LAPORAN PENELITIAN -...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN -...
1
LAPORAN PENELITIAN
“PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA
(STUDI DI PROVINSI ACEH DAN NTT)”
Peneliti:
Dina Martiany, S.H., M.Si.
Dr. A. Muchaddam Fahham
Yulia Indahri, S.Pd., M.A.
Elga Andina, S.Psi., M.Psi.
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2016
2
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai
suku, budaya, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Keanekaragaman itu di satu sisi
dapat memperkaya identitas sebagai suatu bangsa, namun di sisi lain apabila tidak
dikelola dengan baik dapat menjadi sumber konflik. Salah satu keanekaragaman
yang ada di Indonesia adalah agama dan kepercayaan. Terdapat enam agama yang
banyak dianut oleh masyarakat dan dinyatakan resmi oleh negara, yaitu: Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Di samping itu, terdapat sejumlah
agama lainnya dan sekitar 245 aliran kepercayaan atau agama lokal.1 Jaminan
mengenai kebebasan perbedaan agama dan aliran kepercayaan oleh negara
dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945).
Sejatinya, meskipun jaminan kebebasan untuk memeluk agama dan
kepercayaan, telah diatur secara tegas dalam konstitusi dan undang-undang (UU),
namun permasalahan yang dialami umat beragama akan terus terjadi. Menurut
Gopin2 hal ini dikarenakan sepanjang sejarah manusia, agama memiliki dua warisan;
selain menciptakan perdamaian, agama juga dapat menyebabkan terjadinya
kekerasan (religion has a dual legacy in human history regarding peace and violence).
Selama ini, sering kali masyarakat belum dapat menerima perbedaan pluralitas
agama dan kepercayaan yang ada. Akibatnya, muncul berbagai permasalahan atau
disharmonisasi antarkelompok umat beragama dan/atau di dalam kelompok
beragama.
Disharmonisasi ini bahkan dapat berujung pada kekerasan, sebagaimana
yang terjadi di berbagai daerah pada beberapa waktu yang lalu, misalnya antara
lain: pelarangan dan ancaman terhadap pembangunan rumah ibadah di Aceh Singkil
dan Tolikara, Papua (2015); kisruh Gereja Yasmin di Bogor (2012); pelarangan
beribadah (contoh: kasus pelarangan shalat Idul Fitri oleh Gereja Injili di Indonesia
1 Draf awal Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat
Beragama (RUU PUB), yang disusun oleh Kementerian Agama, 7 Januari 2016, hal. 6. 2 Marc Gopin. “Religion, Violence, and Conflict Resolution”, dalam Peace & Change: A
Journal of Peace Research, Volume 22, Issue 1, hal. 1–31, Januari 1997.
3
(GIDI) di Tolikara, Papua, (2015)3 dan pelarangan jilbab bagi perempuan muslim di
Tolikara, Papua (2015)4; penyerangan fisik terhadap kelompok agama yang
dianggap di luar mainstream (contoh: penyerangan terhadap warga Syi’ah di
Sampang, Madura, 2012) 5; dugaan pengusiran warga Ahmadiyah di Pulau Bangka
(2016)6; serta pembunuhan umat beragama minoritas yang menolak untuk pindah
dari lokasi tertentu (contoh: pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat,
2011).
Penghayat kepercayaan atau agama lokal juga sering kali mengalami
diskriminasi. Sebagai contoh, pada akhir 2014 yang lalu, jenazah Daodah penghayat
kepercayaan Sapta Darma di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah; ditolak oleh warga
untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum. Jenazah Daodah pada akhirnya
terpaksa dikebumikan di pekarangan rumahnya.7 Belum lagi permasalahan
diskriminatif lainnya yang dialami penghayat kepercayaan, misalnya terkait dengan
dokumen administrasi negara, akte nikah dan akte kelahiran; serta dampak
pengosongan kolom agama di KTP dan perizinan.
Sebagai respons dari berbagai permasalahan umat beragama yang banyak
terjadi, Kementerian Agama (Kemenag) bermaksud menyusun suatu rancangan
undang-undang yang khusus mengatur perlindungan umat beragama (RUU PUB).
Pada waktunya, Kementerian Agama yang akan mengajukan RUU PUB kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hingga saat ini RUU PUB
telah masuk dalam long-list Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015–
2019. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menghasilkan suatu peraturan
perlindungan umat beragama yang komprehensif, dibutuhkan kajian dan analisis
3 “Sebelum Pembakaran Masjid Beredar Surat Pelarangan Sholat Ied di Tolikara”,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/07/17/nrmjlk-sebelum-pembakaran-masjid-beredar-surat-pelarangan-shalat-ied-di-tolikara, berita online tanggal 17 Juli 2015, diakses pada tanggal 9 Februari 2016.
4 Ibid. 5 “Inilah Kronologis Kekerasan Warga Syiah di Sampang”,
http://www.suarapembaruan.com/home/inilah-kronologis-kekerasan-warga-syiah-di-sampang/23865, berita online tanggal 27 Agustus 2012, diakses pada tanggal 10 Februari 2016.
6 “Menteri Agama Larang Warga Usir Jemaat Ahmadiyah”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160210121601-12-110048/menteri-agama-larang-warga-usir-jemaat-ahmadiyah/, berita online tanggal 10 Februari 2016, diakses pada tanggal 11 Februari 2016.
7 “Menimbang Nasib Aliran Penghayat Kepercayaan”, http://midjournal.com/2015/09/menimbang-nasib-aliran-penghayat-kepercayaan, berita online tanggal 1 September 2015, diakses pada tanggal 10 Februari 2016.
4
pendahuluan.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh
mengenai perlindungan umat beragama di Indonesia secara umum, dengan melihat
praktik perlindungan umat beragama dan penghayat kepercayaan di Provinsi Aceh
dan NTT. Adapun pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1) Apa saja permasalahan perlindungan umat beragama yang dialami di daerah?
2) Bagaimana perlindungan umat beragama dilakukan oleh pemerintah dan peran
serta masyarakat dalam menjaga kerukunan umat beragama?
3) Bagaimana pengaturan yang diperlukan untuk memberikan perlindungan umat
beragama di masa yang akan datang?
B. Metodologi
Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena sifat
pendekatan kualitatif yang terbuka dan fleksibel. Teknik pengumpulan data primer
dilakukan dengan wawancara. Teknik ini memiliki bentuk dan kegunaan yang
beragam, tetapi dalam penelitian ini akan digunakan tipe paling umum, yaitu:
wawancara langsung tatap muka (face to face), baik dengan individu maupun
dengan kelompok (focus group interview).8 Wawancara dilakukan dengan tidak
terstruktur (unstructured interview) yang memberikan ruang lebih luas bagi
informan dan pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka (open-ended), sehingga
dapat memperkaya perolehan data.
Untuk memperoleh data primer, wawancara dilakukan terhadap berbagai
informan, yaitu: pemerintah daerah yang terkait dengan urusan keagamaan,
pemerintah daerah yang terkait dengan urusan kependudukan dan catatan sipil
(dukcapil), pemerintah daerah yang terkait dengan urusan pendidikan, pemangku
adat/tokoh agama/tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan organisasi sipil
kemasyarakatan (cso/civil society organizations). Data sekunder akan dikumpulkan
dengan analisis dokumen perundang-undangan dan studi pustaka.
Penelitian Tahap ke-I di Provinsi Aceh telah dilaksanakan pada 28 Maret – 3
April 2016; dan Penelitian Tahap ke-II di Provinsi NTT telah dilaksanakan pada 11-
17 April 2016. Pemilihan Provinsi Aceh sebagai lokasi penelitian dikarenakan Aceh
8 Andrea Fontana dan James H. Frey, “Wawancara Seni Ilmu Pengetahuan” dalam Norman
K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Hand Book of Qualitative Research: Edisi Bahasa Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
5
merupakan daerah yang telah menerapkan syariat Islam. Sebagai daerah yang
memiliki mayoritas warga beragama Islam (98,19%)9 sangat menarik untuk melihat
bagaimana interaksinya dengan umat beragama lainnya. Selain itu, hasil Survei
Nasional Kerukunan Umat Beragama yang dilakukan Kementerian Agama pada
tahun 2015, menunjukkan bahwa Aceh termasuk satu dari sepuluh provinsi dengan
indeks kerukunan umat bergama paling rendah (62,8%)10 Pemilihan Provinsi NTT
sebagai lokasi penelitian salah satunya didasari hasil Survei Nasional Kerukunan
Umat Beragama yang dilakukan Kementerian Agama pada tahun 2015. Hasil survei
menunjukkan NTT merupakan daerah dengan kerukunan umat beragama paling
tinggi dengan poin (83,3 persen), diikuti dengan Bali (81,6 persen) dan Maluku
(81,3 persen).11
C. Hasil Penelitian
Pada bagian ini diuraikan rangkuman penyajian data yang merupakan hasil
temuan lapangan di kedua daerah penelitian. Data hasil temuan lapangan telah
dipilah sesuai dengan kebutuhan penelitian, agar dapat menjawab permasalahan
penelitian yang telah dirumuskan.
1) Permasalahan PUB di Daerah
Permasalahan PUB di daerah sesungguhnya tidak pernah bersifat tunggal
atau semata-mata karena persoalan agama dan keyakinan, tetapi pasti terkait
dengan unsur lainnya, seperti: ekonomi, politik, dan latar belakang historis. Konflik
antarumat beragama seringkali tidak dimulai dari baru-baru ini, akan tetapi sudah
mengakar dari nenek moyang. Adanya kecurigaan kepada umat beragama lain
dilatarbelakangi sejarah kolonialisme, yang sulit dihapuskan dari memori
masyarakat daerah tertentu. Konflik antarumat beragama tidak pernah diselesaikan
secara tuntas dan sering direpresi saja, akibatnya ketika diprovokasi dapat menjadi
pemicu agresivitas. Dari sisi politik, agama seringkali dijadikan alat politik yang
9 “Aceh”, https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh, diakses pada tanggal 12 Februari 2016. 10 “Survei Kerukunan Umat Beragama: Jakarta dan Aceh Terendah”,
http://www.rappler.com/indonesia/121995-survei-kerukunan-umat-beragama-2015, berita online tanggal 10 Februari 2016, diakses pada tanggal 12 Februari 2016.
11 “Survei Kemenag: Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Tinggi”, http://nasional.kompas.com/read/2016/02/10/12013351/Survei.Kemenag.Tingkat.Kerukunan.Umat.Beragama.di.Indonesia.Tinggi, berita online tanggal 10 Februari 2016, diakses pada tanggal 11 Februari 2016.
6
paling sering digunakan sebagai tameng untuk mendapatkan dukungan kelompok
tertentu. Akibatnya, mudah menyebabkan terjadinya gesekan dan konflik di tengah
masyarakat.
Secara umum, kondisi keberagamaan di kedua daerah penelitian tersebut
berjalan dengan baik dan penuh toleransi. Meskipun demikian, dari data hasil
temuan lapangan di Provinsi Aceh dan NTT, masih terdapat beberapa permasalahan
umat beragama yang masih terjadi di kedua daerah tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Permasalahan Pendirian Rumah Ibadah
Di Aceh, sebagai mayoritas, umat Islam nyaris tidak memiliki kendala dan
tantangan untuk mendirikan rumah ibadah, baik dalam bentuk daya (musalla)
maupun dalam bentuk masjid. Sementara umat Kristiani, Hindu, dan Buddha yang
jumlah pemeluknya sedikit kadangkala mengalami kendala dalam mendirikan
rumah ibadah. Selama ini, pedoman pendirian rumah ibadah di Aceh mengacu pada
Peraturan Bersama menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB 2 Menteri
Nomor 8/9 Tahun 2006), Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 25
Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Nanggroe Aceh Darussalam.
Permasalahan timbul ketika terdapat perbedaan aturan dalam Pergub dan
PBM No. 8/2 Tahun 2006. Pada PBM diatur pengguna rumah ibadah paling sedikit
90 orang, sementara dalam Pergub paling sedikit 150 orang. Demikian pula, terkait
jumlah daftar dukungan masyarakat sekitar rumah ibadah; PBM mensyaratkan 60
orang dan Pergub mensyaratkan 120 orang. Solusinya, dalam PBM maupun Pergub
disebutkan jika syarat jumlah dukungan tidak terpenuhi, atau ada masyarakat
sekitar yang menolak keberadaan calon rumah ibadah itu; maka pemerintah
berkewajiban mencarikan solusi atau memfasilitasi tersedia lokasi pembangunan
rumah ibadah. Hal ini harus didukung pula dengan komunikasi dan kerjasama yang
baik antara pemerintah, pemeluk agama, dan tokoh agama/tokoh masyarakat.
Sementara itu, di NTT proses pendirian rumah ibadah pada umumnya
terlaksana dengan baik. Masih terjadi beberapa permasalahan terkait pendirian
rumah ibadah. Salah satu contoh masalah terkait dengan perbedaan pemahaman
dan penafsiran terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006. Terutama dalam hal penentuan lokasi untuk
7
membangun suatu rumah ibadah, jumlah umat pengguna rumah ibadah yang akan
dibangun dan jumlah umat pendukung. Meskipun demikian, tidak ada masalah
dengan pemberian dukungan dan kebebasan mendirikan rumah ibadat dan
beribadat menurut agama masing-masing.
b. Permasalahan Aliran Sesat
Permasalahan ini muncul karena adanya paradigma pemerintah
memberikan perlindungan kepada ‘agama’ bukan kepada pemeluk agama.
Akibatnya, pemerintah memiliki keberpihakan hanya kepada keyakinan yang
dianggap ortodoks (benar), bukan yang dianggap heterodok. Permasalahannya,
tidak ada institusi yang berhak menjadi penentu kebenaran sebuah penafsiran atau
penentu apakah sebuah ajaran ortodoks atau tidak. Permasalahan kelompok yang
dianggap aliran sesat akan selalu muncul di tengah masyarakat beragama, terutama
kelompok mayoritas. Di Aceh, permasalahan aliran sesat muncul di beberapa
daerah, yang menimbulkan anarkisme, kekerasan dan menyebabkan korban jiwa
dan harta benda. Kasus penodaan agama (aliran sempalan) muncul di Aceh
beberapa waktu yang lalu, seperti aliran Millata Abrahah, ajaran Tgk. Aiyub, ajaran
Laduni, ajaran Barmawi, kasus Laweung dan Titeu Pidie. Hasil FGD di NTT
menyimpulkan bahwa diperlukan perlindungan masyarakat beragama dari
perkembangan aliran sesat. Saat ini, masih ada pengaturan yang berbeda
antara pusat dan daerah, misalnya pembinaan suatu kelompok aliran sesat
terhadap kelompok agamanya, ada yang dilarang oleh Kesbangpol tetapi oleh
Pemerintah Pusat diberi izin. Oleh karena itu, perlu indikator yang seragam
untuk menentukan suatu kelompok dapat dikategorikan sesat.
c. Permasalahan Terkait Penghayat Kepercayaan
Najib Burhani mengatakan konsep “agama” yang diterapkan di Indonesia,
sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Agama, adalah sesuatu yang mesti
berasal dari Tuhan melalui wahyu, dibawa oleh nabi, ditulis dalam kitab suci, berisi
aturan perilaku, hukum, dan ibadah yang rapi. Dalam definisi ini, maka agama lokal
seperti Marapu tidak dapat dikategorikan sebagai agama karena tidak memiliki
8
kitab suci atau tidak memiliki nabi, serta tidak memiliki konsep agama yang setara
dengan Islam atau Kristen. Selain itu, adanya dikotomi antara “agama resmi” dan
“agama tidak resmi” atau “agama yang diakui” dan “agama yang tidak/belum
diakui”, menyebabkan perlakukan yang berbeda antara pemeluk dua jenis agama
itu.
Hal ini tergambar dari data terkait Penghayat Kepercayaan Marapu di
Sumba Barat. Hingga saat ini, eksistensi penghayat kepercayaan masih dibedakan
dengan pemeluk agama, sehingga seringkali hak-hak sipil dan kependudukan
mereka tidak terpenuhi. Data menunjukkan ada beberapa permasalahan yang
dialami Penghayat Kepercayaan Marapu, terkait dengan pencatatan kependudukan:
1. Kepercayaan Marapu tidak dapat dicantumkan dalam kolom agama di Kartu
Identitas Penduduk (KTP);
2. pernikahan adat antara penghayat Marapu belum diakui oleh pemerintah; dan
3. nama ayah belum dapat dicantumkan dalam akta kelahiran, sebagai dampak dari
tidak tercatatnya pernikahan adat penghayat Marapu di catatan sipil. Anak dari
pernikahan tersebut tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara dan sulit
memiliki akta kelahiran dengan mencantumkan nama ayah. Saat ini, hanya nama
ibu yang dapat dicatatkan di akta kelahiran anak dari perkawinan adat. Kondisi
ini menyebabkan anak penghayat kepercayaan Marapu dapat dianggap sebagai
anak di luar pernikahan yang sah.
Penyebab terjadinya diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan Marapu,
antara lain: pembuat regulasi sering tidak memperhatikan regulasi terdahulu;
inkonsistensi pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan regulasi yang
sudah ada; dan regulasi yang diterapkan tidak mencerminkan kondisi kekhususan
yang ada di setiap daerah.
2). Pelaksanaan PUB di Daerah
Terhadap rencana pengaturan mengenai PUB di masa yang akan datang,
terutama melalui RUU PUB yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Kementerian
Agama Republik Indonesia, terdapat beberapa hasil yang diperoleh dari
pengumpulan data di Aceh dan NTT.
RUU PUB sesungguhnya diperlukan untuk memberikan jaminan
perlindungan umat beragama dan terwujudnya kerukunan melalui beberapa
9
prakondisi. Meskipun demikian, pengaturan PUB ke depannya harus terus
memperhatikan dinamika ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berlangsung di
tanah air, dan mengantisipasi intervensi dari luar negeri. Perlu diperhatikan pula,
bahwa konsep perlindungan yang ingin diwujudkan melalui RUU PUB, akan
merupakan stelsel pasif negara atau stelsel negatif, yang ketika terjadi masalah
perlindungan, maka negara baru ‘masuk’ dan menyelesaikan permasalahan yang
muncul. Atau sebaliknya, pengaturan PUB dilakukan dengan stelsel aktif atau positif
untuk pemenuhan hak warga negara; yang mengacu pada perspektif hak asasi
manusia. Apabila untuk pemenuhan, berarti negara merencanakan seluruh konsep
perlindungan, mulai dari penetapan kebijakan, sasaran, prosedur, sampai
pencapaian. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan secara detail dan komprehensif
wilayah atau isu apa saja yang membutuhkan kehadiran negara untuk memberikan
perlindungan.
Idealnya, pengaturan PUB memenuhi beberapa aspek, antara lain: 1)
terjaminnya kebebasan beragama; 2) terpeliharanya kemajemukan warga dan
toleransi antarumat beragama; 3) tersedianya perangkat hukum untuk melindungi
dan menjamin kebebasan beragama, serta mewujudkan dan memelihara
kemajemukan dan toleransi antarumat beragama; dan 4) dilaksanakannya
kewajiban dan tanggung jawab negara dalam menegakkan dan menjamin kebebasan
beragama, sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan
di bawahnya.
RUU PUB ini dapat menjamin kebebasan umat beragama untuk memeluk
agama/kepercayaannya dan mampu mengatasi konflik terkait KUB yang saat ini
ada. RUU PUB juga diharapkan bebas dari kepentingan politik apapun. Pengaturan
PUB diharapkan dapat membuat pemerintah mampu bersikap adil dalam menjaga
perlindungan minoritas. Prinsipnya, RUU PUB harus mempertimbangkan
proposionalitas dan kearifan lokal di suatu daerah. Adapun usul yang diperoleh dari
kedua daerah penelitian ini, sebaiknya kebijakan pusat tidak dapat digeneralisir,
namun harus berlandasan pada kondisi daerah masing-masing. Contoh: apabila
suatu daerah mayoritas 90% islam, 10% nonmuslim, kemudian peraturan tidak
dapat digeneralisir atau dibuat sama untuk di seluruh daerah.
Di samping pendapat-pendapat yang mendukung pengaturan PUB melalui
RUU, ada pula pendapat yang menyatakan tidak perlu ada pengaturan PUB. RUU
10
PUB dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan intoleransi baru di tengah
masyarakat beragama. Negara seharusnya tidak menjadi sumber intoleransi.
Berikut ini beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengaturan PUB
di masa yang akan datang, yaitu:
1) Definisi Agama
Definisi agama memang masih menjadi perdebatan, tetapi tetap diperlukan. Jika
tidak ada definisi, tidak akan jelas apa yang sedang dibicarakan. Adanya definisi
memastikan kejelasan seluruh gagasan mengenai agama. Secara sosiologis, dua
unsur utama yang harus ada ketika mendefinisikan suatu komunitas sebagai
agama adalah memiliki struktur pemimpin dan umat. Penghayat kepercayaan
sebenarnya masuk dalam definisi agama, tetapi karena pendefinisian selama ini
mereka terekslusi dari definisi agama.
Konsep ‘agama’ harus jelas. Konsep agama yang ada saat ini berasal dari berbagai
regulasi yang telah ada dan merupakan konsep dominasi mayoritas di tengah
masyarakat dunia atau masyarakat global. Konsep tersebut mengharuskan
adanya kitab, nabi, majelis, dan berbagai persyaratan rigid agar suatu agama
dapat diakui. Dampaknya, ada agama yang dapat dikategorikan sebagai agama
dan ada tidak termasuk agama atau dimasukkan sebagai kelompok aliran
kepercayaan.
Definisi ‘agama’ dalam RUU PUB sebaiknya merupakan definisi versi Indonesia,
dengan terlebih dahulu dilakukan kajian mendalam mengenai syarat-syarat
agama versi Indonesia yang lebih mendamaikan. Definisi versi Indonesia dapat
berasal dari kesepakatan agama-agama yang ada dan dimaknai sesuai dengan
sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945.
Di sisi lain, ada pula narasumber yang berpendapat bahwa tidak perlu ada
pengaturan mengenai definisi agama. Adapun alasan yang dikemukakan, antara
lain karena: a) agama merupakan pengalaman privat yang memiliki makna
berbeda bagi setiap orang, ketika negara membuat batasan dalam beragama,
maka yang muncul adalah represi terhadap hak kebebasan yang tercantum
dalam UUD 1945; dan b) definisi agama akan menjadi sumber permasalahan
baru.
11
2) Registrasi/Pendaftaran Agama
Pendaftaran agama merupakan hal yang penting. Dari pendaftaran tersebut kita
akan mengetahui bahwa satu kelompok mengakui bahwa dirinya adalah agama.
Pendaftaran agama sangat diperlukan, agar mudah diawasi dan mendapat
perhatian yang seimbang dari pemerintah. Pada prinsipnya, pendaftaran agama
harus bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap umat beragama,
karena akan berpengaruh terhadap hak-haknya sebagai warga negara.
3) Penyebaran dan Penyiaran Agama
Penyebaran dan penyiaran agama dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan
yang menurut sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan suatu ajaran agama,
sesuai dengan regulasi yang berlaku. Penyiaran agama ini perlu dibatasi, di satu
sisi diperlukan kebebasan dalam penyiaran agama sesuai misi tiap agama, tetapi
tetap mempertimbangkan toleransi terhadap agama lain. Perlu diatur pula agar
penyiaran agama dilakukan dengan prinsip tidak mengambil umat yang sudah
beragama dan orang yang sudah berkepercayaan, apapun motifnya. Penyiaran
agama baru tidak boleh memasuki suatu wilayah yang sudah beragama.
4) Pendirian Rumah Ibadah
Pendirian rumah ibadah penting untuk diatur, namun pengaturannya harus
proporsional, berdasarkan kebutuhan dan perkembangan umat beragama di
suatu wilayah. Perlu didorong kesepakatan antarpihak dalam pendirian rumah
ibadah. Esensi relasi antarumat dengan mengedepankan asas positivisme. Relasi
sosial di masyarakat jauh lebih penting, dibandingkan dengan hanya mengikuti
bahkan memaksaan penerapan peraturan yang ada. Namun demikian, untuk
sampai pada kesepakatan antar umat beragama, perlu diawali dengan
komunikasi. Setelah komunikasi dapat mencapai kata sepakat, maka kemudian
negara hadir untuk memfasilitasi.
5) Aliran Sesat
Diperlukan pengaturan terhadap perlindungan terhadap pemeluk agama dari
kelompok yang dianggap sesat, karena mereka kerap menerima perlakukan
diskriminatif. Terlepas dari sesat atau tidak keyakinan yang mereka anut,
12
bagaimanapun kekerasan dan perlakukan diskriminatif merupakan tindakan
yang tidak dapat ditolerir. Seluruh warga negara harus dilindungi dari tindakan
kekerasan dan diskriminatif. Diusulkan agar disusun indikator tentang aliran
sesat, sehingga jelas ketika memutuskan suatu kelompok sesat atau tidak.
6) Penghayat Kepercayaan atau Agama Lokal
Diperlukan pengaturan mengenai hak penghayat kepercayaan/agama lokal
diatur dan dilindungi dengan undang-undang. Agar ada kepastian hukum bagi
jaminan hak-hak mereka dan tidak menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tetapi, ada pula pendapat yang menyatakan
pengaturan antara agama dan penghayat kepercayaan/agama lokal harus
dipisah. Apabila mau diatur harus ada struktur agama lokal, sehingga kalau ada
masalah dapat disikapi oleh stuktur tersebut.
7) Majelis Agama
Majelis agama perlu diatur dalam RUU PUB, karena adanya kebutuhan organisasi
dan manajemen untuk menghimpun dan mengelola orang. Tetapi, keberadaan
Majelis Agama hendaknya hanya merupakan atribut yang melekat dan tidak
menjadi syarat pokok. Syarat pokok suatu agama seharusnya hanya mencakup:
keberadaan ajaran, keyakinan, dogma, dan bagaimana seorang penganut agama
dapat beribadah kepada Tuhannya. Apabila Majelis Agama menjadi syarat pokok,
maka urgensinya akan sama dengan ajaran, keyakinan, dan dogma.
Pembentukan Majelis Agama dapat dilakukan jika persyaratan organisasi
keagamaan terpenuhi. Majelis diperlukan untuk mengetahui siapa yang
mengelola, berdomisili di mana, bagaimana relasinya dengan negara, siapa yang
berrelasi dengan negara, dalam hal apa negara dapat mengintervensi, apa yang
dapat dibantu, dibina, serta diawasi oleh negara, dan sebagainya. Majelis Agama
harus mempunyai badan hukum dan mendapat pengakuan dari agama-agama
lain. Perlu diatur pula mengenai kontribusi FKUB dalam Majelis Agama.
8) Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri tidak akan menjadi masalah ketika ada kepastian bahwa
bantuan tersebut benar-benar untuk masalah keagamaan, ekonomi, sosial dan
13
budaya, bukan bantuan militer atau bantuan politik. Perihal mengenai bantuan
internasional ini harus diatur. Alasannya, untuk melindungi warga negara dari
para avonturir, karena sebagian besar warga negara Indonesia lebih setia kepada
warga negara asing yang seagama dengannya, dibandingkan kepada negara.
Bantuan dari luar negeri harus lebih diperketat sejauh terkait dengan agama,
contohnya: pembiayaan aktivitas agama. Meskipun demikian, harus ada regulasi
yang memberi ruang bagi adanya penyaluran bantuan luar negeri.
D. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Permasalahan perlindungan umat beragama masih terjadi di kedua daerah
penelitian, antara lain terkait dengan pendirian rumah ibadah, aliran sesat, dan
permasalahan penghayat kepercayaan. Penanganan berbagai permasalahan
tersebut harus dilakukan berdasarakan berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pemerintah dan Pemerintah daerah selama ini telah melakukan
berbagai upaya untuk mewujudkan PUB, termasuk mengoptimalisasikan peran
FKUB dan mengalokasikan anggaran untuk PUB. Meskipun demikian, segala
upaya tersebut masih perlu didukung dengan peraturan perundang-undangan
yang memadai, dengan prinsip-prinsip yang harus dibangun sesuai dengan
kondisi permasalahan yang ada. RUU PUB diharapkan dapat menjadi payung
hukum dan mengatasi permasalahan PUB yang masih terjadi saat ini. Adapun
substansi yang diharapkan dapat diatur dalam pengaturan PUB di masa yang
akan datang, antara lain sebagai berikut: a) definisi agama; b)
registrasi/pendaftaran agama; c) perlindungan hak penghayat
kepercayaan/agama lokal; d) penyebaran dan penyiaran agama; e) aliran sesat; f)
pendirian rumah ibadah; g) majelis agama; dan f) bantuan luar negeri.
2. Rekomendasi
Penyelenggaraan KUB dan PUB di Aceh dan NTT telah berlangsung baik,
namun perlu terus dilakukan dialog-dialog, sosialisasi, penyuluhan yang
integratif dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa perbedaan
suku bangsa dan keyakinan merupakan suatu realitas dalam kehidupan
bermasyarakat. Pluralitas dan keberagaman harus diupayakan dapat hidup dan
14
berkembang dengan lebih baik. Selain itu, dalam pengaturan PUB di masa yang
akan datang, di luar berbagai aspek yang telah disebutkan di atas, perlu diatur
pula mengenai pemanfaatan media, terutama terkait dengan pencegahan dan
sanksi terhadap penyalahgunaan media yang digunakan untuk tindakan
intoleransi dan provokasi umat beragama. Pada praktiknya, penyelenggaraan
PUB harus dilakukan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan budaya di
suatu daerah, tidak dapat digeneralisir antara kondisi suatu daerah dengan
daerah lainnya.