Laporan Penelitian Ikm Medha

download Laporan Penelitian Ikm Medha

of 66

Transcript of Laporan Penelitian Ikm Medha

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Kelurahan Suryodiningratan I.1.a. Letak Geografis Kelurahan Suryodiningratan terletak di Kecamatan Mantrijeron, Kotamadya Yogyakarta. Kelurahan Suryodiningratan merupakan dataran rendah, terletak 114 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan 2.000 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 32C. Luas Kelurahan Suryodiningratan adalah 8 hektar. Batas wilayah Kelurahan Suryodiningratan yaitu: Sebelah utara berbatasan Kelurahan Patehan Kecamatan Kraton Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Panggungharjo Kecamatan Sewon Bantul Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Gedongkiwo Kecamatan Mantrijeron Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Mantrijeron Kecamatan Mantrijeron

I.1.b. Populasi Jumlah penduduk sebanyak 3.603 kepala keluarga yaitu 12.091 orang yang terdiri dari 6.028 wanita dan 6.063 laki-laki. Sebanyak 12.086 orang merupakan warga negara Indonesia dan 5 orang merupakan warga negara asing, dengan distribusi usia sebagai berikut:

1

Tabel 1.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Wilayah Kerja Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010 No. Rentang Usia Jumlah Jiwa 1 0 - 3 tahun 518 2 4 - 6 tahun 476 3 7 - 12 tahun 1.091 4 13 - 15 tahun 559 5 16 - 18 tahun 546 6 19 - ke atas 8.901 Sumber : Data Monografi Desa dan Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010

10000 8000 6000 Jumlah jiwa 4000 2000 0 Jumlah jiwa 0-3 518 4-6 476 7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - ke 1091 559 546 8901

Grafik 1.1. Diagram Batang Distribusi Usia Penduduk di Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010

Data di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbanyak adalah yang berusia lebih dari 19 tahun yaitu sebesar 8.901 jiwa atau 73,61 % dari total penduduk.

2

I.1.c. Pekerjaan Tabel 1.2. Distribusi Pekerjaan Penduduk di Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010 No. Pekerjaan Jumah Jiwa 1 Pegawai Negeri Sipil 578 2 ABRI 31 3 Karyawan Swasta 2.068 4 Pedagang 1.402 5 Tani 13 6 Pertukangan 13 7 Buruh Tani 2 8 Pensiunan 310 9 Nelayan 0 10 Buruh 0 11 Jasa 215 Sumber : Data Monografi Desa dan Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010

PNS ABRI Kar. Swasta Pedagang Tani Pertukangan Pensiunan Nelayan Buruh

Grafik

1.2.

Diagram

Pie

Distribusi

Pekerjaan

Penduduk

di

Kelurahan

Suryodiningratan Tahun 2010

Diagram di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk bekerja sebagai karyawan swasta yaitu sebesar 17,10% atau sebanyak 2.068 jiwa.

3

I.1.d. Pendidikan Tabel 1.3. Distribusi Pendidikan Penduduk di Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010 No. Pendidikan Jumlah Jiwa 1 Lulusan Taman Kanak-kanak 2.173 2 Lulusan Sekolah Dasar 2.300 3 Lulusan SMP/SLTP 1.495 4 Lulusan SMA/SLTA 3.441 5 Lulusan Akademi (D1 - D3) 674 6 Lulusan Sarjana 2.008 Sumber : Data Monografi Desa dan Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010

4000 3000 2000 Jumlah Jiwa 1000 0 Jumlah Jiwa TK 2173 SD 2300 SMP 1495 SMA 3441 Akademi 674 Sarjana 2008

Grafik 1.3. Diagram Batang Distribusi Pendidikan Penduduk di Kelurahan Suryodiningratan Tahun 2010

Tabel di atas menunjukkan bahwa pendidikan penduduk paling banyak adalah lulusan SMA/SLTA sebesar 3.441 jiwa.

I.1.e. Puskesmas Mantrijeron Puskesmas Mantrijeron terletak di Jalan D.I. Panjaitan No. 82, Kelurahan Suryodiningratan, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta. Kecamatan Mantrijeron

4

beriklim tropis yang mempunyai 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan, dengan temperatur rata rata 22-360C. Luas wilayah kerja Puskesmas Mantrijeron adalah 261,39 Ha yang terdiri dari 3 kelurahan : 1. 2. 3. Kelurahan Suryodiningratan, dengan luas wilayah 85,09 Ha Kelurahan Mantrijeron, dengan luas wilayah 85,84 Ha Kelurahan Gedongkiwo, dengan luas wilayah 90,46 Ha

Pembagian wilayah kerja Puskesmas Mantrijeron yang paling luas adalah Kelurahan Gedongkiwo dengan jumlah RW sebanyak 18 dan jumlah RT sebanyak 86. Wilayah Kelurahan Mantrijeron dengan jumlah RW sebanyak 20 dan jumlah RT sebanyak 76. Wilayah yang paling sempit adalah Kelurahan Suryodiningratan dengan jumlah RW sebanyak 17 dan jumlah RT sebanyak 69. Batas wilayah kerja Puskesmas Mantrijeron: Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kraton Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sewon dan Kasihan Bantul Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wirobrajan Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mergangsan

I.2. Permasalahan I.2.a. Identifikasi Masalah Kesehatan Berdasarkan hasil wawancara dengan Lurah dan ketua RW 1 4 di Kelurahan Suryodiningratan, dan data dari Puskesmas Mantrijeron, kasus yang masih menjadi perhatian utama adalah infeksi dengue. Prevalensi penyakit infeksi dengue di

Puskesmas Mantrijeron masih cukup tinggi dalam satu tahun terakhir ini. Hal ini dapat dilihat pada grafik 1.4.

5

200 150 100 Jumlah 50 02004 Jumlah 61 2005 37 2006 30 2007 56 2008 46 2009 44 2010 157

Jan-Jun 2011 34

Grafik 1.4. Diagram Batang

Jumlah Kasus Infeksi Dengue

Puskesmas

Mantrijeron Tahun 2004- Juni 2011

Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah kasus infeksi dengue di Puskesmas Mantrijeron mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2010, yaitu sebanyak 157 kasus atau mencapai lebih dari 3 kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 2009. Jumlah kasus infeksi dengue pada tahun 2011 sampai bulan Juni saja telah mencapai 34 kasus per 12.000 penduduk, yang telah melebihi target 20 kasus per 100.000 penduduk yang dicanangkan pada progam pemberantasan infeksi dengue dalam Indonesia Sehat tahun 2010 (Depkes, 2003). Jumlah kasus infeksi dengue di Puskesmas Mantrijeron selama periode Juni 2010 hingga Juni 2011 mencapai 123 kasus, dan kasus infeksi dengue paling banyak terdapat pada Kelurahan Suryodiningratan.

6

Tabel 1.4. Distribusi Kasus Infeksi Dengue di Puskesmas Mantrijeron Periode Juni 2010 Juni 2011 DF DBD DSS Tersangka 8 2 11 21 Jumlah Total Kasus 59 19 45 123

Kelurahan 1 46 4 Suryodiningratan Kelurahan 1 14 2 Mantrijeron Kelurahan 0 33 1 Gedongkiwo Jumlah Total 2 93 7 Kasus Sumber : Puskesmas Mantrijeron, 2011

60 DF 40 20 0 DF DBD DSS Tersangka Kel. SYD 1 46 4 8 Kel. MJ 1 14 2 2 Kel. GK 0 33 1 11 DBD DSS Tersangka

Grafik 1.5. Diagram Distribusi Kasus Infeksi Dengue Periode Juni 2010 Juni 2011 di Puskesmas Mantrijeron

7

50 40 30 20 10 0 Jumlah Kel. SYD 42 Kel. MJ 20 Kel. GK 31 Jumlah

Grafik 1.6. Diagram Distribusi Kasus Infeksi Dengue Periode Januari Juni 2011 di Puskesmas Mantrijeron

Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa kelurahan Suryodiningratan merupakan kelurahan dengan kasus infeksi dengue paling banyak di antara

kelurahan-kelurahan lainnya yang ada di Kecamatan Mantrijeron ini. Jumlah kasus infeksi dengue di Kelurahan Suryodiningratan periode Januari Juni 2010 yaitu sebanyak 42 kasus, dan periode Juni 2010 Juni 2011 sebanyak 59 kasus. Berdasarkan data data mengenai masalah kesehatan tersebut, maka infeksi dengue dijadikan sebagai masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus.

I.2.b. Perumusan Masalah Tingkat pengetahuan tentang infeksi dengue , sikap dan perilaku yang berbeda pada pencegahan infeksi dengue diduga mempengaruhi seseorang untuk terinfeksi virus dengue. Oleh karena itu, masalah yang akan diteliti meliputi: 1. Adakah hubungan antara tingkat pengetahuan penduduk tentang penyakit infeksi dengue dengan jumlah jentik nyamuk? 2. Adakah hubungan antara sikap pencegahan penyakit infeksi dengue dengan jumlah jentik nyamuk?

8

3.

Adakah hubungan antara perilaku pencegahan penyakit infeksi dengue dengan jumlah jentik nyamuk?

4.

Bagaimana hasil surveilans jentik (HI, CI, BI, dan ABJ di RW 1-4 Kelurahan Suryodiningratan Kecamatan Mantrijeron)?

I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan penduduk tentang penyakit infeksi dengue , sikap dan perilaku mengenai penyakit infeksi dengue dengan temuan jentik nyamuk di RW 1-4 Kelurahan

Suryodiningratan Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta.

I.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memperkaya karya ilmiah tentang hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku penduduk dengan keberadaan jentik. 2. Menambah pengetahuan masyarakat secara umum tentang bagaimana penyakit infeksi dengue ditularkan dan cara pencegahannya.

I.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku penduduk tentang infeksi dengue dengan jumlah jentik yang ada di lingkungan tempat tinggal di Kelurahan Suryodiningratan Kecamatan Mantrijeron belum pernah dilakukan. Penelitian dengan variasi yang mirip antara lain: 1. Hubungan pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan demam berdarah dengue terhadap terdapatnya nyamuk di lingkungan rumah RW 17 Kelurahan Suryodiningratan Kecamatan Mantrijeron Kodya Yogyakarta (Agung, et al, 2010) 2. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku (PSP) masyarakat terhadap vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan (Santoso, et al. 2008) 9

3.

Hubungan antara pengetahuan tentang DBD dan perilaku 3M dengan temuan jentik nyamuk di RW 13 Kelurahan Sosromenduran Kecamatan Gedongtengen Yogyakarta (Hadi, et al, 2011)

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Infeksi dengue II.1.a. Epidemiologi Menurut WHO 2009, infeksi dengue termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat mayor di Indonesia, yang merupakan daerah tropis dan berada dalam zona ekuator, tempat Aedes aegypti dapat berkembang luas baik di area perkotaan maupun pedesaan, dan serotipe virus yang beragam terdapat di wilayah tersebut. Infeksi dengue juga merupakan salah satu penyebab utama rawat inap dan kematian pada anak-anak. Di Indonesia, tercatat adanya 150.000 kasus pada tahun 2007

dengan tingkat kegawatan kasus (case-fatality rate) sekitar 1% (WHO, 2009). Wilayah Indonesia mempunyai iklim yang bervariasi, yaitu musim, temperatur, kelembaban, dan kecepatan angin berkaitan dengan siklus kehidupan vektor penyakit infeksi dengue. Basil Loh dan Ren Jin Song (2001) cit Sutomo (2003) melaporkan bahwa ada hubungan yang berarti antar populasi tempat kehidupan larva positif Aedes aegypti dan Aedes albopictus dengan curah hujan. Hubungan yang paling nyata terlihat pada faktor kelembaban, temperatur, dengan jumlah jentik Aedes sp.

II. 1.b. Definisi Penyakit infeksi dengue, dikenal di masyarakat sebagai demam berdarah, mengikuti klasifikasi WHO terdahulu berdasarkan gejala yang ditemukan. Namun menurut literatur ternyata klasifikasi tersebut cukup menimbulkan kesulitan dalam aplikasi klinis karena tidak semua pasien dapat memenuhi kriteria tersebut secara ketat, sehingga spektrumnya kini dikenal sebagai infeksi dengue yang untuk mempermudah penanganan triasenya dibagi menjadi non-severe dengue (dengan dan tanpa tanda peringatan) dan severe dengue (WHO, 2009). Infeksi dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan 11

nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Suroso dan Umar, 2004). II.1.c. Etiologi dan Patogenesis Penyakit infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue

penyebab infeksi dengue termasuk famili Flaviviridae genus Flavirus. Dikenal ada empat serotipe virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Sutaryo, 2004). Virus beredar sepanjang tahun pada tubuh manusia yang sakit dan tubuh nyamuk di daerah endemis (Sutomo, 2003). Virus ditularkan dari penderita kepada manusia yang sehat melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Vektor penyakit infeksi dengue adalah Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Nyamuk dewasa betina menularkan penyakit pada saat menghisap darah manusia, dan virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia. Sifat antropofilik dan menggigit berulang sangat penting artinya dalam kedudukannya sebagai vektor infeksi dengue. Nyamuk betina menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah kawin dan mulai bertelur pada hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang dihisap bertambah pula telur yang diproduksi (Sutaryo, 2004). Menurut teori infeksi sekunder, seseorang dapat terserang infeksi dengue, jika mendapat infeksi ulangan dengan virus dengue tipe yang berlainan dengan infeksi sebelumnya (Suhendro et al, 2006).

II.1.d. Vektor Vektor utama infeksi dengue adalah Aedes aegypti. Keberadaan Aedes aegypti di alam dipengaruhi oleh lingkungan biologis, lingkungan fisik dan lingkungan kimia. Nyamuk ini tersebar di antara garis 450LU dan 350LS pada ketinggian kurang lebih 1.500 m dari permukaan laut (Suhendro et al, 2006). a. Pengaruh lingkungan biologis

12

Pada kontainer dengan air yang lama biasanya terdapat patogen dan parasit yang mempengaruhi pertumbuhan larva (jentik) dari instar ke instar. Adanya infeksi patogen dari parasit pada larva mengurangi jumlah larva yang hidup untuk menjadi nyamuk dewasa, masa pertumbuhan larva bisa menjadi lebih lama dan umur nyamuk dewasa yang berasal dari larva dan yang terinfeksi patogen atau parasit biasanya lebih pendek (Depkes RI, 1992). b. Pengaruh lingkungan fisik Pengaruh lingkungan fisik ada bermacam-macam, misalnya jenis kontainer, ketinggian tempat, iklim, suhu, kelembaban dan curah hujan: 1. Jenis kontainer Macam kontainer termasuk pula letak, bahan, warna, volume, penutup dan asal air pada kontainer, mempengaruhi nyamuk betina dalam pemilihan tempat bertelur. Tempat air yang tertutup longgar lebih disukai oleh nyamuk betina sebagai tempat bertelur dibandingkan dengan tempat air yang terbuka sepenuhnya. Karena tutupnya jarang terpasang secara baik dan sering dibuka mengakibatkan ruang di dalamnya relatif lebih gelap dibandingkan dengan tempat air yang terbuka (Depkes RI, 1992). 2. Iklim Iklim merupakan salah satu komponen lingkungan fisik yang terdiri dari suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhu turun sampai di bawah suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35C dapat memperlambat proses fisiologis, rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27C, pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada suhu kurang dari 10C atau lebih dari 40C. Pada umumnya nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur suhu sekitar 20-30C, sedangkan rata-rata kelembaban untuk pertumbuhan nyamuk

13

adalah 70-90%. Curah hujan di atas 200 mm/tahun menjadikan populasi Aedes aegypti stabil (Depkes RI, 2000). c. Pengaruh lingkungan kimia Pengaruh lingkungan kimia antara lain: pH air, bahan kimia di air, insektisida, yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan pada tahap larva-pupa nyamuk (Depkes RI, 2000).

Tempat perkembangbiakan utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam atau di sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 40 meter dari rumah. Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti ini berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana (Depkes RI, 1992). Jenisjenis tempat berkembangbiaknya (breeding places) nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut (Sukowati, 1990): 1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tangki reservoir, bak mandi/wc, ember dan lain-lain. 2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain). 3) Tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan lain-lain. 4) Kontainer pada umumnya ditemukan di luar rumah. Untuk meletakkan telurnya nyamuk betina tertarik pada kontainer berair yang berwarna gelap, terbuka dan terutama terlindungi dari sinar matahari.

Aedes aegypti memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Kebiasaan menggigit Nyamuk Aedes aegypti sangat senang darah manusia (antropofilik). Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini 14

disebabkan karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama cenderung

menggigit orang dan istirahat di dalam rumah dan bangunan (endofagik dan endofilik) (Depkes RI, 1992). 2. Kebiasaan beristirahat Setelah menggigit, selama menunggu waktu pematangan telur nyamuk akan berkumpul di tempat-tempat dengan kondisi yang optimum untuk beristirahat, setelah itu akan bertelur dan menggigit lagi. Tempat-tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap dan istirahat antara lain benda-benda yang tergantung, berwarna agak gelap pada ruangan yang relatif lembap dengan intensitas cahaya yang rendah (agak redup) (Depkes RI,1992). 3. Penyebaran dan jarak terbang Di Asia Tenggara, ketinggian 1.000 sampai 1.500 meter merupakan batas penyebaran Aedes aegypti. Di atas ketinggian 1.500 meter suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti tersebut (Depkes RI, 2000).

Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter, namun secara pasti misalnya karena angina atau terbawa kenderaan dapat berpindah lebih jauh. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi pula oleh keberadaan tempat bertelur dan darah sebagai makanan. Penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahawa nyamuk betina dewasa menyebar lebih dari 400 meter untuk mencari tempat bertelur (Depkes RI, 2000).

II.1.e. Faktor-faktor Penularan Penyakit infeksi dengue Penularan penyakit infeksi dengue tergantung pada tiga faktor yaitu manusia, virus dan nyamuk. Menurut Kusriastuti (2007), faktor risiko penularan infeksi dengue meliputi:

15

1.

Manusia: perilaku, budaya menyimpan air, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk.

2. 3.

Lingkungan: daerah tropis, musim hujan, kebersihan lingkungan Agent: virus 4 serotipe (Den-1, Den-2, Den-3, Den-4) dan genotipe yang berbeda.

4.

Vektor: Vektor penyakit infeksi dengue adalah Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder yang keduanya tersebar berada di mana-mana.

Tempat yang potensial untuk terjadi penularan infeksi dengue adalah: a. Wilayah yang banyak kasus infeksi dengue (endemis/sporadis). b. Tempat- tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang dating dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar, seperti sekolah, rumah sakit atau puskesmas, hotel, pasar dan lain-lain. c. Pemukiman baru di pinggir kota karena lokasi penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carrier yang membawa tipe dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal (Depkes RI, 2005).

II.1.f. Manifestasi Klinis dan Penegakan Diagnosis Gambaran klinis infeksi dengue sangat bervariasi, dari manifestasi tanpa tanda peringatan, dengan tanda peringatan, hingga mengancam jiwa dengan syok, perdarahan, serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal bagi organ (WHO, 2009). Masa inkubasi dengue antara 13-15 hari, rata-rata 5-8 hari (Soegijanto, 2003). Pada infeksi dengue terdapat peningkatan suhu secara tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang hebat pada otot dan tulang, mual, kadang muntah, dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada supraorbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila tendon dan otot perut 16

ditekan. Pada mata dapat ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimasi, dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa pegal. Eksantem dapat muncul pada awal demam yang terlihat jelas di muka dan dada, berlangsung beberapa jam lalu akan muncul kembali pada hari ke 3-6 berupa bercak peteki di lengan dan kaki lalu keseluruh tubuh. Pada saat suhu turun ke normal, ruam pasien dapat berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Pada sebagian pasien dapat ditemukan kurva suhu yang bifasik. Dalam pemeriksaan fisik pasien infeksi dengue dapat terjadi gejala perdarahan pada hari ke-3 atau ke-5 berupa peteki, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati umumnya membesar dan terdapat nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya penyakit (WHO, 2001). Menurut WHO 2009, penegakan diagnosis terbaru infeksi dengue yaitu: 1. Probable Dengue Adanya riwayat tinggal atau pernah bepergan ke area endemis dengue penting dalam penegakan diagnosis infeksi dengue. Kasus yang dicurigai infeksi dengue yaitu adanya demam dengan disertai 2 dari kriteria berikut: Mual, muntah Ruam Nyeri Uji torniket positif Adanya tanda peringatan Adanya leukopenia

2. Infeksi Dengue dengan Konfirmasi Hasil Laboratorium Hasil laboratorium ini mendukung gejala klinik di atas: Trombositopenia 100.000/mm3 Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit minimal 20% dari rata-rata usia, jenis kelamin, dan populasi) 3. Dengue dengan Tanda Peringatan Tanda peringatan pada infeksi dengue yaitu:

17

Nyeri perut Muntah persisten Gelisah, letargi Adanya tanda akumulasi cairan dalam tubuh secara klinis Perdarahan mukosa Hepatomegali >2cm Laboratorium : adanya peningkatan nilai hematokrit konkuren dengan penurunan cepat angka trombosit

4. Infeksi Dengue Berat (Severe Dengue) Infeksi Dengue Berat yaitu apabila terjadi tanda-tanda berikut ini: Kebocoran Plasma Berat (Severe Plasma Leakage) Kondisi ini dapat menimbulkan syok (Dengue Shock Syndrome) maupun akumulasi cairan dengan kegagalan respirasi. Perdarahan Berat (Severe Bleeding) Keterlibatan Organ yang Berat (Severe Organ Involvement) Hepar : AST atau ALT 1000 Sistem saraf pusat : penurunan kesadaran Jantung maupun organ lainnya

II.1.g. Penanganan Infeksi Dengue Pengobatan infeksi dengue bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas

adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah 18

trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, transfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat . Tata laksana terkini penanganan infeksi dengue didasarkan pada temuan klinis adanya tanda peringatan atau tidak. Pasien dengan tanda peringatan akan dirawat inap untuk observasi dan penanganan (WHO, 2009).

II.1.h. Upaya Pencegahan Pencegahan penyakit infeksi dengue sangat tergantung pada pengendalian vektor, yaitu nyamuk Aedes aegypti . Melihat angka kejadian infeksi dengue yang tinggi, rantai transmisi nyamuk harus diputus, pada salah satu atau lebih mata rantai host, agen, dan lingkungan. Untuk memutus rantai transmisi dapat diberikan pengobatan pada penderita, vaksinasi, dan pemutusan rantai penularan agen. Dalam kasus ini agen yang diberantas adalah nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor utama infeksi dengue. Pemutusan rantai penularan dapat dilakukan dengan memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk, membunuh nyamuk dewasa, larva nyamuk, dan menghindari gigitan nyamuk (Soedarto, 1990). Menurut Kristina, et al (2004) pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan melakukan beberapa metode yang tepat. Salah satu metode tersebut telah dikenal luas di masyarakat yaitu 3M: a. Menutup tempat penampungan air, b. Menguras tempat penampungan air seminggu sekali dan terus menerus, c. Mengubur barang-barang bekas yang menjadi tempat penampungan air (Pratiwi, 2009). Metode lain yang sedang marak disosialisasikan untuk mengendalikan nyamuk adalah Pemberantasan Jentik dan Sarang Nyamuk (PJSM), yang meliputi: a. Pemberdayaan masyarakat dengan pembinaan ratusan kader wamantik (siswa pemantau jentik) dan bumantik (ibu pemantau jentik), yang bertugas

19

memantau 10 rumah di sekitarnya menyangkut keberadaan jentik di rumah mereka serta memberikan penyuluhan. b. Ikanisasi (memelihara ikan di tempat penampungan air). c. Abatesasi (temephos). d. Fogging, dengan syarat dan persetujuan dari rumah sakit sekitar. PJSM infeksi dengue merupakan suatu kegiatan masyarakat bersama pemerintah yang dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah dan menanggulangi penyakit infeksi dengue. Melalui pembinaan peran serta masyarakat dalam PJSM diharapkan agar masyarakat melaksanakan pembersihan sarang nyamuk secara teratur dan berkala (Entjang, I., 2000).

II.1.i. Metode Surveilans Vektor Infeksi Dengue Menurut Dirjen P2PL (2007), penting untuk dilakukan surveilans vektor sebagai bagian dari upaya pengendalian infeksi dengue. Dalam metode surveilans vektor yang ingin diperoleh antara lain adalah data-data kepadatan vektor. Ada beberapa metode survei yang bisa digunakan seperti metode survey terhadap nyamuk, jentik, dan survei perangkap telur (ovitrap). 1. Survei Nyamuk Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan aspirator umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah yang sama (Dirjen P2PL, 2007). 2. Survei jentik Survei jentik dilakukan sebagai berikut: a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang), untuk memeriksa ada atau tidaknya jentik. Survey jentik dilakukan pada: 1) Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakkan nyamuk; 2) Tempat Penampungan Air (TPA) yang berukuran besar seperti bak mandi, tempayan, 20

drum,

dan

bak

penampungan

air

lainnya;

3)

Tempat-tempat

perkembangbiakan yang kecil seperti vas bunga atau pot bunga, tempat makanan burung, penampung air buangan di belakang lemari es, penampung air buangan di tempat galon air minum dan tempat yang dapat digenangi air yang dapat dijadikan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, baik yang ada di dalam rumah maupun yang ada di luar/sekitar rumah. b. Untuk memeriksa tempat penampungan air (TPA) yang berukuran besar seperti bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya, jika pada penglihatan pertama tidak ditemukan jentik, ditunggu lagi selama 0,5-1 menit. c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil seperti vas bunga/pot tanaman air/botol yang airya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain. d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya digunakan senter (Dirjen P2PL, 2007).. Metode survei jentik tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: a. Single larva Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut. b. Visual Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya (Dirjen P2PL, 2007)..

Upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi dengue yang paling efektif dan dapat dilaksanakan setiap individu, keluarga, dan masyarakat adalah dengan memberantas jentiknya (Kusnopitranto, 2000).

21

Ukuran yang dipakai untuk menghitung kepadatan jentik yaitu: House Indeks (HI) = Jumlah kontainer dengan jentik (+) Jumlah rumah yg diperiksa X 100 %

Container Indeks (CI) = Jumlah kontainer dengan jentik (+) X 100% Jumlah kontainer yg diperiksa

Breteau Indeks (BI) = Jumlah kontainer dengan jentik (+) Jumlah rumah yg diperiksa

X 100

Angka Bebas Jentik (ABJ) = Jumlah rumah tanpa jentik X 100 % Jumlah rumah diperiksa Berbagai indeks jentik tersebut berhubungan dengan risiko pada nilai HI 4 sampai dengan > 35, CI 3 sampai dengan >20, dan BI 5 sampai dengan > 50 (Silver, 2008). HI target nasional di Indonesia yaitu 5% dan ABJ yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 95% (Dirjen P2PL, 2007). Dari besaran parameter entomologis BI dan HI dapat diperoleh intepretasi risiko penularan infeksi dengue sebagai berikut : Parameter entomologis (%) Breteau index (BI) > 50 Breteau index (BI) 5 - 50 Breteau index (BI) < 5 House index (HI) >10 House index (HI) 1 - 10 House index (HI) < 1 Tingkat risiko Risiko tinggi Risiko sedang Risiko rendah Risiko tinggi Risiko sedang Risiko rendah

22

Kepadatan populasi nyamuk (Density Figure) diperoleh dari gabungan dari HI, CI, dan BI dengan kategori kepadatan jentik penentuannya adalah sebagai berikut: DF = 1 = kepadatan rendah DF = 2-5 = kepadatan sedang DF = 6-9 = kepadatan tinggi. Tingkat kepadatan jentik Aedes menurut WHO tahun 1972 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Tingkat Kepadatan Jentik Aedes WHO tahun 1972 (Silver, 2008) Tingkat kepadatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 House Index (HI) 13 47 8 17 18 - 28 29 - 37 38 - 49 50 - 59 60 - 76 77 + Container Index (CI) 12 35 69 10 14 15 20 21 27 28 31 32 - 40 41 + Breteau Index (BI) 14 59 10 19 20 34 35 49 50 74 75 99 100 199 200+

3. Survei perangkap telur (ovitrap) Survei ini dilakukan dengan cara memasang ovitrap yaitu berupa bejana, misalnya potongan bambu, kaleng (seperti bekas kaleng susu atau gelas plastik) yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya, lalu dimasukkan padel. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah di tempat yang gelap dan lembap. Setelah 1 minggu dilakukan

23

pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk di padel (Dirjen P2PL, 2007)..

Sebagai salah satu bentuk pengendalian terhadap terjadinya infeksi dengue , dicanangkan program Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB). PJB merupakan pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk mengetahui adanya jentik nyamuk. Kegiatan ini dilakukan di rumahrumah dan tempat-tempat umum. Selain melakukan pemeriksaan jentik berkala, petugas memberikan penyuluhan tentang pemberantasan sarang nyamuk kepada masyarakat atau pengelola tempat umum. Dengan kunjungan berulang-ulang yang disertai dengan penyuluhan tersebut diharapkan masyarakat dapat termotivasi untuk melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk secara benar. PJB ini dapat dilakukan oleh kader, PKK, Jumantik, atau tenaga pemeriksaan lain yang ditunjuk oleh wilayah setempat, dengan rekapitulasi hasil PJB oleh Puskesmas setempat dengan mencatat hasil pemeriksaan jentik di pemukiman (rumah) dan tempat-tempat umum yang telah diperiksa (Dirjen P2PL, 2007).

II.3. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sangat tergantung dari

pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan khususnya kebersihan tempat penampungan air dan sampah yang dapat menampung air (Santoso et al, 2008). Berdasarkan teori tindakan beralasan (theory of reasoned action), sikap mempengaruhi perilaku lewat proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, sehingga dampaknya terbatas hanya pada dua hal. Pertama, perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap umum,tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma subjektif, yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar diperbuat (Ajzen, 1980). 24

Menurut Notoatmodjo (1984), perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku manusia cenderung holistik. Perilaku kesehatan sebagai segala bentuk pengetahuan dan interaksi individu dengan lingkungannya khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Perilaku seseorang sebenarnya dapat merupakan saling interaksi atau ketergantungan beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Unsur-unsur tersebut adalah tujuan atau motivasi. Dorongan ini menyebabkan seseorang berusaha mencapai tujuan, baik sadar maupun tidak sadar sehingga dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan dan menetapkan arah yang mana harus ditempu oleh seseorang tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu: a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu yang berasal dari proses penginderaan manusia terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai sumber misalnya dari guru, orang tua, media elektronik, media cetak, internet, poster, pertemuanpertemuan ilmiah, pelajaran dari petugas kesehatan sehingga pengetahuan tersebut dapat membentuk kepercayaan pada diri seseorang untuk berperilaku sesuai dengan keyakinannya (WHO, 2000). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tingkat pengetahuan berkorelasi kuat dengan latar belakang pendidikan seseorang. Pengetahuan juga merupakan domain yang penting dalam membentuk perilaku seseorang (Langkap, 2004). Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan resultan dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek, sedangkan penginderaan sebagian besar berasal dari penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu:

25

Tahu (know), yaitu mengingat suatu materi yang telah diketahui sebelumnya. Memahami (comprehension), yaitu suatu kemampuan untuk menerangkan secara benar objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar.

Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya dengan yang lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti membedakan, memisahkan,

menggambarkan dan sebagainya. Sintesis (synthesis) menunjukkan suatu kemampuan untuk menghubungkan komponen-komponen di dalam suatu kemampuan menyusun formulasi baru yang ada. Evaluasi (evaluation) yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi, pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan (yang memiliki bobot nilai) kepada seseorang sesuai dengan jenis pengetahuan yang ingin diketahui.

b. Sikap Sikap merupakan suatu keteraturan dalam hal perasaan, pemikiran. Notoatmodjo (1993), berpendapat bahwa sikap merupakan reaksi yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka/tingkah laku yang terbuka. Menurut Allport (1954), cit Notoatmodjo (2003), bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen, yaitu:

26

a) b) c)

Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep, terhadap sutu objek. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. Kecenderungan untuk bertindak . Menurut Azwar (1995), pembentuk sikap juga dipengaruhi oleh

pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga serta faktor emosi yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Sikap seseorang dalam upaya mencegah penyakit infeksi dengue merupakan hal yang sangat penting, karena setelah seseorang

memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai penyakit infeksi dengue, maka seseorang akan memiliki keyakinan dan melakukan upaya tindakan. c. Tindakan Perilaku adalah respon atau reaksi konkret seseorang terhadap stimulus atau objek (Sarwono, 2003). Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap belum tentu terwujud dalam bentuk tindakan yang konkret. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Hosland, et al (1953) cit Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakikatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari : a. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti di sini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif. b. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

27

c.

Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

II. 4. Kerangka Teori

Terapi : Penggantian cairan

Faktor Risiko - Manusia - Lingkungan - Vektor Manifestasi Klinis Tanpa tanda peringatan Dengan tanda peringatan Severe dengue

Tatalaksana

DENGUE

Pencegahan - 3M - PJS N Perilaku -Pengetahuan -Sikap -Tindakan

Diagnosis - Gejala klinis - Laboratorium

Grafik 2.1. Kerangka Teori

28

II.5. Kerangka Konsep Vektor: Temuan jentik House Index Container Index Breteau Index Angka bebas Jentik

DENGUE

Pencegahan - 3M - PJSN

-Pengetahuan -Sikap -Perilaku

Grafik 2.2. Kerangka Konsep

29

BAB III METODE PENELITIAN

III.1. Jenis Dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian obervasional dengan pedekatan rancangan secara potong lintang (cross sectional). Penelitian potong lintang merupakan salah satu bentuk studi observasional yang pengukuran variabelvariabelnya dilakukan hanya satu kali pada satu saat.

III.2. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada 27 Juni-9 Juli 2011, dengan lokasi di RW 1-4 Kelurahan Suryodiningratan Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta.

III.3. Sampel Penelitian III.3.a. Sampel Penelitian Sampel penelitian diambil secara acak dari seluruh warga RW 1 sampai RW 4 Kelurahan Suryodiningratan Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta. Responden yang diwawancarai untuk tentang infeksi dengue adalah anggota keluarga yang telah dewasa atau sudah bersekolah serta mampu berkomunikasi dengan surveyor, dan tinggal di rumah tersebut.

III.3.b. Besar Sampel Minimal Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitis dengan skala kategorik-kategorik, maka untuk menghitung jumlah sampel minimal penelitian digunakan rumus (Dahlan, 2008): (Z 2PQ + Z P1Q1 + P2Q2 )2 N = (P1 P2) 2

30

Pada penelitian ini kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah, dengan demikian Z = 1,96. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%, maka Z = 0,84. Selisih proporsi yang dianggap bermakna (P1 P2) yaitu 20%. Dengan demikian perkiraan jumlah subjek penelitian minimum: (Z 2PQ + Z P1Q1 + P2Q2 )2 N = (P1 P2) 2 (1,64 2.0,6.0,4 + 0,84 0,7. 0,3 + 0,5. 0,5 )2 N = (0,2) 2

N = 42,65 Jadi perkiraan jumlah subjek penelitian minimum sebesar 43 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara random sampling. Dari RW 1 sampai RW 4 diambil 60 orang warga secara acak sebagai sampel.

III.4. Jenis Dan Sumber Data III.4.a. Jenis Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang berupa: 1. Identitas Responden Data mengenai identitas responden meliputi nama, alamat, usia, jenis kelamin, pendidikan serta pekerjaan responden. 2. Pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang infeksi dengue Data mengenai tingkat pengetahuan tentang infeksi dengue meliputi pengertian, penyebab, vektor, tanda dan gejala serta

31

pencegahan infeksi dengue . Selain itu kuesioner juga mencakup data mengenai sikap dan perilaku responden terkait pencegahan infeksi dengue . 3. Data temuan jentik nyamuk Data mengenai temuan jentik nyamuk diperoleh dengan melakukan observasi langsung pada tempat penampungan air bersih di lingkungan rumah responden kemudian dicatat dalam data temuan jentik nyamuk.

III.4.b. Sumber Data Sumber data diperoleh dari responden dengan wawancara terstruktur di RW 1 sampai RW 4 Kelurahan Suyodiningratan Kecamatan Mantrijeron dan dari data hasil pemeriksaan jentik nyamuk di lingkungan rumah warga.

III.5. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang infeksi dengue.

2.

Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini yaitu temuan jentik nyamuk.

III.6. Definisi Operasional 1. Tingkat pengetahuan mengenai infeksi dengue Tingkat pengetahuan mengenai infeksi dengue yaitu tingkat pengetahuan

responden mengenai pengertian, penyebab, vektor, tanda dan gejala serta pencegahan infeksi dengue.Pengukuran dilakukan dengan pengisian kuesioner kepada responden. Kategori pengetahuan dikelompokkan menjadi baik dan buruk. Skala pengukuran : nominal. 32

2.

Sikap Sikap adalah reaksi yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek,

belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku, dalam hal ini yaitu terkait dengan pencegahan infeksi dengue. Pengukuran dilakukan dengan pengisian kuesioner kepada responden. Kategori sikap dikelompokkan menjadi baik dan buruk. Skala pengukuran : nominal. 3. Perilaku Perilaku adalah respon atau reaksi konkret seseorang terhadap stimulus atau objek, dalam hal ini yaitu tindakan konkret yang termasuk dalam usaha-usaha pencegahan infeksi dengue.Pengukuran dilakukan dengan pengisian kuesioner kepada responden. Kategori perilaku dikelompokkan menjadi baik dan buruk. Skala pengukuran : nominal. 4. Temuan jentik nyamuk Temuan jentik nyamuk adalah keberadaan jentik nyamuk pada tempat penampungan air bersih di lingkungan rumah responden menggunakan alat bantu berupa senter, dengan metode visual. Tempat penampungan air bersih yang diobservasi adalah bak mandi, gentong dan ember. Apabila terdapat jentik nyamuk, maka temuan jentik nyamuk dinyatakan positif, dan apabila tidak terdapat temuan jentik nyamuk maka temuan jentik nyamuk dinyatakan negatif. Skala pengukuran : nominal.

III.7. Instrumen Penelitian 1. 2. 3. Surat pernyataan kesediaan menjadi responden Formulir pemeriksaan jentik nyamuk Kuesioner pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang infeksi dengue Kuesioner ini diambil dari penelitian Hasanah (2006) yang disusun dari modifikasi kuesioner dari penelitian Nurhadi (1999) dan penelitian Depkes (2003). Kuesioner ini terdiri dari beberapa kelompok pertanyaan yang meliputi : 33

a.

Identitas responden Data yang diambil berupa nama, jenis kelamin, usia, tingkat

pendidikan dan pekerjaan responden. b. Instrumen pengetahuan, sikap, dan perilaku Instrumen pengetahuan disusun dalam bentuk pernyataan tertutup dengan dua alternatif jawaban, benar atau salah. Pernyataan-penyataan tersebut meliputi aspek pengertian, penyebab, tanda dan gejala, penularan dan pencegahan penyakit infeksi dengue. Nilai pengetahuan diperoleh dari skor total pernyataan tertutup yang disiapkan sebanyak 16 soal dengan kriteria benar atau salah. Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0. Total skor jawaban yang didapat dibuat kriteria berdasarkan nilai rata-rata (mean). Nilai sama dan di atas mean dikategorikan pengetahuan baik, sedangkan nilai di bawah mean dikategorikan pengetahuan kurang, menggunakan skala nominal. Penilaian sikap diperoleh dari skor total pernyataan tertutup sebanyak 5 buah, dengan kriteria setuju atau tidak setuju. Sikap yang sesuai dengan pencegahan infeksi dengue diberi nilai 1 dan bila tidak sesuai diberi nilai 0. Total skor jawaban yang didapat dibuat kriteria berdasarkan nilai rata-rata (mean). Nilai sama dan di atas mean dikategorikan sikap baik, sedangkan nilai di bawah mean dikategorikan sikap buruk, menggunakan skala nominal. Penilaian perilaku diperoleh dari skor total pernyataan tertutup sebanyak 15 buah, dengan kriteria ya atau tidak. Sikap yang sesuai dengan pencegahan infeksi dengue diberi nilai 1 dan bila tidak sesuai diberi nilai 0. Total skor jawaban yang didapat dibuat kriteria berdasarkan nilai rata-rata (mean). Nilai sama dan di atas mean dikategorikan perilaku baik, sedangkan nilai di bawah mean dikategorikan perilaku buruk, menggunakan skala nominal. Kuesioner yang digunakan telah diuji validitas dan reliabilitasnya oleh Hasanah (2006) dengan hasil reliabilitas alpha > 0,700. 34

III.8. Prosedur Penelitian Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data sebagai bahan untuk penyusunan latar belakang permasalahan. Selanjutnya dilaksanakan penelitian dengan tahap-tahap sebagai berikut : 1. Mengurus izin penelitian di Kecamatan Mantrijeron, Kelurahan

Suryodiningratan, Puskesmas Mantrijeron, dan Kepala RW 1-4 yang akan menjadi lokasi penelitian. 2. Membentuk tim survei yang terdiri dari satu kelompok koas IKM. 3. Pelaksanaan penelitian dengan melakukan wawancara berdasarkan

kuesioner dan observasi lingkungan sekitar rumah.

III.9. Pengolahan dan Analisis Data 1. Persiapan Setelah selesai pengumpulan data, diperiksa kelengkapan dan dilakukan pengkodean. 2. Analisis data Data untuk karakteristik sampel disajikan dalam bentuk angka dan persentase. Hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku warga dengan temuan jentik nyamuk diukur dengan uji Chi Square. Nilai probabilitas p0,05). Dari hasil analisis data tentang sikap pencegahan penyakit infeksi dengue, setelah memberikan skor pada jawaban yang diberikan responden, didapatkan hasil bahwa 28,33% sikap responden terhadap pencegahan penyakit infeksi dengue tergolong buruk, sedangkan 71,67% sikap responden tergolong baik. Dari tabel 4.2 diketahui bahwa jumlah responden yang mempunyai sikap baik dan tidak terdapat jentik nyamuk di lingkungan rumah sebanyak 30 orang, sedangkan sebanyak 13 orang responden dengan sikap baik masih ditemukan jentik nyamuk di lingkungan rumahnya. Jumlah responden dengan sikap buruk dan ditemukan jentik di lingkungan rumahnya sebanyak 9 orang, sedangkan sebanyak 8 orang responden dengan sikap buruk tidak ditemukan jentik nyamuk di lingkungan rumahnya. Hasil uji chi square antara variabel sikap pencegahan penyakit infeksi dengue dengan temuan jentik nyamuk di lingkungan rumah menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p > 0,05). Dari hasil analisis data tentang perilaku pencegahan penyakit infeksi dengue, setelah memberikan skor pada jawaban yang diberikan responden, didapatkan hasil bahwa 41,67% perilaku responden terhadap pencegahan penyakit infeksi dengue tergolong buruk, sedangkan 58,33% perilaku responden tergolong baik. Dari tabel 4.2. tersebut diketahui bahwa jumlah responden yang mempunyai perilaku baik dan tidak terdapat jentik nyamuk di lingkungan rumah sebanyak 31 orang, sedangkan sebanyak 4 orang responden dengan sikap baik masih ditemukan jentik nyamuk di 43

lingkungan rumahnya. Jumlah responden dengan perilaku buruk dan ditemukan jentik di lingkungan rumahnya sebanyak 18 orang, sedangkan sebanyak 7 orang responden dengan perilaku buruk tidak ditemukan jentik nyamuk di lingkungan rumahnya. Hasil uji chi square antara variabel sikap pencegahan penyakit infeksi dengue dengan temuan jentik nyamuk di lingkungan rumah menunjukkan hubungan yang signifikan (p < 0,05).

IV.2. Pembahasan Dari 60 rumah yang diperiksa, 22 rumah ditemukan jentik (HI 36,67%). Dengan HI 36,67, jauh sekali dengan HI target nasional di Indonesia yaitu 5% (Dirjen P2PL, 2007). Sedangkan dari perhitungan, didapati angka BI 43,33%. Dengan nilai BI 43,33% tersebut, menunjukkan bahwa wilayah RW 1 dan RW 4 memiliki risiko tinggi terjadi infeksi dengue. ABJ yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 95% (Dirjen P2PL, 2007). Sedangkan dari hasil penelitian ini didapati bahwa ABJ adalah 63,33%, hal ini menunjukkan ABJ pada wilayah penelitian ini masih masih di bawah target pemerintah. Dari HI, BI, dan CI tersebut dapat dibuat parameter density figure(kepadatan populasi). Nilai DF yang diperoleh 5,yang berarti kepadatan populasi jentik di RW 1 sampai 4 di Kelurahan Suryodiningratan adalah tinggi. Tingginya kepadatan populasi akan mempengaruhi distribusi penyebaran penyakit infeksi dengue. Dikhawatirkan dengan tingginya populasi nyamuk Aedes aegypti akan mempercepat penularan

kasus infeksi dengue. Hal ini karena ada asumsi bahwa mungkin kurang dari 5% dari suatu populasi nyamuk yang ada pada musim penularan akan menjadi vektor (Dirjen P2M dan PL, 2003). Morbiditas dan mortalitas yang terjadi dibeberapa negara disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingginya kepadatan vektor (Sumarmo, 1995). Hasil uji statistik menyatakan bahwa antara variabel pengetahuan dan temuan jentik nyamuk di lingkungan tidak mempunyai hubungan yang signifikan (p>0,05), demikian pula antara variabel sikap dengan temuan jentik nyamuk (p>0,05). Hal ini 44

berarti bahwa pengetahuan maupun sikap masyarakat mengenai masalah infeksi dengue tidak berpengaruh terhadap timbulnya jentik nyamuk di lingkungan. Kondisi tersebut dapat terjadi karena: a) Pengetahuan maupun sikap yang baik tersebut tidak diikuti dengan perilaku warga untuk memutus rantai perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti di lingkungan rumahnya sendiri. b) Kurang berjalannya program pemeriksaan jentik nyamuk dan pengasapan nyamuk berkala pada masing-masing RT dan RW. Namun demikian, terdapat hubungan yang signifikan antara variabel perilaku dengan temuan jentik (p0,05) dengan temuan jentik nyamuk, namun perilaku masyarakat untuk pencegahan infeksi dengue memiliki hubungan yang signifikan (p