Laporan Evaluasi Kinerja Imobilisasi
-
Upload
oktavia-reni -
Category
Documents
-
view
102 -
download
11
description
Transcript of Laporan Evaluasi Kinerja Imobilisasi
LAPORAN PRAKTIKUM BIOPROSES
IMMOBILISASI SEL DAN EVALUASI KINERJA
SEL IMMOBILISASI DALAM REAKTOR KOLOM
Dosen Pembimbing: Ayu Ratna Permatasari, ST, MT
Kelompok / Kelas : 6 / 2A - D3 Teknik Kimia
Nama : Oktavia Reni N. 141411022Puji Andini 141411023R. Sabrina N. 141411024
Tanggal Praktikum : 06 dan 13 Oktober 2015
Tanggal Pengumpulan Laporan : 20 Oktober 2015
PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIAJURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNGTAHUN 2015
I. TUJUAN PERCOBAAN
a. Memahami dan menguasai prosedur pembuatan sel terimmobilisasi
b. Memahami karakteristik matriks pendukung sel terimmobilisasi
c. Memahami dan menguasai prosedur penggunaan sel terimmobilisasi dalam
proses fermentasi
d. Memahami tipe reaktor yang tepat untuk sel immobilisasi
e. Memahami karakteristik reaktor batch dan kontinu yang menggunakan sel
terimmobilisasi
f. Mengevaluasi kinerja Reaktor “Packed Column”
II. DASAR TEORI
IMMOBILISASI SEL
1. Sel Immobilisasi
Sel terimobilisasi adalah suatu sel yang dilekatkan pada suatu bahan inert
dan tidak larut dalam bahan tersebut, misal dalam sodium alginat atau kalsium
alginat. Dengan sistem ini, sel dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi
seperti pH, juga temperatur. Sistem ini juga membantu sel berada di tempat
tertentu selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses pemisahan
dan memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain (Sumo dkk., 1993).
Sel/enzim tersebut tetap mempunyai aktivitasnya sebagai biokatalisator/katalis,
serta sel/enzim tersebut dapat dipergunakan secara terus menerus dan sangat
penting untuk proses berkesinambungan.
Immobilisasi sel mikroba dibedakan atas 3 macam yakni:
1. Sel mati: untuk reaksi konversi sederhana (1 tahap)
2. Sel hidup: untuk reaksi konversi yang melibatkan biokatalis heterogen
(multi enzim)/memerlukan ATP atau biokoenzim seperti NADP
atau koenzim A.
3. Sel dalam fase pertumbuhan: keadaan dimana terdapat aktivitas enzim untuk
pertumbuhan.
Imobilisasi dapat dilakukan terhadap sel maupun terhadap enzim.
Imobilisasi enzim dapat dianggap sebagai metode yang merubah enzim dari
bentuk larut dalam air “bergerak” menjadi keadaan “tak begerak” yang tidak
larut. Imobilisasi mencegah difusi enzim ke dalam campuran reaksi dan
mempermudah memperoleh kembali enzim tersebut dari aliran produk dengan
teknik pemisahan padat/cair yang sederhana. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain melalui pengikatan kimiawi molekul enzim pada bahan
pendukung, pengikatan silang intermolekuler sesama enzim, atau dengan cara
menjebak enzim di dalam gel atau membran polimer (Palmer, 1991).
Imobilisasi sel berkembang setelah imobilisasi enzim. Dalam teknologi
imobilisasi enzim terdapat hambatan pada regenerasi koenzim dan keterbatasan
metode yang dapat diterapkan untuk menyusun molekul enzim dalam rangkaian
tertentu, sehingga dapat melakukan tahapan reaksi katalitis enzim yang
berkesinambungan. Untuk mencegah hambatan tersebut dilakukan penelitian-
penelitian, sehingga terjadi pengembangan pada imobilisasi sel, yang dapat
digunakan sebagai biokatalis. Hal ini memungkinkan untuk melakukan
imobilisasi seluruh sel dan menjaga sel tetap hidup (viabel). Dalam praktiknya,
metode yang digunakan adalah menjebak sel dalam gel dengan adsorpsi. Selain
itu, pengontrolan perlu dilakukan untuk mencegah inaktivasi dari aktivitas
metabolisme yang penting, sehingga pemisahan biokatalis dari produk lebih
mudah dan membuat biokatalis lebih stabil (Sumo dkk., 1993).
Dewasa ini, teknologi immobilisasi memegang peranan penting dalam
perkembangan proses biokimia dalam suatu boreaktor. Sel yang mengalami
immobilisasi (immoblized mivrobial cells) telah banyak diterapkan dalam
fermentasi misalnya produksi alkohol, asam amino, antibiotik atau pada degradasi
polutan limbah cair.
2. Kelebihan Sel Immobilisasi
Kelebihan penggunaan sel immobilisasi dibandingkan dengan sel bebas
antara lain sebagai berikut:
1. Immobilasi menyediakan konsentrasi sel yang tinggi.
2. Immobilisasi memungkinkan penggunaan sel kembali dan mengurangi biaya
recovery sel dan recycle sel.
3. Immobilisasi mengurangi masalah wash out sel pada laju alir yang tinggi.
4. Kombinasi konsentrasi sel yang tinggi dan laju alir yang tinggi (tanpa batasan
wash out) menghasilkan produktivitas volumetric yang tinggi.
5. Immobilisasi menyediakan kondisi micro environmental yang menguntungkan
seperti kontak antar sel, gradient nutrient-produk, gradient pH untuk sel
sehingga menghasilkan kinerja biokatalis yang lebih baik (kecepatan
pembentukan dan yield produk yang lebih tinggi).
6. Immobilisasi menyebabkan kestabilan genetik.
7. Immobilisasi menyediakan perlindungan terhadap kerusakan sel.
3. Kekurangan Sel Immobilisasi
1. Hambatan pada proses difusi baik substrat maupun produk yang terbentuk.
2. Untuk sel yang hidup, pertumbuhan dan evolusi gas sering merusak matriks
pendukung sel terimmobilisasi.
3. Kontrol terhadap lingkungan mikro cukup sulit, sehingga menghasilkan
heterogenitas dalam sistem.
4. Substrat yang memiliki berat molekul besar sukar berdifusi ke dalam sel
yang diimmobilisasi.
5. pH optimum akan bergeser karena adanya perubahan elektron/muatan listrik
pada matriks.
4. Jenis-Jenis Immobilisasi sel
Secara umum, ada dua jenis sel immobilisasi yakni:
1. Immobilisasi Aktif
Immobilisasi ini dilakukan dengan dua metoda yaitu metoda penjeratan dan
metoda pengikatan. Metoda penjeratan dilakukan secara fisik dalam matriks
pendukung. Matriks pendukung yang bisa digunakan yaitu polimer porous
(agar, alginate, carragenan, polyacrylamide, chitosan, gelatin, collagen),
porous metal screen, polyurethane, silicagel, polystyrene, dan selulosa
triacetate. Polymeric beads harus cukup porous untuk keluar masuknya
substrat dan produk. Polymeric beads biasanya dibentuk dengan
menggunakan sel hidup di dalamnya.
Gambar.1. Mekanisme Penjeratan Immobilisasi Sel
2. Immobilisasi Pasif
Berbentuk biological films yang berbentuk lapisan-lapisan koloni sel yang
tumbuh dan melekat pada permukaan pendukung yang padat. Material
pendukung dapat bersifat inert atau aktif secara biologis. Biological films
digunakan pada pengolahan limbah atau fermentasi mikroba dengan jamur.
5. Metode Immobilisasi
Beberapa ahli menggolongkan metode imobilisasi dengan tiga kelompok,
yaitu: metode carrier binding, metode cross linking, dan metode entrapping
(Sa’id, 1987). Pada metode carrier binding, enzim diikatkan pada suatu matriks
yang bersifat tidak larut adalam air. Sebagai matriks dapat digunakan bahan
organik maupun anorganik. Bila menggunakan metode ini, hal yang perlu
diperhatikan adalah pemilihan matriks dan pengikatan enzim pada matriks
tersebut. Teknik pengikatan enzim pada matriks dapat dilakukan berdasarkan
adsorpsi fisik, gaya elektrostatik atau ikatan kovalen (Chibata, 1978).
Metode cross linking didasarkan pada pembentukan ikatan intermolekuler
antara molekul-molekul enzim. Gugus fungsional dalam molekul enzim yang
biasa digunakan untuk pembentukan ikatan intermolekmuler adalah gugus amino
pada asam amino terminal, gugus amino dari lisin, gugus fenolik dari tirosin,
gugus sulhidril dari sistein dan gugus imidazole dari histidin.
Pada metode entrapping, imobilisasi, enzim/sel didasarkan pada
penempatan enzim di dalam kisi dari suatu polimer atau di dalam membran yang
bersifat semi permiabel. Bila enzim ditempatkan dalam kisi, maka metode yang
digolongkan adalah jenis kisi, sedang bila ditempatkan dalam membran yang
bersifat semipermiabel, maka metodenya digolongkan ke dalam jenis
mikrokapsul (Chibata, 1978). Selain itu metode imobilisasi dapat digolongkan
sebagai berikut :
Adsorpsi
Penjeratan dalam matriks polimer
Penjeratan dalam membran
Teknik imobilisasi yang paling baik adalah yang memenuhi kriteria utama
tidak terjadi perubahan konformasi enzim dan tidak mengganggu gugus fungsi di
pusat aktif enzim sehingga enzim tetap dapat berfungsi. Metode penjebakan
enzim lebih banyak digunakan karena enzim ada dalam keadaan bebas dan tidak
terikat pada bahan pendukung sehinga secara relatif fungsi katalitik dan struktur
alami molekul enzim tidak mengalami gangguan goncangan (Wirahadikusumah,
1988).
6. Penjerat Atau Pembawa Immobilisasi Sel
Karakteristik yang harus dimiliki oleh penjerat/pembawa immobilisai sel,
antara lain :
a. Mudah digunakan serta ukuran dan porositas media penjerat dapat dikontrol,
terutama pada skala industri.
b. Media penjerat berbentuk matrik stabil pada kondisi fermentasi (temperature
dan pH optimum).
c. Harga murah dan mudah didapat.
d. Mempunyai sifat mekanik yang stabil, sehingga dapat tahan dalam waktu
yanglama dalam reaktor yang digunakan.
e. Penjerat harus inert terhadap mikrorganisme yang akan dijerat.
f. Substrat, produk, dan metabolisme lain harus dapat berdiffusi secara bebas
dengan media penjerat.
Natrium alginat merupakan bahan yang digunakan sebagai penjerat sel,
spesifikasi sebagai berikut :
Alginat merupakan koloid ganggang (fikokoloid) yang dapat diekstrak dari
ganggang coklat (phasophyceae), terutama anggota laminariates, berbentuk
asam alginat atau natrium alginat.
Asam alginat adalah suatu getah selaput membran (membrane mucilage).
Garam alginat dapat larut dalam air, seperti natrium alginat, potassium
alginat, dan ammonium alginat, sedikit larut dalam air, sedang kalsium
alginat tidak larut dalam air.
Umumnya alginat berbentuk serbuk putih kekuningan dan kadang-kadang
dalam bentuk pasta yang merupakan senyawa organik kompleks dengan
selulosa atau polisakarida. Senyawa alginat dapat dimurnikan sebgai garam
natrium alginat dengan alginat atau garam alginat yang lain.
Karakteristik natrium alginat :
Berbentuk serbuk berwarna putih atau kekuningan, tidak berbau, dan tidan
berasa. Secara umum susut pengeringan tidak lebih dari 22 %.
Larut lambat dalam air membentuk larutan koloid yang kental, berwarna
putih pucat sampai coklat kekuningan. Tidak larut dalam alkohol,
kloroform dan eter,serta larutan air yang mengandung lebih besar dari 30
% alkohol. Variasi mutu natrium algianat ditentukan oleh variasi
viscositas, antara 20-400 cp dari larutan 1% pada suhu 20o C.
Larutan alginat stabil pada pH 4 sampai 10.
Natrium alginat harus disimpan dalam wadah yang terlindung dari cahaya,
bentuk larutan tidak boleh disimpan pada wadah logam.
Alginat sebagai hydrophylic polysakarida menyerap uap air dari udara.
REAKTOR PADA PROSES FERMENTASI
Proses fermentasi jika ditinjau berdasarkan cara operasinya, dapat dibedakan menjadi dua
(Iman, 2008), diantaranya:
1. Fermentasi Cair
Contoh produk : etanol, protein sel tunggal, antibiotic, pelarut organik,kultur starter,
dekomposisi selulosa, pengolahan limbah cair, beer, glukosa isomerase, dan lain
sebagainya.
2. Fermentasi Padat (solid state fermentation)
Contoh produk : tape, oncom, koji dan lain sebagainya.
Pada proses fermentasi cair dapat dibedakan menjadi dua (Bambang, 2010), diantaranya :
a. Fermentasi bawah permukaan (submerged fermentation)
Contoh produk : etanol, dan lain sebagainya.
b. Fermentasi Fermentasi permukaan (surface fermentation)
Contoh produk : nata de coco, dan lain sebagainya.
Pada sistem fermentasi bawah permukaan (submerged fermentation) dapat
digolongkan lagi menjadi beberapa cara, diantaranya :
1. Batch Process
Pengertian Batch Process
Menurut Iman, 2008 (2008) Batch Process merupakan fermentasi dengan cara
memasukan media dan inokulum secara bersamaan ke dalam bioreactor dan pengambilan
produk dilakukan pada akhir fermentasi. Pada system batch, bahan media dan inokulum
dalam waktu yang hampir bersamaan di masukan ke dalam bioreactor, dan pada saat proses
berlangsung akan terjadi terjadi perubahan kondisi di dalam bioreactor (nutrient akan
berkurang dan produk serta limbah). Adapun contoh produk yang dapat menggunakan
systemBatch Process, diantaranya : yang mungkin dilakukan untuk skala kecil (Bambang,
2010).
Alasan menggunakan System Batch Process
Pada system fermentasi Batch, pada pasarnya prinsipnya merupakan sistem tertutup, tidak
ada penambahan media baru, ada penambahan oksigen (O2) dan aerasi, antifoam dan
asam/basa dengan cara kontrol pH (Iman, 2008).
Batch Fermentation banyak diterapkan dalam dunia industri, karena kemudahan dalam
proses sterilisasi dan pengontrolan alat (Minier and Goma, 1982) dalam Setiyo Gunawan
(2010). Selain itu juga, pada cara batch menurut penelitian yang dilakukan Hana Silviana
(2010), mengatakan bahwa cara batch banyak diaplikasikan di industri etanol karena dapat
menghasilkan kadar etanol yang tinggi.
Keuntungan menggunakan System Batch Process :
Menurut Rommy (2010), Bioreaktor tipe batch Tipe batch memiliki keuntungan yaitu
dapat digunakan ketika bahan tersedia pada waktu – waktu tertentu dan bila memiliki
kandungan padatan tinggi (25%) atau bahan berserat / sulit untuk diproses, tipe batch akan
lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu (continuos flow), karena lama proses dapat
ditingkatkan dengan mudah. Bila proses terjadi kesalahan, misalnya karena bahan beracun,
proses dapat dihentikan dan dimulai dengan yang baru.
2. Proses Sinambung (Continues Process)
Pengertian Sinambung (Continues Process)
Pada cara Sinambung (Continues Process), pengaliran substrat dan pengambilan produk
dilakukan secara terus menerus (sinambung) setiap saat setelah diperoleh konsentrasi produk
maksimal atau substrat pembatasnya mencapai konsentrasi yang hampir tetap (Rusmana,
2008). Dalam hal ini subtrat dan inokulum dapat ditambahkan bersama-sama secara terus
menerus sehingga fase eksponensial dapat diperpanjang.
Ada 2 tipe sistem, yaitu : homogenously mixed bioreactor dan plug flow reactor. Pada
tipe homogenously mixed bioreactor dapat dibagi menjadi 2 macam diantaranya Chemostat
dan Turbidostat (Rusmana, 2008).
Adapun contoh produk yang dapat menggunakan system sinambung (Continues Process)
diantaranya : protein sel tunggal, antibiotic, pelarut organic, kultur starter, dekomposisi
selulosa, pengolahan limbah cair, beer, glukosa isomerase, etanol (Rusmana, 2008).
Alasan menggunakan System Sinambung (Continues Process)
Pada System Sinambung (Continues Process), pada pasarnya prinsipnya merupakan
fermentasi kontinyu dimana pada fermentor sistem terbuka, ada penambahan media baru, ada
kultur yg keluar, volume tetap dan fase fisiologi sel konstan (Iman, 2008).
Dalam hasil penelitian, menurut Reksowardjo (2007), dikatakan bahwa proses fermentasi
kontinyu dengan immobilisasi sel akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
fermentasi batch. Pada fermentasi secara batch untuk fermentasi etanol terjadi kendala yaitu
produktivitas etanol rendah. Rendahnya produktivitas etanol karena pada kondisi tertentu
etanol yang dihasilkan akan menjadi inhibitor, yang akan meracuni mikroorganisme sehingga
mengurangi aktivitas enzim.
3. Gabungan system batch dan kontinyu (Fed-Batch Process)
Pengertian Fed-Batch Process
Sistem fed-batch adalah suatu sistem yang rnenambahkan media baru secara teratur pada
kultur tertutup, tanpa mengeluarkan cairan kultur yang ada di dalam fermentor sehingga
volume kultur makin lama makin bertambah (Tri Widjaja 2010). Menurut Rusmana (2008),
pada cara fed-batch yaitu memasukan sebagian sumber nutrisi (sumber C, N dan lain-lain) ke
dalam bioreactor dengan volume tertentu hingga diperoleh produk yang mendekati
maksimal, akan tetapi konsentrasi sumber nutrisi dibuat konstan.
Pada system fermentasi Fed-Batch Process, menurut Bambang (2010), merupakan
pengembangan sistem batch, adanya penambahan media baru, tidak ada kultur yg keluar dan
yield lebih tinggi dari batch. Contoh produk yang dapat diperoleh pada system Fed-Batch
Process adalah Dekstranase.
Alasan menggunakan System Fed-Batch Process
Proses fed-batch telah diterapkan secara luas dalam berbagai industri fermentasi dan
relatif lebih mudah digunakan untuk perbaikan proses batch dibandingkan dengan proses
kontinyu. Apabila pada fermentasi kontinyu dihasilkan keluaran secara terus-menerus maka
pada fed-batch diperoleh keluaran tunggal pada akhir inkubasi sehingga dapat ditangani
dengan cara yang sama seperti pada proses batch Sinclair & Kristiansen (1987) dalam
Budiatman (2009).
Keuntungan menggunakan System Fed-Batch Process :
Keuntungan sistem fed-batch ini menurut penelitian yang dilakukan Rachman (1989)
dalam Budiatman (2009), ialah konsentrasi sisa substrat terbatas dan dapat dipertahankan
pada tingkat yang sangat rendah sehingga dapat mencegah fenomena represi katabolit atau
inhibisi substrat.
Proses fermentasi jika ditinjau berdasarkan jenis reaktor
Beberapa konfigurasi reaktor dapat digunakan untuk sistem sel terimmobilisasi. Matriks
pendukung sel immobilisasi umumnya bersifat rapuh, karena itu dipilih bioreaktan yang
memiliki gesekan hidrodinamik yang rendah seperti packed-column, fluidized-bed atau airlift
reactor. Reaktor yang menggunakan pengaduk mekanik dapat digunakan untuk matriks
pendukung yang kuat dan liat. Reaktor tersebut dioperasikan dengan cara mengalirkan larutan
nutrient melewati sel immobilisasi. Skema penggunaan sel immobilisasi sel untuk reactor
packed-column dan fluidized-bed secara batch maupun kontinu.
Gambar.2. Jenis Reaktor Kolom Pada Fermentasi Menggunakan Immobilisasi Sel
Fluidized-bed Reactor
Untuk viskositas tinggi & terbentuk gas
Laju fluidisasi perlu diatur agar enzim imobil tak rusak
Laju transfer massa & panas yang lebih baik
Digunakan sel imobil atau enzim imobil
Pencampuran dibantu dengan pompa pada bagian dasar tangki, sehingga katalis yang
telah diimobilisasi bergerak bersama cairan
Reaktor Packed bed/ Fixedbed
Faktor Pola Aliran
Aliran ke bawah tidak banyak digunakan karena pada penggunaannya, enzim
imobil berada pada bagian bawah reaktor yang akan menyebabkan pemampatan
reaktor oleh manik.
Aliran ke atas banyak digunakan karena enzim tidak menghalangi pengeluaran
produk dan dapat langsung kontak dengan substrat.
Faktor Kecepatan alir substrat : mempengaruhi kecepatan penurunan aktivitas enzim.
Penyebab : Kestabilan enzim yang semakin melemah
MENENTUKAN WAKTU (ttinggal) PADA PROSES FERMENTASI
Waktu tinggal (ttinggal) adalah waktu yang dibutuhkan pada proses fermentasi untuk
menghasilkan produk.
1. Menentukan ttinggal Pada Proses Fermentasi Secara Batch
Pada proses fermentasi secara batch, waktu tinggal dapat diketahui
secara langsung dari awal fermentasi sampai dengan akhir fermentasi (menghasilkan
produk).
2. Menentukan ttinggal Pada Proses Fermentasi Secara Kontinu
Waktu tinggal (ttinggal) pada fermentasi secara kontinu dapat diketahui dengan
membagi volum sel (beads) dengan kecepatan volumetrik cairan yang masuk reaktor.
Dengan perhitungan kinetika reaksi, konversi suatu reaktor dapat diketahui.
Volume beads (mL )
Volumetrik cairan yang masuk ( mLdetik
)=t (detik )
Dimana :
Volume beads=Volume kolom reaktor] – [Volume CaCl2 (dalam immobilisasi
bakteri Sacchromyces cereviceae) yang ditambahkan untuk
mengisi rongga-rongga kosong beads dalam kolom reaktor]