LAPORAN PENELITIAN STRATEGI PENINGKATAN...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN STRATEGI PENINGKATAN...
1
LAPORAN PENELITIAN
STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM MENDUKUNG SINERGI
PEMBANGUNAN PUSAT DAN DAERAH
(Studi di Daerah Bandung dan Tanggerang)
Peneliti:
Nidya Waras Sayekti, SE., MM.
Ariesy Tri Mauleny, S.Si., ME.
Lisnawati, S.Si., MSE.
Achmad Sani Alhusain, SE., MA.
Izzaty, ST., ME.
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2016
2
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia sesungguhnya merupakan proses memanusiakan manusia
yang dihadapkan oleh sejumlah tantangan yang multidimensi. Bagi Indonesia yang terdiri dari
34 provinsi dengan kondisi geografis dan potensi sumber daya yang berbeda-beda, tidaklah
mudah untuk melaksanakan pembangunan. Namun upaya untuk mengatasi persoalan
pembangunan terus dilakukan. Pemerintah bersama DPR terus berupaya menyusun kebijakan
nasional yang mendukung keberhasilan pembangunan daerah yang merupakan tolak ukur
keberhasilan pembangunan secara keseluruhan.
Sejak berlakunya otonomi daerah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang beberapa kali telah mengalami perubahan dan terakhir kali
dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, beberapa daerah meminta untuk dilakukan pemekaran. Sejatinya,
pemekaran daerah bertujuan meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan PAD-nya. Namun demikian, sekitar 60 persen
daerah yang telah mengalami pemekaran gagal meningkatkan PAD daerah tersebut.1
Semestinya daerah yang telah dilakukan pemekaran mampu meningkatkan pertumbuhan PAD-
nya untuk pelaksanaan pembangunan wilayahnya sehingga sinergi pembangunan antara pusat
dan daerah dapat terwujud.
Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah adalah menghadirkan kemandirian daerah yang secara teoritis diukur dari pencapaian
PAD. Namun demikian, capaian kemandirian daerah dalam memenuhi pembiayaan
pembangunan saat ini belum menggembirakan. Berdasarkan APBD Tahun 2015 terlihat bahwa
belum ada daerah yang prosentase PAD terhadap pendapatan daerahnya mencapai 70 persen.
Daerah yang mencapai prosentase di atas 50 persen baru 10 daerah, sementara daerah yang
berada di bawah 30 persen ada 10 daerah, bahkan masih ada 2 daerah yang di bawah 10
persen. Dengan demikian, hampir semua daerah di Indonesia memiliki proporsi dana
perimbangan melebihi 50 persen yang bermakna daerah masih sangat tergantung bantuan dari
pusat untuk membiayai segala kewajibannya terkait dengan pembangunan dan pemerintahan.
Hal tersebut menunjukkan sinyalemen negatif di mana otonomi belum dapat mengurangi
ketergantungan daerah seperti yang terjadi pada era sebelumnya, padahal tujuan otonomi
1 Fauziah Mursid, “PAD Minim, Pemerintah Selektif Soal Pemekaran Daerah”,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/04/27/nngqxz-pad-minim-pemerintah-selektif-soal-pemekaran-daerah, diunduh 17 Februari 2015.
3
adalah kemandirian daerah. Perlu ada strategi yang lebih baik untuk meningkatkan PAD di
seluruh daerah.
Banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa daerah seperti kebingungan di
dalam menyikapi tuntutan otonomi. Filosofi dasar otonomi untuk mendekatkan pelayanan
kepada tingkat pemerintahan paling bawah justru disikapi sebaliknya. Untuk beberapa daerah
yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia, otonomi benar-
benar menjadi arena pembuktian bahwasannya mereka sanggup untuk mengelola daerahnya
sendiri dengan mengurangi campur tangan pusat. Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di
Indonesia belum memiliki prasyarat kesiapan tersebut, sehingga tenggelam dalam euforia
otonomi itu sendiri.2 Hal tersebut berdampak pada lemahnya sinergitas hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah baik dalam penyusunan kebijakan pembangunan sisi penerimaan
maupun sisi penggunaan.
Program Pemerataan fiskal (Fiscal equalisation) dipraktekkan oleh banyak negara di
dunia, baik negara federasi maupun negara kesatuan. Pendeketan ini adalah untuk mengatasi
masalah ketimpangan fiskal (fiscal disparities) diantara daerah-daerah yang se-level. Misalnya di
negara federal, ada program pemerataan fiskal antar negara bagian dan program pemerataan
fiskal antar daerah di dalam negara bagian masing-masing. Hal yang sama juga terjadi di
negara-negara kesatuan (unitary). Program ini dapat dianggap sebagai upaya untuk
menempatkan daerah-daerah pada posisi fiskal yang sama untuk menjalankan tugasnya.
Meskipun demikian, tidak akan pernah ada sistem pemerataan fiskal yang sempurna. Yang
terjadi pada prakteknya adalah upaya untuk mengurangi ketimpangan fiskal diantara daerah
yang se-level sampai ke tingkat yang dapat diterima.
Satu hal penting yang harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal
adalah instrumen, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah satu instrumen yang
digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian
daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan
akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga
akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka menarik untuk dilakukan penelitian tentang
strategi peningkatan pendapatan asli daerah dalam mendukung sinergi pembangunan pusat
dan daerah. Penelitian ini akan berupaya mencari langkah-langkah strategis dalam
meningkatkan kemampuan daerah memenuhi kebutuhan pembiayaan baik melalui pajak
daerah, retribusi, laba BUMD dan pengelolaan kekayaan daerah lainnya serta lain-lain PAD yang
2 Joko Tri Haryanto, “Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap Kemandirian Daerah”,
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf, diunduh 15 Februari 2016.
4
sah yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan. Penelitian ini juga ingin melihat sinergi
hubungan pusat dan daerah dalam mewujudkan kebijakan pembangunan nasional.
B. Metodologi
Penelitian tentang strategi peningkatan pendapatan asli daerah dalam mendukung
sinergi pembangunan pusat dan daerah merupakan penelitian baru. Penelitian ini akan
menganalisis strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatannya baik yang
bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan
penerimaan pendapatan lainnya termasuk dari BUMD yang dimiliki daerah dalam kerangka
sinergi hubungan pusat dan daerah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang berupaya menganalisis strategi
pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya baik jangka pendek,
menengah dan panjang sehingga pembangunan di daerah dapat bersinergi dengan
pembangunan di pusat. Penjelasan deskriptif akan memperdalam strategi pemerintah daerah
dalam meningkatkan PAD beserta kendala-kendala yang dihadapinya melalui analisis data
primer dan sekunder. Penelitian akan difokuskan pada dua daerah yang memiliki kontributor
penting dalam peningkatan PAD-nya sehingga mampu mewujudkan sinergi pembangunan pusat
dan daerah. Sifat penelitian ini deskriptif, yaitu menggambarkan secara jelas jawaban atas
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Kemudian dari hasil analisis diambil
kesimpulan dan rekomendasi.
Pencarian data akan dilakukan di daerah penelitian data primer dengan melakukan
wawancara dengan narasumber instansi terkait di daerah penelitian (studi kasus), seperti
Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah, Biro Perekonomian, BPS, BUMD dan Akademisi. Selain itu
akan dilakukan juga kegiatan pencarian data primer dan sekunder di Jakarta. Pencarian data di
Jakarta akan dilakukan ke Bappeda Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 29 Februari 2016 dan ke
Badan Pembinaan BUMD dan Penanaman Modal Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 1 Maret
2016. Selain itu, akan dilakukan juga kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan
mengundang narasumber dan Akademisi. Kegiatan ini menjadi penting dalam rangka analisis
awal maupun analisis pada level nasional.
Data yang dikumpulkan berasal dari studi dokumentasi dan melalui diskusi kelompok
terfokus dengan narasumber (yang berasal dari Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, KPPOD
dan BPK) untuk menganalisis sinergi pembangunan pusat dan daerah dari perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan serta peran pemerintah pusat dalam mendukung kebijakan
pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD-nya. Penelitian ini juga didukung oleh data
sekunder yang dikumpulkan dari literatur, surat kabar, majalah, dan internet yang
mempublikasikan mengenai upaya peningkatan PAD serta dampaknya bagi pelaksanaan
5
pembangunan di daerah khususnya dan di pusat umumnya serta permasalahan yang terjadi di
lapangan.
C. Hasil Penelitian
Perbaikan desentralisasi fiskal di Indonesia pada prinsipnya adalah bagaimana sistem
yang ada saat ini dapat dikembangkan dan diperbaiki untuk disesuaikan dengan normatif dari
kebijakan desentralisasi yang seharusnya dimunculkan. Dalam perkembangan kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia, terdapat empat elemen utama desentralisasi fiskal yang harus
disempurnakan, yaitu 1) sistem dana perimbangan (transfer), 2) sistem pajak dan pinjaman
daerah, 3) sistem administrasi dan anggaran pemerintahan pusat dan daerah, serta 4)
penyediaan pelayanan publik dalam konteks penerapan SPM.
Arah dari kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menghindari kegagalan dari sistem
desentralisasi (Prud’homme 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi yang justru
menciptakan inefisiensi dari perekonomian. Mekanisme atau desain dari desentralisasi fiskal
yang dapat memperparah inefisiensi suatu perekonomian, misalnya terjadi ketika sistem
transfer justru menimbulkan kondisi soft budget constraint, terciptanya local capture yang
melemahkan akuntabilitas dari sistem pemerintahan pada tingkatan yang lebih rendah, serta
kondisi low transaction costs di tingkat lokal tidak terpenuhi.3
Terdapat 4 sistem yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyelenggaraan
desentralisasi fiskal di Indonesia. Keempat sistem tersebut ialah sebagai berikut:
1. Sistem Dana Perimbangan
Masalah strategis pada desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pada sistem transfer antar
tingkat pemerintahan. Transfer dari pemerintah pusat pada prakteknya masih merupakan
sumber pembiayaan dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia. Sampai
saat ini, penerapan sistem transfer di Indonesia di cirikan oleh: 1) Sering adanya perubahan
formula untuk block grants (DAU) dan juga conditional grants DAK, 2) Peningkatan cakupan
sektor dari dana bagi hasil (DBH) dan penerapan earmarked pengeluaran dari alokasi DBH
yang diterima oleh daerah, dan 3) Perubahan total alokasi block grants DAU dan DAK, serta
4) belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau dalam hal ini
target pencapaian SPM (standar pelayanan minimum).
2. Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah
Pembatasan otonomi dari segi penerimaan cenderung berimplikasi pada penetapan
retribusi baru, dan juga untuk beberapa daerah, pembatasan atau penundaan mekanisme 3 Tingginya transaction costs bisa diakibatkan dari misalnya tingginya uncertainty dari penetapan kebijakan
pemerintah daerah yang berubah-ubah, dikarenakan tata perundang-undangan yang masih dalam taraf pembenahan serta lemahnya enforcement; biaya finansial atau administrasi yang lebih tinggi diakibatkan lemahnya kapasitas daerah; serta akibat dari informasi yang terpusat ataupun ekslusif untuk setiap daerah sehingga tidak ada pembelajaran dari best practices.
6
penerusan pinjaman luar negeri, tidak berarti tidak adanya praktek defisit anggaran.
Kondisi yang ada di Indonesia, pemerintah daerah di Indonesia cenderung menetapkan
berbagai jenis retribusi untuk mengurangi keterbatasan jenis pajak yang berada di bawah
kebijaksanaan pemerintah daerah (Lewis 2003). Praktek penetapan berbagai retribusi oleh
pemerintah daerah untuk mengatasi keterbatasan penerimaan dari pajak daerah bukan
merupakan kejadian yang hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain di mana
pemerintah daerahnya memiliki otonomi pajak yang relatif rendah juga mengalami
peningkatan praktek adopsi retribusi untuk menghasilkan pendapatan tambahan (Bryson
2008).
Namun, apakah keleluasaan untuk menentukan tarif pajak atau perluasan pajak daerah vis a
vis penurunan alokasi transfer akan mendapatkan dukungan dari daerah, sangat tergantung
dari kondisi awal keuangan publik daerah dan juga konsensus politik.4 Pengalaman negara-
negara lain menunjukkan pemerintah daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana
transfer lebih memilih "status quo" dalam penerimaan pembiayaan dari pemerintah pusat
(Inanga dan Osei Wusu 2004). Sementara itu, dari sisi pinjaman daerah, perubahan regulasi
dalam bentuk peningkatan batasan defisit anggaran daerah (dan juga batasan akumulasi
pinjaman), kemungkinan menandakan bahwa fiskal disiplin belum sepenuhnya berjalan,
atau terbatasnya sumber penerimaan untuk penyediaan barang publik, menyebabkan
beberapa daerah memiliki anggaran defisit.
3. Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah
Isu tentang desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada sistem penerimaan untuk
pemerintah daerah, yaitu sistem transfer dan revenue assignments, tetapi juga menyangkut
efisiensi dari pengeluaran pemerintah. Efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif
jika tidak ada disiplin fiskal dari pengeluaran pemerintah dan peningkatan efisiensi
pengelolaan anggaran pusat dan daerah. Kebijakan penganggaran pada pemerintahan pusat
dan daerah merupakan reformasi yang relatif baru dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun
2007).5 Perubahan terbaru pada proses administrasi penganggaran di tingkat pusat dan
daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah, yang
bertujuan untuk memperkuat 1) akuntabilitas dari pengeluaran (input), 2) keterkaitan
dengan kinerja pemerintah (output), dan 3) keterkaitan dengan pancapaian peningkatan
aspek kesejahteraan di masyarakat (outcome).
4. Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan Minimum (SPM)
4 Daerah dengan kapasitas perpajakan tinggi, mengacu pada sumber daya alam yang melimpah besar atau
basis pajak yang luas, cenderung akan melobi pemerintah pusat untuk memperluas otonomi pajak, sementara pemerintah daerah yang memiliki ketergantungan terhadap dana transfer relatif tinggi cenderung akan mempertahankan sistem dana perimbangan yang dominan.
5 Tahap pertama desentralisasi, mengacu pada penerapan UU No 22 dan 25 tahun 1999, belum mencakup urusan administrasi penganggaran dan pengeluaran.
7
Dalam konteks penyediaan layanan publik, otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota
belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan jenis pelayanan publik, hal yang
sama terjadi pada pembagian kewenangan untuk propinsi, yang sampai saat ini lebih
berfungsi sebagai lapisan representasi unit dan fungsi pemerintah pusat pada tingkat lokal.
Untuk itu, terkait dengan isu pemekaran wilayah, kriteria benefit costs dari kebijakan
pemekaran juga tidak disertai oleh kebijakan pemerintah pusat untuk tetap mendasarkan
administrasi pelayanan berdasarkan cakupan skala ekonomis dari pelayanan publik yang
terkait.
Pada tahun 2015, besaran total pendapatan negara yang berhasil dihimpun oleh seluruh
daerah berjumlah Rp136,35T. Pendapatan negara tersebut diperoleh dari pajak daerah
(120,316T), retribusi (1,731T), hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (3,514T)
dan lain-lain PAD yang sah (10,788T). Besaran pendapatan tersebut didominasi oleh perolehan
pajak daerah sebesar Rp120,32T atau 88,24 persen. Adapun besaran pendapatan daerah untuk
setiap provinsi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Besaran PAD Provinsi dan Unsur Pembentuknya Tahun 2015
Sumber: Kemenkeu (2016), data diolah.
Dalam upaya merencanakan target pendapatan asli daerah dilakukan secara rasional
dengan mempertimbangkan realisasi penerimaan tahun lalu, potensi dan asumsi pertumbuhan
ekonomi yang dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah daerah serta optimalisasi
pencapaiannya. Peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah, jangan sampai memberatkan
dunia usaha dan masyarakat. Upaya peningkatan pendapatan asli daerah ditempuh melalui
penyederhanaan sistem dan prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, law
enforcement dalam upaya membangun ketaatan wajib pajak dan wajib retribusi daerah serta
peningkatan pengendalian dan pengawasan atas pemungutan pendapatan asli daerah untuk
terciptanya efektifitas dan efisiensi yang dibarengi dengan peningkatan kualitas, kemudahan,
ketepatan, dan kecepatan pelayanan dengan biaya murah. Instrumen utama dalam pelaksanaan
8
desentralisasi fiskal dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah.
a. Studi di Kota Bandung (Dilaksanakan pada tanggal 11 s.d. 17 April 2016)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Padjadjaran melansir
potensi pajak di Kota Bandung mencapai Rp1,987 triliun. Target penerimaan pajak Kota
Bandung telah mencapai Rp1,613 triliun. Namun, jika digali lagi lebih optimal potensi
penerimaan dapat mencapai Rp1,987 triliun. Potensi pajak ini berasal dari sembilan jenis pajak
yang menjadi sumber pendapatan asli daerah Kota Bandung selama ini.
Salah satu jenis pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) memiliki
selisih target dan potensi paling besar. Akan tetapi, Pemkot Bandung pada 2015 ini memasang
target BPHTB hanya Rp488 miliar, padahal potensinya mencapai Rp631 miliar. Agar potensi
pajak bisa tergali secara optimal, Pemkot Bandung diminta memperbaharui basis data wajib
pajak dan potensi pajak secara berkala. Selanjutnya, penguatan hukum terhadap wajib pajak.
Pemkot Bandung saat ini juga telah berusaha menguatkan penerapan teknologi informasi guna
mendukung perolehan dari potensi pajak tersebut.
Intensifikasi pengelolaan pendapatan daerah dilakukan dengan kegiatan penekanan
pada peningkatan intensitas dan inovasi dalam pemungutan PAD melalui pendekatan persuasif
dan edukatif kepada wajib pajak dan retribusi daerah, baik dalam bentuk pemungutan pajak
dan retribusi terhutang pada tahun berjalan, serta tunggakan tahun yang lalu. Sedangkan untuk
meningkatkan kesadaran para wajib pajak dan retribusi mematuhi kewajibannya membayar
pajak, juga telah diadakan pembinaan secara rutin oleh para petugas pungut dari dinas teknis
pengelola PAD pada saat melakukan pemungutan atau penagihan pajak.
Ektensifikasi pengelolaan pendapatan daerah yang sudah dilakukan dengan cara
mendata obyek dan wajib pajak yang belum di data dan juga dengan melakukan pendataan
ulang terhadap obyek pajak dan wajib pajak yang mengalami perubahan. Dengan melakukan
pendataan tersebut diharapkan dapat mengetahui potensi PAD, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif antara lain dengan cara meningkatkan serta menggali potensi wajib pajak yang ada di
wilayah.
Arah kebijakan pengelolaan pendapatan dikota Bandung adalah:
a. Arah kebijakan pendapatan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
secara lengkap, adalah sebagai berikut:
1) mengoptimalkan penerimaan pendapatan asli daerah dengan menerapkan sistem on
line penerimaan pajak daerah dan membenahi manajemen data penerimaan PAD;
9
2) memantapkan regulasi pajak yang telah diserahkan ke daerah, antara lain BPHTB (Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan), pajak bumi dan bangunan, serta pajak
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah berikut prosedur dan mekanismenya;
3) memantapkan kelembagaan dan sistem operasional pemungutan pendapatan daerah;
4) mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk lebih memberikan
kontribusi terhadap pendapatan daerah;
5) meningkatkan kualitas pengelolaan aset dan keuangan daerah;
6) meningkatkan pelayanan dan perlindungan masyarakat sebagai upaya meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah; dan
7) meningkatkan koordinasi dalam peningkatan pendapatan daerah dengan instansi atau
lembaga terkait di tingkat kota dan provinsi.
b. Arah kebijakan pendapatan daerah untuk meningkatkan dana perimbangan, adalah sebagai
berikut:
1) mengoptimalkan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan PBB, Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri (PPh OPDN), dan PPh pasal 21;
2) meningkatkan koordinasi dengan pemerintah pusat dan provinsi dalam pelaksanaan
dana perimbangan.
c. Arah kebijakan pendapatan daerah untuk meningkatkan penerimaan pendapatan non
konvensional, antara lain melalui peluang pendanaan pihak ke tiga melalui pola Kerjasama
Pemerintah dan Swasta (KPS).
Target pendapatan Pemerintah Kota Bandung pada tahun anggaran 2014 sebagaimana
yang tertuang dalam APBD dianggarkan sebesar Rp5.302.471.398.707,15 dan dapat
direalisasikan sebesar Rp4.953.940.629.444,00 atau mencapai 93,43% dari target yang telah
ditetapkan (sebelum dilakukan audit oleh BPK-RI). Perincian rencana dan realisasi pendapatan
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Komposisi Pendapatan Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2014
No Uraian Anggaran Pendapatan (Rp)
Realisasi Pendapatan (Rp)
%
1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1.808.509.055.075,00 1.716.057.298.378,00 94,89 2 Dana Perimbangan 1.938.446.741.066,00 1.886.016.264.020,00 97,30 3 Lain-lain Pendapatan Daerah yg Sah 1.555.515.602.566,15 1.351.867.067.046,00 86,91
Jumlah 5.302.471.398.707,15 4.953.940.629.444,00 93,43 Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, 2014
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa realisasi PAD tidak mencapai target yang diharapkan.
Dalam hal ini, realisasi PAD tahun 2014 hanya tercapai sebesar 94,89% dari target yang
diharapkan. Adapun realisasi dana perimbangan pada tahun 2014, adalah sebesar
Rp1.886.016.264.020,00 atau mencapai 97,30% dari target yang direncanakan. Sedangkan,
capaian untuk realisasi lain-lain pendapatan daerah yang sah berada pada kisaran 86,91%.
10
Hasil pajak daerah telah mendekati target yang telah direncanakan. Dari target hasil
pajak daerah sebesar Rp1.400.000.000.000,00, ternyata realisasinya hanya sebesar
Rp1.399.598.856.917,00 atau mencapai 99,97%. Di sisi lain, realisasi hasil retribusi daerah
masih jauh dari besaran yang ditargetkan yang hanya dapat terealisasi sebesar
Rp99.192.319.387,00 (75,63%). Begitu juga dengan PAD yang diperoleh dari (i) hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan (ii) lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah, pada tahun 2014 belum dapat memenuhi target.
Komponen pajak daerah masih memegang peranan besar dalam menyokong kinerja
PAD. Oleh karena itu, harapan yang cukup tinggi patut diberikan dalam perbaikan kinerja pajak
daerah seiring dengan aktivitas ekonomi Kota Bandung yang terus mengalami peningkatan, di
samping terus diupayakannya penggalian sumber-sumber potensial penerimaan pajak daerah.
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pajak hotel realisasinya melampaui target,
adalah sebesar Rp204.152.062.826,00 atau 100,64% dari yang telah ditetapkan pada tahun
2014 sebesar Rp202.850.000.000,00. Hal ini dikarenakan adanya penambahan hotel-hotel baru
dan meningkatnya okupansi hotel. Walaupun realisasi tidak setinggi tahun 2013, tetapi capaian
ini merupakan sebuah prestasi yang harus dipertahankan, terutama dalam meningkatkan fungsi
dan citra Kota Bandung sebagai kota perdagangan dan pariwisata. Realisasi pajak restoran juga
melampaui target pada tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penambahan jumlah restoran dan
rumah makan baru, serta penerapan pajak restoran atas jasa boga/catering sebagai pengganti
pajak pertambahan nilai yang dimulai pada tahun 2012.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menempatkan retribusi daerah atau pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Retribusi memiliki dua prinsip yaitu sebagai sumber pendapatan (budgetary) dan sebagai
pengatur (regulatory). Hal ini tercantum dalam
Jenis retribusi daerah yang menjadi bagian PAD Kota Bandung, meliputi:
a) retribusi pelayanan kesehatan;
b) retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat;
c) retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum;
d) retribusi pengujian kendaraan bermotor;
e) retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
f) retribusi bidang perhubungan;
g) retribusi rumah potong hewan;
h) retribusi tempat rekreasi dan olah raga;
i) retribusi izin mendirikan bangunan;
j) retribusi izin gangguan/keramaian; dan
11
k) retribusi ijin trayek.
Total perolehan retribusi daerah tidak mencapai target yang diharapkan dan hanya terealisasi
sebesar Rp99.192.319.387,00 atau mencapai 75,63% dari target. Adapun beberapa retribusi
yang melebihi target yang telah ditetapkan, adalah sebagai berikut.
a) Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan yang dikelola oleh Dinas Pemakaman dan
Pertamanan dengan perolehan sebesar Rp3.952.350.000,00 dari target sebesar
Rp3.071.953.500,00 atau mencapai 128,66%. Retribusi ini berhasil melebihi target
dikarenakan optimalnya sosialisasi Peraturan Daerah tentang Pelayanan Pemakaman
melalui media massa/elektronik dan tatap muka dengan warga masyarakat dan perangkat
pemerintah kewilayahan, serta adanya kesadaran ahli waris terhadap keberadaan makam
keluarganya.
b) Retribusi rumah potong hewan yang dikelola oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
dengan perolehan sebesar Rp1.523.570.000,00 dari target sebesar Rp1.500.000.000,00 atau
mencapai 101,57%. Retribusi ini melebihi target, dikarenakan:
1) adanya kebijakan pemerintah untuk membebaskan kuota impor sapi bakalan asal
Australia sehingga para importir bebas menyediakan sapi potong dan
2) pada tahun 2014, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan bekerjasama dengan beberapa
feedloter, diantaranya Bisnis Lintas Indonesia (BLI), Agri Satwa, dan Santori
melaksanakan pemotongan sapi impor di rumah potong hewan Pemerintah Kota
Bandung.
c) Retribusi tempat rekreasi dan olahraga yang dikelola oleh Dinas Pemakaman dan
Pertamanan dengan perolehan sebesar Rp999.563.500,00 dari target sebesar
Rp408.049.950,00 juta atau mencapai 244,96%. Retribusi ini melebihi target dikarenakan
semakin banyaknya kunjungan wisatawan ke tempat rekreasi.
d) Retribusi izin trayek yang dikelola oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Dinas
Perhubungan dengan capaian sebesar Rp181.925.000,00 dari target sebesar
Rp150.000.000,00 atau mencapai 121,28%. Retribusi ini melebihi target sehubungan
dengan adanya penambahan trayek baru, seperti halnya taksi.
Sedangkan retribusi yang tidak mencapai target, adalah sebagai berikut.
a) Retribusi pelayanan kesehatan yang dikelola oleh Dinas Kesehatan, RSUD, RSKGM, RSKIA,
dan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dengan capaian sebesar Rp19.316.111.000,00
dari target sebesar Rp19.815.447.500,00 atau mencapai 97,84%;
b) Retribusi IMB yang dikelola oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dengan capaian
Rp49.218.086.494,00 dari target sebesar Rp61.290.026.267,00 atau mencapai 80,30%.
12
Retribusi ini tidak melebihi target dikarenakan permohonan IMB pada tahun 2014 tidak
sebanyak pada tahun 2013.
c) Retribusi izin gangguan yang dikelola oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dengan
capaian sebesar Rp2.723.896.471,00 dari target sebesar Rp4.000.000.000,00 atau mencapai
68,1%. Pengeluaran ijin harus didasari oleh fungsi dari ijin itu sendiri, yaitu sebagai bagian
dari pengendalian sehingga penurunan retribusi dari perijinan bukan berarti berkurangnya
kinerja perijinan. Target retribusi izin gangguan yang tidak tercapai, salah satunya
diakibatkan pembatasan ijin keramaian dengan alasan keamanan.
d) Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum yang dikelola oleh Dinas Perhubungan
dengan capaian sebesar Rp5.528.338.000,00 dari target sebesar Rp6.855.000.000,00 atau
mencapai 80,65%. Penyebab tidak tercapainya target retribusi adalah kebijakan
mengurangi lahan parkir di bahu jalan.
e) Retribusi pengujian kendaraan bermotor yang dikelola oleh Dinas Perhubungan dengan
capaian Rp5.464.529.000,00 dari target sebesar Rp6.837.000.000,00 atau mencapai
79,93%. Retribusi tersebut belum mencapai target dikarenakan kurangnya kesadaran
masyarakat dalam pengurusan perizinan, serta menurunnya jumlah kendaraan yang
“numpang uji” di Kota Bandung.
f) Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran yang dikelola Dinas Penanggulangan dan
Pencegahan Kebakaran dengan perolehan sebesar Rp533.957.100,00 dari target sebesar
Rp950.000.000,00 atau mencapai 56,21%. Retribusi tersebut belum dapat memenuhi target
dikarenakan kenaikan target PAD yang masih relatif tinggi serta masih kurangnya
kesadaran masyarakat dalam penanggulangan kebakaran.
g) Retribusi bidang perhubungan yang dikelola oleh Dinas Perhubungan dengan capaian
sebesar Rp8.120.073.800,00 dari target sebesar Rp11.166.027.650,00 atau tercapai sebesar
72,72%. Retribusi tersebut belum memenuhi target dikarenakan belum optimalnya
pengelolaan retribusi di lapangan dikarenakan masih kurangnya kesadaran pengemudi
angkutan umum untuk mentaati aturan untuk masuk ke terminal serta masih banyaknya bis
Trans Metro Bandung (TMB) yang rusak dan tidak beroperasi.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daerah
dalam memberdayakan potensi aset atau sumber daya yang dimiliki untuk dimanfaatkan secara
optimal dengan orientasi keuntungan yang bisa dijadikan sebagai sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD) melalui hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan. BUMD juga mampu menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap
tenaga kerja yang banyak, serta menjadi penopang pelaku ekonomi daerah juga harus
menjalankan fungsinya dalam melayani kepentingan umum.
13
Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
merupakan laba yang diperoleh dari penyertaan modal pada PT. Bank Jabar Banten, PD. BPR
Kota Bandung, PDAM Tirtawening, dan KPKB Kota Bandung yang penerimaannya menjadi
bagian dari PAD.
Perolehan laba sebelum dilakukan audit oleh BPK-RI dari PT. Bank Jabar Banten
direncanakan sebesar Rp7.822.117.395,00 dan dapat direalisasikan sebesar
Rp9.059.600.469,00 atau mencapai 115,82%. Perolehan pendapatan dari PDAM Tirtawening
tidak ada realisasi pendapatan dari target sebesar Rp11.140.000.000,00. Pendapatan PDAM
tersebut tidak mencapai target dikarenakan laba bagian pemerintah kota untuk tahun 2014
baru akan disetor setelah PDAM diaudit dengan prediksi dividen pemerintah kota sebesar Rp
8,9 miliar. Adapun target pendapatan dari KPKB pada tahun 2014 terealisasi sebesar Rp
297.157.000,00 dari target sebesar Rp195.434.050,00 atau tercapai melebihi target sebesar
152,05%. Dengan belum tercapainya beberapa target pendapatan pada tahun 2014, diharapkan
perusahaan milik daerah ini dapat mengoptimalkan lebih lanjut kinerjanya di masa mendatang
dalam penerimaan dan pembangunan daerah Kota Bandung secara lebih luas.
4) Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Pos pendapatan dari lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, terdiri atas: (1) hasil
penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan; (2) penerimaan jasa giro; (3) Tuntutan Ganti
Kerugian (TGR) daerah; (4) pendapatan denda pajak; (5) pendapatan dan pengembalian dari
SKPD; (6) fasilitas sosial dan fasilitas umum; (7) pendapatan dan pemanfaatan kekayaan
daerah; (8) penerimaan setoran dari lembaga lain - PT. Taspen; dan (9) pendapatan lainnya,
pendapatan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Pendapatan dari lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah pada tahun anggaran 2014 direncanakan sebesar Rp258.193.753.763,00 dan
dapat direalisasikan sebesar Rp207.439.778.421,00 atau tercapai sebesar 80,34% (sebelum
dilakukan audit oleh BPK-RI).
b. Studi di Kota Tangerang (Dilaksanakan tanggal 3 sampai dengan 9 Agustus 2016)
Peningkatan PAD sangat penting artinya bagi suatu daerah untuk mengatasi fenomena
ketergantungan daerah (kabupaten/kota) terhadap pemerintah di atasnya, yaitu
ketergantungan terhadap biaya pembangunan berupa subsidi/bantuan yang sering kali masih
menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan di daerah. Pembangunan daerah
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan untuk memberikan
kesempatan dan ruang gerak bagi upaya pengembangan demokratisasi dan kinerja pemda
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah memberi peluang bagi
perubahan paradigma pembangunan yang semula lebih mengedepankan pencapaian
pertumbuhan menjadi pemerataan dengan prinsip mengutamakan keadilan dan perimbangan.
14
APBD Kota Tangerang Selatan sejak Tahun Anggaran 2011 terus mengalami
peningkatan. Pada APBD 2011 sebesar Rp 1,532 triliun lebih, kemudian di Tahun Anggaran
2012 mencapai Rp 1,980 triliun, dan periode 2013 sebanyak Rp 2,216 triliun. Kemudian di
Tahun Anggaran 2014 Rp 2,698 triliun lebih, selanjutnya APBD 2015 Kota Tangerang Selatan
mencapai Rp 3,310 triliun lebih, dan APBD 2016 sebesar Rp 3,304 triliun lebih.
Realisasi PAD sejak tahun 2011 terus mengalami peningkatan. Pada Tahun Anggaran
2011 realisasi PAD sebesar Rp 420,6 miliar lebih menjadi Rp 1,2 triliun lebih di Tahun Anggaran
2015, atau terjadi peningkatan sebesar 292 persen selama jangka waktu 5 tahun. Upaya
peningkatan pajak daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan melalui
Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Asset Daerah sebagai dinas pengelola pajak
daerah, yaitu dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan pajak daerah. Meliputi pendataan
potensi, subjek dan objek pajak daerah. Penetapan jumlah pajak yang terutang dengan
menyampaikan sikap kepada wajib pajak, mengadakan pembukuan dan pelaporan mengenai
subjek dan objek pajak. Melaksanakan prosedur pembayaran pajak daerah yang mudah,
memberikan pelayanan kepada wajib pajak yang merasa keberatan atas penetapan pajak
daerah, melakukan penagihan terhadap wajib pajak yang belum melunasi kewajibannya,
mengadakan sosialisasi kepada wajib pajak, memantau dan mengawasi serta memeriksa untuk
menguji kepatuhan wajib pajak.
Sampai saat ini masih terdapat potensi pendapatan daerah yang belum tergali. Pada
umumnya disebabkan karena kurangnya kepekaan daerah dalam menemukan keunggulan
budaya dan potensi asli daerah, kepatuhan dan kesadaran wajib pajak yang relatif rendah,
lemahnya sistem hukum dan administrasi pendapatan daerah, kelemahan aparatur,
kekhawatiran birokrasi akan kegagalan dalam menjalankan programnya, ketidak optimisan
akan hasil yang mungkin dicapai. Meskipun masih terdapat potensi pendapatan daerah yang
belum tergali, namun wilayah perkotaan berskala metropolitan hingga megapolitan dapat
mengandalkan pajak sebagai tulang punggung PAD. Kota Tangerang merupakan salah satu yang
berhasil meningkatkan PAD dari tahun ke tahun.
PAD adalah salah satu faktor penghambat laju pembangunan di Kota Tangerang. Hal
ini tentunya berpengaruh pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, Oleh karena itu
diperlukan upaya-upaya untuk mencapai peningkatan PAD agar tingkat ketergantungan daerah
terutama Kota Tangerang ke pemerintah pusat semakin kecil dan selanjutnya dapat mampu
berdiri sendiri dalam membangun wilayahnya. Hal ini sesuai dengan tujuan di keluarkannya UU
tentang otonomi daerah.
Peningkatan PAD terutama pajak daerah dapat melalui pola intensifikasi maupun
ekstensifikasi. Pola intensifikasi misalnya dengan meningkatkan kompetensi petugas,
peningkatan mutu atau kualitas sistem informasi yang digunakan (kecepatan, keakiratan,
15
tampilan atau denga kata lain “user friendly”). Pola Ekstensifikasi dapat melalui penambahan
dan pengembangan bisnis. Sedangkan untuk pola intensifikasi diperlukan upaya untuk
mengidentifikasi kelemahan sistem yang ada sekarang untuk merumuskan langkah-langkah
perbaikan sehingga akan dapat diputuskan apakah diperlukan pengembangan sistem informasi
baru yang akan dapat membuat wajib pajak nyaman dalam melaksankaan kewajiban pajaknya.
Begitu pula dengan pola ekstensifikasi, perlu dilakukan studi untuk menentukan pola
pengembangan UKM dan kebutuhan dana dalam membantu UKM dalam mengembangkan
bisnisnya. Selanjutnya perlu dilakukan studi pula tentang pengembangan bisnis MICE sehingga
dapat di hiutng besarnya multiplier effect dari bisnis MICE tersebut. Melalui tiga hal tersbut
diharapkan Pajak daerah akan dapat meningkat dan akan meningkatkan PAD Kota Tangerang.
PAD yang bersumber dari pajak daerah mengalami kenaikan yang sangat signifikan
dari tahun 2009 ke tahun 2013 dengan nilai peningkatan sebesar 516.551 juta. Kenaikan yang
sangat besar dimulai dari tahun 2010 ke tahun 2011 yaitu sebesar 258.245 juta, sedangkan
untuk tahun 2011 ke tahun 2012 dan ke 2013 rata-rata kenaikan 100 juta. Kenaikan pajak
daerah disebabkan oleh adanya kenaikan jumlah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sangat besar dari tahun 2010 ke tahun 2011 yaitu sebesar 176.494 juta. Kenaikan lain
disebabkan oleh adanya kenaikan pajak hotel, pajak hiburan dan pajak restoran serta pajak
penerangan umum jalan.
Kota Tangerang dilihat dari potensi yang ada perlu memfokuskan diri pada
pengembangan UKM pakaian jadi sehingga menjadi Sentra Pakaian Jadi se Indonesia.
Pengembangan UKM ini akan mendorong bertambahnya lapangan kerja dan beratmbahnya
jumlah wisatawan. Penambahan wisatawan akann menambah tingkat hunian hotel dan akan
menambah julah pendapatan daerah dari pajak hotel. Selanjutnya dengan berkembangnya UKM
akan menambah minat pengusaha untuk selalu meningkatkan kualitas produksi dan menambah
jumlah produksi atau menambah kapasitas produksi sehingga akan bekrembang ke bisnis
ekspor pakaian jadi asli Indonesia. Selain pengembangan UKM, Kota Tangerang dapat
mengembangkan atau melakukan pengelolaan atas bisnis MICE. Bisnis ini akan menambah
mempunyai dampak yang banyak dan luas terhadap PAD maupun terhadap peningkatan
pendapatan masyarakat dan pajak penghasilan (Multiplier Effect).
D. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
a. Belum maksimalnya pemerintah daerah dalam memungut PAD, yaitu belum
diketahuinya secara paripurna hal apa saja yang dapat menjadi sumber pendapatan
daerah khususnya PAD. Selama ini gaya konvensional PAD hanya bertumpu kepada
16
obyek yang nyata seperti hotel dan restoran. Belum banyak obyek lainnya yang dapat
dikembangkan dan seharusnya menjadi sumber PAD.
b. Di sisi pemerintah pusat regulasi terhadap penjualan asset daerah membuat daerah
otonom belum bisa mengoptimalkan penjualan asset daerah karena terbentur regulasi
lelang Negara atau lelang daerah yang masih bertumpu kepada peraturan yang sudah
ketinggalan jaman. Untuk itu perlu adanya keberanian pemerintah pusat untuk
mengganti peraturan lama dengan peraturan yang lebih dapat executable terhadap asset
Negara atau asset daerah.
c. Pencapaian target pendapatan tidak terlepas dari berbagai hambatan dan tantangan
yang harus terus diupayakan untuk dapat diatasi sesuai dengan kemampuan. Adapun
permasalahan utama dan solusi berdasarkan kelompok sumber pendapatan, secara
deskriptif dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Tingkat akurasi data dasar pajak dan retribusi yang berpengaruh terhadap data
wajib pajak dan wajib retribusi, sehingga perlu diupayakan ketersediaannya guna
mendukung peningkatan PAD yang bersumber dari pajak dan retribusi.
2) Efektivitas penerapan prosedur dan mekanisme administrasi pengelolaan PAD perlu
lebih dioptimalkan guna mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
PAD.
3) Perlu ditingkatkan efektivitas pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
pengelolaan sumber-sumber PAD.
4) Perlu dioptimalkan lebih lanjut kualitas petugas pengelola administrasi PAD.
5) Kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajibannya perlu lebih ditingkatkan.
6) Perlu dilakukan pengkajian kembali terhadap peraturan-peraturan daerah tentang
pajak dan retribusi seiring dengan telah terbitnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi.
2. Saran
a. Daerah perlu terus melakukan perbaikan kinerja pajak daerah seiring dengan
peningkatan aktivitas ekonomi yang dapat terus dikembangkan, di samping terus
diupayakannya penggalian sumber-sumber potensial penerimaan pajak daerah.
b. Daerah perlu melakukan riset dan membuat kajian secara berkala, untuk:
i. Menganalisis perkembangan kemampuan daerah dalam mewujudkan kemandirian
daerah
ii. Memetakan berbagai permasalahan dalam peningkatan PAD
iii. Menemukan strategi dalam meningkatkan kemampuan daerah untuk meningkatkan
PAD melalui: