TENTANG IMPLEMENTASI PENGATURAN PROFESI...

16
EXECUTIVE SUMMARY LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK TENTANG IMPLEMENTASI PENGATURAN PROFESI HAKIM Disusun Oleh: DENICO DOLY NOVIANTO MURTI HANTORO HARRIS Y.P. SIBUEA MONIKA SUHAYATI PRIANTER JAYA HAIRI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TAHUN ANGGARAN 2016

Transcript of TENTANG IMPLEMENTASI PENGATURAN PROFESI...

EXECUTIVE SUMMARY

LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK

TENTANG

IMPLEMENTASI PENGATURAN PROFESI HAKIM

Disusun Oleh:

DENICO DOLY

NOVIANTO MURTI HANTORO

HARRIS Y.P. SIBUEA

MONIKA SUHAYATI

PRIANTER JAYA HAIRI

PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TAHUN ANGGARAN 2016

A. Latar Belakang

Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945,

yang mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Sedangkan kekuasaan kehakiman ini dilakukan oleh Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.1 Pasal 24A ayat (5) UUD

Tahun 1945 mengatakan bahwa Susunan,kedudukan, keanggotaan, dan hukum

acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-

undang. Berdasarkan hal tersebut, maka diundangkanlah UU Kekuasaan

Kehakiman.

UU Kekuasaan Kehakiman tersebut mengatur mengenai fungsi, tugas, dan

kewenangan badan peradilan di Indonesia. Selain itu UU Kekuasaan Kehakiman

juga mengatur terkait dengan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

Adapun dalam Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman juga mengatur tentang

kedudukan hakim dan hakim konstitusi sebagai pejabat negara yang melakukan

kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Berbagai permasalahan muncul dalam implementasi pengaturan tentang

hakim. Permasalahan kedudukan seorang hakim, hak dan kewajiban, manajemen,

pembinaan, dan pengawasan merupakan permasalahan utama yang meliputi

seorang hakim. Penelitian ini akan mengulas bagaimana implementasi dari aturan

yang sudah ada terhadap seorang hakim. Hal ini penting dilakukan, karena tugas

seorang hakim menjadi sangat penting, untuk menerima, memproses, dan membuat

putusan terhadap sebuah perkara. Adapun putusan ini harus diambil sampai pada

putusan tetap yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Tugas seorang hakim dapat

dikatakan cukup berat. Apabila terjadi suatu perkara dimana aturan perundang-

undangan atau hukumnya tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan tidak ada, maka

hakim harus mencari hukumnya atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).2

B. Permasalahan Penelitian

Permasalahan utama dalam penelitian ini yaitu, bagaimana implementasi dari

aturan-aturan tentang profesi hakim. Adapun permasalahan tersebut dijabarkan

dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan hakim sebagai pejabat negara dalam sistem

pemerintahan di Indonesia?

2. Bagaimana implementasi pemberian hak dan kewajiban hakim?

1 Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1993, hal. 32.

3. Bagaimanakah manajemen hakim mulai dari rekrutmen, jenjang

karier/kepangkatan, mutasi, dan pemberhentian saat ini dan apakah kendala

yang dihadapi?

4. Bagaimana implementasi pembinaan hakim dan pembenahan apa yang perlu

dilakukan terhadap sistem pembinaan hakim?

5. Bagaimanakah mekanisme atau implementasi pengawasan terhadap hakim

dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi dari

aturan yang mengatur terkait dengan profesi hakim; mengetahui kedudukan hakim

sebagai pejabat negara dalam sistem pemerintahan di Indonesia; Implementasi

pemberian hak dan kewajiban hakim; Manajemen hakim mulai dari rekrutmen,

jenjang karier/kepangkatan, mutasi, dan pemberhentian saat ini dan kendala yang

dihadapi; Implementasi pembinaan hakim dan pembenahan yang perlu dilakukan

terhadap sistem pembinaan hakim di Indonesial; Mekanisme mekanisme atau

implementasi pengawasan terhadap hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung

jawabnya. Sedangkan kegunaan penelitian secara akademis, dapat memberikan

sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum terkait dengan implementasi aturan

yang mengatur profesi hakim pada umumnya dan konsekuensi kedudukan hakim

sebagai pejabat negara pada khususnya dan secara praktis, dapat memberikan

sumbangan pemikiran terkait dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang profesi hakim dan pembentukan peratururan yang berkaitan

dengan profesi hakim.

D. Kerangka Pemikiran

1. Teori Pemisahan Kekuasaan

Konsep apa yang digunakan dalam Konstitusi Indonesia di dalam Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,apakah menganut pemisahan

kekuasaan negara (separation of power) atau pembagian kekuasaan negara (distribution of

power), sebenarnya pada praktek, istilah separation of power diidentikkan pula dengan istilah

pembagian kekuasaan negara (distribution of power) atau setidaknya dipakai sebagai

penjelasan atas kata pemisahan kekuasaan negara (separation of power).3

Sebagian besar ahli hukum tata negara di Indonesia berpandangan bahwa UUD

Tahun 1945 (UUD sebelum amandemen) tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan

secara murni, melainkan menganut ajaran pembagian kekuasaan. Pandangan

tersebut didasarkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 (sebelum amandemen)

yang menyebutkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR merupakan lembaga tertinggi

negara yang kemudian mendistribusikan kewenangan kekuasaan dari rakyat kepada

lembaga-lembaga tinggi negara yang terdiri dari Presiden yang menjalankan

3 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kapaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hal.19.

kekuasaan eksekutif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjalankan

kekuasaan legislatif, Mahkamah Agung (MA) yang menjalankan kekuasaan yudikatif,

Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang menjalankan kekuasaan konsultatif, dan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjalankan kekuasaan eksaminatif.

Artinya bahwa pembagian kekuasaan di Indonesia bukan hanya dalam 3

(tiga) kekuasaan saja (eksekutif, legislatif dan yudikatif saja), tetapi juga ada

kekuasaan konsultatif dan kekuasaan eksaminatif. Seiring dengan amandemen

terhadap UUD Tahun 1945, pembagian kekuasaan yang digunakan dalam sistem

kenegaraan Indonesia menyesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri.

Kemudian pendistribusian kekuasaan dibagi kepada lembaga-lembaga negara yaitu

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis

Pemusyawaratan Perwakilan (MPR) yang terdiri dari anggota-anggota DPR dan

DPD. Lembaga negara selanjutnya adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta Komisi Yudisial (KY).

2. Harmonisasi Hukum

Suatu norma hukum sebagai alat untuk menciptakan kehidupan sosial yang

selaras (law as a tool of social harmony) perlu dilakukan harmonisasi agar tercipta

legal system harmonization. Legal system akan tercipta dengan baik dan adil jika

terdapat keselarasan atau harmonisasi antara maksud, tujuan, dan kepentingan

penguasa (pemerintah) dengan masyarakat, dengan meletakkan pola pikir yang

mendasari penyusunan sistem hukum dalam kerangka sistem hukum nasional yang

mencakup legal substance, legal structure, and legal culture.4 Harmonisasi di

Indonesia berakar pada paradigma Pancasila, konsep negara hukum, dan prinsip

pemerintahan konstitusional dalam UUD Tahun 1945 dengan memperhatikan social

sence of justice.5

Harmonisasi ini diperlukan karena sistem hukum Indonesia memiliki

kemajemukan yang memicu terjadinya disharmoni peraturan perundang-undangan.

Ada delapan faktor penyebab timbulnya disharmoni terhadap praktik hukum di

Indonesia menurut L.M. Lapian Gandhi, yaitu:6

a. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-

undangan;

b. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan;

c. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi

pemerintah;

d. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan

Surat Edaran Mahkamah Agung;

e. Kebijakan-kebijakan instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan;

4 Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, New York: W.W. Norton & Company, 1984,

hal. 5-14. 5 Sudargo Gautama, Harmonisasi Hukum di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah Transnasional,

Jakarta: Rineka Cipta, 2011,hal. 38. 6 L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu

Hukum Universitas Indonesia, 14 Oktober 1995, hal. 10-11.

f. Perbedaan antara kebijakan instansi pemerintah pusat dan daerah;

g. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu; dan

h. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian

wewenang yang tidak sistematis dan jelas.

3. Penegakan hukum

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa dalam penegakan hukum ada 3

(tiga) unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit),

kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).7 Soerjono Soekanto

mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

disebabkan:8

1. Faktor hukumnya sendiri yaitu peraturan perundang-undangan.

2. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan

hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

E. Metode Penelitian

Penelitian tentang implementasi pengaturan profesi hakim menggunakan

metode penelitian hukum9 empiris normatif. Metode penelitian empiris-normatif10

merupakan gabungan dari terminologi “metode penelitian hukum empiris”11 dan

“metode penelitian hukum normatif”. Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang

7 Ibid. 8 Ibid.hal. 8 – 42. 9 Sutandyo Wignjosubroto, Hukum Paradigma: Metode dan Paradigma Masalahnya, Jakarta,

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Masyarakat dan Ekologi (HUMA): 2002, hal.147-167. Penelitian hukum, pada hakekatnya, dapat dibedakan menjadi penelitian hukum yang doktrinal dan penelitian hukum yang non-doktrinal. Di Indonesia, penelitian hukum doktrinal kerap kali dikenal dengan terminologi "penelitian hukum normatif". baca juga E.L. Rubin, “Law and the Methodology of Law” (1997) Winconsin Law Review, hal.525 dikutip dari Mike McConville dan Wong Hong Chui (eds), Research Methods for Law, Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 1988, hal.3-4.

10 Soerjono Soekanto, Mengenal Antropologi Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1982, hal 9. Pendekatan seperti ini lahir, menurut argumentasi Soekanto, karena memang secara teori bahwa ilmu-ilmu hukum itu bermakna jamak yang terdiri dari, pertama: dalam arti sempit disebut dengan ilmu hukum normatif (normwissenschaft atau sollenwissenschaft-Jerman, Normwetenschaft-Belanda) dan kedua: ilmu hukum empiris (Tatsachenwissenschaft atau seinwiccenschaft) misalnya antara lain sosiologi hukum, antropologi hukum dan sejarah hukum. Pengertian Metode penelitian hukum empiris dan Normatif, lihat JohnnyIbrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008, hal. 57.

11 Brian Z. Tamanaha., Realistic Socio-legal Theory Pragmatism and a Social Theory of Law. Oxford: Clarendon Press, 1999, hal xi sebagaimana dikutip Kurnia Warman., Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera Barat, Jakarta:Huma, 2010, hal. 26. Menurut Tamanaha, munculnya metode penelitian hukum empiris merupakan konsekuensi dari sifat ilmu hukum yang terbuka sehingga interaksi antara ilmu hukum dengan ilmu-ilmu lainnya–terutama ilmu sosial - merupakan suatu keniscayaan.

telah diuraikan di atas, tidak mungkin penelitian ini hanya menggunakan metode

penelitian hukum normatif yang melihat hukum sebagai norma yang telah tertulis

saja (Law as it is written in the books),12 tetapi juga digunakan metode penelitian

hukum empiris (law in context),13 dengan pendekatan kualitatif serta sifat penelitian

yang deskriptif sehingga dapat melakukan pengamatan terhadap setiap tindakan

nyata atau perilaku aktual dari hakim dalam menjalankan fungsi, tugas, dan

kewenangannya.14

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengekatan yuridis,

kebijakan, dan nilai. Data yang diperoleh disusun secara sistematis sesuai dengan

permasalahan penelitian untuk kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis

kualitatif dilakukan dengan mengintepretasikan, menguraikan, menjabarkan, dan

menyusun data secara sistematis logis sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian

ini dilakukan di daerah dimana terdapat banyak hakim yang memiliki permasalahan,

yaitu di Provinsi Jambi tanggal 28 Maret – 3 April 2016, dan Kabupaten Buleleng

Provinsi Bali, tanggal 18 – 24 April 2016.

F. Hasil Penelitian

1. Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa pendapat terkait dengan

kedudukan hakim, yaitu:

1. Dalam hal kedudukan sebagai pejabat negara. Beberapa pendapat menyatakan

bahwa secara yuridis telah disebutkan di dalam undang-undang bahwa Hakim

adalah Pejabat Negara sehingga segala hak sebagai pejabat negara harus

diberikan kepada hakim. Alasan mengapa hakim harus disebut sebagai Pejabat

negara, pertama, bahwa hakim sebagai perwujudan kekuasaan judisial yang

mandiri/bebas dari intervensi ketika menghasilkan/membuat

putusan/kemandirian kekuasaan kehakiman; kedua, bahwa hakim adalah pelaku

sentral dalam mewujudkan cita negara hukum; dan ketiga, bahwa perlu

memberikan apa yang menjadi haknya: penghormatan secara hukum, politik,

sosial dan ekonomi. Terkait dengan kedudukan sebagai pejabat negara

tersebut, maka permasalahan yang harus diselesaikan adalah masalah fasilitas

atau hak yang mengikuti, dan dualisme antara pejabat negara dan PNS yang

masih dirasakan. Namun demikian ada pula Hakim di daerah yang berpendapat

bahwa esensinya bukan masalah sebutan sebagai pejabat negara atau bukan,

namun yang penting esensinya adalah hakim harus independen dan tidak boleh

diintervensi, serta diperhatikan kesejahteraan dan kelayakan taraf hidupnya.

2. Mengenai Hakim ad hoc, terdapat dua pendapat, Pertama, status sebagai

pejabat negara untuk hakim ad hoc harus dikecualikan karena tugas,

kewenangan dan tanggungjawabnya berbeda, keberadaannya temporer dan

12Sutandyo Wignjosubroto, 2002, op.cit., hal. 147. 13 Mike McMorville and Wing Hong Chui, Research Methods for Law, Edinburgh: Edinburgh University

Press, 1988, hal. 1. 14 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Jakarta:

Prestasi Pustaka Publisher, 2008, hal. 59.

hanya ada dalam pengadilan khusus. Pendapat kedua, sebaiknya status

sebagai pejabat negara ini tidak dibeda-bedakan antara hakim karier dan hakim

non karier. Hal ini dikarenakan semua hakim baik itu yang karier atau non karier

memiliki kewajiban yang sama yaitu untuk melaksanakan kekuasaan

kehakiman.

3. Mengenai apakah perlu dibedakan kedudukan hakim sebagai pejabat negara

antara hakim Agung dengan Hakim tingkat Pertama dan Hakim Banding,

terdapat dua pendapat: Pertama, tidak perlu ada perbedaan karena semua

hakim tersebut berdasarkan fungsinya adalah sama yakni sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara

sesuai dengan tingkatan dan lingkungan badan peradilan masing-masing.

Kedua, perlu ada pembeda antara kedudukan hakim Tingkat Pertama, Hakim di

tingkat banding, dan Hakim Agung. Adapun pembedanya dari sisi tunjangan dan

juga fasilitas yang ada.

Semua pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman (hakim) adalah pejabat

negara. Namun demikian, perlu ada pembedaan hierarki berdasarkan pendapat

Jimly. Hakim di Mahkamah Agung adalah pejabat negara tinggi/pejabat negara

utama mengingat kedudukan kelembagaan MA (dan MK) yang berada pada

lembaga negara utama. Sedangkan Hakim tingkat Banding dan Hakim di Pengadilan

Tingkat Pertama, meskipun bukan lembaga daerah, namun kedudukannya atau

wilayahnya di daerah, sehingga perlu dikategorikan sebagai pejabat daerah.

Penyebutan lainnya, Hakim di MA adalah pejabat negara utama atau pejabat

pelaksana kekuasaan kehakiman di tingkat pusat, sementara hakim di badan-badan

peradilan di bawahnya adalah pejabat daerah, pejabat negara di daerah atau

pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman di daerah.

2. Hak dan Kewajiban Hakim

Berkaitan dengan hak seorang hakim juga diatur dalam berbagai undang-

undang. UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Hakim mengalami berbagai permasalahan berkaitan dengan hak yang seharusnya diperoleh oleh hakim. Hakim belum secara penuh memiliki rumah dinas untuk sendiri-sendiri. Banyak hakim yang melakukan indekost di tempat mutasi hakim. Selain rumah dinas, hakim masih banyak yang belum memperoleh mobil dinas. Hal ini mengartikan bahwa hakim selama ini masih banyak yang belum memperoleh haknya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hakim didaerah juga tidak pernah memperoleh hak keprotokoleran. Hakim juga tidak memperoleh jaminan keamanan, padahal yang dihadapi adalah orang-orang yang mengalami kekecewaan karena dalam putusan pengadilan ada yang merasa kalah dan menang. Pihak yang kalah mungkin melakukan hal-hal yang mengancam keamanan hakim.

Berbagai permasalahan yang dialami oleh para hakim tersebut menunjukkan berbagai pengaturan berkaitan hak dan kewajiban hakim belum dilaksanakan secara efektif. Kesejahteraan hakim yang memadai berkorelasi positif terhadap independensi hakim. Negara tidak boleh membiarkan hakim dalam posisi subordinat yang harus meminta-minta cabang kekuasaan lain untuk memperhatikan kesejahteraan hakim. Negara harus memberikan jaminan kesejahteraan berupa gaji, tunjangan dan fasilitas yang layak dan bersifat tetap sehingga terhindar dari objek perubahan sewaktu-waktu oleh cabang kekuasaan negara lainnya yang dapat menjadi pintu masuk intervensi. Perlakuan yang layak dan kesejahteraan yang memadai bagi hakim bukan semata untuk kepentingan hakim, tetapi lebih luas lagi adalah untuk kepentingan keadilan. Kesejahteraan yang memadai bagi hakim akan menjauhkan hakim dari berbagai pengaruh, baik dari cabang kekuasaan negara maupun pihak berperkara, sehingga hakim akan fokus dalam melaksanakan tugas memberikan keadilan.15 Perlakuan yang layak dan kesejahteraan hakim yang memadai juga akan mendorong sarjana hukum potensial untuk bergabung menjadi hakim sehingga lembaga peradilan akan memperoleh sumber daya manusia hakim yang memiliki kompetensi, kapasitas dan integritas tinggi.16

hakim sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman perlu diberikan hak keuangan yang bersifat khusus dan berbeda dengan Pejabat Negara pada umumnya. Kekhususan tersebut adalah konsekuensi dari masa kerja hakim yang lebih panjang dan bersifat permanen. Pemerintah wajib memberikan hak keuangan berupa gaji dan tunjangan jabatan yang adil dan layak kepada hakim. Gaji hakim tidak berdasarkan standar PNS tetapi memiliki standar yang khusus. Gaji dan tunjangan hakim sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab dan resiko pekerjaan. Penggajian dan tunjangan hakim juga disesuaikan dengan masa kerja, jenis jabatan, dan kepangkatan. Gaji dan tunjangan jabatan hakim diberikan setiap bulan berdasarkan jenjang karir, wilayah penempatan, tugas, dan kelas pengadilan. Hakim berhak mendapatkan tunjangan lain yang terdiri dari tunjangan keluarga, tunjangan beras, dan tunjangan kemahalan. Hakim diberikan hak keuangan pensiun yang sesuai dengan gaji yang didapatkan terakhir masa kerjanya. ketentuan lebih lanjut mengenai gaji , tunjangan jabatan, dan tunjangan lain serta hak keuangan pensiun hakim diatur dalam Peraturan Pemerintah.17

Pemerintah menyediakan rumah negara berupa apartemen khusus (flat) dengan fasilitas yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan yang layak dan memadai bagi para hakim sebagai pejabat negara. Hakim juga berhak mendapatkan fasilitas transportasi dari negara selama menjalankan tugasnya. Dalam hal rumah negara dan/atau fasilitas transportasi belum tersedia, hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi setiap bulannya. Hakim juga memperoleh kedudukan protokol dalam acara kenegaraan dan acara resmi di pusat maupun di daerah. Hak protokol tersebut tidak hanya berlaku bagi Pimpinan Pengadilan saja tetapi juga bagi para hakim anggotanya. Pengadasn protokol bagi hakim bertujuan untuk menjaga marwah dan kehormatan hakim sebagai Pejabat

15 Rizal Firmasnsyah, Praktisi Hukum, Makalah disampaikan dalam FGD Penelitian Kelompok

tentang Implementasi Pengaturan Profesi Hakim, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Jambi, 31 Maret 2016.

16 Ibid. 17 Budi Suhariyanto dan Siti Nurjanah, Pembentukan Hukum tentang Jabatan Hakim dalam

Peraturan Perundang-undangan, Makalah disampaikan dalam FGD Penelitian Kelompok tentang Implementasi Pengaturan Profesi Hakim, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Jambi, 3 Maret 2016.

Negara pelaku kekuasaan kehakiman. Selain protokoler, hakim diberikan jaminan keamanan dalam pelaksanaan tugas. Jaminan keamanan tersebut didapatkan dari KepolisiB Negara Republik Indonesia atau petugas keamanan lainnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan jaminan keamanan tersebut diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. 18

Hakim berhak mendapatkan jaminan kesehatan sesuai dengan standar Pejabat Negara. Hakim yang melakukan perjalanan dinas baik di dalam maupun di luar negeri berhak mendapatkan biaya perjalanan dinas yang terdiri dari biaya transportasi, penginapan, uang representatif dan uang harian sebagaimana Pejabat Negara pada umumnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan jaminan kesehatan dan pembiayaan perjalanan dinas hakim diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam rangka pengadaan fasilitas bagi hakim tersebut harus direalisasikan secara bertahap (sesuai dengan acuan prioritas kebutuhan) dan simultan harus direalisasikan secara bertahap (jangka pendek, menengah, dan panjang) dengan menggunakan dana alokasi khusus bagi kebutuhan pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Dana alokasi berwujud prosentase kuota APBN setiap tahunnya yang tetap dengan menggunakan standar pengelolaan anggaran yang khusus sehingga jaminan independensi judisial di bidang anggaran terwujud. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota dan standar pengelolaan anggaran yang khusus tersebut perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.19

Selain mendapatkan hak keuangan dan fasilitas tersebut diatas, hakim berhak juga mendapat cuti, jaminan perlindungan profesi dan pengembangan kompetensi. Hak cuti diberikan setiap tahunnya dan dalam hal khusus atau kepentingan tertentu hakim juga berhak mengajukan cuti khusus. Hakim berhak mendapatkan pengembangan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dan dukungan pelaksanaan tugas judisialnya. Jaminan perlindungan profesi diberikan dalam rangka pelaksanaan tugas judisialnya sehingga hakim tidak dapat dituntut baik secara perdata, pidana, maupun administratif.20

3. Manajemen Hakim

Saat ini seorang hakim mempunyai 2 (dua) status yang dimiliki oleh 1 (satu)

orang pribadi. Hal ini terjadi dikarenakan adanya status yang dimiliki oleh seorang

hakim, dimana didalam berbagai peraturan perundang-undangan, hakim disebutkan

sebagai pejabat negara dan juga masih adanya status sebagai pegawai ASN. Hal ini

yang kemudian menjadikan permasalahan bagi seorang hakim, dimana sebagai

seorang pejabat negara juga sebagai pegawai ASN menjadikan tidak harmonis

dengan konsep trias politica yang dianut oleh konstitusi. Dalam menjalankan fungsi,

tugas, dan kewenangannya seorang hakim memang independent, akan tetapi

apabila dilihat secara manajemen adminstratif, maka akan terlihat bahwa jabatan

seorang hakim akan terpaku dengan adanya status sebagai seorang pegawai ASN.

Hal ini yang kemudia menjadi banyak pertanyaan oleh hakim, dimana kemandirian

seorang hakim, apabila masih menganut sebagai pegawai ASN.

Selain menyandang sebagai seorang pegawai ASN, hakim saat ini

mengalami kesulitan dalam mencapai titik tertinggi dari karir seorang hakim. Selama

18 Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid.

ini untuk mencapai posisi tertinggi dalam struktur dilakukan proses jenjang karir

berdasarkan kepangkatan, senioritas, pendidikan dan pelatihan, eksaminasi dan

ujian (seleksi), proses jenjang karir tersebut sangat menyulitkan bagi hakim untuk

mencapai posisi tertinggi dalam struktur. Padahal untuk sebuah profesi tertentu,

maka diperlukan adanya sebuah penjenjangan karir yang dapat ditempuh oleh

seorang hakim tanpa mendapatkan kesulitan secara administratif dan lebih kepada

seleksi yang ditujukan kepada substansi pemahaman hukum dan hukum acara.

Kompetensi menjadi elemen kunci dalam manajemen SDM dan penjenjangan karier

berbasis kompetensi. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai kombinasi antara

keterampilan, pengetahuan, dan atribut personal yang dapat dilihat dan diukur dari

perilaku kerja yang ditampilkan secara umum, kompetensi dibagi menjadi dua, yaitu

soft competency dan hard competency.Kegiatan terpenting dalam manajemen

berbasis kompetensi adalah menyusun profil kompetensi jabatan/posisi. Proses

penyusunan profil kompetensi, baik soft competency maupun hard competency,

yang dibutuhkan dan dilengkapi dengan definisi kompetensi yang rinci, serta

indikator perilaku.

Jadwal serta jumlah hakim yang dimutasi sesuai dengan anggaran yang

tersedia. mutasi dilakukan berdasarkan penempatan MA dengan berbagai

pertimbangan antara lain pemerataan hakim di tiap pengadilan. Yang berhak

melakukan proses mutasi hakim adalah TPM tapi disarankan supaya

mempertimbangkan usul yang diajukan oleh pengadilan tingkat banding.

Permasalahan dalam mutasi yang ada selama ini yaitu proses mutasi yang tidak

diikutsertakan dengan fasilitas yang harusnya diperoleh seorang hakim. Baik itu

secara pribadi hakim dan juga keluarga hakim tersebut.

Sebagai seorang pejabat negara, tentu saja perlu diikuti dengan fasilitas yang

ada sebagai pejabat negara. Permasalahan mutasi ini akan menjadi permasalahan

tersendiri bagi seorang hakim apabila proses mutasi tidak diikuti dengan hak

khususnya fasilitas sebagai seorang pejabat negara. Proses mutasi bagi seorang

hakim tentu saja akan membawa konsekuensi kepada keluarga dari hakim tersebut.

Hal ini menjadi permasalahan apabila keluarga dari seorang hakim ikut proses

mutasi ini. Perpindahan dari satu kota ke kota lain akan menyebabkan

permasalahan dari keluarga hakim yang tidak diikuti dengan adanya sebuah

kebijakan yang diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

Pemberhentian hakim dengan hormat atau tidak dengan hormat dilakukan

melalui proses sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH), setelah diputuskan Ketua

Mahkamah Agung menindak lanjuti keputusan Majelis Kehormatan Hakim dengan

menyampaikan permohonan pemberhentian hakim tersebut kepada Presiden,

kemudian Presiden memberhentikan hakim yang bersangkutan dengan Kepres.

Sebelum seorang hakim diberhentikan tidak dengan hormat dilakukan proses

klarifikasi bahkan diberikan hak dan kesempatan membela diri dalam sidang Majelis

Kehormatan Hakim.

4. Implementasi Pembinaan Hakim Dan Upaya Pembenahan Sistem

Pembinaan Hakim

secara umum, manajemen pembinaan terhadap hakim-hakim di bawah

Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Mahkamah Agung selama ini dapat

dikatakan sudah cukup baik. Namun demikian, tentu saja, masih banyak aspek dari

pembinaan tersebut yang masih dapat dibenahi dan ditingkatkan untuk mencapai

tujuan dari pembinaan tersebut, yakni hakim-hakim yang berkualitas dan profesional

dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai tombak keadilan di tengah masyarakat.

Saat ini, terdapat 4 segi pembinaan terhadap hakim pengadilan di bawah

Mahkamah Agung, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Pertama, pembinaan

dari segi teknis peradilan; Kedua, dari segi organisasi para hakim; Ketiga, dari segi

administrasi para hakim; dan Keempat, dari segi finansial pengadilan.

Pembinaan dari segi teknis peradilan oleh Mahkamah Agung diantaranya

dilakukan dengan menerbitkan berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung terkait

pembinaan hakim, salah satunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun

2009 tentang Pembinaan Personil Hakim. Selain itu juga ada Peraturan Mahkamah

Agung dan Surat Keputusan Mahkamah Agung yang mengatur terkait pembinaan

hakim. Selama ini pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan

oleh Ketua Mahkamah Agung dengan mendelegasikan kepada Wakil Ketua

Mahkamah Agung Bidang Yudisial dan Non Yudisial, para Ketua Kamar, BAWAS,

Ketua Peradilan dan Wakil Ketua Peradilan Tingkat Banding, serta Ketua Peradilan

Tingkat pertama.

Sementara itu bentuk konkrit pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pada prinsipnya sama

dengan pembinaan yang dilakukan terhadap peradilan umum, peradilan tata usaha

negara, dan peradilan agama.Pengaturan pembinaan yang relatif sama untuk 4

lingkungan peradilan sebenarnya tidak ideal. Sebab terdapat perbedaan-perbedaan

dari 4 lingkungan peradilan tersebut. Oleh sebab itu tentu perlu pembenahan

pengaturan hukum terkait pembinaan bagi hakim-hakim di 4 lingkungan peradilan

tesebut. Misalnya pada peradilan militer, ada Pengadilan Militer, Pengadilan Tinggi

Militer, dan Pengadilan Militer Utama Pertempuran yang tentu saja membutuhkan

pengaturan tersendiri terkait pembinaannya.

Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim di Lingkungan empat

badan peradilan oleh Ketua MA juga dilakukan dengan cara tatap muka secara

langsung dengan hakim dan pimpinan pengadilan dari empat lingkungan peradilan

di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. seperti pembinaan oleh Ketua MA di

Bukittinggi tahun 2015, pembinaan oleh Ketua MA di bali tahun 2915, pembinaan

oleh ketua MA di manado tahun 2016.

Pembinaan juga dilakukan saat diklat hakim di Pusdiklat Mahkamah Agung.

Adanya Standar Pelayanan Pengadilan dan SOP Pengadilan. Pembinaan juga

dilakukan melalui media Variaperadilan dan melalui media komunikasi lain seperti E-

learning, dan lain-lain.

Sementara itu pembinaan dari segi organisasi Pengadilan dilakukan oleh

Mahkamah Agung dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 7

Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan

Peradilan, dan peraturan-peraturan lainnya. Selain itu Mahkamah Agung

menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

139/KMA/SK/VIII/2013 tentang Pembaruan Pola Promosi Dan Mutasi Hakim Karir

Dan Pola Pembinaan Hakim Ad Hoc Pada Peradilan Khusus Di Lingkungan

Peradilan Umum. Serta menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor

125/KMA/SK/DC/2009 tentang Pendelegasian Sebagian Wewenang kepada Para

Eselon I Dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Mahkamah Agung Di

Bidang Kepegawaian.

Pembinaan dari segi Administrasi Pengadilan diadakan Mahkamah Agung

dengan membuat suatu Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan

Dalam Empat Lingkungan Peradilan. Pembentukan Pola Bindalmin, dibuatnya

Website Pengadilan, yang didalamnya terdapat Sistem Informasi Penelusuran

Perkara yang akan memudahkan pencarian data suatu perkara di pengadilan. Ada

pula Direktori Putusan dan SIMPEG. Peraturan terkait pembinaan administrasi

misalnya KMA Nomor 032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman dan

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

Mengenai pembinaan Hakim Ad Hoc, Keputusan Mahkamah Agung terkait

dengan pembinaan hakim ad hoc sudah diimplementasikan oleh Ketua Pengadilan

Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi. Selama ini bentuk penilaian kerja yang

diberikan kepada para hakim ad hoc sama dengan penilaian yang diberikan kepada

hakim karir.

Pembinaan oleh Komisi Yudisial dalam hal etika perilaku dan kehormatan

hakim juga telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pembinaan yang dilakukan

oleh kedua lembaga yakni Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam hal

terjadinya pelanggaran etik, dipandang oleh berbagai pihak sangat bagus karena

hakim akan bertindak lebih profesional, lebih berhati-hati dan berusaha menghindari

perbuatan tercela.

Untuk pembinaan hakim non palu, selama ini dilakukan oleh Ketua

pengadilan tingkat banding dengan materi pembinaan menyangkut kode etik dan

pedoman perilaku hakim, peningkatan kompetensi tehnis peradilan, dan administrasi

peradilan. Dibuatnya Laporan pembinaan hakim non palu dan konduite yang

dilaporkan oleh pimpinan pengadilan tingkat banding secara periodic kepada MA RI.

Secara teknis, bentuk pembinaan hakim non palu yang berlaku selama ini

dilaksanakan dengan cara:

a. Menempatkan hakim tersebut di pengadilan tingkat banding, dan bagi hakim

tinggi dipindahkan ke pengadilan tingkat banding wilayah lain.

b. Selama yang bersangkutan menjalani hakim non palu diberi tugas dalam bidang

administrasi.

Untuk meningkatkan pembinaan hakim di Indonesia, perlu pula pembenahan

dan peningkatan sarana dan prasarana pembinaan, serta peningkatan anggaran

yang memadai untuk melakukan pembinaan. Hambatan dalam hal pembinaan hakim

di Indonesia selama ini adalah kurangnya biaya dan fasilitas yang dibutuhkan,

misalnya untuk dapat lebih banyak mengadakan diklat-diklat spesialisasi hakim.

Perlu pula dilakukan pemberian reward and punishment kepada hakim berprestasi

dan hakim yang melakukan pelanggaran. Anggaran yang kurang juga membatasi

kesempatan bagi hakim untuk mengikuti pembinaan.

5. Pengawasan Hakim

a. Pengawasan internal hakim

Pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap hakim telah diatur dalam

Pasal 39 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan

bahwa Mahkamah Agung berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap

semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, terhadap pelaksanaan tugas

administrasi dan keuangan, serta tingkah laku hakim. Pengawasan tersebut tidak

boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.21

Yang menjadi objek pengawasan MA adalah tingkah laku dan perbuatan para hakim

di semua lingkungan peradilan meluiputi lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan

militer. Pengawasan yang dilakukan oleh MA dan badan peradilan dibawahnya

termasuk dalam kategori pengawasan internal. Pengawasan Internal adalah

pengawasan dari dalam lingkungan peradilan sendiri yang mencakup 2 (dua) jenis

pengawasan yaitu: pengawasan melekat dan pengawasan fungsional (Badan

Pengawasan MA).

Pengawasan melekat merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai

pengendalian yang terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap

bawahannya secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas bawahan

tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pengawasan fungsional

adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang khusus ditunjuk

untuk melaksanakan tugas tersebut dalam satuan kerja tersendiri yang

diperuntukkan untuk itu. Di lingkungan lembaga peradilan, pengawasan fungsional

ini dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka dapat dikatakan bahwa

pengawasan yang dilakukan secara internal oleh MA sudah terlaksana dengan baik.

Hal ini diungkapkan oleh berbagai hakim yang berada di lingkungan peradilan

umum, PTUN, Militer dan Agama. Akan tetapi fakta hukum yang terjadi terhadap

kinerja hakim seringkali hakim lalai menjalankan kemandirian kekuasaan, bersikap

subjektif dan berpihak sehingga masyarakat kecewa dengan penegakan hukum

yang dilakukan oleh hakim sampai saat ini.22

b. Pengawasan eksternal hakim

Keberadaan Komisi Yudisial dilatarbelakangi dengan tuntutan perubahan

sistem peradilan yang diagendakan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang

membahas amandemen ke 3 UUD 1945 yang salah satunya disepakati bahwa

21 Pasal 39 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 22Kevin Angkouw, Fungsi Mahkamah Agung sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim dalam Proses Pengadilan, Lex Administratum, http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/viewFile/4746/4269, (online), Vol. II, No. 2, 2014, hal. 132, diakses 26 Oktober 2016.

Komisi Yudisial merupakan lembaga yang sama posisinya dengan lembaga negara

lain yang berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim.23

Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal terhadap hakim dianggap

sebagai solusi atas kurang maksimalnya pengawasan yang dilakukan secara

internal oleh Mahkamah Agung.24 Kurang maksimalnya pengawasan terhadap hakim

oleh Mahkamah Agung (MA) secara internal terdiri dari beberapa faktor yakni

pertama, kualitas sumber daya manusia; kedua, langkah pemeriksaan kedisiplinan

yang tidak terbuka; ketiga, masyarakat yang dirugikan tidak mudah untuk mengadu

dan memantau langkah pemeriksaan kedisiplinan; keempat, ketidakadilan besaran

hukuman yang dijatuhkan karena sesama internal; dan kelima kurangnya respon

pimpinan lembaga penegak hukum untuk menyelesaikan hasil pengawasan.25

Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial bertujuan agar

masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan

kemungkinan pemberhentian hakim, sehingga hakim dapat melaksanakan tugasnya

dengan menjunjung keadilan.26 Pengawasan tersebut seringkali berbenturan dengan

berbagai ragam pandangan.27 Benturan pandangan juga terjadi antara Komisi

Yudisial dengan dengan hakim yang diawasi. Seringkali terdapat dua pandangan

yang berbeda. Hal tersebut sering terjadi karena Mahkamah Agung beranggapan

permasalahan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap hakim

masuk dalam ranah teknis yudisial dan merupakan kebebasan hakim dalam

menjalankan tugas yudisialnya.28

G. Penutup

1. Kesimpulan

a. Kedudukan hakim sebagai pejabat negara belum dijalankan dengan baik. Hal ini

dapat dilihat dari faktor hak dan kewajiban seorang hakim yang belum

mendapatkan secara benar terhadap hak dan kewajibannya yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

b. Hak dan kewajiban seorang hakim sebagai pejabat negara sangat tidak

seimbang. Hakim dituntut kewajiban yang sangat banyak, sementara hak sebagai

pejabat negara sangat minim, antara lain rumah dinas tidak layak atau tidak

tersedia; mobil dinas tersedia hanya bagi Ketua Pengadilan dan/atau Wakil Ketua

Pengadilan; tidak ada hak protokoler; penggajian, jaminan kesehatan dan pension

masih seperti ASN; dan tidak ada jaminan keamanan. Hal ini menunjukkan

23Nurul Chotidjah, Eksistensi Komisi Yudidial dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, Jurnal Syiar Hukum, Vol. XII, No. 2, Juli 2010, hal. 168. 24Taufiqurrohman Syahuri, Op. Cit. 25 Taufiqurrohman Syahuri, Op. Cit.. 26 Nurul Chotidjah, Op. Cit.. 27 Jaja Ahmad Jayus, Op. Cit.. 28Harifin A. Tumpa, Komisi Yudisial dalam Perspektif Hukum, dalam buku Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial dalam Mewujudkan Hakim Berintegritas, Cet. 1, ISBN: 978-602-74750-2-1, Jakarta: Sekretriat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2016, hal. 215

berbagai pengaturan berkaitan hak dan kewajiban hakim belum dilaksanakan

secara efektif.

c. Manajemen hakim saat ini sudah dilakukan dengan baik, akan tetapi manajemen

hakim ini masih mengalami permasalahan di bidang anggaran. Proses mutasi

seorang hakim yang tidak diikuti dengan kemudahan atau kekhususan bagi

seorang hakim, akan menyulitkan pribadi seorang hakim tersebut.

d. Saat ini, terdapat 4 segi pembinaan terhadap hakim pengadilan di bawah

Mahkamah Agung, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Pertama,

pembinaan dari segi teknis peradilan; Kedua, dari segi organisasi para hakim;

Ketiga, dari segi administrasi para hakim; dan Keempat, dari segi finansial

pengadilan. Bentuk pembinaan secara langsung melalui rapat koordinasi secara

berkala, pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Hakim Tinggi dengan

mendatangi langsung pengadilan tingkat pertama, pembinan dan pengawasan

secara jarak jauh melalui penggunaan internet dan teknologi informasi. Inovasi

dalam hal pembinaan hakim juga sudah pernah dilakukan oleh sebagian hakim

tinggi. Mengenai pembinaan Hakim Ad Hoc, Keputusan Mahkamah Agung terkait

dengan pembinaan hakim ad hoc sudah diimplementasikan oleh Ketua

Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi. Pembinaan oleh Komisi Yudisial

dalam hal etika perilaku dan kehormatan hakim juga telah dilaksanakan

sebagaimana mestinya.

e. Pengawasan hakim saat ini dilakukan baik secara internal maupun eksternal.

Pengawasan secara internal dilakukan oleh MA yang diserahkan kepada Badan

Pegawasn Hakim. Sedangkan pengawasan internal kode etik hakim dilakukan

oleh KY. Pengawasan yang dilakukan oleh Bawas MA sudah dilaksanakan

dengan baik, akan tetapi pengawasan yang dilakukan oleh KY seringkali tidak

sesuai dengan kodratnya, dimana pengawasan yang dilakukan oleh KY seringkali

masuk ke dalam ranah teknis yudisial yang merupakan kebebasan hakim dalam

menjalankan tugasnya.

2. REKOMENDASI

a. Perlu ada sebuah aturan khusus yang mengatur tentang profesi hakim. RUU

tentang Jabatan Hakim merupakan salah satu peraturan perundang-undangan

yang dapat mengantisipasi dan solusi terhadap permasalahan hakim saat ini.

b. Perlu adanya penegasan hakim sebagai pejabat negara dalam sebuah aturan.

Selain itu, perlu adanya sebuah aturan yang mengatur tentang posisi hakim

dalam menjabat sebagai hakima di tingkat MA, tingkat Pengadilan Tinggi, dan

Pengadilan Negeri.

c. Penegasan dalam RUU tentang Jabatan Hakim perlu dilakukan dalam hal

pemberian hak dan kewajiban bagi seorang hakim. Pengaturan tentang profesi

hakim akan pengaturan jabatan hakim akan berdampak pada berbagai kepastian,

yaitu: Kepastian mendapatkan rumah jabatan, gaji, tunjangan, mobil dinas, dan

pengaturan tentang hak-hak lain yang menyangkut kehidupan seorang hakim.

d. Dalam memberikan manajemen yang baikk, maka diperlukan aturan yang

memberikan kepastian hukum tentang: kepastian rekrutmen; kepastian masa

kerja; kepastian metode promosi, mutasi; dan kepastian keberadaan keluarga

seorang hakim.

e. Pembinaan hakim perlu penunjang dalam bidang peningkatan sarana dan

prasarana pembinaan, serta peningkatan anggaran yang memadai untuk

melakukan pembinaan.

f. Pengawasan yang dilakukan oleh MA sebagai pengawas internal dan KY sebagai

pengawas eksternal disarankan untuk menghindari ego sentris antar lembaga

Lebih baik antar kedua lembaga bekerja selaras dan seimbang berdasarkan

konsep checks and balances terkait pengawasan terhadap hakim.