LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

40
CASE BASE DISCUSION EPISTAKSIS Tugas Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu THT – KL RST Dr. Soedjono Magelang Periode 6 April 2015 - 2 Mei 2015 DISUSUN OLEH : Mila Rosmalia Rahmani 01.210.6219 Pembimbing: Kolonel CKM dr. Budi Wiranto Sp.THT-KL

description

mmm

Transcript of LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Page 1: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

CASE BASE DISCUSION

EPISTAKSIS

Tugas Kepanitraan KlinikBagian Ilmu THT – KL RST Dr. Soedjono Magelang

Periode 6 April 2015 - 2 Mei 2015

DISUSUN OLEH :

Mila Rosmalia Rahmani

01.210.6219

Pembimbing:

Kolonel CKM dr. Budi Wiranto Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2015

Page 2: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

LEMBAR PENGESAHAN

CASE BASE DISCUSSION

EPISTAKSIS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Kepaniteraan Klinik Departemen THT Rumah Sakit Tk.II

dr. Soedjono Magelang

Oleh :

Mila Rosmalia Rahmani

01.210.6219

Magelang, April 2014

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

(Kolonel CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT )

1

Page 3: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat-Nya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini. Penulis berharap agar laporan ini dapat

dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan dan instasi.

Dalam penyelesaian laporan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Mayor CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT

2. Teman-teman Departemen stase THT yang selama ini selalu memberikan dukungan

Penulis menyadari bahwa selama penulisan ini, penulis masih mempunyai banyak

kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima saran dan kritikan untuk menyempurnakan

laporan ini.

Magelang, April 2015

Penulis

2

Page 4: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.............................................................................................................. 1

Kata Pengantar...................................................................................................................... 2

Daftar Isi.................................................................................................................... ........... 3

BAB I Pendahuluan............................................................................................................... 4

BAB II Status Pasien............................................................................................................. 5

BAB III Tinjauan Pustaka..................................................................................................... 12

BAB IV Pembahasan............................................................................................................ 26

Daftar Pustaka............................................................................................. 28

3

Page 5: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter harus siap

menangani kasus tersebut. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada

pembuluh yang berdarah.

Epistaksis merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,

melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila

tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian

depan atau bagian belakang hidung. Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak-

anak maupun pada usia lanjut.

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-

kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada

hidung ataupun juga dapat disebabkan oleh kelainan sistemik. Penyebab tersebut diantaranya

trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital, penyakit kardiovaskular, kelainan darah,

infeksi sistemik, gangguan endokrin, perubahan tekanan atmosfer.

Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior.

Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri. Sedangkan epistaksis

posterior umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya

berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior.

4

Page 6: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

BAB II

STATUS PASIEN

II.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.J

Usia : 27 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Asrama

Pekerjaan : Tentara

Agama : Islam

II.2. ANAMNESIS

• Keluhan Utama : mimisan

• Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke UGD RST dr.Soedjono tanggal 8Juli 2013 pukul 16.20 WIB. Pasien

mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sudah 2 hari, awalnya pada

hari minggu sore setelah pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit, lalu

berhenti sendiri dengan memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu, lalu pada

senin pagi dan pada senin siang kembali lagi mimisan, perdarahan yang keluar juga

sedikit dan berheti dengan memasukkan daun sirih ke dalam hidung. Badan terasa

tidak enak, pasien juga mengeluh batuk tidak berdahak, pasien merasa sedikit pusing.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya tidak pernah seperti ini, HT, DM, dan penyakit kelainan darah (-),

riwayat trauma pada wajah/hidung (-)

Riwayat Pengobatan

Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan seperti aspirin, dan belum

pernah diobati ke dokter

Riwayat Penyakit Keluarga:

Dikeluarga tidak ada yang seperti ini

Riwayat Sosial Ekonomi

Kesan ekonomi cukup

5

Page 7: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

II.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalisata

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital :

TD : 130/80 mmHg

N : 88 x/min

S : 36.2oC

RR : 20x/min

Aktivitas : Normoaktif

Sikap : Kooperatif

Status gizi : Baik

Status lokalis (THT)

Kepala & leher :

• Kepala : mesocephale

• Wajah : simetris

• Leher : pembesaran kelj.limfe (-)

TELINGA

Bagian Auricula Dextra Sinistra

Auricula

Bentuk normal,

nyeri tarik (-)

nyeri tragus (-)

Bentuk normal

nyeri tarik (-)

nyeri tragus (-)

Pre auricular

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Retro auricularBengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Bengkak (-)

Nyeri tekan (-)

MastoidBengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Bengkak (-),

Nyeri tekan (-)

CAE Serumen (+)

hiperemis (-)

Serumen (+)

hiperemis (-)

6

Page 8: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Sekret (-) Sekret (-)

Membran

timpani

Intak

putih mengkilat

refleks cahaya (+)

Intak

putih mengkilat

refleks cahaya (+)

HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Luar: Kanan Kiri

Bentuk Normal Normal

Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Inflamasi/tumor (-) (-)

Rhinoskopi Anterior Kanan Kiri

Sekret (-) (-)

Mukosa hiperemis (-)

edema (-)

basah (-)

pucat (-)

hiperemis (-)

edema (-)

basah (-)

pucat (-)

Konka Media hipertrofi (-)

hiperemis (-)

hipertrofi (-)

hiperemis (-)

Konka Inferior hipertrofi (-)

hiperemis (-)

hipertrofi (-)

hiperemis (-)

Tumor (-) (-)

Septum Deviasi (-)

Massa (-) (-)

TENGGOROKAN

Lidah Ulcus (-) Stomatitis (-)

Uvula Bentuk normal, di tengah, hiperemis (-)

Tonsil Dextra Sinistra

Ukuran T1 T1

Permukaan Rata Rata

Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)

7

Page 9: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Kripte Melebar (-) Melebar (-)

Detritus (-) (-)

Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)

II.4. RINGKASAN

o Anamnesis

o Epistaksis (+), pada kedua lubang hidung, darah yang keluar sedikit, dapat

berhenti sendiri dengan melakukan tekanan pada hidung

o Seperti ini baru pertama kali

o Trauma hidung (-)

o Riw HT, DM dan penyakit kelainan darah (-)

o Riw konsumsi obat-obatan seperti aspirin (-)

o Pemeriksaan Fisik

o Pada pemeriksaan hidung tidak ditemukan kelainan, tidak ditemukan darah

II.5. USULAN PEMERIKSAAN

Darah Lengkap

Parameter Hasil Nilai rujukan

WBC (103/mm3) 9.1 4.0-10.0

RBC (106/mm3) 5.98 ↑ 3.50 – 5.50

HGB (gr/dl) 15.3 ↑ 11.0 – 15.0

HCT (%) 47.4 36.8 – 48.0

PLT (103/mm3) 256 158 - 458

PCT (%) 0.29 ↑ .18 - .28

MCV (µm3) 79.4 ↓ 80.0 – 99.0

MCH (pg) 25.5 ↓ 26.0 – 32.0

MCHC (gr/dl) 32.2 32.0 – 36.0

RDW (%) 11.4 ↓ 11.5 – 14.5

MPV ( µm3) 11.7 ↑ 7.4 – 10.4

8

Page 10: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

PDW (%) 15.8 ↑ 10.0 – 14.0

% Lym 16.3 ↓ 20.0 – 40.0

% Mon 11.4 1.0 – 15.0

% Gran 72.3 ↑ 50.0 – 70.0

# Lym 1.5 0.6 - 4.1

# Mon 1.0 0.1 – 1.8

# Gran 6.6 2.8 – 7.0

GDS

Ureum/Creatinin

SGPT/SGOT

CT/BT

II.6. DIAGNOSIS BANDING

Epistaksis anterior

Epistaksis posterior

II.7. DIAGNOSIS SEMENTARA

Epistaksis anterior

II.8. USULAN TERAPI:

Nonmedikamentosa

o Pasang tampon

Medikamentosa

o Infus RL 20 tpm

o Antibiotik (cefotaxim 2x1 gr)

II.9. EDUKASI

9

Page 11: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Segera hubungi dokter apabila terjadi mimisan kembali

II.10. PROGNOSA:

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionales : dubia ad bonam

II.11.FOLLOW UP

Tanggal 9-7-2013

S : sudah tidak mimisan, batuk (+)

O :

St generalis dbn

TD 130/90 mmHg, N 88x/min, S 36oC, RR 20x/min

St THT :

Telinga

Sekret -/-, serumen -/-, m timpani intak/intak

Hidung

Sekret -/-, konka hipeemis -/-, konka hipertrofi -/-

Tenggorokan

Uvula ditengah, T1/T1, detritus -, kripte melebar -

A : epistaksis anterior

P : Infus RL 20 tpm

Zibac 2x1 gr

Kalnex 3x1 amp

Dycinon 3x1 amp

Tanggal 10-7-2013

S : hidung mimisan (-), batuk (-), kepala terasa sedikit berat

O :

St generalis dbn

TD 130/80 mmHg, N 80 x/min, S 36oC, RR 20x/min

St THT :

Telinga

Sekret -/-, serumen -/-, m timpani intak/intak

10

Page 12: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Hidung

Sekret -/-, konka hipeemis -/-, konka hipertrofi -/-

Tenggorokan

Uvula ditengah, T1/T1, detritus -, kripte melebar -

A : epistaksis anterior

P : boleh pulang, kontrol ke poli hari Senin 15/7/2013

BAB III

11

Page 13: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk piramid,

bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung,

ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Sedangkan bagian hidung dalam terdiri

dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu :

- medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu lamina

prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os palatina, kartilago

septum, dan kolumela

- lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior. Diantara konka

tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.

1. Concha nasalis superior

... Meatus nasi superior...

2. Concha nasalis media

... Meatus nasi medius...

3. Concha nasalis inferior

... Meatus nasi inferior...

Dasar cavum nasi

Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid anterior. Pada

meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.

- inferior adalah os maksilla & os palatum

- superior adalah lamina kribiformis

Vaskularisasi

Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di

antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.

Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian depan

septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis

superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .

12

Page 14: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum & struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus.

Inervasi

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus

oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang

maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus

memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus

etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis

anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama

arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi

cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum

Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut

serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha

media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung.

Fisiologi

13

Page 15: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi hidung

dan sinus paranasal adalah :

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2. Fungsi penghidu karema terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara untuk

menampung stimulus penghidu

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara dan

mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang

4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma

dan pelindung panas

5. Refleks nasal.

III.2. Epistaksis

III.2.1.Definisi

Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan

sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera

ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau

bagian belakang hidung.

1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah

diatasi dan dapat berhenti sendiri.

2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok

dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner

dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian.

Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya

harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya

pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan

penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan

modalitas pengobatan yang terbaik.

III.2.2.Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-

kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada

hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan

pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan

14

Page 16: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan

atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan

ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma yang lebih hebat

seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya

benda asing tajam atau trauma pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam. Perdarahan dapat

terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu

sedang mengalami pembengkakan.

Kelainan pembuluh darah (lokal)

Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih

sedikit.

Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau

sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis, atau

lepra.

Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi

pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,

nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis.

Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering kali hebat dan dapat berakibat fatal.

Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia, trombositopenia,

bermacam-macam anemia serta hemofilia.

Kelainan Kongenital

15

Page 17: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis

hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease),

juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue hemorrhagic

fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai epistaksis.

Perubahan udara dan tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat

dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industry

yang menyebabkan keringnya mukosa hidung

Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh

perubahan hormonal.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.

Etiologi lokal

Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung,

fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.

Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah

tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan

karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau

ingus.

Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada

anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.

Eiologi lainnya yaitu :

iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung;

Keadaan lingkungan yang sangat dingin

Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba

Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama

Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai Ingus

berbau busuk.

16

Page 18: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Etiologi sistemik

Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi

yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering

pada usia 60-70 lahun.

Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.

Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid

dll.

Termasuk etiologi sistemik lain

Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada

kehamilan, menarke dan menopause

kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit

Rendj-Osler-Weber;

Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia,

tumor leher dan penyakit jantung

pada pasien dengan pengobatan antikoagulansia.

III.2.3.Epidemiologi

Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada orang

dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau perdarahan

hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis

didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis

anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis

posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua, terutama pada laki- laki berusia ≥ 50 tahun

dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi

hidung dan penyakit hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena mukosanya

lebih kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.

Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah beberapa

kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur 6-10 tahun dan 64%

berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa

dnegan perdarahan hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.

III.2.4.Sumber perdarahan

Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.

Epistaksis anterior

17

Page 19: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya

ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.

Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang

berada di septum bagian anterior yang merupakan area terpenting pada epistaksis. la

merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina

asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa

terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua

epistaksis pada anak.

Epistaksis posterior

umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya berasal

dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke rongga

mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering

terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.

III.2.5.Patofisiologi

Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna yaitu arteri

palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri

18

Page 20: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri

sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang

disebut sebagai pleksus kiesselbach (little’s area).

Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua

jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.

Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis

anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari

pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior

melalui cabang a.sfenopalatina.

Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari

lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas

seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan

pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan

lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan

kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang

komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi

pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan

yang banyak dan lama.

Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya

epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini

disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung

(terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka

waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis

III.2.6.Diagnosis

Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan bersamaan dengan persiapan

untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan berhenti, lakukan evaluasi untuk

menentukan penyebab.

Dari anamnesis yang dapat digali adalah :

1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

19

Page 21: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar

dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?

4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Kecenderungan perdarahan

6. Hipertensi

7. Diabetes mellitus

8. Penyakit hati

9. Penggunaan antikoagulan

10. Trauma hidung yang belum lama

11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon

Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan kepala

sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak ada gangguan

tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior,

pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien

dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti

nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.

Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam

faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari

pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa :

1. Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.

Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha

inferior harus diperiksa dengan cermat

2. Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan

epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

3. Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena

hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang

4. Rontgen sinus

Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi

5. Skrinning terhadap koagulopati

20

Page 22: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial,

jumlah platlet dan waktu perdarahan

III.2.6.Penatalaksanaan

Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya epistaksis.

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan

serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang

infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau

dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat

apakah perdarahan dari anterior atau posterior.

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar

dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk

atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah masuk ke

saluran napas bagian bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala

dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah

dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu kapas yang telah

dibasahi dengan adrenalin 1/5000 – 1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan ke

dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat

dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi

vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau

posterior hidung.

Perdarahan Anterior

Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan.

Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat

dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.

Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak, menggunakan

apron plastic serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya.

Gulungan kapas yang telah dibasahi larutan kokain 4% dimasukkan dengan hati-hati ke

dalam hidung sambil mengaaspirasi darah yang berlebihan.

21

Page 23: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan

larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.

Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan

pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin

atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dari

dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung, serta harus

dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan

untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilaukan pemeriksaan penunjang untuk

mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru.

Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis primer, pasien

dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan

tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan

kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.

Perdarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat dan sulit

dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan epistaksis posterior

antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon hidung posterior, atau ligase

pembuluh spesifik.

Blok Ganglion Sfenopalatinum

22

Page 24: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik dan

terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hati-hati ke dalam

kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri sfenopalatina.

Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk prosedur pemasangan

tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang arteri sfenopalatina, maka

epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnya perdarahan ini hanya

berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorbsi, untuk itu dapat digunakan Gliserin (USP

2%) dan Xilokain untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak member efek, maka

perdarahan mungkin berasal dari arteri etmoidalis posterior. Metode ini lebih sering

digunakan oleh spesialis karena komplikasinya ke okular.

Tampon Hidung Posterior

Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik memakai kateter

melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4x4 inchi yang digulung

erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan tampon yang baik. Dapat diolesi

dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Untuk menanggulangi

perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq). Tampon ini

dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini

terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan

kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik

keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian

kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu

didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke

nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam

kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di

depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang

lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk

menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena

dapat menyebabkan laserasi mukosa.

23

Page 25: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat depan

dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon dengan dua

ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, dan yang satunya sebagai

tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14 biasa dengan suatu kantung 15cc juga dapat

dimasukan tranasal, dikembangkan dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter

dapat dipertahankan dengan suatu klem umbilicus. Yang paling sering dilakukan adalah

memasukan suatu kateter melalui hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan

lewat mulut. Dua benang yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur

dari mulut. Tali ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring

sebagai tali penarik. Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk

menempatkan tampon pada koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan

jari dokter hingga berada diatas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak

boleh menekan palatum mole. Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang

keluar dari hidung depan, dokter harus menempatkan tampon anterior diantara kedua tali dan

kedua tali diikatkan simpul pada gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat

lubang hidung yang sama dan tidak diikatkan pada kolumela, hal ini dapat menimbulkan

nekrosis jaringan lunak. Pasien yang memasang tampon harus dirawat dirumah sakit.

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan

bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior

terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan

kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik

dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan

semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik

kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.

24

Page 26: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

Ligasi Pembuluh Spesifik

Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu

dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna, arteri

maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis

posterior anterior.

III.2.7.Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat

dari usaha penanggulangan epistaksis.

Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas

bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep obstructive apnea,

hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark

miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus

dilakukan secepatnya.

Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan

antibiotik.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau

toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap

pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan

masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat

mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat

mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon

posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika

benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon

balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung

dan septum.

25

Page 27: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang ke UGD RST dr.Soedjono tanggal 8Juli 2013 pukul 16.20 WIB. Pasien

mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sudah 2 hari, awalnya pada hari

minggu sore setelah pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit, lalu berhenti

sendiri dengan memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu, lalu pada senin pagi dan

pada senin siang kembali lagi mimisan, perdarahan yang keluar juga sedikit dan berheti

dengan memasukkan daun sirih ke dalam hidung. Badan terasa tidak enak, pasien juga

mengeluh batuk tidak berdahak, pasien merasa sedikit pusing. Riwayat penyakit dahulu

sebelumnya tidak pernah seperti ini, HT, DM, dan penyakit kelainan darah (-), riwayat

trauma pada wajah/hidung (-). Riwayat pengobatan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan

seperti aspirin, dan belum pernah diobati ke dokter. Riwayat Penyakit Keluarga dikeluarga

tidak ada yang seperti ini

Pemeriksaan hidung tidak ditemukan darah. Pada pemeriksaan lab darah tidak

ditemukan kelainan yang bermakna

Maka dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat diambil diagnosis

sementara yaitu epistaksis anterior. Mekanisme epistaksis dari pasien adalah :

Etiologi

Pecahnya pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior

Epiktaksis

Pasien diberikan terapi berupa :

Nonmedikamentosa

o Pasang tampon

Medikamentosa

o Infus RL 20 tpm

Mengandung Na, K, Ca, Cl, Basa. Diindikasikan untuk mengembalikan

keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik.

26

Page 28: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

o Zybac 2x1gr

Mengandung ceftrazidime pentahydrate. Diindikasikan untuk infeksi saluran

pernafasan bagian bawah, ISK, infeksi kulit, infeksi abdominal, dialisis. Dosis

diberikan 1 gr tiap 8-12 jam.

o Kalnex 3x1 amp

Mengandung asam traneksamat. Diindikasikan untuk fibrinolisis lokal

(epistaksis), edema angioneurotik hereditas, perdarahan abnormal sesudah

operasi, perdarahan setelah operasi, menoragia. Dosis yang diberikan injeksi

1-2 x/hr ,oral 3-4 x 500 mg.

o Dicynone

Mengandung etamsilat. Diindikasikan untuk perdarahan efusi (pencegahan &

pengobatan pada bedah umum, bedah saraf, THT, mata, & rongga mulut),

pengobatan internal (perdarahan pada pencernaan, mimisan), dan kandungan,

pengobatan kerapuhan pembuluh kapiler. Dosis : 3x500 mg.

27

Page 29: LAPORAN KASUS EPISTAKSIS mil

DAFTAR PUSTAKA

Efiaty A.S. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta. 2007

Higler, B.A. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta

Moore,K.L.dkk. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.2000

FKUI. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.2007

ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008

28