Tk Imobilisasi 2

42
Refarat Rehabilitasi Medik pada usia lanjut dengan Imobilisasi lama Oleh : Imelda E Kawatu Pembimbing: dr. Veny Mandang dr. Joudy Gessal, SpKFR Program Pendidikan Dokter Spesialis – I 1 Kepada Yth : Dibacakan Tanggal :

description

Imobilisasi

Transcript of Tk Imobilisasi 2

Refarat

Rehabilitasi Medik pada usia lanjut dengan Imobilisasi lama

Oleh :

Imelda E Kawatu

Pembimbing:

dr. Veny Mandang

dr. Joudy Gessal, SpKFR

Program Pendidikan Dokter Spesialis – I

Bagian / SMF Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

BLU RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado

2011

1

Kepada Yth :

Dibacakan Tanggal :

PENDAHULUAN

Semakin membaiknya pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, mengakibatkan semakin

banyaknya penduduk golongan usia tua atau lansia. Di Indonesia, jumlah jiwa anggota keluarga

umur 60 tahun ke atas, secara nasional tahun 2009 diperkirakan sebanyak 15.504.089 jiwa atau

6,8% dari seluruh jiwa dalam keluarga (BKKBN,2009). Berdasarkan studi yang dilakukan

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ada sekitar 18,2 juta penduduk

lansia di tahun 2005. Diperkirakan tahun 2020 angka ini membengkak menjadi 29 juta jiwa.

Menurut WHO 1998 batasan umur manusia usia lanjut (manula) adalah di atas 65 tahun.1,2,

Pada manula sering dijumpai berbagai gangguan, diantaranya gangguan fungsi gerak dan

rasa, gangguan keseimbangan dan koordinasi. dan mengalami berbagai penyakit kronik sehingga

membuat mereka menjadi immobile yaitu suatu keadaan tidak dapat bergerak, yang dikarenakan

akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kondisi berbaring lama. 3,4 Hal ini bisa disebabkan oleh

gangguan dan cedera neuromuskuloskeletal, seperti paralisis, gips, dan bidai; penyakit kritis yang

memerlukan istirahat; menetap lama pada posisi gravitasi berkurang seperti saat duduk atau berbaring;. 4,5

Istirahat di tempat tidur yang lama dan inaktivitas menurunkan aktivitas metabolisme umum. Hal

ini mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional sistem tubuh yang multiple, dengan manifestasi klinis

sindrom imobilisasi.6 Tingginya insidensi imobilisasi pada usia lanjut serta komplikasi sistemiknya yang

bisa mengancam jiwa memerlukan kesepahaman tentang tatalaksana imobilisasi serta komplikasi-

komplikasi seperti ulkus dekubitus agar tenaga medis, paramedis serta perawat mengetahui dan

melaksanakan penatalaksanaan imobilisasi pada usia lanjut dan komplikasinya secara adekuat,

mengurangi komplikasi akibat imobilisasi pada usia lanjut dan menurunkan angka kematian akibat

komplikasi imobilisasi.2

DEFINISI

“Menua (= menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-perlahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan

yang diderita.” (Constantinides, 1994). 1 Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat

di tempat tidur, tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/ organ

tubuh (impairment) yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak

bergerak/ tirah baring yang terus-menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis. 5

Imobilisasi didefinisikan sebagai pembatasan atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan tubuh itu

sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan .4 Dapat juga didefinisikan sebagai kehilangan gerakan

2

anatomik akibat perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tempat tidur, transfer atau ambulasi. 2

Dalam praktek kedokteran dan rehabilitasi medik, imobilisasi digunakan untuk menggambarkan

sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktifitas dan ‘deconditioning’. Imobilisasi

menimbulkan penyulit yang bersifat sistemik mulai dari sistem kardiovaskular hingga kejiwaan serta

masalah sosial dan lingkungan. Komplikasi yang ditimbulkan oleh kondisi imobilisasi tersebut umumnya

dapat dihindari melalui pengelolaan imobilisasi yang baik dan benar. Upaya meningkatkan kemampuan

mobilisasi usia lanjut yang mengalami imobilisasi, meskipun sedikit, dapat menurunkan insidensi dan

beratnya penyulit, memperbaiki kesejahteraan pasien dan memperingan tugas pengasuh.2,5

EPIDEMIOLOGI

Pada umumnya perjalanan penyakit geriatrik ini adalah kronik (menahun), diselingi dengan eksaserbasi

akut. Selain daripada itu penyakitnya bersifat progresif dan sering menyebabkan kecacatan (invalide)

lama sebelum akhirnya penderita meninggal dunia. Di Amerika angka-angka penyakit kronik mempunyai

prevalensi tertinggi pada dekade usia 35-54 tahun sedang invaliditas mencapai puncak pada golongan

umur 50-74 tahun (Stieglitz, 1954). Disinilah pentingnya rehabilitasi sedini mungkin yang sekarang lebih

digalakkan, untuk menghindari invaliditas sejauh mungkin. Penyakit yang progresif ini, berlainan dengan

usia remaja/ dewasa, tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru menjadikan orang lansia

rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan yang makin menurun. 7 Immobilisasi lama bisa terjadi

pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang-orang lanjut usia (lansia), pasca operasi yang

membutuhkan tirah baring lama. Contohnya, dampak imobilisasi lama terutama dekubitus mencapai 11 %

dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan emboli paru berkisar 0,9% dimana tiap 200.000

orang meninggal tiap tahunnya. 2,4

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dari imobilisasi dapat menyebabkan penurunan kapasitas fungsional, potensi fisiologis

maksimal dan fungsi cadangan. Konsep ini didefinisikan sbb :

- Kapasitas fungsional adalah rasio metabolik maksimum yang dapat dicapai oleh subjek selama

aktifitas.

- Potensi fisiologis maksimal adalah rasio metabolik maksimum yang dapat dicapai oleh individu

setelah latihan fisik.

- Potensi cadangan adalah perbedaan antara potensi fisiologis maksimal dengan kapasitas

fungsional sebelum latihan.8

3

Pada gambar 1 dibawah ini menunjukkan bahwa kapasitas fungsional individu dapat meningkat melalui

latihan sampai pada titik dimana individu mencapai potensi fisiologis maksimalnya. Sementara inaktivitas

yang lama dapat menurunkan kapasitas. 8 Persiapan aktivitas fisik yang terlalu berat diawal suatu penyakit

atau cedera yang serius adalah hal yang berbahaya karena dapat menurunkan kapasitas fungsional lebih

lanjut. Pemulihan secara bertahap dari kapasitas fungsional dan potensi cadangan hanya dapat dicapai

melalui tirah baring. Namun bagaimanapun jika inaktivitas dilakukan terlalu lama ditahap awal dari tirah

baring, maka gangguan dari kapasitas fungsional dan potensi cadangan dapat berlanjut. Segera setelah

penyakit akut berakhir, program aktifitas secara bertahap harus dimulai untuk mempercepat pemulihan

dari kapasitas fungsional serta potensi cadangan ke level sebelum sakit. 8,9

Keterangan :

latihan A = kapasitas fungsional

B = potensi cadangan

A + B = potensi fisiologik

maksimum

istirahat

GAMBAR 1: efek istirahat dan inaktifitas kapasitas fungsional dan potensi fisiologik maksimum8,10

Vallbona mengindikasikan 4 tipe inaktivitas yang dapat menimbulkan komplikasi pada imobilisasi :

1. Tirah baring yang lama.

2. Aktivitas neuromuscular yang terbatas,

3. Posisi berbaring yang menetap,

4. Keadaan yang tidak bergerak. 9

PENYEBAB IMOBILISASI PADA USIA LANJUT

4

B

A

B

B

A

A

SETELAH LATIHAN FISIK

TIDAK BERAKTIVITAS

TINGKAT AWAL

Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut,

seperti dapat dilihat dalam tabel berikut :

TABEL 1 : PENYEBAB UMUM IMOBILISASI PADA USIA LANJUT2

Gangguan muskuloskeletal - Arthritis - Osteoporosis- Fraktur (terutama panggul dan femur)- Problem kaki (bunion, kalus)- Penyakit paget.

Gangguan neurologis - Stroke - Penyakit Parkinson- Disfungsi serebelar- Neuropati

Penyakit kardiovaskular - gagal jantung kongestif (berat).- Penyakit jantung koroner.- Penyakit vascular perifer (klaudikasio yang sering)

Penyakit paru - Penyakit paru obstruktif kronis (berat)Faktor sensorik - Gangguan penglihatan.

- Takut jatuhPenyebab lingkungan - Imobilisasi yang dipaksakan (RS atau panti werdha).

- Alat bantu imobilisasi yang tidak adekuat.Nyeri akut atau kronik - Dekondisi (setelah tirah baring lama pada keadaan sakit akut)

- Malnutrisi- Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan).

Lain-lain - Depresi.- Efek samping obat (misalnya kekakuan yang disebabkan obat

antipsikotik)

Dari faktor penyebab imobilisasi yang tersebut diatas, beberapa dapat dicegah atau ditatalaksana sehingga

tidak lagi menyebabkan imobilisasi, namun pada beberapa keadaan faktor-faktor penyebab imobilisasi itu

tidak dapat dihindari. 2

MANIFESTASI KLINIK IMOBILISASI

Sindroma imobilisasi akan berkembang kapanpun jika seseorang menjadi inaktif dan tetap dalam posisi

yang sama pada periode beberapa hari sampai minggu. 8 Imobilisasi dapat menyebabkan proses

degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan

berkurangnya fungsi motorik. Sistem organ yang terkena diantaranya sistem muskuloskeletal,

kardiopulmonal, integument, metabolik dan endokrin, neurologi dan psikiatri, serta sistem gastrointestinal

dan urinarius.2 (tabel 2).

TABEL 2 : EFEK IMOBILISASI PADA BERBAGAI SISTEM ORGAN 2,4,10

SISTEM EFEK

5

- Muskuloskeletal - Kontraktur.- Atropi otot.- Osteoporosis

- Kardiovaskuler - hipotensi ortostatik.- Penurunan volume plasma.- Tromboemboli.- Hiperkoagulasi.

- Integumen - Atropi kulit.- Ulkus dekubitus

- Respiratori - Resistensi mekanik meningkat pada pernapasan.- Pneumonia hipostatik.- Emboli paru.- Merangsang batuk dan aktifitas siliar bronkioli.

- Traktus gastrointestinal dan urinarius1

- Inkontinensia urin dan alvi.- Infeksi traktus urinarius.- Pembentukan batu kalsium.- Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi

kandung kemih.- Impaksi feses.- Konstipasi.- Penurunan motilitas usus. - Refluks esophagus aspirasi saluran napas.- Peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal.

- Metabolik dan endokrin1 - Keseimbangan nitrogen negative.- Hiperkalsiuria.- Natriuresis dan deplesi natrium.- Resistensi insulin (intoleransi glukosa).- Hiperlipidemia.- Penurunan absorpsi dan metabolism vitamin/ mineral.

- Saraf 6 - Kehilangan sensibilitas.- Konfusi dan disorientasi.- Ansietas dan depresi.- Penurunan kapasitas intelektual.- Keseimbangan terganggu dan koordinasi.

Sistem muskuloskeletal

1. Atropi otot

merupakan tanda yang paling menonjol pada paralisis sel-sel di kornu anterior, bertanggung-jawab

terhadap gangguan atau penurunan fungsi otot yang lain. Kapanpun seorang individu tidak

menjalankan program aktifitas fisik tingkat sedang, maka kekuatan otot dapat menurun secara

bermakna. Setelah 1 minggu tirah baring terdapat 20 % penurunan dari kekuatan otot awal, dengan

tambahan penurunan sebesar 20% pada kekuatan otot sisa untuk setiap minggu tirah baring

berikutnya. Hal ini memiliki implikasi yang besar pada proses rehabilitasi karena rasio pemulihan

kekuatan adalah lebih rendah yaitu sebesar 10% perpeningkatan per minggu dengan program latihan

harian menggunakan 100% kekuatan otot maksimal. Gangguan koordinasi gerakan dapat secara

6

serius mengganggu kapasitas pasien dalam melakukan aktifitas kegiatan sehari-hari. Apalagi jika

kedua ekstremitas superior/ inferior terpengaruh. 4,5,8

2. Kontraktur

Adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini dapat merupakan akibat dari beberapa

penyebab, seperti kepadatan jaringan penyambung, otot dan kapsul sendi serta suatu gangguan sendi.

Namun pada orang yang dilakukan imobilisasi, yang paling penting adalah faktor-faktor mekanik.

Jika sebuah otot dipertahankan pada posisi memendek dalam waktu lama, serat-serat otot dan

jaringan penyambungnya akan menyesuaikan diri dengan pemendekan tersebut, sehingga

menyebabkan kontraktur pada sisi sendi yang berelaksasi.4 Sebuah otot yang berada pada posisi

memendek hanya selama 5 hingga 7 hari akan memperlihatkan pemendekan perut otot akibat

kontraksi dari serat-serat kolagen dan penurunan sakromer serat otot. Jika posisi ini berlangsung terus

selama 3 minggu atau lebih, jaringan penyambung yang longgar pada otot dan sekitar sendi perlahan-

lahan akan berubah menjadi jaringan penyambung yang padat sehingga menyebabkan kontraktur.4

Faktor pendukung seperti edema, perdarahan, spastisitas, paralisis, nyeri, ketidakseimbangan otot,

cedera jaringan lunak dan usia yang lanjut bercampur menjadi satu dan meningkatkan pembentukan

kontraktur.4Perubahan pada tulang biasanya disebabkan oleh gangguan yang sama yang

menyebabkan perubahan pada sistem muskular. Aktifitas metabolik dari tulang manusia terutama

tergantung pada stress dan regangan akibat kerja dari tarikan tendon serta gaya gravitasi selama posisi

berdiri. Kontraktur dapat terjadi kapanpun sebuah sendi tidak bergerak baik secara aktif maupun

pasif. Sendi tersebut dapat menjadi kaku, tidak dapat bergerak dalam LGS (lingkup gerak sendi) yang

penuh dan kadang-kadang dapat mengalami deformitas yang ireversibel,11,12

3. Osteoporosis

terjadi tidak hanya karena penurunan dari aktifitas otot, tapi juga terjadi akibat reaksi endokrin dan

metabolik yang kompleks, 8 kehilangan integritas tulang sampai terjadi demineralisasi dan hilangnya

matriks tulang selama imobilisasi dan bermanifestasi dengan peningkatan ekskresi kalsium. 13 Faktor

penyebab terjadinya osteoporosis adalah penurunan kerja osteoblas, penurunan aliran darah pada

tulang dan peningkatan aktifitas osteoklas.13 Osteoporosis akibat imobilisasi lebih sering pada regio

subperiosteum,berbeda dengan osteoporosis sinilis yang timbul akibat pengeluaran sumsum tulang.

Selain itu, osteoporosis akibat tidak digunakan (disuse) paling sering tampak pada jaringan reticular

tulang pada metafisis dan epifisis dan kemudian meluas ke seluruh diafisis.4 Setelah 12 minggu

istirahat di tempat tidur, densitas tulang berkurang sebanyak 40-45% dan menjadi 50% dalam minggu

ke-30.4

Sistem saraf pusat

7

1. Kehilangan sensibilitas . Imobilisasi yang lama dapat mengganggu sensibilitas, menurunkan aktifitas

motorik menyebabkan gangguan otonom, gangguan emosional serta dapat mengganggu fungsi

intelektual. Penurunan input sensorik yang dialami oleh pasien imobilisasi dapat menyebabkan

panestesia (penurunan ambang batas nyeri) serta gangguan modalitas sensorik yang lain. Masalah

tersebut dapat menjadi substansial pada pasien dengan keterlibatan dari saraf-saraf sensorik yang

dapat mengakibatkan parestesia atau hipoestesia. 4

2. Pasien-pasien dengan sensibilitas yang intak atau normal tetapi dengan penurunan output motorik

dapat mengalami gangguan pada kekuatan serta ketahanan otot seiring dengan atropi dari otot-otot

itu. Sementara pasien-pasien dengan paralisis spastik biasanya memiliki aktifitas otot yang cukup

sehingga mencegah terjadinya atropi yang serius. Mereka yang menderita paralisis flaccid lebih

rentan terhadap penurunan aktifitas motorik. Mobilitas lebih jauh lagi dapat terganggu jika terdapat

gangguan dari aktifitas otonom yang berfungsi dalam proses adaptasi terhadap stress. Gangguan

otonomik ini dapat menyebabkan hipotensi postural yang berkembang hanya dalam beberapa hari

tirah baring.4

3. Kecemasan dan depresi dapat terjadi tidak hanya karena terbatasnya input sensorik dan non

produktifitas, tapi juga dapat terjadi karena penyakit atau cedera yang mendasarinya itu sendiri.

Sebaliknya, untuk menghadapi penyakit yang kronis, biasanya pasien yang depresi menginginkan

tirah baring lebih lama. Pasien tersebut mungkin juga menunjukkan tanda-tanda apatis, penarikan

diri, frustasi, agresifitas atau regresi. 8

4. Pada kasus-kasus yang berat dapat terjadi gangguan sensasi sentuhan atau pergerakan juga halusinasi

visual, auditorik serta somatik.8

5. Gangguan emosional seringkali disertai dengan gangguan intelektual seiring dengan makin lamanya

inaktifitas.5,8

Sistem kardiovaskular

Respon kardiovaskular terhadap imobilisasi merupakan konsekuensi dari pengaruh sistem saraf

otonom, endokrin, metabolik serta fisik. Hasil akhirnya yaitu berupa gangguan dari kapasitas sistem

kardiovaskular untuk merespon kebutuhan metabolik basal. Karena dekonditioning fisik dapat

menyebabkan sistem simpatik atau adrenergik lebih dominan daripada sistem parasimpatis maka

basal heart rate menjadi tinggi dan cadangan jantung menurun. Pasien yang dalam tirah baring

selama beberapa minggu juga pasien paralisis biasanya memilih denyut jantung diatas 80 kali

permenit untuk mencukupi kebutuhan aliran darah koroner yang terjadi pada fase diastolik

dibutuhkan heart rate basal yang rendah karena hanya heart rate yang rendah fase diastolik menjadi

lebih panjang daripada fase sistolik. Hal yang sebaliknya terjadi pada denyut jantung yang tinggi. Hal

8

ini dapat menyebabkan hilangnya fungsi cadangan jantung bahkan pada usaha fisik yang terbatas

dapat menyebabkan tahikardia dan angina. 8

Hipotensi ortostatik dan phlebotrombosis dapat terjadi akibat tidak cukupnya konstriksi dari arteri

dan vena pada tungkai selama tirah baring lama.8 Hipotensi ortostatik ditegakkan bila terdapat

penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau diastolik ≥ 10 mmHg disertai gejala pusing,

pandangan gelap, berputar atau berdebar.2Hipotensi ortostatik dapat terjadi meskipun peningkatan

sistem adrenergik. Ketika seseorang mengalami dekonditioning berusaha untuk bangun atau berdiri,

darah akan berkumpul pada ekstremitas bawah, volume darah disirkulasi serta venous return akan

menurun dan stroke volume mungkin menjadi terlalu rendah untuk mencukupi aliran darah ke otak.

Pada beberapa kasus tekanan darah dapat mencapai 60/30 mmHg dalam 10-20 detik saat pasien

duduk dengan kaki tergantung disisi tempat tidur. Darah terkumpul diekstremitas bawah karena arteri

dan vena tungkai tidak mengalami konstriksi secara cukup untuk melawan efek gravitasi. Karena itu

terdapat peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, ekstravasasi cairan ke jaringan interstitial serta

edema, statis vena dikombinasikan dengan adanya gangguan pembekuan darah merupakan

pathogenesis utama terjadinya phlebotrombosis.8

Sistem respirasi

Perubahan yang terjadi bersamaan dengan perubahan pada sistem kardiovaskular termasuk diantaranya

yaitu : penurunan kapasitas vital dan penurunan ventilasi volunter maksimum.6

Penurunan ventilasi. Pasien imobilisasi menunjukkan penurunan volume tidal dan volume

ventilasi permenit. Pasien yang dalam kondisi berbaring dan mengalami inaktifitas sulit untuk

mengkontraksikan otot-otot pernapasannya secara cukup untuk mencapai inspirasi penuh.

Penurunan kekuatan otot selama imobilisasi mencakup juga penurunan kekuatan otot-otot

pernapasan. Gangguan restriktif, penurunan kekuatan otot secara keseluruhan, dekonditioning

dari otot-otot pernapasan, dan kegagalan dalam mengekspansikan dinding dada secara penuh

menghasilkan 25-50% penurunan kapasitas respiratorik. Respiratory rate meningkat untuk

mengkompensasi penurunan kapasitas. Pada daerah paru dimana gaya gravitasinya meningkat

ratio ventilasi perfusi dapat terganggu: ventilasi yang rendah serta perfusi yang tinggi dapat

menyebabkan arteriovenous shunting dan penurunan oksigenasi arterial.6

Atelektasis dan pneumonia. Imobilisasi (kadang diperparah oleh kelemahan motorik) dapat

menyebabkan gangguan pengeluaran sekret secara bermakna. Sekret lalu berakumulasi pada

cabang bronkioli bagian bawah, menghambat aliran udara dan kadang dapat menyebabkan

9

atelektasi dan pneumonia hipostatik. Atelektasis dan akumulasi sekresi dapat membentuk

lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan bakteri.10

Sistem Pencernaan

Penurunan keseluruhan dari aktifitas gastrointestinal tidak hanya mempengaruhi motilitas tapi juga fungsi

sekresi dari kelenjar liur dari pankreas dan kelenjar-kelenjar pencernaan lainnya. Masalah-masalah

gastrointestinal yang diakibatkan oleh imobilisasi diantaranya adalah anoreksia dan konstipasi.

Penurunan kebutuhan kalori juga perubahan endokrin, kecemasan dan depresi seringkali berinteraksi

dalam menyebabkan anoreksia. Konstriksi spinghter dan terlambatnya peristaltik digabung dengan

peningkatan absorpsi air diusus serta diet rendah cairan dan rendah serat berkontribusi terhadap terjadinya

konstipasi. Biasanya konstipasi cukup parah sehingga menyebabkan impaksi fekal.8,10

Sistem endokrin dan renal

Perubahan metabolik dan renal yang menonjol, yang terjadi pada sindroma imobilisasi disebabkan oleh

interaksi sistem endokrin dan sistem-sistem yang lainnya. Terdapat banyak literature yang menjelaskan

mengenai gangguan endokrin dan metabolik yang terjadi setelah tirah baring atau pada pasien-pasien

paralisis. Claus Walker dan Halstead telah menganalisis literatur-literatur tsb dan telah menyimpulkan

berbagai hasil pada beberapa artikel.6 Manifestasi endokrin dan metabolik yang paling penting dari

sindroma imobilisasi adalah sbb :

Peningkatan diuresis. Hal ini terjadi terutama pada fase-fase awal tirah baring karena tubuh

diposisikan pada posisi horizontal yang menyebabkan peningkatan sementara dari volume darah

yang bersirkulasi. Hal ini terjadi karena perpindahan cairan ekstraseluler ke vena yang

menyebabkan peningkatan aliran balik vena. Sebagai hasilnya terjadi stimulasi dari reseptor

diatrium kanan serta terjadi inhibisi refleks ADH . Diuresis yang terjadi pada awal-awal tirah

baring tidak menyebabkan masalah pada pasien yang mendapatkan cairan intra vena.4,6

Peningkatan Natriuresis. Hal ini juga terjadi secara sementara dan bersamaan dengan

peningkatan diuresis dan hal ini terjadi sebagai usaha untuk mempertahankan osmolaritas plasma

pada tingkat yang normal. 6

Hiperkalsiuria. Sebagai mana yang disebutkan sebelumnya osteoporosis merupakan salah satu

komplikasi utama dari inaktifitas lama. Dari sudut pandang klinis konsekuensi penting yang

terjadi yaitu mobilisasi kalsium secara terus-menerus dari matriks tulang ke dalam darah dan

akhirnya kelebihan kalsium dikeluarkan melalui urine. Sebagai tambahan, dari faktor-faktor

mekanik yang dapat menyebabkan osteoporosis, kita juga harus memikirkan mengenai peran dari

kortikosteroid adrenal yang mungkin dilepaskan dalam jumlah yang berlebihan akibat dari

10

kondisi stress yang terjadi selama imobilisasi juga stress yang bersifat sementara yang terjadi

ketika pasien imobilisasi mulai untuk belajar duduk atau berdiri dan menyebabkan hipotensi

ortostatik. Pada kondisi-kondisi ini, dan juga sebagai usaha untuk mengkompensasi penurunan

volume darah sirkulasi, terdapat pelepasan hormon-hormon penahan cairan secara refleks ADH

( Aldosteron, Kortisol). Meskipun efek kompensatorik ini tidak terlalu efektif dalam mencegah

ortostatisme, hal ini memiliki pengaruh metabolic jangka panjang dan bahkan dapat menfasilitasi

adaptasi secara bertahap terhadap posisi berdiri. 6

Batu renal. Jika terdapat hiperkalsiuria, stasis urine dan ISK (Infeksi Saluran Kemih) hal ini

berbahaya karena dapat menyebabkan pembentukan kalkuli di pelvis renal atau di saluran

kencing bagian bawah. Hal ini bahkan lebih berbahaya lagi pada orang-orang yang mengalami

paralisis karena kondisi hiperkalsiuria yang parah, gangguan dari fungsi vesika urinaria , dan ISK

yang tidak dapat dicegah yangterjadi pada pasien-pasien yang dikateterisasi. Staghorn calculi

dapat terbentuk di pelvis renal, dan batu dalam berbagai ukuran mungkin dapat tertimbun di buli-

buli. Obstruksi urine dapat menyebabkan masalah yang serius, khususnya pada pasien-pasien SCI

(Spinal Cord Injury) yang mengalami anesthesia yang tidak dapat merasakan nyeri jika terjadi

kolik renal. Episode berulang dari ISK dan kalkuli mungkin dapat menyebabkan gangguan

bertahap dari fungsi ginjal dan akhirnya dapat berakibat pada terjadinya insufisiensi renal.6

Sistem integumen

Imobilisasi dapat mempengaruhi kulit dan adheksa dengan menyebabkan atropi dan ulkus dekubitus.

Perubahan struktur dapat mempengaruhi konsistensi dari jaringan subkutan dan dermis yang secara

bertahap dapat menyebabkan penggunaan kulit menghilang. Nafsu makan serta nutrisi yang tidak cukup/

kurang mungkin dapat menyebabkan hilangnya lemak subkutan serta perubahan dari turgor kulit.

Hygiene yang buruk dapat menyebabkan infeksi bakterial atau jamur dan kuku tumbuh ke dalam. Ulkus

dekubitus yang luas dapat secara luas mengurangi protein serum khususnya albumin. Pada level kapiler

penurunan dari protein serum dipresentasikan dengan adanya penurunan tekanan onkotik. Hal ini dapat

mengfasilitasi terjadinya ekstravasasi cairan ke ruangan ekstrasel. Pada area yang tergantung gravitasi

atau pada kaki dan pergelangan kaki ketika pasien bangun dari tempat tidur. Ekstravasasi akhirnya

menyebabkan penurunan dari volume darah dalam sirkulasi dan menyebabkan hipotensi ortostatik.

Perawatan kebersihan kulit pada pasien imobilisasi merupakan hal yang sangat penting. Pemijatan dan

pembilasan kulit secara menyeluruh dapat membantu menjaga turgor kulit serta mencegah infeksi,

khususnya pada daerah-daerah kulit yang mengalami penekanan secara konstan. Kuku-kuku jari (tangan

11

dan kaki) harus digunting secara teratur. Ketika imobilisasi diakibatkan karena paralisis posisi pasien

harus diubah secara periodik untuk mencegah tekanan yang lama pada kulit. Jadwal yang biasanya

dianjurkan yaitu memiringkan pasien setiap 2-4 jam.14

Ulkus dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang

khusus pada usia lanjut. Kekhususannya terletak pada insiden kejadiannya yang erat kaitannya dengan

imobilitas. Dekubitus adalah kerusakan/ kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus

otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus-menerus sehingga

mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. 9 Berdasarkan klasifikasi Shea yang telah dimodifikasi

dan dipakai sebagai panduan klinis oleh The Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR),

ulkus dekubitus dibagi menjadi 4 stadium .14

- Stadium I : bermanifestasi sebagai eritema yang nonblanchable pada kulit yang masih utuh. Pada

pasien dengan kulit gelap stadium 1 dapat berupa perubahan warna kulit yang hangat, edema dan

berindurasi. Lesi stadium1 ini berhubungan dengan 10 kali peningkatan resiko lesi stadium yang

lebih lanjut.

- Stadium II : bila sudah terjadi kehilangan lapisan kulit epidermis dan atau dermis. Tampak

sebagai ulkus yang dangkal dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.

- Stadium III : ulkus menjadi lebih dalam meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung,

berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik

yang berbau.

- Stadium IV : perluasan ulkus menembus otot, sehingga tampak tulang didasar ulkus yang dapat

mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.

12

Gambar 2. Stadium terjadinya ulkus dekubitus.4

Mengingat patofisiologi terjadinya dekubitus adalah penekanan pada daerah-daerah tonjolan tulang,

harusnya diingat bahwa kerusakan jaringan dibawah tempat yang mengalami dekubitus adalah lebih

luas dari ulkusnya sendiri.9,14

Gambar 3 : tingkatan ulkus dekubitus menurut kedalaman jaringan yang terlibat. ( dari Donovan WH, Pressure ulcers. In DeLisa JA, Rehabilitation Medicine : Principles and Practise, 2 nd ed. Philadelphia: JB Lippincott, 1993,p.722)

13

Gambar 4 : lokasi ulkus dekubitus pada posisi supinasi.4

Gambar 5 : lokasi ulkus dekubitus pada posisi miring.4

Imobilisasi yang lama memiliki pengaruh buruk pada semua organ dan sistem pada tubuh. Keterlibatan

dari salah satu sistem dapat memiliki efek pada sistem yang lain melalui interaksi yang kompleks

sehingga mencetuskan terjadinya lingkaran setan. (gambar 5). . 8

14

Gambar 5 : siklus pada inaktivitas fisik, restriksi fisik, dan gangguan sensorik pada pasien imobilisasi. Pada awalnya terjadi cedera atau penyakit akut atau mengancam jiwa, menyebabkan terjadinya imobilisasi. Pembatasan aktifitas, gangguan sensorik serta penurunan sensibilitas pada akhirnya menghambat pasien untuk bergerak atau bangun dari tempat tidur. Faktor internal ini akan memperpanjang imobilisasi dalam prosesyang bersifat siklikal dan kumulatif.8

PENATALAKSANAAN IMOBILISASI

a. Evaluasi pasien usia lanjut yang mengalami Imobilisasi

Pengkajian geriatri paripurna merupakan alat penting untuk mengkaji pasien geriatri yang

mengalami imobilisasi. Pengkajian ini bertujuan untuk mendapat informasi tentang berbagai

kemungkinan penyebab imobilisasi, derajat mobilitas dan status fungsional, serta penyulit-penyulit

yang ditimbulkan oleh imobilisasi. Pengkajian ini meliputi anamnesis yang lengkap untuk

mendapatkan informasi tentang riwayat dan rentang waktu disabilitas yang mengakibatkan

imobilisasi, kondisi medis yang mempengaruhi imobilisasi, kondisi premorbid, obat-obatan yang

dapat menyebabkan imobilisasi, dukungan pengasuh, interaksi sosial, faktor-faktor psikologis dan

lingkungan .2

Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mengetahui status kardiopulmonal, adanya ulkus dekubitus di

kulit, kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kaki, kelemahan fokal,

evaluasi persepsi dan sensoris, serta kognitif. 2

15

immobilization(external or internal)

confinement

sensory deprivation (decreased intellectual, emotional, social,

physical and environmental stimulation)

dulling of the sensory process

immobillization ( internal only)

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang juga perlu dilakukan terutama untuk menilai berat-

ringannya kondisi medis yang menyebabkan imobilisasi, dan komplikasi akibat imobilisasi.2

Tingkat mobilitas harus menjadi bagian dari evaluasi pasien usia lanjut dengan imobilisasi, yang

harus dilakukan secara berkala. Tingkat mobilitas meliputi mobilisasi di tempat tidur, kemampuan

transfer (dari tempat tidur ke kursi atau berdiri), mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk

atau berdiri, dan melangkah. Perbaikan atau perburukan tingkat mobillitas merupakan dasar bagi

manajemen imobilisasi selanjutnya.2

Tabel 3 : Test of function : INDEKS ADL BARTHEL5

fungsiskor

1. Buang air besar

0 = inkontinensia alvi1 = dibantu2 = kontinensia

2. Berkemih 0 = inkontinensia urin1 = dibantu2 = kontinensia

Skor :

20 : mandiri

12-19 : tergantung ringan

9-11 :tergantung sedang

5-8 :tergantung berat

0-4 :tergantung total

3. Bersih diri 0 = dibantu1 = mandiri

4. Ke jamban 0 = tidak dapat1 = dibantu2 = mandiri

5. Makan 0 = dibantu total1 = dibantu sebagian2 = mandiri

6. Berubah tidur ke duduk

0 = tidak dapat1 = dibantu secara mayor2 = dibantu secara minor3 = mandiri

7. Berpindah 0 = tidak dapat1 = dibantu secara mayor2 = dibantu secara minor3 = mandiri

8. Pakai baju 0 = tidak dapat1 = dibantu sebagian2 = mandiri

9. Naik turun tangga

0 = tidak dapat1 = dibantu 2 = dibantu3 = mandiri

10. Mandi 0 = dibantu1 = mandiri

16

Tabel 4 : TEST FUNCTION (KOGNITIF) : MMSE (Mini Mental State Evaluation)5

Evaluasi kegiatan skor

1. Orientasi : tahun/bulan/tanggal/musim 5

2. Orientasi : Negara/ propinsi/kota/ RS/ ruang 5

3. Pencatatan obyek 3 buah 3

4. Kalkulasi : hitung mundur kurang 7 5

5. Mengingat kembali 3

6. Bahasa : tunjuk alat 2

7. Ulang : tanpa, bila dan atau tetapi 1

8. Ikuti tiga tahap tugas 3

9. Baca dan tugas : mohon pejamkan mata 1

10. Buat kalimat sendiri 1

11. Contoh gambar

Skor < 24 ada penurunan

kognititf.

b. Tatalaksana umum

Terdapat beberapa pengukuran yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengontrol sindroma

imobilisasi :

1. Stimulasi lingkungan dan tantangan intelektual.

2. Latihan isotonik atau isometrik 2-3 kali perhari.

3. Positioning serta mobilisasi pasif dari sendi-sendi 2-3 kali perhari.

4. Peningkatan bertahap dari latihan fisik serta sering miring-miring untuk menjaga integritas

kardiovaskuler.

5. Latihan pernapasan beberapa kali setiap jam.

6. Nutrisi yang cukup.

7. Suplemen protein dan kalsium.

8. Kebersihan kulit.8

17

Gambar 7 : pengaturan posisi tempat tidur yang benar. (A) terlentang : elevasikan kedua betis untuk menghilangkan tekanan di tumit. (B) rebah ke satu sisi : kurangi tekanan trokhanter dengan mengatur posisi tungkai (seperti pada gambar). (C) telungkup : bebaskan tekanan pada crista iliaca dan tumit dengan menggunakan bantal atau busa yang diatur seperti pada gambar. (dari Donovan WH et al. Pressure Ulcers. In Delisa JA, Rehabilitation Medicine, 2 nd ed, JB Lippincott, 1993, p. 726)

Disamping pengkajian yang paripurna, manajemen imobilisasi pada pasien usia lanjut membutuhkan

kerjasama tim interdisiplin. Keberhasilan manajemen imobilisasi tergantung pada intervensi segera

dan paripurna berbagai disiplin. Ketika kestabilan kondisi medis terjadi, program latihan dan

remobilisasi harus segera dikerjakan. Selain itu, baik pasien maupun keluarganya harus diberikan

pengertian mengenai bahaya tirah baring lama serta pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini.

Proses rehabilitasi terdiri atas evaluasi terhadap pasien, perumusan target fungsional dan pembuatan

rencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi dengan

mengikutsertakan pasien dalam seluruh fase proses rehabilitasi tersebut. Untuk mencegah

ketergantungan pasien harus didorong untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri,

semampu pasien.2

18

Langkah-langkah proses rehabilitasi : 6

Langkah 1 :

- atasi masalah medis utama

- Kondisi stabil menjadi landasan utama untuk mengawali proses rehabilitasi medis.

Langkah 2 :

- Cegah komplikasi sekunder .

Langkah 3 :

- Mengembalikan fungsi yang hilang.

Langkah 4 :

- Ciptakan kemampuan adaptasi bagi pasien. ( adaptasi fisik, psikis, sosial )

Langkah 5 : adaptasi lingkungan

- Ciptakan lingkungan yang bersahabat, baik dirumah sakit, dirumah, dilingkungan, untuk

kemudahan pasien beraktifitas .

Langkah 6 : adaptasi keluarga.

- 85% aktifitas usia lanjut, dirumah

- Para usia lanjut butuh waktu untuk ‘menerima’ kondisinya

- Keluarga, makna hidup bagi para usia lanjut

- Keluarga, mitra kerja tenaga medis/paramedis

Diperlukan terapi untuk mengatasi malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit serta

defisiensi vitamin dan/ atau mineral yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi. Seluruh obat-

obatan yang dikonsumsi harus dievaluasi; obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau fatig

harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan.2

Latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi, latihan penguatan otot-otot, latihan

koordinasi/ keseimbangan, transfer dengan bantuan,dan ambulasi terbatas harus dimulai sesegera

mungkin. Alat-alat bantu berdiri dan ambulasi bila diperlukan harus disediakan dan diajarkan cara

penggunaannya sejak dini, meski pasien hanya bisa melakukan aktivitas berpindah. Manajemen miksi

dan defekasi juga dilakukan, termasuk penggunaan toilet yang memfasilitasi penegakan postur

digunakan dengan buku harian berkemih.2

19

BUKU HARIAN BERKEMIH ANDA

Buku harian ini akan membantu anda dan petugas kesehatan; membantu menunjukkan penyebab gangguan control kandaung kemih. Contoh

(dibawah) menunjukkan bagaimana penggunaan buku harian ini.

Waktu Minum berkemih mengompol Apakah anda

merasakan keinginan

yang sangat kuat untuk

berkemih?

Apakah yang anda lakukan

pada saat itu?

Jenis

apa

Berapa

banyak

Berapa kali? Berapa banyak

(sedikit,sedang,ba

nyak)

Berapa banyak?

(sedikit,sedang,banyak)

Bersin,kerja fisik, melakukan

hubungan seksual, mengangkut,

dll

Contoh : kopi 2 cangkir 12 banyak banyak ya Tertawa

6-7 am

7-8 am

8-9 am

9-10 am

10-11 am

11-12 am

12-1 pm

1-2 pm

2-3 pm

3-4 pm

4-5 pm

20

c. Tatalaksana khusus

Penatalaksanaan khusus pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi harus meliputi

tatalaksana terhadap faktor risiko serta terhadap komplikasi akibat imobilisasi. Berbagai penyebab

umum timbulnya imobilisasi seperti yang tercantum pada tabel 1 sebagian besar dapat dihindari dan

ditatalaksana secara baik. Konsultasi kondisi medik diatas kepada dokter spesialis yang kompeten

diperlukan pada keadaan-keadaan khusus. Remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang

mengalami sakit atau dirawat dirumah sakit dan panti werdha akan mencegah imobilisasi lebih lanjut.

Lingkungan yang mendukung serta tersedianya alat bantu untuk mobilitas yang adekuat bagi usia

lanjut yang mengalami disabilitas permanen dapat mereduksi resiko timbulnya imobilisasi yang

bermakna.2

Penatalaksanaan Komplikasi akibat Imobilisasi

Salah satu upaya penting mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat imobilisasi adalah

melakukan penatalaksanaan komprehensif terhadap komplikasi akibat imobilisasi. Pada konsensus ini

akan dibahas secara lebih mendalam .2

1. Sistem muskuloskeletal

Seseorang yang nonparalisis harus berdiam ditempat tidur menjaga seluruh kelompok ototnya agar

tetap aktif untuk mencegah dekonditioning. Jika tidak terdapat kontraindikasi kardiovaskuler, maka

pasien dapat menjalankan berbagai macam latihan isotonik. Berbagai latihan isometrik juga dapat

menjaga integritas dari sistem muskuloskeletal dan sirkulasi pada pasien yang menjalani tirah-baring.

Contohnya dengan memposisikan pasien secara supinasi lalu pasien disuruh menekan telapak kaki

pada alas tempat tidur. Hal ini membutuhkan kontraksi isometrik aktif dari hampir seluruh otot-otot

khususnya punggung dan tungkai. Pada awalnya pasien melakukan latihan ini 1-2 kali perhari dengan

tahanan selama 5 detik lalu relaksasi selama 10 detik lalu ulangi selama 3-4 kali. Untuk mencapai

kontraksi isometric otot lengan yang efektif, pasien harus melakukan latihan dengan cara tangan lurus

kemudian gerakan menggenggam selama beberapa detik. Latihan ini harus dilakukan dengan

frekuensi yang sama dengan latihan yang dilakukan pada tubuh dan tungkai. 8,12 Latihan positioning

dan LGS yang cukup dibutuhkan untuk mencegah perubahan skeletal yang dapat terjadi pada pasien

yang mengalami imobilisasi. Setiap sendi dari ekstremitas harus dijaga dalam posisi fungsionalnya

untuk mencegah gangguan LGS dan deformitas. Sebuah program latihan LGS terdiri dari 3-5 kali

gerakan penuh untuk setiap sendi paling tidak 1 kali per hari. Pada saat pasien dimandikan,

21

merupakan saat yang baik untuk perawat atau keluarga untuk melatih LGS pasif pada hampir semua

sendi.8,9,10,11,12

- Pencegahan kontraktur : dapat dilakukan mobilisasi bertahap secepatnya, proper positioning,

static splinting (pemberian foot board, ankle foot orthosis) agar sendi pergelangan dipertahankan

pada posisi fungsional, serta menggerakkan pergelangan kaki dan tungkai sesuai dengan

kemampuan penderita.2

- Terapi kontraktur : apabila sudah terjadi kontraktur atau terdapat keterbatasan gerak sendi,

dilakukan latihan gerak sendi ekstremitas aktif dan pasif disertai slow stretching untuk menjaga

seluruh rentang gerak sendi diberikan minimal 1-2 kali sehari. Untuk mempermudah stretching

dapat diberikan ultrasound diatermi pada otot yang hendak dilatih.2

2. Sistem saraf pusat

Metode yang paling efektif untuk mencegah atau mengobati manifestasi sistem saraf pusat ini adalah

dengan memberikan program stimulasi sensorik. Partisipasi pasien dalam terapi okupasional dan

regreasional di rumah-sakit, stimulasi oleh keluarga pasien melalui proses komunikasi serta menonton

TV dapat mencegah gangguan sensorik dan serta dapat membantu mengatasi masalah emosional yang

terjadi. Fungsi intelektual dapat dijaga pada tingkat pre-imobilisasi dengan menyediakan tantangan-

tantangan intelektual seperti memecahkan masalah centramik (menghitung atau berpartisipasi

didalam suatu kelompok diskusi). 5,8,9.10,11,12

3. Sistem kardiovaskular

Program latihan muskular yang telah dideskripsikan sebelumnya berguna untuk mencegah

dekonditioning kardiovaskuler yang berat. Tetapi latihan yang terlalu berat dapat menyebabkan

kebutuhan metabolik yang sangat tinggi sehingga harus dihindari. Selama tirah baring penting untuk

menjaga denyut jantung pasien < 120 kali permenit disaat pasien lakukan latihan isometrik maupun

isotonik.8,9,10,11,12

Individu yang tidak dalam kondisi paralisis harus secara bertahap melakukan latihan duduk dan

berdiri secepat mungkin. Usaha pertama yang biasa dilakukan pasien terdiri dari : mengangkat kepala

pasien secara bertahap dengan sudut yang semakin meningkat. Sementara menjaga tungkai pasien pada

posisi horizontal. Ketika pasien sudah bisa duduk dipinggir ranjang dan akan memulai berdiri, hipotensi

ortostatik dapat dicegah dengan memakai plastik stocking yang dapat mencegah statis darah dan edema.

Jika paralisis atau kondisi disabilitas lain yang dapat menghalangi pasien untuk bangun, latihan dapat

dilakukan secara pasif dengan menggunakan tilting table. 5,8,10,11,12

22

Cara penggunaan tilting table :

- Awalnya pasien dimiringkan pada sudut 30º selama 1

menit lalu durasinya secara bertahap ditingkatkan sampai

30 menit 2 kali perhari.

- Seiring dengan perbaikan toleransi pasien sudut

kemiringan dapat ditingkatkan 5-10º setiap minggu

sampai pada sudut 70º selama 30 menit 2 kali perhari.4

Gambar 8 : pasien paralisis di tilting table. 12

- Pencegahan hipotensi ortostatik : dengan mobilisasi bertahap secepatnya, diutamakan agar

secepatnya dapat duduk ditempat tidur dengan kaki menggantung ke bawah sambil digerak-

gerakkan.2

- Terapi : bila sudah terjadi hipotensi ortostatik dapat dilakukan latihan rekondisi dengan tilt table

atau apabila alat tilt table tidak tersedia, dapat diberikan latihan rekondisi yang dimulai dengan

menegakkan sandaran tempat tidur secara bertahap dan penggunaan stoking elastic pada abdomen

dan ekstremitas bawah.2

4. Sistem respirasi

Terapi untuk mencegah komplikasi respiratorik termasuk diantaranya fisioterapi, seperti latihan

pernapasan dalam dan batuk, vibrasi, postural drainase, dan penggunaan spirometri.6

5. Sistem pencernaan ,endokrin dan renal

Intake nutrisi dan cairan yang cukup merupakan tindakan profilaksis utama dalam mencegah

komplikasi metabolik dan digestif yang berat dari imobilisasi. Intake kalori harus disesuaikan

dengan kebutuhan metabolik pasien tirah baring. Intake kalori yang terlalu berlebihan biasanya

jarang terjadi karena pasien biasanya nafsu makan berkurang. Diet harus tinggi serat untuk

menfasilitasi pergerakan usus. Pelunak feses seperti diotylsodium sulfosaccinate mungkin dapat

mencegah konstipasi dan impaksi fekal. Diet harian yang terdiri dari ±10 mg/kgBB kalsium dan

protein sebesar 1 gr/kgBB dapat membantu meminimalisir terjadinya osteoporosis dan

hipoproteinemia pada individu yang non paralisis. Pada kasus hipoproteinemia diet protein harus

ditingkatkan sampai ± 1,5 gram/kgBB perhari. Pasien-pasien yang mengalami paralisis seringkali

mengalami osteoporosis luas dan tidak dapat dicegah. Pada pasien-pasien ini, yang biasanya

23

menderita infeksi saluran kemih dan statis renal tidak memerlukan suplemen kalsium karena

intake kalsium yang berlebihan dapat menyebabkan hiperkalsiuria dan batu ginjal.4,6

6. Sistem integumen

Setiap pasien yang mengalami imobilisasi harus dilakukan penilaian resiko untuk terjadinya ulkus

dekubitus dengan menggunakan skala Norton yang dapat dilihat pada tabel 3. Skor dibawah 14

menunjukkan adanya resiko tinggi untuk terjadinya ulkus dekubitus. Skor < 12 berkaitan dengan

peningkatan resiko 50 kali lebih besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus, skor 12-13 memiliki

resiko sedang, sedangkan skor ≥ 14 memiliki resiko sangat kecil. 9

AHCPR mengajukan suatu panduan untuk pencegahan ulkus dekubitus, yang meliputi pengkajian

faktor resiko, perawatan kulit dan terapi awal ulkus dekubitus, pencegahan/ perlindungan

terhadap efek tekanan, gesekan dan regangan serta pemanfaatan program edukasi tentang ulkus

dekubitus.9

Bila sudah terjadi dekubitus, tentu stadium atau derajatnya dan tindakan medik menyesuaikan apa

yang dihadapi.

- Dekubitus derajat I

Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis : kulit yang kemerahan dibersihkan

hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion kemudian dimasase 2-3 kali/ hari.1,4,9

- Dekubitus derajat II

Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal : perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat

aseptic dan antiseptic. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara

hangat bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk

merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya

jaringan muda/ granulasi. Pergantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan

dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan.9,14

- Dekubitus derajat III

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada

infeksi : usahakan luka selalu bersih dan eksudat diusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan

terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga permeable untuk masuknya udara/ oksigen dan

penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi sel-sel

kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotika sistemik mungkin

diperlukan.2,4,9,14

- Dekubitus derajat IV

24

Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula disertai jaringan nekrotik :

semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang ada harus dibersihkan,

sebab akan menghalangi pertumbuhan jaringan/ epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba

diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, disbanding tindakan bedah

yang juga merupakan alternative lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih,

penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Beberapa usaha mempercepat adalah antara

lain dengan memberikan oksigenasi pada daerah luka, tindakan dengan ultrasound diatermi untuk

membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. 9

Setelah ulkus bersih dan granulasi atau epitelisasi telah mulai, maka kelembaban daerah ulkus

dan sekitarnya harus dipertahankan tanpa menghambat penyembuhan jaringan. Perawatan luka

juga harus meliputi penatalaksanaan terhadap nyeri pada luka, terutama nyeri yang timbul saat

dilakukan debridement. Selain itu untuk memperbaiki vaskularisasi daerah tepi luka dekubitus,

phonophoresis dengan transducer ultrasound dan ZnO2 serta TENS (transcutaneus electrical

nerve stimulation) berfrekuensi rendah pada tepi luka.2,9,14

Penggunaan tempat tidur atau matras khusus juga diindikasikan pada pasien yng mengalami

ulkus dekubitus, seperti air-fluidized bed, low-air-loss bed dan tempat tidur khusus yang dapat

mengubah-ubah posisi pasien secara otomatis. Penggunaan alat-alat ini pada beberapa penelitian

terbukti dapat mempercepat penyembuhan ulkus selain mencegah timbulnya ulkus baru.9,14

PROGNOSIS

Biasanya penderita usia lanjut dengan imobilisasi lama tidak akan sembuh sempurna artinya adanya

keterbatasan dan ketergantungan dalam aktivitasnya sehari-hari. Apabila penderita usia lanjut dengan

komplikasi pada imobilisasi yang tidak ditangani dengan baik akan mengarah perburukan. Makanya

dibutuhkan kerjasama antara dokter rehabilitasi dan ahli-ahli kesehatan lainnya yang tergabung didalam

tim rehabilitasi harus menyadari mengenai perubahan patofisiologi yang terjadi akibat imobilisasi lama.

Perubahan-perubahan ini dapat mempengaruhi hampir semua sistem tubuh dan mungkin dapat

menyebabkan disabilitas yang lebih parah dibandingkan dengan cedera atau penyakitnya itu sendiri. 11

Tabel 3 : SKOR NORTON UNTUK MENGUKUR RESIKO DEKUBITUS 14

Nama penderita SkorTanggal

25

Kondisi fisik- Baik.- Lumayan.- Buruk.- Sangat buruk

4321

Kesadaran - Kompos mentis- Apatis- Konfus/soporus- Stupor/koma

4321

Aktivitas - Ambulan - Ambulan dengan bantuan - Hanya bisa duduk.- Tiduran

4321

Mobilitas - Bergerak bebas.- Sedikit terbatas.- Sangat terbatas.- Tak bisa bergerak.

4321

Inkontinensia - Tidak.- Kadang-kadang- Sering inkontinensia urin.- Inkontinensia alvi dan urin

4321

KESIMPULAN

26

Dokter rehabilitasi dan ahli-ahli kesehatan lainnya yang tergabung didalam tim rehabilitasi harus

menyadari mengenai perubahan patofisiologi yang terjadi akibat imobilisasi lama. Perubahan-perubahan

ini dapat mempengaruhi hampir semua sistem tubuh dan mungkin dapat menyebabkan disabilitas yang

lebih parah dibandingkan dengan cedera atau penyakitnya itu sendiri.

Manifestasi yang paling menonjol dari sindroma imobilisasi adalah :

1. Pada sistem saraf pusat terjadi perubahan sensibilitas penurunan output motorik, gangguan

otonom, gangguan emosional, dan defisit intelektual.

2. Pada sistem muskular terjadi penurunan kekuatan dan ketahanan, atropi dan gangguan koordinasi.

3. Pada sistem skeletal, terjadi osteoporosis, fibrosis sendi dan ankilosis.

4. Pada sistem kardiovaskular terjadi peningkatan denyut jantung, penurunan cadangan jantung,

hipotensi ortostatik, dan phlebotrombosis.

5. Pada sistem respirasi, terjadi penurunan kapasitas vital, penurunan fentilasi maksimum volunteer,

menurunnya ketahanan respiratorik, perubahan regional dari ventilasi perfusi, dan gangguan

pada fungsi batuk.

6. Pada sistem digestif terjadi anoreksia dan konstipasi.

7. Pada sistem metabolik dan renal terjadi peningkatan diresis, hipernatriuresis, hiperkalsiuria, dan

renal lithiasis .

8. Pada sistem integument, terjadi atropi kulit dan ulkus dekubitus.

Pencegahan dan terapi dari sindroma imobilisasi membutuhkan :

1. Profisi dari stimulus lingkungan dan tantangan intelektual.

2. Latihan isotonik atau isometrik aktif.

3. Positioning dan mobilisasi pasif dari semua sendi.

4. Reconditioning kardiovaskular secara bertahap melalui latihan fisik dan passive tilt.

5. Latihan pernapasan dan batuk.

6. Asupan nutrisi dan cairan yang cukup dengan suplemen protein dan kalsium jika diindikasikan.

7. Kebersihan kulit.

DAFTAR PUSTAKA

27

1. Darmojo-R.Boedhi. Teori Proses Menua. Dalam buku ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu

Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke-4. Martono dan Pranarka editor. Balai penerbit FK UI Jakarta. 2010;

3-12.

2. Setiati S, Laksmi P W, Harimurti K, Aries W. Penatalaksanaan Imobilisasi dan Komplikasi Akibat

Imobilisasi pada Orang Usia Lanjut. Dalam postural instability and falls, the greatest hazzard in

Elderly People: from Risk factors to Complications. Jakarta, Mei 2006; 180-204.

3. Martono Hadi. Aspek fisiologik dan patologik akibat proses menua. Dalam buku ajar Boedhi-

Darmojo Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) edisi ke-4. Martono dan Pranarka editor. Balai

penerbit FK UI Jakarta. 2010. 56-74.

4. Saleem S, Vallbona C. Imobilisasi. Dalam Dasar-dasar Terapi & Rehabilitasi Fisik. Susan J

Garrison, MD. Dr.Virgi Saputra dan dr Ivo Novita Salim editor. 165-74.

5. Tan C Jackson. Chapter 5.1 : Deconditioning. In Practical Manual of Physical Medicine and

Rehabilitation; diagnostics, Therapeutics, and Basic Problems. Sheila editorial. Mosby. New York.

1998. 425-30.

6. Ganong,F. William. Fungsi Susunan Tubuh Manusia dan Pengaturan ‘Lingkungan Dalam’. Dalam

Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit : EGC, 1998.2-12.

7. Darmojo-Boedhi R. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia. Dalam buku ajar Boedhi-

Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke-4. Martono dan Pranarka editor. Balai

penerbit FK UI Jakarta. 2010; 35-55.

8. Vallbona C. Immobilization Syndrome. In Medical Rehabilitation, edited by LS Halstead et al.

Raven press, New York© 1985; 289-96.

9. Spellman Nicholas. Prevention of Immobility Complications Through Early Rehabilitation. In

rehabilitation of the Injured Combatant. Vol 2. Washington DC. 2000. 741-65.

10. Dittmer D, Teasell R. Complications of Immobilization and Bed Rest. In Rehabilitation Article.

Canadian Family Physician Vol 39 : June 1993; 1428-46.

11. Vallbona Carlos. Bodily Responses to Immobilization. In Krusen’s Handbook of Physical Medicine

and Rehabilitation third edition. WB Saunders Company. 1982; 963-75.

12. Halar E M, Bell K R. Contracture and Other Deleterious Effects of Immobility. In rehabilitation

Medicine : Principles and Practice, Second Edition, edited by joel A DeLisa JB. Lippincott

Company, Philadelphia © 1993; 681-95.

13. Klemic N, Imle PC. Chapter 6: Changes with Immobility and Methods of Mobilization. In Chest

Physiotherapy in the Intensive Care Unit. Colin F Mackenzie, editor. Williams & Wilkins

Baltimore/ London. 1981. 109-31.

28

14. Pranarka Kris. Dekubitus. Dalam buku ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut)

edisi ke-4. Martono & Pranarka editor. Balai penerbit FK UI Jakarta. 2010. 279-91.

15. Garber SL, Blair SL, Krouskop T. Ulkus Tekan. Dalam Dasar-dasar Terapi & Rehabilitasi Fisik.

Susan J Garrison. Lippincott Company. Cetakan I : 2001. 259-79.

29