Laporan Dekantasi Fix

download Laporan Dekantasi Fix

of 19

Transcript of Laporan Dekantasi Fix

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    1/19

    BARLEESE TULGREEN DAN DEKANTASI TANAH

    LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

    Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah

    Ekologi Tumbuhan

    Yang Dibina oleh Bapak Agus Dharmawan

    Oleh

    Kelompok 13

    Aulia Fitri Wardani 120342422492

    Hikmatunisa Afit Riadi 120342422501

    Lilik Hidayatul Mukminin 120342400174

    Niken Eka Agustina 120342400170

    Suci Ayu Maharani 120342410519

    Virginia Zapta Dewi 120342422494

    Wahidah Fitria Nur M 120342400171

    UNIVERSITAS NEGERI MALANG

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    JURUSAN BIOLOGI

    April 2014

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    2/19

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1

    Latar Belakang

    Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu kawasan pelestarian alam

    yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

    dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang

    budidaya, pariwisata dan rekreasi. Geografi kawasan Taman Nasional Alas

    Purwo terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa), daerah daratan

    hingga daerah perbukitan dan pegunungan, dengan ketinggian mulai dari 0

    322 m dpl. Secara geografis terletak di ujung timur pulau jawa wilayah pantai

    selatan antara 8o25 - 8o47 LS, 114o20- 114o36 BT.Taman Nasional Model

    itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu kawasan konservasi yang dikelola

    secara idel sesuai potensi yang dimilikinya, sehingga kawasan ini mampu

    berfungsi secara optimal sebagai sistem penyangga kehidupan

    Fauna tanah merupakan salah satu komponen ekosistem tanah yang

    berperan dalam memperbaiki struktur tanah melalui penurunan berat jenis,

    peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas penyimpanan air,

    dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel tanah, penyebaran mikroba,

    dan perbaikan struktur agregat tanah (Witt, 2004). Walaupun pengaruh fauna

    tanah terhadap pembentukan tanah dan dekomposisi bahan organik bersifat

    tidak langsung, secara umum fauna tanah dapat dipandang sebagai pengatur

    terjadinya proses fisik, kimia maupun biokimia dalam tanah (Hill, 2004).

    Meso-mikrofauna memacu proses dekomposisi bahan organik dengan

    memperkecil ukuran bahan dengan enzim selulase yang kemudiandimanfaatkan oleh mikroba perombak lainnya. Dengan menggunakan Barless-

    Tulgreen untuk mendekantasikan meso-mikrofauna kita dapat mengetahui

    jenis spesies dan keanekaragaman jenis meso-fauna yang terdapat pada

    kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.

    Berdasarkan uraian diatas melatarbelakangi kegiatan KKL yang

    dilaksanakan pada 28-31 Maret 2014 oleh Mahasiswa Universitas Negeri

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    3/19

    Malang Jurusan Biologi angkatan 2012 dalam rangka mengkaji

    keanekaragaman mikrofauna pada kawasan hutan pantai Triangulasi Taman

    Nasional Alas Purwo Banyuwangi

    1.2Tujuan

    1. Mengetahui jenis spesies meso-mikrofauna yang terdapat di Hutan Pantai

    Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo

    2. Mengetahui perbandingan keanekaragaman jenis mikrofauna tanah yang

    dihasilkan dari menggunakan dekantasi basah dan barlese tullgreendi

    Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo

    3.

    Mengetahui hubungan keanekaragaman meso-mikrofauna dengan

    lingkungan abiotic di kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional

    Alas Purwo.

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    4/19

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    Taman Nasional Alas Purwo yang merupakan salah satu perwakilan ekosistemhutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa, secara umum memiliki kondisi

    topografi yang bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung dengan variasi

    mulai dari dataran pantai sampai dengan ketinggian + 322 meter di atas

    permukaan air laut (Gunung Linggamanis). Sedangkan iklimnya termasuk tipe B

    dengan curah hujan antara 1000-1500 mm/tahun, temperatur udara 22 - 31 C

    dan kelembaban udara 40-85%.

    Gambar 1.1 Peta Wilayah Taman Nasional Alas Purwo,Banyuwangi

    Fauna tanah menurut tempat hidupnya dibagi menjadi:

    1. Treefauna, yaitu hewan yang hidup di pohon.

    2. Epifauna, yaitu hewan yang hidup di permukaan tanah.

    3. Infauna, yaitu hewan yang hidup didalam tanah (Ross, 1965).

    Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan

    kesuburan tanah adalah fauna tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan

    mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna

    tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan

    organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan merombak

    substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam

    bentuk kotoran.

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    5/19

    Secara umum, keberadaan aneka macam fauna tanah pada tanah yang tidak

    terganggu seperti padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara kontinyu.

    Arief (2001). Fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam

    perombakan zat atau bahan-bahan organik dengan cara :

    1. Menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan

    daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur,

    2. Melakukan perombakan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa

    dan sejenis lignin,

    3. Merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus,

    4. Menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian

    atas,

    5. Membentuk bahan organik dan bahan mineral tanah (Barnes, 1997).

    Menurut Setiadi (1989), Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan fauna

    tanah adalah:

    1. Struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi fauna tanah;

    2.

    Kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap

    perkembangan dalam daur hidup

    3.

    Suhu tanah mempengaruhi peletakan telur;

    4.

    Cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya(Rahmawati, 2006).

    Untuk mendapatkan infauna dapat digunakan metode barlese tullgren

    funnel dan dekantasi. Barlese Tullgren Funnel cara kerjanya tanah sampel yang

    diambil ditaruh diatas saringan atau kasa nyamuk yang telah ada didalam corong.

    Kemudian barlese tersebut ditempatkan dibawah sinar matahari dimulai saat

    matahari hampir terbit. Prinsipnya hewan tanah tersebut akan jatuh kedalamwadah penampung karenan hewan tersebut bersifat fototaksis negatif. Sedangkan

    pada dekantasi menggunakan sarana saringan bertingkat atau saringan pipa yang

    pada akhirnya hewan tersebut akan mengendap dibagian bawah.

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    6/19

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1 Barleese Tulgreen

    3.1.1 Alat dan Bahan

    3.1.1.1 Alat

    a. Corong

    b. Botol Aqua/Toples

    c.Neraca Pegas

    3.1.1.2 Bahan

    a. Alkohol 70%

    b. Botol Plakon

    c. Kassa

    d. Kawat

    e. Plastik/Kresek

    3.1.2 Prosedur Kerja

    Menyiapkan set Barleese Tulgreen, siap dengan botol plakon yang telah

    berisi alkohol 70%

    Menimbang dan mengambil 100 gram sampel tanah dengan tebal

    maksimal 5 cm sebanyak 5 kali ulangan secara acak pada satu plot saja

    untuk masing-masing kelompok.

    Memasukkan sampel tanah dalam corong pada set Barleese Tulgreen

    Keesokan harinya, menjemur Barleese Tulgreen di tepi pantai selama 1

    hari

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    7/19

    Mengambil plakon berisi hewan tanah untuk kemudian diidentifikasi dan

    dianalisis

    Data yang telah diperoleh dimasukkan ke dalam tabel sementara untuk

    kemudian dilakukan kompilasi dengan semua plot

    3.2 Dekantasi Tanah

    3.2.1 Alat dan Bahan

    3.2.1.1 Alat

    a.

    Cetokb. Gelas Aqua/Toples

    c. Saringan dekantasi

    d.

    Bak plastik

    3.1.1.2 Bahan

    a. Formalin 7%

    b. Botol Plakon

    c. Tanah

    e. Plastik/Kresek

    f. Kertas Label

    3.2.2 Prosedur Kerja

    3.2.2.1 Pengambilan sampel Tanah

    Mengambil sampel tanah dari salah satu plot yang digunakan sewaktu

    pembuatan pithfall trap. Kelompok kami mengambil sampel tanah di plot

    ke-10.

    Sampel tanah dimasukkan ke dalam gelas aqua hingga penuh.

    Pengambilan tanah menggunakan cethok dan tidak terlalu mendapat

    tekanan.

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    8/19

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    9/19

    BAB IV

    DATA DAN ANALISIS DATA

    4.1 Data Pengamatan

    4.1.1 Tabel Data Pengamatan Barelees Tullgreen Funnel

    Taksaulangan 1

    Jumlah1 2 3 4 5

    Myrmica sp 0 1 0 0 3 4

    Ponera sp 2 0 0 0 0 2

    Allocoma sp 0 0 1 0 0 1

    Collophora delamase 0 0 0 0 0 0

    Allacma sp 0 0 0 0 0 0

    Hemisotoma sp 0 1 0 0 0 1

    Collembolacelebensis 0 0 0 1 0 1

    Seira sp 1 0 0 0 0 1

    Isotomiella sp 0 0 0 0 0 0

    10

    Taksa ulangan 2

    1 2 3 4 5

    Myrmica sp 0 1 1 0 0 2

    Ponera sp 0 0 0 0 0 0

    Allocoma sp 0 0 0 0 0 0

    Collophora delamase 5 0 0 0 1 6

    Allacma sp 0 0 4 0 0 4

    Hemisotoma sp 0 0 0 0 0 0

    Collembolacelebensis 0 0 0 2 0 2

    Seira sp 0 0 0 0 0 0

    Isotomiella sp 0 0 0 0 0 0

    14

    Taksa ulangan 3

    1 2 3 4 5

    Myrmica sp 0 0 0 0 0 0

    Ponera sp 3 0 0 0 4 7

    Allocoma sp 0 0 0 2 0 2

    Collophora delamase 0 0 0 0 0 0

    Allacma sp 0 6 0 0 0 6

    Hemisotoma sp 0 0 0 2 0 2

    Collembolacelebensis 0 0 0 0 0 0

    Seira sp 0 0 0 0 0 0

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    10/19

    Isotomiella sp 0 0 0 0 1 1

    18

    Taksa ulangan 4

    1 2 3 4 5

    Myrmica sp 1 0 0 0 1

    Ponera sp 1 1 0 0 0 1

    Allocoma sp 0 0 0 0 0 0

    Collophora delamase 0 0 4 0 0 4

    Allacma sp 0 0 0 0 0 0

    Hemisotoma sp 0 0 0 0 0 0

    Collembolacelebensis 1 0 0 0 0 0

    Seira sp 0 0 0 2 2

    Isotomiella sp 0 0 0 0 0

    8

    4.1.2 Tabel Data Pengamatan Dekantasi Tanah

    No Taksaulangan

    jumlah1 2 3 4 5

    1 Hemisotoma sp 0 1 0 0 1 2

    2 Isotomella sp 1 1 0 1 0 3

    3 Hypogastruma sp 0 0 0 0 2 24 Sminthuridae sp 0 0 2 0 0 2

    2 4 5 5 8 9

    4.2 Analisis Data

    4.2.1 Grafik Perbandingan Jumlah Spesies pada Barelees Tullgreen

    Funnel dan Dekantasi Tanah

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    11/19

    Berdasarkan grafik (4.) diketahui bahwa metode Barlesse Tullgreen

    terdapat lebih banyak jenis dan individu infauna yang terperangkap dibandingkan

    dengan metode Dekantasi Basah. Pada metode Barlesse Tullgreen terdapat

    sembilan jenis (spesies) infauna dari seluruh ulangan yang terperangkap, meliputiMyrmica sp, Ponera sp, Allocoma sp, Collophora delamase, Allacma sp,

    Hemisotoma sp, Collembola celebensis, Seira sp, Isotomiella sp. Pada ulangan

    pertama terdapat lima spesies yang terperangkap dengan total 10 individu,

    ulangan kedua mendapatkan empat spesies dengan total 14 individu, ulangan

    ketiga mendapatkan lima spesies dengan total 18 individu, dan ulangan keempat

    mendapatkan empat spesies dengan total 8 individu. Adapun pada metode

    Dekantasi Basah terdapat empat jenis infauna yang terperangkap yaitu

    Hemisotoma sp, Isotomella sp, Hypogastruma sp, Sminthuridae sp.Pada ulangan

    pertama terdapat satu spesies yang terperangkap dan hanya satu individu, ulangan

    kedua mendapatkan 2 spesies dengan total 2 individu, ulangan ketiga

    mendapatkan dua spesies dengan total dua individu, dan ulangan keempat

    mendapatkan satu spesies dengan total satu individu, sedangkan ulangan kelima

    terdapat dua spesies infauna yang terperangkap dengan jumlah total individu

    sebanyak 3 ekor.

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    18

    20

    Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5

    Bareless

    Dekantasi

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    12/19

    BAB V

    PEMBAHASAN

    Di alam atau di lingkungan banyak ditemui berbagai hewan yang berbagai

    macam. Hewan-hewan tersebut dapat ditemukan pada tanah yang lembab,

    perairan, udara, di semak belukar, dan lain-lain. Kehadiran suatu populasi hewan

    pada suatu tempat dan distribusinya pada muka bumi selalu berkaitan dengan

    masalah habitat dan relung ekologinya. Habitat merupakan lingkungan yang

    cocok untuk ditempati suatu populasi hewan (Dharmawan, dkk, 2005). Dalam hal

    ini tanah merupakan suatu habitat bagi hewan-hewan tanah, baik epifauna atau

    infauna.

    Tanah merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem

    terutama bagi kelangsungan hidup fauna tanah. Menurut Sugiyarto (2003), tanah

    merupakan suatu bagian dari ekosistem terrestrial yang di dalamnya dihuni oleh

    banyak organisme yang disebut sebagai biodiversitas tanah. Biodiversitas tanah

    merupakan diversitas alpha yang sangat berperan dalam mempertahankan

    sekaligus meningkatkan fungsi tanah untuk menopang kehidupan di dalam dan di

    atasnya.

    Fauna tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa

    hal, antara lain berdasarkan ukuran tubuh, kehadirannya di tanah, habitat yang di

    pilihnya, dan kegiatan makannya. Berdasar ukuran tubuhnya hewan-hewan

    tersebut dikelompokkan atas mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna. Ukuran

    mikrofauna berkisar antara 20 sampai 200 mikron, mesofauna berkisar 200

    mikron sampai dengan satu sentimeter, dan makrofauna lebih dari satu sentimeter.

    Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah di bagi atas kelompok transien (hewanyang seluruh daur hidupnya berlangsung di tanah, misalnya Kumbang), temporer

    (golongan hewan yang memasuki tanah dengan tujuan bertelur, setelah menetas

    dan berkembang menjadi dewasa, hewan akan keluar dari tanah, misalnya

    Diptera), periodik (hewan yang seluruh daur hidupnya ada di dalam tanah, hanya

    sesekali hewan dewasa keluar dari tanah untuk mencari makanan dan setelah itu

    masuk kembali, misalnya Collembola dan Acarina), dan permanen (hewan yang

    seluruh hidupnya selalu di tanah dan tidak pernah keluar dari dalam tanah,

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    13/19

    misalnya Kumbang, Nematoda tanah dan Protozoa) (Isnan, Tuarita, &

    Dharmawan, Tanpa Tahun).

    Menurut Suin (1989), perkembangan hewan tanah tidak terlepas dari

    pengaruh faktor biotik dan abiotik dari habitat tempat tinggalnya. Namun secara

    garis besar faktor abiotik sangat banyak mempengaruhi perkembangan dan

    kepadatan suatu populasi serangga. Disamping ukuran pori-pori tanah, distribusi

    suhu, kelembaban dan faktor lingkungan lainnya juga ikut menentukan distribusi

    vertikal hewan dalam tanah.

    Kehidupan hewan tanah, selain ditentukan oleh struktur vegetasi, tetapi

    juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti zat kimia dalam tanah, pH tanah,

    kandungan air tanah, iklim dan cahaya matahari sehingga dapat menentukan

    kehadiran suatu jenis tertentu dari hewan tanah dan kepadatan populasi hewan

    tanah. Faktor ketersediaan makanan juga menentukan kepadatan dan distribusi

    hewan yang ada didalam tanah. Secara umum semakin besar kedalaman tanah

    maka jumlah individu semakin sedikit disebabkan oleh berkurangnya oksigen

    untuk pernapasan (Suwondo, 2007).

    Faktor lingkungan yang paling esensial bagi kesuburan dan

    perkembangan hidup hewan tanah adalah temperatur, cahaya, kelembaban dan

    jumlah makanan yang tersedia. Cahaya memiliki peranan yang sangat penting

    dalam perkembangan hidup hewan tanah dan merupakan faktor yang sangat vital

    berhubungan dengan perilaku untuk memberikan variasi morfologi dan fisiologi

    pada hewan tanah (Suwondo, 2007).

    Dalam pengambilan sampel suatu populasi dinamakan sampling.

    Sampling merupakan salah satu cara yang digunakan dalam melakukan

    pengambilan data pada suatu penelitian. Menurut Hartanto (2003), samplingdilakukan untuk memperoleh kesimpulan umum pada suatu komunitas secara

    relatif lebih mudah, murah, dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, tingkat

    kesalahan pada kesimpulan umum dapat dipertimbangkan dengan sampling eror

    dan validasi informasi atau pengukuran dapat ditingkatkan karena dapat dilakukan

    control terhadap variabel tertentu sehingga hasilnya lebih teliti. Pada area

    penelitian yang luas diperlukan adanya teknik sampling untuk mempermudah dan

    mengefisienkan waktu penelitian. Menurut Santoso (Tanpa Tahun), terdapat

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    14/19

    beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sampel penelitian

    sebagai berikut.

    1.

    Derajat keseragaman (degree of homogeneity) populasi. Populasi yang

    homogen cenderung memudahkan penarikan sampel dan semakin

    homogen populasi maka memungkinkan penggunaan sampel penelitian

    yang kecil. Sebaliknya jika populasi heterogen, maka terdapat

    kecenderungan menggunakan sampel penelitian yang besar. Atau dengan

    kata lain, semakin komplek derajat keberagaman maka semakin besar

    pula sampel penelitiannya.

    2. Derajat kemampuan peneliti mengenal sifat-sifat populasi.

    3.

    Presisi (kesaksamaan) yang dikehendaki peneliti. Dalam populasi

    penelitian yang amat besar, biasanya derajat kemampuan peneliti untuk

    mengenali sifat-sifat populasi semakin kecil. Oleh karena itu, untuk

    menghindari kebiasan sampel maka dilakukan jalan pintas, yaitu

    memperbesar jumlah sampel penelitian. Artinya, apabila suatu penelitian

    menghendaki derajat presisi yang tinggi maka merupakan keharusan

    untuk menggunakan sampel penelitian yang besar. Yang perlu mendapat

    pertimbangan di sini adalah presisi juga tergantung pada tenaga, waktu,

    dan biaya yang cukup besar. Penggunaan teknik sampling yang tepat.

    Untuk mendapatkan sampel yang representatif, penggunaan teknik

    sampling haruslah tepat. Apabila salah dalam menggunakan teknik

    sampling maka akan salah pula dalam memperoleh sampel dan akhirnya

    sampel tidak dapat representatif.

    Penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo, pengambilansampel infauna tanah dilakukan melalui dua metode yaitu menggunakan dekantasi

    basah dan barlese tullgreen. Kedua metode ini digunakan untuk mengetahui

    metode pengambilan sampel yang lebih baik dengan melihat benyaknya spesies

    hewan tanah yang diperoleh. Berdasarkan analisis data, diketahui bahwa dengan

    metode barlese tullgreen diperoleh spesies hewan tanah yang lebih banyak. Hal ini

    dapat menunjukkan bahwa pengambilan sampel hewan tanah menggunakan

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    15/19

    barlese tullgreen lebih efektif digunakan apabila dibandingkan dengan dekantasi

    basah.

    Menurut Edwards dan Fletcher (1972) dalam Bremner (1990) barlese

    tullgreen merupakan suatu metode yang telah digunakan untuk mengekstraksi

    atau mengisolasi arthropoda dari tanah dan rumput selama beberapa tahun, dan

    pada umumnya metode ini dianggap terlalu lambat. Penggunaan metode ini

    dibantu dengan adanya cahaya yang menghasilkan panas dan menyebabkan

    hewan pada sampel tanah akan terjebak kebawah. Dalam penggunaan barlese

    tullgreen, sumber panas yang didapatkan dari cahaya matahari langsung. Menurut

    Arias, dkk (2003), cahaya memiliki efek ganda karena cahaya tersebut memaksa

    organisme fotofobik untuk menjauh dari sumber cahaya dan dapat memanaskan

    sampel agar sampel kering. Ketika sampel mengering, gradien suhu dan

    kelembaban terbuat antara permukaan atas dan bawah sampel (Haarlov 1947,

    Block 1966 dalam Arias, dkk, 2003). Gradien ini akan bergerak ke

    bawah, sehingga hewan masuk ke dalam cairan pengumpul (botol sampel)

    (Coleman et al., 2004 dalam Arias, dkk, 2003). Adanya peningkatan suhu pada

    corong (alat barlese) akan membakar hewan sebelum terkoleksi sehingga dalam

    kondisi lapangan terpencil, ekstraksi tanpa cahaya logistik lebih terjangkau dan

    layak, dalam hal pembentukan gradien dan pengeringan dari sampel tergantung

    pada suhu kamar di mana ekstraksi dilakukan (Krell et al. 2005 dalam Arias, dkk,

    2003). Kedua, ekstraksi dengan dan tanpa cahaya, menciptakan kondisi yang

    berbeda dalam sampel, sebagai konsekuensinya, penggunaan, atau tidak

    menggunakan, cahaya selama ekstraksi, dapat mengakibatkan perbedaan sampel

    yang didapatkan (Arias, dkk, 2003).

    Perbedaan pada hasil yang didapatkan antara kedua metode adalah pada carabagaimana metode atau alat tersebut bekerja. Pada metode barlese menggunakan

    bantuan cahaya yang akan menghasilkan panas sehingga hewan-hewan yang ada

    pada sampel tanah akan menghindar dari sinar cahaya dan jatuh dalam botol

    pengumpul sampel. Kebanyakan hewan infauna adalah hewan hidup ditanah yang

    artinya membenamkan diri untuk menghindari sinar matahari. Sedangkan metode

    dekantasi basah merupakan isolasi basah untuk memisahkan hewan-hewan pada

    sampel tanah dengan tanah menggunakan air dan disaring. Dalam hal ini ada

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    16/19

    kemungkinan bahwa hewan infauna yang ukurannya kecil tidak dapat ikut

    tersaring atau menempel pada tanah sehingga ikut terbuang. Selain itu pada

    metode dekantasi basah yang telah dilakukan, hanya menggunakan 5 ulangan

    dengan satu sampel tanah sehingga hewan infauna yang didapatkan sedikit yaitu

    Hemisotoma sp, Isotomella sp, Hypogastruma sp, Sminthuridae sp. dari pada

    metode barlese tullgreen yang menggunkan 4 ulangan dengan 5 sampel tanah.

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    17/19

    BAB VI

    PENUTUP

    6.1 Kesimpulan

    1. Hewan infauna yang didapatkan di kawasan Hutan Pantai Tanaman

    Nasional Alas Purwo yang menggunakan metode dekantasi yaitu

    Hemisotoma sp, Isotomella sp, Hypogastruma sp, Sminthuridae sp.

    Sedangkan untuk metode barlese mendapatkan spesies Myrmica sp,

    Ponera sp, Allocoma sp, Collophora delamase, Allacma sp, Hemisotoma

    sp, Collembola celebensis, Seira sp, Isotomiella sp.

    2. Pada metode barlese menggunakan bantuan cahaya yang akan

    menghasilkan panas sehingga hewan-hewan yang ada pada sampel tanah

    akan menghindar dari sinar cahaya dan jatuh dalam botol pengumpul

    sampel sedangkan metode dekantasi basah merupakan isolasi basah untuk

    memisahkan hewan-hewan pada sampel tanah dengan tanah menggunakan

    air dan disaring. Tetapi, hewan meso-mikrofauna yang banyak didapatkan

    berasal dari metode barlese

    3. Faktor abiotik sangat banyak mempengaruhi perkembangan dan kepadatan

    suatu populasi serangga. Disamping ukuran pori-pori tanah, distribusi

    suhu, kelembaban dan faktor lingkungan lainnya juga ikut menentukan

    distribusi vertikal hewan dalam tanah. Kehidupan hewan tanah, selain

    ditentukan oleh struktur vegetasi, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor

    lain seperti zat kimia dalam tanah, pH tanah, kandungan air tanah, iklim

    dan cahaya matahari sehingga dapat menentukan kehadiran suatu jenis

    tertentu dari hewan tanah dan kepadatan populasi hewan tanah

    6.2 Saran

    1. Untuk melakukan penelitian tentang meso-mikrofauna sebaiknya

    menggunakan metode barlese agar didapatkan hasil yang maksimal.

    2. Alat-alat pengamatan sebaiknya dipersiapkan secara maksimal agar

    pengamatan di lapangan tidak terganggu.

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    18/19

    Daftar Rujukan

    Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Jakarta:Kanisius.

    Arias, Mara Fernanda Barberena, Grizelle Gonzlez, dan Elvira Cuevas. 2003.Quantifying Variation of Soil Arthropods Using Different Sampling

    Protocols: Is Diversity Affected?. Tropical Forest, (Online), 51-70,

    (http://www.fs.fed.us), diakses 24 April 2014.

    Barnes, B. V., Donald R. Z., Shirley R. D. and Stephen H. S. 1997.Forest

    Ecology. 4thEdition. New York. John Wiley and Sons Inc.

    Bremne, Graeme. 1990. A Berlese funnel for the rapid extraction of grassland

    surface macro-arthropods. New Zealand Entomologist, (Online), 13:76-

    80, (http://www.ento.org.nz), diakses 24 April 2014.

    Darmawan, Agus, dkk. 2005.Ekologi Hewan. Malang: FMIPA UM

    Hill. B.S. 2004. Soil fauna and agriculture : Past findings and future

    priorities. EAP Pub. 25. 8pgs. http://eap.megill.ca/Publications/eap-

    head.htm

    Hartanto, Rudi. 2003. Modul Metodologi Penelitian, (Online),

    (http://eprints.undip.ac.id/21248/1/879-ki-fp-05.pdf), diakses 24 April

    2014.

    Isnan, W. F., Tuarita, H., Dharmawan, A.. Tanpa Tahun. Studi Keanekaragaman

    Hewan Tanah (Epifauna) di Perkebunan Kubis (Brassica Oleracea L)

    dengan Sistem Terasering di Cangar Kecamatan Bumiaji Kota Batu,

    (Online),(http://jurnal-

    online.um.ac.id/data/artikel/artikel6DB4594912BA954F4E846FFB36BC2

    E21.doc), diakses 24 April 2014.

    Rahmawati. 2006. Study Keanekaragaman Mesofauna Tanah Di Kawasan Hutan

    Wisata Alam Sibolangit. www. Journal Fauna. Com

    Ross, H.H. 1965. A Text Book of Entomology. 3thEdition. Ney York : John

    Wiley & Sons

    Santoso. Tanpa Tahun. Metode Pengumpulan Sampel dan Pengambilan Data,

    (Online), (http://ssantoso.umpo.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/BAB-

    III.-METODE-PENGAMBILAN-SAMPEL-DAN-PENGUMPULAN-

    DATA.pdf), diakses 24 April 2014.

  • 8/10/2019 Laporan Dekantasi Fix

    19/19

    Santoso, Edi. 2007.Metode Analisis Biologi Tanah. Bogor : Balai Besar

    Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

    Sugiyarto. 2003. Konservasi Makrofauna Tanah dalam Sistem Agroforestri,

    (Online), (http://pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/sugiyarto-

    konservasi-makrofauna-tanah.pdf), diakses 24 April 2014.

    Suin, N. N.. 1989.Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. ITB. Bandung.

    Suwondo. 2007. Dinamika Kepadatan dan Distribusi Vertikal Arthropoda Tanah

    pada Kawasan Hutan Tanaman Industri. Jurnal Pilar Sains, 6 (2).

    (Online),

    (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=106208&val=5125),

    diakses 24 April 2014.

    Witt, B. 2004. Using soil fauna to improve soil health. http://www.hort.agri.

    umn.edu/ h5015/97papers/witt.html