laporan kasus cacingan

67
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT LAPORAN KASUS INDIVIDU Kecacingan OLEH : Ida Ayu Padmita Utami H1A 008 010 Pembimbing dr. Wahyu S. Affarah FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 1

description

laporan kasus

Transcript of laporan kasus cacingan

ILMU KESEHATAN MASYARAKATLAPORAN KASUS INDIVIDUKecacingan

OLEH :Ida Ayu Padmita Utami H1A 008 010 Pembimbingdr. Wahyu S. AffarahFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM PUSKESMAS GUNUNG SARI 2014

BAB 1PENDAHULUANInfeksi cacing masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia dan menyebabkan kurang gizi dan gangguan kognitif. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing.1 Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglectet diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia. Infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi). Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacinganan dapat menimbulkan kurangan gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.1,2Diare yang juga menjadi salah satu penyakit yang masih sering terjadi di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebab yang sering luput dari perhatian kita adalah diare akibat infeksi parasit yaitu cacing. Indonesia sebagai negara berkembang dan negara tropis diperkirakan memiliki angka kejadian infeksi parasit yang cukup tinggi.2Salah satu jenis penyakit dari kelompok cacing adalah penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang terpantau oleh petugas kesehatan.3 Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena adanya kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari sisi ekonomi.1,2,3Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp). Di Indonesia, angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6 % masih relatif cukup tinggi. Program pemberantasan penyakit kecacingan pada anak yang dicanangkan tahun 1995 efektif menurunkan prevalensi kecacingan menjadi 33,0 % pada tahun 2003. Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6 %. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya.2,3

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1. Infeksi CacingInfeksi cacing merupakan salah satu penyakit paling umum tersebar dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru yang lebih spesifik dengan kerja lebih efektif, pembasmian penyakit cacing masih tetap merupakan masalah disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi di beberapa bagian dunia.2,3 Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan penyakit yang parah, tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang merupakan suatu faktor ekonomis yang penting. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum yang sama pentingnya dengan misalnya malaria dan TBC. Infeksinya dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing.2,32.1.1 Epidemiologi Penyakit KecacinganDi Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai. Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hasil survei Cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40% -60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3% .2,3Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacingan meningkat pada anak-anak dan remaja. Kurva intensitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan cacing tambang pada umur 10 tahun. Infeksi cacingan juga dipengaruhi oleh perilaku individu. Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam mulut. Pada infeksi cacing tambang, prevalensi yang tinggi di dapatkan pada anak dengan umur lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas anak.6Penyebaran infeksi cacing Ascharis dan Trichuris mempunyai pola yang hampir sama. Aschariasis adalah penyakit infeksi cacingan yang distribusinya di seluruh dunia dan menginfeksi lebih dari 1.000 juta orang. Sebagian besar infeksi terjadi di negara yang sedang berkembang, di Asia dan Amerika latin. Di daerah endemik dengan tingkat kejadian Ascaris dan Trichiuris tinggi terjadi penularan secara terus menerus. Transmisi ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit, seperti keadaan iklim dan tanah yang sesuai. Kedua spesien ini memerlukan tanah liat untuk berkembang. Telur Ascaris yang telah dibuahi jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam 3 minggu pada suhu optimum 25-300C. Telur Ascaris akan matang dalam waktu 3 minggu pada suhu optimum kira-kira 300C. Selain keadaan tanah dan iklim yang sesuai, keadaan endemic juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam tubuh hospes. Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek memperlambat masa perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur sehingga memperkecil reinfeksi.2,3Banyak telur yang dihasilkan satu ekor cacing adalah sebagai berikut : Ascaris kira-kira 200.000 sehari, Trichuris kira-kira 5.000 sehari dan cacing tambang 9.000-10.000 sehari. Jumlah telur yang dapat berkembang semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat akibat defekasi di sembarang tempat khususnya di tanah.Cacing tambang banyak dijumpai pada pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang gembur (berpasir dan humus) serta lembab sangat baik untuk perkembangan larva dengan suhu optimum 28-320C.62.1.2 Jenis Penyakit Cacing2.1.2.1 AskariasisAscaris lumbricoides atau cacing gelang panjangnya kira-kira 10-15 cm dan biasanya bermukim dalam usus halus. Kira-kira 25% dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara tropis (70-90%). Cacing betina mengeluarkan telur yang sangat banyak, sehingga 200.000 telur sehari melalui tinja. Penularan terjadi melalui makanan yang terinfeksi oleh telur dan larvanya (panjangnya kira-kira 0,25 mm) yang berkembang dalam usus halus. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus. Larva ini menembus dinding usus, melalui hati untuk kemudian ke paru-paru. Setelah mencapai tenggorok, lalu larva ditelan untuk kemudian berkembang biak menjadi cacing dewasa di usus halus.3

Gambar 2.1 Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)Keterangan :1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama feses.2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah 18 hari sampai beberpa minggu di tanah.3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat, tempat teduh)4. Telur infective tertelan5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10 14), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh.2.1.2.2. Oxyuriasis Enterobius vermicularisOxyuriasis Enterobius vermicularis (dahulu disebut Oxuriasis) atau cacing kermi yang biasanya terdapat dalam cecum, menimbulkan gatal di sekitar dubur (anus) dan kejang hebat pada anak-anak.Infeksi ini juga dapat menimbulkan apendicitis. Pada wanita, cacing dapat migrasi dari saluran genital dan seterusnya ke rongga perut sehingga memungkinkan peritonitis.Penularan pada anak kecil sering kali terjadi melalui auto-reinfeksi, yakni melalui telur-telur yang melekat pada jari-jari sewaktu menggaruk daerah dubur yang dirasakan sangat gatal dan dengan demikian memungkinkan terjadinya infeksi sekunder. Penyebabnya adalah cacing betina yang panjangnya 8-13 mm, keluar dari dubur antara jam 8-9 malam untuk bertelur di kulit sekitar dubur. Infeksi cacing kermi adalah satu-satunya infeksi yang dapt ditularkan dari orang ke orang, sehingga semua anggota keluarga harus diobati serentak, walaupun tidak menunjukkkan sebarang gejala. Ini karena, cacing betina bertelur 3-6 minggu setelah infeksi.Siklus Hidup

Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan mungkin akan keluar bersama tinja. Di dalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi telur dan kemudian cacing dewasa betina bertelur pada bagian dubur dan sekitar kulit bagian perianal.2,32.1.1.3 AncylostomiasisInfeksi cacing tambang (hookworm) pada manusia disebabkan oleh Necator americanus (nekatoriasis) dan Ancylostoma duodenale (ankilostomiasis). Cacing tambang mempunyai siklus hidup yang kompleks, infeksi oleh larva melalui kulit dan mengalami migrasi ke paru paru dan berkembang menjadi dewasa pada usus halus. Infeksi cacing tambang menyebabkan anemia mikrositik dan hipokromik karena kekurangan zat besi akibat kehilangan darah secara kronis. Cacing dewasa terutama hidup di daerah yeyunum dan duodenum. Telur dikeluarkan melalui tinja dan tidak infektif pada manusia. Larva filariform yang bersifat infektif hidup secara bebas di dalam tanah dan air.6Siklus Hidup

Gambar 2.3 Siklus hidup Hookworm (CDC, 2009) Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan tekhnik pembiakan larva.2,32.1.2.4. Trichiuriasis Trichuris trichiura merupakan penyebab penyakit trikuriasis. Karena bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut sebagai cacing cambuk (whip worm). Cacing ini tersebar luas di daerah tropis yang berhawa panas dan lembab. Trichuris trichiura hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia sehingga cacing ini bukan parasit zoonosis. Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara. Adapun cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah sekum dan kolon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Kadang kadang cacing ini ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal.Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun.Siklus Hidup

Gambar 2.2 Siklus hidup Trichuris trchiura (CDC, 2009)Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90 %. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anakanak. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh.2.2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi kecacingan.Faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi kecacingan sangat banyak. Beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan dan faktor perilaku higiene perorangan.6a. Faktor LingkunganKeadaan lingkungan yang berpengaruh pada infeksi kecacingan adalah ada tidaknya sumber air bersih dan jamban yang memenuhi syarat kesehatan b. Faktor Higiene PeroranganHigiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan hidup yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Dalam pengertian ini termasuk pula upaya melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun masyarakat), sedemikian rupa sehingga pelbagai faktor lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut, tidak sampai menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. 3Higiene perorangan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada masa perkembangan, dengan higiene perorangan yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Higiene perorangan yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan.6Kulit, tangan, kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari hari. Selain indah dipandang mata, tangan, kaki dan kuku yang bersih juga dapat menghindarkan kita dari berbagai penyakit.6Untuk menghindari hal hal tersebut perlu diperhatikan sebagai berikut :1. membersihkan tangan sebelum makan 2. membersihkan lingkungan3. memotong kuku secara teratur 4. mencuci kaki sebelum tidurHigiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik. Kaitan keduanya dapat dilihat dalam kondisi misalnya saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang tentu harus berasal dari sumber air yang memenuhi syarat kesehatan.2.2.3 Transmisi Telur Cacing ke Tubuh ManusiaFaktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya,hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang tinja (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus-menerus.Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23C sampai 30C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.2,6

Berbagai penyakit dapat ditularkan oleh lalat, misalnya telur cacing. Lalat Musca domestica yang sering terdapat pada tumpukan sampah dapat membawa telur cacing Oxyrus vermicularis, Trichuris trichiura, cacing tambang, serta acsaris lumbricoides. Lalat suka hidup di tempat kotor yaitu tumpukan sampah, makanan, dan tinja, dari situlah lalat membawa berbagai mikroorganisme, karena tubuh lalat tertutup bulu-bulu yang mengandung semacam perekat. Telur ascaris banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan di tempat teduh di bawah pohon(33,3%). Telur juga banyak ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat jamban, pinggir kali bahkan di dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam rumah juga berperan dalam penularan cacing.Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan. Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut.3Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi.62.4.5 Dampak Infeksi Kecacingan pada AnakKecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi.Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A. Sebanyak 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gr dan 0,7 gr protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat di perkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat menimbulkan keadaan kurang gizi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).6Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat.62.4.6 Pemeriksaan PenunjangDiagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan tinja dengan ditemukannya telur, larva,atau bahkan cacing dewasa. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) akan ditemukan :a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml), b) feses normal,c) infiltrat patchy pada foto toraks dand) peningkatan kadar IgEPemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan dan dapat ditemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses. Tanda-tanda anemia defisiensi besi yang sering dijumpai adalah anemia mikrositik-hipokrom, kadar besi serum yang rendah, kadar total iron binding capacity yang tinggi. Di sini perlu dieksklusi penyebab anemia hipokrom mikrositer lainnya. Dapat ditemukan peningkatan IgE dan IgG4,tetapi pemeriksaan IgG4 tidak direkomendasikan karena tinggi biayanya. Hal-hal penting pada pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah telur cacing tambang yang ditemukan dalam tinja sering dikacaukan oleh telur A.lumbricoides yang berbentuk dekortikasi. Tinja yang dibiarkan lebih dari 24 jam tanpa diawetkan maka telur yang ada di dalamnya akan berkembang, menetas dan mengeluarkan larva labditiform. Telur cacing tambang mudah rusak oleh perwanaan permanen dan telur lebih mudah di lihat pada sediaan basahDiagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan beberapa cara:1. Pemeriksaan Sediaan langsungDiambil tinja kira-kira 0,2 g diletakan pada kaca benda. Kemudian ditambah 1-2 tetes larutan garam fisiologis dan diratakan. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan langsung diperiksa dibawah mikroskop. Untuk memberikan warna pada tinja agar telur cacing tampak lebih jelas, dapat digunakan 1 tetes eosin 0,2% sebagai pengganti garam fisilogis.2. Tehnik Pengapungan Dengan NaCl jenuh. Dimasukan tinja kurang lebih 5 g kedalam tabung reaksi dan ditambah NaCl jenuh,diaduk sampai homogen, diambil kaca tutup, dan diamkan 10-15 menit di dalam tabung reaksi. Diambil kaca tutup tanpa mengubah kedudukannya langsung diletakan pada kaca benda dan diperiksa telur-telurnya.2,32.4.7. AntihelmintikAntihelmintik atau obat anti cacing adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang membasmi cacing serta larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh. Obat-obat yang tidak diresorpsi lebih diutamakan untuk cacing di dalam rongga usus agar kadar setempat setinggi mungkin. Sebaliknya terhadap cacing yang dapat menembus dinding-dinding usus dan menjalar ke jaringan dan organ lain, misalnya cacing gelang, hendaknya digunakan obat sistemik yang justeru diresorpsi baik ke dalam darah hingga mencapai jaringan. Berikut jenis-jenis antihelmintik;6 MebendazolEster-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintik berspektrum luas yang sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Obat ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk penanganan massal penyakit cacing, juga pada infeksi campuran dengan dua atau lebih jenis cacing. Mebendazol bekerja sebagai vermisid, larvisid dan juga ovisid. Mekanisme kerjanya melalui perintangan pemasukan glukosa dan mempercepat penggunaan glikogen pada cacing. Penggunaan mebendazol tdak memerlukan laksans. Resorpsinya dari usus adalah kecil yaitu kurang dari 10%. Ekskresinya berlangsung lewat empedu dan urin. Albendazol Adalah derivat karbamat dari benzimidazol berspektrum luas terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Di dalam hati, zat ini segera diubah menjadi sulfoksida, yag kemudian diekskresikan melalui empedu dan urin Piperazin Zat basa ini sangat efektif terhadap cacing gelang (Ascaris) dan cacing kermi (Oxyuris) berdasarkan perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan dan kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui gerakan peristaltik usus. Di samping itu juga, piperazin juga mempunyai khasiat sebagai laksans lemah. Dahulu obat ini banyak digunakan kerana efektif dan murah, tetapi sejak tahun 1984, banyak negara Barat menghentikan penggunaannya berhubung efek samping terutama neurotoksisitasnya. Resorpsi dari usus adalah cepat dan kurang lebih 20% diekskresikan melalui urin dalam keadaan utuh. Pirantel Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris dan Necator, tetapi tidak efektif terhadap Trichiuris. Mekanisme bekerjanya melumpuhkan cacing dengan jalan menghambat propagasi impuls neuromuskuler. Kemudian, parasit dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa memerlukan laksans, diekskresikan dalam keadaan utuh bersama metabolitnya melalui tinja sebanyak 50% dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Levamisol Derivat imidazol ini sangat efektif terhadap cacing gelang dan cacing tambang dengan jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang sangat penting adalah stimulasi sistem imunologi tubuh (imunostimulator pada kemoterapi). Praziquantel Derivat pirazino-isokinolin ini (1980) berkhasiat baik terhadap jenis tertentu Schistosoma dan Taenia, sedangkan terhadap cacing hati Fasciola hepatica tidak efektif. Obat ini satu-satunya digunakan pada schistosomiasis dan juga dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan kontraksi cepat pada cacing dan disintegrasi membran cacing.

2.4.8 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Soil Transmitted Helminths Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan ini dapat dilakukan dengan : a. Pencegahan Primer1. Memutuskan rantai daur hidup dengan cara: berdefekasi di jamban, menjaga kebersihan perorangan.2. Penularan Strongyloides dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif.3. Pencegahan infeksi cacing tambang adalah dengan cara mencegah kontak manusia dengan tanah yang mengandung bentuk infektif. Salah satu caranya adalah dengan memakai alas kaki jika keluar rumah.4. Bagi individu atau keluarga yang sering mengkonsumsi sayuran mentah/lalapan diharapkan agar mencuci sayur dengan benar.5. Bagi petani yang menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk tanaman dihimbau untuk mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan pemupukan dan menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu bot dan sarung tangan.6. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari penyakit kecacingan.b. Pencegahan Sekunder1. Memberi pengobatan masal secara berkala 6 bulan sekali dengan obat antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan.2. Apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, maka orang tersebut harus segera diberi obat cacing.2,32.4.9 Program Pengendalian Kecacingan di IndonesiaDasar utama untuk pengendalian kecacingan adalah memutuskan mata rantai lingkaran hidup cacing. Data WHO tahun 2009 menunjukkan di Regional Asia Tenggara memiliki 42% proporsi anak diseluruh dunia yang membutuhkan pengobatan cacaing, dimana Indonesia diperkirakan memiliki 15% dari anak sekolah dan prasekolah yang memerlukan pengobatan.Hasil pemeriksaan tinja pada anak sekolah dasar yang dilakukan oleg Sub Dit Diare, Kecacingan dan Infeksi Saluran Pencernaan lain pada tahun 2002-2009 di 398 SD yang tersebar di 33 Provinsi menunjukkan rata-rata prevalensi cacingan adalah 31,8%.Pemberantasan cacingan sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman penjajahan oleh sektor kesehatan saja yang meliputi pengobatan dan pembuatan jamban. Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit Cacingan di Indonesia secara nasional dimulai tahun 1975 setelah dibentuk unit struktural di Direktorat Jenderal P3M (Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular). Departemen Kesehatan, yaitu Sub Direktorat Cacing Tambang dan Parasit Perut Lainnya karena terbatasnya dana kebijakan pemberantasan cacingan dilakukan Limited Control Programme.Menteri Kesehatan mencanangkan Pemberantasan Cacingan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah suatu upaya untuk meningkatkan ketahanan fisik bagi anak Sekolah Dasar/MI di seluruh Indonesia. Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan efektifitas asupan gizi yang diberikan, para pakar gizi dan kesehatan menyarankan agar PMT-AS diberikan dengan pemberian obat cacing. Pemikiran ini didasarkan pada kajian teknis medis dampak Cacingan terhadap keadaan zat gizi. Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zatzat gizi tersebut.Sebenarnya infeksi cacing perut akan berkurang bahkan dapat dihilangkan sama sekali bila diupayakan budaya hidup sehat, lingkungan bersih, makanan bergizi, yang nantinya akan tercapai dengan sendirinya dalam program pembangunan pengentasan kemiskinan. Bila keadaan ekonomi naik, maka ia akan membuat rumah yang lebih baik, jamban yang baik, mengirim anak-anaknya ke sekolah supaya lebih mengetahui masalah kesehatan, membeli radio dan TV supaya dapat mendengar siaran-siaran tentang penyuluhan kesehatan, sehingga dapat merubah perilaku ke arah budaya hidup sehat. Jelaslah bahwa pembangunan di semua sektor akan membantu meningkatkan derajat kesehatan secara umum termasuk menanggulangi infeksi cacing.Dalam program jangka pendek, dimulai dengan mengurangi prevalensi infeksi cacing dengan membunuh cacing itu melalui pengobatan, dengan pengobatan, intensitas infeksi (jumlah cacing per individu) dapat ditekan, sehingga dapat memperbaiki derajat kesehatan. Program penanggulangan jangka panjang harus dilaksanakan secara berkesinambungan dengan melalui pemberdayaan masyarakat dan peran swasta sehingga mereka mampu dan mandiri dalam melaksanakan penanggulangan penyakit cacingan, yaitu berperilaku hidup bersih dan sehat, meningkatkan kesehatan perorangan dan lingkungan, dengan demikian diharapkan produktifitas kerja akan meningkat. Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam penanggulangan penyakit cacingan ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu:1)PengobatanPengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu Blanket Treatment dan Selective Treatment dengan mengunakan obat yang aman dan berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur.Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului dengan survei untuk mendapat data dasar. Bila pemeriksaan tinja dilakukan secara sampling dan hasil pemeriksaan tinja menunjukan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal, sebaliknya bila prevalensi kurang dari 30%, maka dilakukan pemeriksaan tinja secara menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi di atas 30%, maka harus dilakukan pengobatan massal. Apabila prevalensi kurang dari 30%, maka lakukan pengobatan selektif, yaitu yang positif saja.a) Blanket Mass TreatmentSuatu jenis pengobatan yang dilakukan secara menyeluruh kepada seluruh penduduk yang menjadi sasaran program. Blanket Treatment dilakukan bila sarana dan prasarana laboratorium tidak ada/tidak memadai atau ada sarana laboratorium tapi kondisi geografis menyulitkan pengumpulan sampel tinja, pengobatan massal ini dapat dilakukan sampai 3 tahun tanpa survei evaluasi. Daerah yang melaksanakan sistem Blanket, agar diikuti dengan kegiatan penyuluhan tentang hidup bersih dan memperbaiki sanitasi lingkungan di wilayah tersebut. Disamping itu agar diupayakan meningkatkan SDM dan sarana laboratorium untuk menunjang kemampuan pemeriksaan tinja, dengan harapan suatu saat mampu melaksanakan pengobatan selektif di wilayahnya. Selain itu pengobatan massal dilakukan apabila di daerah sasaran pernah mempunyai prevalensi 30 % atau lebih.b) Selective Mass TreatmentPengobatan yang dilakukan terhadap penduduk yang menjadi sasaran program, tetapi hanya kepada penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif. Hal ini dilakukan pada daerah yang mempunyai sarana dan prasarana laboratorium yang memadai, karena pemeriksaan tinja harus dilakukan pada seluruh sasaran. Di samping itu kondisi geografis memungkinkan untuk pengumpulan sediaan tinja secara berkala. Pengobatan dilakukan secara berurutan (satu per satu) dan harus diminum didepan petugas (tidak boleh dibawa pulang).2)PencegahanTindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko, yang meliputi kebersihan lingkungan, keberhasilan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, pendidikan kesehatan di sekolah baik untuk guru maupun murid.3)PromotifPendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada masyarakat pada umumnya atau kepada anak-anak sekolah, yaitu melalui program UKS, sedangkan untuk masyarakat dapat dilakukan penyuluhan secara langsung atau melalui media massa baik cetak maupun media elektronik.2.1 Gambaran Umum Puskesmas Gunung SariPuskesmas Gunung Sari merupakan salah satu dari 15 Puskesmas yang ada di kabupaten Lombok barat, dengan luas wilayah mencapai 28,86 Km2. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Mataram, di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Batu Layar dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lingsar. Wilayah kerjaa Puskesmas Gunungsari mencakup 7 Desa merupakan kombinasi antara daerah daratan, pegunungan, perbukitan di wilayah utara berada pada ketinggian 0-256 m di atas permukaan laut.52.2 Gambaran Penyakit Kecacingan di Puskesmas Gunung SariBerdasarkan data pasien Rawat Jalan Puskesmas Gunung Sari, dari tahun 2009 sampai 2013 terjadi penurunan kasus kecacingan. Pada tahun 2009 terdapat 45 kasus kecacingan di bagian rawat jalan Puskesmas Gunung Sari. Hingga tahun 2013 terjadi penurunan jumlah kasus menjadi 27 kasus kecacingan. Untuk data tahun 2014, hingga bulan Maret 2014 hanya ditemukan 2 kasus cacingan. Sehingga total kasus dari tahun 2009 hingga Maret 2014 kecacingan adalah 155 kasus kecacingan.

Grafik.2. Jumlah Kasus Kecacingan bagian Rawat Jalan Puskesmas Gunung Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk ke mulut melalui makanan. Pembuangan tinja sembarangan turut berkontribusi terhadap munculnya infeksi cacing. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia menggunakan fasilitas BAB milik sendiri (76,2%), milik bersama (6,7%), dan fasilitas umum (4,2%).Lima provinsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).

2.2 Gambaran Penyakit Diare dan Gizi Buruk di Puskesmas Gunung SariBerdasarkan data Puskesmas Gunung Sari, jumlah kasus diare pada balita tahun 2012 sebanyak 2.471 kasus meningkat dari tahun 2011 yaitu sebanyak 1.239 kasus. Jumlah kasus diare pada balita tertinggi di daerah Desa Sesela seperti pada tahun sebelumnya yaitu sebanyak 827 kasus sedangkan jumlah kasus terendah di desa Guntur Macan dengan jumlah 33 kasus. Kasus-kasus diare biasanya terjadi pada musim kemarau karena terbatasnya air bersih dan pada saat bulan pertama musim hujan karena sumber air bersih yang digenangi air hujan.5

Jumlah balita gizi buruk dengan status gizi kurus sekali sebanyak 25 kasus dimana desa terbanyak adalah Desa Sesela dan dea Midang sebanyak 6 kasus dan terendah atau tidak ada kasus di Desa Taman Sari. Kasus gizi buruk dengan status kurus sekali didapatkan dari penapisan kasus BGM yang diukur Tinggi Badannya kemudian disesuaikan dengan indikator BB/TB.5Dari 25 kasus tersebut semuanya telah mendapatkan penanganan PMT penyuluhan di Pos Gizi dan PMT-Pemulihan selama 90 Hma (Hari makan) yang dananya bersumber dari BOK. Kasus gizi kurang/Kurus berdasarkan BB/TB tahun 2012 sebanyak 39 orang meningkat dibanding tahun 2011 yang ada 20 kasus. Kemudian segera dilakukan tindakan pemberian PMT-pemulihan untuk mencegah jatuh menjadi gizi buruk. Yang diberikan adalah pemberian susu dan makanan tambahan selama 90 hari.5Tabel 1. Data 10 Penyakit Terbanyak (rawat inap) Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012NOPENYAKITTOTAL

1.Gastritis190

2.Demam sebab lain174

3.Infeksi Saluran 116

4.Thypoid102

5.Diare 93

6.Asma34

7.Diabetes Melitus31

8.Disentri31

9.Anemia22

10.Pneumonia31

Sumber : Data Puskesmas Gunung Sari tahun 2012

Tabel 2. Data 10 Penyakit Terbanyak (rawat jalan) Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012NOPENYAKITTOTAL

1.ISPA1837

2.Gastritis 1546

3.Penyakit Kulit Infeksi 1002

4.Hipertensi864

5.Penyakit sistem otot dan tulang 862

6.Penyakit lain di saluran774

7.Penyakit lain dari sluran 655

8.Penyakit Pulpa dan jaringan gigi566

9.Penyakit kulit alergi556

Sumber : Data Puskesmas Gunung Sari tahun 2012

Penyakit terbanyak pada tahun 2012 di Puskesmas Gunung sari dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

2.5 Diare Akut Akibat Infeksi ParasitDiare masih merupakan masalah di Indonesia, dilaporkan 60 juta pasien per tahun 70-80% mengenai anak berusia di bawah 5 tahun. World Health Organization membagi diare menjadi tiga kelompok yaitu diare cair akut, diare berdarah (disentri) dan diare persisten. Diare berdarah dapat disebabkan disentri basiler (Shigella) dan amuba, enterokolitis (misalnya cows milk allergy), trichuriasis, EIEC, Campylobacter jejuni dan virus (rotavirus). 2.5.1 Definisi DiareDiare menurut WHO adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Apabila frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu maka hal ini disebut diare akut . Diare merupakan salah satu manifestasi klinis dari banyak penyakit, dan mempunyai berbagai etiologi yang bervariasi pula. Karena itu diagnosis yang akurat diperlukan agar dapat menentukan penatalaksanaan yang paling tepat.2.5.2 Etiologi DiareBerdasarkan mekanismenya, diare dibedakan menjadi dua, yaitu diare akibat gangguan absorbsi dan diare akibat gangguan sekresi. Menurut lamanya, diare dibedakan menjadi diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari, diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari, dan diare kronik berlangsung lebih dari 14 hari dan berlangsung intermitten.Diare akut disebabkan 90% oleh infeksi bakteri dan parasit sedangkan yang lain dapat disebabkan oleh obat-obatan dan bahan-bahan toksik. Diare ditularkan fekal oral. Faktor penentu terjadinya diare akut sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu (host), yaitu faktor yang berkaitan dengan kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme dan faktor penyebab (agent), yang berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme dalam menyerang sistem pertahanan tubuh host. Beberapa agen infeksi yang dapat menyebabkan diare inflamasi antara lain dari golongan protozoa adalah Entamoeba hystolitica dan dari golongan cacing adalah Trichuris trichiura( cacing cambuk)Trichuris trichiura dapat ditemukan baik di negara maju maupun negara berkembang. Diperkirakan Trichuris trichiura merupakan prevalensi terbesar ketiga infeksi oleh cacing usus dan merupakan penyebab terbanyak diare karena infeksi cacing. Prevalensi sangat tergantung dari pola sanitasi, higiene perorangan, dan juga status nutrisi seseorang. Cacing ini terutama ditemukan di daerah panas dan lembab, seperti Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1990/1991; 53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan di Sumatra Selatan, 51,6% pada sejumlah sekolah di Jakarta.62.5.3. Patogenesis Cacing trichuris terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, cacing trichuris tersebar di seluruh kolon dan rektum. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Selain itu cacing ini menghisap darah pejamu sehingga dapat menimbulkan anemia.2,3

BAB 3LAPORAN KASUS

Keluhan utama: keluhan keluar cacing saat berak bercampur darah dan lendir sejak seminggu lalu.Riwayat penyakit sekarang :Pasien datang ke UGD Puskesmas Gunung Sari pada 12/04/2014 dengan keluhan berak bercampur darah dan lendir sejak seminggu lalu. Buang air besar dalam sehari mencapai 4-5 kali/hari, konsistensi lembek, terdapat ampas disertai lendir dan darah serta nyeri sewaktu BAB.Ayah pasien juga menyatakn sudah beberapa kali keluar cacing dari anusnya, terakhir dua hari sebelum berobat ke puskesmas (10/04 2014). Keluar cacing putih panjang berukuran >15 cm sebanyak tiga ekor terjadi saat pasien buang air besar di pagi hari. Menurut keluarga pasien , pasien tidak pernah merasakan anusnya gatal. Pasien juga sering mual dan muntah terutama setelah makan. Perut pasien juga kadang tampak kembung. Pasien juga dikeluhkan demam, hilang timbul dirasakan terutama pada malam hari. Demam dirasakan sejak 3 hari terakhir namun tidak terlalu tinggi. Demam disertai dengan batuk-pilek.Riwayat penyakit dahuluPasien sering mengalami keluhan berak darah disertai lendir dan keluar cacing sejak usia 2 tahun. Pasien pun sempat di rawat inap beberapa kali di puskesmas gunung sari dan RSUP NTB karena keluhan serupa dan sempat dinyatakan mengalami gizi buruk oleh dokter. Menurut ibunya, anaknya memang telah dinyatakan mengalami gizi buruk sewaktu berusia 3 tahun. Sudah sering diberikan makanan penambah gizi tetapi anknya tetap saja kurus.

Riwayat penyakit keluargaAdik pasien mengalami keluhan serupa yaitu keluar cacing saat berak beberapa bulan yang lalu. Namun menurut pengakuan ayah sudah meminum obat dari puskesmas.

Riwayat pengobatanPasien sudah pernah mendapatkan pengobatan untuk keluhanya saat ini. Pasien berulang kali pernah di opname di rumah sakit atau puskesmas sebelumnya.

Riwayat alergiMenurut Ibu pasien, ia tidak memiliki alergi terhadap makanan ataupun obat obatan.

Riwayat pribadi dan sosial1. Riwayat nutrisi Saat ini pasien sudah berusia 5 tahun, dan telah diberikan makanan seperti nasi, sayur, dan lauk yang sama dengan orang tuanya. Menurut ibu, pasien jarang makan di rumah dan lebih sering membeli makanan yang dijual di warung. Nafsu makan pasien beberapa bulan terakhir menurun. 2. Perkembangan dan kepandaianPasien anak ke 7 dari delapan bersaudara. Menurut pengakuan ibu, ada gangguan perkembangan dan kepandaian pada anaknya. Anaknya lebih kecil dan kurus dibanding anak lain yang umurnya sama. Anak juga lebih terlihat lemas, jarang suka bermain atau berlari-lari seperti anak lainnya. Pasien belum bersekolah. Sehari-hari hanya berdiamdiri di rumah.3. VaksinasiMenurut pengakuan ibunya, pasien imunisasi pasien sudah lengkap.

Ikhtisar Keluarga

21

HABC

FDEG

Keterangan:1: ibu pasienH: adik pasien2: ayah pasienA-F: Kakak kandung pasienG: pasien: tinggal dalam satu rumah

Riwayat Lingkungan, Sosial, dan EkonomiPasien tinggal dalam satu rumah bersama ibu dan adik pasien. Ibu bekerja sebagai pembantu dengan penghasilan sekitar 500.000/ bulan, terkadang ibu pasien juga berjualan seadanya. Ibu pasien mengaku dengan penghasilan tersebut ia mampu mencukupi kebutuhan makan sehari-hari keluarganya.Tempat tinggal pasien adalah rumah beratap genteng, tidak memiliki plavon, dengan lantai semen dan keramik, yang terdiri dari 3 kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu ruang gudang, dapur dan kamar mandi. Pasien biasanya tidur bersama ibu dan kakaknya dalam satu kamar berukuran 3 meter x 2 meter, dengan sebuah kasur berbahan kapuk. Kamar tidur memiliki sebuah jendela berkuran 50 cmx 25cm, sedangkan ruang keluarga memiliki dua buah jendela berukuran 50 cm x 25 cm. Jendela tersebut jarang dibuka. Ibu pasien memasak menggunakan gas. Sumur sebagai sumber air terdapat di luar rumah. Air sumur digunaka untuk minum, memasak, mencuci dan keperluan mandi. Air sumur yang diminum terkadang tidak dimasak terlebih dahulu. Sumur tersebut tidak terlalu dalam dan airnya agak keruh, terutama pada musim hujan. Tanah disekitar rumah agak lembab dan di beberapa lokasi becek dan terdapat tumpukan sampah. Anak juga tidak pernah menggunakan alas kaki saat di rumah dan jarang memotong kuku jari dan kaki.Warga disekitar rumah pasien masing sering melakukan aktifitas mandi,cuci,kakus di sungai dekat rumah. Pasien pun lebih sering berak disungai dan mandi di sungai.

PEMERIKSAAN FISIKa. Status Present (16 April 2014) Keadaan umum : Baik Kesadaran : Somnolen GCS : E4V5M5 Nadi : 96 X/menit, kuat angkat, irama teratur Pernapasan : 24 X/menit Suhu : 37,3C BB: 19 kg TB:: 102 cm Lingkar kepala: 50 cm Status gizi : burukb. Status General Kepala :Ekspresi wajah: seperti orang tua, Bentuk dan ukuran: bulat dan sedang, Edema (-), Malar rash (-),Nyeri tekan kepala (-), rambut : berwarna kecoklatan Mata :Bentuk: mata cowong , Alis: normal, Bola mata: exopthalmus (-/-),nystagmus (-/-), strabismus (-/-), Palpebra: edema (-/-), ptosis (-/-), Konjungtiva : anemia (+/+), Sklera : ikterus (-/-), perdarahan (-), hiperemia (-/-),Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), Lensa: tampak jernih. Telinga :Bentuk: normal, Lubang telinga: normal, sekret (-/-), Nyeri tekan (-/-). Hidung :Bentuk: simetris, deviasi septum (-), Napas cuping hidung (-), Perdarahan (-), sekret (+), Daya penciuman normal. Mulut :Bentuk: simetris, Bibir: sianosis (-), kering (+), edema (-), stomatitis (+),Gigi : lengkap, Gusi: hiperemia (-), edema (-), perdarahan (-), Mukosa: normal, Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), Faring: hiperemia (+) Leher :Kaku kuduk (-), Scrofuloderma (-), Pembesaran KGB (-), Trakea: di tengah, JVP: tidak meningkat, Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-), Otot bantu nafas SCM tidak aktif , Pembesaran thyroid (-). Thorax :Cor: Inspeksi : iktus kordis tidak tampakPalpasi : iktus kordis teraba ICS 5 midklavikula sinistraPerkusi : -Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)Pulmo: Inspeksi : Bentuk simetris Pergerakan simetrisIga dan sela iga : retraksi (-), penggunaan otot bantu intercostal (-), Pelebaran sela iga ()Pernafasan : frekuensi 24 x/menit, teraturPalpasi :Pergerakan simetrisFremitus raba dan vokal simetrisProvokasi nyeri ()Perkusi : Sonor di kedua lapangan paruNyeri ketok ()Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+Suara tambahan rhonki -/-Suara tambahan wheezing -/-

Abdomen :Inspeksi : Bentuk: distensi (+), Umbilicus: masuk merata, Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-).Auskultasi : Bising usus (+)meningkat, Metallic sound (-), Bising aorta (-)Palpasi : Turgor dan tonus: normal, nyeri tekan epigastrium: (-), Hepar/Lien/Ren: ttbPerkusi : Timpani (+), Redup beralih (-), Nyeri ketok CVA: (-/-) Inguinal-genitalia-anus : Inspeksi tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas atas :Akral hangat : +/+Kulit normalDeformitas : (-)Sendi : dbnEdema: (-/-)Sianosis : (-)Kekuatan-tenaga : normalKuku panjang berwarna hitam Ekstremitas bawah: Akral hangat : +/+ Kulit normalDeformitas : (-)Sendi : dbnEdema : (-/-)Sianosis : (-)

Foto Pasien ( diambil 14/4/2014)

Pemeriksaan PenunjangCek DL, UL, Feces lengkap

Diagnosis KerjaDiare akut et causa Suspek Ascariasis dengan Gizi buruk

Terapi Pirantel Pamoat tab 2x 125 mg (dosis tunggal) CTM Tab 3x 4 mg Cotrimokzazol 2 x tablet per hari

Prognosis Dubia ad BonamKIE Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan dengan sabun menjelang makan atau sesudah buang air besar. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air. Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.

BAB IVPENELUSURAN KASUS

4. 1. Dasar Pemilihan KasusInfeksi cacing masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing. Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglectet diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia. Infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi). Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacinganan dapat menimbulkan kurangan gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.Diare yang juga menjadi salah satu penyakit yang masih sering terjadi di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebab yang sering luput dari perhatian kita adalah diare akibat infeksi parasit yaitu cacing. Indonesia sebagai negara berkembang dan negara tropis diperkirakan memiliki angka kejadian infeksi cacing yang cukup tinggi.Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6 %. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya. Berdasarkan data Puskesmas Gunung Sari pada tahun 2012, jumlah angka Kecacingan masih cukup banyak. Oleh karena itu, dengan diambilnya kasus mengenai infeksi cacing ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai infeksi cacing, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat dan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan anak.

4. 2. TujuanMengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing pada pasien dalam kasus ini yaitu An.A dan memberikan intervensi dari aspek ilmu kesehatan masyarakat.

4. 3. MetodologiMetode yang digunakan dalam laporan kasus ini adalah wawancara dan pengamatan tempat tinggal pasien dengan melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui kondisi fisik pasien setelah pulang dari puskesmas dan kondisi rumah pasien yang mendukung terjadinya pneumonia.

4. 4. Hasil PenelusuranSkema Denah Rumah Pasien :

WCGudang

Dapur

R. Tidur

R . Tamu

R.tidur

Sumur

Pengkajian Masalah Kesehatan Pasien

BIOLOGIS

Usia pasien 5 tahun, sistem imunnya belum sempurna. faktor gizi yang buruk yang memperberat kondisi pasien

PERILAKULINGKUNGAN

Tanah sekitar rumah yang lembab dan becekSampah dibuang sembarangan

Minimnya pengetahuanPHBS kurang dalam keluargaJarang mencuci tangan dengan sabun, Baik sebelum dan sesudah makan dan setelah BABBermain di halaman tanpa alas kakiKuku tangan dan kaki panjang dan kotor jarang di potongMakanan di meja makan jarang ditutup sehingga sering dihinggapi lalat, dan kadang dibiarkan berhari-hari tidak segera dibuangCacingan

PELAYANANKESEHATAN

Kurangnya informasi mengenai penyakit infeksi oleh parasit ( cacing)Penyuluhan untuk anak prasekolah masih belum adaPemberian pengobatan kecacingan masal belum pernah diadakan

BAB VPEMBAHASAN

Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4 faktor yaitu faktor genetik/biologis (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya). Berdasarkan hasil penulusuran kasus di atas, jika dilihat dari segi konsep kesehatan masyarakat, maka ada beberapa faktor yang menjadi faktor resiko terjadinya penyakit kecacingan, yaitu :1. Faktor Genetik/BiologisPasien dalam kasus ini berusia 5 tahun Pada usia tersebut, pasien termasuk dalam usia yang rentan untuk mengalami penyakit terutama penyakit infeksi Hal ini disebabkan karena pada usia bayi dan balita, daya tahan tubuhnya belum terbentuk secara sempurna sehingga mudah untuk terserang penyakit Infeksi sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak sering berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat berkembangnya telur Ascaris atau larva cacing.2. Faktor Lingkungan Dalam kasus ini, lingkungan tempat tinggal pasien yang mendukung terjadinya kecacingan yang dialaminya adalah:. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya,hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang tinja (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus-menerus.Buang air besar di jamban yang memenuhi syarat, Menjaga kebersihan lingkungan rumah, menggunakan air bersih merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi kecacingan.Menurut kriterian Depkes RI (1985), syarat sebuah jamban keluarga dikatagorikan jamban sehat, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut : Tidak mencemari sumber air minum, untuk itu letak lubang penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumur (SPT SGL maupun jenis sumur lainnya). Perkecualian jarak ini menjadi lebih jauh pada kondisi tanah liat atau berkapur yang terkait dengan porositas tanah. Juga akan berbeda pada kondisi topografi yang menjadikan posisi jamban diatas muka dan arah aliran air tanah. Tidak berbau serta tidak memungkinkan serangga dapat masuk ke penampungan tinja. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan menutup lubang jamban atau dengan sistem leher angsa. Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat lantai jamban dengan luas minimal 1x1 meter, dengan sudut kemiringan yang cukup kearah lubang jamban. Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahan-bahan yang kuat dan tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya dipergunakan bahan-bahan yang ada setempat; Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang; Cukup penerangan; Lantai kedap air; Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah; Ventilasi cukup baik, dan Tersedia air dan alat pembersih.

3. Faktor Perilaku Pendidikan yang rendahAyah dan Ibu pasien berpendidikan rendah sehingga memiliki pengetahuan yang rendah terutama mengenai perilaku hidup yang bersih dan sehat. Akibatnya, keluarga pasien kurang memiliki kesadaran untuk berperilaku yang bersih dan sehat di rumah sehingga memudahkan untuk terjadinya penyakit infeksi. Tingkat pendidikan orang tua juga akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan kepada anak yang menderita kecacingan. Selain pembuatan jamban yang memenuhi syarat, hal yang tidak kalah penting dalam hal mengurangi risiko infestasi kecacingan yaitu dengan tidak melakukan defekasi disembarang tempat karena dengan melakukan defekasi sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah, selain itu tinja dapat menjadi sumber penularan yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit termasuk kecacingan Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan. Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah.Untuk menghindari penyebaran tersebut perlu diperhatikan sebagai berikut : membersihkan tangan sebelum dan sesudah makan serta setelah BAB dengan sabun membersihkan lingkungan memotong kuku secara teratur mencuci kaki sebelum tidurHigiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik. Kaitan keduanya dapat dilihat dalam kondisi misalnya saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang tentu harus berasal dari sumber air yang memenuhi syarat kesehatan. Kondisi tanah yang gembur ini sangat memungkinkan menjadi tempat perkembangbiakan cacing tambang mengingat cacing tambang berkembang biak pada tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindungi dari sinar matahari langsung. Lahan pertanian di desa tidak selalu berupa tanah persawahan, tetapi juga berupa kebun bahkan sering ditemukan kebun di sekeliling rumah yang biasanya ditanami palawija. Kebun di sekeliling rumah ini biasanya juga ditanami pepohonan produktif lainnya seperti pohon buah-buahan atau kelapa bahkan pohon jati. Rindangnya tanaman buah ini akan membuat suasana tanah kebun di sekeliling rumah menjadi teduh dan sebagian tanah kebun tidak terkena sinar matahari secara langsung. Kondisi ini sangat disukai oleh cacing tambang untuk perkembangbiakannya. Sampah merupakan salah satu indikator suatu lingkungan, dan lingkungan yang kotor adalah temapt yang sangat disukai oleh lalat. Apabila perhatian masyarakat terhadap sampah sangat renfah, maka kondisi lingkungan tersebut dapat mendukung lalat untuk berkembang biak dan menjadi sumber penularan penyakit, diataranya kecacingan. Telur cacing dapat menempel pada tubuh lalat. Telur ascaris banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%). Lalat suka hidup di tempat kotor yaitu tumpukan sampah, makanan, dan tinja, dari situlah lalat membawa berbagai mikroorganisme, karena tubuh lalat tertutup bulu-bulu yang mengandung semacam perekat. Perilaku bermain merupakan hal yang penting diperhatikan dalam kaitannya dengan kondisi sanitasi lingkungan rumah. Kondisi sanitasi lingkungan rumah yang baik tentu akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk bermain. Pada lingkungan masyarakat pedesaan, seorang anak bermain di halaman rumah, di kebun bersama teman sebaya tetangga merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di kebun, perlu diwaspadai kemungkinan anak terpapar oleh cacing tambang yang memang membutuhkan media tanah untuk perkembangbiakannya apalagi jika anak tidak mengunakan alas kaki.4. Faktor Pelayanan Kesehatan Kurangnya informasi mengenai penyakit kecacingan Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua pasien yang rendah akan berpengaruh terhadap tindakan yang diambil terhadap pasien yang mengalami infeksi cacing. Hal ini menyebabkan keluarga pasien memerlukan informasi mengenai infeksi cacing, Sehingga, dapat mencegah terjadinya penyakit yang semakin memberat bahkan kematian. Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan obat cacing.

Dari beberapa uraian faktor tersebut di atas, dapat diketahui bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan pasien dalam kasus ini menderita infeksi cacingyang pada akhirnya mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak sendiri. Ketidakseimbangan antara faktor penjamu, agen dan lingkungan dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Selain itu adanya faktor-faktor dalam empat determinan kesehatan, seperti faktor biologis/genetik, lingkungan, perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan masyarakat dapat menjadi penyebab timbulnya suatu penyakit dalam masyarakat.Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya infeksi cacing makan, dapat dilakukan berbagai intervensi untuk mencegah terjadinya infeksi cacing berulang pada pasien tersebut, antara lain: Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya. diadakan pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan obat cacing.

DAFTAR PUSTAKA1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.2. Didik Sumanto, 2010, Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah. Tesis. Universitas Diponegoro. Availlable at http://eprints.undip.ac.id/23985/1/DIDIK_SUMANTO.pdf , accessed at 14/4/20143. Yohandromeda Syamsu, 2009. Ascariasis , Respon IgE dan Upaya Penanggulangannya. Studi Imunologi Universitas Airlangga. Availlable at http://www.fk.unair.ac.id/attachments/1012_Ascariasis,%20Respons%20IgE%20dan%20Upaya%20Penanggulangannya.pdf4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.5. Tim Penyusun. 2012. Data Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012. Puskesmas Gunung Sari..6. Salbiah, 2008. Hubungan Karakteristik Siswa dengan Sanitasi Lingkungan Dengan Infeksi Cacingan Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Belawan Medan. Universitas Sumatra Utara. Availlable at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6776/1/057023018.pdf7. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI. 2010. Lima kondisi Anak Gizi Buruk. Availlable at http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-GIZI/mk_giz_slide_lima_kondisi_anak_bergizi_buruk.pdf

8