Laporan Kasus Hiv anak

44
BAB 1 PENDAHULUAN Sebagian besar bayi baru lahir yang terlahir dari ibu yang bermasalah dalam arti menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada saat dilahirkan atau beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi bayi baru lahir (BBL), dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu bermasalah disini diartikan sebagai ibu yang menderita sakit, sebelum, selama hamil, atau pada saat menghadapi proses persalinan. 1,2 Salah satu kelompok ibu yang bermasalah adalah ibu dengan HIV/AIDS. Mengingat jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia meningkat sesuai dengan estimasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, setiap tahun terdapat 9000 hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti jika tidak ada intervensi, diperkirakan akan lahir sekitar 3000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. 1,3 1

description

stase anak

Transcript of Laporan Kasus Hiv anak

BAB 1

PENDAHULUAN

Sebagian besar bayi baru lahir yang terlahir dari ibu yang bermasalah dalam

arti menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada saat dilahirkan

atau beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari

gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan

akibat yang merugikan bagi bayi baru lahir (BBL), dan dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu bermasalah disini diartikan sebagai ibu yang

menderita sakit, sebelum, selama hamil, atau pada saat menghadapi proses

persalinan.1,2

Salah satu kelompok ibu yang bermasalah adalah ibu dengan HIV/AIDS.

Mengingat jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia meningkat sesuai dengan

estimasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, setiap tahun terdapat 9000 hamil

HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti jika tidak ada intervensi,

diperkirakan akan lahir sekitar 3000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di

Indonesia. 1,3

Upaya pemerintah untuk pencegahan transmisi HIV dari ibu beresiko ke anak

yang dilahirkan telah dilakukan diantaraya dalam strategi nasional 2007-2010 hal ini

menjadi prioritas utama, disamping upaya mensukseskan MDGs 2015. Upaya yang

telah dilakukan, diantaranya adalah asuhan persalinan normal, Safe Motherhood,

pelayanan obstetri neonatal esensial dasar dan komprehensif, awal sehat untuk hidup

sehat, manajemen terpadu balita sakit, dan manajemen bayi muda sakit karena

kelainan BBL sangat erat hubungannya dengan saat berada di dalam kandungan,

maka komunikasi yang erat diantara dokter anak, dokter obstetri dan dokter anestesi

serta bidan setempat sangatlah penting. 1,2,3,4

1

Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2010-2014 menegaskan bahwa

pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas,

sehingga penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah. Hal ini seiring dengan program

Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT) dari WHO yang turut

bertujuan menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke bayi yang dilahirkannya. 4,5

Bayi dari ibu hamil dengan HIV positif merupakan kondisi khusus, dimana

sebisa mungkin dilakukan pencegahan dan perawatan sejak dalam kandungan, saat

persalinan, hingga saat tumbuh-kembang. Dalam laporan kasus ini, akan dibahas

mengenai manajemen bayi dengan HIV/AIDS yang lahir dari ibu HIV positif dengan

menitik beratkan pada pengendalian infeksi opurtunistik.

2

BAB 2

LAPORAN KASUS

An. MA yang berumur 10 Bulan berjenis kelamin laki-laki dibawa ke IGD

dengan keluhan utama mencret. Keluhan mencret dengan frekuensi ± 10 x/hari,

terdapat ampas, lendir dan darah tidak didapatkan. Keluarga menyatakan bahwa

pasien juga demam bersamaan dengan keluhan utama. Pasien juga mengalami

sariawan di seluruh rongga mulut sejak 2 hari terakhir. Pasien juga sering batuk

kambuh-kambuhan sejak 1 bulan terakhir. Pasien juga muntah pada 2 hari pertama

sakit. Tidak ada batuk lama. Pasien dirujuk ke RS Muhammadiyah Lamongan karena

mencret sejak 5 hari SMRS. Sebelumnya pasien dirawat di RSM Babat. Pasien sakit

seperti ini sebelumnya pada saat Alfarizzi berusia 2 bulan. Pasien juga panas badan

dan mencret yang tidak kunjung sembuh, kemudian pasien dibawa ke RSUD Soegiri.

Alfarizzi MRS di RSUD Soegiri selama 9 hari kemudian dirujuk ke RSU Dr.

Soetomo dan dirawat disana selama ± 2 bulan. Kemudian keluarga meminta pulang

paksa dan melanjutkan rawat jalan di RSUD Soegiri. Saat di RSU Dr. Soetomo

dilakukan pemeriksaan Virologi HIV (orang tua pasien hanya mengingat pemeriksaan

viral load dan PCR) dan Alfarizzi didiagnosis terinfeksi HIV/AIDS dan sejak saat

itu dimulai pengobatan ART dan hingga Saat ini pengobatan ARV tetap dilanjutkan di

RSUD Soegiri. Pasien juga memiliki riwayat kontak dengan Ibu pasien yang batuk

lama, namun belum periksa ke dokter.

Pasien merupakan anak pertama dan satu-satunya di keluarga Bapak Slamet.

Saat ini biaya pengobatan ditanggung sendiri oleh keluarga dan kesan sosial ekonomi

cukup. Riwayat kelahiran pasien : 3800 gr/ Spt B/ lahir di Bidan Desa / langsung

menangis. Riwayat imunisasi : tidak dilakukan imunisasi, dan riwayat nutrisi : ASI 2

bulan pertama, kemudian dilanjut susu formula hingga saat ini. Riwayat tumbuh

3

kembang : mengangkat kepala, tengkurap, duduk dengan dibantu, namun belum bisa

merangkak, berjalan.

Pada saat di IGD RSML pasien tampak lemah, kesadaran somnolen, dan kesan

status gizi kurang. Berat badan pasien 6.5 kg. Pemeriksaan kepala dan leher

menunjukkan pasien tampak anemis, dispneu, dan UUB tampak cekung, tidak

didapatkan ikterus, cyanosis, maupun pernafasan cuping hidung. Juga didapatkan

bercak-bercak putih di lidah dan rongga mulut yang menunjukan adanya oral trush.

Pada pemeriksaan dada didapatkan pengembangan dada simetris, tidak ada retraksi,

pemeriksaan jantung denyut jantung 110 x/mnt, suara S1S2 tunggal dan tidak ada

murmur. Frekuensi nafas pasien 40 x/mnt dan didapatkan suara nafas dasar vesikuler

pada kedua lapang paru, tanpa adanya suara nafas tambahan ronki ataupun wheezing.

Pemeriksaan abdomen tampak flat, soepel saat dipalpasi, turgor kulit menurun, tidak

ada meteorismus, dan bising usus normal. Pemeriksaan ekstremitas hangat kering dan

pucat, serta CRT<2 detik.

Dilakukan pemeriksaan laboraturium dan Rontgen thorax pada tanggal 24

November 2012. Hasil pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan diffcount

0/0/47/18/3, hematokrit 23.5, hemoglobin 8.1, LED 100/109, leukosit 5200, dan

trombosit 188.000. Clorida serum 97, kalium serum 2.7, natrium serum 127. MCV

81,9, MCH 36.7, MCHC 34.6, RDW 17.1, PLT 188x103, MPV 7.9. Pemeriksaan

Rontgen Thorax menunjukkan keradangan paru dengan tanda bercak infiltrat di

perihililer d/s dan pericardial d/s. Kesimpulan Pneumocystis (carinii) jiroveci

pneumonia (PCP) dengan diagnosis banding TB paru.

4

Kesimpulan : PCP dd TB paru

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan

problem list HIV/AIDS dengan infeksi opurtinistik : diare cair kronis dengan

dehidrasi sedang-berat, suspek PCP dd TB paru, oral trush ec candidiasis oral,

hiponatremia-hipokalemia, anemia, global development delay, gizi buruk.

Penatalaksanaan selama dirawat di rumah sakit dengan IVFD KaEn 3B 350cc/3 jam

650cc/24 jam, nistatin oral drops 3 x 0.5 cc, inj cefotaxime 3 x 200 mg iv, inj

Ranitidine 2 x 10 mg iv, inj Metamizole Na 3 x 100 mg iv, inj Vitamin A 1 x 50.000

IU im, L-bio® 2 x 1 po, zinc syrup 1 x cth 1 po, serta diet rendah serat.

5

Alfarizzi, 10 Bulan

Hari pertama dirawat pasien masih panas dan masih mencret cair. Suhu badan

pasien 37.9 °C, dan mencretnya terdapat ampas sedikit. Tidak ada keluhan sesak.

Keadaan umum pasien masih lemah dan bercak-bercak putih di rongga mulut masih

banyak. Direncanakan pemeriksaan hapusan darah tepi untuk mengetahui jenis

anemia yang terjadi pada pasien, pemeriksaan serum elektrolit ulang, BUN, serum

kreatinin, dan CT-scan kepala tanpa kontras. Terapi ranitidine dan metamizole

dihentikan, ditambah koreksi KCl 7.4% 2.5 cc dalam 24 jam, cotrimoxazole 4 x 36

mg po, oral hygiene, diet TKTP + Pediasure® ad libitum, dan melanjutkan terapi

ARV.

Pemeriksaan pasien hari kedua, pasien masih panas dengan suhu 37.9°C dan

terlihat sesak. Kesan umum masih lemah. Didapatkan retraksi pada inspeksi dada, dan

terdapat suara nafas tambahan ronki di kedua lapang paru. Oral trush berkurang.

Karena terdapat ronki dilakukan nebulasi PZ 4 cc + Bisolvon® 5 tetes 4 x sehari.

Hasil pemeriksaan hapusan darah tepi menunjukkan anemia normokropmik

normositik karena proses kronik. Pemeriksaan Hematologi Rutin : diffcount :

0/0/60/38/2, hematokrit : 24.9, hemoglobin : 8.6, LED : 100/119, leukosit : 4.700,

trombosit : 237.000. Pemeriksaan Serum Elektrolit : Clorida serum 93, kalium serum

3.5, natrium serum : 127. Terapi dilanjutkan dan direncanakan untuk pemasangan

NGT pro enteral feeding Pan Enterol® 8 x 25 mg

Pemeriksaan hari ketiga dirawat, panas pasien dan sesak pasien berkurang.

Masih didapatkan retraksi pada inspeksi, dan suara tambahan ronki pada auskultasi

kedua paru. Terapi ditambah drip cernevit® ½ ampul. Terapi lain-lain dilanjutkan.

Pemeriksaan hari keempat dirawat, keluhan panas masih dirasakan dan sesak

berkurang, serta oral trush sudah membaik. Pada pemeriksaan masih didapatkan

6

rhonki yang sudah berkurang. Nebulasi dilanjutkan dengan PZ 2.5 cc + Bisolvon® 5

tetes + Ventolin® 0.7 cc 4 x sehari dan ditambah chest physiotherapy. Hari keenam

dirawat, panas pasien 37°C dan sudah tidak didapatkan ronki juga oral trush.

Direncanakan pemeriksaan rontgen thorax dan pemeriksaan darah lengkap esok hari.

Pada hari ke-7 dirawat, pasien sudah tidak sesak dan keluhan lain tidak

didapatkan. Pemeriksaan hematologi rutin : diffcount : 0/0/48/39/13, hematokrit :

22.4, hemoglobin 7.7, leukosit : 10.400, trombosit : 369.000. pemeriksaan rontgen

thorax menunjukkan perbaikan bercak infiltrat pada kedua lapang paru. Pasien

diijinkan keluar rumah sakit dan diberi terapi Rimcure Paed® 1x1, TRES®, dan

cotrimoxazole 4 x 40 mg.

Rontgen Thorax pasien setelah dirawat 6 hari

7

BAB 3

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien dibawa ke IGD RSML dengan problem diare cair

dengan dehidrasi ringan-sedang. Pasien juga muntah 2x saat 2 hari pertama sakit.

Keluhan sariawan sejak 2 hari SMRS juga menyertai keluhan utama. Pasien juga

panas dan batuk yang kambuh-kambuhan selama 1 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan

fisik menunjukkan kesan umum lemah, kesadaran compos mentis, tampak anemis,

dispneu, dengan HR 110 x/mnt dan RR 40 x/mnt. UUB pasien juga cekung, kedua

mata cowong, turgor kulit turun. Gambaran foto Thorax PA pasien menunjukkan

adanya infiltrat di percardial d/s dan perihiler d/s.

Setelah digali riwayat perjalanan penyakitnya, diketahui bahwa sebelumnya

pasien sudah sering mengalami kejadian seperti ini. Pasien pernah dirawat di RSU Dr.

Soetomo dan RSUD Soegiri dan didiagnosis dengan HIV/AIDS sejak usia 2 bulan.

Hingga saat ini pasien dan kedua orang tuanya mendapat terapi antiretrovirus (ARV).

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang

yang terinfeksi virus HIV. Seseorang yang terinfeksi virus HIV dan menderita AIDS

sering disebut dengan ODHA, singkatan dari orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala

atau penyakit tertentu yang merupakan akibat dari penurunan daya tahan tubuh yang

disebabkan oleh virus HIV (indikator sesuai dengan definisi AIDS dari Centers for

Disease Control atau pemeriksaan jumlah CD4 < 200/mm3).6,7

Kasus AIDS pada anak dilaporkan pertama kali oleh CDC Amerika pada tahun

1982. Dari tahun 1990 terjadi peningkatan kasus 2786 menjadi 3598 pada Februari

1992, dan pada Desember 2003. Data UNAIDS memperkirakan di seluruh dunia

8

terdapat 2,5 juta infeksi HIV pada anak usia kurang dari 15 tahun.1 Dari data tersebut,

UNAIDS juga memperkirakan bahwa pada tahun 2010 akan terjadi peningkatan

kematian anak HIV di daerah prevalensi infeksi infeksi HIV tinggi, seperti sub Sahara

Afrika. 6,8,9

Gambar 1. Kasus AIDS pada berbagai kelompok usia di Indonesia

Tahun 2008

Dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dewasa di Indonesia, maka anak

Indonesia juga memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi. Akan tetapi, sampai saat ini

kasus yang teridentifikasi secara pasti belum banyak, sehingga besaran masalahnya

belum dapat ditentukan. Beberapa keadaan yang menimbulkan kecurigaan terhadap

infeksi HIV pada anak adalah adanya infeksi rekuren atau infeksi biasa yang tidak

sembuh dengan pengobatan biasa, dan dapat disertai dengan malnutrisi serta gagal

tumbuh. Bahkan, seringkali tanda dan gejala infeksi oportunistik merupakan

presentasi pertama dari gejala klinis HIV. AIDS Related Illnes (ARI) juga dapat

dipakai sebagai indikator untuk memulai terapi dengan Anti Retro Viral (ARV).2,4

Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :

9

1. Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi

(disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus

AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13 tahun.

2. Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan

hemofilia)

3. Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.

4. Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang ).

Dari penjabaran CDC diatas, kemungkinan pasien termasuk dalam kelompok

1, yaitu transmisi vertikal sejak masa perinatal. Batasan bayi baru lahir dari ibu

pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV selama

kehamilannya. Ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan serologis. Untuk

selanjutnya bayi disebut BIHA (bayi dari ibu dengan HIV/AIDS). Terminologi BIHA

dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis,

paramedik, pekarya, diberi tanda stiker merah pada catatan medik, alat suntik, obat

dan sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Tim BIHA adalah tim yang

ditunjuk kepala bagian Anak untuk membuat dan merancang petunjuk pelaksanaan

hal yang berhubungan dengan BIHA. 4,6,10

Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila

terinfeksi pada saat peripartum, tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu

setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk

menentukan status HIV bayi. 3,4,9 Semua bayi yang terlahir dari Ibu resiko HIV

termasuk ibu yang berasal dari daerah tinggi kejadian HIV, pengguna obat terlarang,

pasangan biseksual, adalah termasuk bayi beresiko terjangkit HIV. Beberapa

mekanisme masuknya virus ke bayi termasuk beratnya penyakit ibu, paparan dengan

cairan tubuh yang terkena infeksi, kekebalan ibu yang berkurang, dan ASI. Resiko

transmisi virus ke bayi besar apabila penyakit ibu berlanjut, atau jumlah CD4+

10

rendah, viral load tinggi (antigenemia), atau kultur darah HIV positif. Infeksi melalui

plasenta dibuktikan dengan adanya biakan yang positip HIV pada darah talipusat dan

jaringan janin lahir mati pada trimester awal. Sedangkan infeksi secara vertikal

dihubungkan adanya ketuban pecah dini empat jam sebelum lahir secara spontan,

tindakan invasif, dan adanya chorioamnionitis. Transmisi dapat secara seksual,

parenteral dan kongenital, perinatal. Resiko tercemar HIV pada Transfusi darah

adalah 1 : 225.000 unit transfusi. Skrining saat ini condong kurang dilakukan, padahal

penderita baru walau mengalami viremia, menunjukkan sero negatif untuk 2 sampai 4

bulan atau 5-15%. 5,12

Kelainan atau gejala yang muncul biasanya tampak pada umur 1 tahun (23 %)

sampai dengan 4 tahun (40 %). Beberapa gejala klinik yang muncul seperti failure to

thrive, infeksi saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis carinii Pneumonia),

sinusitis, sepsis, moniliasis berulang, hepatosplenomegali, febris yang tidak diketahui

penyebabnya, ensefalopati (50%-90%) gejala ini terjadi sebelum obat anti Retrovirus

dipergunakan. 2,3 Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi

penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau

kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari. Kebanyakan anak

dengan infeksi HIV terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun. 3,9

11

Gambar 2. Penegakan Diagnosis Presumtif HIV pada Bayi < 18 bulan

(Depkes, 2008)

Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :

1. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.

2. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan

3. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya

CD4

4. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi

imun.

5. Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.

Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM

maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda ELISA maupun Western Blot.

Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda ELISA, ataupun DNA –

virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini tentunya

mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi. 4,11

WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak. Seorang anak (<12 tahun)

dianggap menderita AIDS bila :

1. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-

kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-

gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak

berkaitan dengan infeksi HIV.

2. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor

dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh

keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV. 4,8

Tabel 1. Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).

12

Gejala Mayor :a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan. b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan)c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap

Gejala Minor :a) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegalib) Kandidiasis mulut dan faringc) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis)d) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)e) Dermatitis yang menyelurhf) Ensefalitis

Tes Diagnostik untuk Infeksi HIV Pada Bayi

1. HIV Antibodi pada anak umur > 18 bulan dilakukan dengan metode

ELISA IgG anti HIV Ab, dapat ditransfer melalui plasenta pada Trimester

III. Bila hasil positif sebelum umur 18 bulan, mungkin antibodi dari

ibunya.

2. VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur 3-4

bulan. Bila umur 4 bulan hasil negatif bayi bebas HIV, bila HIV PCV

RNA positif BIHA positif terkena HIV. Pengujian virologi pada awal

kelahiran dapat dipertimbangkan untuk bayi yang baru lahir beresiko

tinggi infeksi HIV, contohnya seperti bayi yang lahir dari ibu yang

terinfeksi HIV yang tidak menerima perawatan prenatal, ART prenatal,

atau yang memiliki viral load HIV> 1.000 copies / mL mendekati ke waktu

kelahiran. Sebanyak 30% -40% dari bayi yang terinfeksi HIV dapat

diidentifikasi dari usia 48 jam. Sampel darah dari tali pusar tidak boleh

digunakan untuk evaluasi diagnostik karena kontaminasi dengan darah ibu.

Definisi yang pasti telah diusulkan untuk membedakan didapatkannya

infeksi HIV selama periode intrauterin atau dari periode intrapartum. Bayi

13

yang memiliki tes virologi positif pada atau sebelum usia 48 jam dianggap

memiliki infeksi awal (yaitu, intrauterin), sedangkan bayi yang memiliki

tes virologi negatif selama minggu pertama kehidupan dan tes positif

berikutnya dianggap memiliki infeksi setelahnya (yaitu, intrapartum).

3. CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa

700-1000/ml).

4. P24 Antigen test sudah kurang dipakai untuk diagnostik, karena dipandang

kurang sensitif terutama untuk bayi. Knuchel dkk membandingkan

sensitivitas tes tersebut antara DBS ( dried blood spot ) dan plasma.

Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan

tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma.

Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV

dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut

rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral

load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk

menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi

yang salah didiagnosis sebagai tidak terinfeksi. Penggunaan PCR HIV

DNA-RNA memiliki sensitiitas 100% pada plasma. 4,7

Jika pada tes konfirmasi antibodi HIV positif, maka pemeriksaan HIV PCR

DNA pada bayi harus dilakukan. Jika HIV PCR DNA pada bayi positif, profilaksis

ARV harus dihentikan dan bayi segera dirujuk ke spesialis HIV pediatrik untuk

konfirmasi diagnosis dan pengobatan infeksi HIV dengan terapi kombinasi standar

antiretroviral. Bayi yang terinfeksi HIV juga harus menerima kemoprofilaksis

terhadap PCP dengan trimetoprim-sulfametoksazol (TMP) oral dimulai pada usia 4-6

minggu. 6,10

14

Gambar 3. Pemberian ART berdasarkan kriteria klinis

15

Pada pasien ini, pemeriksaan virologi telah dilakukan di RSU Dr. Soetomo

saat berusia 2 bulan. Pasien dirawat di RSU Dr. Soetomo selama ± 2 bulan. Orang tua

menyatakan bahwa pasien telah dilakukan pemeriksaan HIV PCR DNA dan viral

load. Penegakan diagnosis HIV/AIDS pada pasien berdasarkan riwayat lahir dari ibu

beresiko, kriteria klinis, dan didapatkan adanya HIV pada pemeriksaan virologi.

Terapi ARV telah dimulai setelah diagnosis HIV/AIDS ditegakkan.

Dari riwayat kelahiran didapatkan bahwa pasien lahir secara spontan belakang

kepala di Bidan Desa, dan telah mendapatkan ASI hingga saat terdiagnosis. Terkait

dengan bagaimana pencegahan transmisi HIV dari ibu beresiko ke anak yang

dilahirkan telah diatur dalam program WHO yang bernama Prevention of Mother-to-

Child Transmission of HIV (PMTCT). PMTCT bertujuan untuk mencegah penularan

HIV dari ibu ke bayi juga mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.

Adapun intervensi PMTCT tersebut memiliki 4 konsep dasar :

1. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif

2. Menurunkan viral load serendah-rendahnya

3. Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu

HIV positif

4. Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif

Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila :

1. Terdeteksi dini

2. Terkendali (ibu melakukan perilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV

profilaksis secara teratur, ibu melakukan ANC secara teratur, petugas

kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai kewaspadaan standar)

3. Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesaria)

4. Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan

16

5. Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi dan balita dari ibu dengan HIV

positif, dan

6. Adanya dukungan yang tulus dan perhatian yang berkesinambungan

kepada ibu, bayi, dan keluarganya.

Dari paparan PMTCT diatas, cara kelahiran yang direkomendasikan untuk

meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu adalah seksio sesaria

(SC) berencana sebelum saat persalinan tiba. Pada saat persalinan pervaginam, bayi

terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena

menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat

resusitasi). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SC akan menurunkan resiko

penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66%. Apabila SC tidak bisa dilaksanakan,

maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan

perlukaan pada bayi (forceps, vacuum ekstraksi) dan perlukaan pada ibu (episiotomi).

12, 13, 14 Pasien lahir secara pervaginam sehingga kemungkinan terinfeksi HIV saat

persalinan sangat dimungkinkan.

Pasien diberi ASI selama 2 bulan, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,

penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi susu ASI dari perempuan yang terinfeksi

HIV. Di Amerika dan Kanada, dimana susu formula bayi aman dan tersedia, seorang

yang ibu terinfeksi harus disarankan untuk tidak menyusui bahkan jika dia menerima

ART (terapi anti Retrovirus). Menghindari secara total untuk menyusui (dan susu

sumbangan) oleh perempuan yang terinfeksi HIV tetap menjadi satu-satunya

mekanisme dimana pencegahan penularan HIV melalui ASI dapat dipastikan. 5,15,16

Salah satu rekomendasi  Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu

terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 3 bulan atau lebih pendek

kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti ASI

17

mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang mana hal ini

menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke bayi.

AFASS merupakan kepanjangan dari:

A : ACCEPTABLE                : mudah diterima

F : FEASIBLE        : mudah dilakukan

A : AFFORDABLE : terjangkau

S : SUSTAINABLE : berkelanjutan

S : SAFE                                : aman penggunaannya

Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk

memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga, mereka

mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk

menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu

dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus

diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar,

serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan

susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu formula harus

disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan

peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada

masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman. 13,.14,16

Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan

belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child

transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi,

18

diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat

membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya. 14,16

Tabel 2. Faktor Risiko Potensial untuk Transmisi HIV-1 melalui ASI

Kategori Faktor risikoDurasi menyusuiKarakteristik Ibu

Karakteristik bayiKarakteristik ASI /human milk

ASI eksklusif

Durasi yang lebih lamaUmur mudaParitas tinggiCD4+ yang rendahViral load darah perifer yang tinggiAbnormalitas payudara

(abses payudara, mastitis, nipple lesions)Candidiasis oralViral load yang tinggiKonsentrasi substansi antiviral yang rendah (contoh: lactoferin, lysozyme, SLPI, epidermal growth factor)Konsentrasi limfosit T spesifik-virus sitotoksikSekkresi IgA yang rendahIgM yang rendahMixed breastfeeding

Dikarenakan penularan HIV-1 melalui proses menyusui selalu terjadi, dan

karena menghindari proses menyusui adalah sulit dilakukan dalam banyak situasi

tertentu, maka penting untuk mengidentifikasi faktor risiko guna merancang rencana

intervensi untuk mencegah transmisi sesuai dengan faktor risiko. 12,13

Saat dibawa ke RS, pasien terdiagnosis HIV/AIDS stadium klinis 3 dengan

gejala malnutrisi sedang yang tidak bisa dijelaskan, diare persisten (>14 hari), panas

badan persisten, kandidiasis oral persisten, infeksi paru yang terkait dengan infeksi

HIV kronis, serta anemia yang tidak dapat dijelaskan. Semua gejala tersebut

merupakan infeksi opurtinistik yang seringkali menyebabkan kematian pada penderita

HIV/AIDS. Seperti penelitian Yani dkk, infeksi respiratorik, PCP maupun TB,

merupakan penyebab kesakitan dan kematian terbanyak anak dengan HIV yang

19

diikuti oleh oral thrush, diare, dan gagal tumbuh. Empat dari 5 pasien PCP bersamaan

dengan diare. Prinsip pengobatan pada HIV/AIDS adalah terapi etiologi dengan

ARV, mengendalikan infeksi opurtinistik, mengatasi status defisiensi imun, serta

pemberian vaksinasi. 6,8,10

Tabel 3. Macam Antiretrovirus (ARV)

Golongan obat Nama generik Singkatan Nucleoside-reserve Transcriptase Azidotimidin/zidovudin

DidanosinStavudinZalbitabinLamivudin

AZTDDID4TDDC3TC

Protease Inhibitor (PI) IndinavirRitonavirSaquinavir

IDV

Non-Nucleoside-Reserve Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin

Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai indikator

pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah CD4 serta menghitung beban

viral (viral load).

Gambar 4. Dosis Obat Anti Retrovirus

20

Tabel 4. Terapi ARV Menurut Tahapan Klinis infeksi HIV

Keadaan klinis penyakit Pedoman terapiSindroma Retroviral Akut (2-4 minggu setelah terpajan) PI + (1 atau 2 NRTI)Asimtomatik dengan beban virus < 10.000/ml Didanosin

Kombinasi 2 NRTI Simtomatik / asimtomatik dengan beban virus > 10.000/ml

PI + (1 atau 2 NRTI)

Berlanjutnya penyakit setelah terapi dengan 2 NRTI Pindah ke terapi PI – NRTI

Pemberian vaksinasi pada pasien tidak dilakukan sejak lahir. Terdapat

penelitian yang menunjukkan bahwa anak yang terkena infeksi HIV, masih

mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang baik sampai berumur 1-2

tahun. Kemampuan ini menurun setelah berusia di atas 2 tahun, bahkan ada yang

mengatakan menghilang pada umur 4 tahun. Karenanya vaksinasi rutin sesuai dengan

“Program Pengembangan Imunisasi” yang ada di Indonesia dapat tetap diberikan,

dengan pertimbangan yang lebih terhadap pemberian vaksin hidup, terutama BCG dan

Polio. 3,8

Sesuai rekomendasi WHO dan CDC, sebelum pasien diijinkan KRS sebaiknya

dilakukan :

1. Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap (Hb, leukosit, trombosit, hitung

jenis leukosit)

2. Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat

tidak diberikan vaksin polio hidup. 6,16

Pengendalian infeksi opurtinistik pada pasien dilakukan dengan terapi

cefotaxime dan cotrimoxazole tab, serta nebulisasi dengan PZ + Bisolvon® untuk

infeksi respiratorik, diare diterapi dengan L-Bio® dan rehidrasi cairan, candidiasis

oral dengan nistatin oral drop. Saran untuk tetap melanjutkan ARV juga telah

dilakukan. Setelah dirawat selama 6 hari kondisi klinis pasien membaik. Tidak ada

21

keluhan mencret, batuk, dan sesak, panas badan mulai turun, sariwan berkurang, dan

foto rontgen thorax kontrol menunjukkan perbaikan. Saat diijinkan KRS, evaluasi

hasil pemeriksaan laboraturium juga menunjukkan perbaikan.

22

23

HIV-1

Jarum suntik Transfusi Ibu

Hub sexual

Sel Host

CD4+

Internalisasi

Enzim RT-ase

Transkripsi terbalik

Mengubah RNA menjadi DNA

Integritas DNA provirus ke Host

Transkripsi / translasi & propagasi virus

Limfosit T Aliran darah / mukosa

Kel. Limfe

Hiperplasi folikel

Replikasi virus masit

Kel. Getah bening perifer

Transplasental Perinatal

Limfadenopati Viremia Lim B

Destruksi sel

CD4

Inf. Akut

Laten

Krisis

Kel. Sel. B

Pe Ab spesifik

Pe Ig

total

Hiper gamma globulinemia

Respon IgM

me

Inf. Oportunistik

Keganasan sekunder

AIDS

Tahan sitopatik HIV

Gangguan fungsi monosit & makrofag

AIDS

SSP

Penyebaran patogenesis

- Kematoksis - Fagositosis

Monosit makrorag

VIREMIA

SSP Sal. napas

Paru Hidung

Alveolar

Sinusitis

Pneumonitis interstisiel

Eksudasi

Akumulasi sekret

Batuk

spontan Tidak spontan

Obstruksi sel napas

Akumulasi sekret

Kerusakan pertukaran gas

Ronki / tridor

Bersihan jalan napas

Dispneu

Perub. Pola napas

Suplai O2

Fatique Pe perfusi

Intoleran aktifitas

Hepar & lien

Hepatomegali Splenomegali

Nyeri

Hipotalamus

Pirogen

Termostat

Hipertermi

Vasodilatasi PD

Kejang2

Vasodilatasi Kelj.

Sebasea

Resiko injuri

Keringat

Erithema

Integritas kulit Otak

Meningitis Ensefalitis

Ensefalopathy

Vasodilatasi PD G3 neuro

psikiatrik G3 neuropati

Immobilitas fisik

G3 motorik Demensia Pe fungsi

kognitif

Pe TIK

Atralgia & / mialgia

Nyeri Istirahat tidur

Batang otak

Menekan N. Vagus

Simpatis

Jantung

Lambung Usus

Takikardi TD

Kardiomegali

Kardiomiopati

DC

peHCL

Mual, muntah,

anorexia

Nutrisi

BB

pe peristaltik

Mal absorbsi

Diare

Defisit / hipovolume

Dehidrasi

Peperfusi

Ginjal

Oligouria

Eliminasi uri

Turgor Mata cowongUbun-ubun cekungMukosa kering

Keseim-bangan

cairan

Eliminasi alvi

Resiko G3 integritas

kulit

24

25

MA

26

MA

BAB 4

KESIMPULAN

Saat ini pasien telah terinfeksi HIV/AIDS dengan stadium klinis 3 (Gejala Berat)

dengan gejala malnutrisi sedang yang tidak bisa dijelaskan, diare persisten (>14 hari), panas

badan persisten, kandidiasis oral persisten, infeksi paru yang terkait dengan infeksi HIV

kronis, serta anemia yang tidak dapat dijelaskan. Terapi yang telah diberikan adalah terapi

untuk mengatasi infeksi opurtinistik dengan cefotaxime, cotrimoxazole, nistatin oral drop,

serta nebulisasi dengan PZ + Bisolvon® dan melanjutkan ART. Setelah dirawat 6 hari, klinis

pasien membaik,hasil evaluasi Rontgen thorax dan laboratorium juga membaik dan pasien

diijinkan KRS.

Pada ibu HIV atau daerah dimana prevalensi HIV tinggi, maka proses kelahiran

disarankan dengan operasi sesar, dengan tujuan membiarkan lapisan amnion tetap intak

selama mungkin agar penularan HIV perinatal terhindar. Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV

yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila terinfeksi pada saat peripartum,tanda klinis dapat

ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada

umur 18 bulan atau HIV PCR DNA sejak umur 1 hari sampai 6 bulan untuk menentukan

status HIV bayi.

Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan belum

mengerti teknik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child transmission), tidak

menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia.

Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan

pilihan yang terbaik untuk bayinya

Manajemennya meliputi perawatan bayi seperti bayi yang lain, dengan perhatian pada

pencegahan infeksi dan cara pemberian minum; bayi tetap diberi imunisasi rutin, kecuali

terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup. Pada waktu

27

pulang diberikan Antiretrovirus profilaksis (tergantung status pemberian antiretrovirus ibu),

dan dilakukan pemeriksaan darah PCR DNA/RNA pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18 bulan. Bila

pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV positif dua kali berturut selang satu bulan mulai diberikan

pengobatan Anti Retrovirus.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1986-2006. Jakarta : Pusat

Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

2. Yani F.F, Arwin A.P, Supriyatno B, Setyanto D.B, Kurniati N, Kaswandani N. 2006.

Penyakit Respiratorik pada Anak dengan HIV. Sari Pediatri. 8(3) : 188-194.

3. Meyer, F., Akib, A., Boediman. 2009. Characteristics of HIV-infected children born

to HIV-positive mothers in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2002 and 2007.

Paediatr Ind. 49(2) : 112-118.

4. Depkes RI. 2008. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Anti Retroviral pada

Anak di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

5. WHO. 2009. New Recommendations : Prevention of mother-to-child transmission.

World Health Organization. Available at www.who.int/hiv diakses tanggal 30

Desember 2012.

6. Centers for Disease and Control. 2009. Guidelines for the Prevention and Treatment

of Opportunistic Infections Among HIV-Exposed and HIV-Infected Children.

Mortality and Morbidity Werkly Report. 58 : RR-11.

7. Yuly. 2011. Aspek klinis HIV. Cermin Dunia Kedokteran. 182 (Januari-Februari): 21-

24.

8. U.S Department of Health and Human Service. 2012. HIV and its Treatment :

HIV/AIDS The Basics. Available at http://aidsinfo.nih.gov/guidelines diakses tanggal

29 Desember 2012.

9. UNAIDS. 2007. AIDS Eidemic Update. Geneva : World Health Organization

10. UNICEF Malaysia Communications. 2007. Fact Sheet : AIDS is Threatening

Children Like Never Before. Malaysia : UNICEF.

11. U.S Department of Health and Human Service. 2012. Guidelines for the Use of

Antiretroviral Agents in Pediatric HIV Infection. Available at

http://aidsinfo.nih.gov/guidelines diakses tanggal 29 Desember 2012.

12. Newell, ML. 2001. Prevention of mother-to-child transmission of HIV: challenges for

the current decade. Bulletin of World Health Organization. 79(12) : 1138-1144.

13. Newell, ML. 2004. HIV Transmission through Breastfeeding : a Review of Available

Evidence. World Health Organization

29

14. Spensley et al. 2009. Preventing Mother-to-Child Transmission of HIV in Resource-

Limited Settings: The Elizabeth Glaser Pediatric AIDS Foundation Experience. Am J

Pub Health. 99(4) : 631-137.

15. Bauman, L.J., Silver, E.J., Draimin, B.H and Hudis J. 2007. Children of Mothers With

HIV/AIDS: Unmet Needs for Mental Health Services. Pediatrics. 120 : e1141-47.

16. UNAIDS. 2010. Guidelines on HIV and infant feeding. 2010. Principles and

recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of

evidence. World Health Organization.

30