Laporan Kasus-RA BSA Pada Pasien Geriatri

60
Laporan Kasus BLOK SUBARAKNOID PADA PASIEN GERIATRI OLEH : Ketut Gede Wiradharma (0402005102) PEMBIMBING: Dr. I Gede Budiarta, Sp.An Dr Tjokorda Gede Agung Senapathi, SpAn

description

RABSA

Transcript of Laporan Kasus-RA BSA Pada Pasien Geriatri

Konsep Penuaan dan Geriatri

Laporan KasusBLOK SUBARAKNOID

PADA PASIEN GERIATRI

OLEH :

Ketut Gede Wiradharma (0402005102)

PEMBIMBING:

Dr. I Gede Budiarta, Sp.AnDr Tjokorda Gede Agung Senapathi, SpAnDALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

FK UNUD RS SANGLAH

APRIL-JUNI 2009

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul Blok Subaraknoid pada Pasien Geriatri ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaikan KKM di Lab/SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD RS Sanglah Denpasar.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan petunjuk-petunjuk, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :1. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.2. dr. Nyoman Gede Sasmara Astawa, Sp.An selaku Koordinator Pendidikan Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.3. dr. I Gede Budiarta, Sp.An, selaku pembimbing atas bimbingan dan petunjuk yang diberikan dalam menyelesaikan tinjauan pustaka ini.4. dr. Tjokorda Gede Agung Senapathi, SpAn, selaku pembimbing atas bimbingan dan petunjuk yang diberikan dalam menyelesaikan tinjauan pustaka ini. 5. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu atas bantuan dan dukungannya dalam pembuatan tinjauan pustaka ini. Penulis menyadari dalam penyusunan tinjauan pustaka ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi isi maupun penulisannya. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan dan pengetahuan penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sehingga kualitas laporan tugas akhir ini dapat ditingkatkan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Mei 2009

PenulisBAB I

PENDAHULUAN

Penuaan adalah fenomena fisiologis progresif ditandai dengan perubahan degeneratif pada struktur dan fungsi organ.1,2 Perubahan yang tidak bersifat umum atau tidak bertambah buruk seiring bertambahnya usia bukan termasuk proses penuaan, melainkan termasuk penyakit yang berkaitan dengan usia. 2 Penting untuk membedakan perubahan fisiologi yang normal terjadi pada proses penuaan dengan patofisiologi penyakit yang umum terjadi pada populasi geriatri.3 Penduduk yang berusia lebih dari 65 tahun di Amerika Serikat, diperkirakan sebesar 12% dari populasi. Namun, dari seluruh operasi yang dilakukan, sekitar sepertiganya ialah pasien geriatri. Proporsi inipun diperkirakan akan meningkat pada beberapa tahun ke depan. 2

Diperkirakan bahwa pada tahun 2040, penduduk yang berusia lebih dari 65 tahun sebesar 24% dari populasi dunia dan menempati proporsi 50% pengeluaran anggaran pelayanan kesehatan. Setengahnya diperkirakan akan membutuhkan tindakan pembedahan sebelum mereka meninggal meskipun risiko kematian perioperatifnya tiga kali lebih besar dibandingkan pasien yang lebih muda. 3 Manajemen anestesi yang optimal dibutuhkan pada pasien geriatri. Hal ini tergantung dari perubahan-perubahan normal yang terjadi pada proses fisiologis, anatomi, dan respon farmakologi yang terjadi selama proses penuaan. Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain seperti penurunan kemampuan untuk meningkatkan denyut jantung sebagai respon terhadap hipovolemia, hipotensi, ataupun hipoksia. Selain itu juga terjadi penurunan compliance paru, penurunan tekanan oksigen arterial, penurunan kemampuan batuk, penurunan fungsi tubulus renal, dan peningkatan kepekaan terhadap hipotermia. 1,2,3,4 Pemilihan teknik anestesi serta obat yang digunakan untuk pasien geriatri membutuhkan ketelitian tentang kondisi fisik pasien serta kemungkinan adanya proses penyakit penyerta yang berkaitan dengan proses penuaan.1 Secara umum, anestesi spinal lebih sering direkomendasikan dan dipilih daripada anestesi umum. Anestesi regional pada pasien geriatri dapat ditoleransi dengan baik, dibandingkan anestesi umum, lebih jarang menimbulkan konfusi dan delirium pasca operasi jika tanpa menggunakan sedasi intravena.3,4 Pada laporan kasus ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan fisiologis dan penyakit-penyakit yang sering menyertai pada pasien geriatri serta aplikasi dari penggunaan anestesia regional dengan teknik blok subaraknoid pada pasien yang membutuhkan penanganan operatif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penuaan dan GeriatriKarakteristik penting dalam kedokteran geriatri ialah gejala-gejala, tanda, dan presentasi fisik dari pasien usia lanjut. Seiring bertambahnya umur, orang dewasa memperlihatkan variasi respon fisik terhadap penyakit yang mencerminkan paparan jangka panjang terhadap kondisi lingkungan dan sosioekonomi serta terhadap akumulasi dari trauma dan terapi medis yang pernah didapat sebelumnya.1 Hingga saat ini, belum ada kesepakatan tentang kapan pasien disebut memasuki masa geriatri ataupun ada tidaknya pertanda fisiologik yang dapat dipakai sebagai identifikasi pasien usia lanjut.1 Namun, dalam hal ini, istilah geriatri dan elderly dianggap sebagai suatu sinonim, yaitu istilah yang digunakan untuk subjek manusia yang dari segi usia berumur 65 tahun atau lebih.1,2,3,4 Pasien lanjut usia inipun dapat dibagi lagi menjadi subdivisi, yaitu subgrup kronologikal dengan menggunakan istilah aged untuk individu yang berusia 80 tahun atau lebih.1 Jangka waktu hidup (life-span) individu ialah parameter biologis yang digunakan untuk menjumlahkan pencapaian maksimum usia individu dalam kondisi yang optimal. Sedangkan, harapan hidup (life-expectancy) ialah umur yang dapat dicapai individu dibawah pengaruh kondisi-kondisi yang terdapat di masyarakat. 1,2 Studi cross-sectional merupakan studi yang sering dipakai untuk mengukur parameter fisiologik secara simultan pada subjek berusia muda dan berusia lanjut. Namun, kelompok pasien muda dan tua yang dibandingkan pada studi ini tidak hanya membedakan usia tetapi juga terminologi karakteristik biokimia, anatomi, dan fisiologik secara keseluruhan. Jadi, data dari studi ini jarang menghasilkan kesimpulan mengenai efek usia terhadap parameter yang diukur. Studi longitudinal tentang penuaan membutuhkan pengukuran berulang tiap subjek individu selama beberapa dekade. Namun, meskipun sulit dan membutuhkan biaya banyak, dari studi ini bisa didapatkan data yang bernilai berkaitan dengan proses penuaan pada manusia.1 Sampai saat ini, mekanisme yang mengontrol proses penuaan belum diketahui secara pasti. Ada yang berpendapat pada setiap spesies, terdapat suatu jam biologis hipotalamus. Pendapat lain mengatakan penurunan fungsi organ berkaitan dengan peningkatan umur ialah akibat akumulasi fenomena degeneratif seperti radikal bebas. Terdapat penurunan kemampuan bioenergi mitokondria sebagai mekanisme yang dapat menimbulkan deteriorasi fungsi organ.1 2.2 Penuaan dan Fungsi Organ

Penuaan adalah fenomena fisiologis progresif ditandai dengan perubahan degeneratif pada struktur dan fungsi organ. Suatu analisis menjelaskan bahwa terdapat perubahan nonlinear pada fungsi organ maksimal, dimana mencapai puncaknya pada dekade keempat yang menggambarkan puncak maturasi somatik dan mengalami penurunan secara progresif pada masa geriatrik. Individu usia lanjut yang dapat memiliki kapasitas fungsional diatas rata-rata disebut muda secara fisiologis, sedangkan jika dibawah rata-rata disebut tua secara fisiologis.1 Pada pasien geriatri yang sehat, fungsi sistem organ maksimum pada semua umur ialah lebih besar daripada kebutuhan dasarnya.1,4 Perbedaan antara kapasitas sistem organ maksimum dan fungsi basal disebut cadangan fungsional sistem organ. Cadangan fungsional sistem organ ini ialah batas aman dari kapasitas organ tertentu. Dianggap bahwa cadangan fungsional ini akan menurun secara progresif pada pasien lanjut usia, sehingga penilaian preoperatif pada pasien usia lanjut membutuhkan ahli anestesi untuk menilai cadangan fungsional sistem organ.1 Penuaan adalah proses yang fisiologis, dimana terjadi suatu perubahan pada struktur dan fungsi dari organ dan jaringan.1 Perubahan yang tidak bersifat umum atau tidak bertambah buruk seiring bertambahnya usia bukan termasuk proses penuaan, melainkan termasuk penyakit yang berkaitan dengan usia. Tabel 2.1 menunjukkan konsekuensi anatomik dan fungsional dari proses penuaan terhadap jaringan tubuh dan sistem organ mayor.2Tabel 2.1. Konsekuensi Anatomik dan Fungsional dari Proses Penuaan Terhadap Jaringan Tubuh dan Sistem Organ Mayor.2Jaringan/sistemPerubahan anatomiPerubahan fungsional

Komposisi tubuh Penurunan massa otot skeletal dan komponen jaringan lainnya

Peningkatan fraksi lipid Pemanjangan efek obat

Penurunan metabolisme dan produksi panas

Penurunan curah jantung istirahat

Sistem saraf Penurunan massa jaringan saraf

Deaferensiasi Penurunan aktivitas neurotransmiter sentral Penurunan plastisitas neural Penurunan kebutuhan anestesi

Gangguan otonom

Sistem kardiovaskular Penurunan elastisitas Penurunan responsifitas -adrenergik Penurunan komplians arteri dan jantung Penurunan denyut jantung dan curah jantung maksimal

Sistem paru Peningkatan kekakuan rongga dada Penurunan recoil paru

Penurunan luas permukaaan alveolar Penurunan kapasitas vital Peningkatan kerja pernapasan

Gangguan efisiensi pertukaran gas

Sistem renal/hepatik Penurunan vaskularisasi dan perfusi Penurunan massa jaringan Penurunan clearance obat Ketidakmampuan mengatur garam dan air

Sistem imun dan hematologi Involusi timus Resorpsi sumsum tulang Penurunan imunitas Penurunan cadangan hematopoietik

Penting untuk membedakan perubahan fisiologi yang normal terjadi pada proses penuaan dengan patofisiologi penyakit yang umum terjadi pada populasi geriatri. Sebagai contoh, aterosklerosis merupakan suatu proses patologi, sedangkan penurunan elastisitas arterial disebabkan oleh fibrosis tunika media ialah bagian dari proses penuaan yang normal. Beberapa perubahan fisiologis dan penyakit yang umum pada geriatri ditunjukkan pada tabel 2.2. 3Tabel 2.2. Perubahan Fisiologis dan Penyakit yang umum pada Geriatri. 3

Perubahan fisiologis normalPatofisiologi umum

Kardiovaskuler

Penurunan elastisitas arteri Peningkatan overload

Peningkatan tekanan darah sistolik

Hipertrofi ventrikel kiri

Penurunan aktivitas adrenergik

Penurunan denyut jantung istirahat

Penurunan denyut jantung maksimal

Penurunan refleks baroreseptorAterosklerosisPenyakit arteri koroner

Hipertensi esensial

Gagal jantung kongestif

Aritmia jantung

Stenosis aorta

Respirasi

Penurunan elastisitas paru Penurunan luas permukaaan alveolar

Peningkatan volume residual

Peningkatan closing capacity

V/Q mismatch

Penurunan tekanan oksigen arterial

Peningkatan rigiditas dinding toraks

Penurunan kekuatan otot

Penurunan batuk

Penurunan kapasitas bernapas maksimal

Respon menurun terhadap hiperkapnia dan bradikardiEmfisemaBronkitis kronik

Pneumonia

Renal

Penurunan aliran darah renal

Penurunan aliran plasma renal

Penurunan laju filtrasi glomerulus

Penurunan massa ginjal

Penurunan fungsi tubular

Kegagalan pengaturan sodium

Penurunan kemampuan konsentrasi

Penurunan kemampuan pengenceran

Kegagalan pengaturan cairan

Penurunan ekskresi obat

Penurunan respon renin-aldosteronNefropati diabetik

Nefropati hipertensif

Obstruksi prostat

Gagal jantung kongestif

2.2.1 Fungsi Kardiovaskular

Penurunan compliance arteri dapat meningkatkan afterload, peningkatan tekanan darah sistolik, dan hipertrofi ventrikel kiri. Dinding ventrikel kiri akan menebal, fibrosis myokardial dan kalsifikasi katup juga umum terjadi. Tekanan darah diastolik tidak terganggu jika tidak diikuti penyakit penyerta. Fungsi baroreseptor juga akan menurun.1,2,3,4 Suatu studi menyebutkan bahwa proses penuaan dapat menimbulkan depresi progresif pada curah jantung. Namun hal ini berbeda dengan studi terbaru yang menyebutkan bahwa fungsi kardiopulmonal pada individu lanjut usia yang sehat dan aktif ialah tergantung dari aktivitas sehari-hari ataupun latihan aerobik. Penurunan resting cardiac index pada lansia sehat bukanlah tanda terjadi perubahan degeneratif kardiovaskuler. Namun itu menandai penyesuaian respon terhadap penurunan kebutuhan perfusi dan metabolisme pada otot skeletal yang mengalami atrofi dan pada massa jaringan organ utama.1

Dibawah kondisi permintaan submaksimal, kontraktilitas dari myokardium tetap tidak terganggu seiring peningkatan umur, sekurang-kurangnya hingga usia 80 tahun. Peningkatan curah jantung jangka pendek pada pasien usia lanjut ialah dengan peningkatan denyut jantung, lalu diikuti dengan peningkatan volume akhir-diastolik pada ventrikel kiri dan peningkatan tekanan yang meningkatkan stroke volume. Namun karena proses penuaan menurunkan respon inotropik dan kronotropik terhadap stimulasi adrenergik dan -agonis, denyut jantung pada lansia menjadi terbatas, sehingga ejection fraction tidak akan sebesar pada dewasa muda. 1,2,3,4 Jantung tidak mengalami atrofi secara signifikan seperti halnya organ mayor lain, seiring dengan peningkatan usia. Baik ukuran jantung maupun jaringan myokardial meningkat pada lansia. Ventrikel kiri akan menjadi lebih tebal dan kurang elastik. Hal ini cenderung menimbulkan relaksasi myokardial akan terlambat pada saat diastol. Disfungsi diastolik ini dapat menimbulkan lansia menjadi tergantung paada kontraksi atrial yang sinkron dari ritme sinus untuk mencapai pengisian ventrikel yang komplit pada akhir diastol. Sehingga, penurunan aliran balik vena sedikit saja dapat mengganggu stroke volume khususnya ketika terjadi disritmia jantung. 1,2,3,42.2.2. Fungsi Respirasi

Dalam keadaan normal, penurunan pada fungsi sistem respirasi ini tidak berhubungan dengan pembatasan yang signifikan dalam aktivitas sehari-hari. Tetapi, penurunan cadangan respirasi mungkin ditutupi oleh penyakit yang diderita, pembedahan, anestesia dan kejadian perioperatif yang lain. Penyakit pernafasan lain dan akibat merokok atau polusi lingkungan sering menyebabkan perburukan dari penurunan fungsi pernafasan pada geriatri.1 Secara umum, penyebab dari penurunan fungsi paru disebabkan karena faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain ialah penurunan diameter bronkiolus, penurunan luas permukaan alveolus, peningkatan jumlah kolagen paru, penurunan jumlah elastin paru, kiposkoliosis, peningkatan kekakuan dinding thorak, dan penurunan kekuatan diafragma. Sedangkan faktor lingkungan, perilaku dan yang berhubungan dengan penyakit ialah polusi lingkungan dan industri, merokok, kondisi umum, dan penyakit penyerta. Konsekuensi fungsional dari faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi sistem respirasi selama proses penuaan ini ialah penurunan rekoil elastis paru, peningkatan komplian paru, penurunan kapasitas difusi oksigen, penutupan jalan nafas prematur yang menyebabkan tidak seimbangnya V/Q dan peningkatan gradien oksigen alveoli-arterial, penutupan jalan nafas kecil dan terjebaknya udara, serta penurunan laju aliran ekspirasi.1,6 Elastisitas dari jaringan paru menurun seiring peningkatan usia, sehingga dapat terjadi overdistensi alveoli dan kolaps dari saluran napas yang kecil. Hal ini dapat menurunkan luas permukaan alveolar, sehingga terjadi penurunan dalam efisiensi pertukaran gas. Kolaps saluran udara akan meningkatkan volume residual dan closing capacity. Volume residual ialah volume dari udara yang tetap di paru pada akhir ekspirasi kuat), sedangkan closing capacity ialah volume udara paru ketika saluran napas kecil mulai untuk menutup. Bahkan, pada yang normal sekalipun, yaitu pada seseorang yang berusia 45 tahun pada posisi terlentang dan 65 tahun pada posisi duduk, closing capacity akan melebihi functional residual capacity (volume udara yang tetap di paru pada akhir ekspirasi normal). Hal ini dapat menimbulkan suatu yang disebut ventilation and perfusion mismatch. Akibatnya, dapat berupa penurunan tekanan oksigen arteri dengan kecepatan rata-rata 0,35 mmHg per tahun. 1,2,3,4,62.2.3. Fungsi RenalPada geriatri, aliran darah renal dan massa ginjal akan menurun. Pada periode pascaoperatif, penurunan aliran darah renal dan penurunan dari massa nefron dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal akut. Perubahan pada ginjal ini terutama dominan pada korteks renal yang digantikan oleh jaringan fibrotik dan lemak. Fungsi ginjal yang ditentukan dari glomerular filtration rate (GFR) dan creatinine clearance akan menurun. GFR rata-rata untuk laki-laki ialah 125 ml/menit, sedangkan untuk wanita ialah 85% dari laki-laki. Nilai menurun kira-kira 1 ml/menit/tahun setelah usia 40 tahun sebagai akibat dari penurunan jumlah nefron dan proses hyalinisasi dari arteriol aferen kortek. 1,2,3,4,6

Kadar kreatinin serum tidak berubah karena juga terjadi penurunan massa otot dan produksi kreatinin, sedangkan blood urea nitrogen (BUN) secara bertahap akan meningkat (0,2 mg/dl per tahun). Gangguan natrium pada geriatri dapat berpengaruh terhadap timbulnya dehidrasi ataupun penumpukan cairan. Respon terhadap hormon antidiuretik dan aldosteron juga menurun. Kemampuan mereabsorbsi glukosa menurun.1 Penurunan fungsi ginjal akan diikuti dengan penurunan kemampuannya untuk mengekskresi obat. Penurunan kemampuan untuk mengatur air dan elektrolit juga berpengaruh terhadap pertimbangan pemberian terapi cairan. Pasien geriatri lebih berisiko untuk mengalami hipokalemia dan hiperkalemia.3 2.2.4. Metabolisme

Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun sesuai dengan usia. Setelah mencapai berat puncak pada usia sekitar 60-an, baik pria maupun wanita akan mengalami penurunan berat badan. Produksi panas akan menurun, kehilangan panas meningkat, dan pusat regulasi temperatur di hipotalamus akan mengatur suhu tubuh pada level yang lebih rendah. Hilangnya masa otot skeletal berkaitan dengan penurunan produksi panas basal yang berhubungan dengan usia. Diperkirakan bahwa produksi panas saat istirahat menurun antara 20% antara usia 30 sampai 70 tahun. 3 Beberapa faktor berpengaruh terhadap terjadinya penurunan respon terhadap stres suhu pada geriatri, baik terhadap stres panas maupun stres dingin. Faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan respon terhadap stres panas antara lain menurunnya produksi kelenjar keringat, menurunnya kemampuan untuk meningkatkan aliran darah kulit, menurunnya kemampuan untuk meningkatkan curah jantung, serta menurunnya redistribusi curah jantung dari sirkulasi sentral ke perifer. Sedangkan Faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan respon terhadap stres dingin antara lain kehilangan massa otot dan menurunnya kemampuan vasokonstriksi.6 Peningkatan resistensi insulin dapat menyebabkan penurunan progresif kemampuan untuk mengontrol glukosa darah. Respon neuroendokrin terhadap stres dapat dipertahankan atau sedikit menurun pada pasien geriatri yang sehat. Penuaan berkaitan dengan penurunan respon terhadap -adrenergik. Pada orang tua level dari norepineprin ini dilaporkan meningkat. 3

2.2.5. Fungsi Gastrointestinal

Pada pasien geriatri, massa hepar akan menurun, disertai dengan penurunan aliran darah ke hepar. Fungsi cadangan hepatik akan menurun sesuai dengan penurunan massa hepar tersebut. Jadi kecepatan biotransformasi dan produksi albumin akan menurun yang akan berpengaruh terhadap ikatan obat. Kadar kolinesterase plasma terutama pada pria juga menurun. Walaupun fungsi enzim hati secara kualitiatif normal pada geriatri, penurunan massa dan aliran darah hepar berpengaruh terhadap penurunan yang signifikan dari metabolisme dari obat-obat yang masuk ke dalam tubuh yang penting artinya pada geriatri. 3 Pada lambung, pH akan cenderung meningkat, sedangkan pengosongan lambung akan menjadi lebih lambat. Baik pengosongan cairan maupun makanan padat sering terlambat jika terdapat penyakit penyerta. Gastroesofageal reflux disease (GERD) lebih sering terjadi pada geriatri. Beberapa faktor predisposisinya antara lain peningkatan prevalensi hernia hiatus, pemendekan segmen intraabdominal dari spingter esofagus bawah, gangguan pembersihan asam yang mengalami refluks, penggunaan obat yang menurunkan tekanan spingter esofagus bawah, dan penurunan tekanan peristaltik esofagus.6

2.2.6. Sistem Saraf Kehilangan neuronal terutama pada korteks cerebri lobus frontalis. Aliran darah cerebri juga menurun sekitar 10-20% dibandingkan dengan kehilangan neuronal. Autoregulasi tetap baik. Neuron mengalami penurunan ukuran dan kehilangan beberapa kompleksitas seperti dendrit dan sinaps. Terjadi juga penurunan beberapa neurotransmiter dan reseptornya, seperti dopamin, serotonergik, adrenergik, dan GABA. Astrosit dan mikroglia, meningkat jumlahnya. 1,2,3,4,6 Degenerasi dari sel saraf perifer dapat menyebabkan kecepatan konduksi menjadi lebih lambat dan atrofi dari otot skeletal.3

Penuaan berkaitan dengan peningkatan nilai ambang modalitas sensorik termasuk rasa raba, suhu, proprioseptif, pendengaran, dan penglihatan. Perubahan persepsi nyeri menjadi lebih kompleks dan sulit dimengerti. Terjadi perubahan mekanisme perifer dan sentral. Kebutuhan dosis untuk anestesi lokal (Cm : minimum anesthetic concentration) dan umum (MAC : minimum alveolar concentration) juga menurun. Pemberian obat secara epidural lebih cenderung menimbulkan penyebaran sefalad pada geriatri, tetapi dengan durasi kerja yang lebih pendek. Sebaliknya pada blok spinal, dimana durasi kerjanya menjadi lebih panjang. 3 Memori jangka pendek merupakan yang paling sering dipengaruhi seiring peningkatan usia. Namun, aktivitas intelektual dan fisik yang dilakukan berkelanjutan dapat memiliki efek positif terhadap pemeliharaan fungsi kognitif. Pasien geriatri seringkali membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat melepaskan efek anestesi umum secara total, terutama jika pada preoperatif pasien telah mengalami kebingungan dan disorientasi. Beberapa pasien mengalami acute confusional state, delirium, atau disfungsi kognitif pascaoperasi. Meskipun etiologinya belum jelas, diperkirakan baik faktor anestesi maupun non-anestesi berpengaruh terhadap terjadinya hal ini. Etiologinya diperkirakan multifaktorial, antara lain efek obat, nyeri, demensia, hipotermia, dan gangguan metabolik. Pasien geriatri lebih cenderung sensitif terhadap agen antikolinergik yang bekerja sentral seperti skopolamin dan atropin. 3 Insiden dari delirium pascaoperasi ialah sama baik pada anestesi umum maupun regional. Namun, pada anestesi regional cenderung lebih ringan tanpa efek sedasi. 2.2.7. Sistem Muskuloskeletal

Pada geriatri, massa otot akan menurun. Secara mikroskopik akan terlihat penebalan dari neuromuscular junction. Terdapat juga beberapa penyebaran extrajunctional dari reseptor asetilkolin. Atropi pada kulit cenderung berisiko menimbulkan trauma dari perekat, electrocauter pad, dan elektrode. Vena cenderung rapuh dan mudah ruptur oleh infus intravena. Penyakit pada spina servikalis dapat membatasi ekstensi leher yang dapat menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi. Sendi artritik dapat mengganggu posisi (litotomi) ataupun anestesi regional (seperti blok subaraknoid). 32.2.8. Perubahan Farmakologi Berkaitan dengan Usia

Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik terhadap obat. Perubahan ini bervariasi pada setiap individu, sehingga generalisasinya menjadi tidak konsisten. 3 Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak dalam tubuh, terutama pada wanita, dapat menurunkan total air dalam tubuh. Penurunan volume distribusi obat-obatan yang larut dalam air dapat menyebabkan konsentrasi obat menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, peningkatan distribusi obat-obatan yang larut dalam lemak dapat menurunkan konsentrasi obat dalam plasma. Semuanya ini dapat berpengaruh terhadap waktu paruh eliminasi obat. Penurunan fungsi hepar dan ginjal juga menurun seiring meningkatnya usia, sehingga juga dapat menurunkan clearance obat. 2,3,4 Distribusi dan eliminasi obat juga dipengaruhi oleh perubahan kemampuan ikatan protein plasma. Albumin cenderung mengikat obat-obatan yang bersifat asam seperti barbiturat, benzodiazepin, dan agonis opioid. Seiring meningkatnya usia, konsentrasi albumin akan menurun. 1-acid glycoprotein yang mampu megikat obat dasar seperti anestesi lokal juga meningkat. Obat-obatan yang berikatan dengan protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor organ dan tidak dapat dimetabolisme dan diekskresi. 2,3,4 Perubahan farmakodinamik berkaitan dengan peningkatan usia ialah penurunan kebutuhan anestesi. Titrasi yang tepat dari agen anestesi yang digunakan dapat membantu mencegah efek samping dan durasi yang memanjang dari obat. 2,3,4 2.3. Kebutuhan Analgesik dan Anestesi

Perubahan kebutuhan agen anestesi sebagai akibat dari penuaan sistem saraf merupakan suatu hal yang kompleks. Kebutuhan anestesi secara tipikal dapat dihitung berdasarkan konsentrasi alveolar minimum atau minimum alveolar concentration (MAC) jika menggunakan agen inhalasi atau dengan dosis efektif median atau median effective dose (ED50) jika diberikan secara intravena. Seiring peningkatan usia, MAC ataupun ED50 ini menurun secara progresif. Penurunan ini terjadi untuk semua agen anestesi termasuk untuk agen inhalasi terbaru desfluran dan sevofluran.1 Meskipun mekanisme peningkatan sensitivitas terhadap anestesi ini belum diketahui secara pasti, namun hal ini diduga terkait dengan proses fisiologik, bukan sebagai proses farmakologik. Terdapat fakta bahwa laju perubahan kebutuhan anestesi berbanding lurus dengan penurunan densitas neuronal di dalam korteks, penurunan laju metabolik serebral absolut dan aliran darah serebral, dan penurunan aktivitas neurotransmiter otak.1

2.4. Manajemen Anestesi

Pasien geriatri yang menderita penyakit penyerta tertentu cenderung mengalami komplikasi perioperatif dibandingkan pasien geriatri yang sehat. Didapatkan data bahwa untuk segala jenis operasi pembedahan, angka morbiditas dan mortalitas perioperatif pada paseien geriatri yang sehat tidak secara signifikan lebih tinggi daripada dewasa muda. Tanpa memandang umur pasien, keberhasilan suatu anestesi membutuhkan rencana anestesi yang kompatibel dengan status fisik dan jenis pembedahan pasien, pemantauan pasien secara konsisten, perhatian terhadap pasien secara detail. Untuk pasien geriatri, tidak dibutuhkan prinsip utama tambahan pada anestesi perioperatif. Selain itu, juga tidak ada agen atau teknik anestesi terbaik yang dapat digunakan untuk pasien geriatri. 1 Begitu pula dengan penggunaan anestesi regional. Tidak ada kelebihan yang ditunjukkan dari penggunaan anestesi regional dibandingkan penggunaan anestesi umum. Komplikasi neurologik perifer dan sekuelnya seperti neuropraksia lebih umum terjadi pada dewasa tua dibanding dewasa muda. Namun, dengan penggunaan anestesi spinal tanpa sedasi didapatkan fungsi gangguan mental pasca-operasi lebih jarang terganggu dibandingkan dengan penggunaan anestesi umum. Kemungkinan dengan penggunaan infiltrasi lokal murni tanpa penggunaan sedasi intravena, didapatkan hasil bebas dari suatu morbiditas. 1,3,4 Pemilihan teknik anestesi serta obat yang digunakan untuk pasien geriatri membutuhkan ketelitian tentang kondisi fisik pasien serta kemungkinan adanya proses penyakit penyerta yang berkaitan dengan proses penuaan. Sebagai contoh, simpatektomi farmakologik akut yang berkaitan dengan level torak yang tinggi pada penggunaan anestesi spinal, kurang dapat ditoleransi pada pasien dengan hipertensi, penurunan volume darah sirkulasi, serta pada pasien yang mendapatkan diuretik. Cadangan sistem organ yang masih tersisa cukup mampu untuk menyesuaikan terhadap stres yang ringan dan sedang. Namun untuk pemberian anestesi yang membuat beban sistem organ tersebut menjadi berat, sementara di sisi lain juga mengganggu fungsi otonom, manajemennya menjadi lebih sulit dan bahkan dapat mengancam jiwa pasien.1 Rencana anestesi pada pasien geriatri sebaiknya berdasarkan efek peningkatan usia terhadap kebutuhan anestesi. Sensitifitas korteks serebral terhadap fentanil, alfentanil, dan midazolam meningkat seiring meningkatnya usia. Pada beberapa obat seperti etomidate, barbiturat, propofol, narkotik, atau benzodiazepin, dosisnya sebaiknya diturunkan sebesar 20-40%.1 Kebutuhan dosis segmental pada anestesi epidural berubah berkaitan dengan usia, mencerminkan bahwa terjadi peningkatan resistensi terhadap injeksi dan penurunan keseluruhan ruang epidural. Kebutuhan dosis tidak secara signifikan berubah pada injeksi volume kecil solusi anestesi lokal, sedangkan pada injeksi volume yang lebih besar dapat diikuti penyebaran sefalad yang berlebih dari obat. Selain itu, setelah injeksi subaraknoid anestesi lokal atau narkotik, onset obat mencapai level sensori maksimum akan lebih cepat dan efek analgesia akan mengalami sedikit pemanjangan.1 Kebutuhan akan obat-obatan pelumpuh otot non-depolarisasi pada pasien geriatri ialah sama dengan pasien yang berusia lebih muda dalam mencapai efek paralisis, meskipun secara umum durasi kerja obat tersebut lebih lama akibat penurunan laju clearance obat dari plasma ataupun ekstraseluler. Pada pasien geriatri yang juga menderita penyakit kardiovaskular, insiden dari aritmia jantung cenderung meningkat.1 2.5. Analgesia Blok Subaraknoid 2.5.1. Definisi Blok SubaraknoidBlok subaraknoid ialah blok regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid melalui tindakan pungsi lumbal. Blok subaraknoi disebut juga sebagai blok spinal dan dengan blok epidural dan kaudal disebut dengan anestesi neuraksial. Teknik ini akan menghasilkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motorik (tergantung pada dosis, konsentrasi, dan atau volume anestetik lokal). 72.5.2. Anatomi 7 Keberhasilan dalam anestesi spinal memerlukan pengertian yang baik tentang anatomi tulang belakang dan medula spinalis. 2.5.2.1. Kanalis Spinalis

Kanalis spinalis dibatasi dari foramen magnum sampai ke hiatus sakralis. Batas-batas dari kanalis vertebralis ialah korpus vertebra di anterior, pedikel di lateral, serta prosesus spinosus dan lamina di posterior (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Anatomi Vertebral 72.5.2.2. Ligamen Interlaminer

Tiga ligamen interlaminer menghubungkan prosesus vertebralis yaitu ligamen supraspinosus pada superfisial (menghubungkan apeks prosesus spinosus), ligamen interspinosus (menghubungkan prosesus spinosus pada permukaan horizontalnya), dan ligamentum flavum (menghubungkan tepi kaudal vertebra dengan tepi sefalad lamina dibawahnya. Ligamentum flavum mengandung serabut elastik dan biasanya dikenali dari adanya tahanan saat memasukkan jarum.2.5.2.3. Medula Spinalis

Medula spinalis memiliki panjang yang sama dengan kanalis vertebralis selama kehidupan fetal, dan berujung pada L3 lahir, dan mencapai L1 pada usia 2 tahun hingga dewasa. Konus medularis, radiks saraf lumbalis, sakralis, dan koksigeus berjalan ke arah distal membentuk kauda ekuina. Pada area ini, di bawah dari L2, jarum spinal dimasukkan, karena risiko trauma saraf oleh jarum spinal lebih kecil terjadi.

2.5.2.4. Meningens

Medula spinalis dilapisi oleh 3 selaput yaitu dura mater (lapisan fibrous yang berjalan longitudinal melapisi seluruh medula spinalis dan berakhir pada kaudal setinggi S2), araknoid, dan pia mater.

Ruang subaraknoid terdapat antara pia mater dan araknoid dan terdapat sepanjang perlekatan pada dura setinggi S2 sampai pada ventrikel serebralis. Pada ruang ini terdapat medula spinalis, saraf, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah yang mensuplai medula spinalis. Cairan serebrospinalis ialah cairan yang tidak berwarna yang mengisi ruang subaraknois. Volume totalnya ialah 100-150 ml, sedangkan volume pada ruang subaraknoid spinal ialah 25-35 ml. Cairan ini diproduksi secara kontinu 450 ml/hari oleh sekresi dan ultrafiltrasi plasma pada pleksus arterial koroideus pada ventrikel lateralis, tertius, dan kuartus. Cairan ini direabsorpsi kembali ke suirkulasi melalui vili araknoideus.

2.5.3. Langkah-Langkah Analgesia Regional Blok Spinal 72.5.3.1. Persiapan

Pada dasarnya, persiapan untuk analgesia spinal seperti pada persiapan untuk anestesia umum. Daerah di sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang belakang atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu, perlu diperhatikan hal-hal seperti informed consent (izin dari pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang laboratorium.

Semua pasien yang akan dilakukan teknik anestesi spinal, sebelumnya harus telah terpasang akses intravena dan juga harus terdapat peralatan monitor untuk mengukur tekanan darah, nadi, oksimetri denyut, dan EKG. Disamping itu harus tersedia pula peralatan untuk manajemen jalan nafas. Tekanan darah dan nadi harus diukur sebelum melakukan anestesi. Selain itu harus dipersiapkan pula obat dan jarum yang akan digunakan. Pemilihan obat yang akan digunakan tidak hanya harus disesuaikan dengan prosedur pembedahan tetapi juga harus memperhatikan kondisi pasien. Sedangkan mengenai jarum yang digunakan, terdapat dua kategori yaitu: jarum spinal dengan ujung tajam dan ujung tumpul (gambar 2.2) dengan ukuran antara 16-30 gauge.

Gambar 2.2. Jenis-jenis Jarum Spinal. 7

Jarum Quincke memiliki ujung yang tajam dengan lubang injeksi ada di ujung. Penggunaan jarum dengan ujung tumpul (pencil-point) dan ukuran yang kecil mengurangi insiden terjadinya postdural puncture headache. Jarum Whitacre dan jarum pencil-point lainnya memiliki ujung yang bulat dan lubang injeksi di sisi samping. Jarum Sprotte memiliki lubang injeksi yang memanjang di sisi samping.

2.5.3.2. Posisi pasien

Ada tiga posisi utama yang sering dilakukan dalam menyuntikan obat anestetik lokal pada anestesi spinal, yaitu lateral dekubitus, duduk, dan pronasi/telungkup.

Sebagian besar ahli anestesi memilih posisi lateral dekubitus untuk anestesi spinal. Pasien tidur miring pada salah satu sisi di atas meja operasi dengan membelakangi ahli anestesi. Lutut dan pinggul difleksikan secara maksimal, sedangkan dada dan leher difleksikan mendekat ke arah lutut (gambar 2.3). Kemudian dibuat garis khayal antar krista iliaka yang biasanya akan memotong columna certebralis setinggi L4-5 atau prosesus spinosus L4.

Gambar 2.3 Posisi Lateral Dekubitus.8 Posisi duduk lebih jarang digunakan dibandingkan dengan posisi lateral dekubitus. Dengan posisi duduk, garis tengah anatomis lebih mudah ditemukan. Posisi ini berguna untuk blok spinal bawah yang diperlukan untuk berbagai tindakan ginekologi dan urologi. Hal ini juga sangat berguna pada pasien yang gemuk. Pasien duduk dengan posisi siku istirahat pada paha atau meja pada tempat tidur atau dengan memeluk bantal. Fleksi tulang belakang akan membuat prosesus spinosus lebih dekat dengan permukaan kulit.

Posisi pronasi/telungkup terutama digunakan untuk prosedur anorektal yang menggunakan larutan anestetik hipobarik. Pasien diposisikan dalam posisi jackknife dan selanjutnya dilakukan lumbal punksi., dan setelah itu posisi pasien tidak perlu diubah lagi.2.5.3.3. Prosedur Prosedur yang dilakukan dalam blok subaraknoid ini antara lain:

1. Identifikasi pertama yang dilakukan adalah mencari tanda (landmark) anatomis pada level blok yang diinginkan, yaitu biasanya celah antara L2-3, L3-4, prosesus spinosus L4 atau celah antara L4-5 yang menyilang garis yang menghubungkan tepi atas krista iliaka.

2. Kemudian dilakukan desinfeksi lapangan operasi dengan povidone-iodine atau larutan yang mempunyai fungsi yang sama. 3. Setelah itu, larutan antiseptik yang ada pada lokasi suntikan dibersihkan dengan gaas steril untuk menghindari masuknya larutan tersebut ke dalam ruang subarakhnoid, yang dapat menyebabkan terjadinya meningitis kimiawi.4. Infiltrasi dengan lidokain 1%.

5. Pendekatan Pendekatan median

Pendekatan median paling populer dan paling sering dilakukan. Jika menggunakan jarum penuntun, jarum disuntikkan secara hati-hati sampai ligamentum interspinosum. Jarum diposisikan pada bidang yang sama dengan prosesus spinosus dan dibuat sudut ke arah sefalad menuju ruang interlaminar (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Pendekatan median. Pendekatan Paramedian

Pendekatan ini dipilih jika blok subarakhnoid mengalami kesulitan oleh karena pasien tidak mudah untuk diposisikan, misalnya pada artritis berat, kifoskoliosis, atau pada lumbar spine surgery. Lokasi penyuntikan terletak 1,5 cm di sebelah lateral dan sedikit ke arah kaudal (1 cm) bagian inferior prosesus spinosus pada level yang diinginkan. Penyuntikan dilakukan dengan sudut 10-25o dari garis tengah yang diarahkan ke titik seperti pada pendekatan garis tengah. Identifikasi ligamentum flavum dan masuknya ujung jarum ke ruang epidural dengan dirasakan hilangnya tahanan lebih sulit dilakukan dibandingkan pendekatan garis tengah karena pada pendekatan paramedian ini jarum tidak melewati ligamentum interspinosum.

6. Penempatan jarum

Ketika memasukkan jarum, selalu menjaga stilet pada tempatnya. Jika terjadi parestesia terjadi saat memasukkan jarum, segera tarik jarum dan jarum dimasukkan lagi setelah parestesia tidak dirasakan lagi. Masukkan jarum sampai terasa tahanan yang merupakan tanda jarum melewati ligamentum flavum. Saat jarum masuk lebih dalam lagi, kehilangan tahanan saat jarum telah melewati dura.7. Tarik stilet dan pastikan jarum telah masuk ruang subaraknoid dengan melihat adanya

aliran bebas cairan serebrospinal pada jarum.

8. Pemberian anestesi

Injeksi obat secara pelan setelah aspirasi cairan serebrospinal sebelumnya. Ulangi aspirasi pada akhir injeksi untuk memastikan ujung jarum tetap berada pada ruang subaraknoid. Tarik jarum dan posisikan pada posisi yang dikehendaki.2.5.4. Faktor yang Menentukan Level Blok Subaraknoid 7Terdapat beberapa faktor yang menentukan level blok subaraknoid, yaitu:1. Dosis obatLevel anestesi bervariasi tergantung secara langsung dari dosis obat yang digunakan.2. Volume obatVolume yang lebih besar diberikan akan menyebabkan obat menyebar lebih banyak dalam cairan serebrospinal (terutama pada solusi hiperbarik).3. Turbulensi cairan serebrospinalTurbulensi yang dihasilkan cairan serebrospinal akan dapat menyebabkan obat menyebar lebih banyak dan mencapai level yang lebih tinggi. Turbulensi ini dapat ditimbulkan dari injeksi cepat, aspirasi dan reinjeksi cairan serebrospinal berulang kali, batuk, dan pergerakan pasien berlebih. 4. Barisitas solusi anestetik lokal Solusi hiperbarik

Ialah solusi yang mencampurkan obat dengan dekstrose. Alirannya tergantung gravitasi ke semua bagian ruang subaraknoid. Solusi hipobarik

Ialah campuran obat dengan air steril. Solusi ini mengalir secara lambat ke bagian tertinggi kolumna cairan serebropinalis.

Solusi isobarik

Solusi ini memiliki keuntungan penyebaran yang dapat diprediksi, tidak tergantung posisi pasien. Peningkatan dosis lebih memiliki efek terhadap durasi anestesi dibandingkan penyebaran dermatom.5. Peningkatan tekanan intraabdominalPeningkatan dari tekanan intraabdominal seperti pada kehamilan, obesitas, ascites, dan tumor abdominal dapat menyebabkan tekanan vena cava inferior meningkat. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan volume darah pleksus venosus epidural bersamaan dengan penurunan volume cairan serebrospinalis dalam kolumna vertebralis, yang dapat menyebabkan penyebaran obat yang meningkat. 6. Kurvatura spinalLordosis lumbalis dan kifosis torakal dapat mempengaruhi penyebaran solusi hiperbarik. Obat yang diinjeksi di atas level L3 ketika posisi pasien miring akan menyebar ke arah sefalad dan dibatasi oleh kurvatura torakal pada level T4.

2.5.5. Efek Fisiologis dari Analgesia Regional Blok Subaraknoid 7Efek fisiologis dari penggunaan blok subaraknoid antara lain sebagai berikut.

1. Blokade Neural

Serabut saraf C yang lebih kecil, yang membaa impuls otonom, akan diblok dengan lebih mudah daripada serabut motorik dan sensorik yang lebih besar. Sebagai akibatnya, level blokade otonom dapat meluas di atas level blokade sensori setinggi 2-3 segmen. Istilah ini disebut dengan blokade diferensial. Serabut sensori juga lebih mudah diblok daripada serabut motorik yang besar sehingga blokade sensori akan lebih tinggi daripada blokade motorik.

2. Kardiovaskular

Hipotensi yang terjadi secara proporsional tergantung pada derajat blokade simpatis. Blokade simpatis menyebabkan terjadinya dilatasi arteri dan vena, sehingga terjadi penurunan resistensi vaskular sistemik. Sebagai akibatnya terjadi penurunan aliran darah vena. Jika blok terjadi dibawah T4, peningkatan aktivitas baroreseptor akan menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis jantung dan vasokonstriksi ekstremitas atas. Sedangkan blok di atas T4 akan menghambat serabut simpatis jantung, terjadi bradikardi, penurunan curah jantung, dan penurunan tekanan darah.

3. Respirasi

Anestesi spinal pada segmen yang rendah tidak memiliki efek terhadap ventilasi, sedangkan jika blok dilakukan hingga area torak, akan terjadi paralisis otot interkostal.

4. Efek Visceral

Blokade sakral (S2-4) dapat mengakibatkan atonia vesika urinaria. Sedangkan blokade dari eferen simpatis (T5-L1) akan mengakibatkan peningkatan tonus sfingter yang dapat menimbulkan retensio urin. Kateter urin sebaiknya dipasang jika analgesia diperkirakan digunakan dalam waktu yang lama.

Blok simpatis (T5-L1) juga dapat mengakibatkan suatu efek peningkatan motilitas terhadap saluran pencernaan karena dominasi dari tonus parasimfatis.

5. Aliran Darah Renal

Aliran darah urin biasanya tidak terpengaruh oleh karena adanya otoregulasi oleh faktor jaringan lokal, kecuali jika terjadi hipotensi berat. Produksi urin juga tidak terpengaruh.

6. Neuroendokrin

Blok peridural hingga T5 dapat menghambat komponen saraf yang berperan dalam respon stres, melalui blokade aferen simpatis ke medula adrenal dan blokade simpatis dan somatik yang memediasi nyeri. Aferen vagal yang berasal dari viscera abdomen bagian atas tidak diblok dan dapat merangsang hormon hipotalamus dan pituitari seperti ADH dan ACTH.

7. Termoregulasi

Hipotermi dapat terjadi akibat vasodilatasi dari ekstremitas bawah.2.5.6. Indikasi dan Kontraindikasi Analgesia Regional Blok Subaraknoid 7,9Adapun indikasi dari analgesia regional blok subaraknoid, diantaranya:

1. Bedah ekstremitas bawah, panggul, tindakan sekitar rektum, abdomen bawah bedah obstetri dan ginekologi, dan bedah urologi.

2. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri, yang biasanya dikombinasi dengan anestesia umum ringan.Sedangkan, kontraindikasinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Kontraindikasi absolut.

a. Pasien menolak.

b. Infeksi pada tempat suntikan.

c. Hipovolemia berat, syok.

d. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan.

e. Peningkatan tekanan intrakranial.

f. Aorta atau mitral stenosis yang berat.

g. Fasilitas resusitasi minim.

h. Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesi.

2. Kontraindikasi relatif.

a. Infeksi sistemik (sepsis, bakteriemi).

b. Infeksi di sekitar tempat suntikan.

c. Kelainan neurologis.

d. Kelainan psikis.

e. Bedah lama.

f. Penyakit jantung.

g. Hipovolemia ringan.

h. Nyeri punggung kronis.

i. Deformitas spinal yang berat.

2.5.7. Komplikasi Analgesia Regional Blok Spinal 7Adapun komplikasi yang dapat timbul pada analgesia regional blok spinal, diantaranya:

1. Hipotensi, merupakan komplikasi yang sering dari spinal anestesia dan lebih sering pada pasien yang hipovolemik. Pemberian cairan RL intravena 500 1000 ml sebelum melakukan blok akan mengurangi insiden hipotensi. Pemberian cairan ini harus hati-hati pada pasien dengan penurunan fungsi jantung. Oksigen harus tersedia. Ephedrine (5-10 mg IV bolus) atau infus phenylephrine mungkin diperlukan.

2. Bradikardi dapat diakibatkan karena blok serat simpatis jantung dan dapat diatasi dengan atropine IV 0,4-0,8 mg, atau jika berat dan disertai dengan hipotensi dapat diberikan efedrin atau epinefrin.

3. Parestesia. Selama penempatan jarum spinal atau injeksi anestesia, dapat terjadi trauma langsung terhadap saraf spinal atau injeksi intraneural

4. Perdarahan. Tertusuknya vena epidural saat insersi jarum dapat karena darah atau campuran darah dan CSS. Jika cairan tersebut tidak kembali jernih dengan cepat, maka jarum spinal harus dicabut dan diinsersi ulang.

5. Dyspnea sering pada level tinggi spinal anestesia

6. Apnea, dapat disebabkan oleh penurunan aliran darah meduler akibat hipotensi berat atau blokade langsung C3-5 (total spinal) yang menghambat nervus phrenikus. 7. Mual muntah biasanya akibat hipotensi atau dominansi stimulasi vagal..

8. Postdural puncture headache, memburuk jika pasien duduk tegak lurus dan membaik jika pasien berbaring. Dengan meningkatnya severitas dari komplikasi ini, nyeri dapat bersifat sirkumferensial dan dapat disertai dengan tinitus, pandangan yang kabur, dan diplopia. Komplikasi ini biasanya terjadi setelah 24-48 jam setelah operasi.9. Nyeri punggung. Nyeri lokal pada lokasi insersi sering terjadi dan biasanya akan hilang sendiri. Penyebabnya diperkirakan karena mendatarnya lordosis normal lumbar karena relaksasi otot yang mengakibatkan stretching kapsul sendi, ligamen dan otot. Penanganan dengan analgetika.

10. Retensi urin. Retensi akan terjadi selama terdapat blokade sensorik dan motorik.

11. Gangguan neurologis setelah anestesia spinal jarang terjadi. Hal ini biasanya disebabkan lagsung oleh trauma jarum spinal, toxic karena masuknya bahan kimia, virus atau bakteri, atau iskemik karena gangguan vaskular akibat kompresi hematom ekstradural.

12. Infeksi, misalnya meningitis, arakhnoiditid, dan epidural abses. Akan tetapi komplikasi ini jarang terjadi.

2.5.7. Analgesia Blok Subaraknoid pada Pasien GeriatriSecara umum, anestesi spinal lebih sering direkomendasikan dan dipilih daripada anestesi umum. Anestesi regional pada pasien geriatri dapat ditoleransi dengan baik, dibandingkan anestesi umum, lebih jarang menimbulkan konfusi dan delirium pasca operasi jika tanpa menggunakan sedasi intravena. Namun, terkadang beberapa operasi membutuhkan sedasi selama prosedur anestesi, baik untuk kenyamanan pasien maupun untuk memfasilitasi operasi. 3,4 Keuntungan hemodinamik dari anestesi spinal dibandingkan anestesi umum ini ialah seperti penurunan yang minimal dari kontraktilitas myokardial dan hanya sedikit penurunan dari tekanan darah dan curah jantung. Karakteristik ini dapat bermanfaat untuk pasien geriatri yang berisiko tinggi, termasuk dengan penyakit jantung. Perubahan fisiologi kardiovaskular yang terjadi berkaitan dengan penuaan dan penyakit dapat menurunkan cadangan kardiovaskular dan berisiko untuk menimbulkan suatu instabilitas hemodinamik. Satu penelitian menunjukkan bahwa pada subjek berusia muda, anestesi spinal (setinggi T4) menyebabkan penurunan resistensi vaskular sebesar 10-15%, sedangkan pada pasien geriatri sebesar 21%, dimana 69 % membutuhkan terapi untuk hipotensi. Pada studi retrospektif, pasien geriatri lebih cenderung lebih rentan untuk timbul hipotensi selama penggunaan anestesi spinal. 10 Komplikasi paling umum yang terjadi pada teknik anestesi spinal ini ialah hipotensi, terutama pada pasien geriatri. Hipotensi selama pemberian analgesia spinal terjadi oleh karena blokade sistem saraf simpatik, yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik dan curah jantung. Semua pasien dengan analgesia spinal sebaiknya diberikan cairan intravena sebelum dan selama anestesi spinal untuk mencegah hipotensi. Namun, pada pasien geriatri, cairan preloading yang diberikan terkadang tidak efektif. Pemberian cairan ini tidak mencegah penurunan resistensi vaskuler sistemik. Bahkan, pemberian cairan ini dapat menyebabkan overload cairan, rebound hypertension, dan takikardia.7,11 Penurunan afterload dapat terjadi akibat dari hipotensi yang profunda pada pasien dengan stenosis aorta. Pasien dengan penyakit arteri koroner juga dapat mengalami peningkatan oksigen myokardial sebagai akibat takikardia refleks atau penurunan suplai akibat penurunan perfusi arteri koroner.10 Keuntungan utama dari anestesi regional ialah penurunan insiden tromboembolisme pascaoperatif. Hal ini diduga terjadi akibat vasodilatasi perifer dan pengaturan aliran darah pada ekstremitas bawah. Selain itu, anestesi lokal menghambat agregasi platelet dan menstabilisasi sel endotelial.

Menurut beberapa ahli anestesi, anestesi regional juga dapat mengatur fungsi respirasi lebih baik dibandingkan anestesi umum. Jika level anestesi tidak melibatkan otot interkostal, ventilasi dan refleks batuk akan tetap dapat dijaga dengan baik. BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Evaluasi Pra Anestesi

3.1.1. Identitas Pasien

Nama

: SEB

Umur

: 67 tahun

Jenis kelamin: laki-laki

Pekerjaan: petani

Agama : Hindu

Suku

: Bali

Kebangsaan : Indonesia

Status

: sudah menikah

Alamat : Br. Jungut Batu, Nusa Lembongan, Klungkung

Tgl operasi: 6 Mei 2009

Diagnosis: Retensio urin ec. BPH grade II

Tindakan: Transurethral resection of prostate (TURP)3.1.2. Pemeriksaan3.1.2.1. Anamnesa

Anamnesa Umum:

Os mengeluh tidak bisa kencing sejak 1 hari SMRS. Sebelumnya, Os sempat BAK sedikit-sedikit sejak 1 minggu terakhir. Sekitar 1 tahun yang lalu, Os sempat BAK berwarna kemerahan, tidak disertai riwayat kencing batu. Os MRS tanggal 25 April 2009.

Anamnesa Khusus:

Riwayat penyakit sistemik:

hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, namun tidak terkontrol. Diabetes mellitus, penyakit jantung, dan asma tidak pernah.

Riwayat operasi sebelumnya: tidak ada

Riwayat pemakaian obat

: tidak ada

Riwayat alergi obat

: tidak ada

3.1.2.2 Pemeriksaan fisik

Status present:

- Kesadaran

: Compos mentis (GCS E4 V5 M6)

- Tekanan darah: 150/90 mmHg

- Nadi

: 72 x/menit

- Temperatur

: 36,5oC

- Respirasi

: 16x/menit

- Berat badan: 50 kg

- Tinggi badan: 160 cm

Pemeriksaan fisik umum:

B1 (Brain)

: compos mentis (GCS E4V5M6).

B2 (Breath)

: Ves +/+, Rh -/-, Wh-/-

B3 (Blood)

: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-).

B4 (Bowel)

: distensi (-), BU (+) N.

B5 (Bladder)

: terpasang kateter Douer, produksi urin 200 cc/3

jam, warna kuning, jernih, terakhir buang urin Pk. 11.30 (5 Mei 2009) jumlah 500 cc. B6 (Bone)

: Mallampati I, f/d leher dalam batas normal, gigi

geligi utuh.Pemeriksaan fisik khusus:

Keadaan tulang belakang: normal.

Keadaan kulit

: normal.

3.1.2.3 Pemeriksaan Penunjang

Haematologi rutin (menurut hasil lab 2/5/2009):

WBC 7,86/L / RBC 5,64/L / HGB 12,1 g/dl / HCT 36,6 % / PLT 241.000/L.

Fungsi homeostasis (27/4/2009) :

BT : 2 00 / CT : 8 00.

Kimia darah (2/5/2009):

BUN 8,5/ kreatinin 1,05/ ureum 18,2/ Na 134,7 / K 3,94.

Ekokardiografi:

HHD/LVH (+), kontraktilitas LV baik, EF 77%, normokinetik, katup normal, terdapat gangguan diastolik.

Elektrokardiografi:

RBBB komplit.

Foto toraks PA:

Kardiomegali, CTR 68%, infiltrasi (-), pulmonal dalam batas normal.

BOF:

Tulang-tulang baik, tidak ditemukan gambaran metastase.

~ Bagian Penyakit Dalam: Kardiomegali, HHD/FC I, hipertensi stadium II

Terapi saat ini lisinopril 1x10 mg, HCT 1xI, antacid sirup.

3.1.3 Kesimpulan Pasien Status fisik ASA III.

3.2 Persiapan Pra Anestesi

3.2.1 Persiapan di ruangan

a. Informed consent dan surat perjanjian operasi yang telah ditandatangani oleh pasien dan keluarga / yang mewakili pasien.

b. Persiapan psikis, penjelasan mengenai rencana anestesi dan pembedahan yang akan direncanakan serta efek sampingnya kepada pasien dan keluarga.

c. Persiapan fisik, melepaskan pakaian pasien, asessoris yang dipakai, membuat pasien tenang dan merasa nyaman.

d.Medikasi prabedah : diazepam 5 mg dan clonidine oral 150 mg pada pukul 07.00 WITA (6 Mei 2009). 3.2.2 Persiapan di ruang persiapan pasien

a. Memeriksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan operasi.b. Terpasang infus di tangan kanan dengan RL 500 cc.3.2.3 Persiapan di kamar operasi

a. Persiapan obat anestesia : bupivakain (0,5% hiperbarik 12,5 mg).

b. Persiapan alat dan obat resusitasi.

c. Persiapan alat pantau monitor untuk EKG, RR, tekanan darah, nadi, dan kartu anestesia

d. Persiapan instrument :

Alat anestesi : spinal needle G27

Infus set darah / abocath 18

Wing needle

e. Cairan infus :

Ringer Laktat

Haes steril

f. Obat-obat lain :

Metamizole.

3.2.4 Pengelolaan anestesi

A. Jenis anestesia : analgesia regional.

B. Teknik anestesia : blok spinal (subaraknoid).

1. Premedikasi :

a. Sedatif : midazolam 1 mg iv.

b. Analgesik : Pethidine 50 mg im.

c. Antiemetik: Ondansetron 4 mg iv.

Pukul 10.25 wita.

Efek : sedatif, analgesik, dan antiemetik.

2. Induksi :

Bupivakain (0,5%) hiperbarik 12,5 mg pada L3-L4

Pukul : 10.30 wita.

3. Maintenance: Oksigen 2 liter/menit.

4. Medikasi: - Metamizole 2 gr iv. - Pethidine 150 mg: metamizole 2 gr dalam D5% 500 cc 20 tetes mikro/menit.

-Ondansetron 4 mg

C. Respirasi: spontan.

D. Posisi: litotomi.

E. Infus : 0. RL

500 cc.

I. RL 1

500 cc.

2. RL 2

100 cc.

F. Komplikasi selama pembedahan dan anestesia : tidak ada.

G. Lama Operasi: 20 menit.

Dari Pukul

: 10.45-11.05 wita.H. Keadaan akhir Pembedahan :

Tekanan Darah: 115/74 mmHg

Nadi

: 64 kali/menit

SaO2

: 100%Skor Bromage total :

Skor Bromage

Melipat lututMelipat jariSkor

Blok tak ada++++0

Blok Parsial+++1

Blok hampir lengkap-+2

Blok lengkap--3

TOTAL : Pukul 11.15 : 3

Pukul 13.00 : 0

J. Perdarahan : sulit dinilai3.3 Pengelolaan Pasca Anestesi

1. Pemantauan terhadap pasien.

2. Pasien dipindahkan ke ruangan pukul 13.00 wita.

3. Instruksi di ruangan :

a) Analgetik Petidin 150 mg : metamizole 60 mg dalam D5% 500 cc 20 tetes mikro/menitb) Bila mual-muntah : injeksi ondansetron 4 mg intra vena.

c) Infus : RL balance tangan kanan

d) Obat-obat lain : sesuai terapi operator.

e) Makan/minum : bebas bila tak mual muntah.

f) Kontrol : tensi, nadi, nafas setiap saat selama efek anestesi.

g) Pertahankan posisi terlentang, ganjal kepala dan kaki dengan bantal kurang lebih selama 6 jam. h) Tensi < 90mmHg maka injeksi ephedrin 5 mg IV dapat diulangi tiap 5 menit sampai dengan tensi > 100 mmHg, dapat diulang 3 kali atau awasi tanda-tanda perdarahan lewat kantong urin.i) Awasi tanda-tanda sindrom TURP (kesadaran, mual, muntah, pusing).

j) Post operasi cek DL, elektrolit, Na, K, Cl.

BAB IV

PEMBAHASANPasien laki-laki, 67 tahun, Hindu, Bali, sudah menikah, bekerja sebagai petani, didiagnosis dengan retensio urin et causa BPH grade II dan direncanakan untuk dilakukan transurethral uretral resection of prostate (TURP). Pasien mengeluh tidak dapat kencing sejak 1 hari SMRS. Sebelumnya, pasien sempat BAK sedikit-sedikit sejak 1 minggu terakhir. Sekitar 1 tahun yang lalu, pasien sempat BAK berwarna kemerahan. Riwayat hipertensi dialami sejak 10 tahun yang lalu, namun tidak terkontrol dengan baik. Dari pemeriksaan status present didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 72 x/menit, temperatur 36,5 0C, respirasi 16x/menit. Dari pemeriksaan fisik urogenital didapatkan terpasang kateter Douer, produksi urin 200 cc/3 jam, warna kuning, jernih, terakhir buang urin Pk. 11.30 (5 Mei 2009) jumlah 500 cc. Pemeriksaan khusus didapatkan keadaan tulang belakang dan kulit dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan darah lengkap dan BT/CT dalam batas normal. Hasil pemeriksaan kreatinin serum didapatkan 1,05 mg/dl yang jika digunakan dalam rumus Cockroft-Gault didapatkan laju filtrasi glomerulus sebesar 48,3 cc/menit (mild renal insufficiency). Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan kesan HHD/LVH (+), kontraktilitas LV baik, EF 77%, normokinetik, katup normal, terdapat gangguan diastolik. Pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan RBBB komplit. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan kardiomegali, CTR 68%, tidak tampak infiltrasi, pulmonal dalam batas normal. Dari Bagian Penyakit Dalam menyimpulkan pasien dengan kardiomegali, HHD/FC I, hipertensi stadium II. Dari pemeriksaan status fisik disimpulkan pasien pada ASA 3.

Pasien termasuk dalam pasien geriatri. Seiring peningkatan usia, terjadi beberapa perubahan-perubahan fisiologis pada pasien geriatri serta dapat juga menderita suatu penyakit yang terkait dengan peningkatan usia. Hal ini juga terjadi pada pasien. Permasalahan yang dihadapi pasien diantaranya terutama pada sistem kardiovaskular dan urogenital. Pada pasien geriatri terjadi penurunan compliance arteri yang dapat meningkatkan afterload, peningkatan tekanan darah sistolik, dan hipertrofi ventrikel kiri. Dinding ventrikel kiri akan menebal, fibrosis myokardial dan kalsifikasi katup juga umum terjadi. Baik ukuran jantung maupun jaringan myokardial meningkat pada lansia. Oleh karena proses penuaan, terjadi penurunan respon inotropik dan kronotropik terhadap stimulasi adrenergik dan -agonis, denyut jantung pada lansia menjadi terbatas, sehingga ejection fraction tidak akan sebesar pada dewasa muda. Pada pasien didapatkan kardiomegali, HHD/FC I, hipertensi stadium II.

Perubahan fungsi ginjal pada pasien geriatri, yang ditentukan dari glomerular filtration rate (GFR) dan creatinine clearance, cenderung akan menurun. GFR rata-rata untuk laki-laki ialah 125 ml/menit, sedangkan untuk wanita ialah 85% dari laki-laki. Nilai menurun kira-kira 1 ml/menit/tahun setelah usia 40 tahun sebagai akibat dari penurunan jumlah nefron dan proses hyalinisasi dari arteriol aferen kortek. Pada pasien didapatkan GFR 48,3 ml/menit (mild renal insufficiency). Pada kasus ini dipilih teknik anestesi blok subaraknoid ialah karena pembedahan yang dilakukan ialah bedah urologi yang merupakan salah satu indikasi dilakukannya blok spinal. Di samping itu, pembedahan yang dilakukan juga berlangsung singkat serta tidak ditemukannya kontraindikasi baik absolut maupun relatif untuk dilakukannya blok subaraknoid. Berdasarkan umur pasien, secara umum, blok subaraknoid lebih sering direkomendasikan dan dipilih daripada anestesi umum. Anestesi regional pada pasien geriatri dapat ditoleransi dengan baik, dibandingkan anestesi umum, lebih jarang menimbulkan konfusi dan delirium pasca operasi jika tanpa menggunakan sedasi intravena.

Medikasi pra-bedah yang diberikan pada pasien ialah diazepam 5 mg dan clonidine oral 150 mg pada pukul 07.00 WITA (6 Mei 2009). Khusus untuk teknik anestesi blok spinal, sebaiknya dilakukan pemasangan infus. Pemberian cairan RL intravena 500 1000 ml sebelum melakukan blok akan mengurangi insiden hipotensi. Pemberian cairan ini harus hati-hati pada pasien dengan penurunan fungsi jantung. Pada pasien, terpasang infus di tangan kanan dengan RL 500 cc. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah midazolam 1 mg iv (dosis: 0,01-0,1 mg/kgBB), ondansetron 4 mg iv, dan Pethidine 50 mg iv. Tujuan pemberian midazolam adalah untuk mendapatkan efek sedasi, sedangkan ondansetron sebagai antagonis reseptor serotonin 5-HT3 yang berada di pusat muntah untuk mencegah mual dan muntah. Dalam hal ini mual dan muntah harus dicegah karena salah satu efek samping pemberian pethidine adalah mual dan muntah disamping juga akibat dominansi tonus parasimpatis. Pethidine sendiri diberikan sebagai analgetik.

Untuk induksi, pasien ini diberikan bupivakain (marcain 0,5%) hiperbarik 12,5 mg pada level L3-4. Obat ini dipilih karena merupakan golongan anestetik lokal amida dengan mula kerja pelan dan durasi kerja yang lama (240-480 menit). Sebagai maintenance diberikan O2 2 liter/menit, dimana oksigen dapat diberikan dalam rentang 2-4 lt/menit. Selain itu, pasien diberikan Pethidine 150 : metamizole 2 gr dalam D5% 20 tetes mikro/menit untuk mengurangi rasa nyeri pasca pembedahan dimana sebelumnya pasien diberikan metamizole 2 gr bolus IV terlebih dahulu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Pada pengelolaan pasca-anestesi, satu hal khusus juga sebaiknya diperhatikan pada pasien pasca-TURP yaitu sindrom TURP. Sindrom TURP adalah kumpulan sindrom yang disebabkan kelebihan absorpsi irigan, yang menyebabkan hiponatremia dilusional, disertai hipoosmolalitas atau tidak. Sindrom ini dapat terjadi di awal ataupun beberapa jam kemudian. Pasien yang sadar dapat mengalami nyeri kepala, pusing, bingung, dispnea, agitasi, mual, ataupun gangguan penglihatan. Jika memburuk, dapat menjadi stupor, koma, seizure, dan kolaps kardiovaskular.4 Pada pasien ini, selama ruangan sebaiknya tanda-tanda sindrom TURP ini diawasi termasuk dengan pemeriksaan elektrolit. Penggunaan anestesi regional memilki keuntungan berkaitan dengan operasi TURP yang dilakukan. Beberapa keuntungan diantaranya kandung kemih menjadi atonik yang dapat meningkatkan kapasitas dan perbaikan visualisasi bedah, deteksi dini ssindrom TURP dengan melihat perubahan yang terjadi pada pasien yang sadar, dan eliminasi spasme kandung kemih. 4 DAFTAR PUSTAKA

1. Muravchick S. Anesthesia for the geriatric patient. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK (eds). Clinical anesthesia 4th ed. Lippincott williams and wilkins 2001.

2. Muravchick S. Anesthesia for the elderly. In: Miller RD (ed). Anesthesia 5th ed. Churcill livingstone 2000.

3. Geriatric anesthesia. In: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ (eds). Clinical anesthesiology 4th ed. Mcgraw-hill companies 2006.4. Shew HC, Kimball W. Anesthesia for the elderly and for urologic surgery. In: Hurford WE, Bailin MT, Davison JK, Haspel KL, Rosow CR, Vassallo SA (eds). Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital 6th ed. Lippincott Williams and wilkins 2002.

5. Galinski DF, Rue M, Moral V, Castells C, Puig MM. Spinal anesthesia with bupivacaine and fentanyl in geriatric patients. Anesth analg 1996;83:537-41.

6. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & physiology in anesthetic practice 4th ed. Lippincott williams & wilkins 2006.7. Chandrasekar S, Pian MC. Spinal, epidural, and caudal analgesia. In: Hurford WE, Bailin MT, Davison JK, Haspel KL, Rosow CR, Vassallo SA (eds). Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital 6th ed. Lippincott williams and wilkins 2002.

8. Anatomy Spinal Cord. In: Anatomy Web. May 20, 2009. Available at: http://webanatomy.net/anatomy/spinal_cord.jpg. (accesed: May 20, 2009).9. Mangku G. Pedoman praktis anesthesia-analgesia (buku III). Universitas udayana fakultas kedokteran laboratorium anestesiologi dan reanimasi 2003.10. Rooke GA, Freund PR, Jacobson AF. Hemodynamic response and change in organ blood volume during spinal anesthesia in elderly men with cardiac disease. Anesth analg 1997;85:99-105.11. Nishikawa K, Yamakage M, Omote K, Namiki A. Prophylactic im small-dose phenylephrine blunts spinal anesthesia-induced hypotensive response during surgical repair of hip fracture in the elderly. Anesth analg 2002;95:7516.PAGE