LAPKAS 1
-
Upload
rizky-zulfa-afrida -
Category
Documents
-
view
40 -
download
5
Transcript of LAPKAS 1
BAB I
KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Usia : 25 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Cianjur
No.CM : 130740
Masuk RS : 15 Oktober 2012
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Demam sejak 1 minggu sebelum masuk RS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh demam sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Demam naik turun,
meningkat saat sore menjelang malam hari. Demam disertai menggigilPasien tidak
mengukur suhunya. Keluhan disertai dengan mual tetapi muntah disangkal. Keluhan
juga disertai dengan nyeri pada ulu hati. Bintik-bintik merah ditubuh disangkal, keluar
darah dari hidung disangkal. Gusi berdarah disangkal. Nafsu makan pasien baik.
Keluhan juga disertai dengan batuk berdahak tetapi tidak disertai dengan darah. Batuk
berdahak sejak + 3 minggu SMRS. Dahak berwarna putih kental. Keluhan juga disertai
dengan sesak. Sesak tidak disertai suara ngik dan sesak lebih ringan jika pasien duduk.
Keluhan disertai dengan sering berkeringat pada malam hari dan juga disertai dengan
BB menurun + 13 kg selama 1 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh belum BAB sejak 3
hari SMRS. BAK lancar.
1
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Pasien sedang dala pengobatan TB
Paru. Hipertensi disangkal, DM disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini. TB Paru disangkal, Hipertensi disangkal, DM
disangkal.
Riwayat psikososial
Pasien sering jajan sembarangan. Sering jajan bakso dan gorengan di pinggir jalan, suka
makan pedas-pedas. Pasien merokok + 2 tahun tetapi sudah berhenti sejak 2 bulan
terakhir. Alkohol disangkal, obat2 terlarang disangkal
Riwayat pengobatan
Pasien minum obat warung sebelumnya ( lupa nama obatnya ) tetapi keluhan tidak
berkurang.
Riwayat Alergi
Alergi makanan disangkal, alergi obat-obatan disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100x/menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu : 370C
Status generalis
Kepala : Normocephal, rambut rontok (-)
Mata : Konjungtiva anemis -/-
Sclera ikterik -/-
Reflex pupil +/+ , pupil bulat, isokor
2
Hidung : Deviasi septum nasi -/-, secret -/-, epistaksis -/-, pernapasan cuping
hidung (-)
Mulut : mukosa bibir lembab, sianosis (-), lidah kotor (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP normal
Thorax : Normochest
Pulmo : Inspeksi : simetris, pergerakan dinding dada simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : vocal fremitus sama kedua lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru hepar di ICS V dextra
Auskultasi : vesicular +/+, wheezing -/-, ronki -/-
Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS II linea parasternalis dextra
batas jantung kiri atas pada ICS II linea parasternalis sinistra
batas kiri bawah pada ICS VI lateral linea axillaris anterior
sinistra
Auskultasi : BJ I,II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Inspeksi : datar, retraksi epigastrium (+)
Auskultasi : BU (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium(+),hepatomegali (-),splenomegali (-)
Perkusi : timpani
Ekstremitas :
atas : hangat +/+, petekie -/-, CRT < 2 detik +/+, edema -/-
bawah : hangat +/+, petekie -/-, CRT < 2 detik +/+, edema -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin tanggal 15 oktober 2012
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHb 11,9 g/dl 12 – 16 g/dlHt 37,3 % 37.0 % – 47.0 %Leukosit 5.600/ul 4.000 – 10.000/ulPlatelet 187.000/ul 150.000 – 450.000/ul
3
E. DAFTAR MASALAH
Tifoid
a. Subjective
Demam sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Demam naik turun, meningkat saat
malam hari. Keluhan disertai mual tetapi muntah disangkal. Tidak disertai dengan
keluar bintik-bintik merah ditubuh, gusi berdarah, hidung berdarah. Keluhan juga
disertai dengan nyeri pada ulu hati. BAB belum sudah 3 hari.
b. Objective
HR : 100 x/menit, Suhu : 38oC.
Nyeri tekan epigastrium (+)
Lab.15 Oktober 2012 : Widal STO (+) 1/40
STH (+) 1/40
c. Planning
IVFD RL 20 tpm
Inj. cefotaxime 2x1 gr
Inj. ondancentrone 2x1 gr
Sanmol 3x1 tablet
TB Paru
a. Subjective
Batuk berdahak tanpa disertai darah sejak 3 minggu SMPS. Dahak berwarna putih
kental. Keluhan disertai dengan keringat malam dan BB menurun 13 kg dalam 1
bulan terakhir. Keluhan juga disertai dengan sesak tanpa disertai suara ngik.
b. Objective
Pemeriksaan fisik
Pulmo :
• Inspeksi : retraksi ICS (+)
• Auskultasi : Ronkhi (+/+)
Pemeriksaan penunjang
Rontgen (+), BTA (+++).
4
c. Planning
IVFD RL 20 tpm
OAT kategori 1
F. FOLLOW UP
Tanggal S O A P16 Okt.2012 Demam malam
hari (+), sesak (+), batuk (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan baik, BAB belum sudah 4 hari
TD : 110/70 mmHgRR : 28 x/menitHR : 100 x/menitSuhu : 37oC
Demam tifoid + TB paru
Inf.RL 20 tpmInj.cefotaxime 2x1 grInj. ondancentrone 2x1 grSanmol 3x1OAT kategori 1
17 Okt.2012 Demam malam hari (+), sesak (+), batuk (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan baik, BAB belum sudah 5 hari
TD : 110/70 mmHgRR : 28 x/menitHR : 100 x/menitSuhu : 36,8oC
Demam tifoid + TB paru
Inf.RL 20 tpmInj.cefotaxime 2x1 grInj. ondancentrone 2x1 grSanmol 3x1OAT kategori 1
18 Okt.2012 Demam malam hari (+), sesak berkurang, batuk (+), mual (-), nafsu makan baik, BAB belum sudah 6 hari
TD : 110/70 mmHgRR : 24 x/menitHR : 96 x/menitSuhu : 37oC
Demam tifoid + TB paru
Inf.RL 20 tpmBiocef 2x1Sanmol 3x1OAT kategori 1
19 Okt.2012 Demam malam hari (+), sesak berkurang, batuk (+), nafsu makan menurun, BAB belum sudah 7 hari
TD : 110/70 mmHgRR : 24 x/menitHR : 100 x/menitSuhu : 38oC
Demam tifoid + TB paru
Inf.RL 20 tpmInj. Biocef 2x1 grSanmol 3x1OAT kategori 1
20 Okt.2012 Demam malam hari (-), sesak
TD : 110/70 mmHgRR : 20 x/menit
Demam tifoid + TB paru
Inf.RL 20 tpmInj. Biocef 2x1 gr
5
(-), batuk (+), mual (+),nafsu makan (-), BAB (+).
HR : 88 x/menitSuhu : 37oC
Otozol 2x1Sanmol 3x1Dulcolax suppOAT kategori 1
22 Okt.2012 Demam malam hari (-), sesak (-), batuk (+), mual (+),nafsu makan (-), BAB (+).
TD : 110/70 mmHgRR : 20 x/menitHR : 92 x/menitSuhu : 37oCSklera ikterik -/-Hepatomegali (-)Lab:SGOT : 292 ULSGPT : 166 ULWidal STO (-) STH 1/320
Susp.hepatitis tifosa + TB paru
Inf.RL 20 tpmInj. Biocef 2x1 grSanmol 3x1OAT kategori 1
6
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
A. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadinya infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel
fagositik mononuclear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. Demam Tifoid
juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis,Typhoid fever atau Enteric fever.
B. ETIOLOGI
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella.
KumanS.typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul,
tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 C (15 C-41 C), bersifat fakultatif anaerob, dan
hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu
54,4 C selama satu jam, dan 60 C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam
jangka lama.
Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa,
namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa. Mereka dapat tetap hidup pada suhu sekeliling
atau suhu rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makanan kering, agen farmakeutika dan bahan tinja. S. typhi secara
7
taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2
polisakarida antigen permukaan yang membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen
yang pertama yaitu antigen O somatik dan antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan
dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap
aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen terhadap fagositosis.
Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel stabil panas; antigen H adalah
protein labil panas yang dapat muncul pada fase 1 atau 2. Antigen lain adalah polisakarida
kapsul virulen (Vi) ada pada S.typhi dan jarang ditemukan pada strain S.paratyphi C.
Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan
pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Etiologi lainnya yaitu Salmonella
paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding
dengan yang disebabkan oleh S typhi.
Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang sehat
yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan S.typhii yaitu pasien
dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik transmisi terjadi
melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan
yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam
tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu
tahun. Karier menahun umumnya berusia > 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan
sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian
dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses,
sehingga mengkontaminasi air atau makanan. Disfungsi kandung empedu merupakan
predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam kandung
empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang
menahun.
Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan
higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang
berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya
karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi
melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui
8
perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan
pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.
C. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no.6 tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan
dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam
tifoid tercantum dalam Undang-Undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang
lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologis belum diketahui secara pasti. Di
Indonesia demam tifoid jarang dijumpai dalam bentuk epidemik, tetapi lebih sering bersifat
sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus
pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua
sumber penularan S.typhii : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier.
Orang-orang tersebut mengekskresi 109-1011 kuman per gram tinja. Di daerah endemik
transmisi terjadi melalui air yang tercemar.
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada
keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah
tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, dan kebersihan
individu kurang baik. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Angka
kejadian demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal musim hujan. Hal
ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut dan
penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. Demam tifoid masih merupakan masalah
besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat sporadik endemik dan timbul sepanjang
tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup tinggi berkisar antara 354-810 /
100.000 penduduk pertahun.
Pada pria lebih banyak terpapar dengan kuman S. typhi dibandingkan wanita karena
aktivitas di luar rumah lebih banyak. Semua kelompok umur dapat tertular penyakit tifoid,
tetapi yang banyak adalah golongan umur dewasa tua. Di daerah endemik tifoid, insidens
tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang
9
sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas
adalah, 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara umur 30 dan 40
tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.
D. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu:
1. Proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus.
2. Proses kemampuan hidup dalam makrofag.
3. Proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag.
Tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh
kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran
pencernaaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik
yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular.
Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan
Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Ada
beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung,
yaitu: (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan
infeksi, diperlukan S.typhi sebanyak 1 juta hingga 1 milyar yang tertelan melalui makanan
atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada
PH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami
gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam
lambung. Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha
menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan
merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan
10
menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di
lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Usus yang terserang tifus
umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus halus dan kolon
proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman akan
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plaque peyeri di
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika, selanjutnya melalui duktus
toraksikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
(bakteremia asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak diluar sel atau ruang sinosoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia kedua kalinya. Pada masa ini, terjadilah gejala-gejala
infeksi sitemik.
Didalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, dan berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
melepaskan endotoksin yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat dan air kedalam
lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada patogenesis demam tifoid,
karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan gangguan koagulasi.
Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas type lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi. Perdarahan saluran
cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri uang sedang
mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel manonuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang hingga kelapisan otot, serosa, dan
11
akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan
sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan
retikuloenditelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan – kelainan patologis
yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, pau, ginjal,
jantung, empedu mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal.
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga
menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini,
memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).
12
Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid :
1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat thermoregulator di
hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung mempengaruhi termoregulasi di
hipotalamus, dan juga dapat merangsang pelepasan pirogen endogen, yang pada akhirnya
juga mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus.
2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari termoregulator,
dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi dan pengalihan
aliran darah dari tempat-tempat seperti otot lurik, saluran cerna, kulit dan lainnya yang
kurang begitu penting.
3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi salmonella,
juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.
4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja miokardium.
Faktor-faktor yang menentukan virulensi salmonella : antigen permukaan kapsuler Vi yang
menyebabkan C3 tidak dapat terikat pada permukaan bakteri sehingga fagositosis terganggu.
Endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding bakteri, menyebabkan prolonged
fever dan gejala-gejala toksik dari demam tifoid, walaupun ada pendapat yang menyatakan
bahwa gejala-gejal ini disebabkan oleh sitokin yang dihasilkan leukosit terhadap rangsangan
endotoksin.
13
Kelainan patologik terutama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal.
Pada minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaque peyeri, disusul minggu kedua
terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga terjadi ulserasi plaque peyeri dan selanjutnya
dalam minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks. Ulkus
dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.
Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear, serta
nekrosis fokal. RES menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa
membesar.
Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe
mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa biasanya juga
membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimorfonuklear dan mengalami
nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi
dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap
mengandung bakteri dan Penderita menjadi pembawa kuman.
Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu
sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila sembuh,
penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan orkitis
kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada dan kadang terjadi pneumonia.
Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih sering terjadi
sekunder oleh infeksi pneumokokus.
Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran
miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia relatif) akibat
miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v. femoralis, v. safena dan
sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae
transversales disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang adalah otot diafragma,
m.rektus abdomis dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada penderita.
Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan lokal. Infeksi
sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.
Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat
berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum, iga
14
dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik disertai
adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan dengan
gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil dan
bertambahnya sel mononuklear.
E. GEJALA KLINIS
Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan
hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang
ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi
sering ada, namun diare juga ditemukan.
Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan penderita
tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dapat
mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai
dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami delirium bahkan sampai koma
akibat endotoksemia. Pada minggu ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia
relatif dengan limpa membesar lunak. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu
ketiga dengan suhu badan menurun dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis
dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan
namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi sampai dua atau tiga kali.
Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik
tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan
menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak
diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh
sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam intermitten), sore dan malam lebih tinggi
(demam remitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus-
menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan
berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3 suhu badan berangsur
turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering
dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung
15
dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada penderita anak jarang
ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik
(nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan
konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering terdapat apatis dengan kesadaran seperti terkabut (tifoid). Bila
klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psychosis (Organic Brain Sindrome). Pada penderita dengan toksik gejala delirium lebih
menonjol.
Brandikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang
sulit dilakukan. Brandikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan
suhu 1oc tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain
yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot biasanya ditemukan diregio
abdomen atas, serta sudamina, atau gejala-gejala klinis yang dapat berhubungan dengan
komplikasi yang terjadi.
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya
kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya
disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas
biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu. Pada kasus
ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya berangsur,
mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, letargi dan
demam.
Keadaan berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis ( relaps ) berlangsung lebih ringan
dan singkat. Terjadi dalam minggu ke I I setelah suhu badan normal kembali atau setelah terapi
dihentikan. Pada kultur darah menjadi positif kembali, meskipun titer antibodi terhadap antigen 0,
H, Vi, dan rose spot tidak tampak. Gejala yang timbul pada kekambuhan/relapse lebih ringan dan
singkat dibanding penyakit awal.
16
F. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Demam yang tinggi.
Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat pada
kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak meninggi dan
dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya
tampak selama dua sampai empat hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga
dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat
pada pasien berkulit gelap (jarang ditemukan pada orang Indonesia).
Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.
Bradikardia relatif.
Hepatosplenomegali.
Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun,
kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler akibat rangsangan
peritoneum.
Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi
syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi, bising usus
hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani. Selain itu, pada colok
dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh
nyeri perut, muntah dan kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut (Gambar
1-12).
Laboratorium
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,
leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel polimorfonuklear. Pada
penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau
meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau
sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
17
pada fase lanjut. Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali.
Pada kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi.
Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu
ketiga dan keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada
90% penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang
pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa kuman lebih
banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih banyak daripada wanita.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil
usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti peritonitis
terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer aglutinin O dan
H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan memuncak pada minggu ketiga.
Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau
karena titer yang tetap meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan
pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk
ditafsirkan. Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria
yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak
bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil,
maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas
meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis
dini infeksi.
1. Leukosit.
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena kebanyakan pada
demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas normal. Pada demam tifoid
tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-kadang dapat ditemukan leukositosis.
2. SGOT dan SGPT. SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal
setelah demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
3. Biakan darah.
Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah () tidak
menyingkirkan demam tifoid.
18
Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
Teknik pemeriksaan laboratorium.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
Vaksinasi di masa lampau.
Pengobatan dengan obat antimikroba.
Identifikasi Kuman Melalui Isolasi/Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-
faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2)
perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya
sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu
(gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-
90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur
19
yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah
1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis
yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3)
metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
20
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
1. Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen
yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum pasien
yang disangka menderita demam tifoid. Prinsip uji widal adalah memeriksa reaksi antara
antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-
beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah
yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit
tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).
21
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di
dalam tubuh pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu :
Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O yang
berasal dari tubuh kuman.
Aglutinin H.
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H yang
berasal dari flagela kuman.
Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi yang
berasal dari simpai kuman.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam
tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan
ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari. Pembentukan aglutinin terjadi
pada akhir mingu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H, pada orang
yang sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan , sedangkan
agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan
untuk menetukan kesembuhan penyakit.
Interprestasi uji Widal, yaitu :
Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita demam
tifoid.
Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai
diagnostik pasti untuk demam tifoid.
Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis
demam tifoid.
Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.22
Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan
pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin
akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.
Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab demam
tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H
yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama.
2. Tes TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat,
mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
3. Uji ELISA
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
G. PENATALAKSANAAN
23
Penatalaksanaannya yaitu :
1. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. Bila klinis berat penderita harus istirahat total. Bila
terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-ubah pada waktu
tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Hindari
pemasangan kateter urine tetap, bila tidak ada indikasi.
2. Nutrisi
- Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Dosis cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan
rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
- Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai
dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk
menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa
usus perlu diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat
dini, yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang
takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien
sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan lauk-pauk rendah
selulosa.
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah
serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan
nasi biasa bila keadaan penderita baik. Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya
dimulai dengan bubur atau diet cair selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai
dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara
24
enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda
komplikasi perdarahan dan atau perforasi.
3 Terapi Simtomatik
a. Antibiotik
Antibiotika diberikan berdasarkan tes sensitivitas. Antibiotika yang umumnya
dipergunakan antara lain:
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan
dengan dosis 50-100 mg/kgbb/hari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14 hari.
Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya pengobatan. Penyuntikan
kloramfenikol suksinat intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada
demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari.
Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-
rata 5-6 hari.
Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa atau 100 mg/kg
per hari pada anak). Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan
leukopenia.Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7
hari bebas demam.Dengan Amoksisilin dan Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari.
Trimetoprim-sulfametoksazol. Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk anak-anak 10 mg trimetoprim dan 50 mg sulfametoksazol secara
oral dalam 2 dosis. Dengan kotrimoksazol, demam tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.
Ampisilin, dengan dosis 150-200 mg/kgbb/hari diberikan per oral atau intravena
selama 14 hari, atau
Kotrimoksazol, dosis 10 mg/kgbb/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis selama 14 hari.
Ceftriaxone, dengan dosis 50-80 mg/kgbb/hari, dosis tunggal selama 10 hari
Cefixime , dengan dosis 10-12 mg/kgbb/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14
hari, adalah alternatif pengganti sefriakson yang cukup andal.
Ciprofloxacin, 10 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis. 4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin
atau oflosaksin pada individu yang berusia lebih dari 17 tahun.
25
Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun trimetoprim-
sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang tidak mampu menelan
obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah ampisilin dosis tinggi, cefotaksim,
aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun demikian, tidak ada satupun yang aksinya
begitu cepat atau begitu efektifnya dibandingkan dengan ceftriaxone, yang dapat
menandingi atau lebih baik daripada kloramfenikol dalam hal kecepatan penurunan panas.
Sejak itu, rekomendasi awal pemberian 7 hari tidak diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali
sehari pada orang dewasa atau 80 mg/kgBB sekali sehari, selama 5 hari pada anak, tanpa
kehilangan daya gunanya (efikasi). Lagi pula, dibandingkan dengan angka kekambuhan
yang berhubungan dengan obat lainnya, angka kekambuhan tampak lebih rendah pada orang
dewasa atau anak-anak yang sedikit diberi ceftriaxone; namun, jumlah pasien yang
dilaporkan masih sedikit.
Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama telah
meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok, karena kemahiran
plasmid menjadikan β-laktamase yang tidak aktif dan enzim kloramfenikol asetil transferase.
Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, ceftriaxone atau 4-
fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa yang berusia lebih
dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk anak-anak.
Pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan atas indikasi pasien demam tifoid toksik,
dengan dosis dan cara pemberian : oral atau perenteral dalam dosis yang menurun secara
bertahap selama 5 hari : Dexametason 3 mg/KgBB/x (initial), selanjutnya 1 mg/KgBB/ 8
jam (maintenance). Efek sampingnya dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.
H. PENCEGAHAN
Pada daerah endemik, sanitasi diperbaiki dan bersih, air mengalir sangat penting
untuk mengendalikan demam enterik. Untuk meminimalkan penularan dari orang ke orang
dan kontaminasi makanan, cara-cara higiene personil, cuci tangan, dan perhatian terhadap
praktek-praktek persiapan makanan diperlukan. Upaya untuk memberantas S.typhi dari
pengidap direkomendasi, karena manusia merupakan satu-satunya reservoir S.typhi. bila
upaya demikian tidak berhasil, pengidap harus dicegah bekerja pada pemrosesan makanan
26
atau air, dan pada jabatan yang terkait dengan perawatan penderita. Individu ini harus
disadarkan pada penularan, dan perlunya cuci tangan dan higiene perseorangan.
Beberapa vaksin terhadap S.typhi tersedia. Vaksin parenteral yang diinaktifkan
memberikan proteksi terbatas (kemanjuran 51-76%) dan disertai dengan pengaruh yang
merugikan termasuk demam, reaksi lokal dan nyeri kepala pada sekurang-kurangnya 25%
penerima. Dua dosis 0,5 mL diberikan Subkutan berjarak empat minggu atau lebih telah
direkomendasikan untuk anak usia 10 tahun atau lebih : 0,25 mL per dosis
direkomendasikan untuk anak yang lebih muda. Vaksin berlisensi baru (vivotif) adalah
preparat oral hidup yang dilemahkan dari strain Ty21a S-typhi. Beberapa penelitian besar
terbukti manjur (67-82%). Vaksi oral tidak dianjurkan pada anak sebelum berusia 6 tahun
karena pengalaman yang terbatas.bayi dan anak yang belajar jalan tidak mengembangkan
respon imun terhadap preparat ini. Demikian juga pada penderita sindrom imunodefisiensi.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :
a. Komplikasi intestinal
Terdapat dua komplikasi yang paling umum dari demam enterik adalah perdarahan
intestinal (12%) dan perforasi (3-4,6%). Perforasi biasanya terjadi pada minggu ketiga
tetapi bisa terjadi selama masa sakit. Selain gejala yang biasa ditemukan pada demam
tifoid, penderita mengeluh perforasi nyeri perut hebat di kuadran kanan tetapi dapat pula
bersifat menyebar. Abdomen tampak tegang dengan nyeri lepas dan hilangnya pekak hati
dan bising usus. Perforasi menyebabkan tekanan darah turun, nadi bertambah cepat, dan
timbul nyeri hebat. Gambaran foto polos abdomen ditemukan udara pada rongga
peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat
meningkatkan kejadian perforasi adalah umur ( biasanya berumur 20-30 tahun), lama
demam, modalias pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Perdarahan
intestinal yang hebat dapat menyebabkan syok, tetapi biasanya sembuh spontan tanpa
pembedahan.
b. Manifestasi hepatobiliar
27
Yang biasa ditemukan adalah hepatitis tifosa yang asimtomatik ditandai dengan
peningkatan SGOT dan SGPT. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada
50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi daripada
S.parathypi. untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria atau
amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu
histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan ezim transaminase tidak relevan dengan
kenaikan serum bilirubin (untuk membedaka hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa
dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun
sangat jarang, komplikasi hepatoenselopati dapat terjadi.
Kolesistisis akut dan ikterus yang tidak atau disertai dengan peningkatan enzim
didapatkan pada 1-5% kasus. Kolesistisis akut atau kronis dapat terjadi beberapa bulan
atau tahun setelah menderita demam tifoid. Mild elevasi transaminase tanpa gejala
umunya pada pasien dengan demam tifoid. Jaundice dapat terjadi pada pasien dengan
demam enterik dan juga dapat terjadi pada hepatitis, cholangitis, cholesistitis atau
hemolisis.
Pankreatitis dan gagal ginjal akut simultan dan hepatitis dengan hepatomegali telah
dilaporkan. Pankreatitis merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid.
Pancreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing,
maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta
ultrasonografi/CT-scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
c. Manifestasi kardiopulmonari
Perubahan nonspesifik elekrokardiograf terjadi 10-15% pada pasien dengan tifoid. Toksin
miokarditis terjadi pada 1-5% pasien dengan tifoid dan merupakan penyebab kematian
pada negara-negara endemi secara signifikan.
Toksin miokarditis terjadi pada pasien sakit berat dan toksemia dan karakteristiknya
berupa takikardia, nadi lemah dan bunyi jantung, hipotensi, dan abnormalitas
elektrokardiograf. Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada,
gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat 28
jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai
prognosa yang buruk. Kelainan ini disebabkan oleh kuman S.typhi dan miokarditis sring
sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasein yang sakit berat, keadaan
akut dan fulminan.
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, biasanya bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis (15%). Pneumonia (1-30%) bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat
timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi dan empiema.
d. Manifestasi neuropsikiatri
Bervariasi mulai dari sakit kepala, meningismus sampai gangguan kesadaran
(disorientasi, sampai delirium, stupor dan koma).Delirium, stupor dan koma merupakan
tanda prognosis yang buruk dengan angka kematian kasus lebih dari 40%.Delirium
merupakan kelainan yang sering dijumpai dan dapat berkembang menjadi
encefalopati.Keadaan ini biasanya membaik dalam 3-4 hari tetapi sering menetap bahkan
sampai suhu tubuh dan fungsi metabolik kembali normal. Dalam dua dekade terakhir,
dilaporkan dari area endemik terdapat manisfestasi neuropsikiatri yang luas pada demam tifoid.
Facial Twitching atau konvulsi dapat terjadi, kadang-kadang psikosis paranoid atau katatonia
dapat terjadi selama fase pemulihan. Meningismus, ensephalomielitis, mielitis, polineuropati,
kranial mononeuropati, spastik paraplegi, neuritis kranial dan perifer, Gullain-Barre sindrom,
schizophrenia like illnes, mania dan depresi dapat terjadi walaupun jarang.
Infeksi intrakranial fokal jarang terjadi. Terjadi multipel abses otak. Manifestasi lain yang
jarang dijumpai adalah kejang, meningitis tifoid, ensefalomielitis, transverse myelitis
dengan paraplegia, neuritis dan sindroma Guillan Barre.Meningitis yang disebabkan oleh
Salmonella kebanyakan terjadi pada bayi dan neonatus dengan angka mortalitas yang
tinggi.
e. Manifestasi hematologi
Depresi sumsum tulang belakang yang toksik pada penderita dengan manifestasi klinis
yang berat, menyebabkan terjadinya anemia, neutropenia, granulositopenia dan
trombositopenia. Anemia hemolitik akut bervariasi pada 2%-7% penderita ditandai
29
dengan penurunan hemoglobin secara tiba-tiba tanpa adanya pendarahan disertai
hemoglobinuria dan gambaran hemolisis pada pemeriksaan darah tepi.Selain itu dapat
terjadi trombositopenia disertai hipofibrinogenemia yang merupakan gambaran dari DIC.
f. Manifestasi genitourinari
25% pasien mengekskresi S.typhii dalam urinnya selama sakit. Terdapat
glomerulonefritis komplek imun dan proteinuri. IgM, antigen C3, dan antigen S.typhii
terdapat di dinding kapiler glomerolus. Sindrom nefritis dapat menjadi komplikasi
bakteriemia yang berhubungan dengan urinary schistosomiasis.
g. Manifestasi muskuloskeletal
Mempengaruhi dinding abdominal dan otot paha.
Terjadi polimiositis.
J. PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada
anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan
antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat, manifestasi
klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan menyerupai
penyakit akut. Namun relaps biasanya lebih ringan dan lebih pandek. Dapat terjadi relaps
berulang. Relaps biasanya terjadi pada 15% kasus tifoid.
DAFTAR PUSTAKA
Noer, Sjaifoellah, dkk; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III edisi IV, FK UI, Jakarta,1996.
30
Stephen J.McPhee, dkk; Current Medical Diagnosis & Treatment, 2011
http://www.medicastrore.com
www.eMedicine.com.
TUBERKULOSIS PARU
1. DEFINISI
31
Tuberculosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai
hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi
infeksi primer.
2. EPIDEMIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia,
menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per
tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian
penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB
berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia
jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan
darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman TB.
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit
jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa
tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi.
Antara tahun 1979-1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-
400 penderita tiap 100.000 penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita
terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an
swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan
kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB
kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB 32
Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) -atau
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan
angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56%
dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang
tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul
kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug
resistance (MDR).
3. ETIOLOGI
Bakteri Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum.
Mikrobakteri termasuk genus (Mycobacterium) keluarga Mycobacteriaceae dalam ordo
Actinomycetales. Kuman tuberculosis pada manusia adalah M. tuberculosis dan M. bovis.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat
mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat
yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama
selama beberapa tahun.
Basil tuberkel adalah batang bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 µm dan lebarnya 0.2-0.5
µm. kuman ini merupakan aerob obligat dan dapat tumbuh pada media buatan sederhana
dengan gliserol atau senyawa lain sebagai sumber karbon serta garam ammonium sebagai
sumber nitrogen. Pertumbuhan basil tuberkel khas lambat dengan waktu generasi 12-14 jam.
Oleh karena itu, kuning telur merupakan bahan utama untuk media yang diperkaya karena
nutrisi pilihan mikobakteri adalah lipid. Organisme ini tumbuh paling baik antara suhu 37-
410C. bakteri ini memiliki bentuk koloni yang khas, tidak berpigmen, dan bereaksi dengan
merah netral. Strain yang virulen tumbuh pada permukaan media cairan atau padat sebagai
tali serpentin yang berpilin, serta memiliki aktivitas katalase dan peroksidase.
Komponen utama basil tuberkel adalah polisakarida, yang berada dalam bentuk gabungan
kimia dengan lipid di dalam dinding sel. Gambaran komposisi yang paling menonjol adalah
kandungan lipid yang sangat tinggi, sejumlah 20-40% dari berat keringnya. Dinding sel yang
33
kaya lipid berperan untuk sifat hidrofobi, tahan asam, impermeabilitas relative, dan
resistensi terhadap kerja bakterisid antibody dan komplemen. Contoh lipid dan asam lemak
yang unik pada dinding sel mikrobakteri adalah lilin murni, glikolipid, dan asam mikolat.
Lilin D dan tuberkuloprotein diduga berperan pada hipersensitivitas tuberculin dan
reaktivitas tes kulit.
Cara Penularan :
Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet. Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Kuman TB menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas,
atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Risiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang
tidak sehat (hygiene dan sanitasi tidak baik).
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang
infeksius, terutama dengan BTA positif. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang
dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum
34
positif, infiltrate luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk
produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi
udara yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa di sekitarnya. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut:
Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitasi
anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit.
Lokasi infeksi primer yang berkembang menjadi TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum.
Tidak ada/setidaknya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah
parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain.
2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
35
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3) Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB
saluran kemih dan alat kelamin.
4) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2. Kasus kambuh (Relaps)
36
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)
3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya
6. Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
4. PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan oleh mekanisme imunologis
nonspesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan.
Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan terus berkembang biak dalam makrofag, menyebabkan
lisis makrofag lalu membentuk lesi focus primer Ghon.
Dari focus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer yang menyebabkan terjadinya
limfangitis dan limfadenitis yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus bawah atau
37
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), jika
focus primer terletak di apeks paru yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan
antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex). Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung
selama 4-8 minggu.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Pada sebagian besar individu dengan
system imun yang berfungsi baik, pada saat system imun selular berkembang, proliferasi
kuman terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.
Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijauan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahu-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling
sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks
38
paru, limfa, dan kelenjar limfe superficial. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap
hidup, teatp tidak aktif (tenang/dorman), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang
di apeks paru disebut dengan focus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut dengan TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bln setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya oada anak di bawah 5 tahun
(balita) terutama di bawah 2 tahun.
Tuberculosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalannya di
dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat
tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang
lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai
butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologik anatomic, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan secara histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijauan di dinding vascular pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran penyakit tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
TB paru kronik adalah TB pascaprimer (postprimary TB) sebagai akibat reaktivasi kuman di
dalam focus yang tidak mengalami resolusi sempurna. TB ektrapulmonal, yang biasanya
39
juga merupakan manifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB system skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi. TB ginjal
biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Ranke membagi TB dalam 3 stadium, yaitu:
Stadium pertama : kompleks primer dengan penyebaran limfogen
Stadium kedua : pada waktu terjadi penyebaran hematogen
Stadium ketiga : TB paru menahun (chronic pulmonart tuberculosis)
Klasifikasi TBC Paru yaitu :
I. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
II. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
40
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
III. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
IV. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)
Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
41
Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan
Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya
Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
5. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak
pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Keluhan yang terbanyak adalah :
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan
dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza
ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Batuk/batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus
pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan
setelah peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
42
Kebanyakkan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah
bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai
ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis . terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya.
e. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama
pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Tempat kelainan lesi
pada TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya
infiltrat yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas
bronchial. Akan di dapatkan juga suara napas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi
vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi
43
mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat lebih menjadi hiperinflasi. Bila jaringan
fibrotik menjadi sangat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi
pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
(hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan di
dapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia,
sianosis, right ventricular lift, right arterial gallop, murmur Graham-steel, bunyi P2 yang
mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan
suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatnya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberculin yang
positif.
Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu
Manifestasi sistemik. Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak
spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Keluhan
sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan tumor necrosis factors-α (TNF-α).
Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama.
Manifestasi sitemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, BB tidak naik dan
malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Batuk kronik pada anak bukan merupakan gejala yang
utama. Focus primer TB paru pada anak terdapat di daerah parenkim yang tidak
mempunyai reseptor batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul
bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara
kronik. Gejala sesak jarang dijumpai, kecuali keadaan sakit berat yang berlangsung akut,
misalnya TB milier, efusi pleura dan pneumonia TB.
Manifestasi spesifik organ/local
Bagian Yg Terinfeksi Gejala atau komplikasi
Rongga perut Lelah, nyeri tekan ringan, nyeri seperti apendisitis
Kandung kemih Nyeri ketika berkemih
44
Otak Demam, sakit kepala, mual, penurunan kesadaran,
kerusakan otak yg menyebabkan terjadinya koma
Perikardium Demam, pelebaran vena leher, sesak nafas
Persendian Gejala yg menyerupai arthritis
Ginjal Kerusakan gijal, infeksi di sekitar ginjal
Organ reproduksi pria Benjolan di dalam kantung zakar
Organ reproduksi
wanita
Kemandulan
Tulang belakang Nyeri, kollaps tulang belakang & kelumpuhan tungkai
6. DIAGNOSA
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, atau biopsy jaringan.
Diagnosis tuberkulosis pada anak biasanya dibuat berdasarkan berbagai data yaitu gambaran
klinis, gambaran radiologis (foto toraks yang mengarah pada sugestif TB), kontak erat
dengan penderita tuberculosis BTA positif, dan uji tuberkulin yang positif, gejala dan tanda
sugestif TB.
Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Tuberculin
Tuberculin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenic yang
kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB
(telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular
terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Ini terjadi
karena vasodilatasi local, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi
di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberculin tidak dapat
menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit.
Uji tuberculin merupakan alat diagnostic yang tinggi terutama pada anak dengan
sensitivitas dan spesifitas >90%. Tuberculin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
45
PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum Institute Denmark dan PPD
(purified protein derivative) dari Biofarma.
Uji tuberculin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0.1 ml PPD RT-23 2TU
atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan
48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan berdasarkan indurasi yang
timbul, bukan hipermi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk
menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal
indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam
millimeter (mm). Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu
dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula.
Apabila diameter indurasi 10-15mm uji tuberculin positif kuat
Apabila diameter indurasi 6-9 mm uji tuberculin positif meragukan
Apabila diameter indurasi 0-5mm uji tuberculin negative
Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut :
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi mikobakterium atipik
Uji tuberculin negatif palsu jika :
1. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TBC
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi, penyakit sistemik berat ( Sarkoidosis, LE )
2. Pemeriksaan Sputum
46
Pemerisaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis
tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tetapi kadang tidak
mudah untuk mendapatkan sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk ataupun
pasien yang batuk non-produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum
pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan untuk meminum air sebanyak + 2 liter dan
diajarkan untuk melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan
obat-obatan mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik
selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
di ambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (bronco alveolar lavage).
BTA dari sputum dapat juga diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering
dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang
akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan bila
bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang
mengandung kuman BTA mudah keluar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila
sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata
lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.
Pemeriksaan sputum untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen sputum yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
S (sewaktu): sputum dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot sputum untuk mengumpulkan sputum
pagi pada hari kedua.
P (Pagi): sputum dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S (sewaktu): sputum dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan sputum
pagi.
3. Pemeriksaan Darah
47
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru di
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung
jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah
limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan : 1). Anemia ringan dengan gambaran
normokrom dan normositer ; 2). Gama globulin meningkat ; 3). Kadar natrium darah
menurun. Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.
4. Radiologi
Pada anak dengan uji tuberculin positif akan dilakukan pemeriksaan radiologis.
Secara rutin dilakukan foto Rontgen paru atas indikasi juga dibuat foto Rontgen alat
tubuh lain, misalnya foto tulang punggung pada spondilitis.
Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberculosis paru ialah:
Kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran, Pembesaran kelenjar paratrakeal,
kelenjar hilus, Penyebaran milier, Penyebaran bronkogen. Atelektasis, Kavitas,
Kalsifikasi dengan infiltrate, Pleuritis dengan efusi dan Tuberkulom.
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru
(segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai
lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya
pada tuberkulosis endotrakial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-
lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat
bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-
48
bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus atau satu bagian
paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), masa cairan dibagian bawah paru (efusi plura/empiema),
bayangan hitam radio-lusen dipinggir paru/pleura (pneumotoraks).
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi
tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TB paru BTA
positif. (lihat bagan alur)
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT. (lihat bagan alur)
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis
atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk
menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
49
5.
Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada diantaranya adalah PAP TB, Mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum
ada satu pun pemeriksaan serulogis yang dapat memenuhi harapan itu. Semua
pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis
praktis.
6. Bakteriologis
Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis.
Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan
mikroskopis apusan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M.
tuberculosis. Penemuan basil tuberculosis memastikan diagnosis tuberculosis, tetapi
tidak ditemukannya basil tuberculosis bukan berarti tidak menderita tuberculosis.
Bahan-bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis ialah bilasan lambung,
50
secret bronkus, sputum pada anak besar, cairan pleura, likuor serebrospinalis, cairan
asites.
7. Patologi Anatomi (PA)
Biasanya diperiksa kelenjar getah bening, hepar, pleura, peritoneum, kulit dan lain-lain.
Pada pemeriksaan ditemukan tuberkel dan basil tahan asam. Pemeriksaan PA dapat
menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik
perkijauan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya
adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia langhans). Diagnosis
histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijauan (kaseosa), sel epiteloid,
limfosit, dan sel datia langhans. Kadang-kadang dapat ditemukannya juga BTA.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
51
Fixed Dose Combination (FDC)
Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (,adherence) pasien dalam menjalani
pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu
sediaan obat kombinasi dengan dosis yang telah ditentulcan, yaitu FDC atau kombinasi dosis tetap
(KDT). Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut:
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien.
Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar dengan
tepat.
Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan, penyimpanan, dan
distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program pemberantasan TB).
Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga mengurangi resistensi
terhadap obat TB.
Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.
Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat
mengurangi beban kerja.
Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
52
Jenis dan dosis OAT
Jenis OAT Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Dosis anjuran Dosis maksimalIsoniazid (H) 5 – 15 mg/kgBB/hari 300 mg/hari
Rifampicin (R) 10 – 20 mg/kgBB/hari
600 mg/hari
Pyrazinamide (Z) 15 – 30 mg/kgBB/hari
2000 mg/hari
Streptomycin (S) 15 – 20 mg/kgBB/hari
1250 mg/hari
Ethambutol (E) 15 – 40 mg/kgBB/hari
1000 mg/hari
Panduan OAT dan peruntukannya
a) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
Berat BadanTahap Intensif
tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
b) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
53
Berat Badan
Tahap Intensiftiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan3 kali semingguRH (150/150) +
E(400)
Selama 56 hariSelama 28
hariselama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj.
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT+ 750 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT+ 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT+ 1000 mg Streptomisin
inj.
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT+ 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT+ 1000mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
5 tab 2KDT+ 5 tab Etambutol
Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c) OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Berat BadanTahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)30 – 37 kg 2 tablet 4KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDTPenggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah dari pada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat
juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
54
TIPEPASIEN TB
U R A I A N HASIL BTA TINDAK LANJUT
Pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1
Akhir tahapIntensif
NegatifTahap lanjutan dimulai.
Positif
Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan.
Sebulan sebelumAkhir
Pengobatan
Negatif OAT dilanjutkan.
PositifGagal, ganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal.
Akhir Pengobatan
(AP)
Negatif danminimal satu pemeriksaan
sebelumnya negative
Sembuh.
PositifGagal, ganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal.
Pasien baru BTA neg & foto toraks mendukung TB dengan pengobatan kategori 1
Akhir intensif
NegatifBerikan pengobatan tahap lanjutan sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap.
PositifGanti dengan Kategori 2 mulai dari awal.
Pasien BTA positif dengan pengobatan kategori 2
Akhir Intensif
Negatif
Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan.
Positif
Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan obat.
Sebulan sebelum Akhir
Pengobatan
Negatif Lanjutkan pengobatan hingga selesai.
Positif
Pengobatan gagal, disebut kasus kronik, bila mungkin lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik.
Akhir Negatif Sembuh.
55
Pengobatan (AP)
Positif
Pengobatan gagal, disebut kasus kronik, jika mungkin, lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik.
Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan: Lacak pasien Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:
Tindakan-1 Tindakan-2 Lacak pasien Diskusikan dan
cari masalah Periksa 3 kali
dahak (SPS) dan lanjutkan pengobatan sementara menunggu hasilnya
Bila hasil BTA negatif atau TB extra paru :
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Bila satu atau lebih hasil BTA positif
Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan *)
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Lama pengobatan sebelumnya lebih dari 5 bulan
Kategori-1: mulai kategori-2
Kategori-2: rujuk, mungkin kasus kronik.
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)
Periksa 3 kali dahak SPS
Diskusikan dan cari masalah
Hentikan pengobatan sambil menunggu hasil pemeriksaan dahak.
Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru:
Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi bila gejalanya semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan atau biakan)
Bila satu atau lebih hasil BTA positif
Kategori-1 Mulai kategori-2
Kategori-2 Rujuk, mungkin kasus kronik.
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan
sebelumnya kurang dari 5 bulan:
lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir
pengobatan harus diperiksa dahak.
56
a. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang
dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Efek Samping Obat dan Penatalaksanaannya
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut
RifampisinSemua OAT diminum malam sebelum tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
INHBeri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari
Warna kemerahan pada air seni (urine)
RifampisinTidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien.
57
Efek samping berat OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan.
Gangguan keseimbangan StreptomisinStreptomisin dihentikan, ganti Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lainHampir semua OAT
Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-muntah
(permulaan ikterus karena obat)
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali
OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping
tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge
yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reakasi hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi
dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya
kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh 58
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila
pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV
negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi
pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang
berat.
Evaluasi Hasil Pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu
menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya
penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan
lain-lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali
pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura atau
bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto torak perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi
hasil pengobatan sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto torak dilakukan setelah 2
minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal
pengobatannya nilainya tinggi.
Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik„ yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi
penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak
ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten
terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk
ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi
evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan menelan obat, kemungkinan adanya
penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat
perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks utang pada akhir pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin.
Pengobatan 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M.
59
tuberculosis bertahan dalam tubuh, d-aan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya
relaps. Pengobatan > 6 bulan pada TB paru tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang tidak
berbeda bermakna dengan pengobatan 6. bulan.
Evaluasi Efek Samping Pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup spring terjadi
pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam
dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid tidak melebihi 10
mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi.
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT dan SGPT hingga >5 kali tanpa gejala,
atau >3 kali batas normal (40 U/1) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5
mg/di, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapa pun yang disertai dengan ikterus,
anoreksia, nausea dan muntah. Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan
p,ertama pengobatan..
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.
Peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami
resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih dari >5 kali tanpa gejala,
atau ≥3 kali batas atas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara
atau penurunan dosis rifampisin. Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan pengobatan dengan isoniazid
dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan
pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase >5 kali tanpa gejala, tau >3 kali batas atas normal
disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa
kembali setelah 1 minggu penghentian. Obat antituberkullosis diberikan kembali apabila nilai
laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan
rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis
dan laboratorium dengan cermat.
Putus Obat. Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama >2 minggu.
60
Multidrug Resistance TB. Multidrug resistance TB adalah isolat M. tuberculosis yang resisten
terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan
adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Ada beberapa
penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT, yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan
paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar,
dan kurangnya keteraturan menelan obat. Menurut WHO, pengendalian yang benar yaitu dengan
menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS)
8. KOMPLIKASI
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi terbagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.9
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus, Poncet’s arthropathy.
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas -> SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat -> SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindroma gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada
TB milier dan kavitas TB.
9. PENCEGAHAN
Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak
0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah
dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila
BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Insidens TB
anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak
pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi.
Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi I imunokompromais, misalnya defisiensi imun,
infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi
mencapai BB optimal.
61
Kemoprofilaksis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis
sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer
diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgbB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini
diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum
terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian
profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis dihentikan, hingga 6 bulan. Jika
terjadi konversi tuberkulin rnenjadi positif, evaluasi status TB pasien.
62
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Budiman dr, 1996. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan
Kedua. Jakarta
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi
11. Alih bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC
Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
bag 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo, W. Aru dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Dep.IPD
FKUI.
Universitas Indonesia (FKUI), 2004. Kuliah Tuberculosis. http://ui.org/
fk/kuliah/respirasi/tuberculosis.htm.
Wirawan Dewa Nyoman, dr. MPH, April 1997. Epidemiologi Dasar. Laboratorium
Epidemiologi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Denpasar
World Health Organitation (WHO), 2004. Epidemiology of Tuberculosis.
http://who.org/orgs/dissease/tuberculosis/epidemiology.htm.
63