RINGKASAN EKSEKUTIF -...
Transcript of RINGKASAN EKSEKUTIF -...
RINGKASAN EKSEKUTIF
DIPLOMASI INDONESIA
DI ERA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (Studi tentang Pengesahan Resolusi Parlemen Eropa mengenai Sawit dan
Pelarangan Biodiesel Berbasis Sawit)
2018 Peneliti:
Humphrey Wangke
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
1
Latar Belakang
Pada tanggal 8 Januari 2015, menteri luar negeri Indonesia Retno Marsudi secara
resmi menggarisbawahi prioritas kebijakan luar negeri Indonesia selama lima tahun ke
depan di bawah Presiden Joko Widodo, yaitu menjaga kedaulatan Indonesia,
meningkatkan perlindungan warga negara Indonesia, dan mengintensifkan diplomasi
ekonomi. Intensifikasi diplomasi ekonomi sebagai prioritas kebijakan luar negeri
Indonesia mengingat kebutuhan Indonesia akan infrastruktur, investasi asing dan
sumber-sumber pertumbuhan baru untuk mengimbangi ketergantungan pada
komoditas ekspor.
Intensifikasi diplomasi ekonomi Indonesia mendapat tantangan besar ketika
Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi yang menolak komoditas minyak sawit
Indonesia memasuki pasar Eropa.1 Pada sesi pleno di Strasbourg tanggal 4 April 2017
Parlemen Eropa melakukan pengambilan suara untuk mengadopsi rancangan resolusi
tentang ‘Palm Oil and Deforestation and Rainforest’. Hasil pemungutan suara
menunjukkan dari 686 anggota parlemen Eropa yang hadir pada saat pemungutan
suara, sebanyak 640 anggota mendukung rancangan resolusi tersebut.
Resolusi ini merupakan yang pertama oleh Parlemen Eropa terkait isu minyak
sawit dan deforestasi. Setelah diadopsinya resolusi ini, Parlemen Eropa mendesak
Komisi Eropa untuk mengambil langkah-langkah untuk menghapus secara bertahap
penggunaan minyak nabati yang berkontribusi pada deforestasi, termasuk minyak sawit
sebagai komponen biofuel sampai dengan 2020.
Munculnya resolusi Parlemen Eropa tidak terlepas dari menurunnya daya saing
minyak nabati produksi negara-negara Eropa. Memasuki tahun 2020 kebutuhan dunia
akan minyak nabati diperkirakan akan mencapai 234 juta ton. Dari kebutuhan itu, hanya
minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit yang mampu memenuhi permintaan itu.
Minyak nabati produksi UE seperti ground nuts, soybeans, sunflower seed, dan rapeseed
kalah bersaing mengingat kelapa sawit yang diproduksi oleh negara-negara berkembang
memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dan pemanfaatan lahan yang lebih
efektif. Tabel dibawah ini memperlihatkan perbandingan tingkat produktivitas minyak
nabati.
1 Kementerian Luar Negeri Indonesia, Bahan Masukan Untuk Delegasi DPRRI dan Pertemuan International
Trade (INTA) dengan Parlemen Eropa 21-14 Mei 2017 di Jakarta, Jakarta, 5 Mei 2017.
2
Tabel Perbandingan Produktivitas Tanaman Penghasil Minyak Nabati
No Jenis Komoditas Produktivitas Minyak(ton/ha/tahun)
1 Kelapa Sawit (CPO) 4,27
2 Rapeseed (RSO) 0,69
3 Bunga matahari (SFO) 0,52
4 Kacang Tanah 0,45
5 Kedelai (SBO) 0,45
6 Kelapa 0,34
7 Kapas 0,19
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tabel di atas memperlihatkan produktivitas minyak kelapa sawit per hektar jauh
lebih tinggi dibandingkan produktivitas minyak nabati lainnya. Akibatnya, pangsa pasar
minyak kelapa sawit dengan cepat meningkat dari hanya 22 persen pada tahun 1965
menjadi 40 persen pada tahun 2016. Sebaliknya, pangsa pasar minyak kedelai yang
menjadi andalan negara-negara UE justru mengalami penurunan dari semula 59 persen
pada tahun 1965 menjadi 33 pada tahun 2016. Dari keempat nabati utama dunia
tersebut, CPO dan SBO merupakan dua minyak nabati yang relatif lebih dominan dan
menimbulkan dinamika persaingan tersendiri. Berawal dari keberhasilan CPO
menggungguli dominasi SBO yang selama ini mendominasi konsumsi dan produksi
minyak nabati dunia, serta sekaligus menempatkan Indonesia sebagai produsen nabati
dunia, setelah Indonesia berhasil mengungguli Malaysia. Keberhasilan ini menimbulkan
reaksi dunia, untuk menekan CPO Indonesia dengan berbagai isu seperti kesehatan,
lingkungan, dan bentuk lainnya untuk menekan laju pertumbuhan CPO Indonesia.
Pengesahan Resolusi Parlemen Eropa mengenai sawit dan pelarangan biodiesel
berbasis sawit menjadi kontraproduktif bagi industri sawit Indonesia sebab negara-
negara UE merupakan tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia. 80 persen dari
kebutuhan minyak sawit UE dipasok oleh Indonesia. Pemerintah Indonesia berupaya
mengatasi tantangan Parlemen Eropa yang berpotensi mengurangi ekspor Indonesia
dengan mengintensifkan tugas perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri dalam
memperbaiki persepsi masyarakat dunia mengenai pengelolaan kelapa sawit. Baik KBRI
sebagai ujung tombak diplomasi ekonomi maupun atase perdagangan yang secara
tradisional memiliki tugas pokok untuk memperkuat performa perdagangan luar negeri
Indonesia telah aktif mengampanyekan posisi terkini terutama tentang penerapan
3
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam proses produksi komoditas minyak
sawit.
Kelapa sawit menjadi isu sangat penting bagi kepentingan nasional Indonesia
karena memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional Indonesia.
Dari rata-rata surplus perdagangan Indonesia sebesar 4,25 milyar setahun antara tahun
2012-2017, ekspor CPO memberi kontribusi sebesar 19 persen.2 Kontribusi ekspor
kelapa sawit dalam valuta asing mencapai USD 18-20 miliar per tahun. Industri kelapa
sawit mepekerjakan secara langsung 5,5 juta orang, 12 juta tenaga kerja secara tidak
langsung, serta usaha pertanian yang mempekerjakan 4,6 juta orang. PDB daerah juga
meningkat dengan adanya industri sawit. Daerah sentra sawit pertumbuhan
ekonominya lebih tinggi daripada nonsentra sawit.
Pada 2017, produksi CPO Indonesia sebanyak 38,17 juta ton dari jumlah tersebut
dapat diekspor 31,05 juta ton. Perkebunan kelapa sawit tidak hanya memberikan
pertumbuhan ekonomi lokal dan ekonomi nasional yang inklusif, namun juga termasuk
secara internasional melalui penciptaan manfaat ekonomi ke negaranegara pengimpor.3
Indonesia memahami bahwa keputusan Parlemen Eropa belum menjadi keputusan
akhir namun keputusan itu akan mempengaruhi pandangan konsumen Uni Eropa.
Indonesia berpandangan bahwa usulan Komite Lingkungan Hidup Parlemen Eropa
tersebut bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas dan adil dan menjurus
kepada terjadinya diskriminasi “crop apartheid” terhadap produk sawit di Eropa.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan kepala sawit secara
berkelanjutan, dan menganalisis diplomasi Indonesia dalam memajukan sustainable
palm oildi negara konsumen. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi
anggota Dewan terutama Komisi IV, I dan BKSAP
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjelaskan keterkaitan
diplomasi Indonesia dengan pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan. Adanya
resolusi Parlemen Eropa menunjukkan Indonesia kurang memberikan penjelasan yang
memadai tentang pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan yang sesuai dengan
tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer primer didapat melalui wawancara mendalam dengan pihak-
2 Kontribusi Industri CPO Dalam Surplus Neraca Perdagangan Indonesia-Uni Eropa, Monitor, Vol IV No.
07/02/2018 3 Peran Strategis Industri Sawit Rakyat Indonesia, Monitor, Vol III No. 40/10/2017
4
pihak yang berkepentingan dan didasarkan pada panduan pertanyaan penelitian dan
observasi. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu
dengan mengumpulkan segala informasi, data, dan keterangan yang berasal dari data
dokumenter, baik berupa buku, risalah, transkrip, dokumen, maupun bahan-bahan
tertulis lainnya yang sudah tersedia yang berkaitan dengan pembalakan liar.
Informan yang diwawancarai adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI), petani swadaya SAMADE, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan. Dalam
penelitian kualitatif ini wawancara dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan
secara langsung kepada informan. Pertanyaan yang diajukan didasarkan pada pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar peneliti
dapat memperoleh informasi secara lengkap, mendalam, dan komprehensif sesuai
tujuan penelitian. Materi wawancara terdiri dari sejumlah pertanyaan yang telah
dipersiapkan dan diajukan kepada informan secara tatap muka. Jawaban-jawaban yang
diberikan akan dicatat dan direkam. Wawancara dalam peneltian ini menggunakan
teknik wawancara terbuka yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dibatasi jawabannya. Dengan kata lain, pertanyaan yang diajukan mengundang jawaban
terbuka dari informan.
Disamping wawancara, pencarian data primer dilakukan dengan observasi atau
pengamatan. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan secara non partisipan, yaitu
pengamatan terhadap fenomena atau kejadian yang menjadi topik penelitian. Didalam
observasi non partisipan ini, peneliti melihat dan mendengar tanpa partisipasi aktif
didalamnya. Penggunaan teknik observasi non partisipan dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengungkap fenomena yang tidak diperoleh melalui teknik
wawancara. Terakhir adalah dengan menggunakan dokumentasi untuk menghimpun
dan merekam data yang bersifat dokumentatif, seperti: foto-foto kegiatan, arsip-arsip
penting, kebijakan, dan lainnya.
Penelitian di lakukan di 2 provinsi, yaitu Sumatera Utara dan Kalimantan Timur.
Sumatera Utara di pilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu sentra
perkebunan kelapa sawit di Indonesia dengan luas kebun mencapai 417.809 ha dengan
produksi mencapai 1,7 juta ton CPO. Jumlah ini merupakan 8,23 persen dari total
produksi nasional per tahun. Di Kabupaten Tapanuli Selatan telah mulai dilakukan
program sawit berkelanjutan (Good Growth Partnership). Tujuan program ini adalah
untuk menyelaraskan upaya konservasi hutan dengan peningkatan ekonomi lokal.
Strategi yang dipakai adalah dengan intensifikasi produksi.
5
Lokasi penelitian lainnya adalah Kalimantan Timur sebab terdapat 351
perusahaan sawit yang memegang 297 Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan luasan
mencapai 2,26 juta hektar. Sedangkan pemegang izin Hak Guna Usaha (HGU) sebanyak
156 perusahaan dengan luas lahan 1,02 juta hektar. Kalimantan Timur hingga saat ini
telah memiliki 75 pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS), yang mampu
memproduksi minyak kelapa sawit kapasitas keseluruhan 4.170 ton Tandan Buah Segar
(TBS) per jam. Ditargetkan, pabrik pengolah kelapa sawit yang sudah siap beroperasi
pertengahan tahun 2017 berjumlah 95 pabrik. Sesuai aturan, setiap perkebunan yang
memiliki lahan produktif minimal 6.000 hektar sudah harus membangun pabrik.
Analisis data dilakukan berdasarkan keinginan untuk memberikan pemahaman
atas permasalahan yang diungkapkan melalui metode deskriptif, yaitu menjelaskan
temuan-temuan dalam bentuk tulisan dan menganalisanya dengan bantuan teori-teori
yang ada. Analisis data dilakukan secara induktif yaitu menekankan pada pengamatan
dan wawancara di lapangan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara ditranskrip
terlebih dahulu lalu diklasifikasikan kedalam kategori (berasal dari teori) atau tipologi
atau pola khas untuk memudahlan peneliti melakukan analisa data. Data yang berhasil
diklasifikasikan itu kemudian dianalisis atau diintepretasikan dengan menggunakan
teori yang ada untuk menjawab pertanyaan penelitian.
2. Temuan Hasil Penelitian
2.1. Sumatera Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Provinsi Sumatera Utara maupun
Kalimantan Timur telah memulai upaya untuk mengelola kelapa sawit secara
berkelanjutan. Di Sumatera Utara, lembaga PBB seperti UNDP banyak membantu
membentuk pengelolaan sawit secara berkelanjutan. Lembaga internasional ini
mempunyai wacana agar kelapa sawit dikelola secara berkelanjutan. Didaerah-daerah di
Sumatera Utara praktis sudah terbentuk forum Kelapa Sawit Berkelanjutan sehingga
menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang sudah membentuk forum ini. Forum ini
akan menghasilkan masukan bagi Rencana Aksi Nasional. UNDP yang memfasilitasi
pertemuan yang melibatkan berbagai sektor agar pembangunan dapat berjalan dengan
saling melengkapi sehingga program yang dijalankan juga bisa membantu petani kecil.
Dalam menjalankan upayanya, UNDP ini berkordunasi dengan Kemenko Perekonmian.
6
Kemitraan yang menjadi salah satu tujuan dalam SDGs ternyata tidak semudah
yang dibicarakan.4 Sawit satu-satunya tanaman yang tidak dibuka untuk kemitraan.5
Bisa jadi karena dampak ekologisnya lebih besar dari komoditas lainnya. Tidak ada
kemitraan tentang sawit, kalau karet sudah ada kemitraan, coklat juga sudah.
Pertanyaannya kenapa orang tidak mempermasalahkan sawit di Malaysia?
Disinilah permasalahan yang harus kita pecahkan bagaimana fungsi ekologis dan
ekonomis ini bisa kita sandingkan, dan tidak bertentangan bahkan bisa berjalan
bersama secara harmonis. Kita dapat fungsi ekonominya tetapi fungsi ekologisnya tetap
terpelihara. Misalnya apakah perlu sawit ditanam berbarengan dengan tanaman lainnya
tidak seperti sekarang menjadi monokultur tetapi dengan sistem tertentu misalnya
didaerah gambut seperti ini, di kawasan pegunungan seperti ini, daerah rawa seperti ini.
Hal ini yang mungkin membedakan Indonesia dengan Malaysia. Kalau di Malaysia, sawit
telah menjadi produk unggulan mereka. Malaysia sudah mampu menghasilkan 2-3 ton
per hektar di daerah rawa. Kalau di Indonesia sawit banyak ditanam di daerah gambut.
Pertanyaannya sekarang bagaimana gambut ini bisa dipelihara kelestariannya
sedangkan secara ekonomi masyarakat bisa memperoleh manfaatnya.
2. 2. Kalimantan Timur
Untuk menjawab isu lingkungan yang dihembuskan oleh berbagai pihak baik di
dalam negeri maupun di luar negeri terhadap pengembangan sawit, Provinsi
Kalimantan Timur telah menerbitkan Perda no 7 tahun 2018 tentang Perkebunan
Berkelanjutan yang mengindikasikan Provinsi Kalimantan Timur sangat mementingkan
lingkungan dalam pemanfaatan lahan untuk perkebunan sawit.6 Keberadaan peraturan
ini akan menjadi dorongan iklim investasi yang bagus untuk nama baik perkebunan di
Kalimantan Timur. Beberapa poin yang menguntungkan bagi perusahaan adalah payung
hukum berbisnis yang jelas. Kepastian hukum adalah salah satu penarik investasi bagi
pengusaha. Peraturan ini juga memudahkan pemerintah dalam memonitor dan
mengevaluasi kebijakan perkebunan yang berkelanjutan, baik di tingkat perusahaan
maupun pekebun skala kecil.
Peraturan Daerah ini mendukung upaya Kalimantan Timur dalam menerapkan
skema pendanaan karbon rendah emisi (The Forest Carbon Partnership Facility-FCPF)
4 Herawati, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, wawancara 24 Juli 2018, Medan
5 Helen Purba, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, wawancara tanggal 28 Juli 2018, Medan.
6 Ujang Rachmad, Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Timur, wawancara 26 September 2018. Samarinda.
7
dari Bank Dunia. Dalam klausul peraturan, perusahaan perkebunan nantinya dapat
berpartisipasi aktif dalam menurunkan gas rumah kaca dan memanfaatkan limbah
pabrik minyak sawit (POME) untuk sumber energi terbarukan. Peraturan ini juga
menjamin keberadaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) dalam wilayah
perkebunan tetap terjaga. Dengan segala kelengkapan tersebut, Kalimantan Timur
sudah selangkah lebih maju daripada provinsi lainnya dalam mendukung perkebunan
berkelanjutan.
2.3. Penerapan ISPO
Pemerintah sangat concern terhadap pengembangan komoditas kelapa sawit di
Tanah Air. Kelapa sawit merupakan komoditas strategis, mengingat perannya sebagai
penghasil devisa terbesar dari non migas, sumber lapangan kerja, pembangunan
ekonomi regional dan pengentasan kemiskinan. UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan telah mengamanatkan pembangunan perkebunan harus berpedoman
kepada prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan. Kementerian Pertanian telah
menerbitkan regulasi pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) melalui Permentan No 11 tahun 2015.
Sampai 11 April 2017, sudah 266 perusahaan kelapa sawit yang memperoleh
sertifikat ISPO dari 535 perusahaan yang mengajukan audit ke 7ndustr sertifikasi.
Perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia tercatat sekitar 1.600. Untuk
lahan perkebunan rakyat yang dinyatakan lolos ISPO sebanyak 2 koperasi, yakni
Koperasi Unit Desa (KUD) Karya Mukti dan Asosiasi Petani Swadaya “AMAN”. Namun
sayangnya dari lahan perkebunan kelapa sawit saat ini mencapai luasan 11,3 juta hektar
(Ha), yang sudah memenuhi persyaratan ISPO baru mencapai luasan sebesar 1,4 juta Ha.
Padahal pemerintah menargetkan bahwa pasca tahun 2015 semua perusahaan sawit
nasional telah memiliki sertifikat ISPO.7
Pada bulan Maret 2017 yang lalu, dari 376 laporan hasil audit (LHA) yang sudah
mendapat pengakuan, 11 perusahaan ditunda penetapannya karena belum memenuhi
persyaratannya seperti legalitas lahan, HGU nya berada kawasan hutan, belum ada izin
AMDAL; 69 belum dilakukan verifikasi dan 30 laporan hasil audit yang telah diverifikasi
7 Musdhalifah Machmud, Strengthening ISPO and SDGs Compliance, Konperensi IPOC ke 14, 2 November
2018, Denpasar, Bali.
8
belum di tanggapi oleh Lembaga Sertifikasi. Perusahaan sawit yang diketahui berada
didalam kawasan hutan tidak akan mendapat sertifikat ISPO.8
Standarisasi ISPO yang dituangkan melalui Peraturan Menteri Pertanian,
mengakomodir regulasi pemerintah mulai dari legalitas lahan, penanganan limbah
sampai dengan kesejahteraan karyawan perusahaan. Ketua Sekretariat ISPO, Aziz
Hidayat mengatakan, tujuan ISPO sudah mencakupi semua yang diinginkan dunia
internasional yaitu mendorong usaha perkebunan untuk mematuhi semua peratiuaran
pemerintah, meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit untuk memperbaiki
lingkungan dan melaksanakan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan untuk
meningkatkan daya saing. Karena itu yang sekarang yang perlu dilakukan adalah
meningkatkan eksistensi ISPO di dunia internasional, karena apa yang dimaui mereka
juga sama dengan tujuan kita.9
Sebelum ke luar negeri, persoalan ISPO ini harus benar-benar dipahami semua
pemangku kepentingan di dalam negeri. Semuanya harus satu 8ndust mengenai ISPO
dan punya komitmen yang sama. Sampai saat ini masih ada beberapa pihak di dalam
negeri yang belum mengerti ISPO. Kepada Dinas Perkebunan Sumatera Utara
mengusulkan agar promosi dagang Indonesia ke luar negeri seharusnya ditangani oleh
para diplomat, terutama untuk mengatasi NGO yang sangat anti sawit.10 NGO juga harus
ditertibkan agar mereka tidak terlalu menyuarakan yang bertentangan dengan
kepentingan nasional hanya karena mereka dibayar oleh oprang luar. Tidak berlebihan
jika Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan menyuarakan agar Green Peace diaudit.
Sebenarnya tantangan yang disampaikan oleh Uni Eropa lebih cenderung kepada
perang dagang, namun mereka menyampaikan berbagai isu yang terus berkembang,
sejak isu kesehatan, lingkungan, monokultur, sampai masalah tenaga kerja anak.
Keterlibatan pekebun baik melalui berbagai asosiasi atau individu perlu ditonjolkan
manfaat langsungnya, khususnya dalam menjawab isu terkait SDGs seperti pengentasan
kemiskinan, kesetaraan gender, peningkatan kesehatan ibu dan anak dan lain-lain.
Diperlukan juga perjanjian-perjanjian dagang yang untuk mengurangi hambatan
perdagangan natara Uni Eropa dengan Indonesia. Dalam menghadapi tantangan
kampanye hitam yang terus dilancarkan oleh EU termasuk LSM baik dalam maupun luar
negeri, Pemerintah dan stakeholders sawit harus memperbanyak riset tentang 8ndustry
8 Timbas Prasad, GAPKI, Sumut, wawancara tanggal 24 Juli 2018 di Medan
9 Azis Hidayat, The Implementation of Indonesian Sustainable Palm Oil and SDGs, 2 November 2018. Denpasar
Bali 10
Herawati, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, wawancara 24 Juli 2018, Medan
9
sawit bahwa yang dituduhkan adalah tidak benar. Selain itu hendaknya ada persiapan
dari industri bersama-sama Pemerintah yang bukan reaktif saat ada kampanye
dilancarkan akan tetapi lebih pada preventif dengan memperbanyak positif campaign
yang menyediakan berbagai fakta ilmiah yang dibuktikan dengan penelitian.
3. Kesimpulan
Dalam menyikapi laporan Parlemen Eropa ini, pemerintah tidak bersikap
konfrontatif karena bisa diselesaikan dengan cara-cara diplomasi melalui berbagai
pihak khusus dalam negeri, tak terkecuali kepada organisasi masyarakat sipil.
Pemerintah perlu mengonsolidasikan dengan para pihak dan dukungan bagi minyak
sawit berkelanjutan sebab persoalan infrastruktur, kapasitas kelembagaan, dan sistem
birokrasi masih buruk.
Perkebunan sawit bukan penyebab deforestasi. Banyak perkebunan sawit
dikembangkan secara benar dan di lahan yang memang diperuntukkan untuk
perkebunan. Namun banyak juga tidak benar dengan konversi hutan dan lahan
secara ilegal yang bertentangan dengan keinginan mengembangkan industri sawit
berkelanjutan. Menutup kebun sawit yang bermasalah hanya akan membuat sawit yang
baik akan tercemar. Karena itu, semua pihak harus mendorong pengembangan sawit
dengan benar. Pada saat yang sama, pengembangan sawit yang bermasalah dan
merusak lingkungan harus dikurangi tahap demi tahap. Pengelolaan sawit secara
berkelanjutan adalah jalan yang harus ditempuh perkebunan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Luar Negeri Indonesia, Bahan Masukan Untuk Delegasi DPRRI dan Pertemuan International Trade (INTA) dengan Parlemen Eropa 21-14 Mei 2017 di Jakarta, Jakarta, 5 Mei 2017.
“Kontribusi Industri CPO Dalam Surplus Neraca Perdagangan Indonesia-Uni Eropa”, Paspi Monitor, Vol IV No. 07/02/2018
“Peran Strategis Industri Sawit Rakyat Indonesia”, Paspi Monitor, Vol III No. 40/10/2017
Fakhreddin Soltani, Saeid Naji, Reza Ekhtiari Amiri, “Levels of Analysis in International Relations and Regional Security Complex Theory”, Journal of Public Administration and Governance, 2014, Vol. 4, No. 4.
Muhammad Tri Andika, “An Analysis of Indonesia Foreign Policy Under Jokowi’s Pro-People Diplomacy”, Indonesian Perspective, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2016): 1-13.
Pernyataan tahunan Kemenlu 8 Januari 2015.
Aaron L. Connelly, “Indonesian foreign policy under President Jokowi”, Lowy Institute for International Policy, Australia, October 2014.
Catur Ariyanto Widodo, Direktur Keuangan, Umum, Kepatuhan dan Manajemen Resiko, BPDPKS, The Role of BPDPKS and Its Impact on Achieving Sustainable and SDGs, Konperensi IPOC ke 18 di Denpasar Bali, 2 November 2018.
Azis Hidayat, The Implementation of Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) and SDGs, Konperensi IPOC ke 18, Denpasar Bali, 2 November 2018.
Musdhalifah Machmud, Strengthening ISPO and SDGs Compliance, Konperensi IPOC ke 14, 2 November 2018, Denpasar, Bali.
Azis Hidayat, The Implementation of Indonesian Sustainable Palm Oil and SDGs, 2 November 2018. Denpasar Bali
11
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Helen Purba, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, wawancara
tanggal 28 Juli 2018, Medan.
2. Herawati, Kepada Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 24 Juli 2018 di
Medan.
3. Jafar, Ketua GAPKI Kalimantan Timur
4. Timbas Prasad, GAPKI, Sumut, wawancara tanggal 24 Juli 2018 di Medan
5. Ujang Rachmad, Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Timur, wawancara 26
September 2018. Samarinda.