Lapkas Kardiologi_ventricular Tachycardia Chf Ec Cad
-
Upload
martin-susanto -
Category
Documents
-
view
285 -
download
23
Transcript of Lapkas Kardiologi_ventricular Tachycardia Chf Ec Cad
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ventricular Tachycardia (VT)
2.1.1 Definisi
Takikardi ventrikel / Ventricular Tachycardia (VT) adalah terdapat tiga
atau lebih premature ventricular contraction atau ventricular extrasystole
dengan laju lebih dari 120 kali per menit. Fokus takikardi dapat berasal dari
ventrikel (kiri atau kanan) atau akibat dari proses reeentry pada salah satu bagian
dari berkas cabang (bundle branch reentry VT).
Dari rekaman EKG permukaan VT umumnya memberikan gambaran EKG
dengan ciri kompleks QRS yang lebar (>0.12 detik). Namun tidak semua takikardi
dengan kompleks QRS yang lebar adalah VT karena takikardi supraventrikel
(SVT) dengan konduksi aberan atau dengan konduksi melalui jaras tambahan
(accesory pathway) juga akan memberikan gambaran takikardi dengan kompleks
QRS yang lebar. Oleh karena itu pengenalan VT menjadi penting dalam keadaan
kegawatan karena pemberian obat untuk SVT dapat membahayakan pada pasien
dengan VT. Pengenalan VT juga harus mencakup identifikasi etiologi, sumber,
fokus, terapi, dan prognosisnya. VT idiopatik misalnya, dapat diterapi secara
defenitif dengan ablasi kateter, sangat jarang menyebabkan kematian mendadak
dan memiliki prognosis yang baik. Sebaliknya VT iskemia (VT akibat penyakit
jantung koroner) memberikan resiko tinggi untuk terjadinya kematian mendadak
( sudden cardiac death ) akibat aritmia fatal (VT yang berdegenerasi menjadi
ventrikular fibrillation ) .
Gambar 1. VT dengan laju 235 kali per menit.
3
2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi
Secara umum VT dapat dibagi menjadi monoformik dan polimorfik. VT
monoformik memiliki kompleks QRS yang sama pada tiap denyutan (beat) dan
menandakan adanya depolarisasi yang berulang dari tempat yang sama.
Umumnya disebabkan oleh adanya fokus atau substrat aritmia yang mudah
dieliminasi dengan teknik ablasi kateter. Sedangkan VT polimorfik ditandai
dengan adanya kompleks QRS yang bervariasi (berubah) dan menunjukkan
adanya urutan depolarisasi yang berubah dari beberapa tempat. Biasanya VT jenis
ini berkaitan dengan jaringan parut (scar tissue) akibat infark miokard (ischemic
VT). Bila VT berlangsung lebih dari 30 detik disebut sustained dan sebaliknya
bila kurang dari 30 detik disebut non-sustained.
Berdasarkan etiologi VT dikelompokkan menjadi:
VT idiopatik (idiopathic VT)
- VT idiopatik alur keluar ventrikel kanan (right ventricular outflow
tract VT=RVOT VTt)
- VT idiopatik ventrikel kiri (idiopathic left ventricular VT)
VT pada kardiomiopati dilatasi non-iskemia
- Bundle Branch Reentrant VT
- Arrythmogenic Right Ventricular Dysplasia(ARVD)
VT iskemia (ischemic VT)
a) Monoformik VT
4
b) Poliformik VT
Gambar 2. Monomorfik VT dan polimorfik VT
2.1.3 Patofisiologi
Secara umum terdapat tiga mekanisme terjadinya aritmia, termasuk aritmia
ventrikel, yaitu automaticity, reentrant, dan triggered activity.
Automaticity terjadi karena adanya percepatan aktivitas fase 4 dari
potensial aksi jantung. Aritmia ventrikel karena gangguan automaticity biasanya
tercetus pada keadaan akut dan kritis seperti infark miokard akut, gangguan
elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan tonus adrenergik yang
meninggi. Oleh karena itu, bila berhadapan dengan aritmia ventrikel karena
gangguan automaticity, perlu dikoreksi faktor penyebab yang mendasarinya.
Aritmia ventrikel yang terjadi pada keadaaan akut tidaklah memiliki aspek
prognostik jangka panjang yang penting.
Mekanisme aritmia ventrikel yang tersering adalah reentry dan biasanya
disebabkan oleh kelainan kronis seperti infark miokard lama atau kardiomiopati
dilatasi (dilated cardiomyopathy). Jaringan parut (scar tissue) yang terbentuk
akibat infark miokard yang berbatasan dengan jaringan sehat menjadi keadaan
yang ideal untuk terbentuknya sirkuit reentry. Bila sirkuit ini telah terbentuk maka
aritmia ventrikel reentrant dapat timbul setiap saat dan menyebabkan kematian
mendadak.
Triggered activity memiliki gambaran campuran dari kedua mekanisme di
atas. Mekanismenya adalah adanya kebocoran ion positif ke dalam sel sehingga
terjadi lonjakan potensial pada akhir fase 3 atau awal fase 4 dari aksi potensial
5
jantung. Bila lonjakan ini cukup bermakna maka akan tercetus aksi potensial baru.
Keadaan ini disebut after depolarization.
Gambar 3. Patofisiologi VT
2.1.4 Diagnosis Takikardi Ventrikel
Diagnosis takikardi didasarkan pada gambaran berikut ini.
a. Durasi dan morfologi kompleks QRS
Pada VT urutan aktivasi tidak mengikuti arah konduksi normal
(terganggu) sehingga bentuk kompleks QRS akan kacau dan durasi
kompleks QRS menjadi panjang (biasanya lebih dari 0.12 detik). Pedoman
umum yang berlaku adalah semakin lebar kompleks QRS semakin besar
kemungkinannya adalah suatu VT , khususnya bila lebih dari 0.16 detik.
Pengecualian adalah VT yang bersasal dari fasikel posterior berkas cabang
kiri (idiopathic left ventrikular tachycardia) yang memiliki kompleks
QRS kurang dari 0.12 detik karena pada VT jenis ini lokasi reentry dekat
dengan septum interventrikel seperti konduksi normal.
Morfologi kompleks QRS bergantung pada asal fokus VT. Bila
berasal dari ventrikel kanan akan memberikan gambaran morfologi blok
berkas cabang kiri (left bundle branch block morphology) dan jika berasal
6
dari ventrikel kiri akan menunjukkan gambaran blok berkas cabang kanan
(right bundle branch block morphology). Kalau morfologi QRS adalah
RBBB maka takikardia adalah VT jika morfologi kompleks qrs adalah
monoformik atau bifasik (QR atau RS). Jika morfologi qrs adalah LBBB
maka akan menguatkan diagnosis VT jika adanya takik (notching)
gelombang S atau nadir S yang lambat (>70milidetik).
b. Laju dan irama
Laju (rate) VT berkisar antara 120-300 kali per menit dengan
irama yang teratur atau hampir teratur (variasi antar denyut adalah <0.04
detik). Jika takikardi disertai irama yang tidak teratur (irregular) maka
harus dipikirkan adanya AF dengan konduksi aberan atau preeksitasi.
c. Aksis kompleks QRS
Aksis kompleks QRS tidak hanya penting untuk diagnosis tapi juga
untuk menentukan asal fokus. Adanya perubahan aksis lebih dari dari 40
derajat baik ke kiri maupun ke kanan umumnya adalah VT. Kompleks
QRS pada sandapan aVR berada pada posisi -210 derajat dengan
kompleks QRS negatif. Bila kompleks QRS berubah menjadi positif pada
saat takikardi sangat menyokong adanya VT yang berasal dari apeks
mengarah ke bagian basal ventrikel. Aksis ke superior pada takikardi QRS
lebar dengan morfologi RBBB sangat menyokong ke arah VT. Adanya
takikardia QRS lebar dengan aksis inferior dan morfologi LBBB
mendukung adanya VT yang berasal dari right ventrikular outflow tract.
d. Dissosiasi antara atrium dan ventrikel (atrio-ventriculardissociation)
Pada VT nodus sinus terus memberikan impuls secara bebas tanpa
ada hubungan dengan aktivitas ventrikel (atrium dikontrol oleh nodus
sinus dan ventrikel dikontrol oleh fokus takikardia denga laju lebih cepat)
sehingga gelombang P yang muncul tidak berkaitan denga kompleks QRS
(dikenal denganAVdissociation). Adnya disossiasi AV sangat khas untuk
7
VT walaupun adanya asosisasi (hubungan) AV belum dapat
menyingkirikan VT . Secara klinis dissosiasi AV dapat dikenal dengan
adnya variasi bunyi jantung satu dan varisasi tekan darah sistolik.
e. Capture beat dan fusion beat
Kadang–kadang saat berlangsungnya VT, impuls dari atrium dapat
mendepolarisasi ventrikel melalui sisterm konduksi normal sehingga
memunculkan kompleks QRS yang lebih awal dengan ukuran normal
(sempit). Keadaan ini disebut capture beat. Fusion beat terjadi bila impuls
dari nodus sinus dihantarkan ke ventrkel melalui nodus atrioventrikel
(nodus AV) dan bergabung dengan impuls dari ventrikel. Jadi ventrikel
sebagian didepolarisasi dari nodus sinus dan sebagian dari ventrikel
sehingga kompleks QRS berbentuk antara kompleks normal dan VT.
Capture dan fusion beat jarang ditemukan dan sangat khas untuk VT
walaupun tidak adanya mereka bukan berarti VT dapat disingkirkan.
a) Capture beat
b) Fusion beat
Gambar 4. Capture beat dan fusion beat
f. Konfigurasi kompleks QRS
Adanya concordance (kesesuaian) dari kompleks QRS pada
sandapan dada sangat menyokong diagnosis VT. Kesesuiaan positif
8
(positive concordance) kompleks QRS pada sandapan dada dominan
positif menunjukkan asal fokus takikardi dari dinding posterior ventrikel.
Kesesuaian negatif (negative concordance) kompleks QRS pada sandapan
dada dominan negatif menunjukan asal fokus dari dinding anterior
ventrikel.
Kriteria untuk diagnosis VT yang telah dibahas tadi, tidak selalu
didapatkan dan tidak jarang hanya satu atau dua kriteria saja yang
ditemukan.
Selain rekaman EKG, anamnesis, pemeriksaan fisik, data
penunjang lainnya (foto toraks, dan ekokardiografi) dapat membantu. Pada
pasien yang pernah mengalami infark miokard dengan gannguan fungsi
ventrikel misalnya, maka diagnosis VT lebih diutamakan bila pasien
tersebut mendapat takikardi dengan kompleks QRS lebar. Penting diingat
untuk selalu membuat EKG lengkap 12 sandapan saat dan sesudah
takikardi.
Gambar 5. A menunjukkan kesesuaian negatif (negative concordance) dan
B menunjukkan kesesuaian positif (positive concordance)
2.1.5 Diagnosis banding
9
Tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah VT meskipun
70% takikardi jenis ini adalah VT. Takikardi dengan kompleks QRS lebar bisa
terjadi pada:
a. Takikardi supraventrikel (SVT) dengan konduksi aberan
Pada keadaan SVT biasa maka konduksi adari atrium ke ventrikel
melaui jalur jalur konduksi normal sehinggga kompleks QRS akan
normal.namun secara fisiologis dapat terjadi hambatan (blok) pada salah
satu berkas cabang (kiri atau kanan) karena adanya perbedaan masa
refrakter di antara keduanya. Keadaan ini disebut konduksi aberan
(aberrant coinduction). Karena adanya hambatan berkas cabang maka
kompleks QRS akan lebar seperti keadaan LBBB atau RBBB biasa.
b. Takikardi supraventrikel (SVT) dengan konduksi melalui jaras
tambahan (accesory pathway)
Bila terdapat jaras tambahan yang memintas jalur konduksi normal
dari atrium ke ventrikel, maka pada saat takikardi supraventrikel (SVT)
ventrikel diaktivasi tidak melalui jalur konduksi normal sehingga ventrikel
mengalami inaktivasi dini (preeksitasi). Akibatnya kompleks QRS akan
terlihat lebar.
c. Takikardi supraventrikel (SVT) pada keadaan hambatan berkas
cabang yang sudah ada
Bila pada keadaan irama sinus sudah terdapat gambartan hambatan
berkas cabang (kiri atau kanan) maka saat timbul SVT kompleks QRS
akan terlihat lebar seperti pada keadaan sinus. Oleh karena itu sangat
penting untuk membandingkan EKG sebelum dengan pada saat takikardia.
2.1.6 Kepentingan Klinis Takikardi Ventrikel
a. Takikardia Ventrikel Idiopatik
10
Dijumpai pada pasien dengan jantung normal (tidak ada kelainan
struktur). Umumnya VT tidak berbahaya, tidak mengganggu hemodinamik, dan
tidak menyebabkan kematian mendadak (sudden cardiac death). Namun bila
timbul VT denga laju yang cepat dapat menyebabkan sinkop. Karena disebabakan
oleh fokus ektopik yang terbatas pada satu lokasi maka umumnya sangat mudah
dihilangkan dengan cara ablasi kateter.
b. VT idiopatik alur keluar ventrikel kanan (right ventricular outflow
tract VT)
Berasal dari RVOT dan jenis VT ini merupakan 90% dari VT
idiopatik.pasien umumnya adalah perempuan muda. VT dapat dapat dicetuskan
oleh ketegangan, emosidan aktivitas fisik. Manifestasi klinis jenis ini dapat berupa
VT yang dicetuskan oleh latihan (exercise-induced VT) atau VT monoformik yang
berulang (repetitive monophormic VT) yang timbul saat istirahat. Pada beberapa
pasien kerap dijumpai dalam bentuk premature ventricular contraction (PVC)
bigemini atau VTnon-sustained yang simpatomatik dan mengganggu.
Pemeriksaan ekokardiografi dan angiografi koroner biasanya normal.
Gambaran ekokardiogram (EKG) menunjukkan suatu takikardi dengan
kompleks QRS lebar, morfologi kompleks QRS left bunddle branch block
(LBBB) pada sandapan V1, dengan aksis kompleks QRS ke arah inferior (right
axis deviation) atau normal.
Umumnya VT jenis ini disebabkan oleh proses otomatisasi, triggered
activity, dan takikardi dengan perantaraan siklik-AMP yang dirangsang oleh
sistem saraf adrenergik dan sensitif terhadap peningkatan kalsium intrasel. Oleh
karena itu dapat diberikan pengobatan dengan obat penyekat kalsium (calsium
channel blocker) seperti verapamil. Sedangkan pada VT jenis lain obat ini adalah
kontraindikasi. Karena salah satu VT jenis ini dicetuskan oleh latihan (exercise
induced) maka obat penyekat beta (beta blocker) juga efektif. Dapat diberikan
metoprolol sampai dosis optimal 2x100 mg per hari. Bila pasien tetap bergejala
maka dapat diberikan terapi definitif dengan ablasi kateter.
11
Diagnosis banding VT tipe ini adalah jenis VT lainnya. Hanya saja perlu
diperhatikan jenis VT yang paling mirip denganVT ini yaitu Arrhythmogenic
Right Ventricular Dysplasia (ARVD). Perbedaannya adalah pada ARVD
didapatkan adanya infiltrasi lemak pada ventrikel kanan (terdapat kelainan
struktural).
c. VT idiopatik dari ventrikel kiri (Idiopathic Left Ventrikular
Tachycardia =ILVT)
Istilah lain untuk VT jenis ini adalah takikardi fasikular karena adanya
proses reentry pada fasikel posterior dan anterior sebagai penyebab takikardi. Ada
tiga subkelompok pada VT ini, yaitu kelompok yang sensitf terhadap verapamil
(verapamil sensitive), sensitif terhadap adenosine (adenosine sensitive) dan
sensitif terhadap propanolol (propanolol sensitive). Yang terbanyak adalah
kelompok sensitif terhadap verapamil. VT jenis ini umunya diderita oleh pria usia
muda. Pada rekaman EKG permukaan terlihat takikardi dengan morfologi
kompleks QRS berbentuk blok berkas cabang kanan (RBBB), dengan aksis
superior. Kompleks QRS tidak begitu lebar karena fokus takikardi dekat dengan
septum (lokasi jaringan konduksi normal). Takikardi ini sering dikelirukan dengan
SVT karena kompleks QRS tidak terlalu lebar dan sensitif terhadap verapamil
sehingga dapat diterminasi dengan verapamil serperti umumnya SVT.
Pada pasien yang simptomatik dapat diberikan terapi obat-obatan. Bila
gagala dapat dilakukan eliminasi dengan ablasi kateter dengan angka keberhasilan
rata-raat 87%. Ablasi kateter juga diindikasikan pada pasien yang tidak ingin
minum obat dalam jangka waktu lama.
d. Takikardi ventrikel pada kardiomiopati dilatasi non-iskemia
e. Bundle Branch Reentrant Ventricular Tachycardia
VT jenis ini ditemukan sekitar 40% pada pasien kardiomiopati dilatasi
idiopatik (non-iskemia) dan 6% dari seluruh jenis VT yang dirujuk ke
laboratorium elektrofioslogi. Secara klinis VT jenis ini bersifat berbahaya
sehingga menyebabkan sinkop atau henti jantung. Pada EKG biasanya ditandai
12
oleh kompleks QRS dengan morfologi blok berkas cabang kiri (LBBB). Takikardi
dapat dihilangkan dengan melakukan ablasi kateter pada berkas cabang kanan tapi
kesintasan pasien menurun karena adanya disfungsi ventrikel kiri sebagai
penyerta.
f. Arrythmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD)
Kelainan ini sangat jarang,biasanya didertita oleh kelompok usia muda,
dimana terdapat infiltrasi lemak dan jaringan parut pada miokard ventrikel kanan.
Karakteristik VT adalh kompleks QRS dengan morfologi blok berkas cabang kiri
(LBBB). Tatalaksana VT jenis ini hampir sama dengan VT iskemia dengan peran
ICD (Implantable Cardioverter Defibrillator) yang efektif utnuk mencegah
kematian jantung mendadak (sudden cardiac death). Terapi pembedahan dengan
mengisolasi daerah yang displastik ternyata tidak efektif karena timbulnya gagal
jantung kanan.
g. Takikardi Ventrikel Iskemia
VT iskemia disebabkan oleh penyakit jantung koroner seperti infark
miokard akut. Secara prognostik VT jenis ini sangat penting karena dapat
menyebabkan kematian jantung mendadak. VT iskemia terjadi karena adanya
jaringan parut di sekitar jaringan sehat. Secara umum, semakin luas jaringan
infark semakin besar peluang terjadinya reentry. VT iskemia cenderung bersifat
fatal karena dapat bedegenerasi menjadi fibrilasi venrtrikel dan kematian
mendadak. Prediktor kematian jantung mendadak adalah adanya riwayat serangan
jantung sebelumnya, penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi <40%), dan
adanya premature ventricular contraction yang sering.
Terapi VT iskemia pada umunya adalah dengan obat-obatan. Sedangkan
ablasi kateter pada VT iskemia belum memberikan hasil yang memadai.
13
2.1.7 Tatalaksana Umum
Gambar 6. Algoritma Takikardia (dikutip dari Circulation. 2010;122[suppl
3]:S729 –S767)
a. Tatalaksana pada Keadaan Akut
Bila keadaan hemodinamik stabil, terminasi VT dilakukan dengan
pemberian obat-obatan secara intravena seperti amiodaron, lidokaine,dan
prokainamid. Dua obat yang pertama tersedia di Indonesia. Amiodaron dan
prokainamid lebih unggul dibanding lidokain.
Amiodaron dapat diberikan dengan dosis pembebanan (loading dose)
15mg/menit diberikan dalam 10 menit dan diikuti dengan infus kontinu
1mg/menit selama 6 jam, dan dosis pemeliharaan 0.5 mg/menit dalam 18 jam
berikutnya. Bila gagal dengan obat, dilakukan kardioversi elektrik yang dapat
dimulai denga energi rendah (10 joule dan 50 joule).
14
Dalam tatalaksana akut perlu dicari faktor penyebab yang dikorekasi
seperti iskemia, gangguan elektrolit, hipotensi dan asidosis. Bila keadaan
hemodinamik tidak stabil (hipotensi,syok, angina,gagal jantung dan gejala
hipoperfusi otak) maka pilihan pertama adalah kardioversi elektrik.
b. Tatalaksana Jangka Panjang
Tujuan terapi jangka panjang adalah mencegah kematian mendadak. Pada
pasien dengan VT non-sustained dan bergejala dapat diberikan obat penyekat
beta. Bila tidak efektif dapat diberikan sotalol atau amiodaron. Pada pasien
dengan riwayat miokard infark akut dan penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi <35%) terdapat VT yang dapat dicetuskan dan tidak dapat dihilangkan
dengan obat, maka ICD lebih lebih unggul dalam menurunkan mortalitas (The
Multicenter Automatic Defibrillator Trial = MADIT). Untuk pencegahan
sekunder kematian mendadak (pasien yang berhasil diselamatkan dari aritmia
fatal) pada pasien pasca infark miokard dengan penurunan fungsi ventrikel kiri,
ICD telah terbukti lebih unggul daripada amiodaron.
2.2 Gagal Jantung Kongestif
2.2.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang diinisiasi karena adanya
abnormalitas jantung1 akibat kelainan struktur atau fungsi2, dimana jantung tidak
mampu memompakan darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih normal. Dikatakan gagal jantung
kongestif adalah apabila gagal jantung kiri dan kanan terjadi pada saat yang
sama3.
2.2.2 Epidemiologi
Gagal jantung adalah penyakit kardiovaskular yang paling cepat
berkembang, dimana mengenai 2-3% dari seluruh populasi. Prevalensinya
meningkat sesuai dengan usia, menyerang antara 10-20% dari populasi usia 70
15
tahun keatas4. Penderita yang telah mengalami gagal jantung tetap bertahan hidup
sampai beberapa tahun dengan pengobatan yang baik. Penelitian Framingham
menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% pada wanita3,5.
2.2.3 Klasifikasi
Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan
gagal jantung, yaitu; gagal jantung akut-kronik, curah tinggi-curah rendah,
forward-backward, kanan-kiri, sistolik-diastolik. `
Tabel 2.1 Pengertian Berbagai Terminologi Klasifikasi Gagal Jantung1
Terminologi Pengertian
Akut-kronik Klasifikasi klinis berdasarkan gejala dan kecepatan onset
Curah tinggi-curah
rendah
Klasifikasi patofisiologi berdasarkan keadaan dimana
kebutuhan metabolik tubuh terhadap sirkulasi meningkat
dengan fungsi jantung yang normal (curah tinggi) atau
keadaan dimana terjadi penurunan fungsi jantung sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan sirkulasi metabolik
normal
Forward-
backward
Klasifikasi klinis berdasarkan menurunnya curah jantung
(forward), seperti hipotensi dan perfusi perifer yang sedikit
atau kemampuan jantung memompakan darah hanya terjadi
dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi, akibat
kongesti sistemik dan vena pumonal.
Kanan-kiri Klasifikasi klinis yang menunjukkan bagian jantung sebagai
penyebab yang spesifik, seperti ketidaknyamanan abdomen,
edema perifer (kanan), dispnea, hipotensi, dan perfusi
perifer yang sedikit (kiri)
Sistolik-diastolik Klasifikasi patofisiologi berdasarkan abnormalitas primer
jantung yaitu penurunan kontraktilitas ventrikel (sistolik)
atau gangguan relaksasi ventrikel (diastolik)
16
2.2.4 Etiologi
Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan gagal jantung adalah sebagai
berikut. (Tabel 2.2)
Tabel 2.2. Klasifikasi Umum Penyebab Gagal Jantung1
Penyakit Jantung Koroner Aritmia dan Gangguan Konduksi
Jantung
Takiaritmia
Bradiaritmia
Gangguan Konduksi Intraventrikular
Penyakit Miokardial Intrinsik
Dilated cardiomyopathy
Hypertrophic cardiomyopathy
Restrictive cardiomyopathy
Curah Jantung Tinggi
Anemia
Tirotoksikosis
Kehamilan
Arteriovenous fistula
Sirosis hati
Paget’s disease
Renal cell carcinoma
Penyakit Jantung Katup
Congenital
Age-related/calcific
Infective endocarditis
Immunological (e.g., rheumatic fever)
Collagen disease (e.g., Marfan’s
syndrome)
Neoplastic (metastases, carcinoid
syndrome)
Penyakit Perikardium
Constrictive pericarditis
Pericardial effusion with tamponade
Penyakit Jantung Bawaan
Hipertensi
Sistemik
Pulmonal
17
Sementara itu, ada beberapa keadaan yang dapat menjadi faktor-faktor
presipitasi terjadinya gagal jantung, sebagaimana tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.3. Faktor yang Dapat Memperberat Gejala-gejala Gagal Jantung6
Peningkatan Kebutuhan Metabolik
Demam
Infeksi
Anemia
Takikardia
Hipertiroidisme
Kehamilan
Peningkatan Volume Sirkulasi (Preload Bertambah)
Konsumsi garam berlebihan
Kelebihan masukan cairan
Gagal ginjal.
Kondisi-kondisi yang Meningkatkan Afterload
Hipertensi tidak terkontrol
Emboli paru (menambah afterload ventrikel kanan)
Kondisi-kondisi yang Mengganggu Kontraktilitas
Obat-obat inotropik negatif
Iskemia miokardial atau infark
Masukan etanol berlebihan.
Kegagalan memperoleh Pengobatan Gagal Jantung
Detak Jantung yang Seering Lambat
2.2.5 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks7.
18
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga7.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal7.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung7.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel
pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal
jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker
19
diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita
gagal jantung7.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia7.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi
endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.
Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1
antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya
remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin7.
20
21
Gambar 7. Patofisiologi Gagal Jantung
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang
timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri7.
2.2.6 Gejala dan Manifestasi Klinis
Gejala-gejala dan manifestasi klinis yang timbul pada gagal jantung dapat
berbeda tergantung dari penyebab primernya, apakah gagal jantung kanan ataupun
kiri walaupun hal ini masih kontroversi, karena tidak cukup spesifik. Pada gagal
jantung kiri, gejalanya dapat berupa dispnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea (PND), dan fatigue. Kemudian pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai
diaforesis, takikardia, takipnea, pulmonary rales, P2 mengeras, S3 gallop
(disfungsi sistolik), dan S4 (disfungsi diastolik). Sedangkan pada gagal jantung
kanan, gejalanya yaitu edema perifer, rasa tidak nyaman pada abdomen region
kuadran kanan atas (akibat pembesaran hepar). Pada pemeriksaan klinisnya dapat
ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, dan edema perifer.
Gejala-gejala gagal jantung biasanya diklasifikasikan menurut derajat
kriteria berdasarkan New York Heart Association (NYHA) yang dikenal dengan
kelas fungsional (functional class/fc). Derajat functional class seorang pasien
dapat berubah-ubah sewaktu-waktu6.
22
Tabel 2.4. Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan New York Heart
Association6
Kelas Definisi
I Tidak ada batasan aktivitas fisik
II Batasan aktifitas meningkat. Dispnea dan fatigue dirasakan dengan
aktifitas sedang (contoh: menaiki tangga dengan cepat)
III Aktifitas mulai terbatas. Dispnea dan fatigue dirasakan dengan aktifitas
minimal (contoh: menaiki tangga dengan berjalan lambat)
IV Aktifitas sangat terbatas. Gejala muncul dalam keadaan istirahat
Sedangkan ACC/AHA (American Heart Association) membuat sistem
klasifikasi penyakit gagal jantung kedalam 4 stadium:
Stadium I, yaitu kelompok pasien yang beresiko tinggi mengalami gagal
jantung yaitu penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes.
Stadium II, pasien dengan penyakit jantung struktural tanpa simptom.
Dengan keadaan pernah mengalami infark miokard, hipertrofi ventrikel kiri,
disfungsi sistolik ventrikel kiri yang asimptomatis.
Stadium III, pasien dengan penyakit jantung struktural dan menunjukan
adanya gejala gagal jantung seperti disfungsi sistolik ventrikel kiri, dispnea,
kelelahan, retensi cairan atau gejala gagal jantung lainnya.
Stadium IV, pasien dengan simptom gagal jantung meski telah mendapatkan
terapi yang maksimal. Pasien umumnya harus menjalani rawat inap secara
berulang6.
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto toraks, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, angiografi dan tes fungsi paru.
23
a. Foto Toraks
Pada pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan adanya pembesaran
siluet jantung (Cardio Thoraxic Ratio > 50%), gambaran kongesti vena
pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena
pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada
fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila
tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada
lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru bermakna. Dapat
pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang
lebih banyak terkena adalah bagian kanan7.
b. Elektrokardiografi (EKG)
Pada EKG didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh
penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara
lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri,
bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto
toraks keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan
gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil
kemungkinannya7.
c. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat
berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan
gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita
yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah: semua pasien dengan
tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta
penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard
anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
24
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,
mengetahui adanya gangguan katup, besarnya ejection fraction (EF),
serta mengetahui risiko emboli7.
d. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia
sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya
penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat
berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul
hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan
adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu
dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan
serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme
inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat
terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik
tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia
timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal,
penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal
jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid,
albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung
dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah
300 pg/ml7.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis
gagal jantung kongestif2.
a. Kriteria Mayor
Paroksismal nokturnal dispnea
Distensi vena leher
25
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
b. Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 x/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor2.
2.2.8 Penatalaksanaan
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek,
yaitu: 1) mengurangi beban kerja, 2) memperkuat kontraktilitas miokard, 3)
mengurangi kelebihan cairan dan garam, 4) melakukan tindakan dan pengobatan
khusus terhadap penyebab, faktor-faktor pencetus dan kelainan yang mendasari3.
a. Tindakan umum
Aktivitas dibatasi sesuai dengan beratnya keluhan (kelas fungsional) 3.
b. Pengobatan:
Mengurangi Beban jantung dan Kelebihan Cairan
Obat yang digunakan untuk mengatasi retensi dan kelebihan
cairan adalah diuretika. Bila gagal jantung dan beban cairan ringan,
biasanya cukup dengan membatasi asupan cairan dan diuretika oral.
Diuretik yang biasa digunakan adalah dari golongan thiazid dan loop
26
diuretic. Diuretik potassium sparring seperti spironolakton kurang
efektif dibandingkan dengan diuretik lainnya, namun bisa memperkuat
kerja diuretik lain tersebut3.
Obat lain yang mengurangi beban awal dan beban akhir adalah
vasodilator, dalam hal ini yang paling banyak dipakai adalah nitrat
(nitrogliserin, dll). Efek utama nitrat adalah dilatasi pembuluh darah,
sehingga menyebabkan preload berkurang dan tekanan pembuluh paru
serta tekanan pengisian ventrikel kiri menurun. Selain itu, ia juga
mengurangi tahanan yang harus diatasi oleh pompa jantung. Yang
banyak dipakai sekarang ini baik pada serangan akut maupun kronik
adalah ACE-Inhibitor, nitrat long acting, prazosis, dan hidralazin3.
Memperkuat Kontraktilitas Miokard
Penurunan kontraktilitas atau disfungsi sistolik sering
disebabkan oleh penyakit jantung iskemik atau koroner terutama
penderita dengan infark miokard yang luas. Juga pada kardiomiopati
dilatasi dan miokarditis, dan pada stadium lanjut kelainan dengan
kelebihan beban volume akibat regurgitasi3.
Obat-obat yang dipergunakan untuk memprkuat kontraktilitas
(inotropik) adalah preparat digitalis, simpatomimetik seperti dopamin
dan dobutamin, dan golongan inotropik lain seperti amrinon.
Penggunaan digitalis terutama untuk memperbaiki curah jantung pada
keadaan curah jantung rendah dan pada gagal jantung dengan
takiaitmia supraventrikel (fibrilasi atrium, dll). Dopamin terutama
bermanfaat pada gagal jantung dengan hipotensi dimana efek
vasokonstriksi perifer diharapkan akan membantu sirkulasi.
Dobutamin bisa bermanfaat pada gagal jantung berat dengan tekanan
pembuluh dan paru yang tinggi namun tekanan sistemik dalam batas
normal3.
Amrinon menyebabkan penurunan tekanan pengisian ventrikel
kiri dan kanan dan meningkatkan curah jantung. Efeknya sama dengan
27
kombinasi dopamin dan dobutamin, bermanfaat pada gagal jantung
yang sudah refrakter dengan pengobatan digoksin, diuretik dan
vasodilator3.
Rekomendasi saat ini untuk gagal jantung kelas II dan III
meliputi3:
Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80
mg).
Digitalis (digoksin) pada penderita dengan fibrilasi atrium
maupun irama sinus.
ACE-Inhibitor (captopril 25-75 mg atau enalapril 5 mg sampai
maksimal 20 mg sehari, atau dosis setara dengan ACE-I yang
lainnya).
ISDN pada penderita dengan kemampuan aktifitas yang
terganggu atau adanya iskemia yang menetap. ISDN diberikan
bertahap dimulai dosis kecil 10-15 mg 3 kali sehari, dengan
masa istirahat 8 jam sehari untuk mengurangi efek toleransi.
Semua obat-obat ini haruslah dititrasi secara bertahap.
c. Tindakan khusus
Tindakan khusus terutama ditujukan pada kelainan yang
mendasari gagal jantung. Pada gangguan mekanis akibat stenosis
katup, valvuloplasti balon atau pembedahan perlu dilakukan bila
keadaan memungkinkan. Angiografi koroner perlu dilakukan pada
penderita yang diduga menderita penyakit jantung koroner3.
Pada waktu perawatan gagal jantung berat, penatalaksanaan
akan lebih terarah apabila dalam dilakukan pemantauan hemodinamik
terutama tekanan vena sentral dan tekanan pembuluh baju paru3.
2.2.9 Prognosis
28
Laju mortalitas setelah 5 tahun terdiagnosis adalah berkisar antara 45-
60%, dimana laki-laki lebih buruk dibandingkan perempuan. Pasien-pasien
dengan gejala yang berat (NYHA fc III atau IV) memiliki 1-year survival rate
berkisar 40%6.
2.3 Penyakit Jantung Koroner
2.3.1 Definisi
Menurut WHO, penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit pembuluh
darah yang menyuplai otot jantung. Penyakit jantung koroner sering disebut
sebagaipenyakit jantung iskemik atau penyakit arteria koronaria. Burns dan
Kumar (2003) mengatakan bahwa PJK merupakan sekelompok sindrom yang
berkaitan erat yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokardium dan aliran darah ke miokardium.Penyakit Jantung Koroner adalah
penyakit arteri koroner ditandai dengan adanya endapan lemak yang berkumpul di
dalam sel yang melapisi dinding suatu arteri koroner dan menyumbat aliran darah.
2.3.2 Epidemiologi
Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRTN) dalam 10
tahun terakhir angka penderita penyakit jantung koroner mengalami peningkatan.
Pada tahun 1991, angka kematian akibat penyakit jantung koroner adalah sekitar
16 %. Pada tahun 2001, angka kematian meningkat menjadi 26,4 %. Angka
kematian akibat penyakit jantung koroner diperkirakan mencapai 53,5 per
100.000 penduduk di negara Indonesia.
2.3.3 Etiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan sindrom manifestasi klinis dari
penyakit jantung koroner adalah penurunan aliran darah ke arteri koroner yang
salah satu penyebabnya adalah Aterosklerosis, dimana akibat kerusakan arteri
koroner, suplai darah untuk kebutuhan jantung tidak terpenuhi, sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke miokardium dan kebutuhan oksigen.
29
Akibat proses Aterosklerosis yang berlangsung terus-menerus, terjadi sumbatan
total arteri koroner oleh trombus, sehingga terjadi iskemia dan infark miokardium.
2.3.4 Proses Aterosklerosis
Atheroma (berasal dari kata Yunani untuk gruel, yaitu sejenis makanan
terbuat dari gandum) atau plak ateromatosa terdiri atas lesi fokal meninggi yang
berawal di dalam intima, memiliki inti lemak (terutama kolesterol dan ester
kolesterol) yang lunak, kuning, dan grumosa serta dilapisi oleh selaput fibrosa
putih yang padat.
Oleh sebab itu formasi atheroma merupakan proses kunci dari
aterosklerosis. Aterosklerosis (WHO) adalah perubahan variabel intima arteri
yang merupakan akumulasi fokal lemak, kompleks karbohidrat, darah dan hasil
produk, jaringan fibrous, dan deposit kalsium yang kemudian diikuti dengan
perubahan lapisan media, yang menonjol kedalam dan menyumbat lumen
pembuluh.
Faktor risiko terjadinya progresivitas Aterosklerosis antara lain:
Umur
Jenis kelamin (pria lebih seing terkena, akibat penelitian yang
menunjukkan estrogen merupakan faktor protektif terhadap wanita)
Riwayat keluarga, apakah ada riwayat gangguan pada metabolisme lipid,
riwayat keluarga, apakah ada anggota keluarga dekat yang menderita
hipertensi dan diabetes.
Merokok
Hiperlipidemia
Hipertensi
Diabetes melitus yang merangsang hiperkolesterolemia.
2.3.5 Patogenesis Aterosklerosis
Pada pembuluh darah terjadi kerusakan endotel yang berlangsung
progresif, ditambah adanya faktor resiko. Hal ini menyebabkan disfungsi endotel
sehingga permeabilitas endotel meningkat dan leukosit mudah menempel pada
30
endotel yang rusak. Penimbunan lipoprotein terutama LDL dan struktur
teroksidasinya di pembuluh darah. LDL masuk ke tunika intima melalui
endotelium yang rusak. LDL yang teroksidasi dan melekat pada tunika intima
berubah menjadi lipid proinflamatori, sehingga menarik monosit dan limfosit T
melewati endotelium. Monosit berubah menjadi makrofag dan mendeposit banyak
LDL menjadi sel busa (foam cells). Foam cells akan mengeluarkan toksin untuk
mengaktivasi inflamasi dan respon imun. Selanjutnya, akumulasi lipid yang
mengandung makrofag merangsang pembentukan fatty streak sehingga
menghasilkan lebih banyak toksin oksigen radikal yang akan menyebabkan
respon imunologik dan respon inflamatori lebih parah. Hal ini akan menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh yang lebih berat. Pada akhirnya timbul atheroma
(fibrous plaque) yang terdiri dari lemak, jaringan fibrosa, kolagen, kalsium, debris
seluler, dan kapiler. Proses ini disebabkan proliferasi sel otot polos yang
menghasilkan kolagen dan bermigrasi ke fatty streak. Proses ini diperantarai oleh
berbagai Tumor growth factor. Atheroma kemudian berkalsifikasi dan menonjol
ke permukaan dalam pembuluh darah dan mengganggu perjalanan darah ke
jaringan, terutama ketika latihan. Inilah yang menyebabkan munculnya symptom
angina. Bila terbentuk trombus terus-menerus, akan memblok aliran darah. Bila
terjadi di arteri koroner, akan menyebabkan iskemia dan infark.
31
Gambar 8. Formasi atheroma dalam proses Aterosklerosis serta manifestasinya
dalam pembuluh darah
(dikutip dari Buku Ajar Patologi. 2007:369-378)
2.3.6 Faktor Risiko
Menurut American College of Cardiology (1996) dalam Krummel (2004),
terdapat 4 kategori faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular.
Faktor risiko kategori 1 adalah faktor risiko di mana intervensi telah
terbukti menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Adapun yang termasuk
dalam faktor risiko kategori 1, yaitu merokok (cigarette smoking), kolesterol
LDL, diet tinggi lemak atau kolesterol, hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri.
Faktor risiko kategori 2 adalah faktor risiko di mana intervensi sepertinya
menurunkan insiden penyakit kardiovaskular. Adapun yang termasuk dalam
faktor risiko kategori 2, yaitu diabetes mellitus, inaktivitas fisik, ko lesterol HDL,
trigliserida, obesitas, dan status menopause wanita (Krummel, 2004).
Faktor risiko kategori 3 adalah faktor risiko yang berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, di mana jika dimodifikasi, mungkin
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Adapun yang termasuk dalam faktor
32
risiko kategori 3, yaitu faktor psikososial, lipoprotein (a), homosistein, stres
oksidatif, dan konsumsi alkohol (Krummel, 2004).
Faktor risiko kategori 4 adalah faktor risiko yang berhubungan dengan
risiko penyakit kardiovaskular yang tidak dapat dimodifikasi, atau jika
dimodifikasi, sepertinya tidak menurunkan risiko. Adapun yang termasuk dalam
faktor risiko kategori 4, yaitu umur, jenis kelamin pria, status sosioekonomi yang
rendah, riwayat penyakit kardiovaskular dini pada keluarga (Krummel, 2004)
2.3.7 Klasifikasi
Bergantung pada kecepatan dan keparahan iskemia yang disebabkan
penyempitan arteria koronaria dan respons miokardium, penyakit jantung koroner
dapat dibedakan berdasarkan sindrom koroner yang muncul, yaitu:
(1) Angina Pektoris Stabil
Angina Pektoris Stabil ditandai oleh hal berikut:
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan
penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri s/d lengan dan jari-jari bagian
ulnar, punggung/pundak kiri.
Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa
tertindih/berat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari
bawah diafagma, seperti diremas-remas. Pada keadaan yang berat
disertai keringat dingin dan sesak nafas.
Kuantitas. Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata, dari
beberapa menit sampai kurang dari 20 menit.
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh Canadian Cardiovascular
Society (CCS) sebagai berikut:
Kelas I: Aktivitas sehari –hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1- 2 lantai
dan lain–lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan
yang berat, berjalan cepat serta terburu – buru waktu kerja atau berpergian
33
Kelas II: Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya angina pectoris timbul bila
melakukan lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih
dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak.
Kelas III: Aktivitas sehari-hari nyata terbatas, angina timbul bila berjalan 1-2
blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.
Kelas IV: Angina Pektoris bias timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua
aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan berjalan.
(2) Sindrom Koroner Akut ( Acute Coronary Syndrome)
Sindrom Koroner Akut adalah spektrum kondisi klinis mulai dari angina
tak stabil sampai kepada ST-elevasi Miokardial Infark, sebagai akibat dari iskemia
miokardium13. Secara klinis, nyeri dada akut, bersifat tipikal, lebih dari 20 menit.
Tipikal yang dimaksudkan adalah rasa tidak nyaman di retrosternal, semakin
parah dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat atau nitrat. EKG dan
pengukuran enzim jantung secara kualitatif/kuantitatif merupakan media yang
digunakan sebagai kriteria dalam membedakan jenis sindrom koroner akut13.
Tabel 2.5 Perbedaan Karakteristik Sindrom Koroner Akut14
Karakteristik Unstable Angina Pektoris (UAP)
NSTEMI STEMI
Gejala tipikal Crescendo, istirahat,atau onset baru angina berat
Nteri dada berat yang memanjang, lebih berat dan radiasi lebih luas daripada angina biasa
ECG ST depressi dan/atau T wave inversi
ST depressi dan/atau T wave inversi
ST elevasi (gel Q kemudian)
Serum biomarkers Tidak Ya Ya
(Sumber: Pathophysiology of Heart Disease. 2012:174)
2.3.8 Penatalaksanaan
2.3.8.1 Penatalaksanaan Angina Pektoris Stabil
Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian dan terjardinya
serangan jantung (infark)12. Pengobatan Farmakologis yaitu:
34
Aspirin
Penyekat beta
Angiotensin Converting Enzyme, terutama bila disertai hipertensi atau
disfungsi LV
Pemakaian obat-obatan untuk penurunan LDL, pada pasien dengan
LDL>130 mg/dl (target< 100 mg/dl)
Nitrogliserin untuk mengontrol angina
Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang
Klopidogrel
Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG12.
Penatalaksanaan Unstable Angina Pektoris dan NSTEMI
Terapi UAP/ NSTEMI adalah dengan memberikan obat-obatan anti
iskmia, anti agregasi trombosit, obat antitrombin, dan juga revaskularisasi
pembuluh koroner13.
2.3.8.2 Penatalaksanaan STEMI
Sedikit perbedaan pada STEMI adalah adanya penggunaan obat
fibrinolitik14.
Komplikasi
Komplikasi MI yang dapat terjadi antara lain15:
Iskemia Rekuren
Aritmia
Aritmia cukup sering terjadi selama MI akut dan merupakan
penyebab utama mortalitas di unit gawat darurat.
Mekanisme yang mendasari aritmogenesis setelah MI adalah
sebagai berikut.
35
Tabel 2.6 Aritmia Pada MI akut15
Rhythm Cause
Sinus Bradycardia ↑vagal tone
↓SA nodal artery perfusion
Sinus Tachycardia Pain and anxiety
Heart failure
Volume depletion
Chronotropic drugs
APBs, arial fibrillation Heart failure
Atrial ischemia
VPBs, VT, VF Ventricular ischemia
Heart failure
AV block (1°,2°, 3°) IMI: ↑vagal tone and ↓AV nodal artery
flow
AMI: extensive destruction of conduction tissue
Disfungsi Miokardial
Infark Ventrikel Kanan
Komplikasi Mekanikal
Perikarditis
Tromboembolisme
Disfungsi Miokardial
Infark Ventrikel Kanan
Komplikasi Mekanikal
Perikarditis
Tromboembolisme