Laporan Kasus IPD

67
BAB I STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama Pasien : Tn. Suhadi RM : 717849 Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 52 tahun Pekerjaan : Guru Alamat : Bekasi Barat Status : Sudah Menikah Suku Bangsa : Jawa Agama : Islam Tanggal perawatan : 20 November 2014 Dirawat yang ke : Pertama Tanggal pemeriksaan: 24 November 2014 – 25 November 2014 II. DATA DASAR A. ANAMNESIS Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 24 November 2014 pukul 11.00 WIB di Bangsal Perawatan Umum RSPAD Gatot Soebroto Keluhan Utama : Sesak nafas sejak yang memburuk sejak 4 hari SMRS Keluhan Tambahan : 1

description

lapkas ipd

Transcript of Laporan Kasus IPD

Page 1: Laporan Kasus IPD

BAB ISTATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Tn. Suhadi

RM : 717849

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 52 tahun

Pekerjaan : Guru

Alamat : Bekasi Barat

Status : Sudah Menikah

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Tanggal perawatan : 20 November 2014

Dirawat yang ke : Pertama

Tanggal pemeriksaan: 24 November 2014 – 25 November 2014

II. DATA DASAR

A. ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 24 November 2014 pukul

11.00 WIB di Bangsal Perawatan Umum RSPAD Gatot Soebroto

Keluhan Utama :

Sesak nafas sejak yang memburuk sejak 4 hari SMRS

Keluhan Tambahan :

Batuk berdarah sejak 7 jam SMRS dan sakit dada yang memberat

sejak 1 th SMRS

RIwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang memburuk sejak 4 hari

SMRS. Sesak dirasakan sepanjang hari, membaik ketika berbaring ke

sebelah kanan dan memburuk bila tidur terlentang, tidak disertai dengan

1

Page 2: Laporan Kasus IPD

sesak ketika beraktifitas, tidak terbangun malam karena sesak, dan pasien

tidur cukup dengan satu bantal. Pasien merasakan sesak sudah sejak 1

tahun SMRS, yang semakin memburuk dan membuat pasien tidak dapat

beraktifitas. Sesak ini disertai dengan sakit dada sebelah kanan seperti

ditusuk, sampai ke punggung, tidak menjalar ke bagian yang lain, tidak

diperingan dan diperberat dengan apapun, dengan skala 6/10. Pasien juga

mengeluhkan adanya batuk berdarah sejak 5 bulan SMRS, darahnya

berwarna merah segar, tanpa busa, sebanyak ½ sendok teh setiap batuknya.

Batuk yang dirasakan terus menerus, tanpa ada yang memperingan dan

memperberat, dan tidak disertai dengan keringat malam.

Pasien mengalami penurunan berat badan sejak pertama keluhan sebanyak

> 10 kg tanpa ada program penurunan berat badan. Pasien mengalami

demam hilang timbul, tidak diukur, namun tidak pernah tinggi, dan tidak

diobati dengan apapun. Pasien mengaku tidak memiliki sakit pada tulang

dan sendi, mual muntah, sakit kepala, kelemahan pada tungkai, benjolan

pada leher. Pasien sudah menjalani pengobatan oral kemoterapi yaitu

gefitinib sejak 4 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak memiliki riwayat batuk lama yang diobati selama 6 bulan,

Riwayat Penyakit Keluaga :

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa dengan pasien,

tidak ada yang terkena flek paru maupun paru-paru basah

Riwayat Kebiasaan Sosial :

Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus per hari selama 37

tahun.

2

Page 3: Laporan Kasus IPD

B. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Berat badan : kg

Tinggi badan : cm

IMT :

2. Vital Sign

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Frekuensi nadi : 88 x/menit, regular, isi cukup

Frekuensi nafas : 24 x/menit, regular, torakoabdominal

Suhu : 36.30 C per axilla

3. Status Generalis

Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Hidung : Nafas cuping hidung (-), perdarahan (-), lendir (-)

Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-), faring hiperemis (-) tidak

ada pendarahan mukosa

Telinga : Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-)

Leher : Tampak simetris, deviasi trakea (-), KGB tidak

teraba, JVP 5+0 cmH2O

Thoraks

Paru

Inspeksi : bentuk dada normal, gerak dada simetris saat

statis dan dinamis, retraksi intercostal (-)

Palpasi : taktil fremitus menurun paru kanan, chest

expansion simetris, nyeri tekan (-), massa (-)

Perkusi : sonor pada paru kiri, pekak pada paru kanan

3

Page 4: Laporan Kasus IPD

Auskultasi : vesicular paru kanan menurun , ronkhi -/- ,

wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V Linea

midclavicularis

Perkusi

Batas kanan : ICS V linea sternalis dextra

Batas kiri : ICS V 1 jari medial linea midclavicula

sinistra

Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra

Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reg, murmur (-)

gallop (–)

Abdomen

Inspeksi : datar, sikatriks (-), Ascites (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen

Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrik (-), hepar dan lien tidak teraba

massa (-), turgor baik

Pinggang : Nyeri ketuk CVA (-/-)

Ekstremitas : Akral hangat, Petekie (-), edema (-), CRT <2 detik

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium Darah

Jenis

Pemeriksaan

HASIL Nilai

Rujukan

HEMATOLOGI 23/10

Hemoglobin 11.3 13-18 g/dL

Hematokrit 34 40-52%

Eritrosit 4.5 4.3-6 juta/L

Leukosit 16490 4.800-

4

Page 5: Laporan Kasus IPD

10.800/L

Trombosit 678000 150.000-

400.000/L

Hitung Jenis

Basofil 0

Eusinofil 2

Batang 2

Segmen 66

Limfosit 20

Monosit 10

MCV 75 80-96 fL

MCH 25 27-32 pg

MCHC 34 32-36 g/dL

RDW 17.10 11.5-114.5%

KIMIA

KLINIK

SGOT 32 <35 U/L

SGPT 29 <40 U/L

Ureum 17 20-50 mg/dL

Kreatinin 0.6 0.5-1.5mg/

dL

URINALISIS

Warna Kuning

Kejernihan Agak keruh

pH 7.0

Berat Jenis 1.020

Protein -

Glukosa -

Bilirubin -

Nitrit -

Keton -

Eritrosit 0-1-0

Leukosit 1-2-1

5

Page 6: Laporan Kasus IPD

Slinder -

Krsital -

Epitel +

Darah -

Lain-lain -

2. Foto Thorax X-ray

Cor : batas kanan tertutup perselubungan

Pulmo : perselubungan homogeny di paru kanan

Sinus dan Diafragma kanan tertutup

Kesan Efusi pleura kanan

Adanya massa pada paru kanan belum dapat disingkirkan

Saran : CT Scan Thorax

3. Foto Bone Survey

Tulang-tulang kepala, humerus, femur dan pelvis, tak tampak lesi

titikmaupun sclerotic.

Tulang-tulang vertebra cervical, torakal, dan lumbosacral, pedikel

intak , tak tampak tanda-tanda destruksi.

Kesan : tak tampak tanda-tanda metastase pada tulang-tulang.

4. Bronkoskopi

5. Analisa cairan tubuh

Analisa Transudat dan Eksudat

Makroskopis

Bahan Cairan pleura

Volume 12 cc

Warna Kuning

Bekuan Jernih

Berat Jenis 1.020

Mikroskopis

Jumlah sel 790

PMN 10

MMN 90

Kimia

6

Page 7: Laporan Kasus IPD

Rivalta Test POSITIF

Protein Darah 5.8

Glukosa darah 182

LDH Darah 543

Protein cairan 4.0

Glucose cairan 202

LDH Cairan 581

KESAN : Cairan pleura sesuai dengan eksudat

6. EKG

Kesan : Atrial Fibrilasi

7. Patologi Anatomi

III.RESUME

Pasien laki-laki berusia 52 tahun datang dengan keluhan dispneu yang

memburuk sejak 4 hari SMRS dan disertai dengan hemoptysis , sakit dada

serta penurunan berat badan >10 kg dan demam yang hilang timbul dalam

1 tahun SMRS. Pasien telah menerima pengobatan oral kemoterapi

gefonitib sejak 4 bulan SMS. Pasien memiliki riwayat merokok 1

bungkus/hari selama 37 tahun (IB = 377 – tergolong resiko sedang )

Pada pemeriksaan fisik ditemukan taktil fremitus menurun, pada perkusi

ditemukan pekak serta suara vesikuler yang menurun pada paru sebelah

kanan depan dan belakang.

Pada pemeriksaan penunjang terdapat anemia, leukositosis, trombositosis

Pada hasil foto toraks terdapat kesan efusi pleura kanan dengan DD tumor

paru belum dapat disingkirkan. Hasil bone scan menunjukkan tidak

tampak metastasis ke tulang. Hasil bronkoskopi, PA

IV. DAFTAR MASALAH

1. Efusi Pleura

7

Page 8: Laporan Kasus IPD

2. Leukositosis dan trombositosis

3. Gangguan fungsi hati

4. Obese

V. PENGKAJIAN MASALAH

1. Demam hari ke-4 e.c Demam Berdarah Dengue derajat II

Pasien laki-laki berusia 25 tahun datang dengan demam sejak 4 hari

SMRS sepanjang hari, tidak diukur, turun pada hari ke 4, disertai

dengan nyeri pada belakang kedua bola mata di awal demam tanpa

disertai ruam dan perdarahan spontan dari gusi, hidung, BAB dan

BAK. Pasien juga mengeluhkan BAB cair sebanyak 7 kali dan muntah

sebanyak 3 kali sejak 7 jam SMRS. Pada pemeriksaan fisik tidak

ditemukan tanda-tanda dehidrasi, pasien tergolong dalam kategori obes

dengan rumple leed test positif (>20 ptechie dalam 2.5 cm2),

pemeriksaan fisik lain-lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan

penunjang ditemukan adanya hemokonsentrasi ditandai dengan adanya

kenaikan Hemoglobin dan Hematokrit lebih dari 20% yaitu menjadi

57% pada hari keempat demam dan penurunan lebih dari 20% setelah

pemberian cairan yaitu menjadi 47 dan 43 pada hari berikutnya. Hal ini

menandakan adanya kebocoran cairan plasma yang menyebabkan

konsentrasi hemoglobin dan hematocrit dalam darah meningkat. Selain

itu ditemukan juga thrombositopenia, namun dengan anti dengue IgM

dan IgG yang negative.

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

pada pasien, dibuatlah diagnosis kerja Dengue Hemorrhagic Fever

grade II tanpa diagnosis banding. Hal ini dikarenakan ditemukan gejala

dan tanda yang khas dan memenuhi kriteria Dengue Hemorrhagic

Fever, yaitu :

1. Demam akut yang berlangsung 2-7 hari, kadang-kadang bifasik

2. Kecenderungan pendarahan dengan terjadinya satu diantara :

tourniquet test positif, ekimosis atau purpura, pendarahan dari mukosa,

gastro-intestinal tract, haematemesis atau melena

3. Thrombositopenia hingga kurang dari 100.000 sel/mm2

8

Page 9: Laporan Kasus IPD

4. Adanya tanda kebocoran plasma karena meningkatnya permeabilitas

vascular yaitu peningkatan dari hematocrit >20% dari rata-rata sesuai

umur, jenis kelamin dan populasi; penurunan hematocrit > 20% dari

hematocrit awal setelah pemberian cairan; tanda dari adanya kebocoran

plasma seperti efusi pelura, ascites atau hipoproteinemia

Pasien ini digolongkan kedalam dengue hemorrhagic fever grade II

karena memenuhi kriteria berkut :

1. Demam dengan rumple leed test positif

2. Thrombositopenia dan hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit

>20%)

3. Faktor komorbid berupa obesitas

Pasien datang kerumah sakit dengan hasil pemeriksaan laboratorium

yaitu peningkatan hemoglobin dan hematocrit yang berarti sudah

terjadi kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas vascular.

Hal ini berarti sudah terjadi penurunan volume vascular dan plasma

kini berada pada ruang interstitial. Penurunan volume vascular bila

terjadi terus-menerus akan menimbulkan syok hipovolemik dan pasien

dapat jatuh pada kriteria dengue shock syndrome. Penatalaksanaan

yang perlu pada tahap ini adalah terapi cairan dengan loading dose

sesuai literatur yaitu 5-7ml/kgBB/jam pada 1-2 jam pertama, kemudian

dilakukan loading berikutnya 3-5ml/kgBB/jam pada 2-4 jam

berikutnya, dan dipantau kembali nilai hemoglobin dan hematokirt

setelah pemberian terapi cairan, apakah menurun atau tidak. Pada

pasien ini telah diberikan IVFD RL 500 cc dalam 1 jam pertama dan

500 cc dalam 4 jam berikutnya, lalu diperiksa kembali Hct nya ternyata

turun dari 57% menjadi 47%. Hal ini mengkonfirmasikan adanya

hemokonsentrasi sebelumnya. Selain itu tanda-tanda vital diperiksa

kembali karena pasien sebelumnya mengalami diare dan muntah walau

tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi. Setelah pemberian terapi cairan,

tanda-tanda vital pasien tetap stabil. Pada pasien seharusnya dipasang

kateter urin untuk memantau urin output setiap 4-6 jam untuk

monitoring pemberian cairan. Setelah hematocrit mencapai angka

9

Page 10: Laporan Kasus IPD

normal, terapi cairan dirubah dari dosis loading menjadi dosis rumatan

dalam 24 jam yaitu 1500 + 20(BB-20) dengan berat badan 96kg

menjadi 3020ml/24 jam. Setelah dosis terapi cairan dirumah, tetap

dilakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital dan pemeriksaan

darah lengkap keesokan harinya dengan hasil yang normal kecuali

trombositopenia.

Trombositopenia yang terjadi pada pasien merupakan salah satu

kriteria sederhana yang diajukan oleh WHO sebagai diagnosis klinis

penyakit DBD. Penyebab trombositopenia pada DBD diduga terjadi

akibat penurunan produksi trimbosit oleh sumsum tulang, peningkatan

destruksi trombosit di RES dan agregasi trombosit leh endotel vascular

yang rusak. Serta diduga pula kaibat koagulasi intravaskuler serta

pemakaian factor-faktor pembekuan dan trombosit yang meningkat.

Menurut Nimmanitya (1999) penyebab utama trombositopenia adalah

destruksi trombosit di perifer oleh antigen virus Dengue secara

langsung tanpa melalui respons imun,

Kebocoran plasma dapat terjadia karena peningkatan permeabilitas

vaskuler yang terjadi pada inveksi virus dengue. Hal ini diakibatkan

karena adanya peran dari IL-6, IL-8 dan RANTES yang dilepas oleh

virus Dengue. Virus dengue juga mengaktivasi komplemen dan

menimbulkan ekspresi molekul adesi seperti ICAM-1 yang bersama

dengan IL-8 dan RANTES akan meningkatkan permeabilitas vaskuler

pula. Pada beberapa penelitian menunjukan adanya destruksi endotel

yang dipicu ole TNFz, IL-1, IL-6 dan IFNg. Jejas endotel ini

menyebabkan munculknya berbagai molekul adesif yang berasal dari

sel endotel itu sendiri dan dari bagian sub-endotel yang kemudian

memicu agregasi trimbosit. Artinya, proses apoptosis yang terjadi pada

sel endotel dengan TNFa menyebabkan sel endotel lepas dari dari

ikatan dengan subednotel dimana didapatkan molekul vonWillebrand

yang muncul pada bermukaan dan bermuara pada agregasi trombosit.

Jejas endotel ini diikuti oleh peningkatan aktivitas prokoagulan, IL-6

yang mempunyai kemampuan untuk menaikkan permeabilitas endotel.

10

Page 11: Laporan Kasus IPD

Adanya gangguan endotel akibat jejas dapat diperiksa dengan

plasminogen activator inhibition-1 (PAI-1) dalam sirkulasi.

Obesitas merupakan salah satu factor risiko untuk terjadinya dengue

shock syndrome (sindrom shock dengue) karena meningkatnya

produksi white adipose tissue (WAT) yang akan meningkatkan

produksi dari mediator diatas. Untuk itu kita perlu menghitung index

masa tubuh pada pasien dengan demam berdarah dengue agar

dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda vital. Pengukuran skin

fold thickness bisa digunakan pada anak-anak dengan obesitas.

2. Diare dan muntah

Berdasarkan anamnesis didaptkan riwayat buang air besar dengan

konsistensi cair sebanyak 7 kali sehari sebelum masuk rumah sakit. Hal

ini sesuai dengan definisi diare yaitu buang air besar > 200g/24 jam. Diare

dan muntah pada pasien dengan demam berdarah dengue merupakan

reaksi dari penyakit sistemik.

3. Gangguan fungsi hati

Gangguan fungsi hati ditegakkan berdasarkan hasil dari pemeriksaan

penunjang. Didapatkan kenaikan enzim transaminase yaitu SGOT dan

SGPT yang menandakan adanya gangguan fungsi hati. Gangguan fungsi

hati ini dikenal sebagai reaktif hepatitis yang disebabkan oleh virus

dengue menyerang sel kupffer hepar. Virus dengue yang masuk ke dalam

tubuh manusia akan menyebabkan viremia, dan akan mencari sel target

monosit-makrofag-Kupffer. Akibat intervensi dengue pada hepatosit dan

Kupffer menyebabkan sel mengalami gagguan fungsi. Terjadi inflamasi,

nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer hati

Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang

menyebabkan hepatoseluler mengalami ischemia, inflamasi akit akibat

pengaruh sitokin proinflamatori dan berbagai mediator.

VI. RENCANA PENATALAKSANAAN

A. Rencana Diagnosis

11

Page 12: Laporan Kasus IPD

B. Rencana Terapeutik

1. Non-medikamentosa

Tirah Baring

2. Medikamentosa

Terapi cairan

- Loading :

= 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam

= 5(96) – 7(96)

= 480 – 672 ml/jam

= 500 ml/jam dalam 1 jam pertama

= 3-5 ml/kg/jam dalam 2-4 jam berikutnya

= 3(96) – 5(96)

= 288 – 480 ml/jam

= 500 ml/4jam

Setelah hematocrit mencapai nilai normal , lanjutkan dengan

dosis rumatan

- Rumatan

=1500 + 20(BB-20)

=1500 + 20(96-20)

= 3020 ml/24 jam

Diet lunak 30kkal/kgBB berat badan ideal

= 30 x BBI

= 30 x (90% x [TB-100] x 1 kg)

= 30 x (90& x [170-100] x 1kg)

= 30 x (90% x [70] x 1kg)

= 30 x 63

= 1890 kkal

Domperidon 3 x 10 mg PO bila mual

Ranitidine 2 x 50 mg IV bila mual

Paracetamol 3 x 500 mg PO bila panas

12

Page 13: Laporan Kasus IPD

C. Rencana Monitoring

Pemantauan pemeriksaan hematocrit setelah pemberian terapi cairan

dosis loading sampai kadar hematocrit normal kemudian dilakukan

pemeriksaan hematocrit setiap 6 sampai 12 jam sekali.

VII. TINDAK LANJUT

Tanggal Follow

Up

SOAP

24/10/2014 S : Pasien mengeluhkan nafsu makan berkurang. Pasien tidak

mengeluhkan demam, mual maupun muntah. BAB dan BAK pasien

dalam batas normal.

O : KU baik, Kesadaran compos mentis

TTV BP : 140/90mmHg

RR : 20 x/m , pernafasan cuping hidung (-)

HR : 84 x/m, kuat, isi penuh, reguler

Temp : 35.8º C

Rumple leed (+)

Leher :Pembesaran KGB (-) JVP 5-2 cm H2O

Paru : Normovesikuler, Ronchi (-/-)

Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop(-)

Abdomen : Supel, bising usus (+), ascites (-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik, Petekie (-), Edema (-)

Lab : Trombositopenia

A : Demam Berdarah Dengue derajat II, Gangguan fungsi hepar e.c

reaktif hepatitis

P : Tirah baring

Diet lunak 1890 kkal

13

Page 14: Laporan Kasus IPD

IVFD RL 500 cc/6 jam

Curcuma 3 x 200 mg PO

Lab: DPL setiap 12 jam

Monitor BP

25/10/2014 S : Pasien mengatakan tidak ada keluhan

O : TD : 140/80 mmHg

Nadi : 84 x/m, kuat angkat, isi penuh, regular

RR : 20 x/m, kussmaul (-)

Temp : 37º C

Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik

Leher : JVP 5-2cm H2O

Paru : Vesikuler, rhonki (-)

Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)

Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)

splenomegaly (-)

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)

Lab trombosit 99000

A : Demam Berdarah Dengue derajat 2, peningkatan enzim

transaminase ec reaktif hepatitis

P : Tirah baring

Diet lunak 1890 kkal

IVFD RL 500 cc/6 jam

Curcuma 2 x 200 mg PO

Monitor BP

26/10/2014 S : Pasien merasa lebih baik, tidak ada keluhan.

O : TD : 135/90 mmHg

HR : 87 x/m kuat reguler isi penuh

RR : 23 x/m

Temp : 36,3ᴼC

14

Page 15: Laporan Kasus IPD

Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik

Leher : JVP 5-2cm H2O

Paru : Vesikuler, rhonki (-)

Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)

Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)

splenomegaly (-)

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)

Lab trombosit 163000

A : Demam Berdarah Dengue derajat 2

Peningkatan enzim transaminase e.c reaktif hepatitis

Hipertensi Grade I

P : Tirah baring

Diet lunak 1890 kkal

IVFD RL 500 cc/6 jam

Curcuma 2 x 200 mg PO

Thiazide 2 x 25 mg

Periksa laboratorium fungsi hati besok

27/10/2014 S : Pasien merasa lebih segar. Demam sudah tidak ada. Mual dan

muntah tidak ada, BAB dan BAK dalam batas normal

O : TD : 140/70 mmHg

HR : 84 x/m kuat reguler isi penuh

RR : 24 x/m

Temp : 36.3ᴼC

Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik

Leher : JVP 5-2cm H2O

Paru : Vesikuler, rhonki (-)

Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)

Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)

15

Page 16: Laporan Kasus IPD

splenomegaly (-)

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)

Lab SGOT/SGPT 150/102 ; ALP/GGT 92/102

A : Demam berdarah dengue derajat 2

peningkatan enzim transaminase e.c reaktif hepatitis

hipertensi grade I

P : Tirah baring

Diet lunak 1890 kkal

IVFD RL 500 cc/6 jam

Curcuma 2 x 200 mg PO

Thiazide 2 x 25 mg

Periksa lab IgM dan IgG anti dengue besok dan darah lengkap, bila

bagus besok bisa pulang

28/11/2014 S : Pasien tidak memiliki keluhan apapun

O : TD : 140/70 mmHg

HR : 84 x/m kuat reguler isi penuh

RR : 24 x/m

Temp : 36.3ᴼC

Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik

Leher : JVP 5-2cm H2O

Paru : Vesikuler, rhonki (-)

Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)

Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)

splenomegaly (-)

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)

Lab > IgM dan IgG anti dengue negative, lain-lain dalam batas

normal

A: Demam berdarah dengue derajat 2

reaktif hepatitis

16

Page 17: Laporan Kasus IPD

hipertensi grade I

P : Pasien boleh pulang, kontrol ke poli penyakit dalam bila ada

keluhan

Curcuma 2 x 200 mg PO

Thiazide 2 x 25 mg

VII. PROGNOSIS

Ad vitam : Ad bonam

Ad fungsional : Ad bonam

Ad sanamtionam : Ad bonam

Ad costmeticum : Ad bonam

17

Page 18: Laporan Kasus IPD

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini

dapat terjadi pada semua kelompok umur terutama pada anak-anak. DBD adalah salah

satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.(1,2)

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus dengue(6)

2.2 Etiologi

Agent Infeksius DBD termasuk dalam grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses)

kelompok flavivirus dari family flaviviridae. Keempat serotipe virus Dengue (DEN-1,

DEN-2,DEN-3, DEN-4) dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada

manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap

infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara

terhadap serotipe yang lain. Seseorang akan kebal seumur hidup terhadap serotip yang

menyerang pertama kali, namun hanya akan kebal dalam waktu 6 bulan - 5 tahun

terhadap serotipe virus Dengue lain. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering

ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN

3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat

keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak

yang meninggal. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang

18

Page 19: Laporan Kasus IPD

dunia ke II., sedangkan Dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun

1953-1954. Virus Dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitive terhadap

inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksisiklat, stabil pada suhu 700ᴼC.(1,2,3)

2.3 Epidemiologi

Istilah hemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada

tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968,

tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 dan pada tahun 1993 DBD

telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Dalam 50 tahun terakhir, tercatat

insidens kasus demam berdarah dengue telah meningkat 30 kali seiring dengan

perkembangan dan pertambahan penduduk dari kota ke desa dalam dekade terakhir

ini.

Penyakit DBD di Indonesia merupakan salah satu emerging disease

denganinsiden yang meningkat dari tahun ke tahun.Adapun jumlah penderita DBD di

Indonesia sepanjang tahun 1999 sebanyak 21.134 orang, tahun 2000 sebanyak

33.443orang, tahun 2001 sebanyak 45.904 orang, tahun 2002 sebanyak 40.377 orang,

dan tahun2003 sebanyak 50.131 orang. Pada tahun 2000 insiden rate sebesar 15,75

per 100.000 penduduk meningkat pada tahun 2001 sebesar 17,2 % per 100.000

penduduk. Jumlah kasus DBD di Indonesia antara Januari sampai Maret 2004 secara

kumulatif yangdilaporkan dan ditangani sebanyak 26.015 kasus, dengan kematian

mencapai 389 ( CFR= 1,53 % ).Fenomena perdarahan sering terjadi pada DBD.

Berdasarkan penelitian Dari 341 sampel pasien DBD dewasa, terdapat 190 pasien

dengan jumlah trombosit ≤ 88.820 / mm3 dan 151 pasien dengan jumlah trombosit

>88.820 / mm3. Dari 190 pasien dengan jumlah trombosit ≤ 88.820 / mm3, 10

diantaranya terjadi manifestasi perdarahan berat dan 180 sisanya tidak terjadi

manifestasi perdarahan / terjadi perdarahan ringan. Dari 151 pasien dengan jumlah

trombosit > 88.820 / mm3, 2 di antaranya terjadi manifestasi perdarahan berat dan 149

sisanya tidak terjadi manifestasi perdarahan / terjadi perdarahan ringan.

Di seluruh dunia, diperkirakan sedikitnya terdapat 50 juta dari 2,5 milyar

penduduk yang tinggal di daerah endemik terinfeksi virus dengue setiap tahunnya.

Dengue merupakan penyebab demam kedua tertinggi setelah malaria. Infeksi dengue

ini endemis pada banyak negara Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika dan

hiperendemis di Thailand. Demam berdarah dengue kebanyakan terjadi pada anak

usia kurang dari 15 tahun. Anak golongan usia 10 – 15 merupakan golongan umur

tersering menderita DBD dibandingkan dengan bayi dan orang dewasa, dan sekitar

19

Page 20: Laporan Kasus IPD

50% penderita DBD merupakan golongan umur tersebut. Anak perempuan lebih

beresiko menderita DBD dibandingkan anak laki – laki, namun dalam penelitian di

Indonesia didapati laki – laki lebih tinggi terkena DBD dibandingkan perempuan

dengan perbandingan 4:1 dikarenakan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit

pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00

– 17.00, pada jam tersebut anak-anak biasanya bermain di luar rumah.

Beberapa faktor yang mempengaruhi beratnya penyakit, seperti faktor host,

serotipe virus atau genotype, sekuens infeksi virus, perbedaan antibodi crossreactive

dengue, dan respons sel T. Usia lebih tua sebelumnya dilaporkan memiliki faktor

risiko untuk mortalitas pada demam dengue atau demam berdarah dengue sebagai

komorbiditas yang berhubungan dengan penuaan dan penurunan imunitas sebagai

faktor risiko untuk fatalitas pada pasien tua dengan infeksi aktif. Walaupun syok dan

kebocoran plasma lebih sering terjadi pada usia muda, frekuensi perdarahan internal

dapat terjadi seiring dengan pertambahan usia. Selain itu komplikasi infeksi dengue

pada dewasa, seperti demam dengue dengan perdarahan dan DBD mengalami

peningkatan.(3,4,5,12)

Gambar 2. Epidemiologi penyebaran DBD di seluruh dunia(7)

20

Page 21: Laporan Kasus IPD

2.4 Patogenesis

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.Maka

demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai

pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut

sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi

penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan

penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.

Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang

kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis

infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune

enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang

mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog

mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi

heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan

menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian

berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh

karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan

bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses

yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang

kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga

mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous

infection Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada

seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa

hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer

tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga

dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah

banyak.

Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus

antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan

21

Page 22: Laporan Kasus IPD

permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang

intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma

dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.

Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,

penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi

pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan

asidosis dan anoksia yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok

sangat penting guna mencegah kematian

Gambar 3. Patogenesis syok pada DBD(1,2)

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain

dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan

replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik

dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi

virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan

wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan

wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan

laboratoris.

22

Page 23: Laporan Kasus IPD

Gambar 4. Patogenesis perdarahan pada DBD(1,2)

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain

mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan

mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.

Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit

terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran

trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga

trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan

oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi

trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan

terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),

ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi

penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,

aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi

23

Page 24: Laporan Kasus IPD

aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat

mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,

dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok

yang terjadi.(1,2,3,7,8,9)

2.4.1 Efek Dengue terhadap sel hepar

Selain monosit / makrofag yang menjadi sel target, maka hepatosit dan kupffer juga

merupakan sasaran intervensi Dengue. Sebelum mencapai sel target, virus dengue

dihadang oleh komplemen, terjadi hiperaktivitas komplemen. Selain komplemen,

virus dengue dicegah oleh interferon α dan interferon β agar tidak replikasi. Namun

karena kelemahan sistem imun, dengue tetap masuk ke dalam sirkulasi dengan

berlindung didalam monosit, makrofag dan hepatosit. Pada berbagai sel terjadi

perubahan bagian eksternal dan internal disertai inflamasi akut. Akibat intervensi

dengue pada hepatosit dan kupffer menyebabkan sel mengalami gangguan fungsi.

Terjadi inflamasi nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer

hati. Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang mengakibatkan

hepatoseluler mengalami iskhemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin

proinflamatori dan berbagai mediator, serta dampak negatif oksidan. Kelainan pada

hepatosit dan kupffer mendorong terjadi hepatitis akut, bahkan gagal hati akut yang

terjadi pada 12-62% penderita DBD akibat kematian sel melalui nekrosis maupun

apoptosis patologis.(2,6,11)

2.4.1 Mekanisme perdarahan pada infeksi virus dengue

Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan

patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang

ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan

darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi

pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang nyata

tidak terjadi.

Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD

dan DSS yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir

semua penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan

trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.

24

Page 25: Laporan Kasus IPD

Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler,

antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul

pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer, dan pada

infeksi sekunder kadarnya telah meningkat.

Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat

pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada

infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada

infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi

primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima sakit,

sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih dini.

Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal

antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas

netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis.

Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki

kekebalan terhadap serotipe virus yang sama.

Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang

berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah

difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen

Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang

berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II).

Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1

dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap

infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu

INFγ, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFNγ akan merangsang makrofag

untuk mengeluarkan IL-1 dan TNFα.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel

endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion

molecule 1 (ICAM 1).

Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh

ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel

endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel

terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi

pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan

mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.

25

Page 26: Laporan Kasus IPD

Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus

sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga

menhancurkan semua sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFNγ dan

TNFα.

VASKULOPATI

Karakteristik DBD adalah adanya plasma leakage dengan manifestasi

hemokonsentrasi, efusi pleura, dan atau ascites. Sebelumnya plasma leakage diduga

akibat peningkatan permeabilitas vaskular selain adanya penemuan baru, yaitu

menduga adanya dekstruksi selendotel disertai pelepasan mediator inflamasi (IL-6,

IL-8 dan RANTES) yang dilepas oleh virus dengue. Virus Dengue juga mengaktivasi

komplemen dan menimbulkan ekspresi molekul ICAM-1, ekspresi dari ICAM-1

bersama IL-8 dan RANTES akan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Gangguan

vaaskuler akibat infeksi Virus Dengue yang paling sederhana dapat dilihat dengan uji

torniquet positif disertai petekie yang sering muncul pada awal demam sebelum

terjadi trombositopenia. Penelitian dengan melakukan biopsi pada permukaan kulit

yang berpetekie menunjukkan adanya infiltrasi limfosit dan makrofag yang berisi

antigen Dengue. Penelitian lain mendapatkan IgM anti Dengue , komplemen dan

fibrinogen pada kulit berpetekie yang dibiopsi. Meskipun belum diketahui secara

pasti, adanya vaskulopati kemungkinan akibat pengaruh langsung dari virus Dengue

yang dimediasi oleh respons imun.

Endotel merupakan bagian dalam pembuluh darah adalah suatu sel berlapis tunggal

(monolayer) yang berpengaruh akibat jejas. Pada infeksi virus Dengue, kematian sel

endotel dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis yang dipicu oleh TNFα serta

sitokin produk respons imun akibat infeksi virus Dengue.

Antigen virus dengue dapat menyerang trombosit secara langsung tanpa melalui

respons imun, ikatan antara antigen virus Dengue dengan antibodi virus Dengue

berinteraksi dengan trombosit, serta infekksi virus Dengue menyebabkan modulasi

endotel. Respons imun individu akibat teraktivasi virus Dengue dapat memberikan

dampak positif berupa penghancuran virus atau sebaliknya justru memberikan

dampak negatif yang berakhir dengan jejas dan kematian endotel melalui sitokin yang

memegang peranan penting dalam perjalanan penyakit infeksi Virus Dengue, yaitu

TNFα, IL-1, IL-6 dan IFNɣ. Berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa jejas

endotelmenyebabkan munculnya berbagai molekul adesif yang berasal dari sel

endotel itu sendiri dan dari bagian sub-endotel yang kemudian memicu agregasi

26

Page 27: Laporan Kasus IPD

trombosit. Artinya, proses apoptosis yang terjadi pada sel endotel dengan TNFα

sebagai fasligand menyebabkan sel endotel lepas dari ikatan dengan sub-endotel di

mana didapatkan molekul vonWillebrand yang muncul pada permukaan dan bermuara

pada agregasi trombosit. Jejas endotel diikuti oleh peningkatan aktivitas prokoagulan,

IL-6 mempunyai kemampuan untuk menaikkan permeabilitas endotel. Ini beraarti, IL-

6 nampaknya juga menyebabkan jejas pada endotel. Adanya gangguan endotel akibat

jejas dapat diperiksa denngan plasminogen activator inhibition-1 yang meningkat

dalam sirkulasi. Perkembangan baru dari disfungsi endothelial adalah konsep

mikropartikel. Semua penderita DBD menunjukkan penurunan kadar mikropartikel

pada masa akut penyakit dan meningkat secara bermakna pada masa rekonvalesensi.

TROMBOPATI DAN TROMBOSITOPENIA

Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan dua keadaan yang hampir selalu

muncul pada penyakit akibat infeksi Virus Dengue. Trombositopenia diduga akibat

penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang, peningkatan destruksi trombosit

di RES dan agregasi trombosit oleh endotel vaskular yang rusak. Diduga pula akibat

Koagulasi Intravaskuler serta pemakaian faktor-faktor pembekuan dan trombosit yang

meningkat.

Penyebab utama trombositopenia adalah penurunan produksi dan destruksi trombosit

di perifer. Destruksi trombosit diperani aktivasi komplemen seperti ikatan antara

trombosit dengan fragmen dan antigen virus atau serangan langsung oleh virus

terhadap trombosit tanpa melalui respons imun. Trombositopeni terjadi akibat

pemendekan umur trombosit dan penurunan fungsi trombosit akibat infeksi virus

Dengue. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya sekresi ADP dan metabolit

prostaglandin plasma (PGI2) yaitu 6-keto-PGFIa. Respons trombosit pada infeksi

dengue secara umum ada 4 tipe yaitu (1) perubahan bentuk trombosit dari keping

pipih menjadi bulat berduri, (2) adhesi, melekatnya trombosit pada subendothelium

dinding pembuluh darah atau pada jaringan kolagen, (3) agregasi, melekatnya

trombosit sau sama lain, (4) sekresi, misalnya ADP, Tromboxane A2 yang juga

disekresi oleh ganula padat dalam trombosit. Inaktivasi platelet oleh PGI2 pada

endotel diduga sebagai yang bertanggung jawab atas tidak adanya platelet adherence.

KOAGULOPATI

Hemostasis pembuluh darah dipertahankan melalui keseimbangan antara koagulasi

dan fibrinolisis. Sistem koagulasi diaktifkan melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik

27

Page 28: Laporan Kasus IPD

untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Sistem fibrinolisis merusak jaringan fibrin

menjadi fibrin degradation products (FDP).

Banyak penelitian mekanisme terjadinya perdarahan yang mengidentifikasi adanya

koagulopati pada beberapa kasus DBD. Hampir semua kasus DBD disertai syok

terjadi koagulopati. Dengan perpanjangan activated partial thromboplastin time

(APTT). Pada infeksi akut virus Dengue, parameter koagulasi yang sering digunakan

adalah trombosit dan APTT dan parameter fibrinolisis adalah tissue Plasminogen

Activator dan plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Mekanisme yang mungkin

dapat menjelaskan terjadinya koagulopati adalah adanya kompleks virus antibodi atau

mediator fagosit yang terinfeksi virus DBD. Koagulasi akan diaktifkan secara

mengikuti kaskade yang diawali dengan aktivasi faktor XII menjadi faktor XIIa.

Faktor XII selanjutnya nengaktifkan sistem fibrinolisis berupa perubahan

plasminogen menjadi plasmin. Plasmin akan memecah fibrin polimer menjadi

fragmen X dan Y. Fragmen Y dipecah lagi menjadi 2 fragmen D dan 1 fragmen E

yang dikenal dengan D-dimer. Degradasi fibrin mempunyai sifat sebagai anti

koagulan sehingga jumlah yang cukup banyak akan menghambat hemostasis.

Aktivasi sitem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya

berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX dan X serta

plasminogen. Keadaan ini menyebabkan dan memperberat perdarahan pada pasien

DBD, ditambah lagi dengan adanya trombositopenia. Sistem komplemen dan sistem

kinin yang berperan dalam proses inflamasi diaktifkan pula oleh faktor XIIa berakibat

peningkatan pembuluh darah yang berperan pada proses terjadinya syok.

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA

KID adalah sindrom klinis yang ditandai oleh aktivasi sistem koagulasi secara luas

yang berakibat terbentuknya fibrin intravaskuler dan akhirnya terjadi trombosis

pembuluh darah sehingga terjadi penurunan darah ke organ dan menyebabkan

kegagalan organ. Akibat koagulasi yang berlebihan akan terjadi defisiensi trombosit

dan faktor-faktor koagulasi sehingga dapat menyebabkan perdarahan berat.

Peranan KID pada pasien DBD telah banyak diteliti. Mekanisme kemungkinan atas

dasar antigen antibodi mengaktifkan faktor XII, reaksi pelepasan trombosit atau

pengelupasan endotel dan terpapar kolagen subendotel dan membran basalis.

Pada penderita DBD ditemukan peningkatan minimal kadar FDP dan tidak

berhubungan dengan beratnya penyakit. Pada penderita dengan peningkatan FDP,

ditemukan masa tromboplastin parsial dan masa protrombin yang agak memanjang.

28

Page 29: Laporan Kasus IPD

FDP yang meningkat disertai trombositopenia menunjukkan adanya proses koagulasi

intravaskuler merupakan hal yang mengakibatkan perdarahan tetapi belum

membuktikan adanya KID. DBD dengan syok dan asidosis berkepanjangan dapat

dapat mencetuskan KID.

Pada semua kasus DBD ditemukan manifestasi KID tipe akut. Mekanisme perdarahan

pada DBD salah satunya disebabkan oleh consumptive coagulopathy yang terjadi

pada sebagian besar kasus. Hampir seluruh kasus dengan syok terjadi coagulopathy,

manifestasinya karena prolonged partial thromboplastin time. Perubahan pada fungsi

liver dan waktu protrombin normal / sedikit memanjang, menunjang terjadinya

consumptive coagulopathy.(1,2,8,9,11)

Gambar 5. Mekanisme Perdarahan infeksi Virus Dengue(1)

2.5 Gejala Klinis DBD

Penggolongan Demam Dengue :

Demam Dengue

Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih

manifestasi gejala, seperti : nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam pada kulit,

manifestasi perdarahan, dan leukopenia serta di tunjang dengan pemeriksaan

laboratorium serologis IgM dan IgG.

Demam Berdarah Dengue

29

Page 30: Laporan Kasus IPD

Gejala yang di timbulkan antara lain demam yang tinggi (38ᴼC – 40ᴼC), manifestasi

perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya

syok ( sindrom syok dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat

menyebabkan kematian. Trombositopenia dengan hemokonsetrasi secara bersamaan

adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DBD.

Dengue Shock Syndrome

Dengue shock syndrom merupakan suatu keadaan yang sangat buruk, penderita DBD

dalam keadaan apapun perlu mendapatkan perawatan dan pemantauan yang serius,

terutama jika demam mendadak turun. Selain menjadi indikasi kesembuhan,

penurunan suhu tubuh sering menjadi gejala awal penderita memasuki tahap dengue

shock syndrome.

Tanda khas dari dengue shock syndrome antara lain kulit menjadi dingin, kongesti,

sianosis, nadi cepat, letargi kemudian menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki

tahap kritis dari shock. Gejala yang sering sebelum shock adalah nyeri perut akut.

Pasien yang shock dalam bahaya kematian bila pengobatan yang tepat tidak segera

diberikan. Penderita akan sembuh dengan cepat setelah terapi penggantian volume

yang tepat.

Berdasarkan kelemahan dari kriteria sebelumnya maka WHO pada tahun 2009

mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus dengue, yaitu

kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue :

30

Page 31: Laporan Kasus IPD

Gambar 5. Diagnosis Demam Berdarah (3,5)

2.5.1 Manifestasi Klinis

Demam akut, suhu tinggi dan kontinyu dalam waktu kurang lebih 2-7 hari

Manifestasi pendarahan :

- Tes torniquet positif

- Petekie

- Purpura

- Ekimosis

- Epistaxis

- Pendarahan gusi

- Hematemesis / melena

Pembesaran hati (hepatomegali) pada 90%-98% kasus anak. Frekuensi

dipengaruhi waktu perjalanan penyakit.

Syok dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang rendah ditandai

dengan pulsasi lemah, tekanan darah rendah atau menurun hingga 20 mmhg,

akral dingin dan perasaan lelah serta lemas.(1,2,3,5,12)

31

Page 32: Laporan Kasus IPD

2.5. Perjalanan Penyakit DBD

WHO pada tahun 2009 membagi gejala klinis demam dengue menjadi 3 fase :

1. Fase Demam

2. Fase Kritis

3. Fase Recovery

Fase I – Fase Demam

Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka kemerahan, eritema

kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat

memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva.

Anorexia, mual, dan muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam

non-dengue pada fase awal. Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kepastian

dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran

mukosa (mis. hidung dan gusi) dapat terlihat. Gejala tidak khas seperti perdarahan

vagina dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi. Hati dapat membesar dan terasa

sakit pada beberapa hari sewaktu demam. Penurunan sel darah putih dapat

memberikan tanda sebagai infeksi dengue. Tanda dan gejala ini kurang dapat

membedakan antara severe dan non severe dengue sehingga perlu monitoring lebih

untuk berhati - hati dalam menilai fase perkembangan ke fase kritis.

Fase II – Fase Kritis

Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke 3 – 7 namun temperatur

sedikit menurun yaitu 37.5 – 38ᴼC atau lebih rendah dan juga menyebabkan

peningkatan permeabilitas kapiler dengan level hematokrit yang meningkat. Periode

kebocoran plasma berlangsung selama 24 – 48 jam. Leukopenia parah diikuti dengan

penurunan hitung trombosit mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada

pasien dengan tidak diikuti peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun

pasien yang memiliki keadaan tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan

volume plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari tingkat

keparahan kebocoran plasma tersebut. Maka foto thorax dan USG abdomen dapt

digunakan sebagai alat bantu diagnosa. Kadar hematokrit yang melebihi batas normal

dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan kebocoran plasma. Syok

dapat terjadi jika volume plasma berkurang hingga titik kritis dan sering didahului

oleh warning signs. Syok yang berlangsung lama, menyebabkan hipoperfusi organ

32

Page 33: Laporan Kasus IPD

sehingga dapat mengakibatkan gangguan organ, metabolik asidosis, dan Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC)

Fase III – Fase Penyembuhan/Recovery

Pasien yang melewati fase kritis akan memasuki fase recovery dimana terjadi

reabsorpsi cairan extravaskular dalam 48-72 jam, dimana keadaan umum akan

membaik, nafsu makan bertambah, gejala gastrointestinal berkurang, status

hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi. Ruam, pruritis, bradikardia dapat terjadi

pada fase ini. Hematokrit dapat kembali stabil atau menurun akibat efek pengenceran

dari absorpsi cairan. Sel darah putih perlahan mengalami peningkatan setelah suhu

tubuh menurun diikuti dengan peningkatan trombosit. Respiratory distress akibat efusi

pleura masif dan ascites dapat terjadi akibat dari terapi cairan IV yang berlebih

sewaktu fase kritis ataupun fase recovery yang dapat dikaitkan d engan edema paru

atau gagal jantung kongestif.(3,5,7,9)

Gambar 6. Fase perjalanan penyakit Demam Berdarah(3,5)

2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium

Trombositopenia (≤100.000 sel/mm3)

Hemokonsentrasi ; peningkatan hematokrit ≥20% dari baseline pasien atau

baseline populasi dengan usia yang sama

33

Page 34: Laporan Kasus IPD

2 kriteria klinis pertama ditambah dengan adanya trombositopenia dan

hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis DBD. Adanya pembesaran organ hati bersamaan dengan 2 kriteria klinis

pertama merupakan faktor prediksi gejala DBD sebelum adanya peningkatan

kebocoran plasma. Efusi pleura berdasarkan x-ray thorax atau ultrasound pada pasien

merupakan bukti objektif dari kebocoran plasma sementara hipoalbumin berperan

sebagai bukti penyerta.

Pada kasus syok, adanya trombositopenia, peningkatan hematokrit dan

trombositopenia merupakan faktor prediksi Dengue Syok Sindrom. ESR yang rendah

(<10mm/jam pertama) pada syok membedakan DSS dengan syok septik.

Peningkatan Enzim transaminase

Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk jenis protein yang

disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase adalah sejenis tes yang

digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati, yang merupakan protein

spesifik yang membantu tubuh untuk memecahkan dan menggunakan (metabolisme)

substansi yang lain.Produk ini dapat keluar dari hati dan masuk ke aliran darah.

Tingkat produk tersebut dapat diukur dalam darah.

- Bagian gambaran enzim transaminase

Produk berikut biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim transaminase:

• ALT (alanin aminotransferase), juga dikenal sebagai SGPT (serum glutamik piruvik

transaminase)

• AST (aspartat aminotransferase), juga dikenal sebagai SGOT (serum glutamik

oksaloasetik transaminase)

- Hasil Tes

Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang berbeda, dan tes

fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberi

gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin menyebabkan kerusakan, tetapi tes

ini tidak mampu mendiagnosis akibat penyakit hati. Hasil tes ini juga bermanfaat

untuk memantau perjalanan penyakit hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi

gambaran yang tepat. Namun biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran

mengenai tingkat peradangan.

- Enzim Hati

34

Page 35: Laporan Kasus IPD

ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim yang dibuat

dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan

enzim lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel

hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada selaput sel

hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT.

Peradangan pada hati dapat disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat,

penggunaan alkohol, dan penyakit pada saluran cairan empedu.

AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak.

Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam beberapa kasus peradangan

hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa.

Metode diagnosis molekuler yang seringkali dipilih adalah metode diagnosis

molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse

transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR

memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi

virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi

yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini

banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan

IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat

sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG

mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi

mulai hari ke 2.(4,5,6,7,8)

2.7.3 Klasifikasi DBD

Menurut WHO, Demam Berdarah Dengue dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Demam Dengue

Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai dengan 2 dari gejala dibawah :

Nyeri kepala

Nyeri sendi

Nyeri otot

Nyeri belakang mata

Manifestasi pendarahan

Tidak ada manifestasi kebocoran plasma

Pemeriksaan Penunjang:

Leukopenia <5000

35

Page 36: Laporan Kasus IPD

Trombositopenia <150.000

Peningkatan hematokrit 5-10%

Tidak ada bukti kehilangan plasma

2. Demam Berdarah Dengue derajat 1

Demam dengan manifestasi pendarahan (torniquet tes positif) dan bukti kebocoran

plasma

Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%

3. Demam Berdarah Dengue derajat 2

Seperti derajat 1 ditambah dengan manifestasi pendarahan spontan

Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%

4. Demam Berdarah Dengue derajat 3

Seperti derajat 1 dan 2 namun didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

lemah, hipotensi, sianosis disekitar mulut, akral dingin dan lembab, gelisah

Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%

5. Demam Berdarah Dengue derajat 4

Seperti derajat 3 dengan Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah

tidak terukur

Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20% (3,5,7,8,9)

36

Page 37: Laporan Kasus IPD

Gambar 7. Derajat demam berdarah(6)

2.8. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan

plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat

perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang

perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan

intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan

perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid

dankoloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan

memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal

yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit

DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak

baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan

tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi

masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok)

dengan baik.(4,5,6,9,12)

2.8.1 Penatalaksanaan pasien DBD menurut protokol

37

Page 38: Laporan Kasus IPD

Protokol 1 Pasien Tersangka DBD

Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan

pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas atau Istalasi Gawat

Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya untuk dipakai sebagai petunjuk

dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat.

Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih belum

tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit dantrombosit)

mungkin masih dalam Batas-Batas normal, sehingga sulit membedakannya dengan

gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat

berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang meragukan dalam menentukan indikasi

rawat diperlukan observasi/ pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis danpemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb,

Ht, danjumlah trombosit.

Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah

1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.

2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok

3. DBD tanpa perdarahan masif dengan

a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl

b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl

Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dantrombosit dalam batas

nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik/ Rumah Sakit

dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan pasien rnemburuk agar segera

kembali ke Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan.

Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara

pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan aniuran minum yang banyak, serta

diberikan infus ringer laktat sebanyak 500cc dalam empat jam. Setelah itu dilakukan

pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.

Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut.

1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl

atau

2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit kurang dari 150.000/pl

Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan

jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dandalam waktu 24 jam kemudian diminta

kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD apabila keadaan menjadi

38

Page 39: Laporan Kasus IPD

memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap diobservasi dantetap diberikan

infus ringer laktat 500cc dalam waktu empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan

pemeriksaan ulang Hb. Ht dan jumlahtrombosit.

Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.

1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang

dari100.000/ul

2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah

trombosit normal

atau menurun

Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan

serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.

Protokol 2 DBD Tanpa perdarahan masif dan syok

Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif petekie,

purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di ruang rawat ;

pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama.

Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer

laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam

larutan garam atau NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan

selama 24 jam, pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat

badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam

waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus

dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat badan

lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Jumlah

cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa

dengan kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien

dengan kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien

dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan

elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur operasional yang harus

dilakukan.

Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya

tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu

tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter

dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah

trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya

39

Page 40: Laporan Kasus IPD

dapat mulai dikurangi. Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD

dewasa tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka

pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan

jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl, sedangkan untuk pasien DBD dewasa

dengan jumlah trombosit berkisar 100.000 - 150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan

trombosit dilakukan setiap 24 jam.

Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin

dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan

didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus

lebih diperketat.

Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena penanganan

pasien DSS lebih sulit, dandisertai dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tanda-

tanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau

adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah

urin yang menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan

tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-tanda

lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100

mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dankecil. Apabila didapatkan

tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus segera diberikan.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (perdarahan

dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit < 100.000/pl,

dengan atau tanpa koagulasi intravaskular disseminata (KID). Pasien DBD dengan

trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.

Pasien dapat dipulangkan apabila

1. Keadaan umum /kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam

dalam 48 jam,

tidak ada gangguan pernafasan

2. Pada umumnya Hb, Ht danjumlah trombosit dalam batas normal serta stabil

dalam 24

jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum

mencapai normal

(diatas 50.000) pasien sudah dapat dipulangkan.

Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya atau trombosit

belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik dalam waktu 1x24

40

Page 41: Laporan Kasus IPD

jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk agar segera dibawa ke

UGD kembali.

Protokol 3 DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok

Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan

hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung,

perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan

saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan

jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti inijumlah dan

kecepatan pemberian cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan

lainnya 500 ml setiap 4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah

urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok

sedini mungkin.

Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan

pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Heparin

diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi

komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila

didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang),

Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi

trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan

jumlah trombosit kurang dari 100.OOOipldisertai atau tanpa KID.

Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam kemudian, sedangkan

pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan.

Penderita DBD dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas

perlu dirujuk dengan infus. Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5

liter/24jam. Bila tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.

Protokol 4 DBD dengan syok dan perdarahan spontan

Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat penting, karena

angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien DBD tanpa syok.

SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan

pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya

kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama yang sebaiknya

diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa. Pilihan lainya adalah

41

Page 42: Laporan Kasus IPD

NaCl 0,9%. Selaian resustasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/menit, dan

pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit natrium, kalium, klorida serta

ureum dan kreatinin.

Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infus cepat/guyur)

dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi

selama 30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat mungkin dalam

waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien

membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau

lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekwensi nadi kurang dari 100/menit

dengan volume yang cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis

0,5-1 ml/kgBB/jam.

Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat dikurangi

menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan

klinis stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam.

Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam

waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis

penyakit masih berlangsung, juga sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang

menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu

apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30% dianjurkan

untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1,

sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol % hendaknya diberikan transfusi sel darah

merah (packed red cells)

Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata

syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid.

Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel darah merah.

Cairan koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang

tidak mempengaruhi/menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan

mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam

jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi

maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.

Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan

dan kekurangannya, yaitu

1. Dekstran

42

Page 43: Laporan Kasus IPD

Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan

hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume

intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% De

kstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40

dipertahankan selama 3,54,5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu

mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan

menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari

1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.

2. Gelatin

Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik

dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak

mengganggu mekanism pembekuan darah.

3. Hydroxy ethyl starch (HES)

6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan

isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek

volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES

200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme

pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini

terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara,

perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan

kekuatan bekuan. Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat

diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan

kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain ringer

laktatjuga dapat diberikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau

epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID maka heparin.

Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID, maka heparin dan transfusi

kompunendarah diberikan sesuai dengan indikasi seperti tersebut diatas.

Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam. Pemeriksaan hemostasis

ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam kemudian sejak dimulainya

pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa KID; pemeriksaan hemostasis

ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat perdarahan.

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan

infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain

pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ

43

Page 44: Laporan Kasus IPD

lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek

terhadap sistem pembekuan.

Protokol 5 DBD Dewasa dengan syok tanpa perdarahan

Pada prinsipnya pelaksanaan protokol 5 ini sama dengan protokol 4 hanya

pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium (Hb, Ht, trombosit) perlu dilakukan

secara teliti dan seksama untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan yang

tersembuyi disertai dengan KID, maka pemberian heparin dapat diberikan seperti

pada protokol 4. Tetapi bila tidak didapatkan tandatanda perdarahan, waiaupun hasil

pemeriksaan hemostasis menunjukkan adanya KID, maka heparin tidak diberikan,

kecuali bila ada perkembangan kearah perdarahan.(1,2,4,5,7,9)

2.8 Prognosis

Prognosis demam dengue berhubungan dengan antibodi yang didapat atau infeksi

awal dengan virus yang menyebabkan terjadinya DBD. Keparahan terlihat dari usia,

dan infeksi awal terhadap serotipe dengue virus yang lain sehingga dapat

mengakibatkan komplikasi hemorhagik yang parah. Prognosis di tentukan juga oleh

lamanya penanganan terhadap terjadinya syok pada sindroma syok dengue (SSD).

Prognosis baik jika diatasi maksimal 90 menit. Prognosis akan terlihat buruk jika

melebihi 90 menit(1,2)

2.9 Komplikasi

Pada umumnya infeksi primer dapat sembuh sendiri dan tidak berbahaya. Komplikasi

pada bayi dan anak usia muda biasanya berupa kehilangan cairan dan elektrolit,

hiperpireksia, dan kejang demam (Halstead, 2011) . Pada usia 1 – 4 tahun wajib

diwaspadai ensefalopati dengue karena merupakan golongan usia tersering terjadinya

kejang demam.Kegagalan dalam melakukan tatalaksana komplikasi ini, dapat

memberikan jalan menuju DSS (Dengue Shock Syndome) dengan tanda kegagalan

sirkulasi, hipotensi dan syok(1,2)

DAFTAR PUSTAKA

44

Page 45: Laporan Kasus IPD

1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di

sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34

2. WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO,

2012.

3. World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis,

treatment, Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997

4. Suhendro, et al. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, ed 5, jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2006: 1732-1735

5. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.

Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue

haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHO-

SEARO, 2011. SEARO Technical Publication Series No. 60

6. Srikiatkhachorn Anon et al. Dengue—How Best do Classify It. Clinical

Infectious Disease, 2011, 53(6):563–567

7. Member of The Technical Working Group On The 2012 PPS. Revised

Guidelines on Fluid Management of DF/DHF

8. WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase

Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember

2012: 6-7

9. Srikiatkhachorn A. Plasma leakage in dengue haemorrhagic fever. Thromb

Haemost. 2009; 102: 1042-1049

10. Limonta D, Capo V, Torres G, et al. Apoptosis in tissues from fatal

Dengue shock syndrome. J Clin Virol 2007; 40: 50-54.

11. Nasronudin, et al. Mekanisme perdarahan pada infeksi virus dengue.

Penyakit infeksi di indonesi,2011 : 112-116.

12. Phanichayakarn P, Pongpanich B. Studies on Dengue hemorrhagic fever.

III. Serum complement (c3) and platelet studies. J Med Assoc Thai. 2008 ;

60:301-6.

13. Tri Widiyati M, Laksanawati I, Prawirohartono E. Obesity as a rik factor

for dengue shock syndrome in children. Paediatrica Indonesiana. 2013 :

53.192-187

45