Laporan Pendahuluan Emfisema(Fix)
description
Transcript of Laporan Pendahuluan Emfisema(Fix)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat
ini telah mengalami transisi epidemologi yang di tandai dengan beralihnya
kematian yang semula di dominasi oleh penyakit menular telah bergeser ke
penyakit tidak menular (non communicable desease). Perubahan penyakit
terdsebut dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi dan sosial budaya.
Emfisema tergabung dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang merupakan
salah satu kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan
PL di lima rumah sakit di Indonesia ( Jawa Barat, Jawah Tengah, Jawa Timur,
Lampung dan Sumatera selatan), pada tahun 2004 menunjukan PPOK termasuk
emfisema masuk dalam urutan pertama penyumbang angka kesakitan yaitu 35%,
asma bronkial 33%, kanker paru 30% dan lainnya 2%. Berdasarkan hasil
SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 sebanyak 54,5%
penduduk laki–laki dan 1,2 % perempuan merupakan perokok, sehingga
emfisema mempunyai faktor penyebab dari rokok sebesar 92%.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit empiema.
2. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit empisema.
3. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan empiema.
4. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan empisema.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
EMFISEMA
2.1 Pengertina Emfisema
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai
distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan
dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami
kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika
pasien mengalami gejala, fungsi paru sering sudah mengalami kerusakan yang
ireversibel. Dibarengi dengan bronchitis obstruksi kronik, kondisi ini
merupakan penyebab utama kecacatan.
Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk
paling berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang
dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya
merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara)
kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara). Definisi emfisema menurut
beberapa ahli :
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang
dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi (Kus Irianto,
2004, hlm. 216).
2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran
abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan
desruksi dindingnya (Robbins, 1994, hlm. 253).
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas
paru dan luas permukaan alveoli (Corwin, 2000, hlm. 435).
4. Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal,
2
yang disertai kerusakan dinding alveolus atau perubahan anatomis
parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris
dan destruksi dinding alveolar (The American Thorack society 1962).
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang
ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai
adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan termasuk emfisema”. Namun,
keadaan tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang
melibatkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya,
tubuh tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat
penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas.
Penyebab paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus
sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada
penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang
yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru
terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-
antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan
berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
1. PLE (Panlobular Emphysema / panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga
merusak paru-paru bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus
pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk
morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari
bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara
merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata
3
diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil
penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan
emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah
diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin
adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk
perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami
(Cherniack dan cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus
sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri
khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh
dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering
disebut centriacinar emfisema, sering kali timbul pada perokok.
2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder,
dan perifer dari asinus tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul
dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah
paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi
biasanya kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya
menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai
berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi
satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas
paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. Seringkali terjadi
kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan
episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis,
edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada
pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia
A. Price 1995).
4
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan
isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru.
Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak
spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi
dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan
katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus
melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan
mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen
bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat
menghalangi keluarnya udara.
2.2 Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab
utama emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil)
terdapat predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan
abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha yang merupakan
suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan
menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap
faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan
alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.
Sangat penting bahwa karier genetik ini harus diidentifikasikan untuk
memungkinkan modifikasi faktor-faktor lingkungan untuk menghambat atau
mencegah timbulnya gejala-gejala penyakit. Konseling genetik juga harus
diberikan.
5
2.3 Faktor Pencetus
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor
genetik diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia
atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper
responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan
defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan
keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru
akan berubah dan timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok
secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan
nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran
pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat
sehingga gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti
pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada
obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu
menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan
paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus
influenzae dan streptococcus pneumoniae.
6
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema.
Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di
daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap
tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi
makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu
besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi
rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin
disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
7. Pengaruh usia
8. Obstruksi Jalan Nafas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau
bronkiolus, sehingga terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke
dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada
ekspirasi. Etiologinya adalah benda asing di dalam lumen dengan reaksi
local, tumor intrabronkial di mediastinum, konginetal. Pada jenis yang
terakhir, obstruksi dapat di sebabkan oleh defek tulang rawan bronkus.
2.4 Patofisiologi
Menurut Lewis merokok dalam jangka waktu yang lama dapat
mengakibatkan gangguan langsung terhadap saluran pernafasan.
Terjadinya iritasi merupakan efek dari merokok yang menyebabkan
hiperplasia pada sel-sel paru dan bertambahnya sel-sel goblet, yang mana
kemudian berakibat pada meningkatnya produksi sekret. Merokok juga
menyebabkan dilatasi saluran udara distal dengan kerusakan dinding
alveolus (Lewis, 2000 : 682).
Menurut Smeltzer faktor keluarga merupakan salah satu faktor
pendukung terjadinya emfisema berhubungan dengan tidak normalnya
7
protein plasma, kekurangan Alpha 1-antitipsin (AAT) yang menghalangi
kerja enzim protease, orang-orang tertentu dapat mengalami defisiensi
alpha 1-antitripsin yang diturunkan secara resisif atosomal. (Smeltzer,
2000:453).
Menurut Cherniack, “Alpha 1-antitripsin (AAT) adalah antiprotease,
diperkirakan sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang
terbentuk secara alami. Protease dihasilkan oleh bakteria, dan magrofag
sewaktu fagositosis berlangsung dan mempunyai kemampuan memecahkan
elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru. Merokok dapat
mengakibatkan respon peradangan sehingga menyebabkan pelepasan
enzim proteolitik (proteose). Bersamaan dengan itu oksidan pada asap
menghambat alpha 1-antiripsin” ( Price dan Loraine, 1995 : 692).
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding
alveolus yang akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara akan tergangu akibat dari perubahan ini. Kerja nafas
meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk
melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada
emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara
alveoli, jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut
atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara
ruang alveolus yang disebut blebs dan di antara parenkim paru-paru yang
disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada
‘dead space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap
normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang
berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru yaitu
penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang.
Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin.
8
Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik
yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim
proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan
keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru
akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase
bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu
system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1
globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti
elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan
emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara
tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan
intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan
paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang
menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah
paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta
dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang
tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada, akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga
timbul hipoksia dan sesak nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai
perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat
menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian
udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang
mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam
9
alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian
terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
2.5 Pathaway
2.6 Manifestasi Klinis
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi
sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-
25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas
kecil dan fungsi paru.Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada
umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri.
Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan
kegagalan nafas dan meninggal dunia. Manifestasi klinis Emfisema :
10
1. Dispnea
2. Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’\
3. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-
otot aksesori pernapasan (sternokleidomastoid).
4. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang
paru.
5. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan
perpanjangan ekspirasi
6. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
7. Distensi vena leher selama ekspirasi.
2.7 Komplikasi
1. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan.
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna.
3. Proses peradangan yang kronis di saluran napas.
4. Tingkat kerusakan paru yang makin parah.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto
dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan, yaitu:
a. Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang
terlihat konkaf. Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal
dan penambahan corakan kedistal.
b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal,
emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu
hebat.
2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun
karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
11
3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat
dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau
normal.Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock
wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke
kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS
rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.
a. Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru;
mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal;
penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda
bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
b. Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada
asma; penurunan emfisema.
d. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan
asma.
f. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital
kuat menurun pada bronkitis dan asma.
g. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis.
Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada
inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema);
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
h. JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas),
peningkatan eosinofil (asma).
12
i. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
j. Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui
keganasan atau gangguan alergi.
k. EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat);
disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II,
III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
l. EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan.
2.9 Penatalaksanaan Medis Dan Perawatan
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi
obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia.
1. Bronkodilator
Digunakan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini
melawan baik edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu
baik dalam mengurangi obstruksi jalan nafas maupun dalam memperbaiki
pertukaran gas. Medikasi ini mencakup agonis betha-adrenergik
(metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang
menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme yang berbeda.
Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per
rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol
bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler
dosis terukur, atau IPPB.
2. Terapi aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat
halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk
membantu dalam bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol
13
harus cukup kecil untuk memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-
dalam di dalam percabangan trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser
menhilangkan bronkospasme, menurunkan edema mukosa, dan
mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses pembersihan
bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki
fungsi ventilasi.
3. Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan
harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia,
H. Influenzae, dan Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling
umum pada infeksi tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin,
ampisilin, amoksisilin, atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim)
biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertama
infeksi pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen, batuk
meningkat, dan demam.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema.
Kortikosteroid digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan
bronkiolus dan membuang sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis
disesuaikan untuk menjaga pasien pada dosis yang terendah mungkin.
Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu
makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.
5. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada
pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan
konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 –
85 mmHg. Pada emfisema berat oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per
hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.
Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:
14
1) Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat
memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana
cara pengobatan dengan baik.
2) Pencegahan
a) Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan
usaha yang optimal harus dilakukan
b) Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan
secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik
yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap
saluran nafas.
c) Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama
terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3) Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah
meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi
kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program
fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
a) Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.
b) Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c) Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
4) Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema
disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien
hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut
Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih
baik dari pada pemberian 12 jam/hari.
15
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien.
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
3.1.1 Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir,
nomor registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggungjawab.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering muncul pada pasien dengan penyakit
emfisema bervariasi, antara lain: sesak nafas, batuk, dan nyeri di daerah
dada sebelah kanan pada saat bernafas. Banyak sekeret keluar ketika
batuk, berwarna kuning kental, merasa cepat lelah ketika melakukan
aktivitas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan penyakit emfisema biasanya diawali dengan sesak
nafas , batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas,
banyak secret keluar ketika batuk, secret berwarna kuning kental , merasa
cepat lelah ketika melakukan aktivitas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan juga apakah pasien sebelumnya pernah menderita
penyakit lain seperti TB Paru, DM, Asma, Kanker,Pneumonia dan lain-
lain. Hal ini perlu diketahui untuk melihat ada tidaknya faktor
predisposisi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
16
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit yang sama atau mungkin penyakit-penyakit lain yang mungkin
dapat menyebabkan penyakit emfisema.
3.1.3 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1. Bernafas
Pasien umumnya mengeluh sesak dan kesulitan dalam bernafas
karena terdapat sekret. Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak
produktif pada tahap dini, meskipun dapat menjadi produktif.
Faktor keluarga dan keturunan, misalnya defisiensi alpha 1-
antitripsin penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
Tanda : Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat : fase ekspirasi
memanjang dengan mendengkur, nafas bibir. Penggunaan
otot bantu pernafasan, misalnya : meninggikan bahu, rekraksi
fosa supra klavikula, melebarkan hidung.
Dada : Dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP
(bentuk barrel), atau perbandingan diameter. AP sama
dengan diameter bilateral, gerakan diafragma minimal.
Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi.
Perkusi : Hipersonor pada area paru.
Warna : klien dengan emfisema kadang disebut “pink puffer” karena
warna kulit normal, meskipun pertukaran gas tidak normal
dan frequensi pernafasan cepat. Taktil premitus melemah.
2. Makan dan Minum
Observasi seberapa sering pasien makan dan seberapa banyak
pasien menghabiskan makanan yang diberikan. Minum seberapa banyak
dan seberapa sering pasien minum.
17
3. Eliminasi
Observasi BAB dan BAK pasien, bagaimana BAB atau BAK
nya normal atau bermasalah, seperti dalam hal warna feses /urine,
seberapa sering, seberapa banyak, cair atau pekat, ada darah tau
tidak,dll.
4. Gerak dan Aktivitas
Observasi apakah pasien masih mampu bergerak, melakukan
aktivitas atau hanya duduk saja(aktivitas terbatas). Biasanya pasien
dengan anemia mengalami kelemahan pada tubuhnya akibat kurangnya
suplai oksigen ke jaringan tubuh.
5. Istirahat dan tidur
Kaji kebutuhan/kebiasaan tidur pasien apakah nyenyak/sering
terbangun di sela-sela tidurnya.
6. Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri
atau harus dibantu oleh orang lain. Berapa kali pasien mandi ?
7. Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-
40°C), hiperpireksia = 40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.
8. Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan
pasien. Pasien dengan penyakit emfisema biasanya mengalami sesak
nafas, batuk, dan nyeri di daerah dada.
9. Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakitnya.
10. Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakah pasien mampu berkomunikasi dengan
keluarganya, seberapa besar dukungan keluarganya.
18
11. Prestasi dan Produktivitas
Prestasi apa yang pernah diraih pasien selama pasien berada di
bangku sekolah hingga saat usianya kini.
12. Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kalipasien
sembahyang, dll.
13. Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja
meluangkan waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui
teknik yang tepat saat depresi.
14. Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi mual yang
dirasakan dan caranya meningkatkan nafsu makannya.Disinilah peran
kita untuk memberikan HE yang tepat.
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
1. Rambut dan hygene kepala
Warna rambut hitam, tidak berbau, rambut tumbuh subur, dan kulit
kepala bersih.
2. Mata ( kanan/kiri )
Posisi mata simetris, konjungtiva merah muda, skelera putih, dan pupil
isokor, dan respon cahaya baik.
3. Hidung
Simetris kiri dan kanan, tidak ada pembengkakkan, dan berfungsi dengan
baik.
4. Mulut dan tenggorokan
Rongga normal, mukosa terlihat pecah-pecah, tonsil tidak ada
pembesaran.
19
5. Telinga
Simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen, dan pendengaran tidak
terganggu.
6. Leher
Kelenjer getah bening, sub mandibula, dan sekitar telinga tidak ada
pembesaran.
7. Dada/ thorak
a. Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha
dan frekuensi pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada
inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel
chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan
pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak
efektik dan penggunaan otot-otot bantu napas
(sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat
aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan
dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai
demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan
b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menurun.
d. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar
karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut
penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
20
membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea
dan keletihan (dispnea eksersional). Paru yang mengalami
emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak
dikosongkan secara efektif dari sekresi yangf dihasillkan. Klien rentan
terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini.
Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan
kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin
mengalami distensi selama ekspirasi.
8. Kardiovaskular
a. Irama jantung regular; S1,S2 tunggal.
b. Nyeri dada ada, biasanya skala 6 dari 10
c. Akral lembab
d. Saturasi Hb O2 hipoksia
9. Persyarafan
a. Keluhan pusing ada
b. Gangguan tidur ada
10. Perkemihan B4 (bladder)
a. Kebersihan normal
b. Bentuk alat kelamin normal
c. Uretra normal
11. Pencernaan
a. Anoreksi disertai mual
b. Berat badan menurun
12. Muskuloskeletal/integument
a. Berkeringat
b. Massa otot menurun
3.1.5 Data Penunjang
1. Analisa gas darah
- Pa O2 : rendah (normal 80 – 100 mmHg)
21
- Pa CO2 : tinggi (normal 36 – 44 mmHg).
- Saturasi hemoglobin menurun.
- Eritropoesis bertambah
2. Sputum : Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen
3. Tes fungsi paru : Untuk menentukan penyebab dispnoe, melihat
obstruksi.
4. Foto sinar X rontgen
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas
Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat
Berhubungan dengan :
- Ansietas
- Posisi tubuh
- Deformitas tulang
- Deformitas dinding dada
- Keletihan
- Perventilasi
- Sindrom hipoventilasi
- Gangguan muskuloskeletal
- Kerusakan neurologis
- Imaturitas neurologis
- Disfungsi neuromuskular
- Obesitas
- Nyeri
- Keletihan otot pernapasan
- Cedera medula spinalis
Ditandai dengan :
- Perubahan kedalaman pernapasan
22
- Perubahan ekskursi dada
- Mengambil posisi tiga titik
- Bradipnea
- Penurunan tekanan ekspirasi
- Penurunan tekanan inspirasi
- Penurunan ventilasi semenit
- Penurunan kapasitas vital
- Dispnea
- Peningkatan diameter anterior- posterior
- Pernapasan cuping hidung
- Ortopnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Pernapasan bibir
- Takipnea
- Penggunaan otot aksesorius untuk pernapasan
2. Gangguan pertukaran gas
Definisi : kelebihan atau defisit pada oksigenasi dan/atau eliminasi
karbondioksida pada membran alveolar-kapiler
Berhubungan dengan :
- Perubahan membran alveolar-kapiler
- Ventilasi-perfusi
Ditandai dengan
- PH darah arteri abnormal
- pH arteri abnormal
- pernapasan abnormal (mis, kecepatan, irama,kedalaman,)
- warna kulit abnormal (mis, pucat, kehitaman)
- Konfusi
- Sianosis ( pada neonatus saja)
- Penurunan karbon dioksida
23
- Diaforesis
- Dispnea
- Sakit kepala saat bangun
- Hiperkapnea
- Hipoksemia
- Hipoksia
- Iritabilitas
- Napas cuping hidung
- Gelisah
- Somnolen
- Takikardia
- Gangguan penglihatan:
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Berhubungan dengan:
- Lingkungan : merokok, perokok pasif
- Obstruksi jalan napas : retensi secret, spasme jalan napas, mucus
berlebih.
Ditandai dengan:
- Dispneu
- Sianosis
- Suara napas tambahan
- gelisah
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan:
- Factor biologis
- Factor ekonomi
- Ketidakmampuan untuk mengabsorbsi utrient
- Ketidakmampuan untuk mencerna makanan
- Ketidakmampuan menelan makanan
- Factor psikologis
24
Ditandai dengan:
- Kram abdomen
- Nyeri abdomen
- Menghindari makan
- Merasakan ketidakmampuan untuk mengingesti makanan
- Melaporkan perubahan sensasi rasa
- Melaporkan kurangnya makanan
- Merasa kenyang segera setelh mengigesti makanan
- Objektif
- Tidak tertarik untuk makan
- Kerapuhan kapiler
- Diare dan/atau steatore
- Adanya bukti kekurangan makanan
- Kehilangan rambut yang berlebihan
- Bising usus hiperaktif
- Kurang informasi, malinformasi
- Kurangnya minat pada makanan
- Miskonsepsi
- Konjungtiva dan membrane mukosa pucat
- Tonus otot buruk
- Luka, rongga mulut inflamasi
- Kelemahan otot yang dibutuhkn untuk menelan atau mengunyah
5. Intoleran Aktivitas
Berhubungan dengan :
- Kelemahan umum
- Ketidakseimbangan antara suplai dam kebutuhan oksigen
Ditandai dengan
- Laporan verbal tentang keletihan atau kelemahan
25
- Frekuensi jantung atau respons TD terhadap aktivitas abnormal
- Rasa tidak nyaman saat bergerak atau dipsnea
- Perubahan-perubahan EKG mencerminkan iskemia;distrimia
6. Risiko tinggi terhadap infeksi
Faktor risiko :
- Tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya
sekret)
- Tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan
pada lingkungan)
- Proses penyakit kronis
- Malnutrisi
7. Koping individu inefektif
Berhubungan dengan :
- Krisis situasional/maturasional
- Perubahan hidup beragam
- Relaksasi tidak adekuat
- Sistem pendukung tidak adekuat
- Sedikit atau tak pernah olah raga
- Nutrisi buruk
- Harapan yang tak terpenuhi
- Kerja berlebihan
- Persepsi tidak realistik
- Metode koping tidak efektif
Ditandai dengan
- Menyatakan ketidakmampuan untuk mengatasi dan meminta bantuan
- Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan peran/kebutuhan dasar atau
pemecahan masalah
26
- Perilaku merusak terhadap diri sendiri, makan berlebih, hilang napsu
makan, merokok/minum berlebihan, cenderung melakukan
penyalahgunaan alkohol
- Kelemahan/insomia kronik, ketegangan oto, sering sakit kepala/leher,
kekuatiran/gelisah/cemas/tegangan emosi kronik, depresi.
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan
No NOC NIC Rasional
1 Setelah diberikan
asuhan selama
3x24 jam
diharapkan
pasien dapat :
1. Menunjukkan
pola
pernapasan
efektif,
dibuktikan
dengan status
pernapasan
yang tidak
berbahaya :
ventilasi dan
status tanda
vital
2. Menunjukkan
status
pernapasan:
ventilasi tidak
terganggu,
1. Membandingkan
status sekarang
dengan status
sebelumnya untuk
mendapatkan
perubahan dalam
status pernapasan.
2. Mengajarkan
teknik yang benar
untuk
menggunakan obat
dan peralatan
(misalnya menarik
nafas, nebulizer,
aliran maksimum).
3. Memantau
kecepatan, irama,
kedalaman, dan
upaya untuk
bernapas.
4. Mengamati
gerakan dada,
1. Untuk mengetahui
perkembangan kondisi
pasien.
2. Agar keluarga dan
pasien mengetahui
cara menggunakan
peralatan dan obat
dengan benar.
3. mengetahui apakah px
masih mengalami
kesulitan bernafas.
4. Untuk mengetahui
perkembangan
27
ditandai
dengan
indikator
gangguan
sebagai
berikut :
a. Kedalama
n inspirasi
dan
kemudaha
n
bernapas.
b. Ekspansi
dada
simetris.
c. Tidak
adanya
penggunaa
notot
bantu.
d. Bunyi
napas
tambahan
tidak ada.
e. Napas
pendek
tidak ada
termasuk simetri,
penggunaan dari
otot bantu
pernapasan, dan
penarikan otot
supraclavikular
dan intercostals.
5. Memberikan
cairan hangat
untuk minum,
dengan tepat.
6. Monitor
kemampuan
pasien untuk batuk
efektif
7. Memberitahukan
tentang diagnosis,
pengobatan, dan
pengaruh dari gaya
hidup.
8. Melatih
pernapasan
/relaksasi.
penyakit px
5. Untuk mengurangi
gejala batuk.
6. efektif dapat
membantu
mengeluarkan dahak
bila ada.
7. Agar px mengetahui
penyakitnya,
pengobatan yang harus
dijalani, penyebabnya
agar px dapat
mengubah gaya
hidupnya.
8. Untuk membantu
pasien memulai
pernapasan secara
normal.
2 Setelah diberikan
asuhan selama
1. Kaji frequensi
kedalaman
1.Berguna dalam
evaluasi derajat
28
3X24 jam
diharapkan
pasien dapat:
1. Menyatakan
nyeri
hilang/terkontr
ol.
2. Menunjukkan
rileks,
istirahat/tidur,
dan
peningkatan
aktivitas
dengan tepat.
3. Mencapai
fungsi paru
yang
maksimal.
4. Mengutarakan
pentingnya
latihan paru
setiap hari
pernafasan catat
penggunaan otot
bantu nafas, nafas
bibir.
2. Kaji/awasi secara
rutin warna kulit
dan membran
mokusa.
3. Tinggikan kepala
bantu klien untuk
memilih posisi yang
mudah untuk
bernafas, dorong
nafas dalam
perlahan atau nafas
bibir sesuai
kebutuhan individu.
4. Auskultasi bunyi
nafas, catat area
penurunan aliran
udara atau bunyi
abnormal.
5. Awasi tingkat
kesadaran/status
mental.
distres pernafasan
dan/atau kronisnya
proses penyakit.
2. Sianosis mungkin
perifer atau sentral
mengindikasikan
beratnya hipoksemia.
3. Pengiriman oksigen
dapat diperbaiki
dengan posisi duduk
tinggi dan latihan nafas
untuk menurunkan
kolaps jalan nafas dan
kerja nafas.
4. Bunyi nafas mungkin
redup karena
penurunan aliran
udara. Adanya
mengindikasi spasme
bronkus/tertahannya
sekret.
5. Gelisah dan ansietas
adalah manifestasi
umum pada hipoksia.
GDA memburuk
disertai
bingung/samnolen
29
6. Palpasi fremitus.
7. Evaluasi tingkat
toleransi aktivitas.
Berikan lingkungan
tenang dan kalem.
Batasi aktivitas
pasien atau dorong
untuk tidur/istirahat
di kursi selama fase
akut. Mungkinkan
pasien melakukan
aktivitas secara
bertahap dan
tingkatkan toleransi
sesuai aktivitas
individu
menunjukkan
disfungsi serebral yang
berhubungan dengan
hipoksemia.
6. Penurunan getaran
fibrasi diduga adanya
pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
7. selama distres
pernapasan
berat/akut/refraktori
pasien secara total tak
mampu melakukan
aktivitas sehari-hari
karena hipoksia dan
dispnea. Istirahat
diselingi aktivitas
perawatan masih
penting dari program
pengobatan. Namun,
program latihan
ditujukan untuk
meningkatkan
ketahanan dan
kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea
berat, dan dapat
meningkatkan rasa
sehat.
8. Dapat
30
8. Berikan O2
tambahan yang
sesuai dengan
indikasi hasil
GDA dan toleransi
pasien.
9. Bantu Intubasi
memperbaiki/mencega
h memburuknya
hipoksia.
9. Rasional :
Terjadinya/kegagalan
nafas yang akan
datang memerlukan
upaya tindakan
penyelamatan hidup.
3 Setelah diberikan
asuhan selama
3x24 jam
diharapakan
pasien dapat:
1. Mengidentifi
kasi atau
menunjukkan
perilaku
mencapai
bersihan jalan
napas.
2. Menunjukkan
jalan napas
paten dengan
bunyi napas
bersih, tidak
1. Auskultasi bunyi
napas . catat adanya
bunyi napas, misal
mengi, ronchi
2. Beri pasien 6
sampai 8 gelas
cairan / hari kecuali
terdapat kor
pulmonal
1. Beberapa derajat
spasme bronkus
terjadi dengan
obstruksi jalan
napas dan
dapat/tak
dimaniffestasikan
adanya bunyi
napas missal
mengi
2. Hidrasi sistemik
menjaga sekresi
tetap lembab dan
memudahkan
untuk
pengeluaran .
cairan harus
31
ada dispnea,
sianosis.
3. Mendemonstr
asikan batuk
efektif
3. Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman
misal peninggian
kepala tempat tidur ,
duduk pada
sandaran tempat
tidur
4. Dorong / bantu
latihan napas
5. Bantu dalam
pemberian tindakan
nebulizer, inhaler
dosis terukur
diberikan dengan
kewaspadaan jika
terdapat gagal
jantung sebelah
kanan
3. Peninggian kepala
tempat tidur
mempermudah
fungsi pernapasan
dengan
menggunakkan
gravitasi .
4. Memberikan
pasien beberapa
cara untuk
mengatasi dan
mengontrol
dispnea
5. Tindakan ini
akan
menambahkan air
kedalam
percabangan
bronchial dan
pada sputum ,
menurunkan
kekentalannya ,
sehingga
memudahkan
32
6. Instruksikan pasien
untuk menghindari
iritan seperti asap
rokok , aerosol,
suhu yang ekstrem
dan asap.
evaluasi sekresi .
6. Iritan bronchial
menyebabkan
bronkokonstriksi
dan meningkatkan
pembekuan lendir
, yang kemudian
mengganggu
klirens jalan
napas .
4 Setelah diberikan
asuhan
keperawatan
selama 3x24 jam
maka pasien
diharapkan:
1. Menunjukkan
peningkatan
berat badan
menuju tujuan
yang tepat.
2. Menunjukkan
perilaku/perub
ahan pola
hidup untuk
meningkatkan
dan atau
mempertahank
an berat yang
tepat.
1. Kaji kebiasaan
diet, masukan
makanan, catat
derajat kesulitan
makan. Evaluasi
berat badan.
2. Auskultasi bunyi
bising usus.
1. Pasien distres
pernafasan akut
sering anoreksia
karena dispneu,
produksi sputum
dan obat, selain
itu banyak klien
PPOM
mempunyai
kebiasaan makan
buruk. Orang
yang mengalami
emfisema sering
kurus dengan
perototan kurang.
2. Penurunan/
hipoaktif bising
usus
menunjukkan
mobilitas gaster
33
3. Berikan perawatan
oral sering, buang
sekret.
4. Dorong periode
istirahat selama 1
jam sebelum dan
sesudah makan.
Berikan makanan
posisi kecil tapi
sering.
dan konstipasi
(komplikasi
umum) yang
berhubungan
dengan pilihan
makan yang
buruk, penurunan
aktivitas dan
hipoksemia.
3. Rasa tak enak
bau dan
penampilan
adalah pencegah
utama terhadap
nafsu makan dan
dapat membuat
mual dan muntah
dengan
peningkatan
kesulitan nafas.
4. Membantu
menurunkan
kelemahan
selama waktu
makan dan
memberikan
kesempatan untuk
meningkatan
masukan kalori
34
5. Hindari makanan
yang sangat panas
atau sangat dingin.
6. Konsul ahli
gizi/nutrisi untuk
memberikan
makanan yang
mudah dicerna,
secara nutrisi
seimbang.
7. Kaji pemeriksaan
laboratorium.
Berikan
vitamin/mineral/
elektolit sesuai
indikasi.
8. Beri O2 tambahan
selama makan
sesuai indikasi.
total.
5. Suhu ekstrim
dapat
mencetuskan/men
ingkatkan spasme
batuk.
6. Metode makan
dan kebutuhan
kalori
berdasarkan pada
situasi/kebutuhan
individu untuk
memberikan
nutrisi maksimal
dengan upaya
klien/penggunaan
energi.
7. Mengevaluasi/
mengatasi
kekurangan dan
keefektifan tetap
nutrisi.
8. Menurunkan
dispneu dan
meningkatkan
energi untuk
makan.
35
5 Setelah diberikan
asuhan
keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan
pasien dapat:
1. Pasien akan
termoregulasi,
dibuktikan
dengan suhu
kulit dalam
rentang
normal.
2. Nadi dan
pernapasan
dalam rentang
yang
diharapkan.
3. Perubahan
warna kulit
tidak ada.
1. Awasi secara ketat
suhu tubuh pasien.
2. Kaji pentingnya
latihan nafas, batuk
efektif, perubahan
posisi sering dan
masukan cairan
adekuat.
3. Observasi warna,
karakter, bau
sputum.
4. Dorong
keseimbangan antara
aktivitas dan
istirahat.
5. Diskusikan
1. Demam dapat
terjadi karena
adanya infeksi.
2. Aktivitas diatas
dapat
meningkatkan
mobilitas dan
pengeluaran
sekret untuk
menurunkan
resiko terjadinya
infeksi paru.
3. Sekret berbau,
kuning dan
kehijauan
menunjukkan
adanya infeksi
paru.
4. Menurunkan
konsumsi/kebutuh
an keseimbangan
oksigen dan
memperbaiki
pertahanan klien
terhadap infeksi
meningkatkan
penyembuhan.
5. Malnutrisi dapat
36
kebutuhan masukan
nutrisi adekuat.
6. Dapatkan spesimen
sputum dengan batuk
atau penghisapan
untuk pewarnaan
kuman, gram, kultur
sensitivitas.
7. Berikan
antimikrobial/antibioti
k sesuai indikasi.
mempengaruhi
kesehatan umum
dan menurunkan
tahanan terhadap
infeksi.
6. Dilakukan untuk
mengidentifikasi
organisme
penyebab dan
kerentanan
terhadap berbagai
anti mikrobial.
7. Dapat diberikan
pada organisme
khusus yang
terindentifikasi
dengan kultur
dan sensitivitas,
atau diberikan
secara profilatik
karena resiko
tinggi.
6 Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24
jam diharapkan
1. Jelaskan aktivitas
dan faktor yang
meningkatkan
kebutuhan oksigen :
merokok, suhu yang
1. Merokok suhu
ekstrim, dan
stress
menyebabkan
vasokontriksi
yang
37
faktor resiko
infeksi hilang
dengan criteria
hasil :
1. Terbebas dari
tanda dan
gejala infeksi
2. Memperlihatk
an hygiene
personal yang
kuat
ekstrim, stres.
2. Secara bertahap
tingkatkan aktivitas
harian sesuai
peningkatan toleransi
klien.
3. Pertahankan terapi
oksigen tambahan,
sesuai kebutuhan.
4. Berikan dukungan
emosional dan
semangat.
meningkatkan
beban kerja
jantung dan
kebutuhan
oksigen.
2. Mempertahankan
pernafasan
lambat sedang
dari latihan yang
diawasi
memperbaiki
kekuatan otot
asesori dan
fungsi
pernafasan.
3. Oksigen
tambahan
meningkatkan
kadar oksigen
yang bersirkulasi
dan memperbaiki
toleransi
aktivitas.
4. Rasa takut
terhadap
kesulitan
bernafas dapat
menghambat
peningkatan
38
aktivitas.
7 Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24
jam diharapkan
koping individu
efektif dengan
criteria hasil :
1. Klien
menunjukan
minat terhadap
aktivitas
pengalihan
2. Klen mau
memulai
pembicaraan
3. Klien mau
berpartisipasi
dalam
pengambilan
keputusan.
1. Kaji kefektifan
strategi koping
dengan
mengobservasi
perilaku, mis.,
kemampan
menyatakan perasaan
dan perhatian
keinginan
berpartisipasi dalam
rencana pengobatan.
2. Dorong pasien untuk
mengevaluasi
prioritas/tujuan
hidup. Tanyakan
seperti apakah yang
anda lakukan
merupakan apa yang
anda inginkan?
1. mekanisme adaptif
perlu untuk
mengubah pola
hidup seseorang,
mengtasi
hipertensi kronik,
dan
mengintregrasika
n terapi yang
diharuskan ke
dalam kehidupan
sehari-hari
2. fokus perhatian
pasien pada
realitas situasi
yang ada relative
terhadap
pandangan pasien
tentang apa yang
diinginkan. Etika
kerja keras,
kebutuhan untuk
control dan focus
keluarga dapat
mengarah pada
kurang perhatian
pada kebutuhan-
kebutuhan
39
3. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi dan
mulai merncanakan
perubahan hidup
yang perlu. Bantu
untuk menyesuaikan,
ketimbang
membatalkan tujuan
diri/keluarga.
personal.
3. perubahan yang
perlu harus
diprioritaskan
secara realistic
untuk
menghindari rasa
tidak menentu dan
tidak berdaya
3.4 Implementasi Keperawatan
Implementsi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan independent
(mandiri), dan kolaboorasi.
1. Tindakan mandiri adalah aktifitas keperawatan yang didasarkan pada
kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain.
2. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan
bersama seperti dokter dan petugas lain.
Implementasi juga merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan
oleh perawat. Seperti tahap-tahap yang lain dalam proses keperawatan, fase
pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan antara lain :
a. Validasi (pengesahan) rencana keperawatan
b. Menulis/mendokumentasikan rencana keperawatan
c. Memberikan asuhan keperawatan
d. Melanjutkan pengumpulan data
3.5 Evaluasi Keperawatan
40
Merupakan proses penilaian pencapaian tujuan dari tidakan yang telah
dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta pengkajian ulang
terhadap rencana keperawatan. Dalam evaluasi mengungkapkan empat
keyakinan yaitu :
1. Masalah teratasi
Masalah teratasi jika klien mampu menunjukan prilaku sesuai
dengan pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah di tentukan.
2. Masalah teratasi sebagian
Masalah teratasi sebagian jika klien telah mampu menunjukan
prilaku. Tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang
telah di tentukan
3. Masalah belum teratasi
Masalah tidak teratasi jika klien tidak mampu atau tidak mau sama
sekali menunjukan perilaku yang telah di tentukan
4. Muncul masalah baru
Masalah baru muncul jika di temukan adanya penyakit yang baru.
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk malengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan .Rencana tindakan
dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai melalui evaluasi memungkinkan
perawat untuk memonitor keaqlapaan yang terjadi selama tahap
pengkajian.Analisa perencanaan dan pelaksanaan tindakan (Ignatifikeus
dan Buyne. 1994).
Tolak ukur yang di gunakan untuk penilaian pencapean tujuan pada
tahap dan tahap criteria yang sudah di buat pada tahap perencanaan
sehingga akhirnya dapat di simpulkan apakah masalah teratasi
sebagian/seluruhnya, belum sama sekali atau bahkan timbul masalah baru.
Selanjutnya perkembangan respon pasien di tuangkan
perkembangan ke dalam catatan perkembangan pasien yang di uraikan
secara SOAP :
S : Keluhan-keluhan pasien (apa yang di katakan pasien/keluarga)
41
O: Apa yang di lihat ,di ukur dan di rasakan oleh perawat
A: Kesimpulan perawat tentang kondisi pasien
P: Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah pasien.
BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA EMPIEMA
4.1 Pengertian
Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah (pus) didalam rongga
pleura dapat setempat/mengisi seluruh rongga pleura (Ngastiyah, 1997).
Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada cavitas pleura
42
(Diane C. Baughman, 2000). Empiema adalah penumpukan materi purulen pada
areal pleural (Hudak dan Gallo, 1997).
4.2 Penyebab
1. Infeksi yang berasal dari dalam paru :
a. Pneumonia
b. Abses paru
c. Bronkiektasis
d. TBC paru
e. Aktinomikosis paru
f. Fistel Bronko-Pleura
2. Infeksi yang berasal dari luar paru :
a. Trauma Thoraks
b. Pembedahan thorak
c. Torasentesi pada pleura
d. Sufrenik abses
e. Amoebic liver abses
3. Bakteriologi :
a. Staphylococcus adalah kelompok dari bakteri-bakteri, secara akrab
dikenal sebagai Staph, yang dapat menyebabkan banyak penyakit-
penyakit sebagai akibat dari infeksi beragam jaringan-jaringan tubuh.
43
Bakteri-bakteri Staph dapat menyebabkan penyakit tidak hanya secara
langsung oleh infeksi (seperti pada kulit), namun juga secara tidak
langsung dengan menghasilkan racun-racun yang bertanggung jawab
untuk keracunan makanan dan toxic shock syndrome. Penyakit yang
berhubungan dengan Staph dapat mencakup dari ringan dan tidak
memerlukan perawatan sampai berat/parah dan berpotensi fatal.
b. Pneumococcus adalah salah satu jenis bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi serius seperti radang paru-paru (pneumonia),meningitis (radang
selaput otak) dan infeksi darah (sepsis).Sebenarnya ada sekitar 90 jenis
kuman pneumokokus, tetapi hanya sedikit yang bisa menyebabkan
penyakit gawat. Bentuk kumannya bulat-bulat dan memiliki bungkus atau
kapsul. Bungkus inilah yang menentukan apakah si kuman akan
berbahaya atau tidak.
4.3 Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala empiema secara umum adalah :
1. Demam
2. Keringat malam
3. Nyeri pleural
4. Dispnea
5. Anoreksia dan penurunan berat badan
6. Auskultasi dada, ditemukan penurunan suara napas
7. Perkusi dada, suara flatness
8. Palpasi , ditemukan penurunan fremitus
Tanda gejala empiema berdasarkan klasifikasi empiema akut dan empiema
kronis
1. Emphiema akut:
a. Panas tinggi dan nyeri pleuritik.
b. Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura.
44
c. Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan menimbulkan toksemia,
anemia, dan clubbing finger .
d. Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco-
pleural.
e. Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif bercampur dengan
darah dan nanah banyak sekali.
2. Emphiema kronis:
a. Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan.
b. Badan lemah, kesehatan semakin menurun.
c. Pucat, clubbing finger.
d. Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura.
e. Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kearah yang sakit.
f. Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan.
4.4 Epidemologi
Penyebab empiema toraks yang paling utama adalah infeksi yang berasal
dari paru, selain itu tindakan bedah (paru dan gastroesofageal) juga merupakan
faktor predisposisi penting terjadinya empiema.9,16. Sejak ditemukannya
antibiotik, penyakit ini diperkirakan sudah jauh berkurang, namun meskipun
demikian morbiditas maupun mortalitasnya masih cukup tinggi.3,11,13. Di
bagian Paru RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 - 2004, dirawat sebanyak
1,07 – 1,29% penderita dengan empiema toraks, dengan perbandingan pria :
wanita = 3,4 : 1.1,2 .
Akibat kemajuan dari pemakaian obat antituberkulosa dan antibiotik
menyebabkan para dokter cenderung untuk merawat penderita empiema secara
medikamentosa, sehingga sering terjadi keterlambatan konsultasi dan tindakan
bedah yang mana hal ini mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
4.5 Patofisiologi
45
Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan timbulah peradangan
akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan sel
polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang mati dan
meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya
endapan – endapan fibrin akan membentuk kantung–kantung yang melokalisasi
nanah tersebut.
Sekresi cairan menuju celah pleura normalnya membentuk
keseimbangandengan drainase oleh limfatik subpleura. Sistem limfatik pleura
dapatmendrainase hampir 500 ml/hari. Bila volume cairan pleura melebihi
kemampuanlimfatik untuk mengalirkannya maka, efusi akan terbentuk.
Efusi parapnemonia merupakan sebab umum empiema. Pneumonia
mencetuskan respon inflamasi. Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat
meningkatkan permeabilitas sel mesotelial, yang merupakan lapisan sel
terluardari pleura. Sel mesotelial yang terkena meningkat permeabilitasnya
terhadap albumin dan protein lainnya. Hal ini mengapa suatu efusi pleura karena
infeksi kaya akan protein. Mediator kimia dari proses inflamasi menstimulasi
mesotelial untuk melepas kemokin, yang merekrut sel inflamasi lain. Sel
mesotelial memegang peranan penting untuk menarik neutrofil ke celah pleura.
Pada kondisi normal, neutrofil tidak ditemukan pada cairan pleura. Neutrofil
ditemukan pada cairan pleura hanya jika direkrut sebagai bagian dari suau proses
inflamasi. Netrofil, fagosit, mononuklear, dan limfosit meningkatkan respon
inflamasi dan mengeleluarkanmediator untuk menarik sel-sel inflamator lainya
ke dalam pleura.
Efusi pleura parapneumoni dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan
patogenesisnya, yaitu efusi parapneumoni tanpa komplikasi, dengan komplikasi
dan empiema torakis. Efusi parapneumoni tanpa komplikasi merupakan efusi
eksudat predominanneutrofil yang terjadi saat cairan interstisiil paru meningkat
selama pneumonia.Efusi ini sembuh dengan pengobatan antibiotik yang tepat
untuk pneumonia. Efusi parapneumoni komplikasi merupakan invasi bakteri
pada celah pleura yang mengakibatkan peningkatan jumlah neutrofil, asidosis
46
cairan pleura dan peningkatan konsentrasi LDH. Efusi ini sering bersifat steril
karena bakteri biasanya dibersihkan secara cepat dari celah pleura.Pembentukan
empiema terjadi dalam 3 tahap, yaitu :
1. Fase eksudatif : Selama fase eksudatif, cairan pleura steril
berakumulasisecara cepat ke dalam celah pleura. Cairan pleura memiliki
kadar WBC dan LDH yang rendah, glukosa dan pH dalam batas normal.
Efusi ini sembuh dengan terapi antibiotik, penggunaan chest tube tidak
diperlukan.
2. Fase fibropurulen : invasi bakteri terjadi pada celah pleura, dengan
akumulasi leukosit PMN, bakteri dan debris. Terjadi kecendrungan untuk
lokulasi, pH dan kadar glukosa menurun, sedangkan kadar LDH menngkat.
3. Fase organisasi : Bentuk lokulasi. Aktivitas fibroblas menyebabkan
pelekatan pleura visceral dan parietal. Aktivitas ini berkembang dengan
pembentukan perlengketan dimana lapisan pleura tidak dapat dipisahkan.
Pus, yang kaya akan protein dengan sel inflamasi dan debris berada pada
celah pleura. Intervensi bedah diperlukan pada tahap ini.
Gambaran bakteriologis efusi parapneumoni dengan kultur positif
berubah seiring berjalannya waktu. Sebelum era antibiotik, bakteri yang
umumnya didapatkan adalah Streptococcus pneumoniae danstreptococci
hemolitik. Saat ini, organisme aerob lebih sering diisolasi dibandingkan
organisme anaerob. Staphylococcus aureus dan S pneumoniae tumbuh pada 70
% kultur bakteri gram positif aerob. Bakteriologi suatu efusi parapneumoni
berhubungan erat dengan bakteriologi pada proses pneumoni. Organisme aerob
gram positif dua kali lebih sering diisolasi dibandingkan organisme aerob gram
negatif. Klebsiela, Pseudomonas, dan Haemophilus merupakan 3 jenis organisme
aerob gram negatif yang paling sering diisolasi.
Bacteroides danPeptostreptococcus merupakan organisme anaerob yang
paling sering diisolasi. Campuran bakteri aerob dan anaerob lebih sering
menghasilkan suatu empiema dibandingkan infeksi satu jenis organisme. Bakteri
anaerob telah dikultur 36 sampai 76 % dari empiema. Sekitar 70 % empiema
47
merupakan suatu komplikasi dari pneumoni. Pasien dapat mengeluh menggigil,
demam tinggi, berkeringat, penurunan nafsu makan, malaise, dan batuk. Sesak
napas juga dapat dikeluhkan oleh pasien.
4.6 Pathway
48
4.7 Komplikasi
49
Secara umum, empiema bisa merupakan komplikasi
dari: Pneumonia, infeksi pada cedera di dada, pembedahan dada, pecahnya
kerongkongan, dan abses di perut.
Adapun komplikasi secara khusus yang dapat timbul dari empiema adalah
sebagai berikut:
a. Bula yang terbesar terbentuk karena bersatunya alveoli yang pecah sehingga
dapat memperburuk fungsi dari pernapasan.
b. Pneumotoraks yang disebabkan oleh karena pecahnya bula kadang-kadang
dapat berubah menjadi ventil pneumotoraks.
c. Kagagalan pernapasan dank or pulmonale merupakan komplikasi terakhir
dari empiema. Kematian justru terjadi setelah terjadinya kegagalan
pernapasan. Pada tipe pink puffer, walaupun pasien tampak sangat sesak akan
terapi O2 dan CO2 darah masih dalam batas normal.
d. Terjadinya penurunan berat badan yang hebat, terutama pada usia muda.
e. Infeksi pleura mengarah ke sepsis, perlu diadakan evaluasi pepsis secara
menyeluruh, misalnya foto dada.
f. Sepsis, yang mana pertama sekali dapat membentuk abses subfrenik
sebelum menyebar ke rongga pleura melalui aliran getah bening
4.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang
menunjukan adanya cairan dengan atau tanpa kelaina paru. Bila terjadi
50
fibrothoraks , trakhea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga
tampak adanya penebalan.
b. Cairan pleura bebas dapat terlihat sebagai gambaran tumpul di sudut
kostofrenikus pada posisi posteroanterior atau lateral.
c. Dijumpai gambaran yang homogen pada daerah posterolateral dengan
gambaran opak yang konveks pada bagian anterior yang disebut dengan
D-shaped shadow yang mungkin disebabkan oleh obliterasi sudut
kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.
d. Organ-organ mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan
dengan efusi.
e. Air-fluid level dapat dijumpai jika disertai dengan pneumotoraks, fistula
bronkopleural.
2. Pemeriksaan pus
Aspirasi pleura akan menunjukan adanya pus di dalam rongga dada
(pleura). Pus dipakai sebagai bahan pemeriksaan sitologi , bakteriologi, jamur
dan amoeba. Untuk selanjutnya, dilakukan jkultur (pembiakan) terhadap
kepekaan antobiotik.
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
a. Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu
empiema yang terlokalisir.
b. Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk menentukan letak empiema
yang perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan pipa drain.
4. Pemeriksaan CT Scan
a. Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari
pleura.
b. Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT scan
5. Sinar X
51
Mengidentifikasi distribusi stuktural, menyatakan absesluas/infiltrate,
empiema (strafilokokus), infiltrat menyebar atau terlokalisasi (bakterial).
6. GDA /Nadi Oksimetri
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada.
7. Tes Fungsi Paru
Dilakukan untuk menentukan penyebab dipsnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi.
8. Pemeriksaan Gram/Kultur Sputum Dan Darah
Dapat diambil dengan biopsy jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi
fiberoptik atau biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
Lebih dari satu tipe organisme ada : bakteri yang umum meliputi diplokokus
pneumonia, strafilokokus aureus, A-hemolitik streptokokus, haemophilus
influenza : CMV. Catatan: kultur sputum dapat tak mengidentifikasi semua
organisme yang ada,kultur darah dapat menunjukkan bakterimia sementara.
9. EKG Latihan, Tes Stress
Membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi
program latihan.
4.9 Penatalaksanaan
1. Pengosongan Nanah
Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek
toksisnya.
2. Closed drainage – toracostomy water sealed drainage dengan indikasi :
a. Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
b. Nanah terus terbentuk setelah dua minggu
c. Terjadinya piopneumotoraks
52
d. Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negative sebesar 10-
20 cmH2O. Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus ditempuh
cara lain seperti pada empiema kronis.
3. Drainase terbuka (open drainage)
Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai
juga dengan reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema
kronis, hal ini bisa terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak
adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat, drainase tidak
adekuat sehingga harus seing mengganti atau membersihkan drain.
4. Antibiotik
Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotic
memegang peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu
diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus tepat. Pemilihan antibiotik
didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah. Pengobatan
selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotik dapat
diberikan secara sistematik atau tropikal. Biasanya diberikan penisilin.
5. Penutupan Rongga Empiema
Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup
karena penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilkukan
pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti.
6. Dekortikasi, Tindakan ini termasuk operasi besar, dengan indikasi :
a. Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung.
b. Letak empiema sukar dicapai oleh drain.
c. Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura visceralis.
7. Torakoplast
Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura
atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari
tulang iga dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh ke
dalam rongga pleura karena tekanan atmosfer.
53
8. Pengobatan Kausal
Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika, terapi
spesifik pada amoeboiasis, dan sebagainya.
9. Pengobatan Tambahan
Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan napas.
54
BAB 5
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EMPIEMA
5.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Nama
b. Umur
c. Suku/ bangsa
d. Agama
e. Alamat
f. Pendidikan
g. Pekerjaan
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : nyeri pada dada pleuritik
b. Riwayat kesehatan sekarang : yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada
pleuritik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan
dalam rongga pleura. Bila stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu
maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing finger.
c. Riwayat kesehatan masa lalu : pernah mengalami radang paru-paru
(pneumonia), ,meningitis (radang selaput otak) dan infeksi darah (sepsis).
d. Riwayat kesehatan keluarga : pernah terinfeksi bakteri Staphylococcus
atau Pneumococcus.
e. Riwayat lingkungan : rumah yang kumuh, kotor, dekat dengan sampah,
f. Riwayat psikososial : stres psikologik sehingga menurunkan imunitas
tubuh.
3. Dasar Data Pengkajian Pasien
a. Pernapasan
Gejala : Nafas pendek, batuk menetap dengan produksi sputum stiap hari,
dispnea
55
Tanda : Takipnea, dispnea, batuk, pengembangan pernafasan tak simetri,
perkusi pekak, penurunan fremits, bunyi nafas menurun/tidak ada secara
bilateral atau unilateral.
b. Makanan / cairan
Gejala : mual, muntah, ketidakmampuan untuk makan karena distress
pernafasan, kehilangan nafsu makan.
Tanda : Turgor kulit buruk, kering, kehilangan tonus, berkeringat.
c. Eliminasi
BAB dan BAK teratur
d. Aktivitas
Gejala : Keletihan, kelelahan, dispnea pada saat istirahat atau respon
terhadap aktivitas atau latihan
Tanda : Keletihan, gelisah, kelemhan umum/ kehilangan massa otot,
takikardia, dispnea, nyeri
e. Istirahat dan Tidur
Gejala : Keletihan, kelelahan, dispnea pada saat istirahat atau respon
terhadap aktivitas atau latihan
Tanda : Keletihan, gelisah, pucat, lemah
f. Berpakaian
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas sehari-hari
Tanda: pakaian pasien tidak pernah diganti, keluarga tampak memakaikan
klien pakaian
g. Rasa Nyaman
Data : nyeri, sesak.
Tanda : gelisah, meringis.
h. Rasa Aman
Gejala : Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat atau faktor-faktor
lingkungan adanya/ berulangnya infeksi.
i. Kebersihan Diri
56
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas sehari-hari
Tanda : kebersihan buruk, bau badan.
j. Komuikasi dan Hubungan dengan orang lain
Gejala : Hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan dari/terhadap
pasangan/ orang terdekat, penyakit lama atau ketidakmampuan membaik.
Tanda : ketidakmampuan untuk membuat/ mempertahankan suara karena
distress pernafasan, kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
k. Beribadah
Gejala: Klien lebih sering melakukan ibadah karena ingin sembuh dari
penyakitnya.
Tanda: wajah tampak lebih tenang
l. Bekerja
Gejala: Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas sehari-hari
Tanda : ketidakmampuan untuk membuat/ mempertahankan suara karena
distress pernafasan, tidak bisa melakukan aktivitas dengan normal
m. Rekreasi
Gejala: Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas sehari-hari.
Tanda : ketidakmampuan untuk membuat/ mempertahankan suara karena
distress pernafasan, tidak pernak berekreasi dan lebih memilih untuk
tinggal di rumah.
n. Belajar
Gejala : Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kegagalan untuk
membaik
Tanda: kondisi semakin memburuk karena menggunakan erbagai obat
untuk menyembuhkan diri.
57
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : demam, berkeringat, pucat, compos mentis, ketakutan,
gelisah, penurunan BB, dispnea, lemah.
b. Pemeriksaan TTV : RR : >24 x/mnt, Nadi : >100 x/mnt, TD : >120/70
mmHg dan Suhu : >36,5 oC.
c. Pemeriksaan Head To Toes
a) Pemeriksaan kepala dan leher : batuk produktif, pernafasan cuping
hidung.
b) Pemeriksaan dada : nyeri pleuritik, penggunaan otot bantu
pernafasan, perkusi dada ditemukan suara flatness, palpasi ditemukan
penurunan fremitus, auskultasi dada ditemukan penurunan suara
napas, funnel chest.
c) Pemeriksaan abdomen : peristaltic usus < 8 x/mnt
d) Pemeriksaan ekstremitas : clubbing finger
5. Pemeriksaan Penunjang
a. foto thorak
b. kultur darah
c. USG
d. Sampel sputum
e. Torakosenstesi
f. Pemeriksaan cairan Pleura
g. Hitung sel darah dan deferensiasi
h. Protein, LDH, glucose, dan pH
i. Kultur bakteri aerob dan an aerob, mikobakteri, fungi dan mikoplasma
5.2 Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi sputum,
obesitas.
2. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea, ansietas, posisi tubuh.
58
3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane kapiler-alveolar,
ketidakseimbangan perfusi-ventilasi.
4. Nyeri pleuritik b.d empiema
5. Hypertermi b.d infeksi saluran pernapasan.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, intoleransi
makanan, hilangnya nafsu makan, mual/ muntah.
7. Ansietas b.d nyeri pleuritik, dan ketidaktahuan.
8. Intoleransi aktivitas b.d perubahan respon pernapasan terhadap aktivitas.
5.3 Rencana Keperawatan
NO
MASALAH
KEPERAW
ATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1 Ketidakefektif
an bersihan
jalan napas
b.d
peningkatan
produksi
sputum,
obesitas.
Setelah diberikan
asuhan selama 3x24
jam diharapakan
pasien dapat:
4. Mengidentifikasi
atau
menunjukkan
perilaku
mencapai
bersihan jalan
napas.
5. Menunjukkan
jalan napas paten
dengan bunyi
napas bersih,
tidak ada
dispnea, sianosis.
1. Kaji frekuensi
atau
kedalaman
pernapasan
dan gerakan
dada.
2. Auskultasi
area paru,
catat area
penurunan
atau tidak ada
aliran udara
dan bunyi
napas
adventisius,
missal krekels
1. Takipnea pernapasan
dangkal dan gerakan
dada tidak simetris sering
terjadi karena
ketidaknyamana gerakan.
Gerakan dinding dada
dan cairan paru.
2. Penurunan aliran darah
terjadi pada area
konsolidasi dengan
cairan. Bunyi napas
bronchial (normal pada
bronkus) dapat terjadi
juga pada area
konsolidasi. Krekels,
ronkhi, dan mengi
terdengar pada inspirasi
59
6. Mendemonstrasi
kan batuk efektif
mengi.
3. Penghisapan
sesuai dengan
indikasi.
4. Berikan cairan
sedikitnya
2.500 ml/hari,
tawarkan air
hangat.
5. Ajarakan
metode batuk
efektif dan
terkontrol
6. Pemeriksaan
sputum pasien
di laboratorim
dan atau ekspirasi pada
respon terhadap
pengumpulan cairan,
sekret kental, dan spasme
jalan napas/obstruksi.
3. Merangsang batuk atau
pembersihan jalan napas
secara mekanik pada
pasien yang tak mampu
melakukan karena batuk
tidak efektif atau
penurunan tingkat
kesadaran.
4. Cairan (khususnya yang
hangat) memobilisasi dan
mengeluarkan sekret.
5. Batuk tidak terkontrol
akan melelahkan klien.
6. Sputum yang di periksa
guna untuk mengetahui
adanya penyakit lain
60
2 Ketidakefektif
an pola napas
b.d dispnea,
ansietas,
posisi tubuh.
Setelah diberikan
asuhan selama 3x24
jam diharapkan
pasien dapat :
3. Menunjukkan
pola pernapasan
efektif, dibuktikan
dengan status
pernapasan yang
tidak berbahaya :
ventilasi dan
status tanda vital
4. Menunjukkan
status pernapasan:
ventilasi tidak
terganggu,
ditandai dengan
indikator
gangguan sebagai
berikut :
f. Kedalaman
inspirasi dan
kemudahan
bernapas.
g. Ekspansi dada
simetris.
h. Tidak adanya
penggunaanot
ot bantu.
i. Bunyi napas
1. Kaji
frekuensi,
kedalaman
pernapasan.
2. Catat
penggunaan
otot aksesori,
napas bibir,
ketidakmamp
uan bicara.
3. Auskultasi
bunyi napas.
4. Catat area
penurunan
aliran udara
dan atau bunyi
tambahan
Palpasi
fremitus
5. Anjurkan
klien untuk
tidak
memikirkan
hal-hal yang
menyebabkan
1. Berguna dalam evaluasi
derajat distress
pernapasan dan atau
kronisnya proses
penyakit.
2. Bunyi napas mungkin
redup karena penurunan
aliran udara atau area
konsolidasi.
3. Adanya mengi
mengindikasikan spasme
bronkus/tertahannya
sekret.
4. Penurunan tekanan
vibrasi diduga ada
pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
5. Salah satu faktor
penyebab hiperventilasi
adalah ansietas.
61
tambahan
tidak ada.
j. Napas pendek
tidak ada
ansietas.
6. Pertimbangka
n penggunaan
kantung kertas
saat ekspirasi
latih individu
bernapas
perlahan dan
efektif.
7. Pemberian
oksigen.
8. Jaga posisi
agar tetap
semifowler
6. Meningkatkan
kemampuan kontrol
individu terhadap proses
ekspirasi.
7. Agar pernapasan dapat
berjalan dengan baik.
8. Posisi semifowler dapat
mempermudah pasien
dalam bernafas efektif
3 Gangguan
pertukaran
gas b.d
perubahan
membrane
kapiler-
alveolar,
ketidakseimba
ngan perfusi-
ventilasi.
Setelah diberikan
asuhan selama 3X24
jam diharapkan
pasien dapat:
5. Menyatakan nyeri
hilang/terkontrol.
6. Menunjukkan
rileks,
istirahat/tidur, dan
peningkatan
aktivitas dengan
tepat.
7. Mencapai fungsi
paru yang
maksimal.
1. Pantau
perubahan
tanda vital.
2. Jika tidak
dapat berjalan,
tetapkan suatu
aturan untuk
turun dari
tempat tidur,
duduk di kursi
beberapa hari
1. Perubahan frekuensi
jantung atau TD
menunjukkan bahwa
pasien mengalami nyeri,
khususnya bila alasan lain
untuk perubahan tanda
vital telah terlihat.
2. Meningkatkan
kemampuan ekspansi
paru. Jika klien dalam
posisi duduk, kemampuan
ekspansi paru akan
meningkat.
62
8. Mengutarakan
pentingnya latihan
paru setiap hari
sekali.
3. Bantu
reposisi,
setiap jam jika
mungkin.
4. Dorong klien
untuk
melakukan
latihan napas
dalam dan
latihan batuk
terkontrol 5
kali setiap jam
3. Membantu drainase
postural, mencega depresi
jaringan paru atau dada
untuk pernapasan.
4. Meningkatkan ekspansi
paru dan asupan oksigen
kedalam paru dan sistem
peredaran darah.
4 Nyeri
pleuritik b.d
empiema
Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan pasien
dapat:
1. Menunjukkan
nyeri: efek
merusak,
dibuktikan dengan
indikator berikut :
a. Penurunan
penampilan
peran/
hubungan
interpersona
b. Gangguan
kerja,
1. Kaji
Karakteristik
nyeri, misal
tajam,
konstan,
ditusuk.
2. Selidiki
perubahan
karakter/
lokasi/
intensitas
nyeri.
3. Pantau :Suhu
setiap 4 jam,
Hasil
pemeriksaan
1. Nyeri dada, biasanya dada
dalam beberapa derajat
pada pneumonia seperti
pericarditis dan
endokarditis.
2. Untuk mengidentifikasi
kemajuan-kemajuan atau
penyimpangan dari
sasaran yg diharapkan.
3. Tindakan tersebut akan
meningkatkan relaksasi.
63
kepuasaan
hidup/
kemampuan
untuk
mengendalika
n diri.
c. Penurunan
konsentrasi
d. Terganggunya
tidur.
e. Penurunan
nafsu makan.
SDP, Hasil
kultur sputum.
4. Berikan
tindakan
untuk
memberikan
rasa nyaman.
5. Berikan
analgetik
sesuai dengan
anjuran untuk
mengatasi
nyeri pleuritik
jika perlu dan
evaluasi
keefektifanny
a.
6. Konsul pada
dokter jika
nyeri dan
demam tetap
ada atau
mungkin
memburuk.
7. Berikan
antibiotik
sesuai dengan
4. Analgesik membantu
mengontrol nyeri dengan
memblok jalan rangsang
nyeri. Nyeri pleuritik yg
berat sering kali
memerlukan analgetik
narkotik untuk mengontrol
nyeri lebih efektif.
5. Hal tersebut merupakan
tanda berkembagnya
komplikasi.
6. Antibiotik diperlukan
untuk mengatasi infeksi,
efek maksimum dapat
dicapai jika kadar obat
dalam darah konsisten dan
dapat dipertahankan.
7. Interaksi satu obat dengan
yang lain dapat
64
anjuran dan
evaluasi
keefektifanny
a
mengurangi keefektifan
pengobatan
5 Hypertermi
b.d infeksi
saluran
pernapasan.
Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan pasien
dapat:
4. Pasien akan
termoregulasi,
dibuktikan dengan
suhu kulit dalam
rentang normal.
5. Nadi dan
pernapasan dalam
rentang yang
diharapkan.
6. Perubahan warna
kulit tidak ada.
1. Pantau suhu
minimal 2 jam
sekali.
2. Pantau :
tekanan darah,
nadi,
pernapasan,
aktifitas
kejang, warna
kulit.
3. Berikan obat
antipiretik
sesuai dengan
anjuran dan
evaluasi
keefektifanny
a.
4. Lakukan
tindakan-
tindakan
untuk
mengurangi
demam
seperti,
1. Untuk mengidentifikasi
kemajuan-kemajuan atau
penyimpangan dari
sasaran yg diharapkan.
2. Perubahan frekuensi
jantung atau TD
menunjukkan bahwa
pasien mengalami nyeri,
khususnya bila alasan lain
untuk perubahan tanda
vital telah terlihat.
3. Hal tersebut merupakan
tanda berkembangnya
komplikasi.
4. Penggunaan matras dingin
memungkinkan terjadinya
pelepasan panas secara
konduksi dan evaporasi
(penguapan).
65
gunakan
matras dingin.
6 Perubahan
nutrisi kurang
dari
kebutuhan
tubuh b.d
anoreksia,
intoleransi
makanan,
hilangnya
nafsu makan,
mual/ muntah.
Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
maka pasien
diharapkan:
3. Menunjukkan
peningkatan berat
badan menuju
tujuan yang tepat.
4. Menunjukkan
perilaku/perubaha
n pola hidup
untuk
meningkatkan dan
atau
mempertahankan
berat yang tepat.
1. Pantau :
persentase
jumlah
makanan yg
dikonsumsi
setiap kali
makan,
timbang BB
setiap hari,
Hasil
pemeriksaan
: protein
total,
albumin dan
osmalalitas.
2. Berikan
perawatan
mulut tiap 4
jam jika
sputum
tercium bau
busuk.
Pertahankan
kesegaran
ruangan
3. Berikan
makanan
dengan porsi
1. Untuk mengidentifikasi
kemajuan-kemajuan atau
penyimpangan dari
sasaran yg diharapkan.
2. Bau yg tidak
menyenangkan dapat
mempengaruhi nafsu
makan.
3. Makanan porsi sedikit tapi
sering memerlukan lebih
66
sedikit tapi
sering yg
mudah
dikunyah jika
ada sesak
napas berat.
4. Rujuk kepada
ahli gizi
untuk
membantu
memilih
makanan yg
dapat
memenuhi
kebutuhan
nutrisi
selama sakit
panas.
sedikit energi.
4. Ahli gizi ialah spesialisasi
dlm hal nutrisi yg dpt
membantu pasien memilih
makanan yg memenuhi
kebutuhan kalori dan
kebutuhan nutrisi sesuai
dgn keadaan sakitnya,
usia, TB & BB.
Kebanyakan pasien lebih
suka mengkonsumsi
makanan yg merupakan
pilihan sendiri.
7 Ansietas b.d
nyeri
pleuritik, dan
ketidaktahuan
.
Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
pasien diharapkan
dapat :
1. Mengungkapkan
perasaan ansietas.
2. Memperagakan
teknik bernapas
1. Jelaskan
tujuan tarapi
pada klien.
2. Ajarkan
tindakan
untuk
membentu
mengontrol
1. Mengorientasikan
program trapi, membantu
menyadarkan klien untuk
memperoleh kontrol.
2. Pengontrolan dipsnea
melalui diet seimbang,
istirahat cukup dan
aktifitas yang dapat
67
untuk mengurangi
dipsnea.
dispnea.
3. Ajarkan klien
melakukan
latihan napas.
4. Ajarkan dan
evaluasi
teknik
drainase
postural.
5. Jelaskan
bahayanya
infeksi dan
cara
menurunkan
resiko.
6. Ajurkan klien
untuk
melaporkan
gejala penting
dengan
segera.
7. Ajarkan atau
opserfasi
penggunaan
nebulizer atau
inhaler dosis
terukur
ditolerans.
3. Latihan napas dengan
spirometri insentif, latihan
efek paru atau latihan
posterior paru atau latihan
area iga lateral bawah.
4. Memfasilitasi pengeluaran
sekret.
5. Mencegah infeksi, baik
skunder maupun primer
yang mungkin diakibatkan
oleh gangguan napas.
6. Mencegah komplikasi
yang tidak terpantau atau
gejala yang dianggap
normal oleh klien.
7. Mencegah penggunaan
inhaler melebihi dosis
68
8 Intoleransi
aktivitas b.d
perubahan
respon
pernapasan
terhadap
aktivitas.
Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
pasien diharapkan:
1. Memperagakan
metode batuk,
bernapas, dan
penghematan
energi yang
efektif.
2. Mengidentifikasi
tingkat aktifitas
yang dapat di
capai atau di
pertahankan
secara realistis.
1. Jelaskan
aktifitas dan
faktor yang
dapat
meningkatkan
kebutuhan
oksigen.
2. Ajarkan
program
hemat energi .
3. Buat jadwal
aktifitas
harian,
tingkatkan
secara
bertahap.
4. Ajarkan
teknik nafas
efektif.
5. Pertahankan
terapi oksigen
tambahan.
6. Kaji respon
abnormal
setelah
aktifitas.
7. Beri waktu
1. Merokok, suhu ekstrim
dan stres dan
menyebabkan
fasikonstriksi pembuluh
darah dan meningkatkan
beban jantung.
2. Mencegah penggunanan
energi yang berlebihan.
3. Mempertahankan
pernapasan lambat dengan
tetap memperhatikan
latihan fisik yang
memungkinkan
peningkatan otot batu
pernapasan.
4. Meningkatkan oksigenasi
tanpa mengorbankan
banyak energi.
5. Mempertahankan,
memperbaiki, dan
meningkatkan konsentrasi
oksigen darah.
6. Respon abnormal meliputi
nadi, tekanan darah dan
pernapasan yang
meningkat.
69
istirahat yang
cukup
7. Meningkatkan daya tahan
klien, mencegah kelelahan
5.4 Implementasi Keperawatan
Implementsi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan independent
(mandiri), dan kolaboorasi.
3. Tindakan mandiri adalah aktifitas keperawatan yang didasarkan pada
kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain.
4. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan
bersama seperti dokter dan petugas lain.
Implementasi juga merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan
oleh perawat. Seperti tahap-tahap yang lain dalam proses keperawatan, fase
pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan antara lain :
e. Validasi (pengesahan) rencana keperawatan
f. Menulis/mendokumentasikan rencana keperawatan
g. Memberikan asuhan keperawatan
h. Melanjutkan pengumpulan data
5.5 Kriteria Evaluasi Keperawatan
Merupakan proses penilaian pencapaian tujuan dari tidakan yang telah
dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta pengkajian ulang
terhadap rencana keperawatan. Dalam evaluasi mengungkapkan empat
keyakinan yaitu :
1. Masalah teratasi
Masalah teratasi jika klien mampu menunjukan prilaku sesuai dengan
pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah di tentukan.
2. Masalah teratasi sebagian
70
Masalah teratasi sebagian jika klien telah mampu menunjukan prilaku.
Tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah di
tentukan.
3. Masalah belum teratasi
Masalah tidak teratasi jika klien tidak mampu atau tidak mau sama
sekali menunjukan perilaku yang telah di tentukan.
4. Muncul masalah baru
Masalah baru muncul jika di temukan adanya penyakit yang baru.
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk malengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan .Rencana tindakan dan
pelaksanaan sudah berhasil dicapai melalui evaluasi memungkinkan perawat
untuk memonitor keaqlapaan yang terjadi selama tahap pengkajian.Analisa
perencanaan dan pelaksanaan tindakan (Ignatifikeus dan Buyne. 1994).
Tolak ukur yang di gunakan untuk penilaian pencapaian tujuan pada
tahap dan tahap kriteria yang sudah di buat pada tahap perencanaan sehingga
akhirnya dapat di simpulkan apakah masalah teratasi sebagian/seluruhnya,
belum sama sekali atau bahkan timbul masalah baru.
Selanjutnya perkembangan respon pasien di tuangkan perkembangan
ke dalam catatan perkembangan pasien yang di uraikan secara SOAP :
S : Keluhan-keluhan pasien (apa yang di katakan pasien/keluarga)
O: Apa yang di lihat ,di ukur dan di rasakan oleh perawat
A: Kesimpulan perawat tentang kondisi pasien
P: Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah pasien
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi sputum,
obesitas.
a. Mengidentifikasi/menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan
napas.
71
b. Menunjukkan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih, tidak ada
dispnea, sianosis.
c. Mendemonstrasikan batuk efektif
2. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea, ansietas, posisi tubuh.
a. Menunjukkan pola pernapasan efektif, dibuktikan dengan status
pernapasan yang tidak berbahaya : ventilasi dan status tanda vital
b. Menunjukkan status pernapasan : ventilasi tidak terganggu, ditandai
dengan indikator gangguan sebagai berikut :
a) Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas.
b) Ekspansi dada simetris.
c) Tidak adanya penggunaan otot bantu.
d) Bunyi napas tambahan tidak ada.
e) Napas pendek tidak ada
3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane kapiler-alveolar,
ketidakseimbangan perfusi-ventilasi.
a. Menyatakan nyeri hilang/terkontrol
b. Menunjukkan rileks, istirahat/tidur, daan peningkatan aktivitas dengan
tepat.
c. Mencapai fungsi paru yang maksimal.
d. Menutarakan pentingnya latihan paru setiap hari
4. Nyeri pleuritik b.d empiema
a. Menunjukkan nyeri : efek merusak, dibuktikan dengan indikator
berikut :
b) Penurunan penampilan peran / hubungan interpersonal.
c) Gangguan kerja, kepuasaan hidup / kemampuan untuk
mengendalikan diri.
d) Penurunan konsentrasi.
e) Terganggunya tidur.
f) Penurunan nafsu makan.
5. Hypertermi b.d infeksi saluran pernapasan
72
a. Pasien akan termoregulasi, dibuktikan dengan suhu kulit dalam
rentang normal.
b. Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan.
c. Perubahan warna kulit tidak ada.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, intoleransi
makanan, hilangnya nafsu makan, mual/ muntah
a. Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
b. Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
atau mempertahankan berat yang tepat.
7. Ansietas b.d nyeri pleuritik, dan ketidaktahuan
a. Menungkapkan perasaan ansietas
b. Memperagakan teknik bernapas untuk mengurangi dipsnea
8. Intoleransi aktivitas b.d perubahan respon pernapasan terhadap aktivitas
a. Memeragakan metode batuk, bernapas, dan penghematan energi yang
efektif.
b. Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat di capai atau di
pertahankan secara realistis.
73
BAB 6
PENUTUP
6.1 Simpulan
Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus
terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus atau perubahan anatomis
parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris
dan destruksi dinding alveolar (The American Thorack society 1962)1.
Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola
morfologik dari emfisema yaitu: v CLE (Emfisema Sentrilobular) v PLE
(Emfisema Panlobular) Tanda klasik dari emfisema adalah dada seperti tong
( barrel chested) dan ditandai dengan sesak napas disertai ekspirasi
memanjang karena terjadi pelebaran rongga alveoli lebih banyak dan
kapasitas difus gas rendah3. Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka
akan timbulah peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat
serous. Dengan sel polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang
mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental.
Adanya endapan – endapan fibrin akan membentuk kantung – kantung yang
melokalisasi nanah tersebut.
74
Empiema adalah adanya eksudat purulent dalam cavum pelura. Pus
dalam rongga pleura yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau
abses paru-paru terjadi setelah operasi atau akibat luka tusuk dada6. Efusi
parapnemonia merupakan sebab umum empiema. Pneumonia mencetuskan
respon inflamasi. Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat
meningkatkan permeabilitas sel mesotelial, yang merupakan lapisan sel terluar
dari pleura. Sel mesotelial yang terkena meningkat permeabilitasnya terhadap
albumin dan protein lainnya. Hal ini mengapa suatu efusi pleura karena
infeksi kaya akan protein.
6.2 Saran
Selelah kita mempelajari apa yang telah dibahas, maka kita perlu menerapkan
dalam profesi kita. Kiranya makalah ini dapat berguna dan memberi wawasan
tentang patologi sistem pernapasan khusunya penyakit emfisema dan
empiema.
75
DAFTAR PUSTAKA
Ciyu. 2012. Laporan pendahuluan empiema. Available at:http://
ciyuinspirasiku.blogspot.com/2013/02/laporan-pendahuluan empiema.html.
diakses tanggal 11 Desember 2014
Sely. 2009. Keperawatan Empiema. Available at: http://sely biru.blogspot.com/
2009/01/asuhan keperawatan-empiema.html . diakses tanggal 11 Desember
2014
Smeltzer, Suzanne. C, Bare, Brenda. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1 dan 2. Jakarta:
FK. UI Media AES Culapius
Morton, Gallo, Hudak, 2012. Keperawatan Kritis Volume 1 dan 2 Edisi 8. EGC ,
Jakarta.
Price, Sylvia A. Dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanna C. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan
Suddarth Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC
T. Heather Herdman. Ph D, RN. Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC
76
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Jilid 1. Jakarta : EGC
Hudack & gallo. 2007. Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta: EGC.
NANDA Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Nanda NIC-NOC. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Edisi Revisi Jilid 1. Jakarta : EGC
Smeltzer, C . Suzanne,dkk. 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol
1. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2001. Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan), Ed.8.
Jakarta: EGC
Suyono, S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI
Brunner & Suddart. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
77