LAPORAN PENELITIAN -...

14
1 LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI DI PROVINSI ACEH DAN NTT)” Peneliti: Dina Martiany, S.H., M.Si. Dr. A. Muchaddam Fahham Yulia Indahri, S.Pd., M.A. Elga Andina, S.Psi., M.Psi. PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2016

Transcript of LAPORAN PENELITIAN -...

Page 1: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

1

LAPORAN PENELITIAN

“PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA

(STUDI DI PROVINSI ACEH DAN NTT)”

Peneliti:

Dina Martiany, S.H., M.Si.

Dr. A. Muchaddam Fahham

Yulia Indahri, S.Pd., M.A.

Elga Andina, S.Psi., M.Psi.

PUSAT PENELITIAN

BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA

2016

Page 2: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

2

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai

suku, budaya, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Keanekaragaman itu di satu sisi

dapat memperkaya identitas sebagai suatu bangsa, namun di sisi lain apabila tidak

dikelola dengan baik dapat menjadi sumber konflik. Salah satu keanekaragaman

yang ada di Indonesia adalah agama dan kepercayaan. Terdapat enam agama yang

banyak dianut oleh masyarakat dan dinyatakan resmi oleh negara, yaitu: Islam,

Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Di samping itu, terdapat sejumlah

agama lainnya dan sekitar 245 aliran kepercayaan atau agama lokal.1 Jaminan

mengenai kebebasan perbedaan agama dan aliran kepercayaan oleh negara

dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945).

Sejatinya, meskipun jaminan kebebasan untuk memeluk agama dan

kepercayaan, telah diatur secara tegas dalam konstitusi dan undang-undang (UU),

namun permasalahan yang dialami umat beragama akan terus terjadi. Menurut

Gopin2 hal ini dikarenakan sepanjang sejarah manusia, agama memiliki dua warisan;

selain menciptakan perdamaian, agama juga dapat menyebabkan terjadinya

kekerasan (religion has a dual legacy in human history regarding peace and violence).

Selama ini, sering kali masyarakat belum dapat menerima perbedaan pluralitas

agama dan kepercayaan yang ada. Akibatnya, muncul berbagai permasalahan atau

disharmonisasi antarkelompok umat beragama dan/atau di dalam kelompok

beragama.

Disharmonisasi ini bahkan dapat berujung pada kekerasan, sebagaimana

yang terjadi di berbagai daerah pada beberapa waktu yang lalu, misalnya antara

lain: pelarangan dan ancaman terhadap pembangunan rumah ibadah di Aceh Singkil

dan Tolikara, Papua (2015); kisruh Gereja Yasmin di Bogor (2012); pelarangan

beribadah (contoh: kasus pelarangan shalat Idul Fitri oleh Gereja Injili di Indonesia

1 Draf awal Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat

Beragama (RUU PUB), yang disusun oleh Kementerian Agama, 7 Januari 2016, hal. 6. 2 Marc Gopin. “Religion, Violence, and Conflict Resolution”, dalam Peace & Change: A

Journal of Peace Research, Volume 22, Issue 1, hal. 1–31, Januari 1997.

Page 3: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

3

(GIDI) di Tolikara, Papua, (2015)3 dan pelarangan jilbab bagi perempuan muslim di

Tolikara, Papua (2015)4; penyerangan fisik terhadap kelompok agama yang

dianggap di luar mainstream (contoh: penyerangan terhadap warga Syi’ah di

Sampang, Madura, 2012) 5; dugaan pengusiran warga Ahmadiyah di Pulau Bangka

(2016)6; serta pembunuhan umat beragama minoritas yang menolak untuk pindah

dari lokasi tertentu (contoh: pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat,

2011).

Penghayat kepercayaan atau agama lokal juga sering kali mengalami

diskriminasi. Sebagai contoh, pada akhir 2014 yang lalu, jenazah Daodah penghayat

kepercayaan Sapta Darma di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah; ditolak oleh warga

untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum. Jenazah Daodah pada akhirnya

terpaksa dikebumikan di pekarangan rumahnya.7 Belum lagi permasalahan

diskriminatif lainnya yang dialami penghayat kepercayaan, misalnya terkait dengan

dokumen administrasi negara, akte nikah dan akte kelahiran; serta dampak

pengosongan kolom agama di KTP dan perizinan.

Sebagai respons dari berbagai permasalahan umat beragama yang banyak

terjadi, Kementerian Agama (Kemenag) bermaksud menyusun suatu rancangan

undang-undang yang khusus mengatur perlindungan umat beragama (RUU PUB).

Pada waktunya, Kementerian Agama yang akan mengajukan RUU PUB kepada

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hingga saat ini RUU PUB

telah masuk dalam long-list Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015–

2019. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menghasilkan suatu peraturan

perlindungan umat beragama yang komprehensif, dibutuhkan kajian dan analisis

3 “Sebelum Pembakaran Masjid Beredar Surat Pelarangan Sholat Ied di Tolikara”,

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/07/17/nrmjlk-sebelum-pembakaran-masjid-beredar-surat-pelarangan-shalat-ied-di-tolikara, berita online tanggal 17 Juli 2015, diakses pada tanggal 9 Februari 2016.

4 Ibid. 5 “Inilah Kronologis Kekerasan Warga Syiah di Sampang”,

http://www.suarapembaruan.com/home/inilah-kronologis-kekerasan-warga-syiah-di-sampang/23865, berita online tanggal 27 Agustus 2012, diakses pada tanggal 10 Februari 2016.

6 “Menteri Agama Larang Warga Usir Jemaat Ahmadiyah”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160210121601-12-110048/menteri-agama-larang-warga-usir-jemaat-ahmadiyah/, berita online tanggal 10 Februari 2016, diakses pada tanggal 11 Februari 2016.

7 “Menimbang Nasib Aliran Penghayat Kepercayaan”, http://midjournal.com/2015/09/menimbang-nasib-aliran-penghayat-kepercayaan, berita online tanggal 1 September 2015, diakses pada tanggal 10 Februari 2016.

Page 4: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

4

pendahuluan.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh

mengenai perlindungan umat beragama di Indonesia secara umum, dengan melihat

praktik perlindungan umat beragama dan penghayat kepercayaan di Provinsi Aceh

dan NTT. Adapun pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1) Apa saja permasalahan perlindungan umat beragama yang dialami di daerah?

2) Bagaimana perlindungan umat beragama dilakukan oleh pemerintah dan peran

serta masyarakat dalam menjaga kerukunan umat beragama?

3) Bagaimana pengaturan yang diperlukan untuk memberikan perlindungan umat

beragama di masa yang akan datang?

B. Metodologi

Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena sifat

pendekatan kualitatif yang terbuka dan fleksibel. Teknik pengumpulan data primer

dilakukan dengan wawancara. Teknik ini memiliki bentuk dan kegunaan yang

beragam, tetapi dalam penelitian ini akan digunakan tipe paling umum, yaitu:

wawancara langsung tatap muka (face to face), baik dengan individu maupun

dengan kelompok (focus group interview).8 Wawancara dilakukan dengan tidak

terstruktur (unstructured interview) yang memberikan ruang lebih luas bagi

informan dan pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka (open-ended), sehingga

dapat memperkaya perolehan data.

Untuk memperoleh data primer, wawancara dilakukan terhadap berbagai

informan, yaitu: pemerintah daerah yang terkait dengan urusan keagamaan,

pemerintah daerah yang terkait dengan urusan kependudukan dan catatan sipil

(dukcapil), pemerintah daerah yang terkait dengan urusan pendidikan, pemangku

adat/tokoh agama/tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan organisasi sipil

kemasyarakatan (cso/civil society organizations). Data sekunder akan dikumpulkan

dengan analisis dokumen perundang-undangan dan studi pustaka.

Penelitian Tahap ke-I di Provinsi Aceh telah dilaksanakan pada 28 Maret – 3

April 2016; dan Penelitian Tahap ke-II di Provinsi NTT telah dilaksanakan pada 11-

17 April 2016. Pemilihan Provinsi Aceh sebagai lokasi penelitian dikarenakan Aceh

8 Andrea Fontana dan James H. Frey, “Wawancara Seni Ilmu Pengetahuan” dalam Norman

K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Hand Book of Qualitative Research: Edisi Bahasa Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Page 5: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

5

merupakan daerah yang telah menerapkan syariat Islam. Sebagai daerah yang

memiliki mayoritas warga beragama Islam (98,19%)9 sangat menarik untuk melihat

bagaimana interaksinya dengan umat beragama lainnya. Selain itu, hasil Survei

Nasional Kerukunan Umat Beragama yang dilakukan Kementerian Agama pada

tahun 2015, menunjukkan bahwa Aceh termasuk satu dari sepuluh provinsi dengan

indeks kerukunan umat bergama paling rendah (62,8%)10 Pemilihan Provinsi NTT

sebagai lokasi penelitian salah satunya didasari hasil Survei Nasional Kerukunan

Umat Beragama yang dilakukan Kementerian Agama pada tahun 2015. Hasil survei

menunjukkan NTT merupakan daerah dengan kerukunan umat beragama paling

tinggi dengan poin (83,3 persen), diikuti dengan Bali (81,6 persen) dan Maluku

(81,3 persen).11

C. Hasil Penelitian

Pada bagian ini diuraikan rangkuman penyajian data yang merupakan hasil

temuan lapangan di kedua daerah penelitian. Data hasil temuan lapangan telah

dipilah sesuai dengan kebutuhan penelitian, agar dapat menjawab permasalahan

penelitian yang telah dirumuskan.

1) Permasalahan PUB di Daerah

Permasalahan PUB di daerah sesungguhnya tidak pernah bersifat tunggal

atau semata-mata karena persoalan agama dan keyakinan, tetapi pasti terkait

dengan unsur lainnya, seperti: ekonomi, politik, dan latar belakang historis. Konflik

antarumat beragama seringkali tidak dimulai dari baru-baru ini, akan tetapi sudah

mengakar dari nenek moyang. Adanya kecurigaan kepada umat beragama lain

dilatarbelakangi sejarah kolonialisme, yang sulit dihapuskan dari memori

masyarakat daerah tertentu. Konflik antarumat beragama tidak pernah diselesaikan

secara tuntas dan sering direpresi saja, akibatnya ketika diprovokasi dapat menjadi

pemicu agresivitas. Dari sisi politik, agama seringkali dijadikan alat politik yang

9 “Aceh”, https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh, diakses pada tanggal 12 Februari 2016. 10 “Survei Kerukunan Umat Beragama: Jakarta dan Aceh Terendah”,

http://www.rappler.com/indonesia/121995-survei-kerukunan-umat-beragama-2015, berita online tanggal 10 Februari 2016, diakses pada tanggal 12 Februari 2016.

11 “Survei Kemenag: Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Tinggi”, http://nasional.kompas.com/read/2016/02/10/12013351/Survei.Kemenag.Tingkat.Kerukunan.Umat.Beragama.di.Indonesia.Tinggi, berita online tanggal 10 Februari 2016, diakses pada tanggal 11 Februari 2016.

Page 6: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

6

paling sering digunakan sebagai tameng untuk mendapatkan dukungan kelompok

tertentu. Akibatnya, mudah menyebabkan terjadinya gesekan dan konflik di tengah

masyarakat.

Secara umum, kondisi keberagamaan di kedua daerah penelitian tersebut

berjalan dengan baik dan penuh toleransi. Meskipun demikian, dari data hasil

temuan lapangan di Provinsi Aceh dan NTT, masih terdapat beberapa permasalahan

umat beragama yang masih terjadi di kedua daerah tersebut, yaitu sebagai berikut:

a. Permasalahan Pendirian Rumah Ibadah

Di Aceh, sebagai mayoritas, umat Islam nyaris tidak memiliki kendala dan

tantangan untuk mendirikan rumah ibadah, baik dalam bentuk daya (musalla)

maupun dalam bentuk masjid. Sementara umat Kristiani, Hindu, dan Buddha yang

jumlah pemeluknya sedikit kadangkala mengalami kendala dalam mendirikan

rumah ibadah. Selama ini, pedoman pendirian rumah ibadah di Aceh mengacu pada

Peraturan Bersama menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB 2 Menteri

Nomor 8/9 Tahun 2006), Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 25

Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Nanggroe Aceh Darussalam.

Permasalahan timbul ketika terdapat perbedaan aturan dalam Pergub dan

PBM No. 8/2 Tahun 2006. Pada PBM diatur pengguna rumah ibadah paling sedikit

90 orang, sementara dalam Pergub paling sedikit 150 orang. Demikian pula, terkait

jumlah daftar dukungan masyarakat sekitar rumah ibadah; PBM mensyaratkan 60

orang dan Pergub mensyaratkan 120 orang. Solusinya, dalam PBM maupun Pergub

disebutkan jika syarat jumlah dukungan tidak terpenuhi, atau ada masyarakat

sekitar yang menolak keberadaan calon rumah ibadah itu; maka pemerintah

berkewajiban mencarikan solusi atau memfasilitasi tersedia lokasi pembangunan

rumah ibadah. Hal ini harus didukung pula dengan komunikasi dan kerjasama yang

baik antara pemerintah, pemeluk agama, dan tokoh agama/tokoh masyarakat.

Sementara itu, di NTT proses pendirian rumah ibadah pada umumnya

terlaksana dengan baik. Masih terjadi beberapa permasalahan terkait pendirian

rumah ibadah. Salah satu contoh masalah terkait dengan perbedaan pemahaman

dan penafsiran terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006. Terutama dalam hal penentuan lokasi untuk

Page 7: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

7

membangun suatu rumah ibadah, jumlah umat pengguna rumah ibadah yang akan

dibangun dan jumlah umat pendukung. Meskipun demikian, tidak ada masalah

dengan pemberian dukungan dan kebebasan mendirikan rumah ibadat dan

beribadat menurut agama masing-masing.

b. Permasalahan Aliran Sesat

Permasalahan ini muncul karena adanya paradigma pemerintah

memberikan perlindungan kepada ‘agama’ bukan kepada pemeluk agama.

Akibatnya, pemerintah memiliki keberpihakan hanya kepada keyakinan yang

dianggap ortodoks (benar), bukan yang dianggap heterodok. Permasalahannya,

tidak ada institusi yang berhak menjadi penentu kebenaran sebuah penafsiran atau

penentu apakah sebuah ajaran ortodoks atau tidak. Permasalahan kelompok yang

dianggap aliran sesat akan selalu muncul di tengah masyarakat beragama, terutama

kelompok mayoritas. Di Aceh, permasalahan aliran sesat muncul di beberapa

daerah, yang menimbulkan anarkisme, kekerasan dan menyebabkan korban jiwa

dan harta benda. Kasus penodaan agama (aliran sempalan) muncul di Aceh

beberapa waktu yang lalu, seperti aliran Millata Abrahah, ajaran Tgk. Aiyub, ajaran

Laduni, ajaran Barmawi, kasus Laweung dan Titeu Pidie. Hasil FGD di NTT

menyimpulkan bahwa diperlukan perlindungan masyarakat beragama dari

perkembangan aliran sesat. Saat ini, masih ada pengaturan yang berbeda

antara pusat dan daerah, misalnya pembinaan suatu kelompok aliran sesat

terhadap kelompok agamanya, ada yang dilarang oleh Kesbangpol tetapi oleh

Pemerintah Pusat diberi izin. Oleh karena itu, perlu indikator yang seragam

untuk menentukan suatu kelompok dapat dikategorikan sesat.

c. Permasalahan Terkait Penghayat Kepercayaan

Najib Burhani mengatakan konsep “agama” yang diterapkan di Indonesia,

sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Agama, adalah sesuatu yang mesti

berasal dari Tuhan melalui wahyu, dibawa oleh nabi, ditulis dalam kitab suci, berisi

aturan perilaku, hukum, dan ibadah yang rapi. Dalam definisi ini, maka agama lokal

seperti Marapu tidak dapat dikategorikan sebagai agama karena tidak memiliki

Page 8: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

8

kitab suci atau tidak memiliki nabi, serta tidak memiliki konsep agama yang setara

dengan Islam atau Kristen. Selain itu, adanya dikotomi antara “agama resmi” dan

“agama tidak resmi” atau “agama yang diakui” dan “agama yang tidak/belum

diakui”, menyebabkan perlakukan yang berbeda antara pemeluk dua jenis agama

itu.

Hal ini tergambar dari data terkait Penghayat Kepercayaan Marapu di

Sumba Barat. Hingga saat ini, eksistensi penghayat kepercayaan masih dibedakan

dengan pemeluk agama, sehingga seringkali hak-hak sipil dan kependudukan

mereka tidak terpenuhi. Data menunjukkan ada beberapa permasalahan yang

dialami Penghayat Kepercayaan Marapu, terkait dengan pencatatan kependudukan:

1. Kepercayaan Marapu tidak dapat dicantumkan dalam kolom agama di Kartu

Identitas Penduduk (KTP);

2. pernikahan adat antara penghayat Marapu belum diakui oleh pemerintah; dan

3. nama ayah belum dapat dicantumkan dalam akta kelahiran, sebagai dampak dari

tidak tercatatnya pernikahan adat penghayat Marapu di catatan sipil. Anak dari

pernikahan tersebut tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara dan sulit

memiliki akta kelahiran dengan mencantumkan nama ayah. Saat ini, hanya nama

ibu yang dapat dicatatkan di akta kelahiran anak dari perkawinan adat. Kondisi

ini menyebabkan anak penghayat kepercayaan Marapu dapat dianggap sebagai

anak di luar pernikahan yang sah.

Penyebab terjadinya diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan Marapu,

antara lain: pembuat regulasi sering tidak memperhatikan regulasi terdahulu;

inkonsistensi pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan regulasi yang

sudah ada; dan regulasi yang diterapkan tidak mencerminkan kondisi kekhususan

yang ada di setiap daerah.

2). Pelaksanaan PUB di Daerah

Terhadap rencana pengaturan mengenai PUB di masa yang akan datang,

terutama melalui RUU PUB yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Kementerian

Agama Republik Indonesia, terdapat beberapa hasil yang diperoleh dari

pengumpulan data di Aceh dan NTT.

RUU PUB sesungguhnya diperlukan untuk memberikan jaminan

perlindungan umat beragama dan terwujudnya kerukunan melalui beberapa

Page 9: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

9

prakondisi. Meskipun demikian, pengaturan PUB ke depannya harus terus

memperhatikan dinamika ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berlangsung di

tanah air, dan mengantisipasi intervensi dari luar negeri. Perlu diperhatikan pula,

bahwa konsep perlindungan yang ingin diwujudkan melalui RUU PUB, akan

merupakan stelsel pasif negara atau stelsel negatif, yang ketika terjadi masalah

perlindungan, maka negara baru ‘masuk’ dan menyelesaikan permasalahan yang

muncul. Atau sebaliknya, pengaturan PUB dilakukan dengan stelsel aktif atau positif

untuk pemenuhan hak warga negara; yang mengacu pada perspektif hak asasi

manusia. Apabila untuk pemenuhan, berarti negara merencanakan seluruh konsep

perlindungan, mulai dari penetapan kebijakan, sasaran, prosedur, sampai

pencapaian. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan secara detail dan komprehensif

wilayah atau isu apa saja yang membutuhkan kehadiran negara untuk memberikan

perlindungan.

Idealnya, pengaturan PUB memenuhi beberapa aspek, antara lain: 1)

terjaminnya kebebasan beragama; 2) terpeliharanya kemajemukan warga dan

toleransi antarumat beragama; 3) tersedianya perangkat hukum untuk melindungi

dan menjamin kebebasan beragama, serta mewujudkan dan memelihara

kemajemukan dan toleransi antarumat beragama; dan 4) dilaksanakannya

kewajiban dan tanggung jawab negara dalam menegakkan dan menjamin kebebasan

beragama, sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan

di bawahnya.

RUU PUB ini dapat menjamin kebebasan umat beragama untuk memeluk

agama/kepercayaannya dan mampu mengatasi konflik terkait KUB yang saat ini

ada. RUU PUB juga diharapkan bebas dari kepentingan politik apapun. Pengaturan

PUB diharapkan dapat membuat pemerintah mampu bersikap adil dalam menjaga

perlindungan minoritas. Prinsipnya, RUU PUB harus mempertimbangkan

proposionalitas dan kearifan lokal di suatu daerah. Adapun usul yang diperoleh dari

kedua daerah penelitian ini, sebaiknya kebijakan pusat tidak dapat digeneralisir,

namun harus berlandasan pada kondisi daerah masing-masing. Contoh: apabila

suatu daerah mayoritas 90% islam, 10% nonmuslim, kemudian peraturan tidak

dapat digeneralisir atau dibuat sama untuk di seluruh daerah.

Di samping pendapat-pendapat yang mendukung pengaturan PUB melalui

RUU, ada pula pendapat yang menyatakan tidak perlu ada pengaturan PUB. RUU

Page 10: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

10

PUB dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan intoleransi baru di tengah

masyarakat beragama. Negara seharusnya tidak menjadi sumber intoleransi.

Berikut ini beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengaturan PUB

di masa yang akan datang, yaitu:

1) Definisi Agama

Definisi agama memang masih menjadi perdebatan, tetapi tetap diperlukan. Jika

tidak ada definisi, tidak akan jelas apa yang sedang dibicarakan. Adanya definisi

memastikan kejelasan seluruh gagasan mengenai agama. Secara sosiologis, dua

unsur utama yang harus ada ketika mendefinisikan suatu komunitas sebagai

agama adalah memiliki struktur pemimpin dan umat. Penghayat kepercayaan

sebenarnya masuk dalam definisi agama, tetapi karena pendefinisian selama ini

mereka terekslusi dari definisi agama.

Konsep ‘agama’ harus jelas. Konsep agama yang ada saat ini berasal dari berbagai

regulasi yang telah ada dan merupakan konsep dominasi mayoritas di tengah

masyarakat dunia atau masyarakat global. Konsep tersebut mengharuskan

adanya kitab, nabi, majelis, dan berbagai persyaratan rigid agar suatu agama

dapat diakui. Dampaknya, ada agama yang dapat dikategorikan sebagai agama

dan ada tidak termasuk agama atau dimasukkan sebagai kelompok aliran

kepercayaan.

Definisi ‘agama’ dalam RUU PUB sebaiknya merupakan definisi versi Indonesia,

dengan terlebih dahulu dilakukan kajian mendalam mengenai syarat-syarat

agama versi Indonesia yang lebih mendamaikan. Definisi versi Indonesia dapat

berasal dari kesepakatan agama-agama yang ada dan dimaknai sesuai dengan

sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945.

Di sisi lain, ada pula narasumber yang berpendapat bahwa tidak perlu ada

pengaturan mengenai definisi agama. Adapun alasan yang dikemukakan, antara

lain karena: a) agama merupakan pengalaman privat yang memiliki makna

berbeda bagi setiap orang, ketika negara membuat batasan dalam beragama,

maka yang muncul adalah represi terhadap hak kebebasan yang tercantum

dalam UUD 1945; dan b) definisi agama akan menjadi sumber permasalahan

baru.

Page 11: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

11

2) Registrasi/Pendaftaran Agama

Pendaftaran agama merupakan hal yang penting. Dari pendaftaran tersebut kita

akan mengetahui bahwa satu kelompok mengakui bahwa dirinya adalah agama.

Pendaftaran agama sangat diperlukan, agar mudah diawasi dan mendapat

perhatian yang seimbang dari pemerintah. Pada prinsipnya, pendaftaran agama

harus bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap umat beragama,

karena akan berpengaruh terhadap hak-haknya sebagai warga negara.

3) Penyebaran dan Penyiaran Agama

Penyebaran dan penyiaran agama dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan

yang menurut sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan suatu ajaran agama,

sesuai dengan regulasi yang berlaku. Penyiaran agama ini perlu dibatasi, di satu

sisi diperlukan kebebasan dalam penyiaran agama sesuai misi tiap agama, tetapi

tetap mempertimbangkan toleransi terhadap agama lain. Perlu diatur pula agar

penyiaran agama dilakukan dengan prinsip tidak mengambil umat yang sudah

beragama dan orang yang sudah berkepercayaan, apapun motifnya. Penyiaran

agama baru tidak boleh memasuki suatu wilayah yang sudah beragama.

4) Pendirian Rumah Ibadah

Pendirian rumah ibadah penting untuk diatur, namun pengaturannya harus

proporsional, berdasarkan kebutuhan dan perkembangan umat beragama di

suatu wilayah. Perlu didorong kesepakatan antarpihak dalam pendirian rumah

ibadah. Esensi relasi antarumat dengan mengedepankan asas positivisme. Relasi

sosial di masyarakat jauh lebih penting, dibandingkan dengan hanya mengikuti

bahkan memaksaan penerapan peraturan yang ada. Namun demikian, untuk

sampai pada kesepakatan antar umat beragama, perlu diawali dengan

komunikasi. Setelah komunikasi dapat mencapai kata sepakat, maka kemudian

negara hadir untuk memfasilitasi.

5) Aliran Sesat

Diperlukan pengaturan terhadap perlindungan terhadap pemeluk agama dari

kelompok yang dianggap sesat, karena mereka kerap menerima perlakukan

diskriminatif. Terlepas dari sesat atau tidak keyakinan yang mereka anut,

Page 12: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

12

bagaimanapun kekerasan dan perlakukan diskriminatif merupakan tindakan

yang tidak dapat ditolerir. Seluruh warga negara harus dilindungi dari tindakan

kekerasan dan diskriminatif. Diusulkan agar disusun indikator tentang aliran

sesat, sehingga jelas ketika memutuskan suatu kelompok sesat atau tidak.

6) Penghayat Kepercayaan atau Agama Lokal

Diperlukan pengaturan mengenai hak penghayat kepercayaan/agama lokal

diatur dan dilindungi dengan undang-undang. Agar ada kepastian hukum bagi

jaminan hak-hak mereka dan tidak menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Tetapi, ada pula pendapat yang menyatakan

pengaturan antara agama dan penghayat kepercayaan/agama lokal harus

dipisah. Apabila mau diatur harus ada struktur agama lokal, sehingga kalau ada

masalah dapat disikapi oleh stuktur tersebut.

7) Majelis Agama

Majelis agama perlu diatur dalam RUU PUB, karena adanya kebutuhan organisasi

dan manajemen untuk menghimpun dan mengelola orang. Tetapi, keberadaan

Majelis Agama hendaknya hanya merupakan atribut yang melekat dan tidak

menjadi syarat pokok. Syarat pokok suatu agama seharusnya hanya mencakup:

keberadaan ajaran, keyakinan, dogma, dan bagaimana seorang penganut agama

dapat beribadah kepada Tuhannya. Apabila Majelis Agama menjadi syarat pokok,

maka urgensinya akan sama dengan ajaran, keyakinan, dan dogma.

Pembentukan Majelis Agama dapat dilakukan jika persyaratan organisasi

keagamaan terpenuhi. Majelis diperlukan untuk mengetahui siapa yang

mengelola, berdomisili di mana, bagaimana relasinya dengan negara, siapa yang

berrelasi dengan negara, dalam hal apa negara dapat mengintervensi, apa yang

dapat dibantu, dibina, serta diawasi oleh negara, dan sebagainya. Majelis Agama

harus mempunyai badan hukum dan mendapat pengakuan dari agama-agama

lain. Perlu diatur pula mengenai kontribusi FKUB dalam Majelis Agama.

8) Bantuan Luar Negeri

Bantuan luar negeri tidak akan menjadi masalah ketika ada kepastian bahwa

bantuan tersebut benar-benar untuk masalah keagamaan, ekonomi, sosial dan

Page 13: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

13

budaya, bukan bantuan militer atau bantuan politik. Perihal mengenai bantuan

internasional ini harus diatur. Alasannya, untuk melindungi warga negara dari

para avonturir, karena sebagian besar warga negara Indonesia lebih setia kepada

warga negara asing yang seagama dengannya, dibandingkan kepada negara.

Bantuan dari luar negeri harus lebih diperketat sejauh terkait dengan agama,

contohnya: pembiayaan aktivitas agama. Meskipun demikian, harus ada regulasi

yang memberi ruang bagi adanya penyaluran bantuan luar negeri.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Permasalahan perlindungan umat beragama masih terjadi di kedua daerah

penelitian, antara lain terkait dengan pendirian rumah ibadah, aliran sesat, dan

permasalahan penghayat kepercayaan. Penanganan berbagai permasalahan

tersebut harus dilakukan berdasarakan berbagai peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Pemerintah dan Pemerintah daerah selama ini telah melakukan

berbagai upaya untuk mewujudkan PUB, termasuk mengoptimalisasikan peran

FKUB dan mengalokasikan anggaran untuk PUB. Meskipun demikian, segala

upaya tersebut masih perlu didukung dengan peraturan perundang-undangan

yang memadai, dengan prinsip-prinsip yang harus dibangun sesuai dengan

kondisi permasalahan yang ada. RUU PUB diharapkan dapat menjadi payung

hukum dan mengatasi permasalahan PUB yang masih terjadi saat ini. Adapun

substansi yang diharapkan dapat diatur dalam pengaturan PUB di masa yang

akan datang, antara lain sebagai berikut: a) definisi agama; b)

registrasi/pendaftaran agama; c) perlindungan hak penghayat

kepercayaan/agama lokal; d) penyebaran dan penyiaran agama; e) aliran sesat; f)

pendirian rumah ibadah; g) majelis agama; dan f) bantuan luar negeri.

2. Rekomendasi

Penyelenggaraan KUB dan PUB di Aceh dan NTT telah berlangsung baik,

namun perlu terus dilakukan dialog-dialog, sosialisasi, penyuluhan yang

integratif dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa perbedaan

suku bangsa dan keyakinan merupakan suatu realitas dalam kehidupan

bermasyarakat. Pluralitas dan keberagaman harus diupayakan dapat hidup dan

Page 14: LAPORAN PENELITIAN - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-55.pdf · LAPORAN PENELITIAN “PERMASALAHAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (STUDI

14

berkembang dengan lebih baik. Selain itu, dalam pengaturan PUB di masa yang

akan datang, di luar berbagai aspek yang telah disebutkan di atas, perlu diatur

pula mengenai pemanfaatan media, terutama terkait dengan pencegahan dan

sanksi terhadap penyalahgunaan media yang digunakan untuk tindakan

intoleransi dan provokasi umat beragama. Pada praktiknya, penyelenggaraan

PUB harus dilakukan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan budaya di

suatu daerah, tidak dapat digeneralisir antara kondisi suatu daerah dengan

daerah lainnya.