schaking), membuka rahasia (pasal 322), mengancam dengan
penghinaan atau dengan memuka rahasia agar mendapat barang (pasal 369,
afdreiging), macam-macam penghinaan (pasal 310 dan seterusnya), kecuali
penghinaan terhadap seorang penguasa selama atau tentang melakukan jabatan.
11.2 Relatief Klachtdelict (Nisbi)
Istilah ini menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang penuntutannya hanya
digantungkan kepada suatu pengaduan apabila antara si pelaku dan si korban ada
hubungan kekeluargaan, seperti misalnya pasal 367 ayat 2 KUHP, tentang pencurian
yang menentukan, bahwa penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan seorang,
terhadap seorang penguasa selama atau tentang melakukan jabatan.
31
11.3 Relatief Klachtdelict (Nisbi)
Istilah ini menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang penuntutannya hanya
digantungkan kepada suatu pengaduan apabila antara si pelaku dan si korban ada
hubungan kekeluargaan, seperti misalnya pasal 367 ayat 2 KUHP, tentang pencurian
yang menentukan, bahwa penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan seorang,
terhadap siapa hukum pidana dilakukan (si korban) apabila si pelaku (dader) atau si
pembantu (medeplichtige) adalah suami atau istirinya, yang dibebaskandari
kewajiban tinggal dirumah, atau sekeluarga sedarah atau keluarga semendo, baik
dalam keturunan yang lurus maupun di samping sampai derajat ke dua (kakak, adik,
atau ipar).
11.4 Mulai Pemeriksaan Penyidikan
Oleh karena yang ditunda sampai adanya pengaduan adalah penuntutan
(vervolging), maka timbul pertanyaan, apakah instansi kepolisian atau kejaksaan
dapat mulai dengan penyidikan atau pengusutan (opspring) sebelum ada diajukan
pengaduan.
Mengingat alasan tertundanya penuntutan ialah menghindarkan ketahuan oleh
khalayak ramai, maka adalah layak, bahwa mengenai absoluti klachtdelict kepolisian
dan kejaksanaan tidak dapat melakukan penyidikan sebelum ada pengaduan,
sedangkan mengenai relatief klachtdelict keadaan ini baru terjadi sesudah diketahui
hubungan kekelurgaan sebagai syarat harus adanya pengaduan.
32
BAB XII
KEHILANGAN HAK MENUNTUT
DAN HAK MENJALANKAN HUKUMAN
12.1 Putusan Tetap Dari Hukum (Gewjisde)
Pasal 76 KUHP mengandung prinsip penting, yaitu bahwa seseorang tidak
dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim
dengan putusan yang telah berkekuatan tetap (gewijsde atau res judicata).
Prinsip ini yang juga terkenal sebagai ne bis in idem (tidak dua kali dalam hal
yang sama), tidak hanya mengenai hal, bahwa seseorang yang telah dihukum karena
melakukan suatu tindak pidana, tidak boleh dituntut lagi mengenai perbuata itu lagi,
melainkan juga jika orang dalam perkara pertama dibebaskan (vrijspraak) atau
dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechsvervolging), maka atas perbuatan
yang sama itu tidak boleh dilakukan penuntutan lagi.
12.2 Kemungkinan Mengubah Bunyi Penuntutan
Di atas sudah saya singgung, bahwa hal ”perbuatan yang sama” ini ada
hubungan dengan (a) bunyi penuntutan oleh kejaksaan dan (b) kemungkinan
mengubah bunyi penuntutan selama pemeriksaan perkara berjalan.
Kesulitan-kesulitan tersebut yang berkisar pada pengertian ”perbuatan yang
sama” (hetzelfde feit) sebenarnya dapat dikatakan hampir lenyap dengan adanya
kemungkinan mengubah bunyi penuntutan secara yang dirumuskan dalam pasal 282
33
HIR (Herzine Indonesia Reglement) sebagai ketentuan hukum acara pidana. Di situ
ada keluasaan mengubah bunyi surat tuduhan dengan suatu pembatasan, yaitu bahwa
dengan perubahan surat tuduhan yang dituduhkan kepada terdakwa tidak boleh
menjadi lain kejadian (ander feit), jadi perubahan diperbolehkan asal perbuatan yang
dituduhkan tetap merupakan ”perbuatan yang sama” (hezelfde feit) yang termaksud
dalam pasal 76 KUHP.
12.3 Daluwarsa Penuntutan (Verjaring)
Apabila suatu tindak pidana oleh karena beberapa hal tidak saja diselidiki
dalam waktu yang agak lama, maka masyarakat tidak begitu ingat lagi kepadanya
sehingga tidak begitu dirasakan perlunya dan manfaatnya menjatuhkan hukuman
kepada si pelaku. Hal ini terutama berlaku bagi tindak-tindak pidana yang ringan,
yaitu golongan pelanggaran seluruhnya dan golongan kejahatan yang diancam dengan
hukuman kurungan, lebih-lebih denda.
12.4 Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan
Pasal 83 KUHP membuka kemungkinan dalam hal pelanggaran yang hanya
diancam dengan hukuman pokok berupa denda, bahwa soalnya dapat diselesaikan di
luar pengadilan, yaitu secara membayar kepada kejaksaan maksimum denda yang
diancamkan, ditambah dengan biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh jaksa.
Tetapi ini hanya dengan izin seorang pegawai negeri, yang untuk itu ditentukan
34
dalam suatu undang-undang, yang juga menentukan tempo yang di dalamnya
maksimum dendan harus dibayar.
12.5 Daluwarsa Hak Menjalankan Hukuman
Ini diatur dalam pasal 84 dan pasal 85 KUHP
Pasal 84 perkara :
1. Hak menjalankan hukuman hilang karena daluwarsa
2. Tenggang daluwarsa ini untuk pelanggaran adalah dua tahun, untuk kejahatan
yang dilakukan dengan alat percetakan lima tahun, dan untuk kejahatan-kejahatan
yang lain sepertiga lebih dari pada tenggang daluwarsa hak menuntut hukuman.
3. Tenggang daluwarsa ini sekali-sekali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman
yang telah dijatuhkan.
4. Hak menjalankan hukuman mati tidak kena daluwarsa.
Sebetulnya, dengan adanya ayat 3, juga hukuman penjara seumur hidup
praktis tidak dapat kena daluwarsa.
35