LAPORAN PENELITIAN LINTAS BIDANG EVALUASI...
-
Upload
truongdiep -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
Transcript of LAPORAN PENELITIAN LINTAS BIDANG EVALUASI...
LAPORAN PENELITIAN LINTAS BIDANG
EVALUASI KINERJA KPK DALAM PENGGUNAAN BALANCED SCORECARD
Puteri Hikmawati, SH., MH
Dr. Inosentius Samsul, SH.,MH
Dr. Ujianto Singgih Prayitno, M.Si
Lidya Suryani Widayati, SH., MH
Venti Eka Satya, SE., M.Si., Ak
T. Ade Surya, S.T., M.M.
Ari Mulianta Ginting, S.E., M.S.E.
Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.
PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI
SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
2014
RINGKASAN EKSEKUTIF
EVALUASI KINERJA KPK
DALAM PENGGUNAAN BALANCED SCORECARD
A. Latar Belakang Masalah
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan
lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. KPK secara khusus
dibentuk dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Adapun yang menjadi dasar pertimbangan
dibentuknya KPK, salah satunya adalah lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien
dalam memberantas tindak pidana.
KPK memiliki kewenangan yang besar dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, seperti dapat melakukan penyadapan dan memerintahkan
instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. KPK juga
dapat meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa,
dan memerintahkan pemblokiran rekening yang diduga hasil dari korupsi
milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait. Namun demikian,
setelah lebih dari 10 tahun KPK terbentuk, tingkat terjadinya korupsi di
Indonesia masih sangat tinggi, sehingga kinerja KPK mendapat sorotan
publik. Dalam melakukan pemberantasan korupsi, KPK mendapat anggaran
yang lebih besar dari penyidik korupsi lainnya. KPK menggunakan anggaran
dari APBN dengan pagu senilai Rp.703,8 miliar. Tetapi besar uang negara
yang dapat diselamatkan dalam tahun 2013, Rp1 triliun lebih.
Terdapat persepsi di masyarakat, bahwa KPK dianggap ”tebang pilih”
dan bersikap diskriminatif dalam menangani kasus korupsi. Bahkan, KPK
masih dianggap lebih menekankan upaya penindakan daripada pencegahan
tindak pidana korupsi. Setiap ada kasus korupsi, pemberantasan korupsi
diwujudkan dalam bentuk pengusutan dan penghukuman. Upaya pencegahan
korupsi (upaya preventif) seharusnya dilakukan seimbang dengan upaya
penindakan korupsi agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara
efektif. Anggapan ini tersebut muncul, karena masyarakat luas tidak
mengetahui bagaimana proses di dalam organisasi KPK dalam menangani
setiap permasalahan yang ada. Masyarakat mengharapkan, bahwa KPK
adalah organisasi atau institusi negara yang akuntabel, kompetitif, ramah
rakyat, dan berfokus pada kinerja. KPK ditantang untuk memenuhi harapan
berbagai kelompok stakeholders yang mengharuskannya untuk bertindak
profesional, sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi swasta. Sebagai
lembaga negara, KPK harus mempunyai sistem manajemen strategis, karena
dunia eksternal adalah sangat tidak stabil, maka sistem perencanaan harus
mengendalikan ketidakpastian yang ditemui. KPK perlu menunjukkan
kepada publik bahwa organisasinya telah berfokus strategi, meski lebih
bersifat hipotesis, suatu proses yang dinamis, dan merupakan pekerjaan
setiap staf.
Publik perlu mengetahui bagaimana kinerja KPK sejak
pembentukannya melalui bussines processes yang dilakukannya, apakah KPK
telah berfokus pada strategi yang sudah dirumuskan, dan
menterjemahkannya ke dalam terminologi operasional, menyelaraskan
organisasi dengan strategi (dan bukan sebaliknya), memotivasi staf sehingga
membuat strategi merupakan tugas setiap orang, menggerakkan perubahan
melalui kepemimpinan eksekutif, dan membuat strategi sebagai suatu proses
yang berkesinambungan. Pendekatan ini disebut dengan Balanced Scorecard
yang merupakan bagian dari sistem manajemen strategis, yang perlu
dirumuskan oleh KPK, agar dapat mencapai visi dan misinya secara efektif.
Perspektif balanced scorecard yang digunakan KPK dalam mengukur kinerja
lembaganya adalah stakeholder, proses internal, pertumbuhan dan
pembelajaran, dan perspektif keuangan. Oleh karena itu, penelitian ini akan
mengkaji bagaimana kinerja KPK dalam menggunakan balanced scorecard
(BSC)? Apakah sudah sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002?
B. Kerangka Konseptual
KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan
melakukan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tugas KPK
adalah melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi dan supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 6 huruf a dan b UU KPK. Merujuk pada ketentuan
Pasal 6 UU KPK, KPK diberi mandat untuk mendahulukan kedua tugas
tersebut dan sekaligus menjalankan fungsi “trigger mechanism”.
Dalam sektor publik, pengukuran kinerja merupakan suatu hal yang
penting karena berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak.
Dengan adanya pengukuran kinerja maka suatu lembaga akan terlihat
pencapaian dan usahanya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Dengan kata lain, pengukuran kinerja
suatu lembaga akan memperlihatkan bagaimana lembaga tersebut
memenuhi harapan dan kebutuhan yang telah diamanatkan oleh regulasi
yang ada yang mengatur keberadaan lembaga tersebut, sehingga dapat
memenuhi harapan publik. Dalam prakteknya, sejak 2005 KPK telah
menerapkan Balanced Scorecard dalam upaya meningkatkan kinerjanya.
Balanced Scorecard (BSC) merupakan sarana untuk melakukan
keseimbangan pengukuran kinerja organisasi yang tidak hanya mengukur
dari sisi keuangan saja, tetapi juga dari sisi non-keuangan. Scorecard
merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang mencerminkan lingkungan
kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus pada strategi
yang ditetapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard. Jadi BSC
termasuk dalam konsep pengukuran kinerja berbasis strategi.
Konsep BSC berkembang sejalan dengan perkembangan
implementasinya. BSC merupakan salah satu model pengukuran kinerja
sebuah organisasi, yang bukan hanya menekankan pada seberapa jauh
keberhasilan organisasi dilihat dari segi finansial saja, akan tetapi lebih
ditekankan pada keseimbangan (balanced) antara hasil (result) yang dicapai
dengan faktor pendorong (enablers) untuk mencapai hasil tersebut dengan
mengukur secara berimbang terhadap ukuran keuangan dan non-keuangan,
ukuran internal dan eksternal, serta ukuran kinerja jangka pendek dan
jangka panjang.
Ada empat perspektif yang menjadi kerangka BSC untuk instansi
pemerintah, yaitu:
a. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan yang mengidentifikasi
infrastruktur yang harus dibangun organisasi dalam menciptakan
pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Tiga sumber
pembelajaran dan pertumbuhan organisasi berasal dari sumber daya
manusia, sistem, dan prosedur perusahaan.
b. Perspektif Proses Bisnis Internal, sebagai organisasi publik harus
melakukan identifikasi berbagai proses internal yang penting yang harus
dikuasai dengan baik untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya.
c. Perspektif Pelanggan, yaitu para pemimpin organisasi mengidentifikasi
pelanggan dari suatu organisasi dan berbagai ukuran kinerja unit
organisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
d. Perspektif Stakeholder, organisasi merumuskan tujuan yang ingin dicapai
organisasi di masa yang akan datang yang dikaitkan dengan strategi
organisasi. Tujuan stakeholder tersebut berperan sebagai fokus bagi
tujuan-tujuan strategis dan ukuran-ukuran tiga perspektif lainnya dalam
BSC organisasi publik.
Setiap tujuan dan ukuran dari setiap perspektif merupakan suatu
hubungan sebab akibat, artinya jika tujuan dari perspektif pelanggan, proses
bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan tercapai, maka pada
akhirnya adalah peningkatan kinerja dalam perspektif bagi stakeholder.
Hubungan sebab akibat merupakan komponen penting dalam performance
measurement model karena hubungan sebab akibat dapat membantu
memprediksi tujuan finansial yang akan dicapai, dan dapat menciptakan
proses pembelajaran, motivasi, dan komunikasi yang efektif. Setelah
ditetapkan keempat perspektif bagi organisasi publik, maka langkah
selanjutnya adalah memetakan strategi bagi organisasi publik untuk masing-
masing perspektif. Pemetaan strategi ini merupakan salah satu langkah yang
penting dalam penerapan BSC baik bagi organisasi profit maupun non-profit.
Pemetaan strategi dalam suatu organisasi akan memperlihatkan hubungan
sebab akibat yang lebih jelas di antara keempat perspektif dalam BSC.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain evaluatif dengan pendekatan
kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
sosial manusia. Pendekatan penelitian kualitatif menekankan pada teknik
pengumpulan data dengan cara wawancara, sehingga peneliti harus terlibat
langsung dalam melakukan dialog (wawancara mendalam) dengan informan
di lapangan. Pendekatan kualitatif yang dipilih menggunakan sosio-legal,
yang mengacu pada semua bagian dari ilmu-ilmu sosial yang memberikan
perhatian pada hukum, proses hukum atau sistem hukum. Salah satu
karakteristik pentingnya adalah sifat kajiannya yang multi atau interdisiplin,
yaitu mulai dari sosiologi, akutansi, manajemen sumber daya manusia dan
ilmu hukum yang terdiri dari pidana dan ekonomi. Mengingat rumitnya
relasi antara hukum dan realitas sosial di Indonesia, membuat kajian sosio-
legal menjadi semakin relevan dibandingkan di negara-negara di mana
hukum dan masyarakat dapat menyatu dengan lebih baik.
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
dikumpulkan melalui kelompok diskusi terarah (Focus Group Discussion)
dengan pejabat di KPK dan pakar, serta praktisi yang ahli di bidang
kelembagaan KPK dan Balanced Scorecard sebagai informan terpilih.
Informasi ini merupakan bahan baku untuk melakukan analisis sehingga
dapat memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan penelitian yang
diajukan dalam penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari
dokumen resmi, seperti undang-undang, laporan singkat, risalah
persidangan, klipping berita surat kabar dan hasil-hasil kajian yang
dilakukan, baik oleh perseorangan ataupun organisasi masyarakat.
Analisis data dilakukan selama penelitian di lapangan dan setelah
selesai pengumpulan data. Selama penelitian di lapangan dilakukan kegiatan:
(1) memantapkan fokus penelitian dan pengumpulan data sehingga tidak
bias oleh banyak hal yang kelihatan mungkin menarik; (2) wawancara
dengan informan dimulai dari pertanyaan yang bersifat umum, kemudian
dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih analitik, operasional,
fleksibel sesuai dengan kondisi objektif yang dihadapi di lapangan; (3) setiap
sesi pengumpulan data direncanakan secara jelas, (4) menjaga konsistensi
atas ide dan tema atau fokus penelitian, (5) menuangkan data yang diperoleh
dalam catatan lapangan; dan (6) mempelajari referensi yang relevan untuk
menambah dan meningkatkan wawasan dan mempertajam analisis peneliti
berkaitan dengan apa yang sedang dipelajari.
D. Kesimpulan Penelitian
1. Tugas KPK dalam UU No. 30 Tahun 2002
KPK dalam menjalankan setiap tugas, fungsi, dan wewenangnya
dilandasi oleh asas-asas yang terdapat dalam UU KPK, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 UU KPK, yaitu asas kepastian hukum, asas
keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan, dan asas proporsionalitas.
Asas-asas tersebut diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan
wewenang KPK yang dipengaruhi oleh kinerja kelembagaan dan seluruh
elemen di dalamnya. Adapun tugas KPK yang diamanatkan oleh UU KPK
meliputi:
a. Melakukan koordinasi terhadap instansi yang memiliki kewenangan untuk
memberantas tindak pidana korupsi;
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang memiliki kewenangan untuk
memberantas tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
2. BSC dalam Roadmap KPK
Untuk melaksanakan tugas KPK telah ditetapkan fokus area dalam
Roadmap KPK 2011-2015, yaitu: penanganan grand corruption dan
penguatan APGAKUM, perbaikan sektor strategis terkait kepentingan
nasional (national interest), pembangunan fondasi sistem integrasi nasional
(SIN), penguatan sistem politik berintegritas dan masyarakat (CSO) paham
berintegritas, dan persiapan fraud control. Berkaitan dengan fokus area
tersebut, yang dimaksud dengan sektor strategis yang terkait dengan
national interest meliputi ketahanan papan plus, ketahanan energi dan
lingkungan, penerimaan negara, dan bidang infrastruktur. Pelaksanaan
kelima fokus area ini diukur dengan menggunakan BSC sebagai sistem
manajemen kinerja KPK.
BSC telah diadopsi oleh KPK dalam sistem manajemennya untuk
mengukur kinerja kelembagaannya dan seluruh elemen di dalamnya sejak
tahun 2005. Balance scorecard tersebut dirumuskan dalam strategy map KPK
yang terdiri dari empat perspektif, yaitu perspektif stakeholders, perspektif
internal process, perspektif learning and growth, dan perspektif financial.
Berdasarkan strategy map tersebut, KPK menggunakan perspektif
stakeholders untuk menggantikan perspektif customer. Menurut KPK,
penggunaan BSC memudahkan KPK dalam menentukan sasaran strategis
yang akan dicapai dalam perspektif stakeholders. Perspektif stakeholders ini
mempunyai kedudukan penting dalam manajemen kinerja KPK, karena KPK
meletakkan ultimate goal pada stakeholders perspective dan mengacu pada
renstra KPK yaitu efektivitas dan efisiensi pemberantasan korupsi, baik dari
aspek pencegahan maupun aspek penindakan.
Konsep hubungan sebab-akibat memegang peranan yang sangat
penting dalam BSC, terutama dalam penjabaran tujuan dan pengukuran
masing-masing perspektif. Unsur sebab-akibat tersebut akan berkaitan
antara keempat perspektif yaitu perspektif pemangku kepentingan, bisnis
internal, pertumbuhan dan pembelajaran, serta keuangan. BSC yang baik
mencerminkan bauran antara pengukuran hasil yang diperoleh dan
pengukuran terhadap pemicu kinerja. Pengukuran atas hasil yang diperoleh
tidak menunjukkan bagaimana hasil tersebut diperoleh dan tidak
memberikan indikasi awal apakah strategi KPK dilaksanakan dengan sukses
atau tidak. Idealnya, KPK tidak hanya mempertahankan kinerja relatif yang
ada, tetapi memperbaiki secara terus menerus. Perbaikan secara terus
menerus hanya dapat dicapai apabila perusahaan melibatkan mereka yang
langsung terkait dalam proses bisnis internal.
3. Empat Perspektif BSC
KPK menggunakan perspektif stakeholders untuk menggantikan
perspektif customer. Roadmap KPK menunjukkan bahwa yang menjadi
stakeholders dan customer KPK adalah sama. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa KPK menggunakan perspektif stakeholders dengan tidak membedakan
antara stakeholders dengan customer. Menurut KPK, pihak yang menjadi
customer bagi KPK adalah stakeholders tersebut. KPK juga tidak mempunyai
kriteria untuk stakeholders tersebut kapan para pihak itu berkedudukan
sebagai stakeholders dan kapan berkedudukan sebagai customer.
Stakeholders KPK terdiri dari kementerian/lembaga dan masyarakat madani
(civil society organization/CSO). Kementerian/lembaga sebagai stakeholders
KPK meliputi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, legislatif, eksekutif,
yudikatif, layanan publik, penegak hukum, penyelenggara pemilu,
ombudsman, lembaga audit sedangkan masyarakat madani (civil society
organization/CSO) sebagai stakeholders KPK meliputi partai politik, media,
masyarakat sipil, swasta/bisnis.
Kinerja KPK dalam penanganan grand corruption juga dipengaruhi
oleh tren korupsi di Indonesia yang semakin meningkat dan pelaksanaan
strategi nasional pemberantasan dan pencegahan korupsi yang masih belum
memuaskan, sehingga KPK masih harus bekerja keras dalam pemberantasan
korupsi dengan lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai trigger mechanism
bersama-sama dengan kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah agar
terwujud good governance. Hal ini disebabkan peran KPK tersebut masih
dianggap kurang efektif karena masih maraknya korupsi di Indonesia, baik
secara kualitas maupun kuantitas. KPK belum berhasil menyusun jaringan
kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada, baik kepolisian,
kejaksaan, inspektorat, BPK, dan BPK, sebagai counterpartner yang kondusif
dalam rangka efektivitas dan efisiensi pemberantasan korupsi, sehingga KPK
belum mampu menjadi trigger mechanism untuk memacu dan
memberdayakan lembaga penegak hukum.
Kinerja KPK dalam melakukan koordinasi dan supervisi dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
mengacu pada Lakip KPK tahun 2011, Lakip KPK tahun 2012, dan Lakip KPK
tahun 2013, maka capaian kinerja KPK dalam melakukan koordinasi dan
supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
korupsi terealisasi berdasarkan target yang ditetapkan. Meskipun target KPK
dalam melakukan koordinasi dan supervisi telah terealisasi namun berbagai
pihak menilai sebaliknya. Berbagai pihak menilai bahwa kinerja KPK dalam
melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan korupsi belum maksimal. KPK juga dinilai belum
berhasil mengembangkan strategi penegakan hukum yang dapat mendorong
dan memicu pemberdayaan lembaga penegak hukum lainnya.
Aparat/lembaga penegak hukum lain tetap dipandang korup serta tidak
mendapat kepercayaan dan dukungan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari
semakin banyaknya laporan masyarakat kepada KPK mengenai dugaan
adanya tindak pidana korupsi termasuk laporan yang datang dari berbagai
daerah. Meningkatnya laporan masyarakat kepada KPK dapat dilihat dalam
Lakip KPK tahun 2011, Lakip KPK tahun 2012, dan Lakip KPK tahun 2013.
Beberapa persoalan dalam menjalankan tugas koordinasi dan
supervisi, antara lain yaitu: peraturan perundang-undangan tidak mengatur
secara spesifik bidang ataupun sub bidang yang membawahi tugas
koordinasi dan supervisi, baik bidang yang dipimpin deputi, sub-bidang atau
direktorat yang dipimpin direktur, unit kerja ataupun satuan tugas;
kepolisian dan kejaksaan tidak memiliki kelembagaan khusus yang bertugas
mengurusi koordinasi dan supervisi; hambatan teknis di lapangan yang
meliputi: persoalan kepangkatan penyidik, ego sektoral, dan mafia hukum.
Berkaitan dengan Kinerja KPK dalam perspektif bisnis internal
(internal process), yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, capaian kinerja KPK dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi terealisasi berdasarkan target yang ditetapkan.
Dari kelima tugas yang dimiliki KPK, banyak yang menilai jika KPK
sangat berhasil melakukan penindakan tindak pidana korupsi yaitu dalam
hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Keberhasilan tersebut tidak
lepas dari kewenangan yang besar dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang tidak dimiliki oleh aparat penegak hukum lainnya.
Selain kewenangan yang besar, KPK juga didukung dengan anggaran yang
juga besar serta dukungan dan kepercayaan dari masyarakat.
Meskipun dinilai berhasil dalam penindakan, namun banyak pihak
menilai KPK masih tebang pilih (diskriminasi) dalam penanganan perkara.
KPK juga dinilai lebih sering melakukan penindakan dalam kasus penyuapan
atau dengan kata lain lebih banyak menggunakan pasal penyuapan dalam
penuntutan. Keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus suap terkait dengan
kewenangannya melakukan penyadapan.
Sementara itu, tugas pencegahan belum dilaksanakan secara efektif.
Sektor yang dikaji untuk sasaran strategis tahun 2012 dan 2013 masih
terbatas (hanya 4 sektor), serta fokus area yang ditetapkan belum meluas. Di
samping itu, pelaksanaan tugas pencegahan oleh KPK pada tahun 2012 dan
2013 tidak merinci pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kewenangan yang
diberikan dalam tugas pencegahan secara menyeluruh, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 13 UU KPK. Untuk menyelaraskan keorganisasian
dan ketatalaksanaan dengan prinsip penggunaan BSC di KPK, maka
pelaksanaan pencegahan dan penindakan harus dilakukan secara sinergi.
Tidak boleh hanya lebih mengedepankan penindakan dengan melakukan
operasi tangkap tangan (OTT) karena bisa dilihat secara kasat mata agar
masyarakat memberikan dukungan, tetapi secara substansial tidak mampu
menghentikan atau mengurangi intensitas korupsi.
Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kecuali
pembangunan gedung KPK, seluruh indikator kinerja dapat tercapai bahkan
melebihi 100%. Meskipun dalam penetapan indikator integritas yang zero
tolarance tidak tercapai karena selalu ada pegawai KPK yang mendapatkan
sanksi karena melanggar kode etik. Bagi KPK, integritas merupakan faktor
kunci yang penting yang memungkinkan lembaga ini mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan KPK di masa
depan sangat tergantung pada seberapa besar kepercayaan masyarakat
terhadap KPK.
Dalam kaitan Pengelolaan Sumber Daya Manusia di KPK ini, sejak
tahun 2012 telah berlandaskan peraturan baru, yaitu Peraturan Presiden No.
103 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2003
tentang Sistem Manajemen SDM KPK. Substansi pokok Peraturan baru ini
adalah pada keharusan pimpinan KPK untuk berkoordinasi dengan pimpinan
instansi asal pegawai yang dipekerjakan di KPK. Perubahan ini
dilatarbelakangi oleh munculnya perseteruan antara KPK dan POLRI yang
berkeinginan untuk menarik penyidiknya dari KPK. Disamping itu, indikator
pengelolaan sumber daya manusia yang ditetapkan oleh KPK hanya satu
unsur saja, yaitu kompetensi sesuai fokus area. Secara teoritik, sumber daya
manusia itu harus memenuhi indikator kepuasan pegawai, retensi pegawai
dan produktivitas pegawai sebagai suatu ukuran hasil.
Dalam kaitan keuangan, seluruh kebutuhan dana operasional KPK
disediakan anggarannya dalam DIPA KPK yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kemudian dalam mengadakan input
yang dibutuhkan KPK, telah sesuai dengan prinsip value for money untuk
kriteria ekonomi. Hal ini dikarenakan pengadaan input tersebut telah melalui
proses lelang sesuai dengan peraturan berlaku. Sedangkan pengukuran
kriteria efisiensi KPK diukur dengan rasio antara output yang dihasilkan
dengan input yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa
hasil evaluasi efisiensi selama periode kemimpinan Abraham Samad
menunjukkan rasio efisiensi yang menurun. Hal ini dikarenakan terjadinya
penurunan capaian kinerja yang disertai dengan kenaikan anggaran KPK.
Pada saat yang bersamaan pengukuran kriteria efektivitas KPK selama
kepemimpinan Abraham Samad dilakukan dengan membandingkan antara
outcome dan output. Dari hasil analisis yang dilakukan, evaluasi efektivitas
kinerja kepemimpinan KPK periode Abraham Samad lebih efektif
dibandingkan dengan periode kemimpinan KPK sebelumnya.
E. Saran
Berdasarkan analisis hasil penelitian, perlu dilakukan revisi terhadap
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terutama mengenai struktur organisasi yang membawahi
pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini diperlukan adanya deputi
tersendiri dalam hal koordinasi dan supervisi. Hal tersebut tidak hanya
karena tugas koordinasi dan supervisi sejajar dengan tugas lainnya
melainkan juga karena KPK sebagai trigger mechanism seharusnya memiliki
sistem, prosedur, dan mekanisme koordinasi dan supervisi dalam satu deputi
tersendiri.
Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK perlu memiliki perencanaan strategis
dan perencanaan kinerja yang sejalan dalam rangka pemberantasan korupsi.
KPK perlu meningkatkan peran strategisnya pada kebijakan pemberantasan
korupsi dalam konteks pencegahan. Akan jauh lebih strategis jika upaya
pencegahan lebih dikedepankan untuk meminimalkan peluang terjadinya
korupsi.
Di masa depan, pengembangan KPK perlu diarahkan dengan
membentuk budaya dan sikap masyarakat terhadap anti korupsi, yang hanya
dimungkinkan, jika KPK secara terus menerus dan berkesinambunagan
melakukan upaya-upaya pencegahan yang masif dan terstruktur. Salah satu
misi KPK adalah sebagai trigger mechanism, sehingga dalam perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan harus terlihat bahwa penindakan dan
pencegahan korupsi yang dilakukan oleh KPK telah maksimal dilakukan,
sehingga kasus-kasus korupsi yang dilakukan sejak dibentuknya KPK
berkurang. Disamping itu juga, pengelolaan sumber daya manusia KPK harus
menciptakan sebuah sistem yang dapat disalin ke dalam sistem pengelolaan
sumber daya manusia APGAKUM lain, terutama yang berkaitan dengan
kompetensi penyidikan, remunerasi dan integritas personal.
Dalam menggunakan skema perspektif keuangan untuk meningkatkan
kinerja, seharusnya KPK tidak menjadikan faktor ketersediaan anggaran
sebagai indikator kinerjanya, tetapi sebaiknya KPK harus
mempertimbangkan prinsip money follow function dalam pengelolaan aspek
finansial. Prinsip tersebut terdiri dari kriteria ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas, sehingga setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan oleh KPK
dapat diketahui dampaknya terhadap pencapaian kinerja KPK, dan
memastikan input yang didapatkan merupakan input yang paling ekonomis.