lapkas chf
-
Upload
tri-utami-ningrum -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of lapkas chf
KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny.M
Umur : 56 tahun
Alamat : Johar baru, Jakarta Pusat
Agama : Islam
Status : Menikah
Masuk RS : 9 September 2015
No RM : 00820806
Ruangan : Marwah bawah
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 2 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan sesak sejak 2 hari
SMRS. Sesak dirasakan saat melakukan aktivitas maupun saat istirahat. Sesak yang
dirasakan pasien sejak 7 bulan terakhir dan memperberat sejak 2 hari SMRS. Sesak
nafas berkurang apabila dengan posisi duduk atau tiduran dengan menggunakan 3
bantal. Keluhan disertai dengan kedua kaki bengkak. Kedua kaki bengkak sejak 7
bulan yang lalu bersifat hilang timbul. Pasien sering terbangun dimalam hari karena
sesak. Batuk disangkal pasien, pasien mengaku sering merasa haus. Pasien merasa
nafsu makannya berkurang dan pasien mengeluh berat badannya menurun. Pasien
mengaku kedua tangan dan kedua kakinya sering merasa kesemutan. Pasien sering
merasa mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien terkadang mengeluh pusing dan
lemas. BAK sering disangkal, BAK dan BAB dalam batas normal. Demam disangkal,
sering terasa gatal pada tubuh disangkal .
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan sesak seperti ini dalam 7 bulan terkahir
1
DM dan Hipertensi (12 tahun yang lalu )
Riwayat bengkak pada ektremitas 7 bulan terakhir bersifat hilang timbul
Riwayat Penyakit keluarga
o Bapak pasien menderita HT
o Kakak pasien menderita HT dan DM
o Kakak pasien no.2,4,5 menderita jantung
Riwayat psikososial
Riwayat merokok (-), alkohol (-)
Riwayat Pengobatan
Pasien mengkosumsi obat metformin 500 mg dan captopril 12.5 mg
Riwayat Alergi
Alergi Makanan (-) dan Alergi Obat (-) disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 100x/menit
Pernapasan : 26 x/menit
Suhu : 36,40C
Status gizi
Berat badan (sakit): 60 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Status gizi : BB/TB2 = 24 (Beresiko )
Status generalis
Kepala : Normocephal
2
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+), isokor
kanan-kiri.
Kulit : Ikterik (-), eritema (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), darah (-).
Telinga : Normotia, otore (-/-)
Mulut : Mukosa bibir tidak sianosis, Bibir lembab (+)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 meningkat
PARU-PARU
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, skar (-),retraksi otot
pernapasan (-), bagian dada tertinggal (-/-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri normal, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) , ronkhi (+/+), wheezing(-/-)
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba, ICS 5 midclavicularis dextra
Perkusi : sulit dinilai
Auskultasi : BJ 1 dan 2 reguler, Murmur(-), Gallop (-).
ABDOMEN
Inspeksi : Cembung, skar (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 8 kali per menit
Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : Asites (+), shifting dullness (+)
EXTREMITAS : Atas Bawah
Akral : hangat hangat
Edema : (-/-) (+ / +)
Palmar eritem : (-/-) (-/-)
Luka : (-/-) (-/-)
3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
4
Pemeriksaan Radiologi
Kesan : - Cardiomegali
- Edema Paru
- Efusi Pleura kanan
Gambaran EKG
5
Kesan:
Irama sinus
HR: 100 x/menit
ST elevasi (-)
RESUME
Seorang perempuan berusia 56 tahun dengan keluhan sesak sejak 2 hari SMRS. Sesak
dirasakan saat melakukan aktivitas maupun saat istirahat. Sesak yang dirasakan pasien sejak
7 bulan terakhir dan memperberat sejak 2 hari SMRS. Sesak nafas berkurang apabila dengan
posisi duduk atau tiduran dengan menggunakan 3 bantal. Keluhan disertai dengan kedua kaki
bengkak. Kedua kaki bengkak sejak 7 bulan yang lalu bersifat hilang timbul. Pasien sering
terbangun dimalam hari karena sesak. Pasien mengaku sering merasa haus. Pasien merasa
nafsu makannya berkurang dan pasien mengeluh berat badannya menurun. Pasien mengaku
kedua tangan dan kedua kakinya sering merasa kesemutan. Pasien sering merasa mual tetapi
tidak sampai muntah. Pasien terkadang mengeluh pusing dan lemas. Riwayat Penyakit
Dahulu : Pasien pernah mengalami keluhan sesak seperti ini dalam 7 bulan terkahir, DM dan
Hipertensi (12 tahun yang lalu ), Riwayat bengkak pada ektremitas 7 bulan terakhir bersifat
hilang timbul.
6
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : tampak sakit sedang.
TTV :
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 26 kali/menit
Status gizi : Beresiko
Status Generalis
Paru auskultasi : Vesikuler (+/+) , ronkhi (+/+)
Perkusi : Asites (+), shifting dullness (+)
Extremitas bawah : edema (+/+).
Hasil lab : Kreatinin 4,8 mg/dl , ureum 117 mg/dl, kalium 6,7 mEq/L, clorida 113 mEq/L
DAFTAR MASALAH :
Dispnea e.c CHF
CKD
DM tipe 2
ASSESSMENT
S: Sesak dirasakan dalam 7 bulan terakhir memberat 2 hari SMRS saat aktivitas dan saat
beristirhat, pasien sering terbangun dimalam hari kiarena sesak, riwayat sesak sejak 7 bulan
terakhir, riwayat kaki bengkak sejak 7 bulan terakhir.
O :
TD : 130/90 mmHg
Pernapasan : 26 x/menit
7
Nadi : 100 x/menit
JVP 5+2 meningkat
Auskultasi paru : Ronkhi (+/+)
Edema extemitas bawah (+/+)
Hasil radiologi: kardiomegali
A : Dispnea e.c CHF fc IV
P: R.Monitoring : Foto rontgen, EKG
R.Terapi : O2 , 2- 4 L sampai klinis membaik, Furosemid 40 mg
Edukasi : banyak istirahat
S : Pasien sering mengeluh kesemutan dan baal pada kedua tangan dan kakinya, pasien
sering merasa haus. Berat badan pasien menurun. Riyawat DM sejak 12 tahun yang lalu,
Riwayat minum obat metformin.
O :
TD : 130/90 mmHg
Pemeriksaan Lab.: GDS 147 mg/dl
A: Diabetes Millitus tipe II (Terkontrol)
P: R.Monitoring : GDS, GDP
R.Terapi : Metformin 500 mg
Mengikuti pola makan sehat
S: Mual, udem kedua tungkai
O : TD : 130/90 mmHg
Pemeriksaan Lab.: Kreatinin 4,8 mg/dl , ureum 117 mg/dl, kalium 6,7 mEq/L
8
A: CKD Grade IV
P: R.Monitoring : produksi urin
ureum dan kreatinin
USG
R.Terapi : furosemid 40 mg
Pembatasan asupan air
Diagnosa
CHF fc IV + CKD Grade IV + DM tipe II
FOLLOW UP
10-9- 2015
S: Sesak (+) menurun , bengkak pada kedua kaki (+), pusing , lemas .
O : TD : 130/80 mmHg RR: 24 x/mnt
HR: 88 x/mnt T: 36,8˚C
Auskultasi paru : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+)
Extremitas bawah : edema (+/+).
A : CHF fc IV + CKD Grade IV + DM tipe II
P Terapi : O2 2-3 liter/menit
Furosemid 40 mg
Captopril 12,5 mg
Hidroclorotiazid 25 mg
Metformin 500 mg
Monitoring : produksi urin
9
11-9- 2015
S: Sesak (+) menurun , bengkak pada kedua kaki (+), pusing
O : TD : 120/80 mmHg RR: 24 x/mnt
HR: 90 x/mnt T: 36,8˚C
Auskultasi paru : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+)
Extremitas bawah : edema (+/+).
A : CHF fc IV + CKD Grade IV + DM tipe II
P Terapi : O2 2-3 liter/menit
Furosemid 20 mg
Captopril 12,5 mg
Hidroclorotiazid 25 mg
Metformin 500 mg
Monitoring . Dpl ulang, Produksi urin
12-9- 2015
S: Sesak (+) saat pindah posisi, bengkak pada kedua kaki (+), lemas, BAB cair 3x warna
kuning, lendir (+), darah (-) .
O : TD : 110/80 mmHg RR: 26 x/mnt
HR: 92x/mnt T: 36, 4˚C
Auskultasi paru : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+)
Extremitas bawah : edema (+/+).
A : CHF fc IV + CKD Grade IV + DM tipe II
P Terapi : O2 2-3 liter/menit
10
Furosemid 20 mg
Captopril 12,5 mg
Hidroclorotiazid 25 mg
Metformin 500 mg
New diatab 3x2
Monitoring : produksi urin
14-9- 2015
S: Sesak (+) menurun , bengkak pada kedua kaki (+), pusing , lemas, BAB cair 3x warna
kuning, lendir (+), darah (-) .
O : TD : 110/90 mmHg RR: 24 x/mnt
HR: 88 x/mnt T: 36,8˚C
Auskultasi paru : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+)
Extremitas bawah : edema (+/+).
A : CHF fc IV + CKD Grade IV + DM tipe II
P Terapi : O2 2-3 liter/menit
Furosemid 20 mg
Captopril 12,5 mg
Hidroclorotiazid 25 mg
Metformin 500 mg
New diatab 3x2
15-9- 2015
S: Sesak (+) saat pindah posisi , bengkak pada kedua kaki (+), pusing , lemas, BAB cair 3x
warna kuning, lendir (+), darah (-) .
11
O : TD : 110/90 mmHg RR: 24 x/mnt
HR: 88 x/mnt T: 36,8˚C
Auskultasi paru : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+)
Extremitas bawah : edema (+/+).
A : CHF fc IV + CKD Grade IV + DM tipe II
P Terapi : O2 2-3 liter/menit
Furosemid 20 mg
Captopril 12,5 mg
Hidroclorotiazid 25 mg
Metformin 500 mg
New diatab 3x2
16-9- 2015
S: Sesak (+) saat pindah posisi , bengkak pada kedua kaki (+), pusing , lemas, BAB cair 3x
warna kuning, lendir (+), darah (-) .
O : TD : 110/90 mmHg RR: 24 x/mnt
HR: 88 x/mnt T: 36,8˚C
Auskultasi paru : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+)
Extremitas bawah : edema (+/+).
A : CHF fc IV + CKD Grade IV + DM tipe II
P Terapi : O2 2-3 liter/menit
Furosemid 20 mg
Captopril 12,5 mg
Hidroclorotiazid 25 mg
12
Metformin 500 mg
New diatab 3x2
ANALISA KASUS
Diagnosis dari gagal jantung dapat didasarkan atas kriteria Framingham
Klasifikasi New York Heart Association
Derajat I
Tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri dada
Derajat II
Ada limitasi aktifitas fisik, timbul sesak
napas, rasa lelah, palpitasi, dengan
aktifitas fisik biasa namun nyaman
dengan istirahat
Derajat III
Aktifitas fisik sangat terbatas. Aktifitas
fisik kurang dari biasa sudah
menimbulkan gejala, tetapi nyaman
sewaktu istirahat
Derajat IV
Ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas
fisik apapun
Setiap aktivitas fisik dilakukan, maka rasa
tidak nyaman semakin meningkat.
Dari klasifikasi diatas, berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada pasien maka pasien
mengarah pada klasifikasi derajat IV
13
Klasifikasi Dekompensasi Kordis
14
TINJAUAN PUSTAKA
CONGERSTIVE HEART FAILURE
A. PENDAHULUAN
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan
peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad ramali.1994) Dekompensasi
kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang
berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani, 1998; Price ,1995). Gagal jantung
kongestif atau congestive heart failure (CHF) adalah kondisi dimana fungsi jantung sebagai
pompa untuk mengantarkan darah yang kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk memenuhi
keperluan-keperluan tubuh. Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh:
1. Penyakit arteri koroner
2. Penyakit-penyakit jantung kongenital
3. Penyakit-penyakit pada otot-otot jantung
4. Penyakit-penyakit pada katup-katup jantung
Diagnosis dari gagal jantung dapat didasarkan atas kriteria Framingham yaitu 2 dari kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor pada saat bersamaan
Kriteria Mayor
1. Paroksismal nocturnal dispnea
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Rhonki basah tidak nyaring
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama derap S3
7. Peningkatan tekanan vena › 16cm
H2O
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
1. Edema pergelangan kaki
2. Batuk malam hari
3. Dyspneu d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital berkurang
menjadi ⅓ maksimum
7. Takikardi
15
Kapasitas
Fungsional
Klasifikasi New York Heart Association Penilaian
Objektif
Class I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan
pada aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal
Class II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman
pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa mengakibatkan
kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.
Class III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan
keterbatasan bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa
nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang lebih
ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi,
sesak, dan nyeri anginal..
Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun
tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau
sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat.
Jika aktivitas fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman
semakin meningkat.
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood
Vessels: Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown, 1964, p.
114.
B. EPIDEMIOLOGI
30% kematian didunia diakibatkan karena kardiovaskular disease, Gagal jantung
mempengaruhi lebih dari 20 juta pasien di dunia, meningkat seiring pertambahan usia, dan
mengenai pasien usia lebih dari 65 tahun sekitar 6-10%, lebih banyak mengenai laki-laki
dibandingkan dengan wanita, Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat.
Dimana jenis penyakit gagal jantung yang paling tinggi prevalensinya adalah Congestive
16
Heart Failure (CHF). Di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia
25 tahun.3 Sedang pada anak – anak yang menderita kelainan jantung bawaan, komplikasi
gagal jantung terjadi 90% sebelum umur 1 tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 –
15 tahun.
C. ETIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitasmiokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta,
dan cacat septumventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta
atau hipertensisistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomyopati.Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisisanventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian
dan ejeksi ventrikel(perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab
tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut
mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam
sistesis atau fungsi protein kontraktil( Price. Sylvia A, 1995).
Penyebab kegagalan jantung dikategori kepada tiga penyebab :
Stroke volume : isi sekuncup, Kontraksi kardiak, Preload dan afterloadMeliputi :
1. meningkatnya beban awal jantung (preload) :regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel
2. meningkatnya beban akhir jantung (afterload) : stenosis aorta dan hipertensi sistemik
3. Te rganggunya kontraktilitas jantung : Infark miokardium dan kardiomiopati.
4. Faktor sistemik :tirotoksikosis, hipoksia, anemia,ketidakseimbangan elektrolit.
5. Ateriosklerosis koroner.
6. Degenerative
Decompensai cordis terbagi atas dua macam meliputi :
1. Decompensasi cordis kiri/gagal jantung kiri
Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung mengakibatkan pada akhir
sistolterdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan keadaan normal sehingga pada masa
diastol berikutnya akan bertambah lagi mengakibatkan tekanan diastol semakin tinggi, makin
lama terjadi bendungan didaerah atrium kiri berakibat tejadi peningkatan tekanan dari batas
normal padaatrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena
pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat
memompadarah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan
17
hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18 mmHg dan
terjadi transudasicairan dari pembuluh kapiler paru-paru..Pada saat peningkatan tekanan
arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi transudasi cairanintertisiel bronkus
mengakibatkan edema aliran udara menjadi terganggu biasanya ditemukanadanya bunyi
eksspirasi dan menjadi lebih panjang yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada
gagal jantung, bila tekanan di kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah
akan keluar dari saluran limfatik karena ketidaka mampuan limfatik untuk,menampungnya
(>25 mmHg) sehingga akan tertahan dijaringan intertissiel paru-paru yangmakain lama akan
menggangu alveoli sebagai tempat pertukaran udara mengakibatkan udema paru disertai
sesak dan makin lama menjadi syok yang lebih dikenal dengan syak cardiogenik diatandai
dengan tekanan diatol menjadi lemah dan rendah serta perfusi menjadi sangat
kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang berakibat kematian.Gagalnya
kkhususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang mengandung oksigentubuh
yang berakibat dua Tanda-tanda dan gejela penurunan cardiak output seperit dyspnoe de
effort (sesak nafas padaakktivitas fisik, ortopnoe (sesak nafas pada saat berbaring dan dapat
dikurangi pada saat duduk atau berdiri.kemudian dispnue noktural paroksimalis (sesak nafas
pada malam hari atau sesak pada saat terbangun), Dan kongesti paru seperti menurunnya
tonus simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru,
takikakrdia, Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi distolik dini ( proses aktif
yangtergantung pada energi) dan kekakuan dindiing ventrikel.
2. Decompensasi cordis kanan
Kegagalan venrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memeompa melawan tekanan
yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali kedalam sirkulasi
sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk
kedalam(edema perifer) (long, 1996). Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat
khususnya ventrikel kanantidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi bendungan
diatrium kanan dan venacavasuperior dan inferiordan tampak gejala yang ada adalah
edemaperifer, hepatomegali,splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang
cepat., hal ini akibaat vetrikelkanan pada saat sisitol tidak mampu memompa darah keluar
sehingga saat berikutnya tekanan akhir diatolik ventrikel kanan makin meningkat demikin
pula mengakibatkan tekanan dalam atriummeninggi diikuti oleh bendungan darah vena kava
supperior dan vena kava inferior serta selruhsistem vena tampak gejal klinis adalah erjadinya
bendungan vena jugularis eksterna, bvenhepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis
(splenomegali) dan bendungan-bedungan pada padaena-vena perifer. Dan apabila tekanan
18
hidristik pada di pembuluh kapiler meningkat melampuitakanan osmotik plasma maka
terjadinya edema perifer.
D. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat
dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:I. Pasien dg P. Jantung tetapi tidak memiliki
keluhan pd kegiatan sehari-hariII. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan
hambtan aktivitas hanya sedikit, akantetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan
capek, berdebar, sesak serta anginaIII. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas
jasmani sangat terbatas dan hanya merasasehat jika beristirahat.IV. Pasien dengan penyakit
jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga
menimbulkan sesak nafas.Konsep terjadinya gagal jantung dan efeknya terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar dapat dilihat pada gambar berikut :
Hipertensi,iskhemia,infak,mitral valve/ aorta valve defect
Penurunan kontraktilitas miokardium
Penurunan curah jantung
↓ volume darah arteri efektif
↑lepasnya muatan saraf simpatis Meningkatkan pelepasan
\ renin angiotensin II
Tekanan darah dipertahankan
Me↑kan tekanan vena vasokontriksi ginjal me↑kan sekresi aldosteron
Menurunkan GFR nefron me↑kan reabsorbsi NA+ dan H²O di tubulus
Menurunkan eksresi Na+ dan H²O dalam urin
Maningkatkan Na dan H²O total tubuh
Edema
19
E. GEJALA KLINIS
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individual-individual menurut
sistim-sistim organ tertentu yang terlibat dan tergantung pada kemampuan tubuh dalam
mengkompensasi kelemahan otot jantung. Penderita gagal jantung yang tidak terkompensasi
akan merasakan lelah dan lemah jika melakukan aktivitas fisik karena otot-ototnya tidak
mendapatkan jumlah darah yang cukup. Pembengkakan juga menyebabkan berbagai gejala.
Selain dipengaruhi oleh gaya gravitasi, lokasi dan efek pembengkakan juga dipengaruhi oleh
sisi jantung yang mengalami gangguan. Gagal jantung kanan cenderung mengakibatkan
pengumpulan darah yang mengalir ke bagian kanan jantung. Hal ini menyebabkan
pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai, hati dan perut. Gagal jantung kiri
menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru-paru (edema pulmoner), yang
menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada awalnya sesak nafas hanya terjadi pada saat
melakukan aktivitas, tetapi sejalan dengan memburuknya penyakit, sesak nafas juga akan
timbul pada saat penderita tidak melakukan aktivitas. Kadang sesak nafas terjadi pada malam
hari ketika penderita sedang berbaring, karena cairan bergerak ke dalam paru-paru. Penderita
sering terbangun dan bangkit untuk menarik nafas atau mengeluarkan bunyi mengi. Duduk
menyebabkan cairan mengalir dari paru-paru sehingga penderita lebih mudah
bernafas. Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya penderita gagal jantung tidur dengan
posisi setengah duduk. Pengumpulan cairan dalam paru-paru yang berat (edema pulmoner
akut) merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan pertolongan segera dan bisa
berakibat fatal.
20
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri
dada tidak/dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah
pada aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat hipertensi, infark miokard baru/akut, episode gagal
jantung kongestif sebelumnya, penyakit jantung, bedah jantung ,
endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda :
i. Tekanan Darah ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
ii. Irama Jantung ; Disritmia.
iii. Frekuensi jantung ; Takikardia.
iv. Bunyi jantung ; S3 (gallop), S4 dapat terjadi, S1 dan S2
mungkin melemah. Murmur sistolik dan diastolic.
v. Warna ; Kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
vi. Punggung kuku ; Pucat atau sianotik dengan pengisian kapiler
lambat.
vii. Hepar ; Terdapat pembesaran/dapat teraba.
viii. Bunyi napas ; Ronkhi.
ix. Edema ; Pitting khususnya pada ekstremitas.
3. Metabolis
a. Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
4. Asupan makanan/cairan
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambahan berat
badan yang signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah.
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta
edema.
5. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit
kronis, penggunaan alat bantu pernapasan.
b. Tanda :
21
i. Pernapasan ; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
ii. Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin
batuk terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
iii. Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
F. PENUNJANG
Foto rontgen dada : Pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan redistribusinya ke
apeks paru, peningkatan tekanan vaskular pulmonal,kadang efusi pleura.
Elektrokardiografi : membantu menunjukan etiologi gagal janjung (infark, iskemia,
hipertrofi,dll) dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, deprresi ST,dll.
Laboratorium : kimia darah (ureum, creatinin, glukosa, elektrolit), Hb,tes fungsi tiroid,
fungsi hati, lipid darah
Urinalisa, utk deteksi proteinuria atau glukosuria
G. DIAGNOSIS
1. Keluhan penderita berdasarkan tanda dan gejala klinis
2. Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut,
dan gunamengkaji kompensaai sepperti hipertropi ventrikel
3. Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau
nekrotik pada penyakit jantung kotoner
4. Rontgen thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran
jantung
5. Eschocardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri
polmonal.untuk menyajikandata tentang fungsi jantung.
F. PENATALAKSANAAN
Farmako Terapi
Sampai akhir-akhir ini, pilihan dari obat-obat yang tersedia untuk perawatan gagal
jantung kongestif terbatasnya membuat frustrasi dan terfokus terutama pada mengontrol
gejala-gejala. Obat-obat sekarang telah dikembangkan yang melakukan kedua-duanya yaitu
memperbaiki gejala-gejala, dan yang penting, memperpanjang kelangsungan hidup.
22
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitors
Kelompok obat-obat ini telah dipelajari secara ekstensif dalam merawat gagal jantung
kongestif. Obat-obat ini menghalangi pembentukan dari angiotensin II, hormon dengan
banyak efek-efek merugikan yang potensial pada jantung dan sirkulasi pada pasien-pasien
dengan gagal jantung. Dari bukti yang mendukung penggunaan dari ACE inhibitors ini pada
gagal jantung adalah begitu kuat sehingga ACE inhibitors harus dipertimbangkan pada semua
pasien-pasien dengan gagal jantung, terutama mereka yang dengan kelemahan otot jantung.
Efek-efek sampingan yang mungkin dari obat-obat ini termasuk:
batuk kering,
tekanan darah rendah,
perburukan fungsi ginjal.
Jika digunakan secara hati-hati dengan pengamatan yang tepat, bagaimanapun, mayoritas dari
pasien-pasien gagal jantung kongestif mentolerir obat-obat ini tanpa persoalan-persoalan
yang signifikan. Contoh-contoh dari ACE inhibitors termasuk:
captopril (Capoten),
enalapril (Vasotec),
lisinopril (Zestril, Prinivil),
benazepril (Lotensin), dan
ramipril (Altace).
Untuk pasien-pasien yang tidak mampu untuk mentolerir ACE inhibitors, kelompok
alternatif dari obat-obat, yang disebut angiotensin receptor blockers (ARBs), mungkin
digunakan. Obat-obat ini bekerja pada jalur hormon yang sama seperti ACE inhibitors,
namun sebagai gantinya menghalangi aksi dari angiotensin II pada tempat reseptornya secara
langsung. Efek-efek sampingan yang mungkin dari obat-obat ini adalah serupa pada yang
berhubungan dengan ACE inhibitors, meskipun batuk keringnya jauh kurang umum. Contoh-
contoh dari kelompok obat-obat ini termasuk:
losartan (Cozaar),
candesartan (Atacand),
telmisartan (Micardis),
23
valsartan (Diovan), dan
irbesartan (Avapro).
Beta-blockers
Beta-blockers adalah agen-agen yang menghalangi aksi dari hormon-hormon yang
menstimulasi reseptor-reseptor beta dari jaringan-jaringan tubuh. Karena diasumsikan bahwa
menghalangi reseptor-reseptor beta lebih jauh menekan fungsi dari jantung, beta-blockers
secara tradisi telah tidak digunakan pada pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif.
Beta-blockers umumnya harus tidak digunakan pada orang-orang dengan penyakit-penyakit
signifikan yang tertentu (contohnya, asma, emphysema). carvedilol (Coreg) dan Metoprolol
(Toprol XL) sangat efektif pada pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif.
Digoxin
Digoxin (Lanoxin) telah digunakan dalam perawatan dari gagal jantung kongestif. Digoxin
menstimulasi otot jantung untuk berkontraksi lebih kuat. Efek-efek sampingan yang potensial
termasuk:
mual,
muntah,
gangguan irama jantung,
disfungsi ginjal, dan
ganguan elektrolit tubuh.
Diuretics
Diuretics adalah komponen yang penting dari perawatan gagal jantung kongestif untuk
mencegah atau mengurangi gejala-gejala dari retensi cairan. Obat-obat ini membantu
menahan pembetukan cairan dalam paru-paru dan jaringan-jaringan lain. Efek samping yang
potensial dari diuretics termasuk:
dehidrasi,
ganguan elektrolit tubuh,
tekanan darah rendah .
Contoh dari diuretics termasuk:
24
furosemide (Lasix),
hydrochlorothiazide (Hydrodiuril),
bumetanide (Bumex),
torsemide (Demadex),
spironolactone (Aldactone), dan
metolazone (Zaroxolyn).
Obat untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut
Dosis Permulaan Dosis Maksimal
Vasodilators
Nitroglycerin 20 µg/menit 40–400 µg/menit
Nitroprusside 10 µg/menit 30–350 µg/menit
Nesiritide Bolus 2 µg/kg 0.01–0.03 µg/kg per menita
Inotropes
Dobutamine 1–2 µg/kg per menit 2–10 µg/kg per menitb
Milrinone Bolus 50 µg/kg 0.1–0.75 µg/kg per menitb
Dopamine 1–2 µg/kg per menit 2–4 µg/kg per menitb
Levosimendan Bolus 12 µg/kg 0.1–0.2 µg/kg per menitc
Vasoconstrictors
Dopamine for hypotension 5 µg/kg per menit 5–15 µg/kg per menit
Epinephrine 0.5 µg/kg per menit 50 µg/kg per menit
Phenylephrine 0.3 µg/kg per menit 3 µg/kg per menit
Vasopression 0.05 units/menit 0.1–0.4 units/ menit
25
Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)
Dosis Awal Dosis Maksimal
Diuretics
Furosemide 20–40 mg qd or bid 400 mg/da
Torsemide 10–20 mg qd bid 200 mg/da
Bumetanide 0.5–1.0 mg qd or bid 10 mg/da
Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da
Metolazone 2.5–5.0 mg qd or bid 20 mg/da
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors
Captopril 6.25 mg tid 50 mg tid
Enalapril 2.5 mg bid 10 mg bid
Lisinopril 2.5–5.0 mg qd 20–35 mg qd
Ramipril 1.25–2.5 mg bid 2.5–5 mg bid
Trandolapril 0.5 mg qd 4 mg qd
Angiotensin Receptor Blockers
Valsartan 40 mg bid 160 mg bid
Candesartan 4 mg qd 32 mg qd
Irbesartan 75 mg qd 300 mg qdb
Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd
β Receptor Blockers
Carvedilol 3.125 mg bid 25–50 mg bid
Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd
26
Dosis Awal Dosis Maksimal
Metoprolol succinate
CR
12.5–25 mg qd Target dose 200 mg qd
Additional Therapies
Spironolactone 12.5–25 mg qd 25–50 mg qd
Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd
Kombinasi
hydralazine/isosorbide
dinitrate
10–25 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid
Dosis tetap
hydralazine/isosorbide
dinitrate
37.5 mg/20 mg (one tablet)
tid
75 mg/40 mg (two tablets) tid
Digoxin 0.125 mg qd <0.375 mg/db
Non medikamentosa
Anjuran Umum :
a. edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
b. aktivitas social dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa, sesuaikan
kemampuan fisik dengan profesi yg masih bias dilakukan
c. gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang
d. vaksinasi terhadap virus influenza dan pneumokokus bila mampu
Tindakan Umum :
a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g untuk gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal
jantung berat, jumlah cairan 1,5 L pada gagal jantung ringan, dan 1 L pada gagal jantung
berat
b. hentikan merokok
c. hentikan alcohol pada kardiomiopati : batasi 20-30g/hari pada yg lainnya
27
d. aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5x/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis
5x/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang)
e. IStirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
Intervensi Mekanik dan Operasi
Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka
intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih efektif.
Terapi ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi
jantung.
G. PROGNOSIS
Pada bayi dan anak lebih baik daripada orang dewasa bila ditolong dengan segera. Hal
ini disebabkan oleh karena belum terjadi perburukan pada miokardium., Ada beberapa faktor
yang menentukan prognosa, yaitu :
Waktu timbulnya gagal jantung.
Timbul serangan akut atau menahun.
Derajat beratnya gagal jantung.
Penyebab primer.
Kelainan atau besarnya jantung yang menetap.
Keadaan paru
Cepatnya pertolongan pertama.
Respons dan lamanya pemberian digitalisasi.
Seringnya gagal jantung kambuh
Gagal ginjal kronik (GGK)
A. DEFINISI
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang
28
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak yang
mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis
yang agresif dan disebabkan oleh perubahan praktek program penyakit ginjal tahap akhir
yang diterima pasien, diabetes mellitus dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama
gagal ginjal kronik.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda
dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain, tergantung paling
tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih berfungsi dan kecepatan
hilangnya fungsi ginjal.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain1:
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3
bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat
(stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat
atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai
berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)
29
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 1
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Deraja
t
Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓berat 15- 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis
Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel 2
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
30
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular(penyakit otoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi,mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunanobat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunanobat(siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
C. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi
adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
31
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis
renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growthfactor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal
atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
E. PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeks traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES),dll.
32
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
33
F. PENATALAKSANAAN
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan derajatnya, dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
Deraja
t
LFG(ml/mnt/1,73m²) Rencana tatalaksana
1 > 90 terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progession) fungsi ginjal,
memperkecil resiko kardiovaskuler
2 60-89 menghambat pemburukan (progession) fungsi
ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 terapi pengganti ginjal
Terapi Nonfarmakologis:
a. Pengaturan asupan protein:
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan diatas
nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. protein diberikan 0,6 -
0,8/kgBB/hari, yang 0,35 - 0,50 gr diantaranya merupakan protein biologi tinggi. Jumlah
kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur
terhadap status nutrisi pasien. bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam
tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat, dan
ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan
substansi nitrogen dan ion organik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic
34
yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran
darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan
meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit GGK
LFG
ml/menit
Asupan protein g/kg/hari
>60 tidak dianjurkan
25-60 0,6-0,8/kg/hari
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam
keton
<60 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan
asam amino esensial atau asam keton.
b. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama
antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
f. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
g. Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
35
i. Besi: 10-18mg/hari
j. Magnesium: 200-300 mg/hari
k. Asam folat pasien HD: 5mg
l. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
Terapi Farmakologis :
a. Kontrol tekanan darah
- Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II →evaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus
dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
b. Kontrol gula darah
Pada pasien DM, kontrol gula darah →hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai
normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
Anemia terjadi pada 80 - 90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal - hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal,
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10
% atau hematokrit ≤ 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber per
darahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Transfusi
darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal.
36
d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbs fosfat di saluran cerna.
Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.
e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f. Koreksi hiperkalemia
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh
karena itu, pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi
kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5
mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan
derajat edema yang terjadi.
g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h. Terapi ginjal pengganti.
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 mL/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada Penyakit Gagal Ginjal Kronik adalah Penyakit
kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit, osteodistrofi renal
dan anemia.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Lily ismudiati rilanto dkk, (2001). Buku Ajar Kardiologi, penerbit Fakultas
Kedokteran Unversitas Indonesia, Gaya Baru Jakarta.
2. Arthur C. Guyton, dkk. 2006. “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9. Jakarta :
EGC
3. Sylvia A. Price, dkk. 2006. “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI .Jakarta :
2006.
5. Sugeng dan Sitompul. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta : 2003.
6. Corwin, E.J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
7. Ganiswarna, S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
8. PBPAPDI, 2009, Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Interna Publishing : Jakarta
38