LAPORAN KASUS Radiologi

download LAPORAN KASUS Radiologi

of 24

description

radiologi

Transcript of LAPORAN KASUS Radiologi

LAPORAN KASUSINFARK CEREBRIDiajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Pendidikan Program Profesi Dokter

Stase Radiologi

Diajukan Oleh:

Nia Sahra Labetubun, S.Ked (J510145033)PEMBIMBING :

dr. Abdul Aziz, Sp.Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUSINFARK CEREBRIDiajukan Oleh:

Nia Sahra Labetubun, S.Ked (J510145033)

Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :dr. Abdul Aziz, Sp.Rad

(.................................)Disahkan Sek. Program Profesi :

dr. Dona Dewi Nirlawati

(.................................)

BAB ISTATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. K.WUsia

: 83 tahun

Alamat

: Sukoharjo

No RM

: 2226xxTanggal Pemeriksaan: 12 Juni 2014Jenis Pemeriksaan

: Head CT Scan polosB. HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Telah dilakukan pemeriksaan X Foto CT scan kepala, irisan axial dengan jarak irisan 5 mm, tanpa kontras, dengan Hasil: Tidak tampak diskontinuitas tulang-tulang kranium Sulkus dan Gyrus berkurang Tampak lesi hypodens pada hampir seluruh hemispherium cerebri kiri Tampak ventrikel lateralis kiri terdesak kearah medial Tidak tampak deviasi linea medianaKesan:

Gambar infark cerebri luas pada hampir seluruh hemispherium cerebri kiriBAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. ANATOMI KEPALA

1. Kulit Kepala

SCALP atau kulit kepala ini terdiri atas 5 lapisan yaitu:a. Skin atau kulit

b. Connective Tissue atau jaringan penyambung

c. Aponeurosis atau galea aponeurotika

d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

e. Pericranium (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010)

Gambar 1. Anatomi kepala

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).2. Tulang KepalaTerdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria dengan lapisan yang tipis pada regio temporal, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii bentuknya tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagian bawah batang otak dan serebelum(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).3. MeningesSelaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

a. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Bagian yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).

b. Selaput arakhnoid

Arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).

c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).

4. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).

5. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).6. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).

7. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2010).B. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala (Japardi, 2004).Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (Japardi, 2004).Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Japardi, 2004).

C. KLASIFIKASI CEDERA KEPALACedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya (Heller, 2014).1. Mekanisme cedera kepalaBerdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedangkan cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.2. Beratnya cederaCedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sebagai berikut:

a. cedera kepala berat jika nilai GCS 36 jam

Amnesia post traumatik > 7 hari

GCS = 3 8

D. MORFOLOGI CIDERA KEPALA

a. Fraktur Basis Cranii

Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak, bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan beresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal (Soertidewi, 2012). .

Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma kacamata (raccoon eyes, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau hematoma retroaurikular (Battle sign). Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek (Soertidewi, 2012).

b. Lesi Intrakranial

1) Hematom Epidural (EDH)

Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam, penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain yaitu nyeri kepala, bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis Babinski positif kontralateral. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung (McDonald, 2013).

.Gambar 2. Perbedaan letak Subdural hematom dengan Epidural hematom

Gambar 3. Gambar EDH pada CT scan2) Hematom Subdural (SDH)

Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural (Wagner, 2013).

Gambar 4. Gambar SDH dari CT scan3) Perdarahan Intracerebral (ICH)Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena (Struchen and Laura, 2009). Kriteria diagnosis hematom serebral: Nyeri kepala akut.

Penurunan kesadaran.

Ataksia

Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.

Kriteria diagnosis hematom pada pons batang otak:

Penurunan kesadaran koma.

Tetraparesis

Respirasi irreguler

Pupil pin point

Pireksia Gerakan mata diskonjugat

Gambar 5. CT Scan Perdarahan Intracerebral4) Edema Cerebri TraumatikCedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema (Soertidewi, 2012).

Gambar 6. Edema Serebri

5) Cedera Otak Difus

Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk (Soertidewi, 2012).

6) Hematoma Subarachnoid (SAH)

Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera kranio-serebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Vasospasme pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid. (Gershon, 2014).

Gambar 7. CT Scan SAH

7) Infark Cerebri

Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT scan terlihat normal pada >50% pasien. Gambaran CT scan yang khas untuk iskemia serebri antara lain pendangkalan sulkus serebri, menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea, misalnya tanda insular ribbon; hipodensitas nukleus lentiformis, hiperdensitas arteri serebri media, dan tanda Sylvian dot. Pada infark akut (6-24 jam), gambaran-gambaran tersebut dapat terlihat makin jelas. Selama periode subakut (1-7 hari), edema meluas dan didapatkan efek massa yang menyebabkan pergeseran jaringan yang mengalami infark ke lateral dan vertikal. Infark kronis ditandai dengan gambaran hipodensitas dan berkurangnya efek massa; densitas daerah infark sama dengan cairan serebrospinal (Haryo et al, 2008).

Gambar 8. CT Scan Infrak Serebri

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Foto polos kepala Indikasi foto polos kepala meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, serta gangguan kesadaran. Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)Indikasi CT Scan meliputi:

1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia/ anti muntah.2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor-faktor ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena shock, febris, dll).4) Adanya lateralisasi

5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/ hemiplegi kanan.

6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

8) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya infark/ iskemia jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injuri.

c. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.e. Serial (Elektroensefalografi) EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologisf. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

g. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

h. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

i. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

j. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial

k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat (Haryo et al, 2008).

F. PENATALAKSANAAN

1. Kondisi kesadaran pasien

a. Kesadaran menurun1) Cedera kepala ringan (GCS=13-15)

Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleks patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan. Pasien cedera kepala ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:

orientasi (waktu dan tempat) baik

tidak ada gejala fokal neurologik

tidak ada muntah atau sakit kepala

tidak ada fraktur tulang kepala

tempat tinggal dalam kota

ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke Rumah Sakit (Soertidewi, 2012). 2) Cedera kepala sedang (GCS=9-12)

Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner. Urutan tindakan:

Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi (Circulation)

Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan

foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya

CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial

Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya (Soertidewi, 2012). 3) Cedera kepala berat (GCS=3-8)

Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksia, hipotensi, dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner (Soertidewi, 2012). b. Kesadaran baik1) Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan yang dilakukan hanya perawatan luka. Pemeriksaan radiologi hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan memberikan edukasi pada keluarga untuk mengobservasi kesadaran penderita. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.

2) Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera kepala ringan (CKR) (Soertidewi, 2012).2. Tindakan

a. Terapi non-operatif Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:

Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial

Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)

Minimalisasi kerusakan sekunder

Mengobati simptom akibat trauma otak

Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (anti konvulsan dan antibiotik) (Soertidewi, 2012). b. Terapi operatif (Japardi, 2004)Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini:

Status neurologis

Status radiologis

Pengukuran tekanan intrakranial

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:

1. Cedera kranioserebral tertutup

Fraktur impresi (depressed fracture) Perdarahan epidural (hematoma epidural / EDH) dengan volume perdarahan lebih dari 30 mL/ 44 mL dan/ atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien Perdarahan subdural (hematoma subdural/ SDH) dengan pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologik atau herniasi pada cedera kranioserebral terbuka

Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, lapisan duramater yang robek disertai laserasi otak Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari Pneumoencephali Corpus alienum Luka tembakSecara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial:

Massa hematoma kira-kira 40 cc

Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang.

Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.

Pasien-pasien yang menurun kesadarannya, kemudian dapat disertai berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.

3. Saat kejadian (Soertidewi, 2012). a. Manajemen prehospital

b. Instalasi Gawat Darurat1) Resusitasi dengan tindakan A=Airway, B=Breathing dan C=Circulationa. Jalan napas (Airway)

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan

b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksia. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksananya meliputi:

Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten

Cari dan atasi faktor penyebab

Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik