Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

44
LAPORAN KELOMPOK BLOK XXII GERIATRI SKENARIO 3 IMOBILISASI PADA LANSIA DAN BERBAGAI KOMPLIKASINYA Oleh: Kelompok 13 Anisa Nindiasari G0007038 Ari Revianto G0007040 Ariesia Dewi C. G0007042 Berty G0007044 Billy Joe G0007046 Brigitta Devi A. H. G0007048 Sari Mustikaningrum G0007154 Shabrina Nur Zidny G0007156 Sisilia Fitria Purnaningrum G0007158 Sunarto G0007160 Titisari Khoiria Qodriani G0007162 Nama Tutor: Dra. Endang Sahir, M.Sc., A. And.

Transcript of Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

Page 1: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

LAPORAN KELOMPOK

BLOK XXII GERIATRI

SKENARIO 3

IMOBILISASI PADA LANSIA DAN BERBAGAI KOMPLIKASINYA

Oleh:

Kelompok 13

Anisa Nindiasari G0007038Ari Revianto G0007040Ariesia Dewi C. G0007042Berty G0007044Billy Joe G0007046Brigitta Devi A. H. G0007048Sari Mustikaningrum G0007154Shabrina Nur Zidny G0007156Sisilia Fitria Purnaningrum G0007158Sunarto G0007160Titisari Khoiria Qodriani G0007162

Nama Tutor: Dra. Endang Sahir, M.Sc., A. And.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring

selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan

fisiologik. Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidang

geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Di

ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2000

didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%

(Setiati dan Roosheroe, 2007).

Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat kondisi

pasien, memperlambat proses penyembuhan, serta dapat menyebabkan kematian. Oleh

karena itu, penting bagi para mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai hal

mengenai imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Penulisan laporan ini

diharapkan dapat membantu penulis dan mahasiswa kedokteran pada umumnya untuk

memahami berbagai aspek yang menjadi tujuan pembelajaran dalam blok geriatri

dengan skenario sebagai trigger.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, didapatkan rumusan masalah :

1. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada usia lanjut?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut?

3. Apa saja komplikasi yang timbul pada pasien imobilisasi?

4. Bagaimana mekanisme timbulnya dekubitus pada usia lanjut?

5. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya dekubitus pada usia lanjut?

6. Bagaimana patofisiologi timbulnya gejala dan tanda yang terjadi pada pasien?

7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium, dan rontgen pasien?

8. Apa indikasi diberikannya terapi oksigenasi, antibiotik dan terapi cairan pada

pasien?

9. Bagaimana upaya penatalakanaan dan pencegahan penyakit pasien?

10. Rehabilitasi medik apa yang diberikan pada pasien?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan ini antara lain :

1. Memperoleh informasi yang akurat tentang status kesehatan geriatri.

Page 3: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

2. Melakukan pemeriksaan klinis pada geriatri.

3. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik prosedur klinis dan pemeriksaan

laboratorium.

4. Melakukan penatalaksanaan kasus penyakit geriatri

5. Merancang manajemen penyakit geriatri.

6. Merancang tindakan pencegahan penyakit geriatri dengan mempertimbangkan

faktor pencetusnya.

D. Skenario

Seorang wanita geriatri usia 80 tahun dibawa anaknya ke IGD RS Moewardi

karena hanya tidur-tiduran saja selama 2 minggu ini. Sejak 5 hari yang lalu, penderita

sulit buang air besar (BAB) dan makan hanya sedikit. Pasien kemudian dirawat di rumah

anaknya, pasien semakin tampak lemas dan tidak mau makan sama sekali. Pasien batuk

3 minggu yang lalu. Batuk berdahak, tidak berdarah, tidak demam, dan tidak didapatkan

nyeri dada. Kemudian sejak satu hari yang lalu, pasien gelisah dan tampak bingung.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan GCS 7, E3M2V2, tekanan darah 120/70

mmHg, respiration rate (RR) 30 kali per menit, suhu (T) 36°C, heart rate (HR) 108 kali

per menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara

dasar bronkial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah

berukuran 4 x 5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9. Hasil pemeriksaan

laboratorium : Lekosit 7.500. Foto thoraks menunjukkan kesuraman homogen pada paru

sebelah kanan.

Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik dan terapi cairan. Kemudian dirawat di

ruang perawatan geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus. Direncanakan konsul ke

rehabilitasi medik.

E. Hipotesis

Pasien dalam skenario mengalami imobilisasi dengan komplikasi berupa

dekubitus dan pneumonia.

Page 4: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perubahan-Perubahan pada Usia Lanjut

Dengan makin bertambahnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadinya

penurunan anatomik dan fungsional atas organ-organ tubuhnya makin besar. Peneliti

Andres dan Tobin, mengintroduksi hukum 1 % yang menyatakan bahwa fungsi organ

akan menurun sebanyak 1 % setiap tahunnya setelah usia 30 tahun. Walaupun

penelitian Svanborg et al. menyatakan bahwa penurunan tersebut tidak sedramatis

seperti diatas, tetapi memang terdapat penurunan fungsional yang nyata setelah usia 70

tahun. Penurunan anatomik dan fungsional dari organ-organ pada lansia akan

mempermudah timbulnya penyakit pada organ tersebut (Martono, 2009).

Berbagai perubahan tersebut antara lain (Martono, 2009):

1. Sistem panca indra

Terdapat perubahan morfologik pada panca indra. Perubahan fungsional

yang bersifat degeneratif ini, memberi manifestasi pada morfologi berbagai organ

panca indra tersebut baik pada fungsi melihat, mendengar, keseimbangan ataupun

perasa dan perabaan. Pada keadaan yang ekstrim dapat bersifat patologik, misalnya

terjadi ekstropion/entropion, ulkus kornea, glaukoma, dan katarak pada mata,

sampai keadaan konfusio akibat penglihatan yang terganggu. Pada telinga, dapat

terjadi tuli konduksi dan sindroma Meniere (keseimbangan).

2. Sistem gastrointestinal

Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif,

antara lain perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi lebih mudah tanggal.

Perubahan atrofik juga terjadi pada mukosa, kelenjar, dan otot-otot pencernaan.

Berbagai perubahan morfologik akan meyebabkan perubahan fungsional sampai

perubahan patologik, yang meliputi gangguan mengunyah dan menelan, penurunan

nafsu makan, konstipasi, serta berbagai penyakit seperti disfagia, hiatus hernia,

ulkus peptikum, divertikulosis, pankreatitis, sindroma malabsorbsi, karsinoma

kolon dan rektum, kolitis iskemik dan kolitis ulserativa.

3. Sistem kardiovaskuler

Meskipun tanpa disertai adanya penyakit, pada usia lanjut jantung sudah

menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi sekuncup.

Terjadi pula penurunan yang signifikan dari cadangan jantung dan kemampuan

Page 5: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

untuk meningkatkan kekuatan curah jantung, misalnya pada keadaan latihan/

exercise. Golongan lansia sering kali kurang merasakan nyeri dibandingkan usia

muda dan gejala awal infark miokard akut seringkali adalah gagal jantung,

embolus, hipotensi atau konfusio.

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada pembuluh darah. Terjadi

penebalan intima (akibat proses aterosklerosis) atau tunika media (akibat proses

menua) yang pada akhirnya menyebabkan kelenturan pembuluh darah tepi

meningkat. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah terutama tekanan

darah sistolik, walaupun tekanan diastolik juga sering meningkat sebagai akibat

banyak faktor lain termasuk genetik.

4. Sistem respirasi

Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20-25

tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya. Elastisitas paru menurun, kekakuan

dinding dada meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua ini mengakibatkan

turunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak bebas dan pelebaran

gradien alveolar arteri untuk oksigen. Disamping itu, pada sistem respirasi juga

terjadi penurunan gerak silia di dinding sistem respirasi, penurunan refleks batuk

dan refleks fisiologik lain, yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya

infeksi akut pada saluran nafas bawah. Berbagai penurunan morfologik dan

fungsional tersebut, akan mempermudah terjadinya berbagai keadaan patologik

diantaranya PPOK (penyakit paru obstruktif kronis), penyakit infeksi paru akut/

kronis, dan keganasan pada paru-bronkus.

5. Sistem endokrinologik

Pada sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar

glukosa puasa normal. Pada lansia juga terjadi penurunan tingkat produksi hormon

tiroid dan tingkat bersihan metabolik tiroid. Pada lansia pria terjadi penurunan

respon RSH terhadap TRH. Pada wanita, terjadi penurunan hormon estrogen pasca

menopause sehingga bisa menimbulkan osteoporosis. Pada usia lebih tua, kejadian

osteoporosis pada pria juga meningkat karena faktor-faktor inaktivitas, asupan

kalsium kurang, pembuatan vitamin D melalui kulit menurun, dan juga faktor

hormonal.

6. Sistem hematologik

Pola pertumbuhan sel darah merah (SDM) dan sel darah putih (SDP) secara

kualitatif tidak berubah pada penuaan, akan tetapi sumsum tulang secara nyata

Page 6: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

mengandung lebih sedikit sel hemopoitik dengan respon terhadap stimuli buatan

agak menurun. Respon regeneratif terhadap hilang darah atau terapi anemia

pernisiosa agak kurang dibanding waktu muda. Rentang hidup SDM tidak berubah

akibat proses menua, juga morfologi tidak menunjukkan perubahan penting.

Berbagai jenis anemia yang sering didapatkan pada usia lanjut antara lain anemia

defisiensi besi, anemia megaloblastik, dan anemia akibat penyakit kronis.

7. Sistem persendian

Pada sinovial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya permukaan sendi,

fibrilasi, dan pembentukan celah dan lekukan di permukaan tulang rawan. Erosi

tulang rawan hialin menyebabkan eburnasi tulang dan pembentukan kista di rongga

subkondra dan sumsum tulang. Semua perubahan ini serupa dengan yang terdapat

pada osteoartrosis. Keadaan tersebut baru bisa dikatakan patologik bila terdapat

stres tambahan, misalnya bila terjadi trauma atau pada sendi penanggung beban.

Diantara penyakit sendi yang sering terdapat pada usia lanjut adalah osteoartritis,

rematoid artritis, gout dan pseudogout, artritis monoartikuler senilis dan rematika

polimialgia.

8. Sistem urogenital

Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan, antara lain penebalan kapsula

bowman dan gangguan permeabilitas terhadap solut yang akan difiltrasi, nefron

mengalami penurunan jumlah dan mulai terlihat atrofi. Akan tetapi, fungsi ginjal

secara keseluruhan dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun. Bila terjadi stres

fisik (latihan berat, infeksi, gagal jantung, dan lain-lain) ginjal tidak dapat

mengatasi peningkatan kebutuhan tesebut dan mudah terjadi gagal ginjal. Pada usia

lanjut, kreatinin juga tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal karena jumlah

protein tubuh dalam massa otot (yang merupakan kontributor kadar kreatinin darah)

sudah menurun.

9. Infeksi dan imunologi

Pada usia lanjut timus mengalami resorbsi. Jumlah sel T dan sel B tidak

berubah, walaupun secara kuantitatif terjadi perubahan berupa tanggapan terhadap

stimuli artifisial. Pada usia lanjut pembentukan autoantibodi pun meningkat

sehingga insidensi penakit autoimun meningkat. Pengenalan dan penyerangan

terhadap sel-sel tumor juga menurun, menyebabkan insidensi penyakit neoplasma

meningkat. Tanggapan makrofag dan imunitas bawaan yang lain, misalnya sel

mukosa, sel kulit, silia di sistem respirasi, serta pembentukan protein fase akut

Page 7: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

menurun sehingga meningkatkan faktor predisposisi terhadap terjadinya penyakit

infeksi.

Peningkatan predisposisi pada infeksi tersebut penting pada lansia, karena

pada usia lanjut infeksi cenderung menjadi berat, bahkan menyebabkan kematian.

Infeksi saluran nafas bawah (pneumonia dan bronkhopneumonia) serta infeksi

saluran kemih merupakan infeksi penting pada usia lanjut, yang bisa berlanjut lebih

berat. Faktor-faktor yang memperberat infeksi tersebut diantaranya adalah

imobilisasi, instrumentasi, serta iatrogenik.

10. Sistem saraf pusat dan otonom

Terjadi penurunan berat otak sekitar 10 % pada penuaan antara umur 30

sampai 70 tahun. Disamping meningen menebal, giri dan sulci otak berkurang

kedalamannya. Akan tetapi kelainan ini tidak menimbulkan kelainan patologik

yang berarti. Pada semua sitoplasma sel juga terjadi deposit lipofusin yang sering

disebut sebagai pigmen wear and tear. Yang bersifat patologis adalah adanya

degenerasi pigmen substansia nigra, kekusutan neurofibriler dan pembentukan

badan-badan Hirano. Keadaan ini sesuai dengan proses terjadinya patologi pada

sindrom Parkinson dan demensia tipe Alzeimer. Pada pembuluh darah terjadi

penebalan tunika intima dan tunika media sehingga sering terjadi gangguan

vaskularisasi otak yang berakibat terjadinya TIA, stroke, dan demensia vaskuler.

Vaskularisasi yang menurun pada daerah hipotalamus menyebabkan terjadinya

gangguan saraf otonom, disamping mungkin sebagai akibat pengaruh berkurangnya

berbagai neurotransmiter. Penyakit metabolik seperti diabetes, hipotiroid, dan

hipertiroid dapat menyebabkan gangguan pada susunan saraf tepi, baik yang

bersifat otonom atau tidak.

11. Sistem kulit dan integumen

Terjadi atrofi epidermis, kelenjar keringat, folikel rambut, serta berubahnya

pigmentasi dengan akibat penipisan kulit, fragil seperti selaput (seperti kulit ari

buah salak). Warna kulit berubah dan terjadi pigmentasi yang tidak merata. Kuku

menipis dan mudah patah, rambut rontok sampai terjadi kebotakan. Lemak

subkutan berkurang menyebabkan berkurangnya bantalan kulit, sehingga daya

tahan terhadap tekanan dan perubahan suhu menjadi berkurang. Akibatnya pada

lansia mudah terjadi dekubitus, hipotermia, atau hipertermia. Penipisan kulit

tersebut menyebabkan kulit mudah terluka dan terjadi infeksi kulit.

Page 8: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

12. Otot dan tulang

Otot-otot mengalami atrofi karena berkurangnya aktivitas, gangguan

metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, proses berpasangan

(coupling) penulangan yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat,

terutama pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya aktivitas tubuh, juga

akibat penurunan hormon estrogen (pada wanita), vitamin D (terutama orang yang

kurang terkena sinar matahari) dan beberapa hormon lain seperti kalsitonin dan

parathormon. Tulang-tulang terutama trabekulae menjadi lebih berongga-rongga,

mikroarsitektur berubah dan sering berakibat patah tulang baik akibat benturan

ringan maupun spontan.

13. Badan Menyeluruh

Pada lansia terjadi penurunan tinggi badan (postur bungkuk karena kifosis),

berat badan menurun, rasio lemak atau BB bersih meningkat, dan air tubuh total

juga menurun.

B. Imobilisasi

Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah baring

selama 3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan

fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat

menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya

rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis.

Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi

kogmitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi

juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat

menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah

maupun di rumah sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007).

Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut

yang mengalami imobilisasi, meliputi (Liza, 2008a):

Evaluasi Keterangan

Anamnesis • Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi• Kondisi medis yang merupakan faktor risiko dan penyebab

imobilisasi• Kondisi premorbid• Nyeri• Obat – obatan yang dikonsumsi• Dukungan pramuwedha

Page 9: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

• Interaksi sosial• Faktor psikologis• Faktor lingkungan

Pemeiksaan fisik

Status kardiopolmonalKulitMuskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kakiNeurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorikGastrointertinalGenitourinarius

Status fungsional

Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari - hari (AKS) Barthel

Status Mental

Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatri depression scale (GDS)

Status kognitif

Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)

Tingkat Mobilitas

Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak

Pemeriksaan Penunjang

Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut, ekokardiografi, dan lain-lain) dan komplikasi akibat imobilsasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dan lain-lain)

Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim medis

interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha. Edukasi kepada

pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap

dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas

kehidupan sehari–hari sendiri, semampu pasien. Dilakukan pengkajian geriatri

paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup

perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi. Temukenali dan

berikan terapi bila terjadi infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit

yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyetara lainnya.

Evalusi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan

kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila

memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang

mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral. Program latihan dan

remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas

ditempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan

Page 10: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

penguat otot – otot (isotonik, isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/ keseimbangan,

dan ambulasi terbatas. Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat

bantu berdiri dan ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi. Pada keadaan-keadaan

khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten. Lakukan

remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang menglami sakit atau dirawat

di rumah sakit dan panti werdha untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang

menglami disabilitas permanen (Liza, 2008a).

Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain (Setiati dan Roosheroe, 2007) :

1. Trombosis

Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer

yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat

tiga faktor yang meningkatkan risiko trombosis vena dalam yaitu karena adanya

luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik

pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan

darah. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena

dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan

darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena bervariasi, dapat

berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai.

2. Emboli Paru

Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks

tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara

tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis

vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh

lepasnya trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada

gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang

dapat berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebab

kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia.

3. Kelemahan Otot

Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan

kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot

pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunan

fungsional, kelemahan, dan jatuh.

4. Kontraktur otot dan sendi

Page 11: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur

karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan

seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.

5. Osteoporosis

Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi

tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang,

meningkatkan kalsium serum serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi

vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan masa tulang pada

imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang.

6. Ulkus dekubitus

Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada

pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi

mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari

25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama

akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu

lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara

permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan

pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan.

7. Hipotensi postural

Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari

posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah

iskemia serebral, khusunya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml

darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh

tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume

sekuncup 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal

sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan

denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia,

umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3

minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi

berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia.

8. Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)

Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada

pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi

dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang

Page 12: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran

urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi

saluran kemih. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang

mengalami imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang

tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih.

9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)

Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang

akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang

terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi

pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi

katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan

meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.

10. Konstipasi dan skibala

Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin

lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses

akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan

obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi

Prognosis pada pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang mendasari

imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat

memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat

sampai menimbulkan kematian (Liza, 2008a).

C. Dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit,

bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu

area yang secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah

setempat. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan

tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sacrum, trokanter

mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan siku (Pranarka, 2009).

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus meliputi faktor

intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut yaitu penipisan sel kulit,

elastisitas kulit yang berkurang, penurunan perfusi kulit secara progresif, sejumlah

penyakit yang seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan

penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan sehingga tingkat

oksigenisasi darah pada kulit menurun, status gizi underweight atau kebalikannya

Page 13: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

overweight, anemia, hipoalbuminemia, penyakit-penyakit neurologik, penyakit-

penyakit yang merusak pembuluh darah, keadaan dehidrasi. Sedangkan faktor

ekstrinsik yang menyebabkan dekubitus antara lain kebersihan tempat tidur yang

kurang, posisi yang tidak tepat, perubahan posisi yang kurang, alat-alat tenun yang

kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada

suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus (Kadir, 2007).

Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus

dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus

dapat dibagi menjadi tiga (Kadir, 2007; Pranarka, 2009):

1. Tipe Normal

Mempunyai beda temperatur ≤ 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan

akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Terjadi karena iskemia jaringan

setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah

sebenarnya baik.

2. Tipe Arteriosklerosis

Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan

kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit

pada pembuluh darah (arterosklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus

disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam

16 minggu.

3. Tipe Terminal

Terjadi pada pasien dengan tingkat keparahan tinggi, sulit untuk sembuh.

Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah

terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus,

misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk meremalkan

terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton (Kadir, 2007).

Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor

12-13 memiliki risiko sedang, skor < 12 berkaitan dengan peningkatan risiko 50 kali

lebih besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus, sedangkan skor > 14 memiliki risiko

yang sangat kecil. Skor tersebut meliputi (Pranarka, 2009) :

Item SkorKondisi fisik

Baik Sedang Buruk Sangat Buruk

4321

Page 14: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

Kesadaran Komposmentis Apatis Konfus/soporus Stupor/koma

4321

Aktivitas Ambulan Ambulan dengan bantuan Hanya bisa duduk Tiduran

4321

Mobilitas Bergerak bebas Sedikit terbatas Sangat terbatas Tak bisa bergerak

4321

Inkontinensia Tidak Kadang-kadang Sering inkontinensia urin Inkontinensia alvi dan urin

4321

Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit,

dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan

lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya

diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskret/sekret harus

dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita

(Kadir, 2007).

Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah

terjadinya dekubitus meliputi (Kadir, 2007):

1. Meningkatkan status kesehatan penderita, misalnya mengatasi anemia, mengoreksi

hipoalbuminemia, nutirisi dan hidrasi yang cukup, pemberian vitamin (vitamin C)

dan mineral (Zn), serta mencoba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada

pada penderita, misalnya DM.

2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah, melalui:

a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap

dua jam.

b. Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi

pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik

turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur (kasur dekubitus).

c. Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang

menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu.

Page 15: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan berikan tindakan medik

sesuai dengan apa yang dihadapi. Berikut adalah stadium pada dekubitus beserta

penatalaksanaanya (Kadir, 2007; Pranarka, 2009) :

1. Dekubitus derajat I

Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas pada

epidermis. Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan

sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2 sampai 3 kali/hari.

2. Dekubitus derajat II

Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang dangkal. Perawatan luka harus

memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek

dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk meransang

sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya

jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering

karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.

3. Dekubitus derajat III

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan

sering sudah ada infeksi. Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan

dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan

sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban

luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit. Jika

luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik

mungkin diperlukan.

4. Dekubitus derajat IV

Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai jaringan

nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik

yang ada harus dibersihkan, sebab akan menghalangi pertumbuhan

jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini,

dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga

merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih,

penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Usaha untuk mempercepat

penyembuhan luka antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka,

tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah

dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat

IV ini dapat mencapai 40%.

Page 16: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

D. Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai jenis

bakteri (gram-positif maupun gram-negatif, tipikal maupun atipikal), virus, jamur dan

parasit. Tiga jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi antara lain

pneumonia komunitas (community-acquired pnemonia, CAP), pneumonia yang di

dapat di rumah sakit (hospital-acquired pneumonia, HAP), dan pneumonia yang

didapat di ICU (ventilator-associated pneumonia,VAP) (Liza, 2008b).

Diagnosis pada pneumonia ditegakkan berdasarkan adanya gambaran infiltrat

baru atau perubahan infiltrat progresif pada foto toraks, dengan disertai sekurang-

kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor. Gejala mayor pada pneumonia meliputi

batuk, sputum produktif, demam (suhu>37,80c), sedangkan gejala minornya meliputi

sesak napas, nyeri dada, konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik, dan jumlah leukosit

>12.000/mL. Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak

khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan

kesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut (Liza, 2008b).

Terapi yang diberikan pada pasien pneumonia terdiri dari terapi suportif, terapi

farmakologis, dan rehabilitasi medik. Terapi suportif meliputi oksigenasi, terapi

cairan, nutrisi, mukolitik-ekspektoran, dan bronkodilator. Sedangkan terapi

farmakologisnya meliputi pemberian antibiotika empiris dan antibiotik spesifik.

Antibiotik empiris segera diberikan sejak awal sesuai jenis pneumonia yang terjadi

(CAP, HAP, atau VAP). Pada CAP diberikan antibiotika golongan b-laktam/ anti b-

laktamase dan sefalosporin generasi III atau IV yang dikombinasikan dengan makrolid

atau doksisiklin, atau fluorokuinolon saluran napas (levofloksasin, gatifloksasin,

moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada HAP atau VAP dipilih antibiotika yang

bekerja terhadap kuman pseudomonas dan kuman nosokomial lain, seperti

sefalosporin generasi III anti-pseudomonas, sefalosporin generasi IV, piperacillin-

tazobaktam, kuinolon anti-pseudomonas (ciprofloksasin), atau aminoglikosida.

Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan biakan kuman dan

uji resistensi. Pemilihan antibiotik harus memperhatikan penurunan fungsi organ yang

mungkin sudah terjadi pada usia lanjut. Rehabilitasi medik yang diberikan berupa

fisioterapi dada dan program lain yang terkait (Liza, 2008b).

Komplikasi yang timbul pada pasien pneumonia berupa empiema, efusi pleura,

gagal napas, spesies sampai syok sepsis (Liza, 2008b).

Page 17: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien dalam skenario hanya tidur-tiduran saja selama 2 minggu. Berbagai faktor

fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Rasa

nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis yang terjadi

akibat proses menua dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien tersebut. Sejak 5 hari

yang lalu, pasien mengalami kesulitan BAB dan makan hanya sedikit. Kesulitan BAB pada

usia lajut dapat disebabkan oleh lamanya transit feses di kolon. Hal ini dipengaruhi oleh

adanya disfungsi pleksus mienterikus yang menginervasi kolon dalam gerak peristaltik.

Selain itu, pada beberapa lansia yang mengalami konstipasi juga ditemukan adanya

peningkatan kadar endorphin yang dapat berikatan dengan reseptor opioid di mukosa kolon

dan menghambat gerah peristaltik. Pada pasien dalam skenario ini, kesulitan BAB

dipengaruhi juga oleh imobilisasi yang akan semakin meningkatkan lama transit feses di

kolon. Akibatnya, penyerapan air akan meningkat dan feses menjadi keras sehingga

semakin sulit dikeluarkan. Sementara itu, kesulitan makan pada pasien lansia dipengaruhi

beberapa faktor seperti:

1. Kondisi traktus digestifus yang mulai menurun baik secara anatomis maupun fisiologis,

misalnya: berkuangnya jumlah gigi sehingga kemampuan mengunyah makanan

berkurang, menurunnya peristaltik usus sehingga lama transit makanan meningkat dan

mengurangi rasa lapar.

2. Depresi yang mengurangi motivasi untuk makan

Penurunan nafsu makan pada pasien juga dapat disebabkan oleh imobilisasi. Hal

tersebut disebabkan adanya penurunan kecepatan metabolik sehingga terjadi penurunan

rangsang lapar. Rangsang lapar yang menurun menyebabkan pasien makan hanya sedikit.

Saat dirawat dirumah anaknya keadaan pasien yang tampak semakin lemas dan tidak mau

makan sama sekali. Keadaan tidak mau makan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh

faktor psikis pasien terhadap perubahan lingkungan tempat tinggalnya. Kurangnya

perhatian dan kasih sayang juga dapat mengakibatkan keadaan tersebut. Selain itu, keadaan

penyakit yang dideritanya juga berperan terhadap kondisi pasien. Dengan penyakit yang

diderita pasien ditambah dengan keadaan tidak mau makan, asupan gizi pasien menjadi

tidak adekuat, menyebabkan pasien tampak semakin lemas.

Sejak 3 minggu yang lalu, pasien juga mengalami batuk berdahak, tidak berdarah,

tidak demam, dan tidak didapatkan nyeri dada. Dan sejak satu hari yang lalu, pasien

Page 18: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

gelisah dan tampak bingung. Batuk adalah keluhan paling sering didapatkan pada hampir

semua penyakit yang mengenai saluran napas. Batuk merupakan mekanisme pertahanan

untuk membersihkan dan melindungi saluran napas dari bahan yang tidak diinginkan yang

terdapat di saluran napas. Etiologi batuk dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu infeksi akut

maupun kronik, inflamasi parenkim ataupun saluran napas, tumor, benda asing, dan

gangguan kardiovaskular. Sementara itu, dahak adalah materi yang dikeluarkan dari

saluran napas bawah oleh batuk. Batuk dengan dahak menunjukkan adanya eksudat bebas

dalam saluran pernapasan, seperti pada bronkitis kronik, bronkiektasis, dan kavitas.

Gelisah dan bingung yang terjadi pada pasien dapat merupakan tanda depresi. Pada usia

lanjut gejala depresi seringkali tidak khas. Beberapa karakteristik depresi pada usia lanjut

antara lain sedih/murung biasanya kurang tampak, keluhan hipokondriasis yang dominan,

gangguan memori, apatis dan kehilangan motivasi, ansietas dan agitasi.

Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan GCS 7, E3M2V2, tekanan darah 120/70

mmHg (normal), RR 30 kali per menit (meningkat), suhu (T) 36°C (normal bawah), dan

HR 108 kali per menit (meningkat). E3 (eye opening 3) berarti bahwa pasien membuka

mata dengan rangsang nyeri, M2 (motoric respons 2) berarti bahwa pasien mengalami

extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal

dan kaki extensi) saat diberi rangsang nyeri, sedangkan V2 (verbal respons 2) berarti

bahwa pasien mengeluarkan suara tanpa arti (mengerang). Skor GCS 7 menunjukkan

terjadinya penurunan kesadaran pada pasien. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya

riwayat penyakit batuk pada pasien yang mengakibatkan terjadinya penurunan saturasi O2

yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran pada pasien. Penurunan O2 akan

dikompensasi tubuh dengan cara meningkatkan RR dan HR untuk mencukupi kebutuhan

O2 tubuh yang semakin menurun (Parhusip, 2004).

Pada pemeriksaan paru sebelah kanan pasien didapatkan ronkhi basah kasar, suara

dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah

berukuran 4 x 5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9, lekosit 7.500 dan dari

pemeriksaan foto thoraks menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.

Ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan peningkatan fremitus raba yang

disertai dengan gejala batuk berdahak tidak berdarah tanpa demam, nyeri dada, mialgia,

dan leukositosis yang tidak terlalu tinggi menunjukkan gejala atypical pneumonia. Pada

pneumonia terjadi infeksi pada parenkim paru, asinus terisi cairan eksudat, dan infiltasi sel

radang ke dinding alveoli. Adanya infiltrat sel radang menyebabkan konsolidasi pada paru

sehingga fremitus raba meningkat karena penghantaran getaran oleh infiltrat. Ronkhi basah

Page 19: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

adalah suara nafas tambahan berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran yang terjadi

karena adanya cairan dalam jalan nafas. Ronkhi basah kasar menunjukkan adanya sekret

yang berlebihan pada saluran nafas. Suara dasar bronkhial adalah ekspirasi lebih panjang

dan jelas, seperti suara dekat trakea. Suara bronkhial terjadi karena adanya konsolidasi

dalam jalan nafas. Kesuraman homogen paru pada pasien pneumonia disebabkan karena

adanya kerusakan jaringan parenkim paru. Fremitus taktil yang meningkat terjadi karena

timbunan sekret yang menggantikan udara yang mengisi sebagian besar jaringan paru

(Faridawati, 1995; Irawaty, 2009). Tidak adanya nyeri dada pada pasien terjadi karena

sedikitnya jumlah reseptor nyeri yang terdapat di paru-paru dan pleura.

Luka pada punggung bawah pasien menunjukkan bahwa pasien telah mengalami

dekubitus. Dekubitus pada usia lanjut sering terjadi karena terjadi perubahan kulit yang

berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain berkurangnya jaringan lemak subkutan,

berkurangnya jaringan kolagen dan elastik, serta menurunnya efisiensi kolateral kapiler

pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh (Pranarka, 2009). Dekubitus yang

terjadi pada pasien kemungkinan merupakan komplikasi imobilisasi. Tekanan lebih dari 25

mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan

menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Bila kompresi berlangsung lama akan

mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen

mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan pembuluh darah tidak

dapat terbuka sehingga terbentuk luka akibat tekanan (Setiati dan Roosheroe, 2007). Skor

Norton 9 pada pasien menunjukkan bahwa pasien memiliki resiko tinggi terkena dekubitus.

Pada pasien tersebut tidak didapatkan demam dan leukositosis. Hal ini terjadi

karena penurunan respon inflamasi (penurunan respon interleukin-1, faktor nekrosis tumor

dan IL-6 terhadap adanya pirogen) pada lansia yang menyebabkan tidak terjadinya reaksi

inflamasi misalnya peningkatan suhu tubuh (demam). Pada lansia juga terjadi penurunan

sistem imunitas tubuh yang disebabkan penurunan produksi immunoglobulin, terjadinya

atrofi thymus sehingga sel T dan limfosit T kehilangan fungsi, antibodi yang dihasilkan

dalam jumlah sedikit dan durasi antibodi dalam darah lebih singkat, terjadi perubahan

sistem proliferasi limfosit karena penurunan interleukin 2. Salah satu penyebab

menurunnya produksi/proliferasi sel T yang berakibat supresi imunitas yaitu peningkatan

antagonis sitokin pada usia lanjut. Tidak adanya panas pada setiap infeksi pada usia lanjut

selain menyulitkan diagnosis, juga menunjukkan prognosis yang jelek, karena panas itu

sendiri menunjukkan adanya kemampuan badan dalam melawan infeksi (Rahayu dan

Bahar, 2007).

Page 20: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien meliputi terapi preventif, promotif,

kuratif, dan rehabilitatif. Terapi preventif dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi

yang lebih lanjut pada pasien. Untuk mencegah timbulnya dekubitus pada pasien

imobilisasi bisa dilakukan beberapa tindakan antara lain merubah posisi pasien yang tidak

dapat bergerak sendiri (minimal setiap 2 jam sekali) untuk mengurangi tekanan,

melindungi bagian tubuh yang tulangnya menonjol dengan bahan-bahan yang lembut

(misalnya bantal, bantalan busa), mengkonsumsi makanan sehat dengan zat gizi yang

seimbang, menjaga kebersihan kulit dan mengusahakan agar kulit tetap kering, jika pasen

harus menjalani tirah baring dalam waktu yang lama, bisa digunakan kasur khusus (kasur

dekubitus), yaitu kasur yang diisi dengan air atau udara (Nurcahyo, 2010). Selain itu,

pencegahan dekubitus juga dapat dilakukan dengan melatih pergerakan dengan

memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan. Pemberian

minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi (Setiati

dan Laksmi, 2007). Pengontrolan tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat-obatan

yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan

untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang

mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi.

Terapi promotif yang dapat diberikan pada pasien berupa edukasi kepada pasien

dan keluarganya mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan

ambulasi dini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Sementara itu, untuk mencegah

infeksi pada luka perlu dilakukan edukasi mengenai cara merawat luka yang baik dan

benar serta pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul. Pada

pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi cairan. Terapi

oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada pasien sehingga tidak timbul

hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi, sedangkan

pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang terjadi pada pasien.

Pada tahap awal sebaiknya diberikan antibiotik empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi,

lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil

menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotika

perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat proses menua serta

komorbid yang ada pada lansia yang kesemuanya akan berakibat pada terjadinya

perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan interaksi obat (Rahayu dan Bahar,

2007). Untuk pasien pneumoni yang dirawat dirumah sakit dapat diberikan klindamisin

Page 21: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

dan seftazidim. Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien

disesuaikan derajatnya. Berdasarkan diskusi kelompok kami dengan melihat gambaran

dekubitus yang ada pada skenario tersebut, kemungkinan besar pasien tersebut mengalami

dekubitus derajat II. Oleh karena itu, penatalaksanaannya pun disesuaikan dengan

tatalaksana dekubitus derajat II seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka.

Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi.

Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan monilitas dan kekuatan otot serta

menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan

dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien. Indikasi diberikan terapi rehabilitasi medik

berupa kemunduran muskuloskeletal (penurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan

otot, keterbatasan rentang gerak sendi serta penurunan kekuatan skeletal), kemunduran

kardiovaskuler, kemunduran respirasi (tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia),

perubahan-perubahan integument (adanya daerah eritema yang tidak teratur), perubahan-

perubahan fungsi urinaria (berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah,

dan batas kandung kemih yang dapat diraba, tekanan atau nyeri pada abdomen bagian

bawah), perubahan-perubahan gastrointestinal (pengosongan rektum yang tidak sempurna,

anoreksia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala serta

sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah,

rasa penuh, tekanan), faktor-faktor lingkungan (kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang

lepas, penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi, lantai licin, dan tempat duduk

toilet yang rendah dapat menurunkan mobilitas pasien) (Juwita, 2009).

Lima tujuan mengarahkan intervensi keperawatan untuk mencegah atau

meniadakan sekuel fisiologis dari imobilitas meliputi (Juwita, 2009):

1. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang termasuk

pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik dan isotonik,

aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme protein dan

pembentukan tulang, dan sikap komitmen terhadap latihan.

a. Kontraksi otot isometrik

Kontraksi otot isometrik meningkatkan tegangan otot tanpa mengubah panjang otot

yang menggerakkan sendi. Kontraksi digunakan untuk mempertahankan kekuatan

otot dan mobilitas dalam keadaan berdiri (misalnya otot-otot kuadrisep, abdominal

dan gluteal) dan untuk memberikan tekanan pada tulang bagi orang-orang dengan

dan tanpa penyakit kardiovaskuler. Kontraksi isometrik dilakukan dengan cara

bergantian mengencangkan dan merelaksasikan kelompok otot.

Page 22: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

b. Kontraksi otot isotonik

Kontraksi otot yang berlawanan atau isotonik berguna untuk mempertahankan

kekuatan otot-otot dan tulang. Kontraksi ini mengubah panjang otot tanpa

mengubah tegangan. Karena otot-otot memendek dan memanjang, kerja dapat

dicapai. Kontraksi isotonik dapat dicapai pada saat berada di tempat tidur, dengan

tungkai menggantung di sisi tempat tidur, atau pada saat duduk di kursi dengan cara

mendorong atau menarik suatu objek yang tidak dapat bergerak. Ketika tangan atau

kaki dilatih baik otot-otot fleksor dan ekstensor harus dilibatkan.

c. Latihan kekuatan

Aktivitas penguatan adalah latihan pertahanan yang progresif. Kekuatan otot harus

menghasilkan peningkatan setelah beberapa waktu. Latihan angkat berat dengan

meningkatkan pengulangan dan berat adalah aktivitas pengondisian kekuatan.

Latihan ini meningkatkan kekuatan dan massa otot serta mencegah kehilangan

densitas tulang dan kandungan mineral total dalam tubuh.

d. Latihan aerobik

Latihan aerobik adalah aktivitas yang menghasilkan peningkatan denyut jantung

60-90% dari denyut jantung maksimal dihitung dengan (220-usia seseorang) x 0,7.

Aktivitas aerobik yang dipilih harus menggunakan kelompok otot besar dan harus

kontinu, berirama, dan dapat dinikmati. Contohnya termasuk berjalan, berenang,

bersepeda, dan berdansa.

2. Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang gerak,

posisi yang tepat, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.

a. Latihan rentang gerak baik aktif maupun pasif

Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta

meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu menggerakkan

sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya membantu

mempertahankan fleksibilitas.

b. Mengatur posisi

Mengatur posisi digunakan untuk meningkatkan tekanan darah balik vena. Jika

seseorang diposisikan dengan tungkai tergantung, pengumpulan dan penurunan

tekanan darah balik vena akan terjadi. Posisi duduk di kursi secara normal dengan

tungkai tergantung secara potensial berbahaya untuk seseorang yang beresiko

mengalami pengembangan trombosis vena. Mengatur posisi tungkai dengan

Page 23: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki)

mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.

3. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta

menghilangkan sekresi.

4. Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat meliputi tindakan-tindakan pendukung

untuk mempertahankan tonus vaskuler (termasuk mengubah posisi dalam hubungannya

dengan gravitasi), stoking kompresi untuk memberikan tekanan eksternal pada tungkai,

dan asupan cairan yang adekuat untuk mencegah efek dehidrasi pada volume darah.

Pergerakan aktif memengaruhi toleransi ortostatik.

5. Terakhir, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada

dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi

eliminasi. Pembahasan tentang intervensi disajikan di sini.

Page 24: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasien mengalami imobilisasi dengan komplikasi berupa dekubitus derajat II,

pneumonia atipikal, dan gangguan buang air besar.

2. Berbagai faktor, seperti faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan

terjadinya imobilisasi pada lansia.

3. Selain dekubitus, pneumonia, dan gangguan buang air besar, komplikasi yang

ditimbulkan imobilisasi dapat berupa thrombosis, emboli paru, kelemahan otot,

kontaktur otot dan sendi, osteoporosis, hipotensi postural, ISK, serta gangguan

nutrisi (hipoalbuminemia).

B. Saran

1. Pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, pembuatan rencana

terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target

terapi, dan berbagai upaya pencegahan komplikasi lanjutan sebaiknya segera

dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien.

2. Edukasi mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya menjaga kebersihan diri

dan lingkungan serta latihan bertahap dan ambulasi dini untuk mencegah

komplikasi lebih lanjut perlu diberikan kepada pasien dan keluarganya.

3. Terapi rehabilitasi medik sebaiknya diberikan secara rutin pada pasien.

Page 25: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

DAFTAR PUSTAKA

Faridawati, R. 1995. Penatalaksanaan Pneumonia Bakteri pada Usia Lanjut.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06penatalaksanaanpneumonia101.pdf/

06penatalaksanaanpneumonia101.html (31 Maret 2010).

Irawaty. 2009. Pulmonary Infection. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/

files/medhas/copy%20kuliah%20.pdf (31 Maret 2010).

Juwita, P. 2009. Imobilitas dan Toleransi Aktivitas pada Lansia.

http://pusva.wordpress.com/category/health. (31 Maret 2010).

Kadir, S. 2007. Dekubitus. http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/decubitus/.

(28 Maret 2010).

Liza. 2008a. Imobilisasi. http://www.scribd.com/doc/6240327/IMOBILISASI-

INKONTINENSIA-URIN (31 Maret 2010).

Liza. 2008b. Pneumonia pada Geriatri.

http://www.scribd.com/doc/6240476/Pneumonia-Pada-Geriatri-Infeksi-

Saluran-Kemih (31 Maret 2010).

Martono, H.H. 2009. Aspek Fisiologik dan Patologik Akibat Proses Menua. Dalam :

Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu

Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Hal : 56-74.

Nurcahyo. 2010. Ulkus Dekubitus. http://www.indonesiaindonesia.com/f/13444-ulkus-

dekubitus/ (3 April 2010).

Parhusip. 2004. Pola Bakteriologi Infeksi Saluran Nafas Bawah.

http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-parhusip3.pdf. (31 maret 2010)

Pranarka, K. Dekubitus. 2009. Dalam : Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar

Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 272-83.

Page 26: Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai komplikasinya

Rahayu, R.A. dan Bahar, A. 2007. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut Secara

Menyeluruh. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati,

S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Hal : 1405-10.

Setiati, S. dan Laksmi P.W. 2007. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur. Dalam :

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal :

1378-9.

Setiati S dan Roosheroe, A G. 2006. Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam : Sudoyo, A.W.,

Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 1388-90.