LAPORAN KASUS SALIVARY GLAND STONE (SIALOLITHIASIS)
Transcript of LAPORAN KASUS SALIVARY GLAND STONE (SIALOLITHIASIS)
LAPORAN KASUS
SALIVARY GLAND STONE (SIALOLITHIASIS)
Penulis:
drg. Steffano Aditya Handoko, MPH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan, bimbingan, dan masukan dari berbagai pihak pada penyusunan laporan kasus ini sangatlah sulit untuk dirampungkan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan kasus ini, maka dari itu penulis memohon maaf apabila ada kesalahan maupun kekurangan dari laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberikaan manfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Denpasar, 25 Juni 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI……...…………………………………………………………………. ii
DAFTAR GAMBAR………………………………………….....…………………. iii
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………...………………. 1
BAB 2 LAPORAN KASUS………………………………………………....………. 3
BAB 3 DISKUSI…………………………………………………………………….. 5
BAB 4 KAITAN TEORI…………………………………………………...……….. 7
4.1. Definisi Sialolith……………………………………...…………………. 7
4.2. Etiologi Sialolith…………………………………………...……………. 7
4.3. Patogenesis…………………………………………………..………….. 7
4.4. Gambaran Klinis………………………………………………………… 8
4.5. Penatalaksaan Sialolithiasis……………………………………….…….. 9
4.6. Prognosis…………………………………………………………....… 10
BAB 5 PENUTUP………………………………………………………………..… 11
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Seorang pasien 45 tahun dengan pembengkakakn pada pipi kanan……... 3
Gambar 2. Tampak samping yang menunjukkan ekstra oral sinus yang membaik….. 3
Gambar 3. Pembukaan duktus secara hipertropik………………………………….... 4
Gambar 4. Radiografi…………………...…………………………………………… 4
Gambar 5. Sialolith yang sudah dikeluarkan dari kelenjar saliva..………………….. 6
BAB I
PENDAHULUAN
Sialolithiasis merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan penyumbatan
kelenjar saliva atau saluran ekskretorisnya karena pembentukan konkret atau sialolith
berkapur. Hal ini biasanya berhubungan dengan pembengkakan, nyeri, dan infeksi
pada kelenjar yang terkena yang mengakibatkan ektasia ludah (Debnath dan A.K.,
2015). Sialolithiasis adalah penyakit yang paling umum dari kelenjar saliva mayor
setelah mumps dan sekitar 30% dari semua kelainan saliva. Sekitar 0,01-1,0%
populasi dikatakan terpengaruh, dengan kejadian yang lebih tinggi pada pria berusia
antara 30 dan 60 tahun. Lebih dari 80% sialolithiasis saliva terjadi pada saluran
submandibular atau kelenjar, 6-15% terjadi pada kelenjar parotis dan sekitar 2%
berada pada kelenjar saliva sublingual dan kelenar saliva minor (Moghe et al, 2012).
Ini menyebabkan penyumbatan mekanis dan pembengkakan kelenjar ludah. Efek
selanjutnya adalah infeksi kelenjar ludah yang bisa menyebabkan sialadenitis kronis.
Etiologi pembentukan sialolithis belum diketahui secara tepat. Beberapa
hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan etiologi dari pembentukan batu ini:
mekanis, inflamasi, kimiawi, neurogenik, infeksius, dll. Namun diperkirakan bahwa
alkalin, viscous, mucus rich saliva, mengandung persentase kalsium fosfat lebih
tinggi seperti pada kelenjar liur submandibular yang mendukung pembentukan
sialolith. Selain itu, posisi Wharton yang panjang dan berliku-liku juga berpengaruh
sehingga kelenjar saliva submandibular lebih rentan terhadap pembentukan sialolith
dari pada kelenjar parotis. Diketahui bahwa penyakit sistemik (asam urat, Sjögrens),
obat-obatan (anticholinergics, antisialogogues), trauma lokal, radioterapi kepala dan
leher, penuaan, dan gangguan ginjal juga dapat mempengaruhi pasien terhadap
pembentukan sialolith (Moghe et al, 2012). Kombinasi berbagai faktor ini biasanya
memicu pengendapan amorphous tricalcic phosphate, yang setelah dikristalisasi dan
diubah menjadi hidroksiapatit hal ini menjadi fokus awal yang bertindak sebagai
katalisator yang menarik dan mendukung proliferasi endapan baru yang berbeda.
Sebagian besar batu saliva berukuran kecil dan biasanya kurang dari 1 cm, tetapi
telah dilaporkan adanya megalitik atau giant calculli atau batu raksasa.
Penatalaksanaan sialolith bergantung pada ukuran batu, lokasi, jumlah batu,
dan tingkat penyumbatan kelenjar. Manajemen bedah dimulai dari teknik invasif
minimal sampai teknik bedah terbuka. Secara konvensional, batu pada bagian distal
kelenjar parotis dekat dengan punctum dihilangkan melalui pendekatan intraoral. Hal
yang ada di saluran bagian proksimal dan parenkim menimbulkan lebih banyak
masalah, khususnya saat dekat dengan saluran yang mengalami penyempitan. Pilihan
bedah untuk kasus ini adalah parotidektomi dengan komplikasi yang menyertainya,
terutama luka pada saraf wajah (9%), kerusakan pada saraf auricular yang parah, dan
sindrom Frey (Samani et al, 2016). Sialolithotomi ekstraoral tanpa parotidektomi
pertama kali dijelaskan oleh Baurmarsh dan Dechiara pada tahun 1991 dengan
menggunakan radiograf polos dan ultrasonografi. Kemudian, Extra-corporeal Shock
Wave Lithotripsy (ESWL) diusulkan sebagai pendekatan terapeutik alternatif dalam
pengobatan batu kelenjar saliva. Baru-baru ini pengenalan sialoendoskopi telah
mengubah penatalaksanaan sialolithiasis dan memungkinkan diagnosis dan lokalisasi
obstruksi yang lebih akurat.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pria 45 tahun datang ke praktik spesialis bedah mulut dengan keluhan
pembengkakan rekuren dan sakit pada pipi kanan sejak 1 tahun yang lalu(Gambar 1).
Pembengkakan dan ketidaknyamanan dirasakan selama atau sebelum makan dan
mereda dengan sendirinya. Ia juga memiliki riwayat pengeluaran pus dari sinus
ekstraoral 3 bulan yang lalu dan penatalaksanaan menggunakan antibiotik(Gambar 2).
Pada pemeriksaan, ditemukan pembengkakan pada pipi kanan dengan ukuran kurang
lebih 3x3 cm. Pembengkakan terasa hangat, padat, dan lembut pada saat dipalpasi dan
tidak melekat pada struktur lainnya. Kelenjar tersebut mengalami inflamasi dan
hypertrophic dan tampak kemerahan pada tempat pus dikeluarkan(Gambar 3).
Orthopantomografi mengungkapkan bahwa ukuran massa radiopak sebesar 1.5x1.5
cm dengan kaitan pada molar ketiga maksila pada region kelenjar Stenson yang
merupakan sialolithiasis(Gambar 4). Foto ultrasonografi juga dilakukan yang
mengungkapkan kelenjar parotis kanan tebal dengan pelebaran limfanodi intraparotid.
Kelenjar parotis melebar seluruhnya sampai buccinators dan massa curvilinear
echogenic yang memiliki ukuran 1.2x0.6 cm yang ditemukan di kelenjar Stenson
merupakan sialodocholithiasis.
Gambar1.Seorangpasien45tahundenganpembengkakaknpadapipikanan
Gambar2.Tampaksampingyangmenunjukkanekstraoralsinusyangmembaik
Gambar3.Pembukaanduktussecarahipertropik
Gambar4.Radiografi
BAB III
DISKUSI
Pada kasus dengan batu yang kecil, penatalaksanaan yang dianjurkan berupa
medikasi bukan pembedahan. Hal tersebut mencakup analgesik oral, hidrasi yang
cukup, kompres panas lokal, pemijatan untuk mengeluarkan batu, dan penggunaan
sialogog untuk meningkatkan sekresi pada duktus (Moghe et al, 2012). Teknik
dengan bantuan endoskopi bisa menjadi alternatif dengan tingkat kesuksesan yang
baik yang minim efek samping. Sialoendoskopi intervensional memiliki tingkat
keberhasilan yang baik pada kasus dengan batu dengan diameter kurang dari 5 mm;
Batu yang tidak fluktuatif dan lebih besar dari 5 mm dapat dapat dilakukan ESWL.
Pembedahan hanya diindikasikan pada kasus dimana terapi non invasif gagal, serta
tergantung dari lokasi dan ukuran dari siaolit. Morbiditas setelah parotidektomi total
maupun superfisial sebagai terapi batu parotis biasanya tidak sebanding dengan gejala
yang ditimbulkan. Studi menunjukan bahwa risiko kerusakan nervus facial setelah
parotidektomi superfisial bervariasi dari 16%-38% untuk melemah, serta 9% untuk
kerusakan permanen (Samani et al, 2016). Perkembangan teknik dengan invasi
minimal telah meminimalisir perlunya sialoadenektomi parotis maupun
submandibularis. Insisi trans oral tepat diatas sialolith serta mengeluarkannya
merupakan terapi yang minim invasi dan efektif dilakukan saat sialolith sudah
mencapai titik paling distal dari duktus.
Pada kasus ini lokasi sialolith dekat dengan jalan keluar duktus, namun tidak
dapat dilakukan pemijatan karena diameter yang terlalu besar. Setelah diagnosis
dikonfirmasi, rencana perawatan pun diputuskan yaitu mengeluarkan sialolith di
bawah anestesi lokal dengan insisi trans oral. Setelah dianestesi dan letak sialolith
sudah diketahui, langkah pertama yang dilakukan adalah imobilisasi sialolith dengan
cara dijahit untuk mencegah sialolith bergerak sepanjang ductus selama pembedahan
berlangsung. Insisi dilakukan langsung di atas sialolith dan posisinya parallel dengan
duktus saliva untuk mengekspos batu. Pembedahan dilanjukan di sekitar sialolith
untuk memisahkan dan mengeluarkan sialolith (Gambar 5). Ukuran sialolith tersebut
adalah 1.2x0.6 cm. penjahitan dilakukan sebanyak 3 kali dengan bentuk braided silk.
Pasien kemudian dipulangkan dan diberikan antibiotik dan obat analgesik.
Gambar5.Sialolithyangsudahdikeluarkandarikelenjarsaliva
BAB IV
KAITAN TEORI
4.1. Definisi Sialolith
Sialolithiasis adalah formasi struktur terkalsifikasi yang berkembang di dalam
kelenjar atau duktus saliva yang berasal dari akumulasi debris dalam lumen duktus
yang terdiposisi kalsium pada nidus. Debris termasuk mukus, bakteri, sel epitel
duktus atau benda asing.
4.2. Etiologi Sialolith
Etiologi sialolithiasis belum diketahui dengan pasti. Teori yang berkembang
mengaitkan etiologi sialolithiasis dengan sialodentitis kronis dan obstruksi parsial
struktur kelenjar saliva. Teori lain menyatakan bahwa sialolithiasis merupakan
manifestasi dari penyakit sistemik. Contoh penyakit sistemik yaitu asam urat atau
arthritis, dimana batu yang terbentuk mengandung asam urat. Pada umumnya batu
pada kelenjar saliva mengandung kalsium fosfat, sedikit magnesium, amonium dan
karbonat. Batu kelenjar saliva juga dapat berupa matriks organik, yang mengandung
campuran antara karbohidrat dan asam amino. Meski terdapat presipitasi ion kalsium
dan fosfat dalam pembentukan sialolith, studi yang dilakukan menyatakan bahwa
sialolithiasis tidak berkaitan dengan abnormalitas metabolisme kalsium maupun
fosfor.
4.3. Patogenesis
Sialolithiasis terjadi karena terbentuknya struktur terkalsifikasi dalam duktus
saliva. Patogenesis pasti dari sialolithiasis masih belum diketahui. Secara umum,
kalkulus atau struktur sialolith terbentuk karena deposisi garam kalsium pada
akumulasi musin saliva, bakteri, dan sel epitel yang terobstruksi. Reaksi ireguler pada
elemen mukus saliva menyebabkan saliva berubah dari kondisi viskositas tinggi (cair)
menjadi viskositas rendah (gel), gel saliva ini yang menjadi sarana bagi deposisi
garam kalsium dan substansi organik lainnya sehingga membentuk struktur sialolith.
Teori lain menyatakan bahwa patogenesis sialolithiasis dibagi menjadi 2 tahap, yaitu
tahap formasi inti struktur dan akumulasi perifer. Formasi inti struktur disebabkan
oleh presipitasi garam yang terikat oleh substansi organik dalam saliva, kemudian
pada tahap selanjutnya terjadi deposisi substansi organik dan non-organik. Sialolith
submandibular terbentuk di sekeliling mukus sedangkan sialolith parotis seringkali
terbentuk di sekitar agen inflamasi atau benda asing. Menurut teori lainnya, sialolith
terbentuk karena terjadi gangguan metabolisme yang meningkatkan kadar bikarbonat
dalam saliva, sehingga mengganggu solubilitas kalsium fosfat dan menyebabkan
terjadinya presipitasi ion kalsium dan fosfat. Meninjau dari segi etiologi infeksi,
sebuahh teori menyatakan bahwa bakteri dalam rongga mulut dapat bermigrasi ke
dalam duktus saliva dan menjadi nidus yang menunjang proses kalsifikasi. Pada
kelenjar submandibular, sialolith lebih mudah terbentuk karena kandungan alkalin
yang lebih tinggi serta konsentrasi kalsium dan fosfat. Dibandingkan dengan kelenjar
parotis dan sublingual, saliva dari kelenjar submandibular secara alami memiliki
konsentrasi mukus yang lebih padat. Sialolith tidak berkaitan dengan abnormalitas
metabolisme kalsium.
4.4. Gambaran Klinis
Rasa sakit dan adanya pembengkakan secara intermiten di daerah kelenjar
ludah mayor. Keadaan ini bertambah parah pada waktu makan dan kembali hiang
setelah makan. Rasa sakit ini berasal dari tersumbatnya air ludah di belakang
pembatuan. Nyeri dan pembengkakan kelenjar yang bersifat intermitter merupakan
keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan dengan selera
makan. Pada saat selera makan meningkat muncul sekresi saliva meningkat,
sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstuksi sehingga terjadilah stagnasi
yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelenjar. Stagnasis yang
berlangsung lama menimbulkan infeksi, pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi
pada kelenjar saliva yang menyebabkan hipersalivasi, dan akhirnya terjadi proses
fibrosis. Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior didapatkan calculi
pada duktus submanibularis, juga dapat meraba pembesaran duktus dan kelenjar.
Perabaan ini juga berguna untuk mengevalusi fungsi kelenjar saliva (Hypofuctional
dan non-functional gland). Studi imaging sangat berguna untuk diagnosis sialothiasis,
radiografi berguna untuk menunjukkan batu radiopak.
4.5. Penatalaksaan Sialolithiasis
Terdapat beberapa cara penanganan dari sialolithiasis, yaitu:
- Tanpa pembedahan
Pada kasus dengan batu yang kecil, penatalaksanaan yang dianjurkan berupa
medikasi bukan pembedahan. Hal tersebut mencakup analgesik oral, hidrasi yang
cukup, kompres panas lokal, pemijatan untuk mengeluarkan batu, dan penggunaan
sialogog untuk meningkatkan sekresi saliva pada duktus. Menggunakan antibiotik
dan antiinflamasi dengan harapan batu keluar melalui duktus secara spontan. Namun
pada beberapa kasus yang mendapatkan penanganan dengan cara ini, batu yang ada
pada kelenjar saliva masih tersisa, sehingga pendekatan konservatif perlu dilakukan.
- Pembedahan
Pembedahan seringkali dilakukan terutama pada kasus dengan diameter batu
yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm), atau lokasi yang sulit. Terkadang
diikuti oleh reseksi kelenjar liur. Tindakan reseksi kelenjar liur ini dilakukan pada
kasus dengan riwayat terbentuknya batu dan sumbatan duktus kelenjar liur berulang
yang dapat mengakibatkan kerusakan parenkim karena inflamasi kronis yang
bersifat irreversibel (Elvia, 2011). Sialithectomy dengan pendekatan intraoral diikuti
reseksi kelenjar liur dengan teknik operasi, kemudian dilakukan pemasangan
pembuka mulut dan lidah diangkat. Setelah dilakukan perabaan pada dasar rongga
mulut untuk menentukan lokasi kalkulus. Dilakukan diseksi secara tumpul melalui
orificium duktus submandibula menembus mukosa rongga mulut tepat diatas lokasi
kalkulus hingga kalkulus. terpapar. Lalu kalkulus dipisahkan perlahan- lahan dari
jaringan sekitar kemudian diangkat. Perdarahan diatasi sebaik mungkin kemudian
dilanjutkan dengan tindakan reseksi kelenjar submandibula dengan insisi horizontal
dari tepi bawah mandibula menembus otot aplatysma hingga lapisan superfisial fasia
servikalis. Tahap akhir jika memerlukan tindakan ligasi terhadap pembuluh darah
arteri dan vena. Sebelum dilakukan diseksi secara tumpul untuk memisahkan
kelenjar submandibula dari jaringan sekitarnya hingga struktur anatomi sekitar
kelenjar submandibula diangkat kemudian di reseksi mulai dari bagian inferior.
- Minimal invasive
- Lithotripsi
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) merupakan terapi
dengan pendekatan non invasif yang cukup efektif pada sialolithiasis. Tujuan
ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil
sehingga tidak mengganggu aliran seliva dan mengurangi simptom.
Diharapkan juga fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.
Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam kelenjar
maupun duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur dari nervus
fasialis. Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan
anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position) seperti
terlihat pada Gb.(a). Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan
kedalaman 20mm sehingga lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi
yang digunakan disesuaikan dengan batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5
– 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts per menit, bisa dikurangi
sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar 1500 + / - 500
impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan (Elvia, 2011).
- Sialendoskopi
Prosedur yang dapat dilakukan dengan sialendoskopi merupakan
complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang
sekunder dan tersier. Teknik sialendoskopi ini memiliki beberapa indikasi,
yaitu:
1) Deteksi sialolith yang samar,
2) Deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs)
dan profilaksis pembentukan batu
3) Pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain
4) Deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
5) Diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelaianan autoimun yang
melibatkan kelenjar saliva,
6) Sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.
4.6. Prognosis
Keberhasilan dari penatalaksanaan sialolithiasis sangat berhubungan dengan
ukuran sialolith kelenjar saliva. 97% sialolith berukuran kurang dari 3 mm dapat
dikeluarkan langsung. Sedangkan sialolith yang berukuran lebih dari 3 mm harus
difragmentasi dahulu.
BAB V
PENUTUP
Sialolithiasis adalah formasi struktur terkalsifikasi yang berkembang di dalam
kelenjar atau duktus saliva. Etiologi sialolithiasis belum diketahui dengan pasti. Teori
yang berkembang mengaitkan etiologi sialolithiasis dengan sialodentitis kronis dan
obstruksi parsial struktur kelenjar saliva. Teori lain menyatakan bahwa sialolithiasis
merupakan manifestasi dari penyakit sistemik. Nyeri dan pembengkakan kelenjar
yang bersifat intermitter merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini
muncul berhubungan dengan selera makan. Rasa nyeri ini berasal dari tersumbatnya
air ludah di belakang pembatuan.
Terdapat 3 metode penatalaksanaan sialolithiasis, yaitu: tanpa pembedahan,
pembedahan, dan minimal invasif. Masing-masing metode memiliki kelemahan dan
kelebihannya masing-masing. Pemilihan metode yang tepat sangat berpengaruh
terhadap prognosis ataupun resiko terjadinya sialolithiasis yang rekuren. Dalam
memilih penatalaksanaan sialolithiasis sangat dipengaruhi oleh ukuran batu yang
terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Debnath, S.C. dan A.K., Adhyapok. 2015. Sialolithiasis of an accessory parotid
gland: an unusual case. Br J Oral Maxillofac Surg.
Elvia, Muhtarum Yusuf. 2011. DIAGNOSIS DAN TERAPI SIALOLITIASIS
KELENJAR LIUR. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
Moghe, S., et al. 2012. Parotid sialolithiasis. BMJ Case Rep.
Samani, M., et al. 2016. Minimally-invasive surgery in the management of
symptomatic parotid stones. Br J Oral Maxillofac Surg.