lapkas

download lapkas

of 8

Transcript of lapkas

Reaksi Kusta Tipe 2 Pada Penderita Kusta Tipe Multibasiler PENDAHUUAN Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat.1,2,3 Sampai saat ini kusta merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, meskipun pada pertengahan tahun 2002 Indonesia telah mencapai tahap eliminasi kusta. Hal ini disebabkan karena sampai akhir tahun 2002 masih banyak propinsi dan kabupaten yang belum mencapai eliminasi kusta yang ditargetkan pada tahun 2000. Insiden penyakit kusta di dunia diperkirakan terjadi 1 kasus per 500.000 populasi.2,3 Dalam menegakkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau Cardinal sign, yaitu: 1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa (hipopigmentasi, eritematous)2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf (sensoris, motoris, otonom) 3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit3,4

Berdasarkan Ridley dan Jopling penyakit kusta diklasifikasikan menjadi Tuberkuloid leprosy (TT), Borderline (BB) dan Lepromatous leprosy (LL). Bentuk Bordeline (BB) tersebut dapat dikatakan Borderline tuberkuloid (BT) jika cenderung ke arah Tuberkuloid leprosy (TT) dan apabila cenderung ke arah Lepromatous leprosy (LL) disebut Borderline lepromatous (BL). Bentuk Tuberkuloid leprosy (TT) menunjukkan sistem imunitas seluler yang balk dan dapat sembuh dalam waktu relatif cepat, sedangkan bentuk Lepromatous leprosy (LL) juga dapat sembuh, tetapi dalam waktu relatif lama. Selain dari tipe-tipe yang disebut di atas terdapat pula bentuk Indeterminate yaitu bentuk penyakit lepra yang paling dini. Kemungkinan bentuk ini terjadi sebelum terjadi tipe Tuberkuloid leprosy (TT), Lepromatous leprosy (LL) atau Borderline (BB).5,6 WHO (1988) mengklasifikasikan penyakit kusta sebagai berikut : Pausibasiler (PB) yang terdiri dari kusta tipe Indeterminate, Tuberculoid, dan sebagian besar Borderline Tuberculoid dengan BTA negatif, dan Multibasiler (MB) yang terdiri dari kusta tipe Lepromatous, Borderline Lepromatous, Borderline Borderline , dan sebagian Borderline Tuberculoid dengan BTA positif.4,71

Reaksi kusta merupakan suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair respons) atau reaksi antigen-antibodi (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Ditinjau dari proses terjadinya, maka reaksi kusta dibagi menjadi dua tipe, yaitu reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi kusta tipe 2 atau erythema nodosum leprosum (ENL).8 Reaksi kusta tipe 2 atau eritema nodosum leprosum adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi humoral pada penderita borderline lepromatous dan lepromatous lepromatous, dimana tubuh membentuk antibodi karena salah satu protein M. leprae tersebut bersifat antigenik. Reaksi kusta tipe 2 didasari atas sindrom kompleks imun yang meliputi antigen, antibodi dan komplemen, yang menurut Comb & Gell termasuk kedalam reaksi hipersensitif tipe III. Karena suatu rangsangan, baik yang nonspesifik (infeksi virus, stres, kehamilan) atau yang lebih spesifik (superinfeksi oleh penyakit tuberkulosis) maka terjadi infiltrasi sel Th2 yang akan menghasilkan sitokin yang menginduksi sel B menjadi sel plasma kemudian menghasilkan antibodi sehingga terbentuklah ikatan antigen M. leprae dengan antibodi di jaringan disusul aktivasi komplemen.1,8 Gambaran klinis reaksi kusta tipe 2 berupa nodul yang terasa nyeri dan lunak, berwarna merah terang yang muncul diatas kulit yang tampak normal, yang terdapat pada kulit atau jaringan subkutan di seluruh tubuh terutama wajah, lengan dan tungkai disertai dengan keluhan sistemik berupa demam, anoreksia, malaise, myalgia, leukositosis, dan anemia. Pada kasus berat dapat disertai kelainan organ misalnya mata, testis, kelenjar limfe, serta sendi.1,8,9 Penatalaksanaan reaksi bergantung pada manifestasi dan berat ringannya reaksi. Faktor pencetus harus disingkirkan dan pengobatan antikusta harus diberikan terus menerus dengan dosis penuh. Pengobatan kusta multibasiler menggunakan regimen MDT-MB yang terdisi dari rifampisin, lampren, dan dapson. Pengobatan reaksi terdiri dari prednison, lamprene pada reaksi kusta tipe 2 yang berulang, dan thalidomid, namun obat ini tidak dipergunakan dalam program WHO.1,7,8,10,11 Reaksi kusta tipe 2 berkaitan dengan tingginya respon imun humoral pada penderita MB yang telah mendapat pengobatan antikusta, biasanya pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular. Reaksi ini juga dapat timbul sebelum pengobatan.8 Berikut ini dilaporkan satu kasus reaksi kusta tipe 2 pada penderita kusta tipe multibasiler yang belum mendapatkan pengobatan.2

LAPORAN KASUS Seorang laki-laki, usia 38 tahun, datang berobat ke Poliklinik Kusta RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tanggal 21 Desember 2010 dengan keluhan timbul benjolan-benjolan lunak berwarna merah yang disertai nyeri pada daerah tangan, menyebar dengan cepat dalam 1 minggu ini. Bercak putih dan penebalan tanpa disertai rasa gatal dan nyeri dijumpai pada daerah dada dan punggung sejak 6 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan demam dan pegal-pegal pada seluruh tubuh. Pasien belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan kusta sebelumnya disangkal pasien. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang dengan status gizi baik. Tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan dalam batas normal, suhu tubuh37,5oC). Berdasarkan pemeriksaan dermatologis ditemukan nodul eritema bersifat lunak, dan nyeri dijumpai pada regio brachialis, antebrachialis dekstra et sinistra dan pada regio kruris. Makula hipopigmentasi disertai plak eritematosa dijumpai pada regio torakal dan regio dorsalis (Gambar 1). Berdasarkan pemeriksaan neurologis ditemukan pembesaran nervus aurikularis +/+, nervus ulnaris +/+, dan nervus peroneus komunis +/+. Pada pemeriksaan fungsi saraf didapatkan anestesi pada makula hipopigmentasi di regio thorakal dan regio dorsalis. Kekuatan otot pada regio manus dan pedis dekstra et sinistra kuat.

Gambar 1. Foto pasien saat pertama datang. Tampak adanya nodul eritema bersifat lunak, dan nyeri dijumpai pada regio brachialis, antebrachialis dekstra et sinistra. Makula hipopigmentasi disertai plak eritematosa dijumpai pada regio torakal dan regio dorsalis

3

Pasien menolak untuk dilakukan tindakan biopsi histopatologis pada daerah lesi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai Hb 9,6 gr/dl, lekosit 13.900/mm 3, LED 30 mm/jam, hitung jenis leukosit 5/0/2/55/36/2. Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal dalam batas normal. Pada pemeriksaan bakteriologis didapatkan hasil Basil Tahan Asam (BTA) +2 pada cuping telinga kanan dan kiri. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, bakteriologis, dan laboratorium, pasien didiagnosis banding dengan kusta multibasiler yang mengalami reaksi kusta tipe 2, kusta multibasiler yang mengalami reaksi kusta tipe 1 dan erupsi obat. Diagnosis kerja adalah kusta multibasiler yang mengalami reaksi kusta tipe 2. Pengobatan untuk kusta multibasiler dengan pemberian paket MDT-MB yang terdiri dari rifampisin 600 mg, lampren 300 mg, dapson 100 mg (diminum di depan petugas setiap bulan) selanjutnya lampren 50 mg dan dapson 100 mg (setiap hari) pada hari kedua dan seterusnya. Penatalaksanaan reaksi kusta adalah dengan pemberian prednison 40 mg per hari diturunkan bertahap setiap 2 minggu sebanyak 5-10 mg. Sebagai analgesik/antipiretik diberikan parassetamol 3x500 mg per hari jika demam, untuk anemia diberikan sulfas ferosus 1x1 tablet per hari. Pada kontrol pertama, 2 minggu kemudian (4 Januari 2011) tidak dijumpai adanya demam, pembentukan nodul baru tidak dijumpai, nodul yang lama mengecil, dan eritema menghilang. Makula hipopigmentasi dan plak eritematosa berkurang. Dijumpai makula hiperpigmentasi pada regio brachialis, antebrachialis dekstra dan sinistra (Gambar 2). Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap didapatkan Hb 10 gr/dl, leukosit 10.500/mm3, LED 30 mm/jam. Pengobatan paket MDT-MB diteruskan hingga 12 dosis selama 12-18 bulan, dosis prednison diturunkan menjadi 30 mg per hari.

4

Gambar 2. Foto pasien saat kontrol pertama. Tampak nodul mengecil, eritema menghilang makula hipopigmentasi dan plak eritematosa sudah berkurang. Makula hiperpigmentasi dijumpai pada regio brachialis, antebrachialis dekstra dan sinistra.

Pada kontrol kedua, setelah 2 minggu kemudian (tanggal 15 Januari 2011), nodul tidak dijumpai lagi, dan pembentukan nodul baru tidak dijumpai, makula hipopigmentasi dan plak eritematosa sudah menghilang. Makula hiperpigmentasi mulai menipis (Gambar 3). Pengobatan MDT-MB diteruskan, dosis prednison diturunkan menjadi 20 mg per hari. Pada jadwal kontrol berikutnya pasien tidak datang kembali.

Gambar 3. Foto pasien saat kontrol kedua. Tampak nodul tidak dijumpai lagi, makula hipopigmentasi dan plak eritematosa sudah menghilang, makula hiperpigmentasi mulai menipis.

Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, dan quo ad sanactionam dubia ad bonam. PEMBAHASAN Kusta merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang susunan saraf tepi, kulit, serta jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat, serta mempunyai komplikasi akut yang disebut reaksi.1-4,9 Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan anamnesis dijumpai keluhan keluhan timbul benjolan-benjolan lunak berwarna merah yang disertai nyeri pada daerah tangan, menyebar dengan cepat dalam 1 minggu ini. Bercak putih dan penebalan tanpa disertai rasa gatal dan nyeri dijumpai pada daerah dada dan punggung sejak 6 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan demam dan pegal-pegal pada seluruh tubuh. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan kusta disangkal oleh pasien. Pada kepustakaan disebutkan bahwa kusta dapat terjadi pada penderita kusta sebelum pengobatan, pada saat pengobatan dan setelah pengobatan.8 Pada pasien ini reaksi timbul sebelum mendapatkan pengobatan kusta. Dari gambaran klinis dijumpai nodul eritema bersifat lunak, dan nyeri pada regio brachialis, antebrachialis dekstra et sinistra. Makula hipopigmentasi disertai plak eritematosa dijumpai pada regio torakal dan regio dorsalis, hal ini sesuai dengan kepustakaan merupakan gambaran reaksi kusta tipe 2, dimana didapatkanGambar 1. Foto pasien saat pertama datang. Tampak adanya makula hipopigmentasi, nodul dan plak eritematosa, berbentuk bulat atau oval, dengan ukuran yang bervariasi dari lentikular sampai numular, pada regio brachialis, antebrachialis, kruris anterior, kruris lateral, kruris posterior, dorsum pedis dan plantaris dekstra et sinistra.

5

nodul eritema disertai nyeri tekan dan terdapatnya kelainan sistemik sebelumnya berupa demam, malaise, anoreksia, myalgia dan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dan anemia.3,6,8,12,13 Lokasi lesi seringkali pada permukaan ekstensor lengan dan tungkai, punggungm wajah tetapi dapat dimana saja dengan distribusi cenderung bilateral dan simetris.8,13 Pada pemeriksaan neurologis ditemukan pembesaran pada nervus aurikularis, nervus ulnaris, dan nervus peroneus komunis. Pada pemeriksaan fungsi saraf didapatkan anestesi pada makula hipopigmentasi di regio torakal dan trunkus posterior. Kekuatan otot pada regio manus dan pedis dekstra et sinistra kuat. Menurut kepustakaan, hasil pemeriksaan dermatologis, fungsi sensoris dan neurologis sesuai dengan gejala klinis kusta tipe multibasiler (MB) yaitu adanya lesi anestesi berjumlah lebih dari 5 dengan distribusi yang cenderung simetris, disertai penebalan lebih dari satu saraf tepi.3,4,6 Faktor pencetus pada penderita diduga karena stres akan penyakitnya. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa faktor pencetus yang dianggap sering mendahului reaksi kusta adalah stres, kehamilan, setelah melahirkan, sesudah mendapat imunisasi, adanya infeksi penyerta, anemia, kurang gizi.8,10 Diagnosis kusta tipe multibasiler (MB) ditunjang dengan pemeriksaan bakteriologis dengan ditemukannya BTA +2. Pada kepustakaan disebutkan bahwa pada kusta tipe multibasiler ditemukan BTA positif pada sediaan apusan.4,6 Diagnosis banding dengan reaksi kusta tipe 1 disingkirkan karena pada reaksi kusta tipe 1 peradangan kulit pada umumnya berupa bercak kulit lama yang menjadi lebih meradang (merah) namun dapat timbul bercak baru.8 Diagnosis banding erupsi obat disingkirkan karena pada erupsi obat ditemukan adanya riwayat pemakaian obat-obatan sebelum timbul ruam dan tidak ditemukan BTA pada kerokan jaringan kuit, penebalan saraf, dan gangguan sensasi. Penderita diberikan paket pengobatan MDT-MB yang terdiri dari Rifampisin 600 mg per bulan, Klofazimin 300 mg per bulan serta Klofazimin 50 mg per hari dan Dapson 100 mg per hari disertai obat reaksi kortikosteroid yaitu prednison. Rifampisin bersifat bakterisidal, Dapson dan Klofazimin bersifat bakteriostatik. Pengobatan reaksi kusta tipe 2 pada penderita berupa prednison 40 mg per hari yang diturunkan secara bertahap 5-10 mg setiap 2 minggu. Pada kepustakaan disebutkan bahwa untuk reaksi kusta tipe 2 dapat diberikan kortikosteroid dan analgesik, sementara pengobatan kusta diberikan terus-menerus dengan dosis penuh. Pemberian prednison harus dimulai dengan dosis tinggi, yaitu 30-80 mg per hari, diminum pagi hari dengan dosis tunggal. Kemudian dosis harus diturunkan secara bertahap sebanyak 56

10 mg setiap 2 minggu hingga mencapai dosis 5 mg, namun pasien hanya sampai dosis 20 mg disebabkan tidak datang kembali. Paket MDT-MB pada pasien diberikan hanya selama 2 bulan dikarenakan pasien tidak datang kembali, dimana seharusnya MDT-MB 12 dosis selama 12-18 bulan.3,6,9 Prognosis penderita ini secara umum baik, namun ada kemungkinan kambuh kembali oleh karena proses pengobatan dengan obat anti kusta, ataupun jika faktor pencetus lainnya berupa stres tidak dapat diatasi.

DAFTAR PUSTAKA1. Bryceson A, Pfaltzgraff RF. Leprosy. Edisi ke-3. London : Churchill Livingstone;

1990.h.1, 115-26, 129, 237-842. Lewis FS, Conologue T, Harrep E. Leprost. Available at: www.emedicine.com ; Update

18 July 20083. Hernani, Damari A, Hartati F, dkk. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit

Kusta. Cetakan XVI. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004. h. 11, 42, 64-8, 70-824. Diagnosis dan Klasifikasi. Dalam : Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit

Kusta. Jakarta : Depkes RI Dirjen P3L ; 2007. h. 37-455. Hasyimi R, Widjaja R, Kurniawan L. Kadar IgG dan IgM Pada Bentuk Tuberkuloid dan

Lepromatous Dari Penyakit Lepra. Jakarta: Depkes RI, 1988 6. Kosasih A, Wisnu I. M, Sjamsoe-Daili E, Menaldi S. L. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5. FK Universitas Indonesia. Jakarta, 2007; 73-887. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E.Diagnosis Penyakit Kusta. Dalam: Daili ES, enaldi

SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta : Balai Penerbit FK UI ; 2003. h. 12-30 8. Pencegahan dan Tata Laksana Cacat. Dalam : Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Depkes RI Dirjen P3L ; 2007. h. 89-1179. James WD, Gerber TG, Elston DM, eitors. Hansens Disease (Leprosy). In: Andrews

Disease of the Skin. 10th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006. h. 343-52

7

10. Martodihardjo S. Susanto RSD. Reaksi Kusta dan Penanganannya. Dalam: Daili ES.

Menaldi SL. Ismiarto SP. Nilasari H, editor. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta : Balai Penerbit FK UI ; 2003. h. 75-81 11. Pengobatan. Dalam : Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Depkes RI Dirjen P3L ; 2007. h. 73-88 12. Hidayati AN, Listyawan MY, Fauziah F. Eritema Nodosum Leprosum, Dalam: Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, volume 11, No.2; 2005. h. 182-90 13. Rahmah SN, Amiruddin MD. Eritema Nodosum Leprosum Rawat Inap di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar. Dalam: J Med Nus Vol.26 No.4, Oktober-Desember 2005. h. 223-25

8