Laporan Kasus kulit

29
Laporan Kasus Kusta Tipe MB OLEH : Maulana Rifky Ferdiansyah 10310221 Reni Sela Agustin 10310317 PEMBIMBING: dr. Silvia T. Bangun, M.Ked, Sp.KK KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

description

DKI

Transcript of Laporan Kasus kulit

Page 1: Laporan Kasus kulit

Laporan Kasus

Kusta Tipe MB

OLEH :

Maulana Rifky Ferdiansyah 10310221

Reni Sela Agustin 10310317

PEMBIMBING:

dr. Silvia T. Bangun, M.Ked, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABANJAHE FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2015

Page 2: Laporan Kasus kulit

STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI

Nama : Rohani

Usia : 65 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

Suku : Batak

Alamat : Lau simomo

No rekam medik : 122520

Kunjungan pertama ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kabanjahe, tanggal 28 Juli

2015.

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis, 28 Juli 2015 pukul 12.00 WIB)

Keluhan Utama:

Luka di bokong, dan kedua telapak kaki disertai kebas

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kabanjahe dengan keluhan luka

di bokong, telapak kaki kanan dan kiri, di rasakan sejak kecil. Dan memberat + 3 Tahun

belakangan ini, Pasien mengaku awalnya terasa kesemutan dan kebas pada kaki kanan dan

kiri, setelah itu menjalar ke tangan dan wajah. Pasien juga mengeluhkan bengkak dan

berwarna kemerahan, tidak nyeri, menyebar hampir diseluruh wajah.

Jari Tangan, jari kaki, dan mata kiri pasien sudah diamputasi sejak + 10 tahun lalu

Suami pasien juga mengalami hal serupa dan didiagnosis penyakit kusta

Page 3: Laporan Kasus kulit

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat penyakit menahun seperti darah tinggi, kencing manis dan jantung disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga :

- Suami pasien juga mengalami hal serupa dan didiagnosis penyakit kusta

Riwayat Pengobatan :

- Pasien sudah pernah berobat ke Rs. Lau simomo (Rs khusus kusta)

Riwayat Higiene :

- Pasien mandi dua kali sehari.

- Pasien mengganti pakaian setiap dua kali sehari.

- Pasien mengaku sering tidur di kasur dengan suaminya

Riwayat sosial ekonomi:

Pasien adalah seorang anak dari keluarga petani dengan ekonomi kurang.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : Tidak Dilakukan

Nadi : Tidak Dilakukan

Suhu : Tidak Dilakukan

Pernapasan : Tidak Dilakukan

Page 4: Laporan Kasus kulit

Head to Toe

Kepala

Mata : konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), palpebra

edema (-). Bola Mata (amputasi bola mata kiri)

Hidung : bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam

perabaan baik.

Telinga : nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik.

Mulut : tonsil tidak ada pembesaran, perdarahan gusi (-),

Tenggorokan : faring tidak hiperemis

Thoraks : bentuk dada simetris, sela iga tidak melebar, retraksi dinding dada

tidak ada.

Jantung : murmur (-), gallop (-).

Paru-paru : vesikuler (+) normal, ronchi (-), wheezing (-).

Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tak teraba,

bising usus dalam batas normal.

Ekstremitas atas : edema (+), akral hangat. Kulit : di status dermatologis.

Ekstremitas bawah : edema (+), varises (-), turgor normal. : di status dermatologis.

Status Dermatologikus

Lokasi : Regio Palmaris Manus dextra dan dorsum manus sinistra dan

Efluoresensi dan distribusi : Bercak Hipopigmentasi, batas tidak tegas, tepi tidak teratur,

terdapat eritema, ulkus, kulit kering dan

disertai mutilasi.

Page 5: Laporan Kasus kulit

Gambar 1. Regio Palmaris Manus dextra (A) dan dorsum manus sinistra (B)Bercak Hipopigmentasi, eritema, ulkus, mutilasi dan kulit kering

Gambar 2. Regio Phalangus dextra (A) dan Meta Tarsus sinistra (B)Bercak Hipopigmentasi, skuama, krusta, guma, mutilasi dan kulit kering

IV. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan kulit atau mukosa hidung)

- Pemeriksaan histopatologi (jaringan sel abnormal)

- Pemeriksaan serologis

A B

A B

Page 6: Laporan Kasus kulit

V. DIAGNOSIS BANDING

- Tinea fasialis

- Psoriasis

- Penyakit dengan manifestasi trofik seperti DM dan ketidakmampuan kongenital

membedakan nyeri

VI. DIAGNOSIS KERJA

KUSTA TIPE MB

VII. PENATALAKSANAAN

Umum :

- Segera melakukan pengobatan sejak dini secara rutin terhadap penderita kusta, agar

bakteri yang dibawa tidak dapat lagi menularkan pada orang lain.

- Menghindari atau mengurangi kontak fisik dengan jangka waktu yang lama

- Meningkatkan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan Meningkatkan atau

menjaga daya tahan tubuh, dengan cara berolahraga dan meningkatkan pemenuhan

nutrisi.

- Tidak bertukar pakaian dengan penderita, karena basil bakteri juga terdapat pada

kelenjar keringat

- pasien kontrol setiap minggu untuk melihat hasil terapi dan perkembangan penyakit

Khusus :

- Sistemik :

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.2. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin

50 mg/hari diminum di rumah.3. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Page 7: Laporan Kasus kulit

- Topikal :

kompres Nacl 0,9 %

VII. PROGNOSIS

- Dapat disembuhkan namun kelainan dan kerusakan saraf yang berhubungan dengan kusta

sering ireversibel

- Prognosis tergantung pada stadium penyakit-Jika sudah ada ulkus kronik

prognosis menjadi kurang baik

Page 8: Laporan Kasus kulit

TINJAUAN PUSTAKA

KUSTA TIPE MB

I. PENDAHULUAN

Lepra merupakan penyakit infeksi kronik pada kulit yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae,1 yang utamanya mengenai kulit dan sistem saraf tepi2,3 dan kadang-

kadang mempengaruhi jaringan seperti mata, mukosa traktus respiratorius bagian atas dan

tulang. Penularan lepra terjadi jika ada kontak yang erat dan lama dengan penderita.3,4

Penyebaran lepra tersebar di seluruh dunia, mayoritas kasus terjadi di daerah tropik dan

subtropik,4 sering terjadi pada daerah dengan penduduk status sosial ekonomi rendah.5 Lepra

dapat terjadi pada semua umur, paling sering pada usia 10-14 tahun dan usia 35-44 tahun. Kasus

lepra pada bayi jarang dilaporkan.3,5

Menurut World Health Organization (WHO), pasien-pasien lepra dengan tipe

Multibasiler (MB) didiagnosis berdasarkan ditemukannya basil dalam biopsi kulit. Dan

berdasarkan sistem Ridley-Jopling, kusta tipe MB terdiri atas : borderline-borderline (BB),

borderline lepromatous (BL), lepromatous subpolar (LLs), dan lepromatous polar (LLp).2

Pengobatan lepra tipe MB (BB, BL, LLs & LLp) yang direkomendasikan oleh WHO :

rifampisin 600 mg dan klofazimin 300 mg satu kali dalam sebulan, serta dapson 100 mg/hari dan

klofazimin 50 mg/hari. Pengobatan berlangsung selama 12 bulan atau sampai hasil pemeriksaan

kerokan kulit negatif.6

II. EPIDEMIOLOGI

Kecepatan penyebaran lepra pada suatu komunitas tergantung pada kerentanan seorang

individu dalam suatu populasi, lamanya kontak dengan penyakit dan intensitas infeksi dalam

suatu komunitas.2

Lepra merupakan masalah kesehatan dimana diperkirakan sekitar 10-15 juta orang di

dunia mengidap lepra. Penyakit ini endemik di beberapa daerah di Asia, terutama India, Afrika,

Amerika Selatan dan Tengah, pulau-pulau Pasifik dan Filipina.6 Di daerah endemik, jumlah

penderita akan meningkat disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan harapan hidup.7

Page 9: Laporan Kasus kulit

Penyakit lepra lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita dengan rasio 2:1,8,9

pada anak-anak rasio gender 1:1.6 Lepra dapat terjadi pada semua umur tetapi ditemukan 2

puncak kasus lepra terbanyak yaitu pada usia 10-20 tahun pada anak-anak dan 30-60 tahun pada

orang dewasa.6 Periode laten antara waktu terpapar dengan gejala awal biasanya berkisar 2-5

tahun, tetapi dapat lebih lama. Pada anak-anak masa latennya dapat lebih pendek.6 Faktor

fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, menyusui, faktor infeksi dan malnutrisi, dapat

meningkatkan perubahan klinis atau memperburuk penyakit.7 Masa inkubasi untuk jenis

tuberkuloid di atas 5 tahun dan untuk jenis lepromatous sekitar 20 tahun atau lebih.9

III.ETIOLOGI

Semua kasus lepra pada manusia dan hewan disebabkan oleh organisme yang sama, yaitu

Mycobacterium leprae. M. leprae merupakan organisme tahan asam yang tidak dapat dikultur6,

bersifat obligat intraselular dan dapat menyerang saraf.3 Organisme ini dapat berkembang biak

pada suhu tubuh manusia yaitu berkisar 350C.6 Masa pembelahan 12 hari. Kuman ini dapat

bertahan di luar tubuh manusia sekitar 10 hari.2

M. leprae memiliki dinding sel antigenik kompleks yang mengandung lipid, karbohidrat

dan protein.2

Hanya bentuk lepromatous yang bersifat infeksius. Kebanyakan orang kebal terhadap

lepra. Proses penularannya sampai saat ini masih belum dapat dimengerti. Kontak serumah

dengan pasien lepra merupakan salah satu faktor sehingga tertular penyakit ini.3

IV. PATOGENESIS

Masuknya M. leprae ke dalam saraf melalui :10

1. Melalui akson yang terbuka ke dalam epidermis/dermis superfisialis diikuti dengan

penembusan epitel. Kemudian M. leprae berjalan sepanjang eksoplasma.

2. Difagositosis oleh sel perineurium, lalu menyeberangi endoneurium dan sel Schwann.

Karena infiltrasi M. leprae pada sel Schwann, terjadi reaksi radang hebat oleh karena

bentrokan imunologik di dalamnya, timbul edema, lesi vaskuler, iskemia, nekrosis, perkejuan

parenkim saraf (abses). Sel Schwann mempunyai kesanggupan invitro untuk membuat sejumlah

besar komponen mielin dan lemak-lemak lainnya yang dapat dipakai oleh M. leprae. Sel

Schwann yang mengandung M. leprae dapat menjadi sumber infeksi primer dan persisten untuk

Page 10: Laporan Kasus kulit

kebocoran basil/antigen basil yang terus-menerus ke dalam sirkulasi, yang bertanggung jawab

terhadap infeksi yang menetap atau relaps pada beberapa kasus tipe lepromatous.10

Patogenesis dan gambaran klinis yang terjadi diakibatkan karena 4 hal :2

1. Respon kekebalan seluler (cell-mediated imunity). Pada tipe lepromatous nampak adanya

kegagalan respon kekebalan seluler terhadap M. leprae sehingga basil-basil memperbanyak

diri, menyebar dan terjadi akumulasi antigen pada jaringan yang terinfeksi. Tidak adanya

aktivasi limfosit dan makrofag berarti bahwa kerusakan pada saraf onsetnya lambat dan

bertahap.

2. Multiplikasi dan penyebaran basil. Pada tipe lepromatous, penyebaran hematogenous basil

terjadi di daerah superfisial termasuk mata, traktus respiratorius bagian atas, tangan, kaki dan

muka, seperti pada saraf tepi dan kulit.

3. Gambaran kerusakan jaringan secara imunologik : reaksi lepra. Pasien dengan tipe BT

(borderline-tuberkuloid), BB (borderline-borderline), dan BL (borderline-lepromatous)

memiliki sistem imun yang tidak stabil dan beresiko mengalami reaksi yang dimediasi imun.

Reaksi tipe I (reversal) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang disebabkan oleh

meningkatnya antigen M. leprae pada kulit dan saraf. Reaksi tipe II, atau Eritema Nodosum

Leprosum (ENL) merupakan akibat dari deposit kompleks imun dan terjadi pada pasien tipe

BL dan LL yang membentuk antibodi dan memiliki banyak antigen.

4. Terjadi kerusakan saraf dan komplikasi-komplikasinya. Kerusakan saraf terjadi di dua tempat

: pada lesi kulit dan pada saraf –saraf perifer badan. Pada lesi kulit, saraf sensoris pada

dermis dan serabut saraf ototnom yang mempersarafi dermis dan struktur dibawahnya rusak,

sehingga menyebabkan terjadinya defisit sensoris (hilang rasa) dan hilangnya kemampuan

memproduksi keringat di area sekitar lesi. Kerusakan pada saraf perifer di badan memberikan

tanda yang khas, dimana terjadi defisit sensoris (hilang rasa) yang lebih luas (regional) dan

disfungsi otot yang dipersarafi oleh saraf perifer yang bersangkutan. Gangguan fungsi yang

melibatkan saraf otonom perifer dan sentral juga telah dilaporkan.

V. KLASIFIKASI

Menurut WHO, pasien-pasien lepra dengan tipe Multibasiler (MB) didiagnosis

berdasarkan ditemukannya basil dalam biopsi kulit. Dan berdasarkan sistem Ridley-Jopling,

kusta tipe MB terdiri atas : borderline-borderline (BB), borderline lepromatous (BL),

Page 11: Laporan Kasus kulit

lepromatous subpolar (LLs), dan lepromatous polar (LLp).2,9,10 Klasifikasi menurut Ridley ini

sangat berguna dalam mengelompokkan penderita kusta khususnya untuk gambaran

imunologisnya. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis dan histopatologis.9

Pasien-pasien yang diklasifikasikan ke dalam tipe borderline (BB) cenderung untuk

menjadi tidak stabil secara klinis dan pada umumnya berkembang ke arah tipe tuberkuloid atau

tipe lepromatous, yang mana cenderung menjadi penyakit yang stabil.11 Bila klasifikasi

meragukan maka penderita kusta digolongkan ke dalam klasifikasi multibasiler (MB).10

Penggolongan lepra menentukan tipe dan jangka waktu pemberian pengobatan pada

pasien. World Health Organization (WHO) merekomendasikan kriteria klinis yang dapat dipakai

untuk menggolongkan penyakit lepra dimana pemeriksaan bakteriologik pada kerokan kulit tidak

dapat dipercaya.12

VI. GAMBARAN KLINIS

Borderline-Borderline (B)

Jumlah lesi lebih banyak, merah, dan bentuk irreguler (bulat atau oval). Lesi berupa

infiltrat yang meninggi atau terdapat daerah yang bersih di tengah atau area seperti punched out

appearance, atau dapat juga tampak seperti plak/bercak tebal yang berisi air atau seperti pita,

dengan tepi perifer yang warnanya memudar. Defisit sensoris (hilang rasa lebih jelas). Penyakit

dapat menetap pada tipe ini, meningkat atau bertambah buruk.13,14 (gambar 1)

Borderline-Lepromatous (BL)

Terdapat banyak lesi dalam segala bentuk dan ukuran, yang menebal atau mengandung

infiltrat, berwarna kemerahan atau kecoklatan, berupa plak, makula, papul dan nodul-nodul. Lesi

menyerupai mangkuk terbalik. Distribusi lesi dapat bilateral, tetapi tidak simetris. Permukaan

lesi biasanya lunak dan lebih terang dengan tepi yang tidak jelas. Gangguan sensoris bervariasi,

dari minimal sampai anestesia total, terutama padadaerah tengah lesi; atau anestesia yang

mengenai tangan dan kaki yang biasanya tidak simetris.13,14 (gambar 2)

Lepromatous Leprosy (LL)

▪ Sub-polar Lepromatous (LLs)

Pada tipe lepromatous sub-polar, lesi kulit menyerupai tipe LLp; bagaimanapun, dapat

ditemukan satu atau sejumlah kecil lesi borderline yang asimetris; juga kerusakan dan penebalan

saraf yang asimetris dapat dibuktikan; alis mata mungkin tetap utuh.14 (gambar 3)

Page 12: Laporan Kasus kulit

▪ Polar Lepromatous (LLp)

Pada tipe lepromatous polar, lesi kulit tersebar luas, dan generalisata dan simetris, yang

pada umumnya dalam bentuk hiperpigmentasi atau eritema yang menebal. Pada tahap awal, lesi

tampak lunak dan lebih terang; pada tahap lanjut terdapat banyak nodul pada kulit (gambar 4).

Lesi yang berupa makula yang kecil, tidak berbatas tegas, yang sedikit hipokromik atau sedikit

eritematous; terdapat dalam jumlah yang banyak; yang sedikit mengandung infiltrat, yang

penyebarannya bilateral. Lesi yang berupa papul atau nodul tampak pada tahap lanjut dari

penyakit ini, yang biasanya lebih banyak infiltrat; beberapa diantaranya dapat pecah menjadi

ulserasi; keterlibatan saraf yang terjadi kemudian, adalah simetris bilateral yang memberikan tipe

anestesia ”sarung tangan dan kaus kaki”. Deformitas yang terjadi, banyak dan bervariasi

bentuknya, seperti hilangnya alis mata, kolaps pada hidung, ginekomastia, atrofi otot-otot tangan

dan kaki, jari-jari tangan dan kaki seperti mencakar (clawing), dan kontraktur.14

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 3 Gambar 4

Page 13: Laporan Kasus kulit

VII. DIAGNOSIS

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau

“Cardinal sign”, yaitu :15

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi) atau kemerah-

merahan (eritematous) yang mati rasa (anestesi).

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis

perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :

a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)

c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak

3. Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)

Pemeriksaan kerokan kulit hanya dilakukan pada kasus yang meragukan.

Untuk mendiagnosis kusta tipe MB, didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis, dan

histopatologis. 9

Gambaran klinis dan bakteriologis 16

1. Lesi kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus) : > 5 lesi, distribusi lebih simetris,

hilangnya sensasi kurang jelas

2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf

yang terkena) lebih dari satu cabang saraf.

3. Pemeriksaan bakteriologis (skin’s smear) : BTA (+)

Gambaran Histopatologis

Borderline-Borderline (B)

Ditemukannya sel epiteloid granuloma yang penyebarannya bersifat difus dan tidak

terlokalisir di daerah limfosit. Jika ditemukan limfosit, sifatnya juga menyebar dan difus. Saraf

dikelilingi dan diinfiltrasi secara parsial oleh sel epiteloid granuloma. Basil tahan asam

ditemukan dalam jumlah yang sedang dengan bacterial indeks (BI) 3-4+. 14

Borderline-Lepromatous (BL)

Page 14: Laporan Kasus kulit

Ditemukannya sel histiositik granuloma dengan infiltrat limfosit yang banyak. Terdapat

pula clear subepidermal zone. Saraf-saraf sering tampak berlapis-lapis dan tampak infiltrasi

perineurium. Banyak ditemukan basil tahan asam dengan bacterial indeks (BI) 4-5+. 14

Lepromatous Leprosy (LL)

▪ Sub-polar Lepromatous (LLs)

Pada tipe lepromatous sub-polar, ditemukan sel histiositik granuloma dengan sel giant

multinukleated Touton dan beberapa sel plasma dan limfosit yang tersebar secara difus di dalam

granuloma. Pada saraf terlihat infiltrasi atau laminasi perineurium. Basil tahan asam ditemukan

dalam jumlah yang banyak, dengan BI 5-6+. 14

▪ Polar Lepromatous (LLp)

Pada tipe lepromatous polar, dibagi atas dua gambaran histologis yaitu lesi aktif dan lesi

inaktif. Pada lesi aktif, ditemukan sel histiosit granuloma dengan sitoplasma non-foamy.

Sedangkan pada lesi inaktif, ditemukan sel histiosit granuloma dengan sitoplasma foamy.

Limfosit, jika ada, ditemukan dalam jumlah sedikit. Saraf-saraf tampak normal. Basil tahan asam

ditemukan dalam jumlah yang banyak dengan BI 5-6+. 14

VIII. KOMPLIKASI

Kusta jarang menimbulkan kematian dan tidak begitu infeksius. Diperkirakan ada 24 juta

kasus kusta di dunia dan 2-3 juta diantaranya dengan cacat (berupa perubahan fisik yang nyata)

yang disebabkan oleh penyakit ini. Kecacatan merupakan bagian dari penyakit kusta yang

berlanjut, yang dibagi ke dalam 3 tingkat : kerusakan fisik (impairment/deformitas),

ketidakmampuan (disability) dan cacat (handicap).17

Deformitas (kerusakan fisik) adalah masalah besar diantara pasien pria, karena pria lebih

beresiko menderita kusta tipe LL dan kurang patuh dalam pengobatan. Deformitas terjadi jika

saraf mengalami kerusakan baik karena progresivitas penyakit maupun karena reaksi.18

Adanya trauma dapat mengakibatkan terjadinya ulserasi, selulitis, pembentukan skar, dan

destruksi tulang. Kerusakan pada mata dapat mengakibatkan terjadinya lagoftalmus, ektropion

dan entropion.3

Klasifikasi cacat :16

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang

terlihat.

Page 15: Laporan Kasus kulit

Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.

Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.

Cacat pada mata

Tingkat 0 : tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan.

Tingkat 1 : ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada

penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6

meter).

Tingkat 2 : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung

jari pada jarak 6 meter).

Reaksi kusta merupakan komplikasi yang paling umum terjadi. Keadaan ini

mengakibatkan gangguan neurologik yang permanen, menghasilkan kelainan bentuk dan

kecacatan. Reaksi kusta tipe I biasanya terjadi pada pasien dengan tipe borderline. Merupakan

suatu reaksi akibat penurunan CMI yang menunjukkan pergeseran ke arah tipe lepromatous

sebelum terapi dimulai, dan dapat bergeser ke arah tipe tuberkuloid setelah terapi dimulai.

Reaksi kusta tipe II, atau ENL, adalah suatu reaksi imun yang kompleks yang terjadi pada

pasien-pasien dengan tipe BL atau LL. Gejala yang paling umum tampak adalah kumpulan nodul

eritematous yang nyeri pada kulit dan jaringan subkutaneus. Reaksi ini umumnya bermanifestasi

setelah beberapa tahun diterapi dan dan terjadi secara spontan setelah + 5 tahun. Selain itu dapat

pula terdapat demam, rasa tidak enak badan, nyeri persendian, nyeri saraf, iridosiklitis, daktilitis,

dan orkitis.3

Gambar :

Reaksi Tipe I (reversal) – bercak infiltrat Reaksi Tipe II (ENL)

Page 16: Laporan Kasus kulit

Lagoftalmus Ulnar clawing

Foot drop Trophic ulcer

IX. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis Banding Lesi Kulit Kusta

Lesi kusta dapat menyerupai banyak lesi penyakit kulit. Kondisi-kondisi yang

menyerupai makula kusta, antara lain : tinea versikolor, makula nutrisional (pada anak-anak

sering di wajah), nevus kongenital, vitiligo, pitiriasis rosea,19 pitiriasis alba, dermatitis seboroik,

post inflamasi hipopigmentasi.10 Kondisi yang menyerupai lesi kuli yang meninggi, antara lain :

psoriasis, granuloma anulare, tuberkulosis kutis, sarkoidosis, sifilis sekunder, tinea korporis.

Kondisi yang menyerupai nodul termasuk multipel neurofibromatosis dan multipel lipomatosis.19

Diagnosis Banding Lesi Saraf Kusta

Page 17: Laporan Kasus kulit

Kondisi neurologi yang sering dikelirukan dengan kusta, antara lain :19

a. Penyakit-penyakit spinal cord (sumsum tulang belakang) seperti syringomyelia, amiotropik

lateral sklerosis, penyakit motor neuron, defisiensi vitamin B12.

b. Penyakit saraf perifer

i. Penyakit saraf yang disebabkan oleh kompresi (penekanan) pada saraf seperti penekanan

pada akar saraf spinalis, kosta servikal, carpal tunnel syndrom dan Bell’s palsy.

ii. Polineuritis karena etiologi yang bermacam-macam.

b. Penyakit otot seperti myopati dan myositis

c. Penyakit dengan manifestasi trofik seperti DM, tabes dorsalis dan ketidakmampuan

kongenital membedakan nyeri.

X. PENATALAKSANAAN

Walaupun diperlukan beberapa tahun untuk menghilangkan M. leprae dari kulit,

kebanyakan basil M. leprae mati dalam waktu 3-6 bulan akibat efek terapi. Terdapatnya M.

leprae pada sekret hidung dan bakteremia juga menghilang dalam waktu 3-6 bulan. Oleh karena

itu, kecuali pada bulan pertama pengobatan, manajemen pasien rawat jalan cukup adekuat untuk

mayoritas pasien. Untuk memperkecil kemungkinan kekambuhan, terapi harus dilanjutkan

sampai semua M. leprae sudah menghilang dari kulit, dibutuhkan paling kurang 5 tahun.

Bagaimanapun, kemoterapi seumur hidup merupakan indikasi kuat untuk pasien-pasien yang

gagal sembuh dari reaksi kusta karena mikobakteria yang menetap menyebabkan pasien ini

kambuh. Pasien-pasien kusta tipe tuberkuloid harus diterapi selama 1-2 tahun. Peranan

fisioterapi, psikoterapi, dan bedah plastik dalam rehabilitasi pasien kusta tidak dapat

dihilangkan.20

Multidrug terapi (MDT) digunakan secara luas di seluruh negara dengan tingkat

keberhasilan pengobatan yang tinggi. Ketika MDT diperkenalkan pada tahun 1982 (WHO),

pasien lepra tipe multibasiler (MB) mendapatkan MDT sampai BTA negatif. Mengikuti

kesuksesan penggunaan MDT, jangka waktu pengobatan lepra tipe MB adalah 24 bulan (WHO,

1994), dan , sekarang, pasien MB mendapatkan MDT selama 12 bulan (WHO, 1998). 21

Pengobatan lepra tipe Multibasiler yang direkomendasikan oleh WHO : rifampisin 600

mg dan klofazimin 300 mg satu kali dalam sebulan, serta dapson 100 mg/hari dan klofazimin 50

Page 18: Laporan Kasus kulit

mg/hari. Pengobatan berlangsung selama 12 bulan atau sampai hasil pemeriksaan kerokan kulit

negatif.6

Untuk pasien kusta tipe MB yang resisten terhadap dapson dan rifampisin,

pengobatannya berlangsung selama 6 bulan dengan klofazimin 50 mg/hari, ofloksasin 400

mg/hari dan minosiklin 100 mg/hari, setelah itu diikuti 18 bulan klofazimin 50 mg/hari bersama

dengan ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari. 6

Sedangkan pasien kusta tipe MB yang resisten terhadap klofazimin, diberikan rifampisin

600 mg, minosiklin 100 mg, dan ofloksasin 400 mg dengan dosis tunggal setiap bulan selama 24

bulan. 6

XI. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada tipe penyakit. Pada kasus tipe borderline, penyakit ini

mempunyai potensi untuk berubah ke tingkat LL; pasien ini mungkin sudah mengalami

kerusakan saraf. Meskipun mendapatkan terapi kostikosteroid, neuritis tidak mungkin dapat

diobati.3

Prognosis juga bergantung pada terapi yang diperoleh pasien, kepatuhan pasien, dan

penanganan yang lebih cepat.3

XII. KESIMPULAN

Diagnosis penyakit kusta hanya dapat didasarkan pada penemuan paling sedikit salah

satu dari cardinal sign yaitu lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf yang nyata disertai

gangguan fungsi saraf, dan BTA positif.

WHO mengklasifikasikan kusta ke dalam 2 kelompok besar yaitu tipe PB (yang terdiri

dari tipe I, BT, dan TT) dan tipe MB (yang terdiri dari tipe BB, BL, dan LL).

Pada kusta tipe MB, jumlah lesi lebih dari 5, penebalan saraf yang disertai gangguan

fungsi terjadi pada banyak saraf, dan BTA positif. Bila terdapat keraguan dalam menentukan

klasifikasi, maka penderita diobati sebagai penderita kusta tipe MB.

Regimen MDT yang dianjurkan oleh WHO untuk kusta tipe MB adalah Rifampisin 600

mg/bulan, DDS 100 mg/hari, dan klofazimin/Lampren 300 mg/bulan + 50 mg/hari yang

diminum selama 12 bulan berturut-turut (paling lama dalam 18 bulan).

Page 19: Laporan Kasus kulit

Pasien dengan kusta tipe MB mempunyai prognosis yang lebih jelek dibanding tipe PB.

Akan tetapi, prognosis sangat bergantung pada terapi yang diperoleh pasien, kepatuhan pasien,

dan penanganan yang lebih cepat.

Page 20: Laporan Kasus kulit

DAFTAR PUSTAKA

1. Baxt RD. Lepromatous leprosy with drug reaction. Dermatology Online Journal. 2000. 6(1) : 9.

2. Lockwood DNJ, Brycesson ADM. Leprosy. In : Champion RH, Burton JL, Burns DA, Brethnach SM eds. Textbook of dermatology. 6th ed. Oxford : Blackwell Science Publ; 1998. p.1215-35.

3. Harrop E. Leprosy. [on line] 2005 February 10, [cited 2006 Feb 6] [14 screens]. Available from : UVR : http//www.emedicine.com.

4. Brown RG, Burns T. Leprosy. Dermatology. 8th ad. Oxford : Blackwell Science Publ; 2002. p.20-2

5. Estrada B. Leprosy. [on line] 2006 January 18 [cited 2006 Feb 6] [10 screens]. Available from : UVR : http//www.emedicine.com.

6. Odom RB, James WD, Berger TG. Hansen’s disease (leprosy). In : Diseases of the skin. 9 th

ed. Philadelphia : W.B. Saunders company; 2000. p.430-44.7. Moschella SL, Hurley HJ. Leprosy. In : Dermatology. 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders

company, 1992. p.1100-12.8. Leprosy epidemiology. [cited 2006 Feb 6] [8 screens]. Available from : UVR :

http//www.novartisfoundation.com. 9. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In : Freedberd IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith

LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6 th ed. New York : Mc Graw-Hill; 2003. p.1962-71.

10. Amiruddin MD. Klasifikasi. In : Ilmu penyakit kusta. Makassar : Hasanuddin University Press; 2003. p.5-23.

11. Long GW. The immunology of leprosy. Unraveling an enigma. Int J Lepr. 1995: 63(3):430-47.

12. Norman G, Joseph G, Richard J. Validity of the WHO operational classification of leprosy. Int J leprosy; 2004 :72(3):278-83.

13. Leprosy. [cited 2006 Feb 6] [3 screen]. Available from : UVR : http//www.dermnet nz.com. 14. Guinto RS, Abalos RM, Cellona RV, Fajardo TT. General description and illustration of

leprosy. In : An atlas of leprosy. Rev ed. Sasakawa memorial health foundation; 1983. p.1-215. Departemen kesehatan RI. Diagnosis dan klasifikasi. In : Buku pedoman nasional

pemberantasan penyakit kusta. 16th ed. Jakarta : 2004. p.38-43.16. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In : Djuanda A, Hamzah M,

Aisah S eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd ed. Jakarta : FKUI; 1999. p.71-86.17. Willcox ML. Efek MDT terhadap kecacatan kusta. Oxford : Keble college.18. Shale MJH. Women with leprosy. University of Sheffied. UK. 2000 : 71(1).19. Pearson JMH. Diagnosis and differential diagnosis. In : Essentials of leprosy. 4 th ed. German

leprosy relief association : 1986.20. Leprosy. [cited 2006 Feb 6] [3 screen]. Available from : UVR :

http//www.nethealthbook.com. 21. Biswas S, Mondal KK. Multidrug therapy in leprosy can prevent relapse-a retrospective

study. Ind J Lepr; 2002: 74(4). S.313-18.