lapkas 2 anestesi

43
1 PRESENTASI KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. E Usia : 27 tahun Agama : Islam Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat : Elponyo. Kota/Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat. Tanggal Masuk RS : 23 Juni 2015 No. CM : 15285463 Dokter Anestesi : dr. Andika, Sp. An Dokter Obgyn : dr. Agus, Sp.Og B. PERSIAPAN PRE-OPERASI 1. Anamnesa a. A (Alergy) Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma; b. M (Medication) Tidak sedang menjalani pengobatan c. P (Past Medical History)

description

anes

Transcript of lapkas 2 anestesi

Page 1: lapkas 2 anestesi

1

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E

Usia : 27 tahun

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Elponyo. Kota/Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat.

Tanggal Masuk RS : 23 Juni 2015

No. CM : 15285463

Dokter Anestesi : dr. Andika, Sp. An

Dokter Obgyn : dr. Agus, Sp.Og

B. PERSIAPAN PRE-OPERASI

1. Anamnesa

a. A (Alergy)

Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma;

b. M (Medication)

Tidak sedang menjalani pengobatan

c. P (Past Medical History)

Riwayat DM (-), hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-);

d. L (Last Meal)

Pasien Tidak puasa;

e. E (Elicit History)

Pasien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya pada tanggal 23 Juni 2015.

Pasien dalam dalam keadaan hamil ke-1 usia 40 minggu. Pasien sudah

Page 2: lapkas 2 anestesi

2

dijadwalkan akan melakukan kelahiran secara sesar tanggal 24 Juni 2015

dengan spesialis opgin karena letak bayi yang sunsang.

2. Pemeriksaan Fisik

Tanggal Pemeriksaan : 24 Juni 2015

Dirawat di : Ruang 1

A. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign :

Tekanan darah : 143/71mmHg

HR : 71x/menit

RR : 20x/menit

Suhu : afebrisoC

Antrpometri

Berat Badan : 77 kg

B. Status Head To Toe

Kepala

a. Mata:

Palpebra : tidak bengkak dan cekung

Konjungtiva : anemis ( - ) / ( - )

Sklera : ikterik ( - ) / ( - )

Pupil : refleks cahaya ( + ) / ( + ), pupil sokor dextra = sinistra

b. Hidung : Pernapasan cuping hidung : ( - )

c. Telinga

Auricula : tidak tampak kelainan

Page 3: lapkas 2 anestesi

3

Meatus akustikus eksternus : ( + ) / ( + )

d. Mulut :

Bibir : Sianosis( - ),Labioskizis superior( + )

e. Leher : Pembesaran KGB ( - ) / ( - )

f. Thoraks

Inspeksi : Bentuk gerak simetris dextra = sinistra, rektraksi

supraclavicula (-) / (-), retraksi intercostalis ( - ) / ( - ),

Palpasi : iktus kordis teraba,

Perkusi : -

Auskultasi : Vesiculer breathing sound ( + ) / ( + ), Weezhing ( - ) / (

- ), Ronki ( - ) / ( - ), Bunyi Jantung I, II regular, Gallop (-), Mur-Mur (-)

g. Abdomen

Inspeksi : Buncit hamil, striae graviidarum (+)

Auskulasi :Bising usus (+), bunyi jantung janin (+)

h. Ekstremitas :

Edema : Ekstremitas atas (-) dan bawah ( - )

Capilari Refill Time: Kurang dari 2 detik

Akral hangat pada semua ektremitas.

Page 4: lapkas 2 anestesi

4

1.1 Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 22 Juni 2014

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode

Hematologi

Waktu perdarahan 2.00 1-3 menit Duke

Waktu pembekuan 4.00 1-7 menit Slide test

Golongan Darah O Slide test

Rhesus positif Slide test

Hemoglobin 12 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto Analyzer

Hematokrit 35 P: 35-45; L: 40-50 % Auto Analyzer

Jml Leukosit 10.800 5.000-10.000 /mm3 Auto Analyzer

Jml Trombosit 282.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer

KARBOHIDRAT

Glukosa Sewaktu 102 100-110 mg/dl GOD – POD

FAAL GINJAL

Ureum 28 15-45 mg/dl Urease Klinetik UV

Keratini 0.84 P: 0.5-0.9; L: 0.7-1.12 mg/dl Kinetic Jaffe

ELEKTROLIT

Natrium 143 135-145 mmol/L ISE

Klium 3.7 3.5-5.0 mmol/L ISE

Kalsium 1.26 1.10-1.40 mmol/L ISE

KIMIAWI

- Protein : Positif 1

- Glukosa: Negatif

- Urobilinogen: Positif /

Normal

MAKROSKOPIK

- Warna : Kuning

- Kekeruhan : keruh

Page 5: lapkas 2 anestesi

5

- Bilirubin : Negatif

- Nitrit : Negatif

- Keton : Negatif

- Leukosit : Negatif

- Darah : Positif 3

- PH : 6,5

- Berat Jenis : 1.015

MIKROSKOPIK/SEDIMEN

- Leukosit : 1-4 /LPB

- Eritrosit : Banyak /LPB

- Sel epitel : 0-3 /LPB

- Silinder : Granula 0-2

1.2 Diagnosa Klinis Pre-Operatif

G1P0A0 (Hamil aterm dengan letsu + PER)

1.3 Kesimpulan Status Fisik ASA

Status ASA (American Society Of Anesthesiologists) merupakan suatu

klasifikasi untuk menilai kebugaran fisik seseorang.

Untuk pasien ini ASA II.

A. Rencana Anestesi

1. Persiapan Operasi

a. Persetujuan operasi tertulis ( + )

b. Puasa > 6 jam

2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi/Spinal

3. Teknik Anestesi : Spinal

4. Posisi : supine

5. Pernafasan : spontan respiration

6. Premedikasi : -

7. Induksi : Bupivacain 15mg

9. Maintenance : O2 = 3L (nasa canul)

Page 6: lapkas 2 anestesi

6

10. Cairan : voluven 500 cc menyeimbangkan cairan dalam tubuh

pasien agar pasien tidak hipotensi akibat dari efek

perdarahan.

11. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman

Anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.

12. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ruang pindah

B. Tindakan Anestesi

1. Di ruang persiapan

a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita

b. Pakaian pasien diganti pakaian operasi

c. Pemeriksaan tanda-tanda vital

d. Lama puasa > 6 jam

e. Cek obat dan alat anestesi

f. Posisi terlentang

2. Di ruang operasi

a. Jam 13:30

Pasien masuk kamar operasi dan pemasangan Infus Hes 500cc, manset

dan monitor dipasang

b. Jam 13:45

dilakukan induksi dengan bupivacain 15mg, lalu mengalirkan O2

2L/mnt ( nasacanul)

c. Jam 13:50

Operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5 menit.

d. Jam 13:55

Bayi lahir hidup. Pemberian Oxytocin 10iu (drip) + methylergometrin

0.2mg (drip)

Page 7: lapkas 2 anestesi

7

e. Jam 13:58

Plasenta keluar

f. Jam 14:10

Operasi selesai, pasien di bawa keruang RR

C. Laporan Monitor Anestesi

TIME SATURASI HEART RATE TEKANAN

DARAH

13.30 99 71x/menit 143/71 mmHg

13.45 98 72x/menit 109/60 mmHg

14.00 100 100x/menit 109/58 mmHg

14.10 100 97x/menit 108/55 mmHg

Cairan Perioperatif

Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1

Kebutuhan Basal 10 x 4 = 40 cc

10 x 2 = 20 cc

57 x 1 = 57 cc +

117cc/jam

Defisit Cairan Puasa = Puasa jam x maintenance cairan

= 6 x 117 cc/jam

= 702 cc

Insensible Water Loss= Jenis Operasi x Berat Badan

= 8 x 77 kg

= 616 cc

Page 8: lapkas 2 anestesi

8

Kebutuhan cairan 1 jam pertama

= (½ x puasa) + IWL + maintenance

= (½ x 702) + 616 + 117 cc

= 1.084cc

Perdarahan = perdarahan + urin

= 100cc + 100cc

= 200 cc

EBV (Ekstimasi blood volume) = BB x Konstanta wanita dewasa

= 77 x 65

= 5.005 cc

ABL (Acceptable blood loss) = EBV x (hct pasien – nilai hct terendah)

Hct rata – rata

= 5005 x ( 35 – (11 x 3))

(35+33)/2

=10010

34

=295cc

D. Post Operatif

Bromage score <2: pasien pindah ruangan

Analgetik tramadol 100mg + ketorolac 60 mg (drip ) dalam 500cc cairan Futrolit

20tetes x/menit.

Antibiotik : sesuai dr. Sp. Og

Pasien boleh makan dan minum namun tidak boleh duduk atau berdiri.

Page 9: lapkas 2 anestesi

9

E. Tindakan Anestesi Regional Dengan Spinal Anestesi

Loading cairan dengan Hes 500 cc untuk mengganti cairan puasa 6 jam

pre-operasi, dan perdarahan agar komposisi cairan pasien yang berkurang

saat puasa terpenuhi.

Pasien diposisikan duduk terlebih dahulu untuk dilakukan spinal anestesi.

Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah

teraba. Pada daerah vertebrae lumbal III sampai dengan vertebrae lumbal

V dibersihkan dengan antiseptik povidon iodine + alkohol.

Untuk menentukan ruang subarachnoid di tarik garis dari SIAS (Spina

Iliaca Anterior Superior) ke vertebrae lumbal dan biasanya terdapat di

antara vertebra lumbal III – IV.

Masukkan obat bupivacaine 15 mg. Tusukkan jarum spinal hingga cairan

liquor keluar, obat dapat dimasukkan pelan – pelan diselingi aspirasi

sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Setelah di spinal anestesi pasien diposisikan pada posisi supine untuk

tindakan operasi.

Memasang sensor finger pada tangan kanan pasien untuk monitoring

SpO2 dan SPO2 Rate, dan memasang manset pada lengan kiri pasien untuk

monitoring tekanan darah (tergantung dari pemasangan infus, bila infus di

sebelah kiri maka manset untuk monitoring tekanan darah di sebelah

kanan).

Pemberian (O2 3L/menit) dengan memakai nasal canul.

Pastikan jalan napas pasien aman

Monitor tanda – tanda vital pasien (nadi), saturasi oksigen, tanda–tanda

komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri)

Page 10: lapkas 2 anestesi

10

Setelah operasi selesai nasal canul yang di pasang di pasien dilepas karena

pasien akan di pindahkan ke ruang pemulihan atau recovery room . Pasien masih

sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar

dari ruangan operasi) bila Bromage Score < 2.

F. POST-OPERASI

Setelah operasi selesai nasal canul yang di pasang di pasien dilepas karena

pasien akan di pindahkan ke ruang pemulihan atau recovery room . Pasien masih

sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar

dari ruangan operasi) bila Bromage Score < 2.

G. Instruksi Pasca Anestesi

Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine, oksigen 2 liter/menit,

awasi respirasi, nadi. Setelah sadar pasien di rawat di bangsal sesuai dengan

bagian operator.

Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan 1

1. Awasi keadaan umum, perdarahan setiap 15 menit selama 2 jam post

operasi.

2. Infuse : RL 20gtt/menit

3. Analgetik cetorolak 30mg diberikan perinfus.

4. Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi ASI/

makan dan minum secara bertahap

5. Anjuran untuk bed rest 24 jam

6. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.

Page 11: lapkas 2 anestesi

11

H. Steward Score

Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor steward ≥ 5

(lima).

TANDA KRITERIA SCORE

Kesadaran Bangun

Respon terhadap rangsang

Tidak ada respon

3

2

1

Pernafasan Batuk/ menangis

Pertahankan jalan nafas

Perlu bantuan nafas

3

2

1

Motorik Gerak bertujuan

Gerak tanpa tujuan

Tidak bergerak

3

2

1

Keterangan:Score ≥ 5 boleh keluar dari RR

Sedangkan pada pasien diatas, didapatkan skornya 5. Skor 5 didapatkan dari

1. Pasien berespon terhadap rangsangan (skor 2)

2. jalan nafas terjaga (skor 2)

3. tidak ada gerak (skor 1)

Dengan skor 5 ini, pasien telah dapat dipindahkan dari ruang recovery

ke ruangan ruang 1 yaitu bangsal di RS dr. Soekardjo Tasikmalaya sebelum

dapat pulang ke rumah.

Infuse : Futrolit 20 gtt/menit

Analgetik :Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan perdrip

dalam 500 cc Futrolit. Pasien boleh makan dan minum

Page 12: lapkas 2 anestesi

12

I. FOLLOW UP PASCA OPERASI

1. Hari Pertama Post-Operasi (25 Juli 2015)

1 hari post operasi

Pasien dirawat ruang 1

Keluhan ; nyeri di luka operasi

Tanda vital : TD: 130/90mmhg

N: 78 x/menit

R: 36x/menit

S: 36,60C

Edema ekstremitas : (-)

Pengobatan : RL 1000cc ( jam 01.00)

Keadaan umum : baik

Kesadaran : Composmentis

J. PEMBAHASAN

Pada kasus ini pemilihan teknik anestesi yang dipilih adalah regional anestesi

(spinal anestesi), karena akan dilakukan operasi pada bagian ekstremitas bawah atau

pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup dengan memblok bagian tubuh inferior

saja.

Pada regional anestesi, obat anestesi yang dipakai adalah bupivacaine 15 mg.

Bupivacaine dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivacaine merupakan anestesi

lokal golongan amida. Bupivacaine mencegah konduksi rangsang saraf dengan

menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat

perambatan rangsang saraf dan menurunkan potensi aksi. Durasi analgetik pada T10

– T12 selama 2-3 jam, dan bupivacaine menghasilkan relaksasi muskular yang cukup

Page 13: lapkas 2 anestesi

13

pada ekstremitas bawah selama 2-2,5 jam. Selain itu, bupivacaine juga dapat

ditoleransi dengan baik pada semua jaringan yang terkena.

Seksio sesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka

dinding perut dan dinding uterus. Dewasa ini cara ini jauh lebih aman dari pada

dahulu berhubung dengan adanya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang

lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik. Karena itu kini ada kecenderungan

untuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang cukup kuat. Dalam hubungan ini

perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan itu merupakan

seorang yang mempunyai parut uterus, dan tiap kali kehamilan serta persalinan

berikut memerlukan pengawasan yang cermat berhubung dengan bahaya ruptura

uteri.1

Prinsip dilakukan tindakan seksio sesarea diantaranya keadaan yang tidak

memungkinkan janin dilahirkan per vaginam, dan atau keadaan gawat darurat yang

memerlukan pengakhiran kehamilan / persalinan segera, yang tidak mungkin

menunggu kemajuan persalinan per-vaginam secara fisiologis.2 Indikasi dilakukan

tindakan seksio sesarea salah satu diantaranya ialah plasenta previa, yakni plasenta

yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian

atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum). Pada plasenta previa

dilakukan tindakan seksio sesarea pada keadaan plasenta previa totalis, perdarahan

banyak tanpa henti, presentase abnormal, panggul sempit, keadaan serviks tidak

menguntungkan (belum matang) dan gawat janin.3 

WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan

dengan seksio sesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara

berkembang dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika

Serikat. Kanada pada 2003 memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an

menyebutkan bahwa kurang dari 1 kematian dari 2.500 yang menjalani bedah caesar,

dibandingkan dengan 1 dari 10.000 untuk persalinan normal.

Page 14: lapkas 2 anestesi

14

Pada pasien ini, indikasi dilakukannya persalinan seksio sesarea ialah karena

letak janin yang banormal ( sunsang). Letak sunsang merupakan keadaan dimana

janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri, sehingga untuk dilakukannya

persalinan normal menimbulkan resiko baik ibu dan juga janin.

Obat-obatan lain yang digunakan:

1. Tramadol 50mg (1mg/kgBB) diberikan secara intravena di encerkan bersama HES

500cc.

Tramadol ialah agonis opioid sintetik yang berfungsi untuk mencegah shivering

(menggigil) dengan menghambat pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin.

Tramadol juga meningkatkan fungsi dari spinal descending inhibitory pathway

dengan menghambat re-uptake neural dari norepinefrin dan 5-hydroxylptamin

(serotonin0 dalam efek analgesi.

2. Oxytocin (10 Iu/1ml) diberikan secara intravena di encerkan bersama HES 500cc.

Oxytocin berfungsi untuk kontraksi uterus melalui mekanisme yang bebas dari

konsentrasi kalsium intraseluler. Oxytocin juga menstimulasi produksi PGE

(prostaglandin e) dan PGF (prostaglandin F) sebagai tambahan terhadap aksi

uterotonika dan mungkin pelepasan prostaglandin oleh oxytocin perlu untuk

mengefisienkan kontraksi uterus selama persalinan.

3. Methylergometrin 0,2ml/1ml

Methylergometrin termasuk golongan derivat semisintetik dan alkaloid alami yang

berfunsi untuk stimulant uterus dengan merangsang secara langsung otot uterus untuk

meningkatkan kekuatan dan frekuensi kontraksi.

Page 15: lapkas 2 anestesi

15

Anestesi pada hipertensi

Definisi

hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140

mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang

memakai obat anti hipertensi.

JNC 8  merupakan klasifikasi hipertensi terbaru dari Joint National

Committee yang berpusat di Amerika Serikat sejak desember 2013. JNC 8 telah

merilis panduan baru pada manajemen hipertensi orang dewasa terkait dengan

penyakit kardiovaskuler :

Para penulis membentuk sembilan rekomendasi yang dibahas secara rinci bersama

dengan bukti pendukung . Bukti diambil dari penelitian terkontrol secara acak dan

diklasifikasikan menjadi :

A. rekomendasi kuat, dari evidence base terdapat banyak bukti penting yang

menguntungkan

B. rekomendasi sedang, dari evidence base terdapat bukti yang menguntungkan

C. rekomendasi lemah, dari evidence base terdapat sedikit bukti yang menguntungkan

D. rekomendasi berlawanan, terbukti tidak menguntungkan dan merusak (harmful).

E. opini ahli

N. tidak direkomendasikan

Beberapa rekomendasi terbaru antara lain  :

1 . Pada pasien berusia ≥ 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan

darah sistolik ≥ 150mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi untuk

sistolik < 150mmHg dan diastolik < 90mmHg . (Rekomendasi  Kuat-grade A)

2 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan

darah diastolik ≥ 90mmHg dengan target < 90mmHg . ( Untuk usia 30-59 tahun ,

Rekomendasi  kuat -Grade A; Untuk usia 18-29 tahun , Opini Ahli - kelas E )

Page 16: lapkas 2 anestesi

16

3 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan

darah sistolik ≥ 140mmHg dengan target terapi < 140mmHg . ( Opini Ahli -

kelas E )

4 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , mulai pengobatan

farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg

dengan target terapi sistolik < 140mmHg dan diastolik < 90mmHg . ( Opini Ahli

- kelas E )

5 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes , mulai pengobatan farmakologis

pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik BP ≥ 90mmHg dengan

target terapi untuk sistolik gol BP < 140mmHg dan diastolik gol BP < 90mmHg .

( Opini Ahli - kelas E )

6 . Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes ,

pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe thiazide, CCB ,

ACE inhibitor atauARB ( Rekomendasi sedang-Grade B ) Rekomendasi ini

berbeda dengan JNC 7 yang mana panel merekomendasikan diuretik tipe thiazide

sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien .

7 . Pada populasi umum kulit hitam , termasuk orang-orang dengan diabetes ,

pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretic  tipe thiazide atau CCB .

( Untuk penduduk kulit hitam umum : Rekomendasi Sedang - Grade B , untuk

pasien hitam dengan diabetes : Rekomendasi lemah-Grade C)

8 . Pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , pengobatan awal

atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau ARB untuk

meningkatkan outcome ginjal . (Rekomendasi sedang -Grade B )

9 . Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan,

tingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari salah satu kelas

dalam Rekomendasi 6 . Jika target tekanan darah  tidak dapat dicapai dengan dua

obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan

ACEI dan ARB bersama-sama pada pasien yang sama . Jika target tekanan darah

tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan obat-obatan dalam Rekomendasi

6 karena kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat

Page 17: lapkas 2 anestesi

17

untuk mencapai target tekanan darah, maka obat antihipertensi dari kelas lain

dapat digunakan . (Opini Ahli - kelas E )

Krisis Hipertensi

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas

pengobatan, sebagai berikut :

1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,

disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih

penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan

timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam

satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau

(ICU).

2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa

kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24

jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II). Dikenal

beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 1. Hipertensi

refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun

telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan

pasien.

3. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai

dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase

maligna.

4. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >

120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian

tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun

kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya

Page 18: lapkas 2 anestesi

18

pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang

terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.

5. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan

keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat

menjadi reversible bila TD diturunkan.

Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat )

TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.

- Pendarahan intra pranial

- ombotik CVA atau pendarahan subarachnoid

- Hipertensi ensefalopati

- Aorta diseksi akut

- Oedema paru akut

- Eklampsi

- Feokhromositoma

- Funduskopi KW III atau IV

- Insufisiensi ginjal akut

- Infark miokard akut, angina unstable

- Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :

Sindrome withdrawal obat anti hipertensi

Cedera kepala

Luka bakar

Interaksi obat.

2 Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )

Page 19: lapkas 2 anestesi

19

- Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal

atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I

- KW I atau II pada funduskopi

- Hipertensi post operasi

- Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

Patogenesis terjadinya hipertensi

Peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) merupakan penyebab

hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. terjadi peningkatan baseline dari curah

jantung (CO). Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat,

tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO

kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal.

 Afterload  jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (Left Ventricle

Hypertrophy ) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga mengubah autoregulasi

serebral sehingga Cerebral Blood Flow  (CBF) normal untuk penderita hipertensi

dipertahankan pada tekanan yang tinggi.

Manajemen Perioperatif Penderita Hipertensi

I. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi 4 hal dasar

yang harus dicari apa bila akan dilakukan pembedahan,yaitu:

1. Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

2. Penilaian ada tidaknya kerusakan/ komplikasi target organ yang telah terjadi.

3. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

4. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,untuk

prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Page 20: lapkas 2 anestesi

20

II. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi

The American Heart Association / American College of Cardiology

(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg

sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi.

III. Perlengkapan Monitor

EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien

hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:

hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI

berulang.

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan

perifer.

Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita

mempertahankan kadar CO2.

Suhu atau temperature.

IV. Premedikasi

Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa

menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam.

V. Induksi Anestesi

Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-

intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi :

• Dalamkan anestesia menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit

•Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25mikrogram/kgbb,

sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1mikrogram/ kgbb).

• Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Page 21: lapkas 2 anestesi

21

• Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgBB,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

• Menggunakan anestesia topikal pada airway.

Pertimbangan anestesia pada penderita hipertensi, sampai saat ini belum ada

protokol untuk penentuan tekanan darah berapa sebaiknya yang paling tinggi yang

sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesi dan operasi.

Namun banyak literatur yang menulis bahwa tekanan darah diastol 110 atau 115

adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi

kecuali operasi emergensi. Tekanan diastolik yang menjadi tolak ukur karena

peningkatan tekanan darah sistolik akan meningkat seiring dengan pertambahan

umur, dimana perubahan ini, lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik

dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik

lebih besar resikonya untuk terjadi morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi

diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi

yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan resiko terjadinya stroke

pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada

penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35-40 %, infark

jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50

%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol tekanan darah mungkin tidak

diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai

sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan

hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih

besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu

sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya

kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum

operasi. The American Heart Association/ American College of Cardiology

(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa tekanan darah sistolik 180 mmHg dan/atau

Page 22: lapkas 2 anestesi

22

tekanan darah diastolik 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi,

terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi,

tekanan darah dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan

pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Penderita hipertensi

cenderung mempunyai respon tekanan darah yang berlebihan pada periode

perioperatif. Ada 2 fase yang menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan

postoperasi. Pasien hipertensi yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik

akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol

dengan baik. Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita

hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa

menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat

antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum

obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE

inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.

Disfungsi diastolic mengakibatkan peningkatan yang relative besar pada

Tekanan end-diastolic ventrikel dengan sedikit perubahan volume ventrikel kiri;

kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel menjadi hal yang penting

dibandingkan pada pasien yang masih muda. Pembesaran atrium merupakan

predisposisi terjadinya Artrial Fibrilasi dan atrial flutter. Pasien ini mempunyai resiko

yang meningkat akan terjadinya Congestive Heart Failure.

2. Hipertensi dalam kehamilan

Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensidisertai

proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 mingguatau segera setelah

persalinan. Sedangkan yang dimaksud dengan eklampsi adalah kelainan akut pada

preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandaidengan timbulnya

kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran(gangguan sistem saraf pusat). Ada

Page 23: lapkas 2 anestesi

23

pula istilah eklamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan

kesadaran tanpa kejang.10

Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan

sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan< 20 minggu, dan yang

menetap setelah 12 minggu pasca salin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau

eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan

disebut juga Superimposed Preeclampsia.10

Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensidalam kehamilan pada

wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dantidak disertai proteinuri. Gejala ini akan

menghilang dalam waktu < 12minggu pascasalin.10

Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Hipertensi Gestasional

Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai

140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak

terdapat proteinuria.

Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :12 

- TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

- Tidak ada proteinuria.

- TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

- Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

- Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri

epigastrium atau trombositopenia.

Page 24: lapkas 2 anestesi

24

Preeklamsi

Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari : 

Kriteria minimal, yaitu : 

- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

- TD 160/110 mmHg.

- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah

meningkat.

- Trombosit <100.000/mm3. 

- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

- peningkatan ALT atau AST.

- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

- Nyeri epigastrium persisten.12

Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang

dapat dilihat pada Tabel. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut,

semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara

preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak

ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat. 12

Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg

Tekanan darah diastolik Trace - 1+ Persisten ≥ 2+

Proteinuria Tidak ada Ada

Page 25: lapkas 2 anestesi

25

Sakit kepala Tidak ada Ada

Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada

Oliguria Tidak ada Ada

Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada

Serum Kreatinin Normal Meningkat

Trombositopeni Tidak ada Ada

Peningkatan enzim hati Minimal Nyata

Hambatan pertumbuhan janin Tidak ada Nyata

Oedem paru Tidak ada Ada

Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan

Eklamsi

Eklampsia ialah kejadian akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas

yang ditandai dengan adanya gejala dan tanda pre-eklampsia disertai dengan kejang

atau koma.

Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah

melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, serangan tidak muncul

hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik,

banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang

lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam

postpartum.12

Superimposed Preeclampsia

Page 26: lapkas 2 anestesi

26

Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :

- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada

sebelum kehamilan 20 minggu.

- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit

<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum

kehamilan 20 minggu. 13

Hipertensi Kronis

Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :

- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.

- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada

penyakit trofoblastik.

- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.12

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak

mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi

kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita

hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin

merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi.13

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99

Page 27: lapkas 2 anestesi

27

Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100

Klasifikasi Hipertensi Kronis

Komplikasi Hipertensi

Salah satu komplikasi dari hipertensi adalah Gagal jantung atau ketidak

mampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung dengan cepat

mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut

edma.Cairan didalam paru – paru menyebabkan sesak Universitas Sumatera Utara

napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan

edema.12

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa

tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan, ciri-ciri yang

penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal jantung adalah relatif terhadap

kebutuhan metabolik tubuh. Kedua penekanan arti gagal ditunjukkan pada fungsi

pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditunjukkan spesifik

pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung,

tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah

perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.12

Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan

pedoman untuk klasifikasi penyakit gagal jantung kongesif berdasarkan aktivitas,

antara lain:

- NYHA class I

Penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak

menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau

berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.

- NYHA class II

Page 28: lapkas 2 anestesi

28

Penderita dengan sedikit pembatasan kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa

saat istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang bisa dapat menimbulkan gejala-gejala

insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berebar, sesak napas atau nyeri dada.

- NYHA class III 

Penderita penyakit pembatasan yang lebih banyak dalam kegiatan fisik. Penderita

tidak mengeluh apa-apa saat istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari

kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang

disebut diatas.

- NYHA class IV 

Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan

keluhan, yang bertambah apabila melakukan kegiatan fisik maupun istirahat.

DAFTAR PUSTAKA

Page 29: lapkas 2 anestesi

29

1. Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Linformatorium Obat Nasional

Indonesia 2000. Sagung Seto, Jakarta. 2001.

2. Arif Mansoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Media

Aesculapius FKUI, Jakarta. 2000.

3. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection,

evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No. 03-

5233, December 2003.

4. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In : Hines RL, editor. Adult

perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia:

Elsevier; 2004. P. 3-82

5. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient

undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia

2001; 86 (6): 789 – 93

6. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD,

Bakris GL. Editors. Available at : www.uptodate.com

7. Laslett L. Hypertension – preoperative assesment and perioperative

management. West J Med 1995; 162: 215-9

8. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia.

Current Opinion in Anesthesiology 2006; 19 (3): 315-9

9. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and

perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004; 92 (4): 570-83

10. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman

Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian

pertama, edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70

Page 30: lapkas 2 anestesi

30

11. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam

Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9,

New York : McGraw-Hill, 2003: 338-353

12. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,

Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22,

New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808

13. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan

Kedokteran Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam

Kehamilan di Indonesia, edisi ke-2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27