LAP 1 Geriatri

52
LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI SKENARIO 1 KEGAWATAN JATUH PADA GERIATRI KELOMPOK 18 LES YASIN G0012244 M. BEIZAR YUDHISTIRA G0012134 RIZKI FEBRIAWAN G0012190 YUSUF ARIF SALAM G0012240 TRIA MULTI FATMAWATI G0012222 LELY AMEDHIA RATRI G0012114 TIA KANZA NURHAQIQI G0012220 R.rr ERVINA KUSUMA W G0012168 LATIFA ZULFA S G0012112 RIANITA PALUPI G0012180 OKI SARASWATI UTOMO G0012156 TUTOR:

description

laporan tutorial skenario 1 blok geriatri FK UNS

Transcript of LAP 1 Geriatri

Page 1: LAP 1 Geriatri

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GERIATRI

SKENARIO 1

KEGAWATAN JATUH PADA GERIATRI

KELOMPOK 18

LES YASIN G0012244

M. BEIZAR YUDHISTIRA G0012134

RIZKI FEBRIAWAN G0012190

YUSUF ARIF SALAM G0012240

TRIA MULTI FATMAWATI G0012222

LELY AMEDHIA RATRI G0012114

TIA KANZA NURHAQIQI G0012220

R.rr ERVINA KUSUMA W G0012168

LATIFA ZULFA S G0012112

RIANITA PALUPI G0012180

OKI SARASWATI UTOMO G0012156

TUTOR:

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2015

Page 2: LAP 1 Geriatri

BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO 1

“Aduh nek, kakek jatuh terjerumus parit ”

Kekek Yoso, seorang pensiunan guru, yang masih bugar di usianya yang 60

tahun, tiba-tiba merasa berkunang-kunang dan jatuh terjerumus parit pada saat

jalan-jalan di pagi hari bersama istrinya.

Esok harinya nyeri lututnya kembali, bahkan sulit digerakkan dan minta di

bawa ke dokter. Pemeriksaan dokter tekanan darah 190/100 mmHg. Hasil

pemeriksaan laboratorium UGD didapatkan GDS 200 mg/dl, Hb 10,5 gr % , tidak

ditemukan proteinuria. EKG dalam batas normal.

Kakek mengeluhkan mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa.

Jika berjalan merasa tidak stabil dan nggliyeng (serasa ingin jatuh).

Sebelumnya beliau minum bisoprolol dan HCT secara rutin, kaang – kadang

mengkonsumsi antalgin atau meloxicam yang beli di toko obat untuk meredam

nyeri sendiri.

Page 3: LAP 1 Geriatri

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

Seven Jump

Jump I: Klarifikasi Istilah

Dalam skenario ini beberapa istilah yang perlu diklasifikasi adalah sebagai

berikut:

1. Bisoprolol : obat golongan beta bloker untuk mengobati penyakit jantung

dan terutama diindikasikan untuk orang yang menderita hipertensi.

2. Meloxicam : obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang bersifat

analgesik, antipiretik dan anti inflamasi yang bekerja dengan menghambat

COX2. Tersedia dalam sediaan 7,5 mg dan 15 mg.

Jump II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan

Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:

1. Apa penyebab berkunang-kunang pada pasien?

2. Apa sajakah kemungkinan yang dapat menyebabkan kakek Yoso terjatuh?

3. Bagaimana mekanisme munculnya nyeri lutut yang kembali kambuh 1

hari setelah terjatuh?

4. Bagaimana interpretasi hasil pemerikaan fisik?

5. Apa penyebab mata kabur, pendengara berkurang dan sering lupa pada

pasien?

6. Mengapa pasien merasa badannya tidak stabil dan nggliyeng saat

berjalan?

7. Apakah efek bisoprolol dan HCT pada kasus kakek Yoso?

8. Bagaimanakah konsumsi antalgin dan meloksikam dalam jangka panjang

dengan keluhan pasien?

9. Bagaimana hubungan usia pasien dengan keluhan yang dialami?

Jump III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara

mengenai permasalahan

A. Fisiologi dan teori penuaan.

Page 4: LAP 1 Geriatri

1. Teori Mengenai Proses Penuaan

a. Teori “Genetic Clock”

Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) nya suatu jam genetik

yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jma ini akan menghitung

mitosis dan mengehntikan replikasi sel bila tidak dipuat, jadi bila jam itu

menghentikan replikasi sel maka kita akan meninggal dunia, meskipun tanpa

disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal.

b. Mutasi somatik (teori error Catastrophe)

Faktor-faktor penyebab terjadinya menua adalah faktor lingkungan yang

menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Radiasi dan zat kimia dapat

memperpendek umur, sebaliknya menghindari terkenanya radiasi atau

tercemar zat kimia yang bersifat karsinogenik atau toksis, dapat

memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif

pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan

fungsional sel tersebut.

Menurut hipotesis ini, menua disebabkan oleh kesalahan yang

beruntun. Setelah berlangsung dalam waktu lama, terjadi kesalahan transkipsi

DNA menjadi RNA, amupun dalam proses translasi RNA -> protein/enzim.

Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya enzim yang salah

sehingga akan terjadi proses metabolisme yang salah dan kesalahan sintesis

protein atau enzim.

c. Rusaknya sistem imun tubuh

Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi dapat

menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali

dirinya sendiri. Jika mutasi somatik, dapat menyebabkan kelaiann pada

antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun

tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan sebagai zat asing dan

menghancurkannya (autoimun).

Page 5: LAP 1 Geriatri

Dipihak lain, sistem imun tubuh sendiri, daya pertahanannya mengalami

penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi

menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah.

d. Teori menua akibat metabolisme

Perpanjangan umur berasosiasi dengan tertundanya proses degenerasi.

Perpanjangan kalori akibat penurunan jumlah kalori disebabkan karena

menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan

pengeluaran hormon yang merangsang proliferasi sel, misalnya insulin dan

hormon pertumbuhan. Pentingnya metabolisme sebagai faktor penghambat

umur panjang. Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan tersebut.

e. Teori radikal bebas

Menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat

reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan komponen penting selular,

termasuk protein, DNA, dan lipid, serta menjadi molekul- molekul yang tidak

berfungsi namum bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya.

Proses menua normal merupakan akibat dari kerusakan jaringan oleh

radikal bebas, dimana mitokondria sebagai generator radikal bebas, juga

merupakan target dari kerusakan radikal bebas tersebut.

Radikal bebas merupakan senyawa kimia yang berisi elektron tidak

berpasangan. Radikal bebas tersebut terbentuk sebagai hasil sampingan

berbagai proses selular atau metabolisme yang melibatkan oksigen.

Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak membran sel

atau kromosom sel. Lebih jauh, teori radikal bebas menyatakan bahwa

terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap di dalam sel sejalan dengan

waktu, dan bila kadarnya melebihi konsentrasi ambang maka mereka ingin

berkontribusi pada perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan

penuaan.

f. Teori glikosilasi

Menyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik yang menghasilkan

pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai advanced glycation end

Page 6: LAP 1 Geriatri

products (AGEs) yang dapat menyebabkan penumpukan protein dan

makromolekul lain yang termodifiakasi sehingga terjadi disfungsi pada

hewan dan manusia.

g. Teori DNA repair

Menujukkan bahwa dengan adanya perbedaan pola laju perbaikan

(repair) kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai

fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang mempunyai umur

maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar, dan korelasi

ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan piniata.

2. Fisiologi Proses Menua

Homeostenosis yang merupakan karakteristik fisiologis penuaan adalah

keadaaan penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi

sering meningkatanya usia pada setiap sistem organ.

Seiring bertambahnya usia, jumlah cadangan fisiologis untuk

menghadapi berbagai perubahan semakin berkurang. Setiap perubahan

homeostasis merupakan pergerakan menjauhi keadaan dasar, dan semakin

besar perubahan yang terjadi maka semakin besar cadangan fisiologis

homeostasi yang diperlukan untuk kembali ke homeostasis. Di sisi lain,

dengan makin berkurangnya cadangan fisiologis, maka seorang usia lanjut

lebih mudah untuk mencapai suatu ambang, yang berupa keadaan sakit atau

kematian akibat perubahan tersebut.

Seorang usia lanjut tidak hanya memiliki cadangan fisiologis yang

semakin berkurang, namun mereka juga memakai atau menggunakan

Page 7: LAP 1 Geriatri

cadangan fisiologis tersebut untuk mempertahankan homeostasis. Akibatnya

akan semakin sedikit cadangan yang tersedia untuk mengjhadapi perubahan.

3. Aplikasi Klinis Proses Menua

Sistem dalam Tubuh Perubahan yang TerjadiSistem Endokrin Toleransi glukosa terganggu

Penurunan DHEAPenurunan testosteronPenurunan hormon T3Penurunan produksi vitamin D oleh kulitPenurunan hormon ovariumPeningkatan kadar hormon sistein serum

Sistem Kardiovaskuler

Berkurangnya pengisian ventrikel kiriBerkurangnya sel pacu jantung di nodus SAHipertrofi atrium kiriWaktu kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri lebih lamaPenuruana curah jantung maksimalLapisan subendotel menebal menjadi jaringan ikatPeningkatan resistensi vaskuler perifer

Tekanan Darah Peningkatan tekanan darah sistolikTidak ada perubahan tekanan darah diastolikBerkurangnya vasodilatasi dimediasi beta adrenergikTerganggunya perfusi autoregulasi otak

Otot Massa otot berkurang secara bermaknaEfek penuaan paling kecil pada otot diafragmaBerkurangnya sintesis rantai berat myosinBerkurangnya inervasiMeningkatnya myofibrilInfiltrasi lemak ke berkas ototPeningkatan fatigabilitasBerkurangnya laju metabolisme basal

Tulang Melambatnya penyembuhan frakturBerkurangnya massa tulangBerkurangnya formasi osteoblas tulang

Sendi Terganggunya matriks kartilagoModifikasi proteoglikan dan glikosaminoglikan

Penglihatan Terganggunya adaptasi gelapPengeruhan pada lensaBerkurangnya fokus penglihatanBerkurangnya sensivitas terhadap korneaBerkurangya lakrimasi

Page 8: LAP 1 Geriatri

Ginjal Berkurangya bersihan kreatininPenuruan massa ginjal sebesar 25%Menurunnya eksresi dan konservasi K dan NaBerkurangnya sekresi akibat penambah asamMenurunnya aktivasi vitamin D

B. Penyakit penyerta pada geriatri yang terdapat pada kasus Kakek Yoso

1. Hipertensi pada usia lanjut

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg

dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur dengan

spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran

manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi

duduk punggung tegak atau terlentang, atau paling sedikit selama 5

menit sampai 30 menit setelah merokok atau minum kopi (Kaplan,

2006). Kriteria hipertensi menurut JNC VII (2007) :

KLASIFIKASI

TEKANAN

DARAH

TEKANAN

DARAH

SISTOL

(mmHg)

TEKANAN

DARAH

DIASTOL

(mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stage

1

140-159 90-99

Hipertensi Stage

2

160 atau >160 100 atau

>100

Hipertensi didiagnosis berdasarkan peningkatan tekanan darah

sistolik dan diastolik. Ketika tekanan darah sistolik dan diastolik berada

pada pada kategori yang berbeda, maka dipilih kategori yang lebih tinggi

untuk mengklasifikasikan tekanan darah individu. Menurut Kaplan

(2006) hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu :

Page 9: LAP 1 Geriatri

a) Hipertensi Primer (essensial)

Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-

55 tahun, sedangkan usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan.

Patogenesis hipertensi essensial adalah multifaktorial. Faktor-faktor

yang terlibat dalam patogenesis hipertensi essensial antara lain faktor

genetik, hipertaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin,

defek natriuresis, natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi

alkohol secara berlebihan

b) Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik.

Hipertensi sekunder apat terjadi pada individu dengan usia sangat muda

tanpa disertai riwayat hipertensi dalam keluarga. Individu dengan

hipertensi pertama kali pada usia di atas 50 tahun atau yang sebelumnya

diterapi tapi mengalami refrakter terhadap terapi yang diberikan

mungkin mengalami hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi sekunder

antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler

ginjal, hiperaldosteronisme primer dan sindroma chusing,

feokromsitoma, koarktasio aorta, kehamilan, serta penggunaan obat-

obatan.

2. Osteoarthritis (OA)

Osteoarthritis adalah penyakit sendi degenarif yang berkembang

lambat, progresif, dan menyebabkan kerusakan kartilago sendi.

Karakteristik penyakit ini antara lain menipisnya tulang rawan sendi

secara progresif disertai pembentukan tulang baru pada trabekula

subkondral dan terbentuknya tulang rawan sendi dan tulang baru pada

tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik, proses OA ditandai dengan

menipisnya rawan sendi disertai pertumbuhan dan remodeling tulang di

sekitarnya (bony overgrowth) diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang

di sekitarnya. Beberapa faktor risiko OA adalah:

a. Umur: jarang pada usia < 40 tahun dan tersering usia > 60 tahun.

Page 10: LAP 1 Geriatri

b. Jenis kelamin: wanita (khususnya mengenai banyak sendi dan sendi

lutut), laki-laki (biasanya pada sendi pinggul, pergelangan tangan,

dan leher) dan setelah menopause lebih sering pada wanita

dibanding laki-laki.

c. Suku bangsa: orang kaukasoid lebih sering terkena daripada orang

asia dan kulit hitam; orang Indian lebih sering dari orang kulit putih.

Klasifikasi osteoartritis menurut etiologinya:

a. Osteoartritis primer: kausanya tidak diketahui (idiopatik)

b. Osteoartritis sekunder: pekerjaan dan olahraga (tekanan berlebih,

obesitas (beban tubuh berlebih), usia lanjut (proses penuaan),

gangguan endokrin (menopause), cedera sendi) (inflamasi), genetik,

kelainan pertumbuhan.

Manifestasi klinis osteoartritis antar lain nyeri sendi, hambatan

gerak (keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat

gesekan kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi,

perubahan gaya berjalan. Diagnosis OA dapat ditegakkan melalui

anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Beberapa

pemeriksaan dalam penegakkan diagnosis OA antara lain:

a. Fisik: terdapat gambaran gejala klinis seperti yang disebut di atas.

b. Radiologis: terdapat gambaran penyempitan celah sendi asimetris,

peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang,

osteofit pada tepi sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi

c. Laboratorium darah: pemeriksaan darah tepi dan imunologis (ANA,

faktor rematoid dan komplemen) dalam keadaan normal. Namun,

jika terjadi peradangan akan terlihat penurunan viskositas,

pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan sel radang dan

protein.

Gejala klinis pada OA, di antaranya nyeri sendi, hambatan gerak

(keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat gesekan

kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi, kaku

Page 11: LAP 1 Geriatri

pagi, tanda-tanda radang (kalor, dolor, tumor, rubor, finctio laesa),

deformitas sendi, perubahan gaya berjalan.

Patogenesis Osteoathritis

Jejas mekanik pada sinovial sendi

Molekul abnormal

Degenerasi kartilago Kompensatorik

Sendi+inflamasi

Aktivitas fibrinogenik Regenerasi kartilago Remodelling tulang Aktivitas fibrinolitik

Trombus & kompleks lipid Sintesis kolagen, Pembentukan osteofitmenyumbat pembuluh darah proteoglikan, di tepi sendi

menekan enzim streptomisin,Iskemik & nekrosis jaringan proliferasi sel

Penekanan

periosteum dan radiks sarafMerangsang mediator kimiawiProstaglandi dan interleukin

Nyeri Merangsang monositmenjadi osteoklas danmeresorpsi matriks kartilago

Gangguan homeostasis sendi

Perlunakan, perpecahan, dan pengelupasan lapisan tulang rawan sendi (osteoarthritis)

3. Gangguan penglihatan, pendengaran dan sring lupa pada usia

lanjut

a. Gangguan pemglihatan

Page 12: LAP 1 Geriatri

Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam

proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan

akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan warna

serta kekeruhan lansa mata, yaitu katarak. Semakin bertambahnya

usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk

lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sklera.

Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia.

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan

akibat proses menua:

a) Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan

akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi

lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis,

dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk

memusatkan penglihatan jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu

kesulitan dalam membaca huruf huruf yang kecil dan kesukaran

dalam melihat dengan jarak pandang dekat.

b) Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter

pupil mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu

penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan

perifer pada tingkat tertentu.

c) Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang

terakumulasi dapat enimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini

adalah penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan

kesukaran dalam membaca dan memfokuskan penglihatan,

peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya

penglihatan pada malam hari, gangguan dalam persepsi

kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian),

perubahan dalam persepsi warna.

d) Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata

berpotensi terjadi sindrom mata kering.

Page 13: LAP 1 Geriatri

b. Gangguan Pndengaran

Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis

dapat mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan pendengaran pada

lansia disebut presbikusis.

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan

akibat proses menua:

a) Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi

sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan

komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi

perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan

pendengaran secara bertahap. Ketidak mampuan untuk

mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam

mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi seperti beberapa

konsonan (misal f, s, sk, sh, l).

b) Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap

membran timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan

ligamen menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah

gangguan konduksi suara.

c) Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal,

kulit menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin.

Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen

sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara.

c. Demensia

Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang

progresif setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi

(umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan

perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan

fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan

Page 14: LAP 1 Geriatri

pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya

progresif. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi

kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran (Maramis, 2005).

Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat

kronik / progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal

yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya orientasi , daya

pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa ,

kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai

hendaya fungsi kognitif , dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan

(detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau

motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit

kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau

sekunder mengenai otak (Depkes, 2003).

Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.

Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap

kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi

demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada

kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40

persen (Maramis, 2005).

Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia

diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia

vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya. Penyebab lain yang

mencapai kira-kira 10 % diantaranya adalah demensia jisim Lewy

(Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal,

hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia

infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau

sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui

evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab

yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya

Page 15: LAP 1 Geriatri

hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12

atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi

(Maramis, 2003).

Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset)

yang dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang

bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan

kematian. Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan

beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien

sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien.

Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling

sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia

vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme.

Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung

dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara

mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan

tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga

pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu

dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan

benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut

dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik (Tombon,

2003).

Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh

karena perbaikan bagian- bagian otak (self-healing), gejala-gejala

pada demensia dapat berlangsung lambat untuk 25 beberapa waktu

atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada

demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme,

hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan

terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi

yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga

demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia

Page 16: LAP 1 Geriatri

vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada

demensia yang terkait dengan trauma kepala) (Hardywinoto, 1999).

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan

kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik

untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus

mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien

usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan

peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan aktivitas

antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil,

rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase

yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga

sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan

inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan

potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya

menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat

bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan

hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih

baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik (Maramis, 2003).

Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin

jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas.

Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan

galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI)

dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada

donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah

degenerasi neuron progresif (Nugroho, 2003).

Penyebab pasien berkunang-kunang dan terjatuh

1. Perubahan pada proses menua yang berkaitan dengan instabilitas dan jatuh

Page 17: LAP 1 Geriatri

a. Perubahan kontrol postural

Proses menua mengakibatkan perubahan pada kontrol postural yang

mungkin memegang peranan penting pada sebagian besar kejadian jatuh.

Pada lansia terjadi perubahan komponen dari kapasitas biomekanik meliputi

latensi mioelektrik yang memanjang, waktu untuk bereaksi yang memanjang,

input proprioseptif yang berkurang, lingkup gerak sendi yang menurun,

kekuatan otot yang menurun, perubahan postur tubuh, ayunan postural yang

meningkat, dapat meningkatkan prevalensi kejadian jatuh pada lansia.

b. Perubahan gaya berjalan

Pada umumnya, lansia tidak dapat mengangkat kakinya cukup tinggi

sehingga cenderung mudah terantuk. Pada lansia laki-laki, postur tubuh

membungkuk dengan kedua kaki melebar dan langkah pendek-pendek. Pada

lansia perempuan, kedua kaki menyempit dengan gaya jalan bergoyang-

goyang. Selain itu, pada lansia dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk

menyelesaikan satu siklus berjalan. Hal ini dapat meningkatkan risiko jatuh

sebesar lima kali lipat.

c. Peningkatan prevalensi kondisi patologis yang terkait dengan instabilitas

Penyakit sendi degeneratif terutama vertebra servikal leher,

lumbosakral, dan ekstremitas bawah, dapat menimbulkan rasa nyeri, sendi

tidak stabil, kelemahan otot, dan gangguan neurologis. Fraktur panggul dan

femur yang baru menyembuh dapat mengakibatkan gaya berjalan yang tidak

normal dan kurang mantap. Strok yang menyebabkan kelemahan otot dan

defisit sensorik dapat menyebabkan instabilitas. Berkurangnya input sensorik

pada neuropati diabetik dan neuropati perifer lainnya, gangguan penglihatan,

dan ganggguan pendengaran mengakibatkan berkurangnya isyarat dari

lingkungan yang berperan dalam kestabilan. Penyakit lain yang sering

dialami oleh usia lanjut, seperti penyakit Parkinson dan penyakit jantung

dapat mengakibatkan instabilitas dan jatuh pula.

d. Peningkatan prevalensi demensia

Page 18: LAP 1 Geriatri

Gangguan fungsi kognitif dapat mengakibatkan seseorang berjalan-

jalan (wandering) ke tempat atau lingkungan yang tidak aman dan

memudahkan untuk jatuh.

2. Faktor Risiko Jatuh pada Geriatri

a. Faktor risiko intrinsik

1) Faktor intrinsik lokal

Faktor risiko intrinsik lokal yang dapat menyebabkan jatuh pada

geriatri antara lain osteoarthritis pada genu atau vertebra lumbal, gangguan

pendengaran dan penglihatan, gangguan alat keseimbangan, dan kelemahan

musculus quadriceps femoris.

2). Faktor intrinsik sistemik

Faktor risiko intrinsik sistemik yang dapat menyebabkan jatuh

adalah berbagai penyakit yang dapat memicu gangguan keseimbangan dan

jatuh seperti PPOK, pneumonia, infark miokard akut, infeksi saluran kemih,

hiponatremia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipoksia, stroke, dan transient

iskemik attack (TIA).

Penyakit kardiovaskuler dan neurologis, dapat berkaitan dengan

jatuh. Stenosis aorta dapat menyebabkan sinkop dan jatuh pada lansia.

Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan

mengalami sinkop karena refleks tonus vagal yang meningkat akibat batuk,

mengedan atau berkemih sehingga terjadi bradikardi atau hipotensi. Stroke

akut dapat menyebabkan jatuh atau memberikan gejala jatuh. TIA sirkulasi

anterior dapat menyebabkan kelemahan unilateral dan meicu jatuh.

b. Faktor risiko ekstrinsik

Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor lingkungan yang

memudahkan lansia jatuh seperti pencahayaan yang kurang, lantai yang

licin, tidak rata, dan basah, tangga yang tidak aman, tidak ada tempat

berpegangan, dan benda-benda yang berserakan di lantai. Selain faktor

ekstrinsik tersebut, konsumsi obat-obatan juga merupakan salah satu faktor

risiko ekstrinsik. Golongan obat diuretik dapat menimbulkan keinginan

untuk buang air kecil terus-menerus sehingga harus sering ke kamar mandi

Page 19: LAP 1 Geriatri

sehingga meningkatkan faktor risiko jatuh. Obat-obat sedatif dan

antipsikotik juga dapat menyebabkan kantuk dan kurang waspada sehingga

meningkatkan risiko jatuh. Selain obat-obat golongan diuretik, sedatif dan

antipsikotik, obat-obat antihipertensi, antidepresi trisiklik, dan hipoglikemi

juga dapat meningkatkan faktor risiko jatuh.

3. Penyebab Jatuh pada Geriatri

a. Kecelakaan

Kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan murni seperti

terantuk, terpeleset, dan lain-lain yang mengakibatkan jatuh. Kecelakaan

biasanya disebabkan interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang

meningkatkan kerentanan.

b. Sinkop

Sinkop atau kehilangan kesadaran mendadak dapat disebabkan

respons vasovagal, gangguan kardiovaskuler, gangguan neurologis akut,

emboli paru, dan gangguan metabolit.

c. Drop attacks

Drop attacks merupakan kelemahan otot tungkai bawah mendadak

yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran. Kondisi tersebut

sering kali dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler yang dipicu oleh

perubahan posisi kepala.

d. Hipotensi ortostatik

Sekitar 10-20% lansia mengalami hipotensi ortostatik yang sebagian

besar tidak bergejala. Beberapa kondisi dapat menyebabkan hipotensi

ortostatik yang yang berat sehingga memicu timbulnya jatuh. Kondisi-

kondisi tersebut antara lain curah jantung yang rendah, disfungsi otonom

(akibat diabetes mellitus), gangguan aliran balik vena, tirah baring lama,

serta beberapa obat.

e. Dizziness dan atau vertigo

Dizziness atau rasa tidak stabil merupakan keluhan yang sering

diutarakan oleh lansia yang mengalami jatuh. Vertigo pada pasien geriatric

Page 20: LAP 1 Geriatri

biasanya dikaitkan dengan kelainan telinga bagian dalam, penyakit Meniere,

dan benign paroxysmal positional vertigo.

f. Obat-obatan

Obat-obatan yang dapat menyebabkan jatuh antara lain diuretika,

antihipertensi, antidepresi trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemia, dan

alkohol.

g. Proses penyakit

Kejadian jatuh biasanya dikaitkan dengan proses penyakit akut pada

sistem kardiovaskuler dan neurologis.

h. Idiopatik

Jatuh pada lansia yang tidak dapat diidentifikasi penyebabnya

termasuk ke dalam golongan ini.

4. Penatalaksanaan Jatuh dan Fraktur pada Geriatri

a. Prinsip penatalaksanaan jatuh pada geriatri

1) Mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh

2) Mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh

3) Memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan,

menguatkan otot, penggunaan alat bantu.

4) Mengubah agar lingkungan lebih aman seperti pencahayaan yang cukup,

lantai yang tidak licin, dan lain-lain)

5) Latihan fisik seperti senam tai chi.

Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium

Intrepretasi hasil Px fisik

- Tekanan darah 190/100 mmHg

Klasifikasi Hipertensi Menurut Joint National Commitee (JNC) VII

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah

Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah

Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stadium I 140-159 90-99

Page 21: LAP 1 Geriatri

Hipertensi Stadium II ≥160 ≥100

Jadi kakek Yoso menderita Hipertensi Stadium II

- Kadar gula darah sewaktu (GDS) 200 mg/dl

Tabel Kriteria kadar gula darah WHO

Golongan KlinikKadar Glukosa Darah (mg/dl)

Darah Vena Darah Kapiler Plasma Vena

Diabetes Melitus

a. Puasa

b. 2 jam setelah makan

>=120

>=180

>=120

>=200

>=140

>=200

Toleransi Gula

Terganggu

a. Puasa

b. 2 jam setelah makan

<120

120-180

<120

120-200

<140

140-200

Menurut American Diabetes Association diagnosis diabetes pada geriatric

ditegakkan bila : kadar gula plasma puasa >=126 mg/dl diambil 2 kali pada

waktu yang berbeda, Gula darah sewaktu >=200 mg/dl, kadar gula plasma

>=200 mg/dl dengan gejala.

- Kadar Hb 10,5 gr%

Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram hemoglobin dalam

100 ml darah, dan tiap gram hemoglobin dapat berikatan maksimal dengan

1,34 ml oksigen yang berarti bahwa rata-rata 15 gram hemoglobin dalam

100 ml darah dapat bergabung dengan hampir 20 ml oksigen bila saturasi

hemoglobin 100 persen. Cut off point kriteria WHO tahun 2000, dinyatakan

anemia bila :

a. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl

b. Perempuan dewasa : Hb < 12 g/dl

c. Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl

Page 22: LAP 1 Geriatri

d. Anak umur 6-11 tahun : Hb < 11,5 g/dl

e. Anak umur 6 bulan-5 tahun : Hb < 11 g/dl

Kadar hemoglobin pada wanita dewasa dapat digolongkan berdasarkan

tiga tingkatan yaitu : normal jika kadar Hb ≥ 12,0 g/dl, anemia ringan jika

kadar Hb 10,0-11,00 g/dl, dan anemia berat jika kadar Hb ≤ 8,0-9,9 g/dl.

Selain kriteria WHO, terdapat juga kriteria klinik anemia yang umumnya

dipakai di Indonesia, yaitu ; Hb < 10 g/dl, Ht < 30%, Eritrosit < 2,8

juta/mm3 .

Jika yang dimaksud dalam skenario adalah 10,5 gr/dl maka Kakek

Yoso bisa dikategorikan Anemia, tapi jika yang dimaksud dalam scenario

adalah 10,5 % atau kadar HbA1c maka hal itu menguatkan diagnosis

Diabetes Melitus yang diderita kakek Yoso. Menurut American Diabetes

Association kadar HbA1c pada orang normal kurang dari 5,8%, prediabetes

5,7% - 6,5%, sedangkan pada penderita diabetes kadarnya lebih dari 6,5%.

Jump IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan

sementara mengenai permasalahan pada langkah 3.

Daya IngatPenyakit kronik (OA , DM, Hipertensi)PenglihatanPendengaanIatrogenik

LingkunganPencahayaan

EkstrinsikIntrinsik

JATUH

Page 23: LAP 1 Geriatri

Jump V: Merumuskan tujuan pembelajaran

LO (Learning Objection) yang perlu diketahui dan dicari pada pertemuan kedua

adalah

1. Mengetahui tatalaksana, pencegahan, prognosis pada pasien geriatri

2. Mengetahui prinsip polifarmasi

3. Mengetahui mekanisme DM pada Lansia

4. Mengetahui efek samping obat-obat yang dikonsumsi kakek Yoso

Jump VI : Mengumpulkan Informasi Baru (Belajar Mandiri).

Jump VII: Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru

yang Diperoleh.

Tatalaksana secara umum pasien geriatri

Hal yang patut untuk diperhatikan pada pasien geriatri adalah fakta bahwa

pasien tidak memiliki gejala yang khas pada penyakit yang dideritanya. Proses

penuaan menyebabkan degradasi dan penurunan fungsi pada fisik pasien yang

menyebabkan seringnya muncul respon yang berbeda dari tubuh pasien geriatri

yang mengalami sakit dibandingkan pasien dewasa atau dewasa muda.

Selain itu, sering pada pasien geriatri tidak memiliki penyakit yang

spesifik melainkan lebih mengarah kepada suatu sindroma. Untuk itu perlu

penangan yang hati- hati dan kolaboratif dalam tatalaksana kasus geriatri, berikut

ini adalah tatalaksana pasien geriatri secara umum:

1. Temukan penyakit akut

Temukan diagnosis dari keluhan utama yang mendatangkan pasien ke

dokter. Penyakit yang bersifat akut dapat memiliki dua kemungkinan, yaitu

penyakit akut yang berdiri sendiri atau penyakit akut yang berupa komorbid dari

penyakit kronis atau sindroma yang diderita pasien. Penyakit akut yang diderita

pasien bisa jadi memiliki prognosis yang buruk sehingga merupakan prioritas

pertama dalam tatalaksana pasien geriatric.

2. Monitoring penyakit kronis

Page 24: LAP 1 Geriatri

Selain mengobati dari penyakit akut pasien, lakukan pemantauan dari

sindroma atau penyakit kronis yang diderita pasien. Tatalaksana dari penyakit

akut pada pasien tidak boleh menurunkan kondisi pasien sehingga penyakit kronis

pasien mengalami kekambuhan atau berkembang menjadi lebih buruk. Untuk itu

perlu untuk berfikir secara komprehensif dan kolaboratif dengan berbagai bidang

ilmu dalam penanganan pasien geriatri.

3. Lihat disability

Memperhatikan disabilitas atau keterbatasan pasien akibat medikasi atau

terapi pada saat melakukan penatalaksanaan merupakan hal yang esensial pada

kasus geriatri. Banyak faktor yang berhubungan dengan kondisi kesehatan pada

pasien geriatric, salah satunya adalah hal psikologis. Seringkali terapi yang

menyebabkan peningkatan disabilitas pada pasien seperti post operasi atau

kemoterapi seringkali menyebabkan depresi pada pasien yang menyebabkan

menurunnya derajat kesehatan pada pasien.

4. Setting limit

Menentukan batas fisik dari pasien geriatri akan membantu dalam

peningkatan kesehatan dan kesadaran pasien. Perlunya edukasi yang jelas dan

terperinci pada pasien geriatri dan keluarga akan batasan batasan fisik akibat

proses penuaan ataupun penyakit akan mempengaruhi dan mendukung proses

terapi pasien.

5. Taget perawatan

Perlu adanya terapi yang terencana dengan jelas dalam penatalaksanaan

kasus geriatri, sehingga dapat memaksimalkan fungsi terapi. Terapi ini juga harus

disesuaikan dengan tingkat kemampuan pasien dan keluaga, untuk itu penting

dalam perencanaan terapi pasien dilakukan secara bersama oleh dokter dan

keluarga pasien.

DM

Prevalensi DM pada lanjut usia cenderung meningkat, hal ini dikarenakan

DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan

ekstrinsik. Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri

Page 25: LAP 1 Geriatri

dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa.

Umumnya pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari jumlah

tersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun.

Untuk menentukan diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua,

pendekatan selalu dimulai dari anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti

poliuri, polidipsi atau polifagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti neuropati,

retinopati dan sebagainya, umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses

menua, oleh karena itu memerlukan konfirasi pemeriksaan fisik, kalau perlu

pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, pasien diabetes yang timbul pada

usia lanjut kebanyakan tidak ditemukan adanya kelainan-kelainan yang

sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetik, serta tumbuhnya

jamur pada tempat-tempat tertentu.

Kriteria diagnosis DM dapat mengacu pada rekomendasi ADA (American

Diabetes Association) yang tidak menunjukkan adanya pertimbangan spesifik

umur. Diagnosis DM dibuat setelah dua kali pemeriksaan gula darah puasa > 126

mg/dl (dengan sebelumnya puasa paling sedikit 8 jam). Pasien perlu dipastikan

tidak dalam kondisi infeksi aktif atau sakit akut dalam pemeriksaan ini. Atau gula

darah acak > 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes. Pengukuran hemoglobin

terglikosilasi (HbA1c) tidak direkomendasikan sebagai alat diagnostik, tetapi

dipakai secara luas untuk memantau efektifitas pengobatan.

Penampilan klinis DM pada lanjut usia

Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi penampilan

klinis DM pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan menyelinap.

Dikatakan paling sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa

mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari hiperglikemia seperti polidipsi dan

poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon haus dan peningkatan nilai

ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa urin. Penurunan berat badan, kelelahan

dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa pada lanjut usia, berakibat

tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti dehidrasi, konfusio,

inkontinentia dan komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM merupakan gejala-

gejala yang tampak.

Page 26: LAP 1 Geriatri

Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk

bangkit dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga

dapat dikeluhkan, akibat mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang

mengatur okulomotorik.

Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari kemungkinan adanya

DM.Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai

pada lanjut usia antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital.

Sebaliknya adanya penyakit-penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark

miokard atau stroke dapat meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat

tercapainya kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada peningkatan kadar

intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi pada penderita lanjut

usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan kaheksia, neuropati diabetic

akut, amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan

osteoporosis.

Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita

mungkin sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti

hiperglikemi, hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik.

Penderita juga dapat dijumpai gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya

disebabkan oleh obat-obat antidiabetik. Penampilan klinis hipoglikemia yang khas

tampak sebagai perubahan status mental dan status neurologi seperti penurunan

fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis dan bradikadi.

Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia

(pseudohiponatremi), kondisi dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis

osmotik) dapat juga terjadi. Profil lipid pada umunya menunjukkan peningkatan

trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL kolesterol tidak selalu meningkat

tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyak, yang lebih aterogenik.

Page 27: LAP 1 Geriatri

Patofisiologi DM pada Lanjut Usia

Patofisiologi DM pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya,

namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses

menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh,

menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal

khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres

oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh

karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena aged related

insulin resistance atau aged related insulin inefficiency sebagai hasil dari

preserved insulin action despite age.3

Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor

genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang

mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor

genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan,

kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat

muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin

pada jaringan sasaran.

Faktor risiko diabetes melitus akibat proses menua:

Penurunan aktifitas fisik

Peningkatan lemak

Efek penuaan pada kerja insulin

Obat-obatan

Genetik

Penyakit lain yang ada

Efek penuaan pada sel

Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi

perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan

glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih

tampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan

pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa

hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi

Page 28: LAP 1 Geriatri

hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan

glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebut

Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH).

Polifarmasi pada geriatri

1. Perubahan pada lansia dalam hubungannya dengan obat

Pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ & sistema

tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Terjadi perubahan

dalam hal farmakokinetik, farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah

perilaku obat dalam tubuh.

2. Farmakokinetik

Tabel 1. Perubahan farmakokinetik obat akibat proses menua

Parameter Perubahan akibat proses menua

Absorbsi Penurunan: permukaan absorbsi, sirkulasi darah

splanchnic, motilitas gastrointestinal.

Peningkatan pH lambung.

Distribusi Penurunan: curah jantung, cairan badan total, massa

otot badan, serum albumin.

Peningkatan lemak badan.

Peningkatan alfa-1 asam glikoprotein.

Perubahan pengikatan terhadap protein.

Metabolisme Penurunan: aliran darah hepar, massa hepar, aktivitas

enzim, penginduksian enzim.

Ekskresi Penurunan: aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus,

sekresi tubuler.

Sensitifitas jaringan Perubahan pada jumlah reseptor, afinitas reseptor,

fungsi pembawa kedua, respon seluler dan nuklear.

Poin-poin yang harus diingat:

Page 29: LAP 1 Geriatri

a. Dengan pemberian dosis yang lazim Kadar Obat Plasma (KOP) akan

lebih tinggi karena sistem eliminasi obat dalam hepar dan ginjal akan

menurun.

b. Dengan KOP yang sama dapat terjadi Fraksi Obat Bebas (FOB) lebih

tinggi dari yang lazim karena kadar albumin pada lansia telah menurun

terlebih-lebih waktu sakit atau karena pengangsuran tempat (silent

reseptor) dari ikatan albumin oleh obat lain (polifarmasi).

3. Farmakodinamik

Adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat menimbulkan rentetan reaksi

biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor sampai dengan efektor. Di dalam sel

terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respon seluler. Respon seluler pada

lansia secara keseluruhan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada

mekanisme respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis dan penurunan

tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti pada

farmakokinetik.

4. Efek Samping Obat (ESO)

Kejadian pada lansia meningkat 2-3 kali lipat. Problem ini paling banyak

menimpa sistem gastrointestinal dan sistem haemopoetik. Penelitian atau

pengukuran fungsi hepar, ginjal, kadar obat dalam plasma darah terlebih-lebih

dalam terapi polifarmasi sangat membantu dalam mengendalikan atau

menurunkan angka kejadian ESO.

5. Perubahan fisiologik dalam komposisi tubuh

a. Berat badan total: akan menurun pada usia lanjut akibat penurunan

jumlah cairan intraseluler sesuai dengan meningkatnya usia. Keadaaan

ini akan berakibat menurunnya distribusi obat yang sebagian terikat air

(misalnya litium).

b. Penurunan massa otot: yang secara umum terdapat pada usia lanjut akan

menyebabkan distribusi obat yang sebagian besar terikat otot akan

menurun, misalnya digoksin (konsentrasi obat bebas meningkat).

Page 30: LAP 1 Geriatri

c. Peningkatan kadar lemak tubuh: akan mengakibatkan peningkatan kadar

obat yang larut lemak (misalnya diazepam), terutama pada wanita

lansia.

d. Penurunan kadar albumin: terutama pada penderita lansia yang sakit,

menyebabkan penurunan ikatan obat dengan protein, dan meningkatnya

proporsi obat bebas di sirkulasi (antara lain salisilat, tiroksin, warfarin

dan obat AINS)

e. Kekambuhan penyakit yang sebelumnya laten: beberapa obat dapat

membuat kambuh berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terlihat

misalnya:

1) Menurunnya stabilitas postural yang meningkatkan kemungkinan

jatuh, antara lain akibat obat hipertensi, diuretika, hipnotika, sedativa

dan vasodilator.

2) Konstipasi: antidepresan, antikolinergik, garam besi.

3) Hipotermia: fenotiasin, hipnotika, sedativa, dan antidepresan.

6. Rasionalisasi obat pada usia lanjut

a. Rejimen pengobatan: 1) periode pengobatan jangan dibuat terlalu

lama; 2) jumlah/jenis obat harus dibuat seminimal mungkin; 3) obat

harus diberikan atas diagnosis pasti; 4) harus diketahui dengan jelas

efek obat, mekanisme kerja, dosis dan efek samping yang mungkin

timbul; 5) apabila diperlukan pemberian polifarmasi, prioritaskan

pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi gangguan

fungsional; 6) pemberian obat harus dimulai dari dosis kecil,

kemudian dititrasi setelah berapa hari (kecuali anti-infeksi harus dosis

optimal; 7) frekuensi pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin,

kalau mungkin sekali sehari.

b. Pengurangan dosis: dosis awal obat adalah kira-kira lebih sedikit dari

separuh dosis yang diberikan pada usia muda.

c. Peninjauan ulang: perlu dilaksanakan pada setiap kunjungan ulang

atau bila terjadi episode penyakit akut.

Page 31: LAP 1 Geriatri

d. Kepatuhan penderita: harus diupayakan penjelasan pada penderita,

pemilihan preparat dan wadah obat yang tepat, diberi label, bantuan

mengingat, dan pengawasan minum obat oleh keluarga dan lain-lain.

Setiap efek samping hendaknya harus diminta untuk dilaporkan.

Page 32: LAP 1 Geriatri

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Dari diskusi tutorial ini dapat disimpulkan bahwa pasien datang dengan

SARAN

Pada diskusi tutorial kali ini sudah berjalan dengan sangat baik dengan

target seluruh learning objective yang sudah tercapai dan proses diskusi yang

terorganisir. Untuk selanjutnya dapat terus dijalankan tahap diskusi ini secara

lebih konsisten, dan lebih meningkatkan sisi brain storming dari diskusi tutorial

selanjutnya

Page 33: LAP 1 Geriatri

DAFTAR PUSTAKA

Amalia. 2008. Osteoarthritis. http://fkui.org/tikidownload/wiki/attachment.php. (25 maret 2015).

Anonim. 2010. Glurenorm.

http://www.epgonline.org/viewdrug.cfm/drugId/DR001342/language/LG0001/drugName/GLURENORm (17 Maret 2011)

Boedhi B. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 4th ed. Jakarta: FK UI, pp: 4-9, 67-74.

Cicaherlina. 2006. Arthritis. www.kalbefarma.com/files/cdk/files/04penyakitpenyakit artritis023.pdf/04penyakitpenyakit023.html. (26 Maret 2015).

Hidayat AL. 2011. Penggunaan Anti Inflamasi Non Steroid untuk Rematik. http://multiline-jatimbali.blogspot.com/2009/12/penggunaan-anti-inflamasi-non-steroid.html (29 Maret 2015).

Martono H, Pranaka K, Rahayu RA, Joni B, Huda IS, Murti Y. 2007. Diabetes melitus pada lanjut usia. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, pp: 301-16.

Muchid A, et al. 2006. Pharmacheutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI.

Nugroho W. 1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta: EGC.

Rochmah W. 2006. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp: 1937-9

Setiati S, Harimurti K, Rossheroe AG. 2007. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam: Aru W.S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Setiati S, Laksmi PW. 2007. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan Fraktur. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. . Edisi IV jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Smeltzer S. 2001. Hipertensi pada Lansia. Dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC.

Page 34: LAP 1 Geriatri

Soeroso J, et al. 2007.Osteoarthritis. Dalam: Aru W.S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Suhardjono. 2006. Hipertensi Pada Usia Lanjut. In: Aru W.S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Wahjudi N. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. 3th ed. Jakarta: EGC, pp: 12-15.

Wall JC, Bell C, Camphbell S, Davis J. 2000. The Timed get-up-and-go tes revisited: Measurement of the Component tasks. Journal of Rehabilitation Research and Development 37 (1):109-114.