LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI...
LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
TAHUN ANGGRAN 2016
Formulasi Senyawa Aktif Antibakteri Flavonoid dari Umbi Sarang Semut (Myrmecodia pendans.) Sebagai Obat Kumur Antiseptik
Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
Dr. Dikdik Kurnia, M.Sc (NIDN 0008077302) Prof. Dr. Mieke H. Satari, drg., M.Kes (NIDN 0020035301)
Dr. Hendra D. A. Dharsono, drg., Sp.KG (NIDN 0005036402)
Sesuai dengan Keputusan a.n. Rektor, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unpad
tentang Penetapan Pelaksanaan Penugasan Skema Unggulan Perguruan Tinggi Nomor: 625/UN6.3.1/PL/2016 tanggal 14 Maret 2016
UNIVERSITAS PADJADJARAN 2016
ii
PRAKATA
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur selalu terpanjatkan kepada Allah
SWT, yang telah memberikan berbagai macam nikmat, karunia dan kasih sayang-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan proposal kemajuan penelitian
HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI ini tepat pada
waktunya. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Sang Tauladan umat
manusia yakni Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya
hingga akhir zaman kelak. Proposal ini berjudul “Formulasi Senyawa Aktif
Antibakteri Flavonoid dari Umbi Sarang Semut (Myrmecodia pendans)
Sebagai Obat Kumur Alami”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu baik secara moral maupun material dalam penyelesaian tesis
ini, terutama kepada:
Ketua LPPM Universitas Padjadjaran, Prof. Dr.
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Budi
Nurani, M.S. beserta seluruh staf atas segala bantuan yang diberikan selama
menjalani proses pendidikan.
Penyusun menyadari dalam penulisan ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu penyusun menerima masukan, kritik dan saran. Penyusun berharap penelitian
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
iii
bidang kimia dan kedokteran gigi.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bandung, November 2016
Penyusun
i
RINGKASAN
Jumlah penderita penyakit infeksi oral yang disebabkan oleh mikroorganisme
memberikan data yang cukup tinggi, baik dari penderita usia balita, remaja dan
manula. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang kurang baik sehingga
mikroorganisme dalam mulut berkembang tanpa adanya pencegahan. Enterococcus
faecalis adalah bakteri patogen yang menginfeksi saluran akar gigi. Saat ini
pencegahan dengan menggunakan obat kumur belum maksimal ditambah dengan
adanya efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut, sehingga diperlukan
penelitian yang mengarah pada penemuan obat yang berpotensi untuk pencegahan
infeksi pada gigi. Penghambatan biosintesis peptidoglikan, unsur penyusun utama
dinding sel bakteri merupakan salah satu mekanisme antibakteri, dimana enzim
yang berperan dalam biosintesis peptidoglikan tersebut yakni enzim MurA. Oleh
karena itu pencarian molekul aktif yang mampu menjadi formula obat kumur alami
dengan mekanisme inhibitor enzim MurA ini menjadi sangat penting. Indonesia
dengan keanekaragaman hayati yang melimpah merupakan sumber potensi untuk
menemukan senyawa alami yang mempunyai aktivitas fitofarmaka yang dapat
digunakan sebagai sumber obat. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan menguji
aktivitas senyawa flavonoid dari tumbuhan Myrmecodia sp. Penelitian ini dibagi
menjadi dua tahap: tahap pertama adalah isolasi dan karakterisasi senyawa
flavonoid dari sarang semut menggunakan spektroskopi ultraviolet, inframerah, 1H-
NMR, 13C-NMR dan Massa. Sedangkan tahap kedua pengujian aktivitas antibakteri
dengan pengukuran nilai Minimum Inhibition Concetration dan pengujian terhadap
aktivitas penghambatan enzim MurA dan analisa struktur protein bakteri uji secara
proteomik. Dari penelitian ini didapatkan flavonoid yang beraktivitas antibakteri
terhadap E. faecalis yaitu biflavonoid (1, KHM 625 ppm) dan 3''-metoksi-
epikatekin-3-O-epikatekin (2, KHM 625 ppm). Aktivitas antibakteri dari kedua
senyawa ini merupakan informasi yang baru diketahui.
Kata kunci: E. faecalis, Myrmecodia pendans, Antibakteri, MurA, Flavonoid
iv
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN................................................................................................
PRAKATA ………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
DAFTAR TABEL ……………………………………………………........
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………...............................
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... .
1.1 Latar Belakang ..........................................................................
1.2 Pernyataan Rumusan Masalah ……………………………......
1.3 Keutamaan Penelitian …………………………………………
BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................
2.1 Bakteri Enterococcus faecalis …………………………………
2.1.1 Uraian umum Enterococcus faecalis …….........................
2.1.2 Faktor virulensi Enterococcus faecalis ………………….
2.2 Antibakteri …………………………………………………….
2.2.1 Mekanisme kerja antibakteri ……………………………
2.2.2 Senyawa antibakteri terhadap E. faecalis ………………
2.3 Obat kumur ...……………………………………......................
i
ii
iv
vii
viii
x
1
1
3
3
5
5
5
5
6
6
7
8
v
2.3.1 Komposisi yang terkandung dalam obat kumur …………
2.4 Tinjauan umum Myrmecodia pendans ……………………….
2.4.1Taksonomi Myrmecodia pendans……………………….
2.4.2 Morfologi Myrmecodia pendans……………………….
2.4.3 Senyawa kimia pada Myrmecodia pendans…………….
2.5 Enzim Mur A ………………………………………………......
2.5.1 Peran Enzim Mur A dalam sintesis dinding sel bakteri
gram positif ……………………………………………..
2.5.2 Proteomik ……………………………………………….
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ................................
BAB IV METODE PENELITIAN ..............................................................
4.1 Isolasi senyawa ..........................................................................
4.1.1 Ekstraksi sampel ………………………………………..
4.1.2 Pemisahan dan pemurnian senyawa…….……………….
4.1.3 Karekterisasi senyawa murni ..…………………………..
4.2 Pengujian aktivitas antibakteri …………………………………
4.2.1 Persiapan Biakan Bakteri Uji …………………………...
4.2.2 Penentuan Kepekaan Bakteri terhadap Senyawa dari
Sarang Semut …………………………………………...
4.2.3 Pengujian Antimikroba Senyawa Murni terhadap
Enterococcus faecalis ………………………………......
BAB V HASIL YANG DICAPAI………………………………………..
8
9
9
9
10
11
11
12
14
15
15
15
15
15
15
15
16
16
18
vi
5.1 Isolasi dan Pemurnian Senyawa ……………………………..
5.2 Karakterisasi Senyawa ………………………………………
5.3 Pengujian kepekaan senyawa 1 dan 2 terhadap E. faecalis …
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA …………...................
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………......
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
LAMPIRAN ...............................................................................................
19
21
37
45
45
46
48
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Komposisi pelarut kromatografi kolom ekstrak etil asetat …………...
Data pergeseran kimia 1H, 13C-NMR, dan 2D- NMR senyawa 1 …….
Data pergeseran kimia 1H, 13C-NMR senyawa 1 dan 2'',3''
dihidrohinoflavon ……………………………………………………
Nilai zona penghambatan, KHM dan KBM senyawa 1 dan 2 terhadap
E. faecalis.............................................................................................
Penentuan nilai KBM klorheksidin terhadap E. faecalis......................
Penentuan nilai KBM senyawa 1 terhadap E. faecalis..........................
Penentuan nilai KBM senyawa 2 terhadap E. faecalis..........................
19
33
36
38
40
42
44
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Gambar 5.7
Gambar 5.8
Gambar 5.9
Model penyakit pulpitis dan periodontitis apikalis dalam
hubungannya dengan virulensi E. faecalis ………………………
Struktur senyawa antibakteri: 5,4ʹ-dihydroxy-7-methoxyflavone
(b) dan kuersetin 3-metil eter (2) ………………………………...
Daun (A), buah (bagian luar) (B), buah (bagian dalam) (C) dan
batang (menempel pada tanaman lain (D) M. pendans…………….
Senyawa dari M. pendans: tokoferol (1) dan glukosida (2) ……….
Skema dinding sel bakteri gram positif …………………………...
Tahap pertama biosintesis peptidoglikan …………………………
Jalur gen dan ekspresi protein beregulasi atau modifikasi dari
transkripsi sampai post-translasi ………………………………….
Lay out micro plate untuk penentuan nilai KHM ..........................
Bagan alir isolasi senyawa terpenoid 1-2 dari Umbi Sarang Semut
Kromatogram fraksi 1-11 ………………………………………..
Kromatogram KLT isolat 1 ………………………………………
Kromatogram KLT isolat 2 ………………………………………
Spektrum ultraviolet senyawa 1 (10 ppm, dalam metanol) …….....
Spekrum inframerah (IR) senyawa 1 dalam lempeng KBr ………..
Spektrum 13C-NMR senyawa 1 (125 Hz, CD3OD)………………
Spektrum HMQC seyawa 1 (500 MHz, dalam CD3OD)………...
Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 Hz, CDCl3)…………………
6
7
10
11
11
12
13
17
18
20
20
21
21
22
23
24
24
ix
Gambar 5.10
Gambar 5.11
Gambar 5.12
Gambar 5.13
Gambar 5.14
Gambar 5.15
Gambar 5.16
Gambar 5.17
Gambar 5.18
Gambar 5.19
Gambar 5.20
Gambar 5.21
Gambar 5.22
Gambar 5.23
Gambar 5.24
Gambar 5.25
Gambar 5.26
Gambar 5.27
Gambar 5.28
Gambar 5.29
Gambar 5.30
Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 Hz, CDCl3)…………………
Spektrum HMBC 1 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 2 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 3 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 4 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 5 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 6 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 7 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 8 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum HMBC 9 senyawa 1 ……………………………………
Spektrum 1H-1H-COSY 1 senyawa 1 ..............................................
Spektrum 1H-1H-COSY 2 senyawa 1 ..............................................
Fragmen-fragmen struktur senyawa 1 ............................................
Dugaan struktur senyawa 1 .............................................................
Spektrum massa senyawa 1 ............................................................
Struktur 2'',3'' dihidrohinoflavon …...…………………………….
Perbedaan struktur senyawa 2 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon ……..
Struktur senyawa 2 ……………………………………………….
Penentuan nilai KHM klorheksidin terhadap E. faecalis …………
Penentuan nilai KHM senyawa 1 terhadap E. faecalis ……………
Penentuan nilai KHM senyawa 2 terhadap E. faecalis ……………
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
31
31
32
32
34
35
35
36
39
41
43
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rongga mulut merupakan salah satu tempat dalam tubuh yang mengandung
mikroorganisme dengan keanekaragaman paling tinggi dibanding tempat lain.
Mikroorganisme yang paling banyak di rongga mulut salah satunya yaitu Enterococcus
faecalis yang berperan terhadap awal terjadinya proses karies gigi (Stashenko et al., 2003).
Bakteri E. faecalis sangat sulit dieliminasi dan memiliki karakteristik yang tidak umum
dimiliki bakteri lain, seperti mampu bertahan hidup dalam pH yang tinggi dan tahan pada
keadaan tanpa nutrisi selama 12 bulan (Poldbieski et al., 2003). Ada banyak cara yang
dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme dalam rongga mulut, salah
satunya penggunaan obat kumur. Menurut Widodo (1980) obat kumur digunakan karena
kemampuannya sangat efektif menjangkau tempat yang sulit dibersihkan dengan sikat gigi
dan dapat mencegah pembentukan plak. Namun obat kumur yang tersedia sekarang
mengandung alkohol yang pada jumlah yang berlebihan akan membahayakan sehingga hal
ini menjadi menarik perhatian banyak peneliti untuk menemukan bahan baru yang
berkhasiat sebagai obat kumur alami.
Flavanoid umumnya ditemukan pada tanaman, berfungsi sebagai pigmen yang
bertanggung jawab terhadap warna dari bunga dan buah. Pada tubuh manusia flavanoid
berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri, antivirus dan banyak digunakan
dalam pengobatan kanker karena menurut penelitian, flavonoid dapat memiliki aktivitas
antiproliferasi terhadap sel kanker dan mampu menekan proliferasi sel tumor pada
manusia. Flavanoid memiliki efek antibakteri yang bekerja dengan menghambat sinteis
dinding sel, menghambat fungsi membran, sitoplasmik serta menghambat sintesis protein
(Edewor, 2013). Hal ini didukung oleh Chusnie dan Lamb pada tahun 2005 menemukan
mekanisme galangin yang merupakan flavonoid sebagai antibakteri terhadap MRSA yang
merupakan bakteri Gram positif adalah menginduksi kerusakan membran sitoplasma pada
bakteri yang diketahui melalui pengukuran kebocoran ion logam kalium (K+).
Target mekanisme antibakterti menurut Eschenburg pada tahun 2005 melalui
penghambatan sintesis dinding sel bakteri dengan menonaktifkan enzim MurA (UDP-N-
acetylglucosamine enopyruvil transferase, E.C 2.5.1.7) yang berfungsi mengkatalisis tahap
pertama sintesis dinding sel bakteri. Dengan ditemukannya salah satu jalur untuk
2
mengatasi bakteri patogen gram positif melalui penghambatan enzim MurA yang menjadi
kunci dalam biosintesis peptidoglikan, para peneliti mengembangkan pencarian senyawa-
senyawa yang mampu menjadi inhibitor enzim MurA.
Enzim terdiri dari gabungan beberapa asam amino, dimano asam amino sendiri
merupakan unit penyusun dari protein. Banyak para peneliti yang menyadari bahwa
dengan hanya memiliki urutan genom lengkap tidak cukup untuk menjelaskan fungsi
biologis protein. Proteomik adalah analisis protein dalam skala besar protein dan
berkontribusi besar terhadap fungsi gen pada pasca-genomik (Pandey & Matthias, 2000).
Analisa secara proteomik melengkapi genomik karena genomik hanya berfokus pada
produk gen merupakan bahan aktif dalam sel. Oleh karena itu, proteomik langsung
memberikan kontribusi untuk pengembangan obat karena hampir semua obat diarahkan
terhadap protein.
Berdasarkan data-data yang telah diuraikan di atas, belum banyak senyawa
antibakteri khususnya terhadap bakteri E. faecalis yang didapat dari tumbuhan. Oleh
karena itu, saat ini pencarian obat kumur alami untuk antibakteri masih terus dilakukan.
Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki potensi tumbuhannya
untuk dijadikan sumber obat. Salah satu tanaman yang berpotensi adalah Myrmecodia sp.
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan epifit yang menempel di pohon-pohon besar yang
batang bagian bawahnya menggelembung berisi rongga-rongga yang disediakan sebagai
sarang semut jenis tertentu dan tumbuhan ini bukan seperti sarang semut biasanya (Subroto
& Saputro, 2006). Dari hasil penelitian pendahuluan hasil uji fitokimia menunjukkan
adanya kandungan flavonoid dan fenolik dalam sarang semut. Hal ini didukung oleh
penelitian Engida et al. (2013) yang melaporkan adanya lima senyawa golongan flavonoid
dari M. pendans yaitu: kaemferol, luteolin, rutin, quercetin dan apigenin melalui analisis
menggunakan alat HPLC. Meskipun kelima senyawa flavonoid ini belum berhasil diisolasi
dari M. pendans, namun hal ini cukup membuktikan bahwa terdapat senyawa flavonoid
pada M. pendans. Semakin meningkatnya penggunaan tumbuhan sarang semut sebagai
sumber pengobatan alternatif penyakit oleh masyarakat, perlu dilakukan suatu penelitian
ilmiah untuk memperoleh informasi mengenai kandungan serta mekanisme kerja senyawa
bioaktif terhadap berbagai penyakit. Juga dilakukan pengujian terhadap bakteri, untuk
melihat apakah senyawa-senyawa dari tanaman ini mempunyai aktivitas sebagai
antibakteri yang cukup efektif. Sehingga dapat dijadikan sebagai panduan awal untuk
3
pencarian suatu obat kumur alami dan berbagai penyakit infeksi lainnya yang disebabkan
oleh bakteri.
1.2 Pernyataan Rumusan Masalah
1. Bagaimana struktur dan rumus molekul flavonoid yang aktif antibakteri hasil diisolasi
dari tumbuhan Myrmecodia sp.
2. Bagaimana aktivitas senyawa antibakteri tersebut dengan berbagai matriks terhadap
bakteri Enterococcus faecalis dan bagaimana pengaruhnya terhadap aktivitas enzim
MurA secara proteomik.
1.3 Keutamaan Penelitian
Urgensi penelitian ini nampak jelas pada kondisi masyarakat Indonesia yang masih
banyak menderita berbagai penyakit infeksi pada gigi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, khususnya bakteri. Proses pencegahan dengan menggunakan obat kumur
yang sudah ada tidak sesuai lagi, bukan saja menjadikan pencegah penyakit tidak teratasi,
akan tetapi akan memperparah penyakit yang diakibatkan oleh meningkatnya resistensi
bakteri terhadap obat tersebut.
Di lain pihak, tumbuhan Umbi Sarang Semut mempunyai potensi besar sebagai
sumber alternatif bahan alami karena telah lama digunakan secara tardisonal untuk
pengobatan tradisional. Dengan selesainya riset ini, diharapkan tumbuhan Umbi Sarang
Semut yang selama ini belum memiliki nilai ekonomi tinggi, digunakan sebagai bahan
baku obat kumur alami menggantikan obat yang telah ada. Selain itu terungkapnya potensi
kandungan senyawa-seyawa antijamur, antibakteri dan antioksidan baru akan membuka
wawasan penelitian senyawa alami medisinal potensial disamping untuk pengembangan
potensi budidaya tumbuhan Umbi Sarang Semut.
Tahapan serta proses dalam penelitian ini juga merupakan sumber penting dalam
pengembangan dan penemuan teknik pemisahan baru senyawa-senyawa organik bioaktif,
sehingga diharapkan dapat munculnya suata teori baru mengenai hubungan biosintesis dan
biogenesis dari kelompok senyawa metabolit sekunder. Selanjutnya diharapkan pula dapat
mengungkapkan mekanisme secara molekular proses penurunan kualitas ikan dan produk
turunannya sebagai akibat pertumbuhan mikroorganisme dan juga proses
penghambatannya yang akan sangat berguna untuk pengembangan dan penemuan bahan
antibiotik alami terstandar untuk berbagai produk pangan dan kesehatan. Hasil penelitian
4
ini juga dapat membuka peluang lapangan kerja baru di bidang pangan, kimia, dan
medisinal.
Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan ilmu kimia dasar, kimia organik bahan alam hayati, serta memberikan
dasar ilmiah yang kuat penggunann biji Umbi Sarang Semut sebagai bahan baku obat
kumur untuk mencegah penyakit infeksi khususnya yang disebabkan oleh bakteri.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri Enterococcus faecalis
2.1.1 Uraian umum E. faecalis
Enterococcus faecalis merupakan coccus Gram-positif yang secara tipikal berbentuk
rantai pendek atau tersusun berpasangan. Dalam kondisi pertumbuhan tertentu dapat
memanjang dan tampak coccobacillary. E. faecalis merupakan bakteri Gram-positif yang
dinding selnya terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: peptidoglikan, asam lipotekoat,
dan polisakarida (Johnson et al., 2009). Bakteri E. faecalis sangat sulit dieliminasi dan
memiliki karakteristik yang tidak umum dimiliki bakteri lain, seperti mampu bertahan
hidup dalam pH yang tinggi dan tahan pada keadaan tanpa nutrisi selama 12 bulan
(Poldbieski et al., 2003).
Kemampuan untuk bertahan dalam konsdisi lingkungan yang ekstrim bagi
kebanyakan mikroorganisme lain menyebabkan E.faecalis menjadi bersifat viable but non
culturable (VBNC). Pada tahap ini bakteri ini tidak dapat tumbuh pada kultur, tetapi tetap
bersifat patogen dan akan tumbuh kembali bila kondisi lingkungan menguntungkan
(Kayouglu & Østarvik, 2004).
E.faecalis dapat berinvasi ke dalam tubuli dentin, berkoloni di dalam saluran akar
dan mampu bertahan hidup tanpa dukungan bakteri-bakteri lainnya. E.faecalis resisten
terhadap efek antibakteri dari kalsium hidroksida dan resisten terhadap sebagian besar
antibiotika. Penggunaan antibiotika akan merubah flora normal dalam saluran akar yang
memberikan kondisi yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup E.faecalis (De Paz,
2004).
2.1.2 Faktor virulensi E.faecalis
Enterococcus faecalis mampu memasuki tubulus dentin, dimana tidak semua
bakteri memiliki kemampuan seperti ini. Substansi agregasi (AS) berperan sebagai mediasi
antara donor dan resipien bakteri, serta merupakan ikatan mediasi matriks protein
ekstraseluler, termasuk kolagen tipe I. Dengan kemampuannya untuk tetap berada pada
kolagen menjadi penyebab penting dalam infeksi endodontik. Bakteri ini mampu
mengadakan kolonisasi yang baik pada permukaan protein serta membentuk biofilm pada
dinding-dinding dentin. Hal inilah yang menyebabkan bakteri dapat tetap bertahan pada
6
saluran akar. Superantigen yang diproduksi bakteri dapat menginduksi inflamasi melalui
stimulasi dari limfosit T, diikuti dengan masuknya hasil pelepasan dari sitokin inflamasi.
Sitokin TNF-α dan TNF-β diimplikasikan dalam terjadinya resorpsi tulang, sedangkan
INF-γ diketahui menstimulasi produksi makrofag dan neutrofil yang menyebabkan
kerusakan jaringan Gambar. 2.7. Selain itu, E. faecalis memiliki berat mokelul yang tinggi
pada permukaan protein yang akan membantu dalam pembentukan biofilm pada dinding
dentin (De Paz, 2004).
Gambar 2.1. Model penyakit pulpitis dan periodontitis apikalis dalam hubungannya
dengan virulensi E.faecalis
2.2 Antibakteri
Antibakteri adalah zat atau senyawa kimia yang digunakan untuk membasmi bakteri.
Definisi ini kemudian berkembang menjadi senyawa yang dalam konsentrasi tertentu
mampu menghambat bahkan membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme.
Pemusnahan mikroba dengan antimikroba yang bersifat bakteriostatik masih tergantung
dari kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes. Peranan lamanya kontak antara mikroba
dengan antimikroba dalam kadar efektif juga sangat menentukan untuk mendapatkan efek
(Jawetz et al., 2004).
2.2.1 Mekanisme Kerja Antibakteri
Menurut Walsh & Wencewicz (2014) mekanisme yang prospektif untuk
dikembangkan dalam mengasi bakteri pathogen gram positif dan gram negative terbagi
menjadi lima jalur, yaitu: penghambatan sintesis dinding sel bakteri (1), penghambatan
7
sintesis protein bakteri (2), penghambatan sintesis DNA atau RNA bakteri (3), kerusakan
membrane (4) dan penghambatan sintesis folat pada bakteri (5).
Metabolit sekunder seperti flavonoid bekerja dengan cara merusak membran
sitoplasma sehingga sel bakteri akan rusak dan mati. Penelitian yang telah dilakukan oleh
Noviana (2004) menunjukkan bahwa senyawa golongan flavonoid mampu menghambat
pertumbuhan bakteri S. aureus dimana mekanisme penghambatannya berupa perusakan
membran sel. Gugus OH berperan penting dalam pelepasan ion H+ yang menyerang gugus
fosfat sehingga molekul fosfolipid akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat, dan
asam fosfat.
Mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri oleh tanin menurut Brannen dan
Davidson (1993) antara lain dengan cara bereaksi dengan sel membran, inaktivasi enzim-
enzim esensial dan destruksi atau inaktivasi fungsi dan material genetik. Pada perusakan
membran sel, ion H+ dari senyawa fenol dan turunannya akan menyerang gugus polar
(gugus fosfat) sehingga molekul fosfolipid akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat,
dan asam fosfat. Hal ini mengakibatkan fosfolipid tidak mampu mempertahankan bentuk
membran sel, akibatnya membran sel akan bocor dan bakteri akan mengalami hambatan
pertumbuhan atau bahkan kematian (Noviana, 2004).
2.2.2 Senyawa antibakteri terhadap E. faecalis
Hernandez et al., (2012) melaporkan bahwa senyawa flavonoid (1) yang berhasil
diisolasi dari tanaman Larrea tridentata beraktivitas antibakteri terhadap bakteri
Enterococcus faecalis. Senyawa (1) memiliki harga Minimum Inhibitory Concentration
sebesar 50µg/mL untuk S. aureus dan 50µg/mL untuk E. faecalis. Selain itu senyawa
Kuersetin 3-metil eter (2) diisolasi dari buah merah.memiliki aktivitas pada E. faecalis
pada konsentrasi 100 ppm (Atmadja, 2011).
Gambar 2.2 Struktur senyawa antibakteri: 5,4ʹ-dihydroxy-7-methoxyflavone (b) dan
kuersetin 3-metil eter (2)
OH3CO
OH O
OH
OHO
OH O
OH
OH
OCH3
(1) (2)
8
2.3 Obat Kumur
Obat kumur merupakan larutan atau cairan yang digunakan untuk membilas rongga
mulut dengan sejumlah tujuan antara lain untuk menyingkirkan bakteri perusak, bekerja
sebagai penciut, untuk menghilangkan bau tak sedap, mempunyai efek terapi dan
menghilangkan infeksi atau mencegah karies gigi. Obat kumur dikemas dalam dua bentuk
yakni dalam bentuk kumur dan spray. Untuk hampir semua individu obat kumur
merupakan metode yang simpel dan dapat diterima untuk pengobatan secara topikal dalam
rongga mulut.
2.3.1 Komposisi yang terkandung dalam obat kumur
Hampir semua obat kumur mengandung lebih dari satu bahan aktif dan hampir semua
dipromosikan dengan beberapa keuntungan bagi pengguna. Masing-masing obat kumur
merupakan kombinasi unik dari senyawa-senyawa yang dirancang untuk mendukung
higiena rongga mulut. Beberapa bahan-bahan aktif beserta fungsinya secara umum dapat
dijumpai dalam obat kumur, antara lain:
a) Bahan antibakteri dan antijamur, mengurangi jumlah mikroorganisme dalam rongga
mulut, contoh: hexylresorcinol, chlorhexidine, thymol, benzethonium,
cetylpyridinium chloride, boric acid, benzoic acid, hexetidine, hypochlorous acid
b) Bahan oksigenasi, secara aktif menyerang bakteri anaerob dalam rongga mulut dan
busanya membantu menyingkirkan jaringan yang tidak sehat, contoh: hidrogen
peroksida, perborate
c) Astringents (zat penciut), menyebabkan pembuluh darah lokal berkontraksi dengan
demikian dapat mengurangi bengkak pada jaringan, contoh: alkohol, seng klorida,
seng asetat, aluminium, dan asam-asam organik, seperti tannic, asetic, dan asam
sitrat
d) Anodynes, meredakan nyeri dan rasa sakit, contoh: turunan fenol, minyak eukaliptol,
minyak watergreen
e) Bufer, mengurangi keasaman dalam rongga mulut yang dihasilkan dari fermentasi
sisa makanan, contoh: sodium perborate, sodium bicarbonate
f) Deodorizing agents (bahan penghilang bau), menetralisir bau yang dihasilkan dari
proses penguraian sisa makanan, contoh: klorofil
9
2.4 Tinjauan Umum Myrmecodia sp
Tanaman sarang semut merupakan tanaman yang termasuk dalam suku Rubiaceae
dan terdiri dari 5 kelompok marga. Akan tetapi, hanya 2 marga tanaman sarang semut,
yakni Myrmecodia dan Hydnophytum yang memiliki asosiasi paling dekat terkait
simbiosisnya dengan kelompok jenis semut yang sama yaitu Ochetellus sp. (Jebb, 2009;
Plummer, 2000). Secara empiris rebusan air dari umbi sarang semut dapat mengobati
berbagai macam penyakit seperti mencegah penyakit tumor, kanker, jantung, wasir, TBC,
rematik, gangguan asam urat, stroke, maag, gangguan fungsi ginjal dan prostat (Subroto &
Saputro, 2006).
2.4.1 Taksonomi Myrmecodia sp
Taksonomi umbi sarang semut (M. pendans) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Lamiidae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Myrmecodia
Spesies : Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry
Nama lokal : Sarang semut (Papua-Indonesia)
(Kusmoro, 2013).
2.4.2 Morfologi Myrmecodia sp
Tumbuhan sarang semut tersebar dari hutan bakau dan pohon-pohon di pinggir pantai
hingga ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Sarang semut banyak ditemukan
menempel di beberapa pohon, umumnya di pohon kayu putih (Melaleuca), cemara gunung
(Casuarina), Kaha (Castanopsis), dan pohon beech (Nothofagus).
Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah bagian daging umbi/hipokotil
(caudex) yang dapat berbentuk bulat, memanjang bahkan tidak beraturan. Umbi sarang
semut rata-rata berdiameter 25 cm dan tinggi 45 cm dengan permukaan bertekstur untuk
melindunginya dari herbivora. Dalam umbi sarang semut terdapat labirin yang dihuni oleh
semut dan cendawan. Keunikan tanaman ini terletak pada koloni semut yang bersarang
pada umbi sehingga terbentuk labirin atau lorong-lorong di dalamnya. Di habitat aslinya,
tanaman sarang semut dihuni oleh beragam jenis semut terutama Ochetellus sp. Kestabilan
suhu yang ada di dalam umbi membuat koloni semut bersarang di dalam umbi tersebut.
Dalam jangka waktu yang lama terjadi reaksi kimiawi secara alami antara senyawa yang
dikeluarkan semut dengan zat yang terkandung dalam tanaman sarang semut. Perpaduan
10
inilah yang diduga membuat sarang semut memiliki kemampuan mengatasi berbagai jenis
penyakit (Subroto & Saputro, 2006).
Tanaman sarang semut pada umumnya hanya memiliki satu batang yang jarang
bercabang serta mempuyai ruas yang tebal dan pendek. Batang bagian bawahnya secara
progresif menggelembung membentuk umbi atau hipokotil (caudex) (Huxley, 1978).
Gambar 2.3 Daun (A), buah (bagian luar) (B), buah (bagian dalam) (C) dan batang
(menempel pada tanaman lain) (D) M. pendans.
2.4.3 Senyawa Kimia Pada Myrmecodia sp
Berdasarkan hasil uji penapisan kimia dari tumbuhan obat sarang semut yang
dilakukan oleh Subroto dan Hendro (2006) menunjukkan bahwa tumbuhan ini
mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Flavonoid
merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak merupakan
pigmen tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder yang berhasil ditemukan pada tumbuhan
sarang semut masih sangat terbatas. Subroto dan Saputro (2008) menemukan alfa tokoferol
pada umbi sarang semut. Disamping itu, senyawa golongan glikosida berhasil ditemukan
dari fraksi air M. pendans (Bustanussalam, 2010).
Tumbuhan sarang semut juga mengandung beberapa mineral. Kalsium berfungsi
dalam kerja jantung, impuls saraf, dan pembekuan darah. Besi berfungsi dalam
pembentukan hemoglobin, transpor oksigen, aktivator enzim. Fosfor berfungsi dalam
penyerangan kalsium dan energi. Natrium memiliki peranan dalam kesetimbangan
elektrolit, volume cairan tubuh, dan impuls saraf. Kalium berfungsi dalam ritme jantung,
impuls saraf, dan kesetimbangan asam basa. Seng memiliki fungsi dalam sintesis protein,
fungsi seksual, penyimpanan insulin, metabolisme karbohidrat dan penyembuhan luka.
Sementara magnesium memiliki peranan dalam fungsi tulang, hati, otot, transfer air
(A) (B) (C) (D)
11
intraseluler, keseimbangan basa, dan aktivitas neuromuskuler. Fungsi-fungsi mineral
tersebut dapat menjelaskan beberapa khasiat lain dari sarang semut (Heil et al., 2004).
O
HO
(1)
O
O
(2)
HO
OH OH
OH OH OH
CH3
OH
Gambar 2.4 Senyawa dari M. pendans: α-tooferol (1) dan glukosida (2)
2.5 Enzim MurA
Enzim MurA merupakan bagian dari family enzim Mur. Family enzim Mur ini
bereperan dalam biosintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Berikut merupakan
struktur enzim MurA.
2.5.1 Peran enzim MurA dalam sintesis dinding sel bakteri gram positif
Dinding sel bakteri gram positif tersusun atas lapisan peptidoglikan yang tebal.
Silver (2006) menyebutkan bahwa enzim MurA-MurF berpean dalam sintesis
peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Tanpa peptidoglikan, dinding sel bakteri sangat
rapuh dan rentan terhadap tekanan osmotik sehingga dapat menyebabkan bakteri mati.
Gambar 2.5 Skema dinding sel bakteri gram positif
Enzim yang berperan dalam tahap pertama biosintesis peptidoglikan adalah enzim
Gambar bakteri yang menunjukkan
dinding sel dan membran plasma.
N-asetil glukosamin (NAG) N-asetil asam muramat (NAM) Rantai ikatan tetrapeptida dengan ikatan silang oleh peptida
lapisan peptidoglikan
membran plasma dengan
lapisan struktur lipid bilayer
12
MurA. Enzim MurA mengkatalisis reaksi transfer enolpiruvat dari phosphoenolpyruvate
(PEP) pada gugus 3'-hidroksil pada Uridine 5'-diphospho-N-acetylglucosamine (UDP-
GlcNAc) menghasilkan enolpyruvil-UDP-N-acetylglucosamine (EP- UDP-GlcNAc) dan
fosfat anorganik.
Dengan menghambat kinerja enzim MurA maka biosintesis peptidoglikan dapat
dicegah. Hal ini yang banyak dijadikan target para peneliti untuk mengatasi penyakit yang
disebabkan oleh bakteri patogen gram positif seperti E. faecalis.
Gambar 2.6 Tahap pertama biosintesis peptidoglikan dimana enzim MurA (UDP-N-
acetylglucosamine enolpyruvyl transferase, E.C 2.5.1.7) mengkatalisis
reaksi transfer enolpiruvat dari fosfoenolpiruvat menjadi uridine-5’-
difosfo-N-asetilglukosamin.
2.4 Proteomik
Proteomik adalah studi skala besar protein, khususnya struktur dan fungsi. Protein
adalah bagian penting dari organisme hidup, komponen utama dari jalur metabolisme
fisiologis sel. Istilah "proteomik" pertama kali diciptakan pada tahun 1997 untuk membuat
analogi dengan genomik, penelitian gen. Kata "proteome" adalah campuran dari "protein"
dan "genom", dan diciptakan oleh Marc Wilkins pada tahun 1994. Proteome adalah
komplemen seluruh protein, diketahui bahwa mRNA tidak selalu diterjemahkan menjadi
protein, dan jumlah protein yang dihasilkan untuk suatu jumlah tertentu tergantung pada
mRNA gen itu ditranskripsi dari dan pada keadaan fisiologis sel. Proteomika menegaskan
kehadiran protein dan menyediakan ukuran langsung dari jumlah protein (Giorgianni,
2003).
O
OH
HOHO
HN
O
RO P
O
O
OH
P
O
O
OH O
N
HN
O
O
OHOH
MurA
UDP-N-asetilglukosamin
O
OH
HOO
HN
O
RO P
O
O
OH
P
O
O
OH O
N
HN
O
O
OHOH
UDP-N-asetilglukosamin-enolpiruvatO O-
+
-O
O
OP
O
O-O-
PEP
-OP
O
O-O-
Pi
+
13
Gambar 2.7 Jalur gen dan ekspresi protein beregulasi atau modifikasi dari transkripsi
sampai post-translasi.
Proteomik adalah analisis protein dalam skala besar protein dan berkontribusi besar
terhadap fungsi gen pada pasca-genomik. Proteomik dapat dibagi menjadi tiga bidang
utama: (1) protein mikro-karakterisasi untuk identifikasi skala besar protein dan modifikasi
pasca-translasi; (2) “display diferensial” untuk menunjukkan perbandingan tingkat protein
yang berpotensial dalam menganalisa berbagai penyakit; dan (3) studi interaksi protein-
protein dengan menggunakan berbagai teknik, seperti spektrometri massa (Pandey &
Matthias, 2000).
Blackstock dan Weir telah mengusulkan bahwa ruang lingkup proteomik ada dua,
yaitu ekspresi protein dan interaksi protein. Tujuan dari ekspresi proteomik adalah untuk
menetapkan kuantitatif ekspresi protein dalam kondisi tertentu. Pendekatan ini sangat
berguna dalam pengembangan obat atau studi toksikologi dimana menarik untuk profil
seluruh proteome dalam menanggapi gangguan tertentu dan mengidentifikasi protein
biomarker yang ekspresinya tingkat dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit
atau untuk mengevaluasi efisiensi target obat.
Penelitian Anderson et al. (2000) dimana protein yang terlibat dalam metabolisme
kolesterol dipengaruhi oleh obat lovastatin. Pendekatan ekspresi secara proteomik menjadi
berhasil ditunjukkan dengan peta proteoma benar-benar representatif yang dapat
menyelesaikan campuran kompleks protein untuk kuantisasi protein yang relevan. Berbeda
dengan sifat ekspresi proteomik, interaksi secara proteomik difokuskan terhadap
karakterisasi spesifik interaksi protein-protein dan pembentukan kompleks protein
(Anderson et al., 2000). Identifikasi interaksi protein akan memfasilitasi studi tentang
proses dan jalur khusus di dalam sel dan mengarah pada pengembangan dari "peta
interaksi" untuk berbagai jenis dan kondisi sel, sehingga meningkatkan pemahaman
tentang jaringan intraseluler (Blackstock & Weir, 1999; Anderson et al., 2000).
14
BAB III
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua bagian:
Tujuan khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senyawa-senyawa flavonoid
yang bersifat antibakteri yang terkandung dalam umbi sarang semut.
Tujuan jangka panjang, penelitian bertujuan untuk mendapatkan alternatif obat kumur
alami untuk penyakit periodental dari tumbuhan sarang semut.
Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua bagian:
1. Pada tahun pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi senyawa flavonoid
yang aktif antibakteri dari tumbuhan sarang semut.
2. Pada tahun kedua, penelitian difokuskan untuk pengujian senyawa hasil isolasi pada
bakteri untuk melihat aktivitas antibakterinya dan formulasinya.
3.2 Luaran dan Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
kesehatan mengenai metode penyembuhan yang efektif untuk melawan bakteri
Enterococcus faecalis,
2. Mengembangkan potensi sumber daya alam Indonesia khususnya umbi tanaman
sarang semut sebagai obat kumur alami.
15
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Isolasi Flavonoid
Penelitian ini terdiri dari lima tahap, yaitu: ekstraksi sampel umbi tumbuhan
Myrmecodia sp., isolasi dan karakterisasi flavonoid dari umbi sarang semut dan pengujian
antibakteri terhadap E. faecalis.
4.1.1 Ekstraksi Sampel
Sampel berupa umbi sarang semut, dipotong-potong kemudian diekstraksi dengan
cara sokletasi dengan menggunakan pelarut metanol. Ekstrak metanol yang dihasilkan,
diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator dengan tekanan dari vakum pada
suhu ± 40°C sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol. Ekstrak ini kemudian dipartisi
dengan pelarut n-heksana, etil asetat dan H2O.
4.1.2 Pemisahan dan Pemurnian Flavonoid
Fraksi yang mengandung senyawa aktif diuapkan pelarutnya hingga didapatkan
ekstrak fraksi yang pekat, kemudian fraksi ini dimurnikan dengan metode kromatografi
fasa diam silika gel 60 (70–230 mesh) dengan fasa gerak pelarut bergradien 10% (v/v)
yaitu n-heksana, etil asetat dan metanol.
4.1.3 Karakterisasi Flavonoid
Isolat murni yang diperoleh dari hasil pemurnian senyawa, selanjutnya
dikarakterisasi dengan menggunakan metode spektroskopi yang meliputi, spektrofotometri
ultraviolet, inframerah, 1H-NMR (hidrogen-nuclear magnetic resonance), 13C-NMR
(karbon-nuclear magnetic resonance), DEPT 135°,1H–1H COSY, HMQC dan HMBC.
4.2. Pengujian Aktivitas Antibakteri
4.2.1 Persiapan Biakan Bakteri Uji
Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini berupa bakteri Enterococcus faecalis,
sebelum digunakan dalam pengujian terhadap isolat senyawa murni dari sarang semut dan
antibiotika standar, terlebih dahulu dilakukan peremajaan dengan memperbanyak bakteri
yang akan diuji dalam medium nutrisi agar miring sehingga bakteri dapat tetap hidup
subur. Adapun masing-masing biakan bakteri diambil sebanyak satu ose dan dimasukkan
ke dalam medium yang telah disterilisasi dengan cara menggores biakan bakteri pada
permukaan media, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C.
16
4.2.2 Penentuan Kepekaan Bakteri terhadap Senyawa dari Sarang Semut
Pengujian ini menggunkan metode menurut Kirby-Bauer atau metode cakram. Zona
hambat akan terlihat sebagai daerah yang tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan
kuman di sekitar cakram. Pengukuran lebar diameter daerah hambat dibandingkan dengan
standar pengukuran daerah hambat yang ditetapkan dalam kelompok sensitif, intermediet,
dan resisten. Biakan satu ose biakan bakteri disuspensikan ke dalam larutan NaCl fisiologis
steril hingga setara dengan larutan Mac Farland 0,5 (3x108 sel/ ml sampel). Uji sensitivitas
bakteri terhadap antibiotik standar dilakukan pada medium agar Mueller-Hinton yang
ditambah dengan 1 ml suspensi bakteri. Cakram kertas yang telah ditetesi antibiotik
klorheksidin diletakkan secara aseptik pada permukaan medium agar. Setelah diinkubasi
pada suhu 37°C selama 24 jam, diameter daerah hambatan antibiotik diukur dan
dibandingkan dengan standar pengukuran untuk dikelompokkan ke dalam kelompok
sensitif, intermediet, dan resisten. Penentuan pengelompokan zona hambat berdasarkan
panduan pengujian dari Clinical and Laboratory Standards Institute (2010) adalah diameter
zona hambat untuk kategori sensitif ≥20 mm, intermediet 15-19 mm dan resisten ≤14 mm.
4.2.3 Pengujian Antibakteri Senyawa Murni terhadap E. faecalis
Metode yang digunakan dalam penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
adalah mikro dilusi. Uji KHM dalam penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi
minimum suatu senyawa aktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dengan
demikian uji sensitivitas dilakukan dari konsentrasi terkecil. Uji ini dilakukan dengan
metode mikro dilusi menggunakan micro plate ukuran 8x12 sumur (8 baris, 12 kolom).
Baris pada micro plate ini dibagi menjadi empat bagian; baris 1 dan 2 (A), baris 3 dan 4
(B), baris 5 dan 6 (C) dan baris 7 dan 8 (D). Larutan isolat dibuat dalam konsentrasi 20000
mg/ml yang kemudian dilakukan pengenceran sampai 12 kali pada micro plate.
Pengenceran isolat dimulai dari konsentrasi 10000 hingga 4,88 mg/ml akuades
(pengenceran 10-1–10-12). Secara aseptik dimasukkan 0,1 ml medium bulyon cair yang
telah disterilkan dalam otoklaf ke dalam semua sumur. Kemudian 0,1 ml isolat dimasukkan
ke dalam sumur baris A dan C, sedangkan pelarut dimasukkan ke dalam sumur B dan D.
Suspensi bakteri yang setara dengan larutan Mac Farland 0,5 (3x108 sel/ml sampel)
sebanyak 5 µl dimasukkan ke dalam sumur C dan D. Kemudian microplate ini diinkubasi
pada suhu 37°C selama 24 jam dan dipindai menggunakan ELISA reader. Sebagai
pembanding kekeruhan dibuat tabung kontrol yang tidak diberi ekstrak uji. Konsentrasi
terendah senyawa uji dalam sumur C yang menunjukkan kejernihan yang sama dengan
17
tabung kontrol (sumur D) dinyatakan dengan nilai KHM. Sedangkan nilai KBM
didapatkan setelah mengamati pertumbuhan bakteri dari larutan uji KHM pada media
padat. Konsentrasi minimal dimana tidak terdapat bakteri yang tumbuh, itulah nilai KBM.
Gambar 4.1 Layout microplate untuk penentuan nilai KHM
18
dimurnikan dengan metode kromatografi fasa terbalik dengan pelarut isokratik (3:7, v/v) (metanol-H2O
Isolat 1 (10 mg)
- dikarakterisasi dengan spektroskopi UV, IR, NMR dan massa
dimurnikan dengan metode kromatografi kolom dengan pelarut
bergradien 10% (v/v) (n-heksan & etil asetat)
Ekstrak etil asetat (30 g)
F8 F1-F7 F9 F10-F11
dimurnikan dengan metode kromatografi kolom dengan pelarut bergradien 5% (v/v)
(n-heksan & etil asetat)
Isolat 3 (15 mg)
F8-5
Umbi sarang semut (M. pendans) 3000 g
F9-6
- disokletasi dengan etil asetat
- diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu ± 40°C.
BAB V
HASIL YANG DICAPAI
Pada penelitian ini telah didapatkan dua senyawa flavonoid dengan kerangka
bifalvonoid dari Umbi Sarang Semut (Myrmecodia pendans.). Kedua senyawa ini dujikan
terhadap E. faecalis. Berikut capaian hasil penelitian yang telah dilakukan. Bagan alir
isolasi senyawa terpenoid ditunjukkan pada gambar 5.1.
Gambar 5.1 Bagan alir isolasi senyawa 1 dan 2 dari Umbi Sarang Semut
Sebanyak 3 kg bubuk kering diekstraksi dengan cara sokletasi dengan menggunaan
pelarut etil asetat redest selama 6 jam pada suhu 40°C. Untuk keseluruhan sampel
dilakukan sokletasi sebanyak 10 kali rotasi (0,3 kg). Penggunaan etil asetat sebagai pelarut
pengekstrak karena etil asetat dapat mengambil senyawa flavonoid dalam sampel
disbanding pelarut yang lain (Apriyanti, 2015). Ekstraksi dilakukan dengan cara sokletasi
dikarenakan metode tersebut merupakan metode dengan hasil yang didapatkan maksimal.
Struktur senyawa 1 dan 2
19
Hal ini didasarkan atas beberapa kali pengulangan atau recovery dalam isolasi senyawa
target dan senyawa tidak mengalami kerusakan akibat pemanasan pada sokletasi.
Pemilihan metode sokletasi sebagai metode ekstraksi dikarenakan operasionalnya yang
relatif cepat dan pelarut yang digunakan lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode
maserasi. Penggunaan pelarut etil asetat ini didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya
(Dharsono, 2013; Yudha 2014).
Selanjutnya filtrat hasil sokletasi disaring, kemudian dipekatkan menggunakan
rotary evaporator pada tekanan rendah dan suhu ± 40°C. Ekstrak pekat etil asetat yang
diperoleh sebanyak 30,0 g. Teknik penguapan pelarut tersebut dilakukan untuk
mendapatkan ekstrak pekat etil asetat dengan cepat dan efektif. Penguapan dilakukan pada
suhu ± 40°C bertujuan untuk mencegah dekomposisi senyawa yang terkandung di
dalamnya. Evaporator dilengkapi pompa vakum atau aspirator, sehingga tekanan dalam
sistem menjadi rendah. Pada tekanan yang rendah, titik didih suatu senyawa menjadi lebih
rendah, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menguapkan pelarut menjadi lebih cepat.
5.1 Isolasi dan Pemurnian Senyawa Flavonoid
Ekstrak pekat etil asetat (30 g) dipisahkan komponen senyawa kimia penyusunnya
menggunakan metode kromatografi cair kolom terbuka dengan fasa diam silika gel G60
(70-230 mesh), dan fase geraknya adalah n-heksana dan etil asetat, sistem pelarut
bergradien dan kenaikan kepolaran sebesar 10% (v/v). Komposisi pelarut dapat dilihat
pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Komposisi pelarut kromatografi kolom ekstrak etil asetat
Fraksi Volume pelarut (mL)
n-Heksana Etil asetat
1 500 0
2 450 50
3 400 100
4 350 150
5 300 200
6 250 250
7 200 300
8 150 350
9 100 400
10 50 450
11 0 500
20
Untuk melihat hasil pemisahan, dilakukan analisis kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan fasa diam silika gel G 60 F254. Fraksi 8 dan 9 terlihat mengandung flavonoid karena
berwarna kuning setelah diberi pereaksi penampak noda AlCl3 (Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Kromatogram fraksi 1-11 dengan pelarut n-heksana-etil asetat (3:7, v/v):
dilihat di bawah sinar UV 254 nm (a), dilihat di bawah sinar UV 365 nm (b)
dan setelah disemprot dengan larutan penampak noda AlCl3 10% dalam
etanol (c).
Selanjutnya fraksi 8 dimurnikan lebih lanjut menghasilkan isolat 1, sedangkan dari
fraksi 9 didapatkan isolate 2. Untuk mengetahui kemurnian, ketiga isolat ini dianalisis KLT
dengan dua kondisi, KLT fasa normal dan terbalik.
Gambar 5.3 Kromatogram KLT isolat 1: fasa normal dengan pelarut n-heksana-etil asetat
(3:7) dan fasa terbalik dengan pelarut metanol-air (1:1)
Heksana-EtOAc (3:7)
A B C A B C
MeOH-Air (5:5)
21
Gambar 5.4 Kromatogram KLT isolat 2: fasa normal dengan pelarut n-heksana-etil
asetat (2:3) dan fasa terbalik dengan pelarut metanol-air (1:4)
5.2 Karakterisasi Senyawa
Senyawa 1 berwujud padatan kuning yang larut dalam metanol. Spektrum ultraviolet
senyawa 1 memberikan empat puncak (Gambar 4.17). Puncak 1 (393 nm, ɛ 1105) adalah
pita I flavonoid, menunjukan adanya gugus sinamoil. Sedangkan puncak 2 (273 nm, ɛ 801)
dan 3 (258 nm, ɛ 765) merupakan pita II yang biasa dimiliki flavonoid. Pita ini adalah khas
gugus benzena yang berasal dari transisi dari orbital π ke π*. Transisi elektronik ini berasal
dari ikatan rangkap terkonjugasi pada benzena (pita B). Puncak 4 (208 nm) memberikan
informasi bahwa senyawa 1 memiliki gugus hidroksi (OH) dan karbonil (C=O) yang
merupakan hasil transisi dari orbital n ke π* dari elektron tidak berpasangan pada atom
oksigen (pita R). Gugus fungsi ini diperkuat dengan interpretasi dari spektrum IR. Pada
spektrum IR senyawa 1 terdapat regang OH pada 3483 cm-1 dan karbonil pada 1597 cm-1
(Gambar 5.6).
Gambar 5.5 Spektrum ultraviolet senyawa 1 (10 ppm dalam metanol)
A B C A B C
Heksana-EtOAc (2:3) MeOH-Air (1:4)
22
Gambar 5.6 Spektrum infra merah senyawa 1
Selanjutnya senyawa 1 diukur menggunakan spektrometer NMR (nuclear magnetic
resonance) untuk mengetahui jumlah, jenis dan lingkungan proton dan untuk mengetahui
jumlah, jenis serta pemecahan sinyal karbon yang tergantung dari jumlah proton yang
terikat (metin, metilen, metil dan karbon kuarterner). Data spektrum 13C-NMR pada
Gambar 5.7, memperlihatkan adanya 30 sinyal karbon.
Untuk mengetahui informasi tentang multiplisitas sinyal dari setiap karbon, dapat
dilakukan pengukuran 13C-NMR dengan teknik DEPT 135° atau dengan pengukuran dua
dimensi HMQC. Spektrum DEPT 135° memperlihatkan sinyal karbon metil dan metin ke
atas, sinyal karbon metilen ke bawah dan untuk karbon kuratrener tidak muncul. Untuk
membedakan karbon metil dan karbon metin dilihat dari jumlah hidrogen atau hidrogen
yang terikat pada spektrum HMQC.
Intepretasi spektrum NMR dua dimensi HMQC memberikan data korelasi atau
hubungan antara suatu proton dengan suatu karbon sebanyak satu ikatan. Spektrum ini
untuk menentukan dugaan suatu karbon tertentu yang terikat dengan proton dan berapa
jumlah proton yang terikat pada karbon tersebut. Dengan kata lain, dari spektrum HMQC
menegaskan data pada spketrum DEPT terutama untuk menentukan jenis karbon metin
dan metil. Spektrum HMQC juga bisa menunjukkan jumlah karbon dalam satu sinyal
karbon. Hal ini dikarenakan HMQC memuat informasi hubungan antara suatu proton
dengan suatu karbon sebanyak satu ikatan. Dengan membandingkan data spektrum 13C-
23
NMR, DEPT dan HMQC diketahui senyawa 1 memiliki lima belas karbon quarterner,
empat belas metin dan satu metilen. Berdasarkan rentang pergeseran kimia yang muncul,
diduga bahwa senyawa 1 merupakan biflavon (senyawa yang dibentuk oleh dua kerangka
flavonoid).
Gambar 5.7 Spektrum 13C-NMR dan DEPT senyawa 1 (125 MHz dalam CD3OD).
Spektrum 1H-NMR menginformasikan jumlah, jenis dan lingkungan dari setiap proton-
proton yang terdapat pada suatu senyawa. Pada Gambar 5.9 dan 5.10 dapat diilihat jumlah
dan jenis hidrogen yang terdapat pada senyawa 1. Data spektrum 1H-NMR senyawa 1 pada
Gambar 5.9 memperlihatkan tiga sinyal proton alifatik yaitu δH 5,32 (1H; dd; J = 2,6 & 13
Hz), 3,00 (1H; dd; J = 16,85 & 13 Hz) dan 2,70 (1H; dd; J = 2,6 & 16,85 Hz). Dua proton
δH 3,00 dan 2,70 merupakan proton germinal, ini terbukti dengan adanya nilai J = 16,85
Hz (rentang penjodohan proton geminal 16-20 Hz). Selain berjodoh terhadap sesamanya,
ternyata proton tersebut berjodoh dengan proton teroksigenasi pada δH 5,32. Nilai J yang
dimiliki proton ini (J = 2,6 & 13 Hz) dimiliki juga oleh kedua proton geminal tersebut.
24
Gambar 5.8 Spektrum HMQC senyawa 1 (500 MHz, dalam CD3OD).
Gambar 5.9 Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 MHz dalam CD3OD).
25
Tiga belas sinyal proton aromatik senyawa 1 ditunjukkan pada Gambar 5.10 Sinyal
proton ini terdiri dari 4 buah sistem penjodohan ABX dan satu sinyal proton singlet. Salah
satu sistem penjodohan ABX ditunjukkan pada 7,56 (1H; d; 8,45 Hz); 6,49 (1H; dd; 8,45
& 1,3 Hz) dan 6,35 (1H; d; 1,95Hz). Multiplisitas dari sinyal ketiga proton tersebut
merupakan ciri adanya sistem ABX aromatik. Proton pada δH 7,56 dan 6,49 mempunyai
coupling constant sebesar 8,45 Hz menunjukkan keduanya berposisi orto (nilai Jorto = 8-
10 Hz). Sedangkan nilai J = 1,95 Hz pada δH 6,35 dan J = 1,3 Hz pada δH 6,49 ppm
menunjukkan bahwa proton tersebut saling berposisi meta (nilai Jmeta = 1-3 Hz). Dengan
kata lain proton pada δH 6,49 berposisi orto terhadap δH 7,56 dan berposisi meta terhadap
proton δH 6,35 ppm.
Gambar 5.10 Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 MHz dalam CD3OD).
Spektrum HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Connectivity) dapat digunakan untuk
menentukan korelasi antara proton dan karbon yang jaraknya dua sampai tiga ikatan (2J
dan 3J). Spektrum HMBC 1 senyawa 1 menunjukkan korelasi H-30 (proton metilen)
terhadap C-1 yang merupakan karbonil dan C-29 berupa metin teroksigenasi (Gambar
5.11). Korelasi ini membentuk suatu fragmen struktur khas cincin C flavanon (Markam,
26
1982). Selanjutnya cincin C ini terhubung dengan cincin A, terbukti dengan adanya
korelasi H-23 terhadap C-29 (Gambar 5.12). Dua korelasi proton terhadap karbon lainnya
menunjukkan korelasi yang terjadi pada cincin B.
Gambar 5.11 Spektrum HMBC 1 senyawa 1
Gambar 5.12 Spektrum HMBC 2 senyawa 1
A
C
27
Potongan struktur cincin A dan C pada kerangka flavonoid yang lain ditunjukkan pada
Gambar 5.13 dan 5.14. Dua proton aromatik H-15 dan H-18 dari cincin A berhubungan
dengan karbon yang berada pada cincin C yaitu C-8 dan C-24. Selain itu, H-24 berkorelasi
dengan C-2 yang merupakan karbonil (tampak pada Gambar 5.15). Berdasarkan data
HMBC ini, didapatkan potongan stuktur flavon. Dugaan sementara struktur senyawa 1
adalah kerangka biflavon yang terdiri dari flavon dan flavanon.
Gambar 5.13 Spektrum HMBC 3 senyawa 1
Gambar 5.14 Spektrum HMBC 4 senyawa 1
A
C
A
C
28
Gambar 5.15 Spektrum HMBC 5 senyawa 1
Gambar 5.16 Spektrum HMBC 6 senyawa 1
Kerangka flavon semakin lengkap dengan adanya hubungan H-14 terhadap C-2. Hal ini
menunjukkan adanya korelasi proton cincin B terhadap karbonil yang terletak di cincin C
(tampak pada Gambar 5.16). Selain itu juga kerangka flavanon semakin mendekati struktur
utuh dengan adanya korelasi H-12 terhadap C-1. Dua spektrum HMBC lain (Gambar 5.17
C B
C B
C B
29
dan 5.18) memperkuat dugaan struktur dengan menunjukkan korelasi proton ke karbon
yang terjadi di cincin A (baik cincin A flavon dan flavanon).
Gambar 5.17 Spektrum HMBC 7 senyawa 1
Gambar 5.18 Spektrum HMBC 8 senyawa 1
C
A
30
Korelasi yang menjadi kunci terhubungnya kerangka flavon dan flavanon
diperlihatkan pada Gambar 4.19. Pada spektrum ini tampak hubungan H-19 (proton cincin
C dari kerangka flavon) dengan C-7 (karbon cincin C dari kerangka flavanon).
Selain spektrum HMBC, spektrum 1H-1H-COSY juga dapat memberikan informasi
penting untuk membentuk struktur utuh dengan cara memperlihatkan korelasi proton-
poton yang terjadi dengan jarak tiga ikatan. Hubungan proton-proton visinal dari H-29 dan
H-30 yang sudah dijelaskan pada spektrum HMBC (Gambar 5.11) diperkuat dengan
spektrum 1H-1H-COSY (Gambar 4.20). Korelasi lain juga tampak untuk proton-proton
aromatik dari cincin C flavon (H-15 & H-19).
Gambar 5.19 Spektrum HMBC 9 senyawa 1
31
Gambar 5.20 Spektrum 1H-1H-COSY 1 senyawa 1
Gambar 5.21 Spektrum 1H-1H-COSY 2 senyawa 1
Berdasarkan data 1 dan 2D-NMR didapatkan potongan-potongan struktur yang
mengerucut membentuk kerangka flavon dan flavanon seperti yang terlihat pada Gambar
5.22.
32
Gambar 5.22 Fragmen-fragmen struktur senyawa 1
O
O
O
OHHO
HOO
O
OH
Gambar 5.23 Dugaan struktur senyawa 1
33
Tabel 5.2 Data pergeseran kimia 1H-, 13C- dan 2D-NMR Senyawa 1
No.
C
Posisi
C
δC
(ppm)
δH (ppm)
(∑H; multiplisitas; J (Hz))
HMBC COSY
2J 3J
1 4'' 193,6 - H-30 H-13 -
2 4 184,1 - H-24 H-14 -
3 7 171,6 - - H-14 -
4 7'' 170,3 - H-28 - -
5 8a' 167,2 - - H-13 -
6 8a 165,6 - H-27 - -
7 4''' 149,3 - - H-19 -
8 2 148,2 - H-24 H-18, H-15 -
9 3''' 146,9 - H-23 - -
10 4' 146,8 - H-19 H-18 -
11 3' 146,6 - H-18 H-19 -
12 1''' 132,1 - - H-17 -
13 5'' 129,9 7,72 (1H; d; 8,4 Hz) - - -
14 5 126,8 7,56 (1H; d; 8,45 Hz) - - -
15 6''' 126,3 7,22 (1H; d; 8,45 Hz) H-19 H-18, H-24 H-19
16 1' 125,8 - - H-19 -
17 5''' 119,3 6,79 (1H; s) - H-23 -
18 2' 118,9 7,52 (1H; s) H-24 - -
19 5' 116,7 6,83 (1H; d; 8,4 Hz) - - H-15
20 6' 116,3 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) - H-28 -
21 6'' 115,5 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) - H-17 -
22 4a 114,9 - - H-26, H-27 -
23 2''' 114,8 6,93 (1H; s) - - -
24 3 114,0 6,64 (1H; s) - H-18 -
25 4a'' 113,6 - - H-20, H-28 -
26 6 111,9 6,49 (1H; dd; 1,3; 8,45 Hz) - H-27 -
27 8 103,9 6,35 (1H; d; 1,95 Hz) - H-26 -
28 8'' 99,7 6,60 (1H; s) - H-20 -
29 2'' 81,1 5,32 (1H; dd; 2,6; 13 Hz) H-30 H-23 H-30
30 3'' 45,1 3,00( 1H; dd; 13; 16,85 Hz)
- - H-30b, H-29
2,70 (1H; dd; 2,6; 16,85 Hz) - - H-30a, H-29
Penegasan dugaan strutur senyawa 1, didukung dengan data spektroskopi massa.
Spektrum massa yang digunakan adalah spektrum massa ion positif, yang artinya bobot
molekul yang muncul pada spektrum adalah hasil penambahan 1 nilai dari bobot molekul
sebenarnya. Berdasarkan spektrum massa (Gambar 5.24), senyawa 1 memiliki berat
molekul 525,2507. Bobot molekul ini sesuai dengan perhitungan bobot molekul dari
34
dugaan jumlah atom senyawa 1 yang terdiri 30 atom karbon, 20 atom hidrogen dan 9 atom
oksigen dengan rumus molekul C30H20O9.
Gambar 5.24 Spektrum ES+ MS senyawa 1
Dengan mengetahui dugaan rumus molekul tersebut, maka dapat diperoleh dugaan
nilai atau harga (double bond equivalen) DBE dari senyawa 1 dengan rumus sebagai
berikut:
DBE = Σ atom C – 𝛴 atom H
2−
𝛴 Halogen
2+
𝛴 𝑎𝑡𝑜𝑚 N
2+ 1
Berdasarkan perhitungan rumus DBE tersebut, diperoleh harga DBE senyawa 1 yaitu
21, artinya senyawa 1 diduga memiliki 4 buah cincin benzena, 2 buah karbonil, 1 ikatan
rangkap dan 2 buah siklik. Nilai DBE ini sesuai dengan dugaan struktur yang diusulkan
pada gambar 5.23. Adapun senyawa yang memiliki kemiripan dengan struktur senyawa 1
adalah 2'',3'' dihidrohinoflavon (Marcia et al., 2002) yang memiliki struktur berikut ini:
35
Gambar 5.25 Struktur 2'',3'' dihidrohinoflavon
Perbedaan struktur senyawa 1 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon terletak pada empat hal yaitu
C-5, C-5'', C-3''' dan posisi penggabungan dua kerangka flavonoid ini. Pada senyawa 1
tidak terdapat gugus hidroksi pada C-5 dan C-5'' sehingga menyebabkan pergeseran kimia
C-5 dan C-5'' pada senyawa 1 lebih kecil dibandingkan dengan pergeseran kimia C-5 dan
C-5'' pada 2'',3'' dihidrohinoflavon. Selain itu, pada senyawa 1 terdapat gugus hidroksi pada
C-3''' mengakibatkan pergeseran kimianya lebih besar dibandingkan dengan C-3''' pada
2'',3'' dihidrohinoflavon. Posisi penggabungan dua kerangka biflavon ini juga berbeda,
pada senyawa 1 penggabungan terjadi antara C-4' dengan C-4''' sedangkan pada 2'',3''
dihidrohinoflavon penggabungan terjadi antara C-3' dengan C-4'''. Keempat hal ini
mengakibatkan perbedaan pergeseran kimia karbon dan proton lainnya. Pergeseran kimia
karbon dan proton senyawa 1 dengan 2'',3'' dihidrohinoflavon ditunjukkan pada Tabel 5.3.
O
O
HO
OH
O
OH
O OH
OHO
O
O
O
OHHO
HOO
O
OH
5
4'
4'
3'
3'
5
4'''
3'''4'''
5''
5''
2'',3'' dihidrohinoflavon Senyawa 1
Gambar 5.26 Perbedaan struktur senyawa 1 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon
36
Tabel 5.3 Data pergeseran kimia 1H-& 13C-NMR Senyawa 1 dan 2'',3''
dihidrohinoflavon*
* Marcia et al., 2002
Pengukuran spektroskopi yang sama dilakukan juga terhadap isolat 2, sehingga
didapatkan struktur senyawa 2 sebagai berikut:
Gambar 5.27 Struktur senyawa 2
Posisi
C
δC (ppm) δH (ppm) (Int.; Multip.; J)
1 Ref. 1 Ref.
Kerangka flavanone
2 148,2 163,9 5,32 (1H; dd; 2,6; 13 Hz) 5,39 (1H; dd; 6,0; 12,7 Hz)
3 114,0 103,9 3,00( 1H; dd; 13; 16,85 Hz)
2,70 (1H; dd; 2,6; 16,85 Hz)
3,11( 1H; dd; 12,7; 16,6 Hz)
2,66 (1H; d; 16,6 Hz)
4 184,1 182,2 - -
4a 114,9 104,2 - -
5 126,8 161,8 7,56 (1H; d; 8,45 Hz) -
6 111,9 99,5 6,49 (1H; dd; 1,3; 8,45 Hz) 6,11 (1H; dd; 2,0 Hz)
7 171,6 164,6 - -
8 103,9 94,6 6,35 (1H; d; 1,95 Hz) 6,37 (1H; dd; 2,0 Hz)
8a 165,6 157,8 - -
1' 125,8 122,7 - -
2' 118,9 121,2 7,52 (1H; s) 7,62 (1H; d; 7,8 Hz)
3' 146,6 142,8 - -
4' 146,8 153,8 - -
5' 116,7 118,4 6,83 (1H; d; 8,4 Hz) 7,06 (1H; d; 7,0 Hz)
6' 116,3 125,3 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) 7,71 (1H; dd; 7,8; 2,0 Hz)
Kerangka flavon
2'' 81,1 78,6 - .
3'' 45,1 42,3 6,64 (1H; s) 6,62 (1H; s)
4'' 193,6 196,5 - -
4a'' 113,6 102,3 - -
5'' 129,9 163,4 7,72 (1H; d; 8,4) -
6'' 115,5 96,6 6,62 (1H; d; 9,2) 5,81 (1H; d; 2,0 Hz)
7'' 170,3 167,1 - -
8'' 99,7 95,6 6,60 (1H; s) 5,82 (1H; d; 2,0 Hz)
8a'' 167,2 163,3 - -
1''' 132,1 132,8 - -
2''' 114,8 128,8 6,93 (1H; s) 7,36 (1H; d; 7,8 Hz)
3''' 146,9 116,3 - 6,83 (1H; d; 7,8 Hz)
4''' 149,3 158,4 - -
5''' 119,3 116,3 6,79 (1H; s) 6,83 (1H; d; 7,8 Hz)
6''' 126,3 128,8 7,22 (1H; d; 8,45 Hz) 7,36 (1H; d; 7,8 Hz)
37
5.3 Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa 1 dan 2 terhadap E. faecalis
5.3.1 Pengujian sensitivitas senyawa terhadap bakteri E. facaelis
Pengujian ini dilakukan dengan metode Kirby-Bauer, dimana yang menjadi parameter
penentuan aktivitas antibakterinya dilihat dari zona hambat pertumbuhan bakteri yang
terjadi. Bakteri yang sudah ditumbuhkan pada media padat diberi larutan senyawa uji
dengan konsentrasi 5000 dan 1000 ppm pada paper disk. Klorheksidin digunakan sebagai
kontrol positif dan pelarut digunakan sebagai kontrol negatif.
Setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37°C, zona bening disekitar daerah
paper disk yang sudah diberi larutan uji (senyawa uji, kontrol positif dan kontrol negatif)
diamati dan diukur menggunakan jangka sorong. Zona bening ini menunjukkan zona
hambat pertumbuhan bakteri yang dilakukan oleh senyawa uji.
Pada tabel 5.4 ditunjukkan nilai zona hambat dari keempat senyawa terhadap
pertumbuhan bakteri. Pada konsentrasi 5000 dan 1000 ppm, keempat senyawa memiliki
zona hambat pertumbuhan bakteri yang hampir sama sekitar 7-8 mm. Oleh karena itu
diperlukan penentuan nilai KHM dan KBM dari setiap senyawa ini.
5.3.2 Nilai Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum
senyawa terhadap pertumbuhan bakteri E. faecalis.
Penentuan nilai KHM dan KBM dilakukan dengan metode mikro dilusi. Media cair
untuk pertumbuhan bakteri dimasukkan ke dalam sumur-sumur microplate. Microplate
yang dugunakan memiliki jumlah sumur 12x8 (8 sumur/baris dan 12 sumur/kolom, Lay
Out microplate terdapat pada Gambar 3.1). Kemudian ke dalam sumur kolom pertama
pada baris kelompok A (1&2) dan C (5&6) ditambahkan larutan senyawa uji, sedangkan
pelarut ditambahkan ke dalam sumur pada baris kelompok B (3&4) dan kelompok D
(7&8). Selanjutnya pada sumur kolom pertama baris 5-8 ditambahkan bakteri yang telah
ditumbuhkan pada media cair. Dari setiap sumur kolom pertama diambil 100 µL dan
dimasukkan ke dalam sumur kolom 2, selanjutnya dilakukan hal yang sama sampai kolom
12. Konsentrasi senyawa uji yang digunakan adalah 20000 ppm. Sehingga setelah
dilakukan pengenceran didapat konsentrasi senyawa uji pada sumur dari kolom ke 1-12
berturut-turut 10000; 5000; 2500; 1250; 625; 312,5; 156,2; 78,1; 39; 19,5; 9,7; 4,8 ppm.
Sedangkan untuk klorheksidin menggunakan konsentrasi awal 2000 ppm sehingga
didapatkan konsentrasi 1000; 500; 250; 125; 6,25; 3,12; 1,56; 0,78; 0,39; 0,19; 0,97; 0,48
38
ppm. Hal ini dikarenakan nilai zona hambat klorheksidin terhadap pertumbuhan E. faecalis
lebih besar dibandingkan senyawa uji. Setelah semua larutan bercampur dengan baik,
microplate ditutup dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kemudian dilakukan
pengukuran menggunakan spektrofotometer pada alat ELISA reader. Hasilnya berupa
nilai absorbansi yang menunjukkan tingkat kekeruhan larutan pada setiap sumur. Sumur
semua kolom pada setiap baris harus memiliki nilai absorbansi yang relatif sama kecuali
sumur pada baris kelompok B yang berisi media, bakteri dan senyawa uji. Hal ini
menunjukkan tidak adanya kontaminasi selama pengujian dilakukan.
Tabel 5.4 Nilai zona penghambatan, KHM dan KBM senyawa 1 dan 2 terhadap
pertumbuhan E. faecalis
Senyawa
Zona hambat (mm) pada konsentrasi (ppm) KHM
(ppm)
KBM
(ppm) 5000 1000
Ke-1 Ke-2 Rata-rata Ke-1 Ke-2 Rata-rata
1 8,65 8,60 8,62 7,80 8,50 8,15 625 625
2 8,70 8,40 8,55 8,10 8,00 8,05 625 2500
klorheksidin* td td td 12,9 12,9 12,9 1,95 31,25
*) kontrol positif
td) tidak diujikan
Penentuan nilai KHM dilihat dari perbandingan nilai absorbansi pada baris C (media,
senyawa uji dan bakteri) dengan baris D (media, pelarut dan bakteri), contohnya penentuan
nilai KHM klorheksidin ditunjukkan pada Gambar 5.28. Nilai absorbansi larutan pada
sumur yang ditandai dengan garis warna kuning menunjukkan nilai yang relatif sama. Hal
ini menunjukkan jumlah bakteri yang tumbuh pada baris C dan D sama. Sedangkan nilai
absorbansi larutan pada sumur yang ditandai dengan garis warna merah terdapat perbedaan
yang mengindikasikan adanya perbedaan jumlah bakteri yang tumbuh pada C dan D.
Sehingga nilai KHM untuk setiap senyawa uji adalah konsentrasi pengujian yang
dilingkari dengan warna merah.
Penentuan nilai KBM diambil dengan cara melihat pada konsentrasi terendah senyawa
uji tersebut dapat membunuh bakteri. Contohnya nilai KBM klorheksidin adalah 31,2 ppm
karena pada media dengan konsentrasi senyawa uji lebih telah menunjukkan adanya
pertumbuhan bakteri. Penentuan nilai KHM dan KBM senyawa uji lain dilakukan hal yang
sama seperti penentuan nilai KHM dan KBM pada klorheksidin. Pada penentuan nilai
39
KBM senyawa 1 terdapat kontaminasi dengan tumbuhnya jamur (Tabel 5.7), hal ini
disebabkan adanya kurang aseptiknya pada saat pengujian. Oleh karena itu dilakukan
perhitungan %kematian bakteri untuk menentukan nilai KBM. Perhitungan terlampir pada
lampiran.
Sumur Konsentrasi (ppm)
1000 500 250 125 62,5 31,25 15,63 7,81 3,91 1,95 0,98 0,49
M + S 0.231 0.245 0.155 0.104 0.07 0.055 0.05 0.049 0.05 0.048 0.047 0.046
0.236 0.257 0.16 0.104 0.07 0.055 0.05 0.049 0.047 0.047 0.048 0.047
M + P 0.046 0.047 0.044 0.045 0.046 0.047 0.044 0.045 0.045 0.044 0.046 0.046
0.045 0.044 0.046 0.045 0.042 0.046 0.045 0.045 0.046 0.046 0.045 0.046
M + S + B 0.265 0.259 0.164 0.107 0.074 0.057 0.05 0.048 0.048 0.095 0.136 0.132
0.266 0.258 0.16 0.103 0.072 0.054 0.049 0.049 0.048 0.099 0.143 0.14
M + P + B 0.137 0.147 0.149 0.148 0.149 0.14 0.14 0.146 0.136 0.143 0.142 0.145
0.15 0.148 0.143 0.146 0.15 0.14 0.139 0.143 0.142 0.144 0.145 0.148
Gambar 5.28 Penentuan nilai KHM klorheksidin terhadap E. faecalis
A
C
B
D
D
B
C
A
40
Tabel 5.5 Penentuan nilai KBM klorheksidin terhadap E. faecalis
Konsentrasi (ppm) Ulangan ke-
1 2
125
62,5
31,2
15,7
7,8
3,9
41
Gambar 5.29 Penentuan nilai KHM senyawa 1 terhadap E. faecalis
Sumur Konsentrasi (ppm)
10.000 5.000 2.500 1.250 625 312,5 156,3 78,13 39,06 19,53 9,77 4,88
M + S 1,434 1,331 1,184 0,634 0,337 0,203 0,132 0,095 0,080 0,068 0,060 0,054
1,190 1,423 1,111 0,592 0,323 0,193 0,127 0,092 0,075 0,066 0,060 0,054
M + P 0,056 0,047 0,048 0,048 0,047 0,047 0,046 0,046 0,046 0,046 0,046 0,046
0,053 0,047 0,049 0,047 0,047 0,046 0,047 0,046 0,046 0,047 0,046 0,047
M + S + B 1,656 1,677 1,091 0,573 0,327 0,222 0,156 0,162 0,158 0,139 0,134 0,120
1,586 1,694 1,109 0,573 0,323 0,219 0,156 0,155 0,158 0,149 0,135 0,131
M + P + B 0,058 0,061 0,073 0,104 0,110 0,119 0,114 0,116 0,117 0,113 0,113 0,107
0,055 0,059 0,071 0,101 0,110 0,118 0,119 0,116 0,109 0,111 0,112 0,109
Rata-rata 10.000 5.000 2.500 1.250 625 312,5 156,3 78,13 39,06 19,53 9,77 4,88
M + S 1.312 1.377 1.148 0.613 0.33 0.198 0.13 0.094 0.078 0.067 0.06 0.054
M + P 0.055 0.047 0.049 0.048 0.047 0.047 0.047 0.046 0.046 0.047 0.046 0.047
M + S + B 1.621 1.686 1.1 0.573 0.325 0.221 0.156 0.159 0.158 0.144 0.135 0.126
M + P + B 0.057 0.06 0.072 0.103 0.11 0.119 0.117 0.116 0.113 0.112 0.113 0.108
%
Kematian
bakteri
15450 2373 -202 -72.7 -7.94 31.25 37.86 92.86 120.1 117.6 112 116.3
A
C
B
D
C
D
A
C B
D
B
A
42
Tabel 5.6 Penentuan nilai KBM senyawa 1 terhadap E. faecalis
Konsentrasi (ppm) Ulangan ke-
1 2
10000
5000
2500
1250
625
312,5
156,2
43
Sumur Konsentrasi (ppm)
5000 2500 1250 625 312,5 156,3 78,13 39,06 19,53 9,77 4,88 2,44
M + S 0.106 0.088 0.077 0.065 0.055 0.051 0.05 0.048 0.047 0.045 0.045 0.045
0.106 0.078 0.075 0.062 0.054 0.051 0.049 0.047 0.045 0.045 0.045 0.044
M + P 0.043 0.043 0.043 0.044 0.043 0.043 0.044 0.043 0.043 0.043 0.043 0.042
0.043 0.043 0.043 0.042 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 0.044 0.043 0.049
M + S + B 0.103 0.083 0.079 0.107 0.144 0.155 0.154 0.144 0.169 0.165 0.157 0.159
0.098 0.083 0.078 0.105 0.143 0.156 0.144 0.15 0.16 0.161 0.165 0.168
M + P + B 0.046 0.045 0.049 0.087 0.132 0.16 0.145 0.152 0.157 0.15 0.159 0.164
0.045 0.048 0.048 0.089 0.135 0.158 0.155 0.157 0.158 0.162 0.159 0.169
Gambar 5.30 Penentuan nilai KHM senyawa 2 terhadap E. faecalis
A
C
B
D
A
C
B
D
44
Tabel 5.7 Penentuan nilai KBM senyawa 2 terhadap E. faecalis
Konsentrasi (ppm) Ulangan ke-
1 2
5000
2500
1250
45
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Pada penelitian selanjutnya akan dilakukan pengujian aktivitas inhibitor Mur A kedua
flavonoid yang telah diisolasi dari sarang semut (senyawa 1 dan 2).
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Pada tumbuhan sarang semut terdapat flavonoid yang beraktivitas antibakteri terhadap E.
faecalis yaitu biflavonoid (1, KHM 625 ppm) dan 3''-metoksi-epikatekin-3-O-epikatekin (2,
KHM 625 ppm). Aktivitas antibakteri dari kedua senyawa ini merupakan informasi yang baru
diketahui.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan pencarian flavonoid lain dari M. pendans yang beraktivitas antibakteri
terhadap E. Faecalis.
2. Perlu dilakukan pengujian flavonoid terhadap bakteri patogen gigi yang lain untuk
melihat potensi flavonoid yang telah diisolasi.
46
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, N.L., Blasco, E.R., Hofmann, J.P and Anderson N.G. 1991. A two dimensional gel
database of rat liver proteins useful in gene regulation and drug effects studies.
Electrophoresis 12:907-30.
Anderson, N.L, Matheson, A.D, and Steiner, S. 2000. Proteomics: applications in basic and
applied biology. Curr. Opin. Biotechnol.11:408–12.
Banks, R.E., Dunn, M.J., Hochstrasser, D.F., Sanchez, J.C. and Blackstock, W.P. 2000.
Proteomics: new perspectives, new biomedical opportunities. Lancet. 356:1749-56.
Blackstock WP, Weir MP. 1999. Proteomics: quantitative and physical mapping of cellular
proteins. Trends Biotechnol.17:121–27
Brannen L.A & Davidson P.M. 1993. Antimicrobials In Foods. Marcell dekker. New York.
Bustanussalam. 2010. Penentuan Struktur Molekul dari Fraksi Air Tumbuhan Sarang Semut
(Myrmecodia pendens Merr & Perry) yang Beraktivitas Sitotoksik dan Sebagai
Antioksidan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Cushnie, T.P.T., and A.J. Lamb. 2005. Antimicrobial activity of flavonoids. International
Journal of Antimicrobial Agents. 26: 343–356.
De paz C. 2004. Gram-positive organism in endodontic infection. Endo topics. Denmark.
Blackwell Munksgaard. 79-96
Edewor, K. T. 2013. A Review on Antimicrobial and Other Beneficial Effects of Flavonoids.
Int J Pharm Sci. 21(1):20–33.
Engida, A.M., Kasim, N.S., Tsigie, Y.A., Ismadji, S., Huynh, L.H. & Ju, Y. 2013. Extraction,
identification and quantitative HPLC analysis of flavonoids from sarang semut
(Myrmecodia pendans). Journal Industrial Crops and Products. 41.392-396.
Eschenburg, S., Priestman, M.A., Abdul-Latif, F.A, Delachaume, C., Fassy, F., Schönbrunn,
E. 2005. A novel inhibitor that suspends the induced fit mechanism of UDPN-
acetylglucosamine enolpyruvyl transferase(MurA). Joural of Biological Chemistry,
280(14), 14070-5.
Giorgianni, B. S. 2003. Proteome analysis by two-dimensional gel electrophoresis and mass
spectrometry: strengths and limitations. Trends in Analytical Chemistry. 22(5):273-81.
Hernández J. M. J., A. García, E. Garza-González, V. M. Rivas-Galindo and M.R. Camacho-
Corona. 2012. Antibacterial and Antimycobacterial Lignans and Flavonoids from Larrea
tridentata. Phytotheraphy Research. 26. 1957-1960.
Huxley, C. R., 1978, Ant-Plant Myrmecodia and Hydnophytum (Rubiaceae), and Relationships
between Their Morphology, Ant-Accupants, Physiology and Ecology, New Phytologist.
80(1): 231.
Jawetz E, Melnick, Adelberg. 2004. Medical Microbiology, 24th Edition. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.
Jebb, M. 2009. A Revision of The Ant-plant Genus Hydnophytum
(Rubiaceae).iNationaliBotaniciGardenIIreland.iMarch 20, 2015. ihttp://www.botanic
gardens.ie/herb/research/hydnophytum.html.
Jhonson W T, Noblet W C. 2009. Cleaning and Shaping: Torabinejad M, Walton RE, editor.
Endodontic Principles and Practice.St.Louis. Saunders Elsevier. 262-264.
Kayouglu G & Østarvik D. 2004. Virulance factor of enterococcus faecalis: relationship to
endodontic disease. Crit Rev Oral Bio Med. 15(5).308-320.
Kusmoro, J. 2013. Lembar Identifikasi Tumbuhan. Laboratorium Taksonomi Tumbuhan,
Jurusan Biologi UNPAD. Jatinangor.
Noviana, L. 2004. Identifikasi Senyawa Flavonoid Hasil Isolasi dari Proporlis Lebah Madu
(Apis Mellifera) dan Uji Aktivitasnya Sebagai Antibakteri (Staphylococcus Aureus).
Skripsi Mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Brawijaya Malang. Malang.
47
Pandey, A and Matthias, M. 2000. Proteomics to study genes and genom. Nature Journal. 405,
837-46.
Plumer, N. 2000. Cultivation of The Epiphytic Ant-Plants Hydnophytum and Myrmecodia.
Cactus and Succulent Journal. 72, 142-147.
Podbielski, A., Axel S., and Spahr BH. 2003. Additive antimicrobial activity of calcium
hydroxide and chlorhexidine on common endondontic bacterial pathogens. J Endod.
29(5):340–5.
Silver, L.L. 2006. Does the cell wall of bacteria remain a viable source of targets for novel
antibiotics? Biochemical Pharmacology. 71(7), 996-1005.
Stashenko, P. 2003. Etiology and pathogenesis of pulpitis and apical periodontitis. Dalam:
Østarvik, D., & Pitt Ford TR, editor. Essential endodontics. Oxford. Blackwell Science,
p: 42-67.
Subroto, M.A dan Saputro, H. 2006. Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Walsh CT & Wencewicz TA. 2014. Prospect for new antibiotics: a molecule-centered
perspective. The Journal of Antibiotics. 7-22.
Widodo, D.E., 1980, Peranan Kumur-kumur Dalam Perawatan Periodontal, Kumpulan Naskah
Ceramah Ilmiah Kongres Nasional XIV PDGI, Jakarta. 140-144.
Flavonoids from Myrmecodia pendans, their antibacterial activity against
Enterococcus faecalis
Cut Soraya1, Dikdik Kurnia2, Hendra Dian Adhita Dharsono1 and Mieke H. Satari1 1Faculty of Dentistry, Universitas Padjadjaran-Bandung, Indonesia. 2Laboratory of Natural Products Chemistry, Department of Chemistry, Faculty of Science, Universitas Padjadjaran-Bandung, Indonesia.
Abstract: Myrmecodia pendans is widely used in West Papua as herb with broad range of
therapeutic values. Our previous research found that EtOAc extract of M. pendans can inhibit
the growth of Enterococcus faecalis. We use soxhletation method to get EtOAc extract, and
then purification compounds used column chromatography normal and reverse phase to yield
1 (10 mg) and 2 (4 mg). Then, all compounds was tested against E. faecalis cultured to find
MIC value using micro dilution method. In this study, we found two flavonoids (biflavonoid(1)
with MIC 156 μg/mL and 3''-methoxy-epicatechin-3-O-epicatechin(2) with MIC 625 μg/mL)
that have antibacterial activities against E. faecalis.
1. Introduction
Over the last two decades, enterococci have been recognized as the leading cause of
hospital-acquired infection, paralleling their increased antimicrobial resistance to most
currently approved agents [1]. Of the enterococcal species associated with colonization and
infection in humans, Enterococcus faecalis is the most common species [2]. Enterococcus
faecalis, a pathogenic bacteria that commonly causes tooth infection, accounts for around 80-
90% of all infections caused by enterococci. In the past few years, Enterococcus faecalis has
been mentioned with increased frequency with regard to teeth with post-treatment disease [3].
It is generally believed that the major cause of failure is the survival of microorganisms in the
apical portion of the root-filled tooth [4]. Tooth infection can’t be taken lightly because it cause
systemic diseases such as cancer, cardiovascular diseases etc. [5].
The search for new and more effective antibiotics has gained momentum in recent years
due to increased antibiotic resistance [6]. Natural products, especially those derived from
higher plants, provide a rich source of novel and diverse antimicrobial agents. However, little
is known about the potential of secondary plant metabolites against oral pathogens [7].
Ant plant, Myrmecodia pendans, is widely used in West Papua as herb with broad range
of therapeutic values. These plants are potential to be developed in modern herbal medicines
because they can grow well as epiphytic plants, therefore the exploitation will not endanger the
environment [8]. Our previous research found that EtOAc extract of M. pendans can inhibit the
growth of Enterococcus faecalis. Otherwise, we found EtOAc extract contain highest flavonoid
level of n-hexane and water extract. Many other biological activities are attributed to
flavonoids, e.g. anticancer, antioxidant, antiviral, antimicrobial [9], antihepatotoxic,
antiosteoporotic, antiallergic, antispasmodic and antiulcer activity [10] induces apoptosis [11].
Two iridoids from the ant-plant (Myrmecodia tuberosa) exhibit weak antibacterial effect
against Staphylococcus aureus with MIC value of 100.0 μg/mL[12]. Thus, we focused to find
antibacterial flavonoid against E. faecalis.
2. Materials
2.1 Materials
Dried of Myrmecodia pendans were supplied from Papua inland and were identified by
Joko, Laboratory of Plants Taxonomi, Depatrment of Biology, Faculty of Science Universitas
Padjadjaran, Bandung, Indonesia. Kiesel gel 60 silica gel resin was used for column
chromatography (c.c.) (Merck, Darmstadt, Germany) and the ODS was a LiChroprep RP-18
(Merck). TLC analysis was carried out using Kiesel gel 60 F254 and RP-18 F254S (Merck).
Deuterated solvents were purchased from Merck Co. Ltd. and Sigma Aldrich Co. Ltd. (St.
Louis, MO, USA).
Enterococcus faecalis ATCC 29212 was used for the test, Muller Hinton broth and Muller
Hinton agar as medium, chlorhexidine and fosfomicyn (were purchased from Merck Co. Ltd.
and Sigma Aldrich) as positive control, and anaerobic jar (for anaerobic condition) for
antibacterial assay.
2.2 Instruments
NMR spectra recorded on a 500 MHz FT-NMR spectrometer (Varian ECA 500 JOEL,
Japan). IR spectra were obtained from a Perkin Elmer Spectrum One FT-IR spectrometer
(Buckinghamshire, England). ES-MS spectrometer (UPLC MS/MS TQD type, Waters).
Laminar air flow, incubator Memmert, autoclave machine HVE-50 Hirayama, jar and ELISA
reader Diagnostic Automation Inc.
3. Methods
3.1 Isolation of Flavonoids from the EtOAc extract obtained from M. pendans
The air-dried ground plant material (Myrmecodia pendans, 3 Kg), was extracted with
100% EtOAc (3x3 L) at 40°C on heating mantle of soxhlet extractor. The extract was
evaporated to yield a residue (30 g). Residue (EtOAc extract) was subjected to column
chromatography stationary phase silica gel 60 (300 g, 70-230 mesh, Merck, Munish, Germany)
eluting with a gradient 10% n-Hexane/EtOAc, to yield eleven fractions. Fraction 8 (0.45 g) was
subjected to column chromatography stationary phase silica gel 60 (9 g, 70-230 mesh) eluting
with a gradient 5% n-Hexane/EtOAc (70:30 to 30:70 v/v), to yield eight fractions. Fraction 8.4
(38 mg) was subjected to an RP-C18 column, eluting with an isocratic of H2O/MeOH (70:30
v/v) to yield 1 (10 mg). Fraction 9 (0.65 g) was subjected to column chromatography stationary
phase silica gel 60 (150 g, 70-230 mesh) eluting with a gradient 5% n-Hexane/EtOAc (75:25
to 25:75 v/v), to yield eleven fractions. Fraction 9.6 (167 mg) was subjected to an RP-C18
column, eluting with isocratic of H2O/MeOH (70:30 v/v) to yield 2 (4 mg). Rf value for
compound 1 and 2 are 0.2 and 0.4, on TLC (RP-18 F254S) with eluting MeOH/H2O 1:1.
3.2 Antibacterial assay
Estimation of antibacterial effects of compound 1 and 2 on E. faecalis ATCC 29212 used
in this study was conducted using disk diffusion [13] and micro dilution method [14]. The
Kirby-Bauer disk diffusion susceptibility test was used to determine the sensitivity or resistance
of E. faecalis to compounds. The procedure follow as reference in CLSI protocols [13].
Compounds (samples) were diluted with methanol-water (1:1), however chlorhexidine and
fosfomycine (controls) were diluted with water. All of them (controls and samples) were
performed out of concentration 5000 and 1000 μg/mL. Paper discs (7 mm) were impregnated
with 20 μL of each sample and then discs loaded with natural products were placed onto the
surface of the agar. Tests were performed in duplicate.
To determine MIC value used micro dilution method. The bacterial cells were pre-cultured
in Muller Hinton broth at 37°C under aerobic conditions. They were incubated in the presence
of compounds with the concentrations obtained by serial two-fold dilution at 37°C without
shaking in the same broth for 24 h on micro plates as shown in procedure that used in Clinical
and Laboratory Standards Institute, and their MICs were estimated as the lowest concentrations
where the bacterial cells were not observed visually as reported previously, and given based on
triplicate experiments. Water or MeOH used for dissolving compounds where water and MeOH
have no effect. The positive control, chlorhexidine and fosfomicyn, was dissolved in water.
The minimal inhibitory concentration values (MIC) and the minimal bactericidal concentration
(MBC) of the pure compounds were determined by using the micro dilution broth method in
96-well micro plates [14]. Tests were performed in duplicate.
4. Result
4.1 Isolation of Flavonoids from the EtOAc extract obtained from M. pendans
Biflavonoid (1): UV λmax nm: (MeOH): 208, 258, 273 and 393. IR (KBr) cm-1: 3483 and
1597. ES-MS m/z 525.0527 [M+H]-. 1H-NMR (CD3OD): δH. 7.72 (d, J = 8.4 Hz, H-5''), 7.56
(d, J = 8.45 Hz, H-5), 7.52 (s, H-2'), 7.22 (d, J = 8.45 Hz, H-6'''), 6.93 (s, H-2'''), 6.83 (d, J =
8.4 Hz, H-5'), 6.79 (s, H-5'''), 6.64 (s, H-3), 6.62 (d, J = 9.2 Hz, H-6' & H-6''), 6.60 (s, H-8''),
6.49 (dd, J = 1.3 & 8.45 Hz, H-6), 6.35 (d, J = 1.95 Hz, H-8), 5.32 (dd, J = 2.6 & 13 Hz, H-
2''), 3.00 (dd, J = 13 & 16.85 Hz, H-3'') and 2.70 (dd, J = 2.6 & 16.85 Hz, H-3''). 13C-NMR
(CD3OD): δc 193.6(C-4''), 184.1(C-4), 171.6(C-7), 170.3(7''), 167.2(C-8a'), 165.6(C-8a),
149.3(C-4'''), 148.2(C-2), 146.9(C-3'''), 146.8(C-4'), 146.6(C-3'), 132.1(C-1'''), 129.9(C-5''),
126.8(C-5), 126.3(C-6'''), 125.8(C-1'), 119.3(C-5'''), 118.9(C-2'), 116.7(C-5'), 116.3(C-6'),
115.5(C-6''), 114.9(C-4a), 114.8(C-2'''), 114.0(C-3), 113.6(C-4a''), 111.9(C-6), 103,9(C-8),
99.7(C-8''), 81.1(C-2'') and 45.1(C-3'').
3-methoxy-3-epicatechin-epicatechin (2): UV λmax nm: (MeOH): 208.4 and 279.4. ES-MS
m/z 575.2751 [M+H]-. 1H-NMR (CD3OD): δH 6.80 (d, J = 1.95 & 8.45 Hz, H-6' & H-6'''), 6.97
(d, J = 1.95 Hz, H-2' & H-2'''), 6.74 (d, J = 1.95 Hz, H-5' & H-5'''), 5,94 (d, J=1,9 Hz, H-8 &
H-8''), 5.91 (d, J=1,9 Hz, H-6 & H-6''), 4.57 (s, H-2 & H-2''), 3.88 (s, OCH3), 2.84 (dd, J= 4.5
& 16.9 Hz, H-3 & H-3'') and 2.72 (dd, J= 2.6 & 16.9 Hz, H-4 & H-4''). 13C-NMR (CD3OD): δc
158.1(C-5), 158(C-5''), 157.8(C-7), 157.7(C-7''), 157.5(C-8a), 157.4(C-8a''), 146(C-3'&C-3'''),
145,9(C-4'&C-4'''), 132.4(C-1'&C-1'''), 119.5(C-6'&C-6'''), 115.9(C-5'&C-5'''), 115.4(C-2'&C-
2'''), 100.2(C-4a&4a''), 96.4(C-8&C-8''), 95.9(C-6&C-6''), 79.9(C-2&C-2''), 67.6(C-3&C-3''),
56.8(OCH3) and 29.4(C-4&C-4'').
4.2 Antibacterial activity
Susceptibility of sample (compound 1 and 2) against E. faecalis can see inhibit zone of
sample on growth bacteria by Kirby-Bauer method. The susceptibility test of sample was done
two variable concentration at 1000 and 5000 μg/ml, chlorhexidine and fosfomicyn as a positive
control, and solvent as a negative control that no effect (no give inhibit zone). All of them
except chlorhexidine show inhibit zone very close at concentration 1000 μg/mL. Although at
5000 μg/mL inhibit zone of sample is different significantly to fosfomicyn.
Table 1. Antibacterial activity of compound 1 and 2 againts E. faecalis
Compound
Inhibition Zone of compound (mm) at Concentration (μg/mL) MIC
(mg/mL)
MBC
(mg/mL) 5000 1000
1 2 Average 1 2 Average
Compound 1 8.65 8.60 8.62 7.80 8.50 8.15 156 625
Compound 2 8.70 8.40 8.55 8.10 8.00 8.05 625 2500
Chlorhexidine* ** ** ** 12.9 12.9 12.9 1.9 31.2
Fosfomicyn* 23.1 22.3 22.7 8.40 8.40 8.40 62.5 None *standard
**not yet
Figure 1. Inhibit zone of compound 1, 2, chlorhexidine and fosfomicyn against E. faecalis
Figure 2. MIC and MBC value of compound 1, 2, chlorhexidine and fosfomicyn against
E. faecalis
0
5
10
15
20
25
1 2 Chlorhexidine Fosfomicyne
Inhib
it z
one
(mm
)
Compound
5000 μg/ml
1000 μg/ml
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
1 2 Chlorhexidine Fosfomicyn
Co
nce
ntr
atio
n (
μg/m
l)
Compound
MIC
MBC
(a) (b)
(c) (d)
Figure 3. Determining MIC value of compound 1, 2, chlorhexidine and fosfomicyn
(M: medium, S: sample, B: bacteria)
4 Discussion
4.3 Isolation and Structure Elucidation
Compound 1 was obtained as a yellow amorphous powder. Its molecular formula was
C30H20O9, based on the [M+H]+ ion peak in mass spectrometry (m/z 525.2507). Hydroxyl and
carbonyl group of compound 1 was showed peak at 3483.4 and 1579.0 cm-1 in IR spectrum.
Based on the 13C-NMR spectrum, all carbons of compound 1 are thirty carbon signals.
Compound 2 was isolated as a red amorphous powder. The 13C-NMR spectrum of 2
exhibited 19 signals with range signal at 158.1-29.4. On the basis HMQC spectrum, each
carbon signal at 146-29.4 except signal at 56.8 contained two carbons. So, compound 2 have
31 carbons (24 carbons sp2 and 7 carbons sp3) that deduced contains two flavonoids framework
(flavonoid framework contain 15 carbons, C6-C3-C6), not a triterpenoid framework [15].
Flavonoid type of compound 2 is catechin framework because compound 2 doesn’t have
carbonyl [16].
The 1H-NMR spectrum showed five aromatic proton signals at δ 6.97 (d, J = 1.95 Hz, H-2'
& H-2'''), 6.80 (d, J = 1.95 and 8.45 Hz, H-6' & H-6'''), and 6.74 (d, J = 1.95 Hz, H-5' & H-5''')
in the form of an ABD spin-system suggesting a flavonoid with a 3',4'- disubstituted A-ring.
Ring B protons appeared at 5.94 (d, J = 1.9 Hz, H-6 & H-6'') and 5.91 (d, J = 1.9 Hz, H-8 &
H-8'') showed the same J value, indicating both of them is meta couple protons. One proton
signals at δ 3.88 (s, 3''-OCH3), indicating a methoxy group. NMR data of compound 2 (Table
3) showed two catechin framework.
The structure was determined by the analysis of NMR data as well as by comparison with
previously reported values [17-19]. Mass spectrum showed a protonated molecular ion peak at
m/z 575.2751 [M-1]+, suggesting the molecular formula C31H28O11. The fragment ion peak at
m/z 290.1418 appeared due to loss of a monomer (methoxy-epicatechin).
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
0 10 20 30 40
Ab
sorb
ance
of
bac
teri
a cu
ltu
re
Concentration of chlorhexidine (μg/mL)
M + S + B
M + B
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
0,18
0 100 200 300
Ab
sorb
ance
of
bac
teri
a cu
ltu
re
Concentration of fosfomicyne (μg/mL)
M + S + B
M + B
-250
-200
-150
-100
-50
0
50
100
150
0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000
% G
row
th b
acte
ria
(%)
Concentration of compound 1 (μg/mL)
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
0,18
0 500 1000 1500
Ab
sorb
ance
of
bac
teri
a cu
ltu
re
Concentration compound 2 (μg/mL)
M + S + B
M + P + B
Table 3. NMR data of compound 2
Figure 5. Chemical structure of compound 1 and 2
4.4 Evaluation of antibacterial activity
According Clinical Laboratory Standard International protocol’s [13], the categories of
susceptibility on bacteria was shown inhibit zone as follow susceptible (≤ 20 mm), intermediate
(15-19 mm) and resistant (≥ 14 mm). Based on this protocols, compound 1, 2 and standard
include to resistant categories at 1000 μg/mL. However, the compound was possible to be
susceptible at the higher concentration.
Position δC δH (Multp, J) DEPT HMBC
COSY 2J 3J
2 79.9 4.57 (s) CH H-6' H-2' -
3 67.6 4.18 (m) CH H-4 - H-4
4 29.4 2.84 (dd, J= 4.5 dan 16.9 Hz)
CH2 - - H-4, H-3
2.72 (dd, J= 2.6 dan 16.9 Hz) - - H-4, H-3
4a 100.2 - C H-4 H-8 -
5 158.1 - C H-6 - -
6 95.9 5,91 (d, J= 1.9 Hz) CH - - -
7 157.8 - C H-6 - -
8 96.4 5.94 (d, J= 1.9 Hz) CH H-6 - -
8a 157.5 - C H-6 - -
1' 132.4 - C - H-5' -
2' 115.4 6.97 (d, J= 1.95 Hz) CH H-2 H-6' -
3' 146 - C H-2' H-5' -
4' 145.9 - C H-5' H-2' -
5' 115.9 6.74 (d, J= 8.45 Hz) CH H-2 H-6' H-6'
6' 119.5 6.80 (d, J= 1.95 dan 8.45 Hz) CH - H-2' H-5'
2'' 79.9 4.57 (s) CH H-6'' H-2'' -
3'' 67.6 4.18 (m) CH H-4'' - H-4''
4'' 29.4 2,84 (dd, J= 4.5 and 16.9 Hz)
CH2 - - H-4'', H-3''
2,72 (dd; J= 2.6 and 16.9 Hz) - - H-4'', H-3''
4a'' 100.2 - C H-4'' H-8'' -
5'' 158 - C H-6'' - -
6'' 95.9 5,91 (d, J= 1.9 Hz) CH - - -
7'' 157.7 - C H-6'' - -
8'' 96.4 5.94 (d, J= 1.9 Hz) CH H-6'' - -
8a'' 157.4 - C - - -
1''' 132.4 - C - H-5''' -
2''' 115.4 6.97 (d, J= 1.95 Hz) CH H-2''' H-6''' -
3''' 146 - C H-2''' H-5''' -
4''' 145.9 - C H-5''' H-2''' -
5''' 115.9 6.74 (d, J= 8.45 Hz) CH H-2''' H-6''' H-6'''
6''' 119.5 6.80 (d, J= 1.95 and 8.45 Hz) CH - H-2''' H-5'''
OCH3 56.8 3,88 (3H; s) CH3 - - -
Compounds 1-2 exhibited E. faecalis with MIC values that shown in the Table 2. MIC
value’s compound 1 is third highest after chlorhexidine and fosfomicyn. Compound 1 and 2
are flavonoid. Both of them have antibacterial activity against E. faecalis. This bioactivity of
these compounds hasn’t been unknown before.
Determining MIC value was taken on difference of OD control (Medium + bacteria) and
OD sample (Medium + bacteria + sample). For example MIC value of chlorhexidine was
shown on graphic (figure 4.a). OD control have a stable that shown no contaminant in the well
of control or the same word is the bacteria growth kindly. In other hand, OD sample which
contain medium, bacteria and sample given value decrease significantly. That means sample
have effect to bacteria growth and the lowest inhibition occurred on the well at concentration
of sample 3.9 μg/mL. MIC value of fosfomicyn and compound 2 was taken the same way as
determined MIC value of chlorhexidine. We can see fosfomicyn effect’s to growth bacteria on
figure 4.b, the third higher concentration decreases growth bacteria (625, 1250, and 250 μg/mL)
and MIC value is 625 μg/mL. Figure 4.d shows compound 2 effect’s to growth bacteria, the
second higher concentration give effect significantly. There is 625 and 1250 μg/mL, so MIC
value of compound 2 is 625 μg/mL.
If the color of compound abandon to OD value (color’s sample was absorbed), MIC value
didn’t taken by comparison between OD value of sample and control. So the MIC value was
determined by formula as follow:
% 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ 𝑏𝑎𝑐𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎 =(𝑂𝐷𝑐𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 − 𝑂𝐷𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒)
𝑂𝐷𝑐𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙
Because of deep color of compound 1 absorbed light UV, so MIC value of compound 2 was
determined as formula above. Figure 4.c shows compound 1 effect’s to growth bacteria.
Populated of bacteria decreases significantly start at the concentration 156 μg/mL, % growth
bacteria at 78 μg/mL is 92.8% and at 156 is 37.9%. The lowest concentration to inhibit growth
bacteria is 156 μg/mL. So, MIC value of compound 1 is 156 μg/mL. Based on Clinical
Laboratory Standard International protocol’s [14], compound 1, 2 and standard include to
resistant categories at 1000 μg/mL. The categories of susceptibility on bacteria was shown MIC
value as follow susceptible (≤ 4 μg/mL), intermediate (8-16 μg/mL) and resistant (≥ 32 μg/mL)
[14].
Bacteria solution in the sample well was grown on solid medium (agar medium) and was
incubated at 37°C for 24 h. Determination MBC value can see by visualization directly, the lowest concentration which no growth bacteria defined as MBC value. All of them have MBC
value, except fosfomicyn (see Table 1).
In this study, two flavonoids were isolated from the M. pendans and their antibacterial
activity against E. faecalis was showed for the first time. The isolated compounds were
identified as biflavonoid (1, MIC 156 μg/mL) and 3''-methoxy-epicatechin-3-O-epicatechin (2,
MIC 625 μg/mL). Based on comparison at Scifinder data [20], both of them is a novel flavonoid
for the time was isolated from plant.
Acknowledgments
We gratefully acknowledge to Ministry of Research, Technology and Higher Education
of the Republic of Indonesia for Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi 2016 Program.
References
1. Togay, S.O., Keskin, A.C., Acik, L. & Temiz, A. 2010. Virulence genes, antibiotic
resistance and plasmid profiles of Enterococcus faecalis and Enterococcus faecium from
naturally fermented Turkish foods. Journal of Applied Microbiology ISSN 1364-5072.
2. Pinheiro, E.T., Gomes, B.P.F.A, Drucker, D.B., Zaia, A.A, Ferraz, C.C.R. & Souza-Filho,
F.J. 2004. Antimicrobial susceptibility of Enterococcus faecalis isolated from canals of
root filled teeth with periapical lesions. International Endodontic Journal. 37, 756-763.
3. Portenier, I. Waltimo, T.M.T & Haapasalo, M. 2003. Enterococcus faecalis–the root canal
survivor and ‘star’ in posttreatment disease. Endodontic Topics, 6, 135-159.
4. Stuart, C.H., Schwartz, S,C., Beeson, T.J. & Owatz C.B. 2005. Enterococcus faecalis: Its
Role in Root Canal Treatment Failure and Current Concepts in Retreatment. JOE. Vol. 32
No. 2.
5. Li, X.; Kristin, M.K.; Leif, T.; Ingar, O. Systemic diseases caused by oral infection.
Clinical Microbiology Reviews, 2000, Vol.13, No.4, 547–558.
6. Orms, N.F. A computational and synthetic investigation of potential inhibitors of the MurA
enzyme: the effect of alkane chain length on the action of small molecule drug candidates.
Department of Chemistry, Centre College, 600 West Walnut Street, Danville, KY 40422.
7. Ambrosio, S.R., Furtado, N.A.J.C., de Oliviera, D.C.R., da Costa, F.B., Martins, C.H.G.,
de Carvalho, T.C., Porto, T.S. Veneziani, R.C.S. 2008. Antimicrobial Activity of Kaurane
Diterpenes against Oral Pathogens. Z. Naturforsch. 63c, 326-330.
8. Hertiani, T.; Sasmito, E.; Sumardi; Ulfah, M. Preliminary Study on Immunomodulatory
Effect of Sarang-Semut Tubers Myrmecodia tuberosa and Myrmecodia pendens. Journal
of Biological Science, 2010, 10 (3), 136-141.
9. Kumar, S. & Pandey, A.K. Chemistry and biological activities of flavonoids: an overview.
The Scientific World Journal, 2013; 16 pages.
10. Cuyckens, F. and Claeys, M. Mass spectrometry in the structural analysis of flavonoids.
Journal Mass Spectrometry. 2004; 39: 1–15
11. Hasanuddin, Krisnadi, S.R., Gandamihardja, S., Kurnia, D. & HD Adhita D. Terpenoid
Bioactive Compound Isolated from Papua Ant Nest Induces the Apoptosis of Human
Ovarian Cell Lines (SKOV-3) and Increasing Caspase-9 Activity. American Journal of
Research Communication. 2015, Vol 3(9).
12. Hanh, P.H., Phan, N.H.T., Thuan, N.T.D., Hanh, T.T.H., Vien, L.T., Thao, N.P., Thanh,
N.V., Cuong, N.X., Binh, N.Q., Nam, N.H. Kiem, P.V., Kim, Y.H & Minh, C.V. Two new
simple iridoids from the ant-plant Myrmecodia tuberosa and their antimicrobial effects.
Natural Product Research. 2015. ISSN: 1478-6419.
13. Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI - formerly NCCLS). Performance
Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Tests; Approved Standard, 11th ed.;
Clinical and Laboratory Standards Institute: Wayne, PA, USA, 2012
14. Clinical and Laboratory Standards Institute document M7-A8. Methods for Dilution
Antimicrobial Susceptibility Tests for Bacteria that Grow Aerobically; Approved
Standard, 9th ed.; Clinical and Laboratory Standards Institute: Wayne, PA, USA, 2012
15. Dewick, P.M. Medicinal Natural Product: A Biosynthetic Approach Second Edition.
School of Pharmaceutical Sciences University of Nottingham, UK. John Wiley & Sons,
Ltd. 2002.
16. Andersen, Ø.M. and Markham, K.R. Flavonoids: chemistry, biochemistry, and
applications. Taylor & Francis Group. 2006.
17. Shahat, A.A. Procyanidins from Adansonia digitata. Pharmaceutical Biology. 2006, Vol.
44, No. 6, 445–450.
18. Qi, S.I., Wu, D.G., Ma, Y.B. & Luo, X.D. A novel flavane from Carapa guianensis. Acta
Botanica Sinica. 2003, 45(9): 1129-1133.
19. Lin, H.H & Lin, Y.T. Flavonoids from the leaves of Loranthus kaoi (Chao) Kiu. Journal
of Food and Drug Analysis. 1999, 7(3): 185-190.
20. www.scifinder.org